Anda di halaman 1dari 123

Karya Penyelamatan dan PemeliharaanTuhan terhadap Gereja di Indonesia Pada Masa

Portugis (pra-1596)

Pada bagian ini, kita akan bersama-sama mempelajari tentang tindakan penyelamatan dan
pemeliharaan Tuhan terhadap gereja- gereja di Indonesia pada masa Portugis (pra-1596) dan
maknanya bagi kehidupan bertanggung jawab siswa pada masa kini. Sesudah mempelajari Materi
Pelajaran pada Bab I ini, kamu diharapkan dapat menunjukkan rasa tanggung jawab terhadap
Tuhan dalam pergaulan hidup masa kini sebagai wujud pengamalan tindakan penyelamatan dan
pemeliharaan-Nya terhadap gereja di Indonesia pada masa Portugis (pra-1596).
Sejarah gereja Indonesia pada masa Portugus ini akan dibahas dimulai dari pelayanan
gereja Katolik di Halmahera, Kondisi gereja di Maluku selatan selama masa Portugis, dinamika
yang terjadi dalam upaya misi di Maluku. Hal lain yang akan kita pelajari tentang tindakan
penyelamatan dan pemeliharaan Tuhan terhadap gereja di Indonesia mada masa Portugis melalui
perjalanan pelayanan yang dilakukan oleh Simon Vaz di Mamuya dan Pelayanan Fransiskus
Xaverius di Maluku. Tahukah kamu bahwa sekitar tahun 1500, abad ke-16, belum ada negara
Indonesia sebagai kesatuan politis. Zaman itu Indonesia merupakan wilayah pulau-pulau yang
bersifat otonom di bawah penguasa kerajaan masing-masing pulau, misalnya kerajaan Perlak di
Aceh, kerajaan Samudera Pasai, kerajaan Malaka, Kerajaan Aceh, Kesultanan Demak, Kerajaan
Mataram Islam di Jawa, Kerajaan Cirebon, Kerajaan Banten, Kerajaan Gowa-Tallo di Makassar,
Kerajaan Ternate dan Tidore, Kerajaan Banjar di Banjarmasin Keberadaan Indonesia pada abad ke-
16 ini lebih dikenal dengan sebutan kepulauan Nusantara, yang terletak di antara daratan Asia dan
benua Australia (Van den End, 7).
Penduduk di setiap wilayah kerajaan ini banyak yang sudah menganut agama Islam yang
dibawa masuk oleh saudagar-saudagar dari India Barat sejak tahun 1300. Mulai dari Aceh, agama
Islam pun tersebar ke daerah Selatan dan Timur Nusantara. Sekitar tahun 1525 seluruh pantai utara
dan sebagian besar Pulau Jawa sudah dikuasai oleh raja-raja Islam. Dari Jawa agama Islam
disebarkan ke Maluku (Van den End, 7-8). Mari kita pelajari lebih lanjut tentang pelayanan gereja
Katolik di Halmahera (Maluku Utara).

A. Pelayanan Gereja Katolik di Halmahera (Maluku Utara)

Di tengah-tengah kondisi masyarakat di wilayah Indonesia yang kebanyakan sudah


menganut agama Islam, agama Kristen mulai mengalami perluasan yang berlangsung sejak abad
ke-16. Masuknya agama Kristen di Indonesia pertama kali dibawa oleh orang- orang Portugis
setelah mereka berhasil merebut kota Malaka, pusat perdagangan di Asia
Tenggara. Dari Malaka orang-orang Portugis
segera berlayar ke daerah penghasil rempah-
rempah, yaitu Maluku. Jika kamu
sebelumnya belum tahu di mana letAK
Maluku termasuk Maluku Utara, maka
perhatikan peta
berikut ini: Pada saat tiba di Maluku, mereka disambut dengan baik oleh Sultan Ternate
dan mereka diberikan kesempatan oleh Sultan untuk membangun benteng di Ternate. Selain
menjadi pangkalan tentara dan saudagar-saudagar Portugis di Indonesia Timur, saat itu pun Ternate
menjadi pusat Misi Katolik Roma.
Mula-mula penyiaran agama Kristen kepada orang Kristen di Maluku diberikan kepada
orang-orang Portugis di dalam benteng di Ternate. Para imam bertugas untuk mengasuh tentara dan
pedagang-pedagang Portugis yang tinggal di sana. Di kemudian hari baru seorang awam, yang
berprofesi sebagai pedagang menarik orang-orang di pulau Halmahera dan daerah Mamuya untuk
menjadi Kristen. Di tengah kondisi orang Mamuya yang bertikai dengan tetangganya, mereka
mengeluh kepada pedagang tersebut dan ia bersikap simpatik kepada mereka. Ia pun memberi
nasehat, agar Mamuya mencari perlindungan pada orang-orang Portugis di Ternate. Lebih dari
pada itu, supaya perlindungan tersebut menjadi efektif, maka sebaiknya orang-orang Mamuya
menerima agama orang-orang Portugis, yaitu agama Kristen.
Dengan demikian tanah maupun jiwa mereka akan selamat. Nasehat ini disambut baik
oleh kepala Mamuya, yang bergelar kolano. Ia mengirim utusan ke Ternate agar mengadakan
hubungan dengan panglima Portugis di sana dan memohon bantuannya untuk melindungi orang-
orang Mamuya dari gangguan tetangga mereka. Selain itu, mereka hendak menyampaikan
keinginan orang Mamuya untuk masuk Kristen. Setelah utusan ini tiba di Ternate, mereka disambut
baik oleh penguasa Portugis dan mendapat pengajaran agama Kristen dari pendeta orang-orang
Portugis di Ternate.
Setelah itu, mereka dibaptis dan kembali pulang ke kampungnya untuk menyampaikan
laporan kepada kolano. Laporan tersebut disambut dengan gembira oleh kolano dan ia segera
berangkat ke Ternate. Ia pun dijemput oleh Panglima Portugis dan selama beberapa hari diajarkan
pengetahuan agama Kristen kemudian dibaptis. Setelah dibaptis ia mendapat nama baru “raja
Portugal serta gelar bangsawan Portugis: Don Joao”. Setelah mendapat nama baru, Don Jao
kembali ke Mamuya bersama seorang pendamping, yakni seorang imam bernama Simon Vaz.
Pada saat tiba di Maluku, mereka disambut dengan baik oleh Sultan Ternate dan mereka
diberikan kesempatan oleh Sultan untuk membangun benteng di Ternate. Selain menjadi pangkalan
tentara dan saudagar-saudagar Portugis di Indonesia Timur, saat itu pun Ternate menjadi pusat Misi
Katolik Roma.
Mula-mula penyiaran agama Kristen kepada orang Kristen di Maluku diberikan kepada
orang-orang Portugis di dalam benteng di Ternate. Para imam bertugas untuk mengasuh tentara dan
pedagang-pedagang Portugis yang tinggal di sana. Di kemudian hari baru seorang awam, yang
berprofesi sebagai pedagang menarik orang-orang di pulau Halmahera dan daerah Mamuya untuk
menjadi Kristen. Di tengah kondisi orang Mamuya yang bertikai dengan tetangganya, mereka
mengeluh kepada pedagang tersebut dan ia bersikap simpatik kepada mereka. Ia pun memberi
nasehat, agar Mamuya mencari perlindungan pada orang-orang Portugis di Ternate. Lebih dari
pada itu, supaya perlindungan tersebut menjadi efektif, maka sebaiknya orang-orang Mamuya
menerima agama orang-orang Portugis, yaitu agama Kristen.
Dengan demikian tanah maupun jiwa mereka akan selamat. Nasehat ini disambut baik
oleh kepala Mamuya, yang bergelar kolano. Ia mengirim utusan ke Ternate agar mengadakan
hubungan dengan panglima Portugis di sana dan memohon bantuannya untuk melindungi orang-
orang Mamuya dari gangguan tetangga mereka. Selain itu, mereka hendak menyampaikan
keinginan orang Mamuya untuk masuk Kristen. Setelah utusan ini tiba di Ternate, mereka disambut
baik oleh penguasa Portugis dan mendapat pengajaran agama Kristen dari pendeta orang-orang
Portugis di Ternate.
Setelah itu, mereka dibaptis dan kembali pulang ke kampungnya untuk menyampaikan
laporan kepada kolano. Laporan tersebut disambut dengan gembira oleh kolano dan ia segera
berangkat ke Ternate. Ia pun dijemput oleh Panglima Portugis dan selama beberapa hari diajarkan
pengetahuan agama Kristen kemudian dibaptis. Setelah dibaptis ia mendapat nama baru “raja
Portugal serta gelar bangsawan Portugis: Don Joao”. Setelah mendapat nama baru, Don Jao
kembali ke Mamuya bersama seorang pendamping, yakni seorang imam bernama Simon Vaz.
1
Tahukah kamu bahwa sekitar tahun 1500, abad ke-16, belum ada negara Indonesia sebagai
kesatuan politis. Zaman itu Indonesia merupakan wilayah pulau-pulau yang bersifat otonom di
bawah penguasa kerajaan masing-masing pulau, misalnya kerajaan Perlak di Aceh, kerajaan
Samudera Pasai, kerajaan Malaka, Kerajaan Aceh, Kesultanan Demak, Kerajaan Mataram Islam di
Jawa, Kerajaan Cirebon, Kerajaan Banten, Kerajaan Gowa-Tallo di Makassar, Kerajaan Ternate
dan Tidore, Kerajaan Banjar di Banjarmasin Keberadaan Indonesia pada abad ke-16 ini lebih
dikenal dengan sebutan kepulauan Nusantara, yang terletak di antara daratan Asia dan benua
Australia (Van den End, 7).
Penduduk di setiap wilayah kerajaan ini banyak yang sudah menganut agama Islam yang
dibawa masuk oleh saudagar-saudagar dari India Barat sejak tahun 1300. Mulai dari Aceh, agama
Islam pun tersebar ke daerah Selatan dan Timur Nusantara. Sekitar tahun 1525 seluruh pantai utara
dan sebagian besar Pulau Jawa sudah dikuasai oleh raja-raja Islam. Dari Jawa agama Islam
disebarkan ke Maluku (Van den End, 7-8). Mari kita pelajari lebih lanjut tentang pelayanan gereja
Katolik di Halmahera (Maluku Utara).

