18 Votes
Kata Tanö Niha yang akhirnya selalu menjadi sebutan bagi Pulau Nias. Tanö berarti “tanah,
bumi” dan Niha artinya “manusia, orang”. Sehingga Tanö Niha berarti tanah atau bumi
manusia. Penduduknya selalu menyebut dirinya sebagai Ono Niha. Ono artinya “anak” atau
“manusia” sehingga Ono Niha berarti “anak manusia”. Sedangkan orang lain yang bukan
Nias disebut dengan Ndrawa (orang asing, orang luar Nias), misalnya Ndrawa Aceh (orang
Aceh), Ndrawa Hulöndra (orang Belanda) . Kecuali orang Cina yang dipanggil dengan Gehai
(Kehai).
Mengenai asal usul kata Nias, menurut E. Fries (seorang misionaris) besar kemungkinan
adalah sebutan dari Ndrawa (orang Asing) baik orang Melayu, Eropa, dll yang kurang bisa
mengeja kata Niha. Menurut Tuhoni Telaumbanua, orang Nias telah lama mendiami Pulau
Nias. Mereka juga beradaptasi dengan suku bangsa lain seperti Minang, Aceh, Batak, Bugis
bahkan dari luar negeri seperti Cina, Persia, Belanda, Arab, dll. Dari sini muncul berbagai
teori tentang asal usul orang Nias berdasarkan persamaan kulit, budaya, tradisi, bahasa, dsb.
Namun secara umum orang Nias memiliki kulit kuning langsat, mata agak sipit, tinggi rata-
rata 150-170 cm. Dari ciri-ciri fisik ini tidak jarang orang Nias baik yang ada di Nias terlebih
diperantauan, orang menyebut mereka seperti keturunan Cina, Korea atau Jepang.
2. Masuknya Berita Injil di Nias.
2.1. Agama Asli Suku Nias
Sebelum datangnya berita Injil di Nias yang nantinya melahirkan satu lembaga gereja BNKP,
orang Nias memiliki satu agama suku yang disebut dengan agama “penyembah roh” atau
agama Pelebegu yang artinya “penyembah patung” (Mohohe Adu). Sebagai alat untuk
penyembahan, mereka membuat patung-patung kayu yang disebut adu. Patung-patung kayu
ini dipercaya sebagai tempat roh leluhur disebut adu satua (patung leluhur), sehingga harus
dirawat dengan baik. Sebagai tempat ibadah yang mana patung-patung ini ditempatkan
dibangun satu tempat atau rumah yang disebut osali (kata ini nanatinya dipakai untuk Gereja
dalam bahasa Nias). Untuk menyampaikan segala permohonan, keluhan, pergumulan kepada
para roh leluhur membutuhkan seorang penghubung yang disebut dengan ere (imam).
Selain itu, bagi orang Nias, semuanya nilai, norma dan tata kehidupan masyarakat diatur
dalam dan melalui Fondrakö (Nias) atau di Nias Selatan disebut Famatö
Harimo/Famadaya Saembu. Fondrakö berarti menetapkan artinya semua aturan ditetapkan
dalam musyawarah bersama. Yang mengikuti akan selamat, namun yang tidak taat akan
menerima kutukan. Melihat dari esensinya Fondrakö ini mirip dengan Hukum Taurat bagi
orang Yahudi. Orang Nias sangat taat dan takut dengan fondrakö ini sehingga susah
menerima Injil. Sama halnya dengan ajaran-ajaran Yesus yang tidak berterima bagi orang
Yahudi.
2.2. Masuknya Berita Injil di Nias
2.2.1 Masa Permulaan Yang Sulit (1865 – 1890)
Pada awalnya memang sulit merobah kepercayaan asli orang Nias karena telah mengakar
dalam diri mereka. Hal ini ditambah pada saat itu orang Nias sedang berada di bawah
pemerintahan kolonial Belanda dengan ciri-ciri umum berkulit putih, rambut pirang dan
tinggi besar. Sehingga pandangan mereka setiap orang dari luar yang memiliki ciri-ciri di atas
termasuk misionaris dianggap sebagai bagian dari kolonialisme Belanda. Kondisi ini
ditambah dengan masih terisolirnya daerah-daerah di Nias dan setiap kampung tertutup
dengan dunia luar. Belum lagi persoalan wabah penyakit malaria yang memang tinggi di Nias
pada saat itu hingga sekarang ini.
