DOSEN PENGAMPUH:
PDT. DR. NONTJE M. TIMBULENG, M.SI
NIDN. 1606116701
DISUSUN OLEH:
KAMELIA YURIKA WOWOR
NIM. 202141275
2024
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus, Kepala Gereja yang terus memberkati dan
menyertai kita semua, terlebih khusus bagi saya pribadi sehingga penyusunan materi tentang
“Pengertian Kontekstual: Konteks, Teks, In Loco, Inkulturasi, Indigenisasi” sebagai tugas
mandiri yang diberikan oleh dosen Pdt. Dr. Nontje M. Timbuleng, M.Si, dalam Mata Kuliah
Teologi Kontekstual bisa selesai dengan baik.
Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah turut serta dalam
membantu penyusunan makalah ini.
Saya sadar bahwa masih banyak kekurangan kami dalam penyusunan makalah ini.
Maka saya memohon maaf jika ada kesalahan-kesalahan dalam pengetikan dan kesalahan
dalam menuliskan nama dan gelar, ataupun kata-kata yang lain. Sehingga masukan dari
pembaca yang dianggap perlu untuk ditambahkan bahkan kritik yang akan meluruskan
ketidaksempurnaan makalah ini sangat akan sangat membantu saya untuk menjadikan
makalah ini semakin baik.
Tuhan memberkati, Terima kasih.
Kamelia Y. Wowor
Nim. 202141275
2
DAFTAR ISI
SAMPUL.……………………………………………………………………………………………1
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………….2
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………………3
BAB I – PENDAHULUAN………………………………………………………………………….4
A. LATAR BELAKANG……………………………………………………………………4
B. RUMUSAN MASALAH…………………………………………………………………4
C. TUJUAN RUMUSAN MASALAH………………………………………………………4
BAB II – PEMBAHASAN …………………………………………………………………………..5
BAB III – KESIMPULAN …………………………………………………………………………...11
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………………12
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam berteologi, gereja terus-menerus berusaha membahasakan Injil (teks) dalam gagasan-gagasan
dan gambaran yang sesuai dengan konteks masa kini, sebab penulisan teks dulunya pun bertolak dari
konteks atau latar belakang tertentu. Ritus, budaya, bahasa, lagu seni dll. memiliki elemennya masing-
masing dan pastinya disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat itu. Seiring berjalannya waktu,
tafsiran mengenai Injil berbasis konteks mulai diupayakan melalui upaya teologi kontekstual.
B. RUMUSAN MASALAH
4
BAB II
PEMBAHASAN
1. Konteks
Dalam buku Model-Model Teologi Kontekstual yang ditulis oleh Stephen Bevans, ada
pendapat unik dari Henri Bouillard, menurutnya, teologi akan menjadi palsu bila tidak selaras dengan
zaman (konteks). Pengalaman manusia sendiri berkaitan dengan konteks kehidupannya. Pengalaman
manusia bersifat majemuk, sebab ada banyak kondisi dan realita yang terjadi. Konteks yang
maksudkan adalah konteks budaya. Budaya kelompok manusia di zaman batu, pastinya berbeda
dengan budaya kelompok manusia di zaman milenium. Orang-orang di zaman batu, menggunakan
batu sebagai alat bantu untuk bekerja, orang-orang di zaman milenium, mengandalkan kecanggihan
teknologi dalam membantu pekerjaannya. Di sini, kita melihat bahwa terdapat perbedaan kebutuhan
antara manusia di zaman batu dan milenium.
Konteks dalam pengalaman manusia tidak hanya bersifat kultural, ada juga konteks historis.
Konteks mempengaruhi pemahaman kita terhadap Allah dan bagaimana cara kita untuk
mengekspresikan iman kita kepada Allah. Kita dapat belajar melalui pengalamanpengalaman kita
dengan sesama. Ini membantu kita untuk mengkombinasikan atau mungkin mendialogkan budaya kita
dengan sesama. Tetapi, teologi orang lain, tetap tidak akan pernah menjadi milik kita, sebab
pengalaman kita berbeda-beda. Dalam Kitab Suci, ada tradisitradisi yang mungkin telah kita pegang
dan warisi hingga saat ini. Ada yang mengkombinasikan dalam pelaksanaanya, ada yang mengikuti
secara apa adanya. Sebagai tubuh yang hidup dari Kristus yang hidup, Gereja bertugas untuk
membangun tubuh Kristus yang berarti Gereja menggunakan nilai budaya, pengetahuan, ketrampilan,
dan pengalaman modern yang positif agar terjamin adanya pengelolaan yang sebaik-baiknya. 1
2. Teks
Apakah yang dimaksud dengan Teologi Kontekstual? Teologi kontekstual adalah teologi itu
sendiri. Maksudnya adalah, teologi hanya dapat disebut sebagai teologi apabila ia benar-benar
kontekstual. Oleh karena pada hakekatnya, teologi tidak lain dan tidak bukan adalah upaya untuk
mempertemukan secara dialektis, kreatif serta eksistensial antara teks dengan konteks. Sederhananya,
teologi adalah upaya untuk merumuskan penghayatan iman kristiani pada konteks ruang dan waktu
yang tertentu.