A. Pelayanan Gereja Katolik di Halmahera (Maluku Utara)

Di tengah-tengah kondisi masyarakat di wilayah Indonesia yang kebanyakan sudah


menganut agama Islam, agama Kristen mulai mengalami perluasan yang berlangsung sejak abad
ke-16. Masuknya agama Kristen di Indonesia pertama kali dibawa oleh orang- orang Portugis
setelah mereka berhasil merebut kota Malaka, pusat perdagangan di Asia
Tenggara. Dari Malaka orang-orang Portugis
segera berlayar ke daerah penghasil rempah-
rempah, yaitu Maluku. Jika kamu
sebelumnya belum tahu di mana letak
Maluku termasuk Maluku Utara, maka
perhatikan peta
berikut ini:
Gambar 1.1. Peta Maluku
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/
Pada saat tiba di Maluku, mereka disambut dengan baik oleh Sultan Ternate dan mereka
diberikan kesempatan oleh Sultan untuk membangun benteng di Ternate. Selain menjadi pangkalan
tentara dan saudagar-saudagar Portugis di Indonesia Timur, saat itu pun Ternate menjadi pusat Misi
Katolik Roma.
Mula-mula penyiaran agama Kristen kepada orang Kristen di Maluku diberikan kepada
orang-orang Portugis di dalam benteng di Ternate. Para imam bertugas untuk mengasuh tentara dan
pedagang-pedagang Portugis yang tinggal di sana. Di kemudian hari baru seorang awam, yang
berprofesi sebagai pedagang menarik orang-orang di pulau Halmahera dan daerah Mamuya untuk
menjadi Kristen. Di tengah kondisi orang Mamuya yang bertikai dengan tetangganya, mereka
mengeluh kepada pedagang tersebut dan ia bersikap simpatik kepada mereka. Ia pun memberi
nasehat, agar Mamuya mencari perlindungan pada orang-orang Portugis di Ternate. Lebih dari
pada itu, supaya perlindungan tersebut menjadi efektif, maka sebaiknya orang-orang Mamuya
menerima agama orang-orang Portugis, yaitu agama Kristen.
Dengan demikian tanah maupun jiwa mereka akan selamat. Nasehat ini disambut baik
oleh kepala Mamuya, yang bergelar kolano. Ia mengirim utusan ke Ternate agar mengadakan
hubungan dengan panglima Portugis di sana dan memohon bantuannya untuk melindungi orang-
orang Mamuya dari gangguan tetangga mereka. Selain itu, mereka hendak menyampaikan
keinginan orang Mamuya untuk masuk Kristen. Setelah utusan ini tiba di Ternate, mereka disambut
baik oleh penguasa Portugis dan mendapat pengajaran agama Kristen dari pendeta orang-orang
Portugis di Ternate.
Setelah itu, mereka dibaptis dan kembali pulang ke kampungnya untuk menyampaikan
laporan kepada kolano. Laporan tersebut disambut dengan gembira oleh kolano dan ia segera
berangkat ke Ternate. Ia pun dijemput oleh Panglima Portugis dan selama beberapa hari diajarkan
pengetahuan agama Kristen kemudian dibaptis. Setelah dibaptis ia mendapat nama baru “raja
Portugal serta gelar bangsawan Portugis: Don Joao”. Setelah mendapat nama baru, Don Jao
kembali ke Mamuya bersama seorang pendamping, yakni seorang imam bernama Simon Vaz.
Setelah kamu mengetahui Simon Vaz, maka pasti kamu akan melihat bahwa pelayanan
Simon Vaz berbuah manis di Mamuya. Sejumlah besar orang dan kampung- kampung sekitarnya
menjadi Kristen lewat kegiatan pekabaran Injil dan keteladanan hidupnya. Di setiap kampung yang
telah masuk Kristen didirikan sebuah salib yang besar. Untuk meningkatkan pengetahuan agama
Kristen bagi orang-orang yang baru menjadi Kristen ini, maka pendidikan agama diberikan kepada
mereka dengan menggunakan bahasa campuran Melayu-Portugis, kemudian diterjemahkan oleh
seorang jurubahasa ke dalam bahasa daerah. Namun, perjalanan misi di Halmahera ini tidak
berlangsung lama, karena pengaruh konflik antara Portugis-Ternate dan Spanyol-Jailolo.
Orang-orang Portugis membantu Ternate, sedangkan orang-orang Spanyol membantu
Jailolo. Dalam kondisi konflik tersebut, orang-orang Kristen Mamuya berada di pihak Portugis-
Ternate, mereka banyak yang menjadi korban dan Simon Vas terbunuh pada tahun 1535/6.
Sejumlah orang Kristen beralih ke agama Islam dan menjadi musuh Portugis. Demikian pun Don
Joao dipaksa dan diancam untuk mengingkari imannya dan masuk Islam, namun ia tidak mau.
Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika Antonio Galvao, panglima Portugis yang baru,
bertugas di Ternate pada tahun 1536-1540. Ia berhasil memulihkan kondisi di Halmahera Utara dan
selama masa pemerintahannya Misi kembali dihidupkan. Galvao tampil sebagai seorang panglima
yang bijaksana membuat beberapa tokoh masyarakat Ternate tertarik kepadanya dan menjadi
Kristen.
Pada masa kepemimpinan Galvao dibuka suatu sekolah untuk anak-anak Indo- Portugis
dan anak-anak Kristen pribumi belajar membaca dan menulis, dan menghafal
Katekismus Katolik-Roma. Tetapi sekolah ini ditutup setelah Galvao diganti dengan panglima yang
baru. Panglima pengganti Galvao dan pastor di Ternate terlalu sibuk dengan urusan-urusan dagang,
akhirnya pekerjaan Misi di Maluku utara kembali merosot.

B. Gereja di Maluku Selatan Selama Masa Portugis

Pada tahun 1538, tiga kampung di pulau Ambon menerima agama Kristen, dan bahwa
beberapa tahun kemudian jumlah jemaat telah bertambah menjadi tujuh. Sejumlah besar kampung-
kampung di Ambon dan kepulauan Lease menerima agama Kristen. Hal yang menonjol ialah
bahwa hasil tersebut tercapai walaupun kekristenan Ambon selama waktu itu kurang sekali
mendapat pemeliharaan dari luar. Para rohaniawan yang membaptis orang-orang Kristen pertama
itu tidak lama lagi berangkat. Setelah ia berangkat, ia mengirim seorang imam Yesuit. Akhir tahun
itu juga datang seirang imam, tetapi setengah tahun lagi ia dipanggil di Maluku Utara, di mana ia
mati syahid tak lama kemudian. Kalau dihitung, maka dalam ke-20 tahun pertama, hanya 5 atau 6
tahun lamanya Gereja di Ambon dilayani oleh seorang imam.
Dalam tahun-tahun setelah kunjungan Xaverius usaha pekabaran injil terus berkembang.
Kekristenan Ambon pada waktu itu kurang sekali mendapatkan pemiliharaan dari luar. Xaverius
sendiri hanya beberapa bulan saja lamanya tinggal di Ambon, ia mengirim seorang imam Yesuit
yang bekerja keras namun belum dua tahun dia mati dan anggota kristen di Ambon berdiri sendiri,
hanya lima dan enam tahun lamanya gereja di Ambon dilayani seorang imam.
Pada tahun 1569-1570 merupakan masa tentram, para misionaris membaptis
8.1 orang dewasa dan anak-anak. Orang-orang kristen juga di terima di beberapa kampung
Pulau Seram Selatan. Setelah itu peristiwa-peristiwa datang mengganggu misi di Ternate dan
kehidupan jemaat di Ambon. Setelah tahun 1560-an biasanya ada dua atau tiga orang missioner,
mereka mendirikan agama seperti yang sudah dilakukan oleh Xavirius. Mereka mendidik dan
mengangkat tenaga-tenaga setempat para pater menjalankan satu sekolah, anak-anak diberi
pendidikan mengenai iman Kristen. Dalam waktu yang panjang gereja di Maluku berkembang
dengan baik. Mereka mendidik, mengangkat tenaga setempat. Para pater menjalankan sebuah
sekolah dengan mengajarkan agama dan mata pelajaran lainnya yang menjelaskan pokok-pokok
iman Kristen.

endiri pun tidak selalu menghindari metode-metode yang lama. Baptisan massal berjalan terus,
begitu juga pemisahan sakramen-sakramen. Xaverius dan kawan-kawan mengingatkan kita kepada
seorang “Rasul Maluku” yang lain, dan yang juga membawa semangat baru di dalam rangka sistim
yang lama, yaitu Joseph Kam.
Kita telah melihat bahwa pada tahun-tahun 1540-an orang-orang Yesuit memilih Maluku
sebagai salah satu wilayah kerja mereka. Mereka membawa semangat baru dan metode baru, yang
mendobrak ideologi-negara. Tetapi mereka harus tetap bekerja di dalam rangka lama. Dan mereka
sendiri tidak bebas dari suatu ideologi-gereja yang tidak segan memakai alat-alat negera demi
melindungi dan memajukan Misi.
D. Pelayanan Fransiskus Xaverius di Maluku
Dalam tahun 1540-an, tenaga- tenaga
misi, yaitu pater-pater Serikat Yesus (orang-
orang Yesuit) datang untuk mengabarkan Injil
di Maluku. Mereka menggunakan metode Misi
yang baru. Mereka tidak mau lagi membaptis
orang sebelum dipastikan bahwa setelah
baptisan akan dilanjutkan dengan pendidikan
agama yang memadai, sehingga orang menjadi
sadar akan arti perpindahan agama.
Gambar 1.2. Fransiscus Xaverius
Sumber: https://tirto.id/kisah-fransiskus-
xaverius- penyebar-katolisisme-di-
indonesia-cmhd
Mereka berusaha membimbing orang supaya dapat ikut serta dalam komuni (perayaan Misa atau
perjamuan). Mereka juga tidak setuju kalau orang yang dibaptis diberi nama “Kristen”. Di antara
para misionaris Yesuit yang bekerja di Maluku, Fransiscus Xaverius adalah seorang misionaris
yang paling terkenal. Agar kita lebih mengenal sosok Fransiscus Xaverius, maka mari kita
mengerjakan aktivitas berikut ini: Amatilah gambar berikut ini:
Temukan dari berbagai sumber, terkait dengan kisah kehidupan Fransiscus Xaverius. Setelah
menemukan kisah Fransiscus Xaverius maka berikan tanggapan atas pertanyaan berikut ini:
Fransiscus Xaverius bekerja di Maluku kurang lebih 15 bulan lamanya, sejak tahun 1546-
1547, mula-mula di Ambon, kemudian di Ternate dan Halmahera, kembali di Ternate dan akhirnya
di Ambon. Karena Xaverius berhasil dalam mengerjakan Misi yang dipercayakan gereja
kepadanya, maka ia dinyatakan sebagai “orang kudus” (Santo) oleh Gereja Katolik-Roma. Di
Ternate, Xaverius berusaha untuk mengubah kehidupan orang- orang Kristen Portugis dan Indo-
Portugis yang menyimpang dari ajaran agama Kristen. Setiap hari, ia menyelenggarakan pelajaran
agama Kristen untuk anak-anak dan orang dewasa yang berlangsung selama 2 (dua) jam.
Metode mengajar yang dipakai Xaverius adalah mengkaji dan menjelaskan kepada para
pendengarnya rumusan-rumusan pokok iman Kristen, seperti Pengakuan Iman Rasuli, Doa Bapa
Kami, Salam Maria, Kesepuluh Perintah. Kalau pendengarnya adalah orang-orang Indonesia,
Xaverius memakai terjemahan bahasa Melayu untuk menjelaskan rumusan-rumusan tersebut.
Selanjutnya, para pendengar mengungkapkan ulang naskah-naskah itu sampai hafal.
Bahkan teks-teks tersebut diberi lagu-lagu, sehingga orang bisa menyanyikannya di jalan umum
maupun di ladang dan dalam rumah-rumah mereka. Pada malam hari, ia keliling kota sambil
memegang sebuah lonceng kecil, dan berjalan dari rumah ke rumah untuk mengajak orang
mendoakan jiwa-jiwa di api penyucian dan orang-orang yang hidup dalam dosa berat, dan yang
tidak mau bertobat sehingga akan binasa kelak.
Di Ternate, Xaverius menyusun pula katekismus dalam bentuk suatu syair yang
mengandung penjelasan tentang Pengakuan Iman Rasuli. Katekismus ini memiliki salinan dalam
bahasa Melayu, selain dalam bahasa Portugis. Syair yang terungkap di dalamnya adalah
“Bersukacitalah kalian umat Kristen, mendengar dan mengetahui bahwa Allah membuat segala
barang ciptaan-Nya untuk kepentingan manusia”. Isinya terdiri dari 39 pasal, yang susunannya
disesuaikan dengan urutan Keduabelas Pasal Iman (Pengakuan Iman Rasuli).
Dari Ternate, Xaverius bertolak ke Ambon. Ia tiba di Ambon pada Februari 1546 dan
menemukan 7 kampung yang telah masuk Kristen, yakni: Hatiwe, Amantelu, Nusaniwe, Amahusu,
Eri, Silale dan Namalatu. Cara bekerja Xaverius untuk mengabarkan Injil kepada orang-orang
Ambon sama seperti di Ternate. Bersama seorang anak laki-laki yang membawa salib di depannya
dan sekaligus menjadi jurubahasa, serta ditemani oleh rombongan anak-anak lain Xaverius berjalan
mengunjungi orang dari rumah ke rumah dan menanyakan apakah ada orang yang sakit dalam
rumah itu atau adakah anak-anak yang mau dibaptis. Ketika pertanyaan diiakan orang, ia masuk
rumah, mengangkat tangan dan berdoa; lalu anak-anak yang menghantar dia mengucapkan
Pengakuan Iman Rasuli dan Kesepuluh Perintah dalam bahasa Melayu, dan Xaverius sendiri
membacakan kutipan dari Injil untuk orang sakit atau membaptis anak-anak. Selain itu, dengan
bantuan jurubahasa, ia mengumpulkan orang-orang dewasa maupun anak-anak dan mengajarkan
kepada mereka doa-doa dan pokok-pokok iman yang sudah diterjemahkannya ke dalam bahasa
Melayu.
Selain Xaverius bekerja untuk memelihara dan meningkatkan kualitas iman orang- orang
Kristen, ia juga menyebarkan Injil kepada orang-orang yang masih menganut agama nenek-
moyang. Ia berjalan mengelilingi seluruh daerah Leitimor (bagian Selatan pulau Ambon) dan
mengunjungi pulau Seram, Saparua, Nusa Laut di mana belum terdapat orang-orang Kristen.
Namun hasilnya kecil. Hanya di Nusa Laut ia berhasil membaptis satu
orang. Xaverius agak kecewa dengan hasil pekerjaannya tersebut, sehingga saat ia keluar
meninggalkan pulau itu, ia membuka sepatu dan mengebaskan debu daripadanya.
Tiba saat bagi Xaverius pun untuk meninggalkan Ambon. Namun, sebelum pergi ke luar
Ambon ia mengangkat beberapa orang, yaitu mereka yang paling maju dalam pengetahuan tentang
iman Kristen untuk menjadi pengajar bagi teman-teman sekampungnya. Keberadaan Xaverius di
Ambon telah meninggalkan banyak cerita kenangan karena keramahannya yang luar biasa bagi
orang-orang Kristen, orang-orang Islam, dan penganut agama suku. Diceritakan bahwa Salib
Xaverius pernah hilang dalam laut pada saat usahanya untuk menenangkan ombak yang bergelora.
Tetatpi pada hari berikutnya, di pantai Seram, seekor kepiting besar datang meletakkan Salib
tersebut di kakinya. Selain itu, pernah di suatu kampung di Saparua yang menderita karena
kekurangan air ia berdoa minta hujan, dan hujan pun segera datang sehingga seluruh penduduik
kampung itu masuk Kristen.
Nilai-nilai Iman Kristen
Bab
dalam Perkembangan Gereja
II di Indonesia Pada Masa Portugis (Pra-1596)