Usaha pekabaran Injil di Nias mula-mula berasal dari misi Katolik dari Prancis,
yaitu Missions Etrangers de Paris pada tahun 1922-1923. Mereka mengutus 2 (dua) orang
Pastor, bernama Pere Wallon dan Pere Barart. Misi ini tidak berhasil karena keduanya
jatuh sakit akibat wabah penyakit malaria dan salah seorang dari mereka meninggal dunia
setelah 3 (tiga) hari tinggal di sana dan 3 (tiga) bulan berikutnya menyusul yang seorang lagi.
Barulah pada tahun 1965, seorang penginjil Jerman, bernama Ernst Ludwig Denninger tiba
di Gunungsitoli pada tanggal 27 September 1865. Dia adalah utusan dari badan
Zending, Rheinische Missions-Gesselschaft (RMG) Barmen, Jerman (tahun 1971
menjadi VEM, sekarang UEM)[1]. Awalnya Denninger bertugas di Kalimantan. Sehubungan
sedang terjadi Perang Hidayat di sana, dia beserta 9 (sembilan) orang misionaris lainnya
melarikan diri dan mereka tiba di Padang (Sumatera Barat).
Ketika teman-temannya yang lain melanjutkan misi Kristus ke tanah Batak, Dennigger
tinggal di Padang, oleh karena istrinya sakit keras. Di sana dia bertemu dengan orang-orang
perantauan dari Nias (± 3000 orang), bergaul dengan mereka dan tertarik untuk datang ke
Nias. Sehingga, Denninger belajar bahasa Nias. Dalam pertemuannya dengan orang Nias di
Padang pada tahun 1863, dia pernah melakukan pembaptisan kepada seorang anak
perempuan Nias, berumur 17 tahun. Nama kecilnya adalah “Ara”, dan setelah dibaptiskan
diberi nama oleh Tuan Denninger, Gertruida Christina[2] . Dan akhirnya dia mengambil
keputusan untuk melayani di Nias, sehingga pada tanggal 27 September 1965, Tuan E.
Deninger tiba di Gunungsitoli. Tanggal kedatangannya ini oleh gereja-gereja di seluruh Pulau
Nias menjadikannya sebagai awal masuknya Injil di Pulau Nias atau yang disebut Yubileum
dan diperingati setiap tahun.
Denninger merasa bahwa keberhasilan dalam pekabaran Injil di tengah-tengah orang Nias
salah satunya melalui pendidikan selain kesehatan, diakonia (pemberian makanan, tembakau,
pakaian, dll) dan pembangunan ekonomi masyarakat (salah satunya cara bercocok tanam
yang baik). Itulah sebabnya pada tahun 1866, Deninger, membuka Sekolah Anak-Anak di
Gunungsitoli. Dia mengajar mereka membaca dan menulis. Muridnya hanya 6 (enam) orang,
salah satunya adalah Kaneme, anak seorang Salawa (bangsawan). Namun mereka datang
hanya karena senang dengan “pemberian” Denninger. Sehingga mereka belum siap untuk
dibaptis. Pada saat itu juga, Denninger mulai menterjemahkan Injil Lukas dan Yohanes dalam
bahasa Nias, yang menjadi kekuatannya dalam mengabarkan Injil.
Pada tahun 1872 datang seorang lagi missionaris dari RMG, Jerman, yaitu J.W. Thomas.
Untuk sementara waktu, dia tinggal bersama dengan Denninger di Gunungsitoli untuk belajar
bahasa Nias. Kemudian, dia pindah ke Ombolata. Tahun 1873 datang lagi seorang
missionaris yaitu Friedrich Kramer. Dan Kramer inilah yang membaptiskan pertama sekali
orang Nias menjadi Kristen yaitu sebanyak 25 orang di Desa Hilina’a atas nama Yawa
Duha (Kepala Kampung Hilina’a), beserta keluarganya. Hal ini terjadi pada tanggal 05 April
1874 bertepatan dengan Paskah.