Bagaimana mempertemukan teks dan konteks? Teologi selalu bertitik-tolak dari sebuah
asumsi dasar, yaitu bahwa Allah yang kita percayai adalah Allah yang berfirman, Allah yang
menyatakan kehendak-Nya, di sepanjang masa bagi seluruh umat manusia di mana saja. Firman dan
1
PGI. Dokumen Keesaan Gereja : Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (Jakarta : Gunung Mulia,2016), hlm.
49.
5
kehendak-Nya itu adalah mengenai kebenaran dan keselamatan serta kesejahteraan manusia bahkan
seluruh ciptaan. Firman dan kehendak-Nya itu berlaku bagi siapta saja, dimana saja dan kapan saja,
dan oleh karena itu siapapun yang mendambakan kebenaran, keselamatan dan kesejahteraan tidak
dapat tidak hari dengan sungguh-sungguh memperhatikan dan memberlakukan Firman serta kehendak
Allah itu. Teologi bertolak dari keyakinan itu, dan berfungsi untuk mencari serta merumuskan
kehendak Allah yang menyelamatkan, menyejahterakan serta merupakan norma kebenaran itu.
Teologi yang benar harus mulai di situ.
Teologi yang benar adalah teologi yang Alkitabiah karena disana Allah berkenan menyatakan
kehendak-Nya yang kekal dan universal itu melalui tindakan-Nya pada suatu konteks ruang dan
waktu tertentu. Allah selalu bekerja didalam dan melalui sejarah. Mempelajari Alkitab berarti
berhadapan dengan pernyataan kehendak Allah yang universal itu melalui dan di dalam konteks
tertentu. Allah selalu bekerja secara historis dan kontekstual. Itulah sebabnya, teks itu selalu berada di
dalam konteks.2
konteks yang dipahami atau dialami oleh orang-orang Kristen yang hidup di masa ini
terkoneksi dan terhubung dengan konteks dan refleksi pengalaman Iman dari orang-orang yang hidup
di dalam narasi-narasi Alkitab. jadi pada prinsip ini, teologi kontekstual selalu saja ada hubungan
antara teks dan konteks. teks yang di pahami disini adalah teks Alkitab, narasi-narasi Alkitab
sebagaimana dari kejadian sampai dengan Wahyu dan konteks yang di pahami disini adalah
kenyataan hidup ketika membaca Alkitab dari perspektif atau sudut pandang sebagai manusia atau
orang-orang Kristen yang hidup di masa ini. Jadi, ada sebuah proses dialog antara konteks yang
dialami dan teks yang juga sebenarnya merefleksikan pengalaman pengalaman Iman dari orang-
orang, tokoh-tokoh, para nabi hakim-hakim yang hidup di masa lalu sebagaimana dinarasikan oleh
didalam Alkitab kita.
Dialog konteks dan teks tersebut adalah dialog yang sangat dinamis, terus berkembang,
sehingga ditemukanada berbagai bentuk interpretasi orang terhadap teks-teks Alkitab. meskipun Teks
itu ada di situ di dalam alkitab dia tetap ada seperti itu. kalimat yang mungkin tidak berubah tetapi
pemaknaan terhadap Teks itu akan selalu berubah Mengapa demikian karena orang yang membaca
teks itu adalah orang yang hidup pada zaman pada periode, pada konteks yang berbeda dan terus
mengalami perubahan jadi pemaknaan terhadap teks-teks Alkitab tersebut antara konteks dan konteks
kita dan juga teks Alkitab dia berlangsung secara dinamis. teks Alkitab itu sendiri mempunyai
konteksnya itu sebabnya Ketika mempelajari mempelajari Alkitab, tidak hanya melihat teks tersebut
sebagai kata dan kalimat yang berdiri sendiri yang tiba-tiba ada tetapi mencoba untuk melihat apa
yang menjadi background dari sebuah narasi akhir di dalam alkitab apa yang menjadi latar belakang
dari sebuah teks Alkitab, latar belakang itu adalah konteks. misalnya kita menemukan siapa
2
J.B. Banawiratma; Penyunting Eka Darmaputera / Konteks Berteologi di Indonesia: Buku penghormatan untuk
HUT ke-80 Prof. Dr. P.D. Latuihamallo. Cet.4 – Jakarta : Gunung Mulia, 2004. Hlm 9-11
6
penulisnya disana kita menemukan kepada siapa tulisan itu ditujukan. Artinya ada satu komunitas ada
satu jemaat yang menjadi sasaran dari tulisan yang dibuat atau disusun oleh para penulis tersebut dan
tulisan-tulisan itu juga mengandung pesan yang sebenarnya kalau dilihat dan dikaji dari dari kajian
biblika maka akan ditemukakn ada pergulatan-pergulatan pengalaman hidup, ada kenyataan-
kenyataan yang ada di hadapi oleh masyarakat atau komunitas atau jemaat yang menjadi sasaran dari
penulisan teks-teks tersebut.