Pada bagian pelajaran bab satu kita sudah belajar bersama-sama tentang tindakan
penyelamatan dan pemeliharaan Tuhan terhadap gereja- gereja di Indonesia pada masa Portugis
(pra-1596) dan maknanya bagi kehidupan siswa pada masa kini. Selanjutnya pada bab dua ini, kita
akan mempelajari tentang nilai-nilai iman Kristen dalam perkembangan gereja di Indonesia pada
masa Portugis (pra-1596) dan maknanya bagi kehidupan siswa sehari-hari dalam pergaulan
bermasyarakat pada masa kini.
Sesudah mempelajari materi pelajaran pada bab dua ini, kamu diharapkan dapat
menunjukkan rasa tanggung jawab kepada Tuhan dalam pergaulan sehari-hari sebagai wujud
pengamalan tentang nilai-nilai iman Kristen terhadap gereja di Indonesia pada masa Portugis (pra-
1596). Adapun topik pembelajaran kita terdiri dari bagaimana kepatuhan terhadap penugasan,
memberikan penghargaan terhadap sesama dan cara adaptasi dengan lingkungan

Kata Kunci:Penghargaan, Sesama, Adaptasi,


Kepatuhan, Penugasan,
Pada bagian ini kita akan membahas nilai kepatuhan terhadap penugasan. Pengertian
kepatuhan adalah sifat suka menurut, taat kepada perintah dan aturan yang diberikan. Pekabaran
Injil yang didasarkan kepada Amanat Agung Tuhan Yesus dalam kitab Matius 28:19-20: Pergilah
dan jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan
Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.
Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman, semakin tersebar
sampai ke seluruh dunia, termasuk wilayah Asia secara khususnya di Indonesia.
Dalam catatan sejarah gereja di Indonesia pada abad ke 2 Masehi keberadaan Gereja
ditemukan di Sumatera Utara. Namun sejarah awal kekristenan awal di Indonesia itu hilang dan
tidak diketahui perkembangannya. Perkembangan misi pekabaran Injil di Indonesia baru ditulis
pada abad ke-16. Di mana saat itu dunia politik dan perdagangan mengalami kemanjuan besar sejak
ditemukan jalan laut ke Asia oleh bangsa Eropa.
Pada tahun 1511, bangsa Portugis berhasil merebut Malaka, kota yang menjadi pusat
perdagangan Nusantara. Bangsa Portugis berhasil mengirim pasukan armadanya dan berhasil
menguasai pulau Maluku, yang menjadi sumber komoditi rempah-rempah dan memiliki nilai jual
tinggi. Sementara itu kerajaan Majapahit mulai kehilangan kekuasaannya, sedangkan kerajaan
dipantai Sumatera menyatakan diri untuk berdiri sendiri. Begitu juga kerajaan-kerajaan di pulau
Jawa di kota-kota pelabuhan berani
melepaskan diri dari Majapahit. Rasul Paulus menuliskan dalam Kisah Para Rasul 20:24. Tetapi
aku tidak menghiraukan nyawaku sedikitpun, asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan
menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku untuk memberi kesaksian
tentang Injil kasih karunia Allah. Pernyataan Rasul Paulus di atas menegaskan kepada kita sebagai
murid Tuhan Yesus bahwa kita harus melaksanakan tugas dengan sungguh-sungguh sebagai pelajar
Kristen di lingkungan sekolah, gereja dan masyarakat.
Pada bagian ini kita belajar dari tokoh dalam sejarah pekabaran Injil di kepulauan Maluku
yaitu: Panglima Antonio Galvao. Antonio Galvao adalah seorang prajurit Portugis, ia merupakan
anak Duarte Galvao lahir tahu 1490 di Lisbon Portugal, meninggal tahun 1557. Pertama Misionaris
Antonio Galvaro memulai pelayanannya di Maluku pada tahun 1536-1540. Antonio Galvao adalah
seorang yang bijaksana dan baik hati selama masa pemerintahannya sehingga pekerjaan misi
berkembang dengan baik.
Situasi daerah Halmahera utara secara ekonomi, hubungan dipulihkan, bahkan dari hasi
pekerjaan misi tersebut ada beberapa tokoh masyarakat Ternate masuk jadi Kristen karena mereka
tertarik dengan teladan pribadi Antonio Galvao. Di Ternate akhirnya dibuka suatu sekolah , di
mana anak-anak keturunan Indo-Portugis dan anak- anak Kristen pribumi belajar bersama
membaca, menulis, dan menghafal katekismus Katolik Roma. Seiring waktu berjalan pelayanan
sekolah ini ditutup karena tidak ada yang mengelola dengan baik. Para pelayan panglima dan
Pastor yang mengganti Galvao mereka sibuk dengan urusan pekerjaan dan usaha.
B. Nilai Penghargaan Terhadap Sesama