Pada tanggal, 08 Agustus 1875, terjadi perpisahan kepada Denninger, oleh Thomas dan
Kramer beserta semua yang telah dibaptis. Pada saat inilah diadakan sakramen Perjamuan
Kudus yang pertama sekali di gereja Nias (± 100 orang). Dua hari kemudian, pada tanggal 10
Agustus 1875, Tuan Deninger, meninggalkan Nias menuju Batavia (Jakarta sekarang), oleh
karena kondisi kesehatan yang kurang baik. Satu tahun kemudian, tepatnya tahun 22
Maret1876, Denninger meninggal di sekitar wilayah Bogor. Oleh Kramer, Denninger
diberikan julukan, “Ama Halõwõ Zamatenge Ba Danõ Niha” (Bapa Pemberita Injil di Nias)
. Namun satu hal yang perlu dicatat bahwa sampai sekarang, foto Denninger tidak pernah
diketemukan. Dan sebagai tanda untuk mengingat dirinya salah satu gereja diberi nama
Denninger, yaitu Jemaat BNKP Denninger, yang berada di Tohia, Gunungsitoli, kurang lebih
2 km dari pusat kota Gunungsitoli.
Pada tahun 1876 datang Dr. W.H. Sunderman di Gunungsitoli, dan dia langsung belajar
bahasa Nias. Kemudian pada 1886 dia tinggal di Lõlõwua sampai tahun 1902. Selama di
Lõlõwua, Sundermann menterjemahkan Alkitab dalam bahasa Nias seperti yang kita kenal
sampai sekarang dan selesai pada tahun 1908. Demikian juga buku Agende atau liturgi
gerejani dari bahasa Jerman ke bahasa Nias, dan Katekhismus Luther.
Buah dari pekerjaan para misionaris ini mulai tampak ketika pada tahun 1876 berdiri Gereja
pertama di Nias, di Ombõlata. Kemudian untuk membantu mereka pada tahun 1895 pada
bulan Maret dibuka Sekolah Guru Injil pertama di Ombolata.
Pada tahun 1881 datang lagi misionaris kelima bernama J.A. Fehr. Dia ini yang mengantikan
J.W. Thomas di Ombõlata pada tahun 1883, sebab J.W. Thomas pergi berusaha membuka
pos Pekabaran Injil di Sa’ua (Nias Utara), meskipun usahanya itu ternyata gagal.
Walaupun banyak kesulitan yang dialami serta jangkauan Pekabaran Injil yang dapat dicapai
tidak begitu luas, namun dalam periode ini telah berhasil dibaptis sebanyak 699 orang (148
orang di Gunungsitoli, 348 orang di Ombõlata dan 203 orang di Dahana). Juga diantara
mereka telah dipilih beberapa orang menjadi penatua. Daerah yang dicapai hanya di sekitar
Gunungsitoli saja, dengan 3 Pos Pekabaran Injil yaitu Gunungsitoli, Ombõlata, dan Dahana.
Pada masa ini juga dibangun gereja pertama di Nias di Ombolata pada tahun 1876.
Gereja yang pertama didirikan di Pulau-pulau Batu disebut BKP (Banua Keriso Protestan)
pada tahun 1945 dan akhirnya menggabungkan diri dengan BNKP Pada Persidangan Majelis
Sinode BNKP pada tahun 1960 di Ombõlata. Hal ini semakin mempererat kesatuan antara
orang Nias di daratan dengan orang Nias yang ada di kepulauan Batu.
Melihat perjalanan masuknya berita Injil di Nias sampai berdirinya BNKP adalah salah satu
anugerah dan rencana Tuhan yang luar biasa bagi seluruh masyarakat Nias. Mengenai arti
BNKP sendiri tertuang dalam TG 2007, BAB I, Pasal 1:1 dan penjelasannya:
“Banua Niha Keriso Protestan yang disingkat BNKP merupakan persekutuan orang-orang
percaya kepada Yesus Kristus yang berasal dari suku Nias dan suku-suku lainnya di dunia”
Dalam penjelasan Pasal 1: 1, nama BNKP, yang adalah Banua Niha Keriso Protestan,
bermakna sebagai berikut: Banua, adalah diambil dari terjemahan dua kata dalam bahasa
Nias yaitu; Kampung dan Langit, namun BNKP menggunakannya dengan makna
persekutuan orang-orang percaya kepada Yesus Kristus melalui kuat kuasa Roh
Kudus. Niha artinya, manusia dalam arti orang percaya kepada Kristus. Keriso, berarti
Kristus, yang adalah kepada gereja dan Protestan dimaksudkan sebagai sikap gereja BNKP
yang menyatakan posisinya sebagai gereja reformasi yang injili, serta menyaksikan
kesinambungan hubungan persekutuannya dengan jemaat mula-mula.