3. In Loco
Theologia in loco dapat di definisikan sebagai berteologi di suatu lokus, berteologi dalam
konteks aktual. Dalam berolah teologi, seorang teolog tidak boleh membiarkan dirinya terlalu asik
dalam aneka istilah dan garis-garis tradisi iman yang sifatnya berpusat ke dunia Barat. Jika mau
berteologi, mesti diusahakan teologi yang berpijak pada konteks bumi pertiwi. Masuknya
kolonialisme di Indonesia juga membawa dampak kepada cara pewartaan injil. Pewartaan Injil yang
dikerjakan ke daerah-daerah kolonial menjadi berwatak kolonial. Evangelisasi menjadi semacam
proyek untuk membentuk gereja di daerah-daerah koloni menurut cetakan Eropa Barat. Dalam
konteks itulah pemikiran Muller Kruger untuk membawa semangat theologia in loco menjadi sebuah
kritik atas paham evangelisasi kolonial. Evangelisasi bukanlah memindahkan kekristenan Eropa Barat
ke wilayah Indonesia. Evangelisasi perlu menjadi suatu proses untuk menemukan kekristenan khas
Indonesia yang tumbuh di bumi Nusantara dengan memakai metode theologia in loco, berteologi
yang memperhatikan konteks ‘pribumi’. Theogia in loco adalah cara berteologi yang sifatnya kontra-
kolonialisme.
3
Ignas Kleden, sosiolog dan kritikus sastra
7
Seorang teolog yang melakukan theologia in loco mencoba ‘mendengarkan’ kutub-
kutub yang saling berseberangan antara Injil dan budaya. Dengan di ‘dengar’ kan secara
mendalam, artinya disimak secara mendetail, maka kedua kutub (Injil dan budaya) akan
saling berdialog didalam diri sang teolog.4
4. Inkulturasi
Istilah inkulturasi yang sebelumnya lazim digunakan oleh kalangan antropolog, diperkenalkan
ke dalam dunia teologi oleh Piere Charles. Kemudian, J. Masson pertama kali mengungkapkan istilah
Chatolicisme inculture (inkulturasi paham Katolik) pada 1962; kemudian didefinisikan oleh Robert
Schreiter sebagai suatu proses yang menggabungkan “prinsip teologis tentang penjelmaan dengan
konsep ilmu sosial tentang akulturasi (hal menyesuaikan diri dengan suatu budaya)” 5. J. H. Bavinck
mendefinisikan inkulturasi sebagai proses melepaskan unsur-unsur suprakultural Injil dari satu
kebudayaan dan mengkontekstualisasikannya dalam bentuk kultural dan lembaga-lembaga sosial
kebudayaan lain, setidaknya beberapa tingkatan transformasi dari bentuk dan lembaga-lembaga itu 6.
Dalam proses inkulturasi/kontekstualisasi, kita perlu mengkaji tiga matra budaya yang terlibat
di dalamnya: budaya pemberita Injil (pemberitan terikat pada konteks budayanya), budaya konteks
Injil (budaya hebraic-helenistic) dan penerima Injil; dan konteks budaya totalnya, yang merupakan
budaya baru yang terbentuk setelak proses inkulturasi. Dalam proses tersebut, yang akan berlangsung
adanya inkulturasi oleh penerima Injil, akulturasi budaya Injil yang dibawa oleh pembawa berita Injil
(yang juga terikat pada konteks budayanya), kemudian sesungguhnya yang akan berlangsung adalah
interkulturasi (perpaduan antara proses akulturasi dan inkulturasi). 7 Yang penting dan sangat
diharapkan di sini adalah terciptanya keseimbangan budaya yang dinampakkan dalam refleksi teologis
yang alkitabiah dari kerangka tersebut, di mana Yesus Kristus diterima sebagai Tuhan dan
Juruselamat mereka dan Injil serta gereja adalah juga menjadi milik mereka.