Penghargaan ialah sesuatu yang diberikan pada perorangan atau kelompok jika mereka
melakukan suatu keunggulan atau kontribusi di bidang tertentu. Penghargaan biasanya diberikan
dalam berbagai bentuk seperti gelar, sertifikat, medali, uang atau nobel. Dalam Perjanjian Baru 1
Korintus 16: 14-18 menjelaskan kisah pelayanan Stefanus kepada Jemaat. Ayat 18. Karena mereka
menyegarkan rohku dan roh kamu. Hargailah orang-orang yang demikian. Stefanus adalah tokoh
yang dihormati oleh umat Kristen sebagai protomartir atau juga disebut martir perdana agama
Kristen. Kisah Parah Rasul menjelaskan Stefanus adalah seorang diaken Gereja pertama di
Yerusalem yang begitu aktif dan bersemangat melayani Tuhan bagi sesama. Ketika dihadapkan
kepada mahkamah agama dengan tuduhan penodaan agama ia malah mengecam sidang majelis,
sehingga Stefanus dihukum dengan cara dirajam.
Pada tanggal 8 Februari 1815, Joseph Kam berangkat ke Ambon melalui Pasuruan. Joseph
Kam menikah dengan seorang gadis Indo-Belanda yang bernama Sara Maria Timmerman pada
tanggal 28 April 1815. Mereka dikarunai dua orang anak, tetapi seorang meninggal pada usia
muda. Sedangkan anak yang kedua Joseph Karel, menjadi pendeta mengikuti jejak ayahnya dan
melayani di Maluku Tenggara. Joseph Kam disebut Rasul Maluku karena seluruh pekabaran Injil
yang dilakukannya dengan kesaksian menurut ajaran rasul-rasul. Joseph Kam menjadi saksi
seorang pekabar Injil yang sangat gigih dalam melakukan pelayanannya di Ambon. Dalam
pelayanannya dia memfokuskan kepada para petobat baru. Para misionaris yang pertama
menginjakkan kakinya di kepulauan Maluku, mereka ialah beberapa rahib, lalu mereka mendarat di
Ternate pada tahun 1522. Para rahib menaruh sikap penghargaan terhadap sesama di Maluku
dengan
cara pelayanan misi pekabaran Injil yang menghargai sesama manusia. Melalui sejarah gereja di
Maluku Utara dapat dilihat bahwa para misionaris ditolak dan diusir bahkan dibunuh (Simon Vaz)
karena kadang mengorbankan hak-hak kemanusiaan dalam masyarakat. Lalu mereka mulai bekerja
di Halmahera pada tahun 1534, tetapi disebabkan kebengisan pegawai-pegawai Portugis, rakyat
bersepakat untuk mengusir semua orang kulit putih dan memaksa orang yang telah masuk Kristen
itu murtad lagi. Simon Vaz, seorang pater Fransiskan, mati dibunuh selaku syahid pertama di
Maluku 1536.
Dalam melakukan tugas pelayanan gereja, sikap penting yang perlu diterapkan adalah
menghargai sesama manusia dan bersikap ramah terhadap siapapun. Perilaku yang membedakan
manusia berdasarkan status sosial, jabatan, etnis adalah pantangan besar untuk dilakukan. Hal mana
seperti yang dilakukan oleh Xaverius selama menjalankan tugas misi di Maluku Utara dan Maluku.
Ia dikenal sebagai seorang yang memiliki sikap ramah dan cinta terhadap sesama manusia, tidak
membeda-bedakan manusia berdasarkan agama yang dianut oleh mereka. Perilakunya seperti
demikian telah berhasil menimbulkan rasa cinta-kasih penduduk Maluku, baik yang Kristen
maupun Islam dan penganut agama suku terhadapnya.
Xaverius tak menyebarkan Katolik dengan cara debat dengan orang-orang awam. Setelah
dia bisa bahasa setempat, dia menggali budaya lokal yang cocok untuk menanamkan nilai-nilai
Katolik dalam kehidupan sehari-hari di kalangan masyarakat setempat. Xaverius sadar bahwa
“tidak semua unsur kebudayaan bukan Kristen harus dianggap hina ataupun ditolak begitu saja,
sebaliknya ada banyak hal yang patut dihargai. agama Kristen harus disampaikan sesuai dengan
pendidikan dan kebudayaan setempat,”. Karena agama yang diajarkannya mengajarkan kasih
sayang, “di setiap tempat, sifatnya yang ramah dan perhatiannya yang tulus menarik banyak orang
untuk datang dan percaya untuk mengenal Kristus,”.
Xaverius di anggap berhasil, “keberhasilannya ini terutama disebabkan oleh kasih
sayangnya kepada penduduk setempat. Ia selalu membela penduduk setempat kalau di tindas orang
Portugis,”.Model-model pekabaran Injil yang selalu menaruh sikap penghargaan terhadap sesama
baik yang seiman maupun yang tidak seiman. Kini banyak di lakukan oleh gereja dan badan-badan
misi melalui mendirikan sekolah untuk masyarakat dan melayani melalui kesaksian.
Salah satu model misi pekabaran Injil yang baik adalah beradaptasi dengan lingkungan.
Adaptasi adalah menyesuaikan diri dengan lingkungan bukan Injil dipertentangkan dengan
lingkungan, sehingga kekristenan yang baik dapat bertumbuh di lingkungan, tidak terasing dari
lingkungan. Pengertian adaptasi adalah cara bagaimana organisme mengatasi tekanan lingkungan
sekitarnya untuk bertahan hidup. Organisme yang mampu berdaptasi akan bertahan hidup,
sedangkan yang tidak mampu beradaptasi akan menghadapi kepunahan atau kelangkaan jenis.
Tuhan Yesus memberi teladan yang baik dan sempurna dalam hal adaptasi dengan
lingkungan. Seperti ada tertulis dalam Yohanes 4 : 9-42 dalam kisah percakapan Yesus dengan
perempuan Samaria. Ayat 9. Maka kata perempuan Samaria itu kepada-Nya: “Masakan Engkau,
seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria?” (Sebab orang Yahudi tidak bergaul
dengan orang Samaria.) Firman Tuhan menjelaskan bagaimana Tuhan Yesus bisa masuk kepada
perempuan Samaria yang berbeda budaya, sosial dan keyakinan pada waktu itu. Akhirnya Yesus
bisa menyadarkan dan mempertobatkan perempuan Samaria bahwa ada Mesias yang disebut juga
Kristus sebagai Juruselamat, sehingga lewat pertobatannya itu satu kota atau kampung datang
kepada Yesus, ayat 30. Maka mereka pun pergi keluar kota lalu datang kepada Yesus.
Pendekatan adaptasi yang dilakukan Xaverius membuat dirinya mudah diterima oleh
masyarakat setempat. Penerimaan tersebut membuat ia dapat leluasa melakukan tugas
pelayanannya, seperti mengunjungi jemaat-jemaat Kristen di Halmahera yang
berada dalam keadaan berantakan dan tidak pernah dikunjungi oleh seorang Imam. Pola adaptasi
yang diterapkan Xaverius sedemikian merupakan salah satu pola kontekstual yang relevan untuk
dilakukan sehubungan dengan konteks kemajemukan di Indonesia saat ini. Di akhir pemerintahan
Portugis tahun 1605 jumlah orang Kristen di Ambon dan Lease bertambah menjadi 16.000 orang.
Dalam menjalankan tugas pemberitaan Injil, tindakan menyesuaikan diri dengan lingkungan adalah
suatu cara tepat yang kontekstual untuk ditempuh. Xaverius sewaktu berada di Ternate telah
melakukan hal tersebut. Ia tidak hanya memperhatikan orang-orang yang sudah Kristen. Ia bergaul
juga dengan orang-orang Islam. Ia menjalin persahabatan akrab dengan Sultan Hairun yang muda
yang di kemudian hari akan menjadi musuh besar untuk orang-orang Portugis.
26
27
Perkembangan Gereja Pada Masa VOC
Bab
di Indonesia ( 1596-1799)
III

Pada bagian pelajaran bab tiga ini, kita akan bersama-sama mempelajari tentang
perkembangan sejarah gereja di Indonesia pada masa pemerintahan Verenigde OoastIndische-
Compagnie (VOC). Adapun topik pembahasan kita pada bagian ini seputar nama nama gereja
dalam pengasuhan Verenigde OoastIndische-Compagnie (VOC) pada tahun 1602-1799, bentuk
pelayanan gereja yang dilakukan oleh tokoh Sebastian Danckaerts, tokoh Adrian Hulsebos, dan
tokoh Heurenius.
Sesudah mempelajari materi pelajaran pada bab tiga ini, kamu diharapkan dapat
menunjukkan rasa tanggung jawab terhadap Tuhan dalam pergaulan pelajar masa kini sebagai
wujud pengamalan terhadap perkembangan gereja pada zaman VOC.

Anak anak tahukah kamu kapan pertama kali Pemerintahan Verenigde OoastIndische-
Compagnie (VOC) masuk di Indonesia? gereja apa yang dibawah? dari mana asal usul datangnya
gereja tersebut? daerah mana saja yang menjadi pusat pelayananya? dan siapa saja tokoh-tokoh
yang menyebar luaskannya? untuk mengetahui dan mengerti jawabannya, mari kita belajar
bersama-sama lebih lanjut.

A. Gereja Dalam Pengasuhan VOC

Pada tahun 1596 kapal Belanda pertama masuk di perairan Indonesia, dimulai saat itu
kekuasaan Belanda semakin berkembang dengan cepat dibumi Nusantara sehingga perlu diatur
suatu sistem pemerintahannya. Pada tahun 1602 dibentuklah suatu organisasi yang mengatur
perkapalan Verenigde OoastIndische - Compagnie (VOC), kepala dari organisasi ini diberikan
kekuasaan untuk mengatur seluruh daerah jajahan Belanda mulai dari negara India Selatan sampai
negara Taiwan.
Di Indonesia organisasi VOC ini saat itu dipimpin oleh seorang Gubernur Jenderal, yang
tinggal di Jakarta (Batavia). Dengan adanya organisasi Verenigde OoastIndische - Compagnie
(VOC) ini keberadaan gereja Protestan Calvinis di Nusantara makin berkembang dalam

29
pengawasan dan tanggungjawab VOC. Saat itu gereja sangat diistimewakan oleh pemerintah VOC.
Jemaat-jemaat di Nusantara merupakan perwujudan jemaat dari gereja Belanda yang berasas ajaran
Calvinis. Untuk mengerti sejarah dan perkembangan gereja gereja di Indonesia pada abad ke-17
sampai ke-18, kita semua perlu mengetahui tentang sejarah gereja yang terjadi di Belanda. Pada
saat itu di

30
Negara Belanda sedang terjadi gejolak dan perubahan agama di mana Katolik Roma sebagai agama
resmi Negara diganti dengan agama Protestan

Di pihak Katolik Roma, melalui Negara, terus berupaya untuk menguasai gereja Protestan
namun usaha mereka tidak berhasil. Dalam tahun 1550 di Belanda sudah terbentuk jemaat-jemaat
ajaran Calvinis, tetapi karena waktu itu raja yang memerintah masih berasal dari Spanyol dan tetap
setia kepada agama Katolik Roma maka jemaat jemaat Protestan ditindas dengan keras, sehingga
muncullah pemberontakan dari Protestan. Pada waktu itu pasukan tentara Spanyol berusaha
memadamkan pemberontakan dengan bengis, dan ahkirnya puluhan ribu orang meninggal.
Dalam tahun 1590 Belanda Utara menjadi sebuah Negara yang merdeka. Kemerdekaan
Belanda justru membawa kesulitan besar bagi gereja Katolik Roma, di mana anggota jemaat
dicurigai, dilarang perayaan ibadah di muka umum, hanya boleh beribadah di rumah pribadi atau
gedung gereja samaran. Dalam tahun kemerdekaan itu orang Belanda mulai datang ke Indonesia
dengan membawa misi gereja Protestan Calvinis. Setelah pemerintah masuk VOC di Indonesia
mengusai kota, maka dikusai juga oleh gereja Protestan Calvinis, sehingga muncul gereja beraliran
Calvinis, seperti Gereja Protestan Maluku, Gereja Protestan Ternate dan Tidore semua
diselenggarakan di bawah kekuasaan VOC sebagai Negara.
a. Gereja Protestan di Maluku

Di pulau-pulau Maluku Utara, pada tahun 1570, merupakan titik balik dalam
perkembangan gereja Protestan Calvinis. Di mana para misionaris yang telah dibunuh dan diusir,
dan jemaat yang telah dirusak mulai dibangun kembali. Tercatat sekitar tahun 1565 jumlah daerah
yang menjadi kampung Kristen sebanyak 47 wilayah dengan jumlah anggota jemaat sekitar 80.000
jiwa. Kehadiran Belanda di Maluku dengan kebijakan Verenigde OostIndische Compagnie (VOC)
itu membawa pengaruh baik bagi perkembangan agama Kristen. Bagi VOC, kepentingan agama
dan kepentingan negara saling berkaitan.