Dari penjelasan di atas mengungkapkan bahwa meskipun BNKP lahir, tumbuh dan
berkembang di tengah-tengah masyarakat Nias, namun tidak menutup diri hanya untuk orang
Nias melainkan untuk setiap suku dan bangsa di dunia ini. Hal ini terbukti dengan semakin
banyaknya gereja-gereja BNKP yang ada di luar daerah Nias terutama Pulau Sumatera dan
Pulau Jawa yang warganya berasal dari berbagai suku bangsa (Batak, Jawa, Sunda, China,
dll) baik hasil perkawinan, warga tetap atau simpatisan.
Untuk menata kehidupan pelayanannya, BNKP mempunyai dasar Alkitab dan Tata Gereja
BNKP. Tata Gereja BNkp terakhir yang dipakai adalah tahun 2007. Di sana menjelaskan
bahwa gereja BNkp menganut Sistem Presbiterial Sinodal Yang Melayani, maksudnya
jemaat-jemaatnya sebagai basis pelayanannya, sehingga terhindri dari dominasi sinodal yang
kaku, statis dan otoriter. Sementara struktur organisasi pelayanan bnkp adalah Sinode ,
Resort, Jemaat.
Menurut TG 2007, Bab I, Pasal 1:3, Logo BNKP adalah sbb dengan artinya:
C 360.955 jiwa
1. Lk = 174.751 jiwa
Warga Jemaat Pr = 186.235 jiwa
2.
Resort 54 Resort
3.
Jemaat 1075 Jemaat
C Pendeta = 384 orang
(Lk = 224 orang; Pr = 160 orang)
[1]. RMG adalah badan kongsi pekabaran Injil yang didirikan di Barmen, Jerman, pada
tanggal 23 September 1828. Kongsi ini merupakan hasil pengaruh gerakan Pietisme yang
melanda Jerman pada saat itu. Namun mereka menyebut dirinya Neo-Pietismen karena
menyebut diri bagian dari Reformasi namun tidak terikat dengan dengan salah satu tradisi
baik Luteran maupun Reformed. Hal ini juga nantinya terwarisi dalam gereja-gereja hasil PI
RMG umumnya di Kalimanta, Sumatera, Mentawai, Nias, dll seperti di BNKP, HKBP,
GKPS, HKI, GKPM, dll. Umumnya mereka menyebut diri “Uniert” atau perpaduan Lutheran
dan Reformed.
[2]. Gustav Menzel, Denninger:Ama Wohalõwõ Ba Danõ Niha (penterjemah-B. Chr. Hulu),
(Gunungsitoli: Panitia Yubelium 125 Fakhe Duria Somuso Dõdõ Ba Danõ Niha, 1990), 4
[3]. Fangesa (=pertobatan/penyesalan), dodo (=hati) sebua (=besar). Arti harfiahnya adalah
“pertobatan hati yang besar”. Namun diterjemahkan kemudian dengan “pertobatan
masal”. Sebua (besar) diterjemahkan dengan orang banyak atau masal
[4]. Pdt. F. Mendröfa (Ephorus BNKP 1956-1965) mencatat bahwa peristiwa ini berlangsung
dalam beberapa babak yaitu a). 1916-1919; b). 1920-1921; c). 1922-1924; d). 1928-1930; dan
d). 1938-1940. e). Antara tahun 1940-1953 masih berlangsung meski terputus-putus.
[5]. AFY, AMIN dan ONKP telah menjadi anggota PGI. Sementara GNKPI dan BKPN
masih belum.