8
bentuk dan ide budaya yang dikenal; contohnya ide logos (dalam Yoh 1). Model ketiga, model
prossesio menanggapi kebudayaan secara negatif, yang terungkap melalui seleksi, penolakan,
reinterpretasi dan rededikasi. Model ini hampir mirip dengan model terjemahan yang dianjurkan
Bevan. Model keempat adalah model transformasi, di mana prinsipnya adalah bila seseorang
dibaharui Injil, maka inti kebudayaannya juga dibaharui (2 Kor 5:17). Model yang terakhir adalah
model dialektik, dimana model ini mengakui adanya interaksi dinamis antara teks dan konteks yang
bisa berubah mengikuti perkembangan waktu. Dalam model ini gereja dituntut untuk setiap saat
menganalisis, menginterpretasi dan menilai setiap keadaan yang berkembang.
5. Indigenisasi
Kepedulian terhadap pribumisasi dalam misi merupakan titik awal yang penting untuk baru
ini dalam era misi. Dalam bukunya, Perluasan Gereja yang Spontan dan Penyebab yang
Menghambatnya, Roland Allen mengawalinya dengan: "Jika gereja ingin menjadi pribumi, ia harus
tumbuh di dalam tanah sejak benih pertama kali ditanam." 10 Gerakan pribumisasi membutuhkan
pandangan kontekstual tentang budaya, di mana Injil akan dikomunikasikan dalam konteks budaya
dan bukan dari konteks budaya misionaris. Transisi kritis dalam misi akan menyediakan sarana yang
positif untuk perubahan ini.11
9
https://id.wikipedia.org/wiki/Indigenisasi diakses tgl 07-02-24 pkl. 10:29
10
Roland Allen, The Spontaneous Expansion of the Church and the Causes that Hinder It, 4 th ed., (London:
World Dominion, 1960), 2
11
James K. Lewis / Indigenization And The Development Of Contextual Theologies In Third-World Cultures.
2005 hal.6
12
Kamus Besar Bahasa Indonesia, s.v. “Pribumi.”
13
Kamus Besar Bahasa Indonesia, s.v. “Inlander.”
9
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Jika diperhatikan secara seksama, sebenarnya teologi selalu dituntut untuk “menyesuaikan
diri” dengan zaman. Adapun tujuannya adalah untuk meletakkan dasar bersama seluas mungkin
bahwa kebenaran teologis Kristiani memang relevan di setiap zamannya. Teologi sebagai refleksi
iman, dulunya hanya bersumber pada kitab suci dan tradisi yang kebenarannya tidak dapat diganggu
gugat lagi. Namun, dewasa ini, Teologi tidak hanya bersumber dari kedua lokus itu saja, yakni kitab
suci dan tradisi. Teologi yang berwajah kontekstual melihat ada 3 sumber refleksi iman, yakni kitab
suci, tradisi dan pengalaman manusia. ini berarti Teologi telah menyadari dan mengakui bahwa
pengalaman manusia juga adalah suatu sumber dalam berteologi 14
Kegiatan berteologi dan karya penginjilan, tak dapat menghindari tantangan dan
kewajiban menghadapi perubahan besar yang terjadi pada masa kita sekarang ini yang
dibawa dan didesak oleh globalisasi. Apa yang dapat diusulkan disini adalah theologia in
loco harus disertai kesiapan yang lentur untuk menyesuaikan diri, karena locus sudah berubah
pada setiap saat. Yang amat dibutuhkan saat ini adalah sebuah teologi dalam perubahan dan
tentang perubahan dan bagaimana dalam perubahan itu, iman kita tetap dan tidak berubah.
Jalan berteologi pribumi hanya bisa dilalui apabila sang teolog memiliki cukup
kemandirian dalam berpikir dan olah pikir, melepaskan diri dari pesona produk jadi teologi
tetapi asing untuk konteks Indonesia atau memakai teologi itu dengan pemaknaan dalam
konteks keindonesiaan.
14
Bevans B, Stephen, / Model-Model Teologi Kontekstual (Maumere: Ledalero, 2002), hlm. 1-3
10
DAFTAR PUSTAKA
Allen, Roland. The Spontaneous Expansion of the Church and the Causes that Hinder It.
4th ed. London: World Dominion, 1960.
Darmaputera, Eka. Konteks Berteologi di Indonesia: Buku penghormatan untuk HUT ke-80
Prof. Dr. P.D. Latuihamallo. Cet.4 – Jakarta : Gunung Mulia, 2004.
Tomatala, Dr. Y. D.Mis, Teologi Kontekstualisasi (Suatu Pengantar), Malang, Gandum Mas,
1993
Kamus
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta,
2008.
Internet
https://id.wikipedia.org/wiki/Indigenisasi
https://www.berandanegeri.com/2019/09/625/theologia-in-loco-mendengarkan-budaya-dan-
globalisasi.php
11