Gambar.3.1. Gereja Protestan Maluku


Sumber : pgi.or.id
Artinya VOC dengan segala tenaga mendukung pemeliharaan orang-orang Kristen dan
pekabaran Injil di daerah-daerah yang secara langsung dikuasainya, yaitu Ambon, Lease dan
Banda. Daerah-daerah ini menjadi daerah pusat agama Kristen di Maluku. Begitu juga pulau-pulau
yang terletak di sekitar pulau Seram Selatan, Kei, Aru, pulau- pulau Barat-daya, tetap ada
perhatian, tetapi sangat kurang. Setelah keadaan menjadi aman dan tertib, dibentuklah suatu majelis
gereja di Ambon pada tahun 1625. Tugas Majelis ini menyelenggarakan pemeliharaan rohani di
kota Ambon dan jemaat di luarnya. Dan di kemudian hari, terdapat juga majelis di Haruku dan
Saparua. Di dalam Majelis ini duduk orang-orang Belanda, pegawai-pegawai Kompeni atau lain-
lain, tetapi juga orang- orang Ambon. Pada tahun 1636, ada dua orang Ambon dipilih menjadi
Penatua dan dua orang yang menjadi Diaken. Disamping menjadi anggota-anggota di Ambon
mereka juga mempunyai kedudukan sebagai kepala negeri.

b. Gereja Protestan di Ternate dan Tidore

Gereja Protestan Ternate dan Tidore dimulai pada tahun 1547-1570, Pulau Ternate merupakan
pusat kegiatan misi, di situ menetap juga kepala orang Yesuit yang bekerja di Maluku, Penduduk
Ternate sendiri kebanyakan beragama Islam. Tetapi pulau itu merupakan pangkalan orang Portugis
di Maluku dan Misi tetap terikat kepada kekuasaan negara Portugis itu berarti mereka terlibat
dalam persaingan kekuasaan politik.
Sultan yang berkuasa pada zaman itu adalah Sultan Hairun. Ia ingin mendirikan suatu kerajaan
besar yang meliputi Maluku dan daerah sekitarnya. Hairun tidak suka kalau ada daerah yang
menerima agama Kristen. Secara pribadi Hairun tidak menyukai orang Portugis bahkan ia dua kali
ditangkap oleh panglima tanpa alasan. Sejarah jemaat ini berlangsung terus sampai abad ke-18
bahkan sampai kepada zaman kita. Jemaat-jemaat Protestan ini berdiri sendiri di Ternate dan
Tidore bahkan tugas pengembangan agama Kristen makin maju dan berkembang, ada sejumlah
orang Ternate dan Tidore dibaptis.
c. Gereja Protestan di Sulawesi Utara

Gambar 3.2 Peta Kepulauan Talaud


https://images.app.goo.gl/WUer5cRW7yBzv6BD
6
d. Gereja Protestan Injili di Minahasa

Pada tahun 1560-an, agama Kristen mulai masuk dan mendapat tempat yang baik di
Sulawesi Utara dan kepulauan Sangir Talaud, di sini penyebaran agama Kristen terjalin dengan
baik walaupun ada persaingan antara orang Potugis dan Ternate, juga orang Spanyol dan Belanda.
Di mulai dari dua kapal kora-kora Portugis yang berlayar ke Sulawesi Utara dan seorang
misionaris ikut dalam perjalanan tersebut, mereka sampai di Manado pada bulan Mei 1563.
Masyarakat di pulau ini lebih banyak hubungannya dengan dunia luar, dan lebih terbuka dengan
agama baru, sistem organisasi politisnya berupa kerajaan. Sampai di Manado misionaris Pater
Magelhaes disambut gembira, penduduk senang menerima kehadiran orang Portugis. Dalam
pelayanannya Pater menggunakan waktu dua minggu untuk mengajar mereka tentang pokok-pokok
agama Protestan di sesuaikan dengan daya dan pengertian mereka.
Melalui Pelayanan Pater raja dan 1500 orang rakyatnya memberi diri dibaptis, dan waktu itu
raja pulau Sangir Siau ada di Manado ikut dibaptis, dan diberikan nama baptis Jeremino oleh Pater.
Dalam kurun beberapa tahun kemudian rakyat pulau Sangir Siau menyusul untuk dibaptis.
Peristiwa baptisan itu merupakan permulaan gereja di Minahasa.

Gambar 3.3. Gereja Masehi Injili di Minahasa


Sumber : https://manado.tribunnews.com
Pater mengunjungi beberapa daerah lain di Sulawesi Utara, seperti Kaidipan pantai utara
Gorontalo dan membaptis 2000 orang setelah pengajaran selama delapan hari. Akan tetapi
misionaris-misionaris mulai melihat bahwa cara bekerja ini kurang bertanggung jawab. Apa
gunanya membaptis banyak orang tanpa persiapan dan tidak ada tenaga misionaris yang
melajutkan untuk mendidik. Pada tahun 1675 untuk pertama kali seorang Pendeta berkunjung ke
Sangir namun ia meninggal, menurut laporan masih banyak terdapat orang Kristen di wilayah
daerah Minahasa seperti Bolaang Itam, Kaidipan, Buol dan Attingola. Secara keseluruhan jumlah
orang Kristen di Sulawesi Utara tahun 1705 sebanyak 2500 jiwa.

e. Gereja Protestan di Sangir Talaud

Gambar: 3.4 Gereja Masehi Injili Sangihe


Talaud Sumber : https://gemistbaitallah

Pekabaran Injil di kepulauan Sangir Talaud mulai masuk pada tahun 1606-1677. Kepulauan
Sangir Talaud merupakan daerah perbatasan Filipina di mana pengaruh Spanyol sangat kuat, dan
Verenigde OoastIndische - Compagnie (VOC) yang bersekutu dengan raja Ternate. Saat itu raja
Siau tetap setia kepada raja Spanyol, sedangkan raja Sangir Timur dan Tagulandang lebih berpihak
kepada raja Ternate. Kemenangan Spanyol dari Ternate berdampak baik dalam perkembangan
agama Kristen, Misionaris Pater mengajarkan asas asas Kristen kepada masyarakat Siau, dan lewat
pelayanan tersebut semuanya menjadi Kristen. Dari catatan sejarah pelayanan para misionaris di
Sangir Talaud antara tahun 1628-1677 terdapat 10.000 orang Kristen.
B. Pelayanan Pendeta Sebastian Dankaerts

Berikut kita akan mempelajari tokoh penting dalam perkembangan sejarah gereja di
Indonesia. Pendeta Sebastian Danckaerts lahir di Den Haag pada tahun 1592 dan meninggal dunia
tahun 1634. Sebastian Danckaerts menempuh pendidikan di Fakultas Teologi Universitas Leiden
Belanda, ia dipanggil untuk menjadi pendeta di wilayah VOC pada tahun 1615.
Satu tahun kemudian, dengan menggunakan armada musiman VOC, Danckaerts berangkat ke
Banten dan menjadi pendeta di kantor VOC hingga akhir tahun 1617. Di Banten Sebastian
ditugaskan menjadi Pendeta menggantikan Casparus Wiltens, karena saat itu Pendeta Casparus
ditugaskan di daerah Banda. Setelah bertugas beberapa bulan di Banten, pada bulan Januari tahun
1618 Pendeta Sebastian dipindah tugaskan di Ambon. Pendeta Sebastian Danckaerts sangat pandai
berkhotbah dalam bahasa Melayu. Namun yang menjadi fokus Sebastian adalah mengurus sekolah.
Bentuk dan staretegi pelayanan yang dilakukan di sekolah adalah setiap hari mereka
memberikan beras kepada anak anak, sehingga banyak anak-anak tertarik untuk sekolah. Selain itu
Pendeta Sebastian membuka sekolah untuk para guru, di mana ia melatih dan menyiapkan banyak
guru supaya terampil dan siap bekerja di sekolah maupun pelayanan Jemaat.
C. Pelayanan Adriaan Jacobsz Hulsebus

Pada bagian ini kita akan mempelajari tokoh pekabaran Injil yaitu Pendeta Adriaan Hulsebos.
Adriaan Hulsebos (1616-1622). Pada bulan Desember 1669, diangkatlah Pendeta Adriaan Jacobsz
Halsebos menjadi Pendeta pertama di Batavia. Ibadah perjamuan kudus pertama kali dirayakan
pada 3 Januari 1621. Sekaligus awal pembentukan Majelis Gereja Protestan Batavia.
Majelis gereja fokus melayani dalam bahasa Belanda di gedung pusat VOC yang saat ini
Museum Fatahillah. Sementara pelayanan ibadah dalam bahasa Portugis khusus bagi pengikut
Portugis. Ia diutus ke Maluku oleh Gubernur Jenderal Coen untuk mengatur pelayanan Gereja di
sana. Di Banda, Adriaan Hulsebos mengatur jemaat dan sekolah dengan rapih, tetapi ia meninggal
ketika kapalnya tenggelam waktu memasuki Teluk Ambon.
Pada bagian ini menegaskan bagaimana konteks geografis Indonesia, yaitu Nusantara adalah
wilayah kepulauan. Ada berbagai resiko yang dialami oleh para pelayan Tuhan ketika mengadakan
pelayanan dari satu pulau ke pulau lain, seperti yang dialami oleh pendeta Adriaan J. Hulsebos.
D. Pelayanan Justus Heurnius (1624-1638) Jakarta-Saparua

Berikut kita belajar kisah pelayanan Pendeta Justus Heurnius. Justus Heurnius lahir di
Belanda tahun 1587 kemudian meninggal tahun 1652 di Belanda pada usia 65 tahun. Setelah
belajar ilmu kedokteran dan ilmu Teologi pada usia 36 tahun ia berangkat ke Hindia Belanda,
sekarang ini Indonesia, pada tahun 1624. Pendeta Heurnius tinggal di Jakarta pada tahun 1624-
1632, lalu pada tahun 1632-1638 ia tinggal di Saparua. Pendeta Heurneus adalah anggota
Verenigde Ooastindische - Compagnie (VOC) yang terus bekerja keras di antara orang-orang
Tionghoa.
Dalam pelayanannya Heurneus telah menyusun kamus bahasa Tionghoa, kamus bahasa
Latin dan bahasa Belanda. Ia menterjemahkan pengakuan Iman Rasuli ke dalam bahasa Tionghoa,
Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Melayu. Pendeta Justus Heurnius mengusulkan mendirikan
sekolah Teologi bagi orang Indonesia sendiri, tetapi gereja di Belanda tidak mau karena takut
ajaran gereja tidak bertahan secara murni di sekolah tersebut.
A. Rangkuman

1. Sejarah gereja Kristen Calvinis Indonesia di Pulau Maluku dan Sulawesi dimulai ketika
Verengde Ooastindische-Compagnie (VOC) Belanda didirikan pada tahun 1602. Sebelumnya
agama Katolik Roma mengusainya dan menjadi agama Negara.
2. Gereja dalam pengasuhan Verengde Ooast-Compagnie (VOC) mengalami perkembangan yang
baik di beberapa daerah Maluku, Saparua, Manado, Minahasa, Sangir Talaud, Siau
Tagulandang.
3. Di pulau Maluku para misionaris melakukan pelayanan kepada jemaat-jemaat serta
membangun sekolah-sekolah dan menyiapkan para guru. Para misionaris di Maluku tersebut
adalah Sebastian Danckaerts, Adriaan Hulsebos dan Heurenius.
4. Di Sulawesi Utara dan Sangir Talaud ada misionaris Pater Maegalhaes yang meyebarkan
agama Kristen dan membaptis sehingga agama Kristen berkembang pesat.
F. Latihan Soal
I. Soal Pilihan Ganda. Pilihlah jawaban A,B,C atau D yang dianggap paling benar!
1. Pemerintah Verengde OoastIndische - Compagnie (VOC) Belanda masuk ke Indonesia
dengan misi perdagangan, namun juga di dalamnya ada misi penyebaran agama Kristen.
Berikut daerah pertama penyebaran agama Kristen masuk ke Indonesia…
A. pulau Siau
B. pulau Ambon
C. pulau Seram
D. pulau Saparua
2. Sejarah perkembangan gereja Kristen di Indonesia tidak bisa lepas dari sejarah gereja di
Belanda pada waktu itu. Di mana agama Katolik Roma diganti menjadi agama Kristen. Di
Indonesia agama Kristen menjadi berkembang, tahun berapa agama Kristen masuk ke
Indonesia....
A. tahun 1596
B. tahun 1695
C. tahun 1796
D. tahun 1896
3. Dalam pelayanan gereja Kristen di Maluku para misionaris berjuang supaya orang Maluku
percaya kepada Yesus. bentuk pelayanan yang dilakukan Pendeta Sebastian adalah…
A. Berkhotbah dan mengajar jemaat.
B. bertani untuk bertahan hidup.
C. bekerja sama dengan masyarakat.
D. memimpin pasukan VOC.
4. Pemerintah Verengde OoastIndische - Compagnie (VOC) menyebarkan agama Kristen.
Tidak lepas dari peran misionaris. Berikut nama misionaris pertama penyebaran agama
Kristen masuk ke Maluku…
A. Pendeta Sebastian.
B. Raja Hairun.
C. Pendeta Adriaan.
D. Raja Spanyol.

40
5. Pemerintah Verengde Ooastindische - Compagnie (VOC) mengatur jemaat dan sekolah
dengan rapi, tetapi ia meninggal ketika kapalnya tenggelam waktu memasuki Teluk
Ambon. Misionaris yang meninggal tersebut adalah…
A. Raja Saparu
B. Pdt. Adriaan
C. Raja Ambon
D. Pdt. Sabastian
6. Pada tahun 1560-an, agama Kristen mulai masuk dan mendapat tempat yang baik di
Sulawesi Utara dan kepulauan Sangir Talaud, Perkembangan tersebut berkat perjuangan
misionaris …
A. Raja Siau
B. Pater Megalhaes
C. Pdt. Sebastian
D. Raja Tagulandang
7. Pada tahun 1632-1638 Pendeta Heurnius tinggal di Saparua, dan ia anggota Verenigde
Ooastindische - Compagnie (VOC) yang terus bekerja keras diantara orang - orang
Tionghoa. Bentuk pelayanannya adalah …
A. menterjemahkan kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Melayu.
B. mengajarkan azas Kristen.
C. memberikan bantuan.
D. menterjemahkan injil kedalam bahasa daerah.
8. Kepulauan Sangir Talaud merupakan daerah perbatasan dengan Filipina di mana pengaruh
Spanyol sangat kuat, dan Verenigde Ooastindische Compagnie (VOC) bersekutu dengan
raja Ternate. Tahun berapakah VOC masuk ke Sangir Talaud? …
A. tahun 1777
B. tahun 1887
C. tahun 1997
D. tahun 1606

41
9. Misionaris Pater mengajarkan asas asas Kristen kepada masyarakat Siau, dan lewat
pelayanan tersebut semuanya menjadi Kristen. Berapa jumlah orang Kristen dibaptis? …
A. 10. 000 orang
B. 10. 500 orang
C. 11. 000 0rang
D. 11. 500 Orang
10. Pater mengunjungi beberapa daerah lain di Sulawesi Utara, seperti Kaidipan pantai utara
Gorontalo dan mengajar selama delapan hari dalam pelayanan itu banyak yang dibaptis.
Berapa jumlah orang Kaidipan dibaptis? …
A. 2000 orang
B. 1000 orang
C. 3000 orang
D. 2500 orang

II. Essay. Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan baik dan benar

1. Sebutkan tahun VOC datang ke pulau Maluku.


2. Sebutkan Pelayanan yang dilakukan Pater Megalhaeis di Manado.
3. Sebutkan pelayanan yang dilakukan Sebastian di Maluku.
4. Tuliskan pendapatmu alasan mengapa orang Kristen harus dibaptis.
5. Menurut pendapatmu memberitakan kabar baik yaitu Firman Allah adalah tugas siapa?
Bab Perkembangan Gereja
Pada Masa Penjajahan Hindia Belanda di Indonesia (tahun 1800-1860
IV

Pada periode 1800-1860 terjadi beberapa perubahan yang memperlihatkan perkembangan


gereja. Melalui pelajaran kali ini, kita akan fokus mempelajari perkembangan gereja dan nilai-nilai
iman yang berkembang pada masa penjajahan Hindia Belanda di Indonesia (tahun 1800-1860) dan
maknanya bagi siswa dalam pergaulan bermasyarakat pada masa kini. Kamu diharapkan dapat aktif
terlibat dalam pemberlakuan nilai-nilai iman Kristen yang khusus muncul pada masa penjajahan
Hindia Belanda di Indonesia (tahun 1800-1860). Nilai-nilai tersebut dapat menjadi pegangan dalam
kamu merespon berbagai bentuk tantangan yang muncul pada masa ini. Selain itu diharapkan kamu
nantinya dapat mengambil bagian mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Pada bagian sebelumnya kita telah menemukan bahwa zaman VOC boleh dikatakan
hampir tidak ada usaha pekabaran Injil kepada orang-orang pribumi dari pihak VOC itu sendiri.
Kondisi tersebut disebabkan karena VOC sebagai suatu serikat dagang, selalu mementingkan
keuntungan dan kemajuan usaha perdagangannya. VOC hanya berusaha memelihara kerohanian
orang-orang Kristen yang sudah ada terutama orang- orang Belanda yang bekerja di Indonesia, baik
sebagai tentara, pegawai atau pedagang. Untuk memelihara mereka inilah dikirim tenaga-tenaga
pelayan gereja dari negeri Belanda. Tenaga-tenaga yang mula-mula dikirim adalah penghibur-
penghibur orang- orang sakit dan baru kemudian menyusul beberapa orang pendeta.
Setelah bubarnya VOC akhir tahun 1799 dan diganti dengan kekuasaan pemeriantah
Kerajaan Belanda, maka kegiatan-kegiatan kekristenan dan usaha-usaha Pekabaran Injil di
Indonesia dilakukan oleh dua wadah, yakni Gereja Protestan di Indonesia (GPI) dan lembaga-
lembaga PI. GPI merupakan wadah yang mengorganisir seluruh gereja yang ditinggalkan oleh
VOC itu. Lembaga-lembaga PI melakukan kegiatan- kegiatan zending atau pekabaran Injil di
daerah-daerah yang mendapat izin dari pemerintah Belanda dan juga “meminjamkan” tenaga
kepada GPI.

A. Gereja dan Perubahannya pada Masa Penjajahan Hindia Belanda

Sekitar tahun 1800, keadaan gereja di Indonesia memprihatinkan. Jumlah anggota-


anggotanya selama dua abad hampir tidak bertambah. Pendeta-pendeta tinggal empat orang saja
(1810). Belum ada pendeta bangsa Indonesia berwenang penuh. Kebanyakan orang Kristen selama
sepuluh tahun lebih tidak dilayani oleh seorang pendeta dan tidak mempunyai Kitab Suci dalam
bahasa yang dapat dipahaminya. Kebanyakan jemaat tidak mempunyai majelis yang dapat
memimpin mereka. Pada zaman itu agama Kristen hilang dari beberapa daerah seperti Bolaang
Mongodow, Maluku Tenggara dan lain-lainnya. Tampaknya seakan-akan agama itu akan hilang
dari seluruh Indonesia. Berbeda dengan pemerintahan VOC yang hanya mengakui satu gereja yakni
Gereja Protestan, pemerintah kerajaan Belanda yang baru dipengaruhi oleh semangat “pencerahan”
di Eropa, menjadi bersifat netral. Di kerajaan Belanda kebebasan agama mulai diberlakukan.
Karena itu tidak ada lagi gereja negara, dan negara tidak akan memihak lagi kepada agama Kristen.
Tetapi ada dua kenyataan yang dihadapi di Indonesia

44
oleh pemerintah kolonial Belanda yang m enghambat pelaksanaan dari azas itu secara penuh,

yakni:
 Adanya sejumlah jemaat di Indonesia bekas asuhan dari VOC. Pemerintah Belanda
sebagai pewaris VOC, tidak bisa melepaskan jemaat-jemaat itu begitu saja. Ini
mendorong pemerintah kolonial Belanda untuk mendirikan Gereja Protestan di
Indonesia yang dapat menampung dan mengasuh seluruh jemaat bekas asuhan VOC
itu.
 Pemerintah kolonial Belanda sadar bahwa orang-orang Islam di Indonesia rata- rata
bersikap lebih memusuhi pemerintah Belanda daripada orang-orang Kristen. Untuk
mengatasi keadaan ini, maka pemerintah kolonial Belanda mengambil kebijaksanaan
bahwa sebaiknya daerah-daerah yang masih beragama suku dikristenkan, sedangkan
daerah Islam jangan. Dalam usaha untuk mengkristenkan daerah-daerah yang masih
menganut agama suku itulah maka lembaga-lembaga PI diizinkan masuk ke Indonesia.
Pada zaman VOC, lembaga-lembaga PI belum diizinkan masuk ke Indonesia.

Pada permulaan pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia, keadaan jemaat- jemaat


Kristen yang diwariskan oleh VOC itu tidak menentu. Pendeta yang bertugas untuk melayani
jemaat-jemaat itu hanya ditinggalkan beberapa orang saja. Daerah-daerah di luar pusat tidak
dikunjungi lagi. Karena itu jumlah anggota jemaat semakin mundur. Karena kesulitan ekonomi
pemerintah Belanda pada waktu itu yang diakibatkan keadaan perang yang terjadi di negeri itu,
maka gereja Belanda tidak sanggup membantu berupa uang dan tenaga. Pemerintah Belanda
berusaha mengatasi keadaan ini, barulah setelah Inggris mengembalikan Indonesia yang sudah
sempat dijajah beberapa tahun dari tahun 1811-1816. Raja Belanda yang baru pada waktu itu yakni
Wilian 1, berusaha menggabungkan seluruh jemaat Protestan yang ada di Indonesia menjadi satu
badan, yakni Gereja Protestan di Indonesia. Dan gereja ini langsung ditempatkan di bawah asuhan
pemerintahan kolonial Belanda. Untuk mengatur penyelenggaraan gereja ini, maka ditetapkanlah
aturan-aturan dari gereja tersebut.
Isi dari aturan-aturan dari gereja itu secara garis besarnya adalah sebagai berikut:
 Yang menjadi anggota GPI adalah semua jemaat dan orang-orang Kristen Protestan.
 GPI dipimpin oleh sebuah Dewan Pengurus yang diangkat oleh Gubernur Jenderal
yang berkedudukan di Batavia (Jakarta). Ketua Dewan Pengurus ini harus seorang
yang menjabat pangkat tinggi dalam pemerintahan atau negara. (baru pada abad 20
ketua dari dewan pengurus itu ditetapkan dari kalangan pendeta). Anggota dari Dewan
Pengurus ini ialah pendeta-pendeta jemaat Protestan yang ada di Batavia dan tiga
orang anggota jemaat yang terkemuka.
 Jemaat setempat dipimpin oleh sebuah Majelis Jemaat yang dipilih oleh jemaat
setempat itu sendiri, tetapi pengangkatannya harus disetujui oleh pemerintah setempat.
 Para pendeta yang melayani di gereja itu adalah yang diangkat dan ditempatkan oleh
Gubernur Jenderal setelah ada usul dari Pengurus Pusat.
 Tugas-tugas gereja antara lain ialah:
a. Memelihara kepentingan agama Kristen pada umumnya dan kepentingan Gereja
Protestan khususnya.
b. Menambah pengetahuan keagamaan dan memajukan kesusilaan Kristen.
c. Menegakkan ketertiban serta kerukunan dan memupuk cinta kepada pemerintah
dan tanah air.
 Hubungan dengan gereja di negeri Belanda akan berlangsung melalui sekelompok
pendeta yang ada di sana, yang bertugas untuk menguji dan meneguhkan pendeta-
pendeta dan pekerja-pekerja gereja yang lain yang akan diutus ke daerah-daerah
jajahan.
Kalau kita memperhatikan isi dari peraturan tersebut di atas maka ada tiga hal yang perlu
kita catat yang berhubungan dengan keberadaan GPI, yakni:
 Dari peraturan-peraturan tersebut nampak bahwa walaupun secara teori pemerintah
telah menyatakan bersifat netral terhadap agama/gereja, namun dalam prakteknya GPI
itu masih berada di bawah kekuasaan pemerintah, dan bahkan GPI yang diberi tugas
untuk “menegakkan ketertiban”, berarti GPI dijadikan sebagai alat negara untuk
menegakkan kekuasaannya di daerah jajahannya itu.
 Pemerintah mencampuri secara langsung urusan-urusan gereja. Akibat dari campur
tangan pemerintah itu ialah:
- GPI diberi struktur yang tidak sesuai dengan hakekat gereja. Menurut hakekatnya,
gereja harus dipimpin oleh wakil-wakil Kristen sebagai Kepala Gereja, dan
berpedoman kepada Firman Tuhan. Tetapi GPI dipimpin oleh tokoh-tokoh
pemerintah, yang berpedoman kepada kepentingan negara Belanda di Indonesia.
- Perbedaan antara gereja dan negara menjadi kabur.
- Gereja itu tidak mempunyai pengakuan iman, dan tidak ada tugas PI dan pelayanan
sesama manusia. GPI hanya suatu “lembaga yang bertugas memenuhi kebutuhan-
kebutuhan religius masyarakat Protestan di Indonesia”.

GPI itu hanya diurus oleh orang-orang Belanda saja. Orang-orang Indonesia diabaikan
sama sekali. Orang-orang yang menyusun peraturan itu seakan-akan tidak mengetahui
bahwa dalam gereaja itu juga terdapat orang-orang Indonesia bahkan mayoritas anggotanya
adalah orang-orang Indonesia. Dalam pengurus GPI tercipta juga pangkat-pangkat yang
bersifat hierarkhis yakni:

Pendeta: orang Belanda yang langsung ditetapkan oleh gubernur jenderal

Pendeta pendeta yang diutus oleh lembaga pekabaran Injil dipekerjakan sebagai pembantu di dala
Pembantu:

Pendeta Pribumi: yakni pendeta yang diangkat dari orang Indonesia yang
biasanya tidak bisa melayani sakramen.

Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa GPI pada mulanya mempunyai tiga
ciri yakni:
- Ia diikat dan diperalat negara.
- Ia tidak mempunyai tata gereja dan pengakuan iman sebagaimana selayaknya dimiliki
oleh suatu gereja.
- Ia tidak memberi suara kepada orang-orang Indonesia yang berada di dalamnya dan
secara resmi tidak mengaku bertanggungjawab kepada mereka yang masih di luar.
- Gereja-gereja di Indonesia yang ada sekarang yang berasal dari GPI atau Gereja
Pemerintah itu, selain dari GPI itu sendiri ialah:
a. Gereja Protestan Maluku (GPM) yang berpusat di Ambon.
b. Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM) yang berpusat di Manado.
c. Gereja Masehi Injili Timor (GMIT) yang berpusat di Kupang.
d. Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) yang berpusat di Jakarta.

Pada tahun 1814 Joseph Kam bersama dua rekannya tiba di Indonesia. Joseph Kam adalah
Pendeta pertama yang diutus dari negeri Belanda ke Indonesia untuk melayani orang-orang Kristen
di sana. Pemerintah Portugis dan VOC mengaku sebagai pemerintah Kristen. Kepentingan rakyat
indonesia harus dimajukan dalam segala hal. Dan negara tidak campur tangan dalam soal agama
bahkan bersifat netral.
Setelah orang Inggris mengembalikan jajahannya di Indonesia kepada Nederland (1816),
barulah keadaan Gereja diatur secara baru, dilakukan oleh raja baru William I, menggabungkan
jemaat gereja menjadi satu badan yang diberikan nama Gereja Protestan di Hindia Belanda
(Indonesia) dengan aturan yang berlaku yaitu GPI dipimpin oleh suatu pengurus yang diangkat oleh
gubernur jendral yang berkedudukan di Batavia.

B. Gereja Protestan di Hindia Belanda (Indonesia)


Tugas gereja ialah memelihara kepentingan agama Kristen pada umumnya dan Protestan
pada khususnya. Hubungan dengan gereja di Nederland akan berlangsung melalui sekelompok
Pendeta di situ yang antar lain bertugas menguji dan menguhkan pendeta-pendeta lain. Akhir tugas
gereja menurut peraturan GPI, di samping memperkuat kedudukan Belanda di Indonesia ialah
memupuk pengetahuan religius dan memajukan kesusilaan rakyat, orang-orang yang menyusun
peraturan GPI seakan tidak mengetahui bahwa dalam gereja itu terdapat orang-orang indonesia.
Pada tahun 1814, Joseph Kam bersama dua rekannya tiba di Indonesia. Setelah sepuluh
tahun lebih, dialah pendeta pertama yang berhasil diutus dari negeri Belanda ke Indonesia untuk
melayani orang-orang Kristen di sana. Ia telah diutus oleh badan swasta, yaitu suatu Lembaga
Pekabaran Injil. Di bidang politis dan ekonomis maupun di bidang agama, cita-cita itu biasanya
kalah berhadapan dengan kepentingan penjajah. Di sini kita tidak akan berbicara mengenai
kebijaksanaan pemerintah Hindia-Belanda dalam hal politik dan ekonomi, kita hanya akan
memperhatikan apa yang dilakukannya di bidang agama. Pertimbangan pertama mendorong
pemerintah untuk menciptakan Gereja Protestan di Indonesia, dan pertimbangan kedua menentukan
sikap pemerintah terhadap lembaga-lembaga pekabaran Injil. Pemerintah tetap membiayai jemaat-
jemaat di Indonesia, tetapi secara resmi sudah tidak ada lagi ikatan antara gereja dan negara.
Keadaan jemaat-jemaat Kristen Protestan dalam tahun-tahun ini tidaklah menentu.
Ia menggabungkan semua jemaat Protestan di Indonesia menjadi satu badan, yang diberi
nama Gereja Protestan di Hindia Belanda. Dan raja menetapkan juga peraturan-peraturan yang
akan berlaku di dalam gereja ini. Hubungan dengan gereja di Nederland akan berlangsung melalui
sekelompok pendeta di situ antara lain bertugas menguji dan meneguhkan pendeta-pendeta dan
pekerja-pekerja lainnya yang hendak diutus ke daerah-daerah jajahan. Tetapi komisi ini tidak dapat
berbuat apa-apa tanpa persetujuan Menteri Daerah-daerah jajahan. Campur tangan pemerintah itu
mempunyai akibat lain lagi. Akibatnya GPI diberi struktur yang tidak sesuai dengan hakekat gereja.
Menurut hakekatnya, gereja dipimpin oleh mereka yang memegang jabatan, sebagai wakil-wakil
Kepala Gereja, yaitu Kristus. Dalam memberi pimpinan, pedoman mereka adalah Firman Tuhan.
Kita bisa menarik kesimpulan bahwa GPI itu diikat dan diperalat oleh negara, ia tidak mempunyai
tata gereja dan pengakuan iman sebagaimana selayaknya dalam suatu gereja, ia tidak memberi
suara pada orang-orang Indonesia yang
berada di dalamnya dan secara resmi tidak mengaku bertanggungjawab atas mereka yang masih di
luar.

C. Para Zendeling pada Periode 1800-1860


Orang-orang Kristen berkebangsaan Indonesia pada masa 1800-1860 ini terdapat baik di dalam
lingkungan GPI maupun di lingkungannya. Yang paling banyak adalah Maluku, timor, kemudian
juga Minahasa. Tenaga-tenaga yang diutus oleh lembaga-lembaga zending di Eropa pada umumnya
berasal dari kalangan pietis. Pada zaman VOC usaha pekabaran Injil terikat pada suatu lembaga
gereja tertentu.
Jumlah utusan zending pada masa 1815-1860 bekerja dalam jemaat-jemaat GPI dan di
lapangan penginjilan tidaklah seberapa besar. Dalam pekerjaannya mereka tidak mau mengikat diri
kepada ajaran dan kita mendapat kesan bahwa tidak ada metode yang tegas. Para zending
menggunakan bahasa Melayu dalam gereja dan sekolah karena di daerah itu terdapat berbagai
bahasa suku. Para zending mementingkan keputusan orang perorangan untuk menerima Kristus
sebagai Juruselamat. Yang dibahas di sini ialah individualisme artinya dalam mengusahakan
supaya orang bertobat dan supaya taraf hidup orang ditingkatkan.
Pemberitaan Firman oleh para zendeling pada zaman itu bersifat Kristosentris artinya Yesus
menjadi pusat pemberitaan. Perbandingan dengan cara kerja VOC masih sama, misalnya sikap
negatif terhadap kebudayaan pribumi. Ada pula perbedaannya bahwa zending pada abad ke 19 jauh
lebih banyak memberi perhatian kepada penterjemahan Alkitab kedalam bahasa daerah. Dalam
beberapa hal zending abad ke 19 lebih maju daripada zending pada zaman VOC.
Tetapi jemaat itu tidak mungkin betul-betul menggantikan masyarakat yang lama sebab para
zendeling pertama-tama dan terutama melihat jemaat itu sebagai kumpulan orang-orang perorangan
yang saleh. Biasanya para zendeling mempraktekkan pemisahan sakramen. Hal itu berarti bahwa
orang yang sesudah persiapan yang begitu lama akhirnya dibaptis itu belum juga boleh turut
merayakan perjamuan kudus. Hubungan para zendeling dengan orang-orang Kristen berkebangsaan
Indonesia bertolak dari anggapan yang beranggapana bahwa zendeling adalah dia yang sudah
paling maju.
Anggapan ini tidak merupakan bukti bahwa para zendeling bersikap rasistis, tetapi berakar
dalam latarbelakang pietis mereka. Pietisme sangat menekankan perlunya usaha untuk maju dalam
kesucian hidup, dan orang-orang Pietis biasa mengukur diri sendiri dan orang-orang lain dengan
patokan itu. Maka jikalau kita menerima pemakaiannya dalam menilai orang-orang Kristen, maka
wajarlah para zendeling, yang umumnya berasal dari tradisi Kristen yang kokoh, memandang diri
sebagai sudah lebih maju daripada orang- orang Kristen pribumi yang baru saja ke luar dari dunia
kekafiran.
Dari situlah keseganan di pihak para zendeling untuk menerima orang-orang pribumi, melalui
baptisan menjadi saudara-saudara seiman dan keseganan untuk mengakui mereka yang sudah
dibaptis sekalipun sebagai saudara-saudara seiman dalam arti yang penuh. Tentu hal ini tidak
berarti bahwa para zendeling memandang rendah orang-orang Kristen di Indonesia atau tidak rela
untuk mengorbankan segala sesuatu bagi mereka termasuk kesehatan diri sendiri dan keluarga.
Utusan-utusan zending pada abad ke-19 datang ke Indonesia, sedikit banyak dipengaruhi oleh
piestisme. Dalam beberapa hal, mereka meneruskan kebijaksanaan gereja VOC sebelumnya; dalam
hal-hal lain mereka benar-benar memulai suatu babak baru dalam sejarah zending. Yang membuat
kita bersikap kritis terhadap metode mereka ialah terutama cirinya yang individualitis.
Aktivitas 3: Mari Belajar dari Ludwig Ingwer Nommensen
Nommensen adalah seorang tokoh
pengabar Injil berkebangsaan Jerman yang
terkenal di Indonesia. Hasil dari pekerjaannya
adalah berdirinya sebuah gereja terbesar di
wilayah suku bangsa Batak Toba. Gereja itu
bernama Huria Kristen Batak Protestan
(HKBP). Tidak berlebihan, jikalau ia diberi
gelar Rasul Batak. Ia sudah memberikan
seluruh hidupnya bagi pekerjaan pengabaran
Injil di tanah Batak. Nommensen dilahirkan
pada tanggal 6 Februari 1834 di sebuah pulau
kecil, Noordstrand, di Jerman Utara.

Gambar 4.2. Ludwig Ingwer


Nommensen Sumber:
https://alchetron.com/Ludwig-Ingwer-
Nommensen

Nommensen sejak kecil sudah hidup di dalam kemiskinan dan penderitaan. Sejak kecil ia sudah
mencari nafkah untuk membantu orang tuanya. Ayahnya adalah seorang yang miskin dan selalu
sakit-sakitan. Pada umur 8 tahun, ia mencari nafkah dengan menggembalakan domba milik orang
lain pada musim panas, dan pada musim dingin ia bersekolah. Pada umur 10 tahun ia menjadi
buruh tani sehingga pekerjaan itu tidak asing lagi baginya. Semuanya ini tampaknya merupakan
persiapan bagi pekerjaannya sebagai pengabar Injil di kemudian hari.
Tahun 1846 Nommensen mengalami kecelakaan yang serius. Pada waktu ia bermain kejar-
kejaran dengan temannya, tiba-tiba ia ditabrak oleh kereta berkuda. Kereta kuda itu menggilas
kakinya sehingga patah. Oleh karenanya, terpaksa ia hanya bisa berbaring saja di tempat tidur
selama berbulan-bulan. Teman-temannya biasa datang untuk menceritakan pelajaran dan cerita-
cerita yang disampaikan guru di sekolah. Cerita-cerita itu adalah tentang pengalaman pendeta-
pendeta yang pergi memberitakan Injil kepada banyak orang, dan Nommensen sangat tertarik
mendengar cerita-cerita itu.
Lukanya makin parah, sehingga dia tidak dapat berjalan sama sekali. Sekalipun sakit,
Nommensen belajar merajut kaos, menjahit, dan menambal sendiri pakaiannya yang robek. Pada
suatu hari, ia membaca Yohanes 16:23-26, yaitu tentang kata-kata Tuhan Yesus bahwa siapa yang
meminta kepada Bapa di Surga, maka Bapa akan mengabulkannya. Nommensen bertanya kepada
ibunya, apakah perkataan Yesus itu masih berlaku atau tidak. Ibunya meyakinkannya bahwa
perkataan itu masih berlaku. Ia mengajak ibunya untuk berdoa bersama-sama. Nommensen
meminta kesembuhan dan dengan janji, jikalau ia sembuh maka ia akan pergi memberitakan Injil.
Doanya dikabulkan, dan beberapa minggu kemudian kakinya sembuh. Setelah sembuh,
Nommensen kembali menggembalakan domba. Janjinya selalu menggodanya untuk segera
memenuhinya. Oleh karena itu, ia melamar untuk menjadi penginjil pada Lembaga Pekabaran Injil
Rhein (RMG). Beberapa tahun lamanya ia belajar sebagai calon pengabar Injil.
Tahun 1861 ia ditahbiskan menjadi pendeta. Dan sesudahnya ia berangkat menuju Sumatera
dan tiba pada bulan Mei 1862 di Padang. Ia memulai pekerjaannya di Barus. Ia mulai belajar
bahasa Batak dan bahasa Melayu, yang cepat sekali dapat dikuasainya. Sekarang ia mulai
mengadakan kontak-kontak dengan orang-orang Batak, terutama dengan raja-raja. Ia tidak jemu
mengadakan perjalanan keliling untuk menciptakan hubungan pergaulan yang baik. Ia mempelajari
adat-istiadat Batak dan mempergunakannya dalam mempererat pergaulan.
Nommensen meminta izin untuk masuk ke pedalaman namun dilarang oleh pemerintah, karena
sangat berbahaya bagi seorang asing. Namun Nommensen tidak takut. Ia memilih Silindung
sebagai tempat tinggalnya yang baru. Ia mendapat gangguan yang hebat di sini, namun ia tidak
putus asa. Ia berhasil mengumpulkan jemaatnya yang pertama di Huta Dame (Kampung Damai).
Tahun 1873 ia mendirikan sebuah gedung gereja, sekolah, dan rumahnya sendiri di Pearaja. Sampai
sekarang Pearaja menjadi pusat HKBP. Pekerjaan Nommensen diberkati Tuhan, sehingga Injil
makin meluas. Kemudian dia pindah tempat tinggal ke kampung Sigumpar pada tahun 1891, dan ia
tinggal di sana sampai dia meninggal.
Nommensen memberitakan Injil di tanah Batak dengan berbagai macam cara. Ia
menerjemahkan Alkitab Perjanjian Baru (PB) ke dalam bahasa Toba dan menerbitkan cerita-cerita
Batak. Ia juga berusaha untuk memperbaiki pertanian, peternakan,
meminjamkan modal, menebus hamba-hamba dari tuan-tuannya, serta membuka sekolah-sekolah
dan balai-balai pengobatan.
Dalam pekerjaan pengabaran Injil, ia menyadari perlunya mengikutsertakan orang- orang
Batak. Maka dari itu, dibukalah sekolah penginjil yang menghasilkan penginjil- penginjil Batak
pribumi. Juga untuk kebutuhan guru-guru sekolah, dia membuka pendidikan guru. Karena
kecakapan dan jasa-jasanya dalam pekerjaan penginjilan, maka pimpinan RMG mengangkatnya
menjadi Ephorus pada tahun 1881.
Pada hari ulang tahunnya yang ke-70, Universitas Bonn memberikan gelar Doktor Honoris
Causa kepada Nommensen. Nommensen meninggal pada umur yang sangat tua -
- 84 tahun. Ia meninggal pada tanggal 12 Mei 1918. Nommensen dikuburkan di Sigumpar, di
tengah-tengah suku bangsa Batak setelah bekerja dalam kalangan suku bangsa ini selama 57 tahun
lamanya.
Selama di tanah Batak, Nommensen telah mendirikan 510 sekolah dengan murid 32.700 orang,
menterjemahkan Perjanjian Baru dalam bahasa Batak tahun 1876. Dalam pekerjaan pekabaran Injil,
ia menyadari perlunya mengikutsertakan orang Batak pribumi. Maka untuk kebutuhan guru-guru
sekolah, ia membuka pendidikan guru. Walaupun bukan merupakan missionaris pertama untuk
tanah Batak tetapi Nommensen adalah missionaris yang memegang peranan paling penting dalam
pengabaran Injil di sana. Orang Batak memberikan gelar “Ompungta”; bapak kita-tidak gentar
walau diracuni, ditangkap dan hendak dipersembahkan kepada dewa, dituduh mata-mata Belanda
sehingga layak mendapatkan julukan “Rasul orang Batak”.

Setelah membaca kisah dari Ludwig Ingwer Nommensen maka jawablah pertanyaan bersama
kelompok belajarmu berikut ini:

D. Kondisi Orang-orang Kristen Indonesia Periode 1800-1860


Jumlah orang-orang Kristen berkebangsaan Indonesia bertambah besar karena
usaha zending di Minahasa membawa hasil yang baik. Di Pulau Kalimantan hanya beberapa ratus
orang yang beralih dari kepercayaan tradisional kepada agama Kristen, di Jawa Timur dan Tengah
ada lebih banyak. Itu hasil gerakan pekabaran Injil di kalangan orang Jawa. Bahkan ada juga yang
masukkarena tertarik kepada pribadi seseorang pekabar injil, dan lain alasan. Tetapi ada juga orang
yang masuk karena alasan yang sah yaitu karena tertarik pada pribadi Kristus yang di dalamnya
mereka melihat Allah secara utuh. Persiapan untuk baptis rata-rata dijalankan dengan kesungguhan
yang lebih besar dari zaman VOC. Bahan-bahan katekisasi yang dipakai dalam persiapan itu
berbeda-beda. Ada yang menggunakan karangan-karangan yang baru.
Dalam ibadatnya tetap mengikuti pola barat. Mulailah diadakan nyanyian baru dalam
bahasa daerah atau dalam bahasa Melayu yang sederhana. Para peserta lebih banyak menghayati
isinya dalam arti mereka memberikan juga sumbangan. Dalam hal
organisasi gereja orang indonesia kurang diberi kesempatan untuk memainkan peranan, hanya para
Guru serta penolonglah yang dapat dipandang sebagai tokoh-tokoh pemimpin pribumi. Agama
suku yang lama masih berpengaruh terus di luar dan di dalam lingkungan agama Kristen. Periode
1800-1860 ini merupakan babak permulaan suatu zaman baru, yakni babak zending baru mengikat
pinggang dan mulai bekerja. Dalam babak berikutnya (1860-1930), kegiatan zending akan
berkembang terus, baik dari sudut jumlah tenaga maupun dari sudut metode kerjanya.
Selama masa yang dibahas dalam pasal ini, jumlah orang-orang Kristen berkebangsaan
Indonesia bertambah besar karena usaha zending di Minahasa membawa hasil yang baik. Gereja
lama dan memang cocok dengan iklim Indonesia, tetapi agaknya dalam hal ini juga pendeta-
pendeta zending terlalu terikat kepada kebiasaan di negeri asal mereka. ibadah jemaat pun tetap
mengikuti pola Barat, sama seperti zaman Portugis dan VOC. Namun demikian, dalam beberapa
hal sudah terjadi perubahan. Berkat perobahan itu dalam anggota jemaat dapat ikut serta dalam
kebaktian dengan memahami maknanya secara lebih mendalam. Kita juga dapat menerapkan hal
yang demikian dari pietisme, yang begitu menekankan kesucian setiap orang Kristen dalam jemaat.
Dalam hal organisasi gereja juga, orang-orang Indonesia kurang diberi kesempatan untuk
memainkan peranan. Salah satu wadah bagi kegiatan mereka di jemaat itu ialah majelis gereja.
Tetapi mereka pun tidak diharapkan ikut berpikir mengenai hal-hal yang menyangkut ajaran atau
organisasi gereja, cukuplah kalau mereka membantu mempertahankan status quo (keadaan yang
berlaku) dengan mengawasi kehidupan anggota jemaat. Kita tidak mempunyai alasan untuk
meragukan kesetiaan banyak guru dalam melakukan tugasnya, atau untuk meragukan ketulusan
banyak anggota jemaat dalam menjalankan agama yang baru. Dalam hubungan ini kita mungkin
dapat menyebutkan pula suatu gereja yang lebih gawat lagi. Tingkat penggembalaan dan
kesungguhan disiplin gerejawi tidak bisa sama tingginya di semua tempat.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa penggembalaan atas anggota-anggota jemaat
Indonesia lebih intensif daripada zaman VOC, dan bahwa hal itu merupakan akibat pengaruh
pietisme. Tenaga berkebangsaan Indonesia dalam pekerjaan mereka mengikuti contoh para
zendeling. Disiplin gerejawi pun tidak sama tegasnya di semua tempat. Pelanggaran-pelanggaran
yang dikenakan disiplin ialah “penyembahan berhala” dan “perkawinan liar”. Selain daripada itu,
pemisahan antara gereja dan negara
E. Rangkuman

Pada periode 1800-1860 terjadi beberapa perubahan-perubahan yang memperlihatkan


perkembangan gereja. Setelah bubarnya VOC akhir tahun 1799 dan diganti dengan kekuasaan
pemerintah Kerajaan Belanda, maka kegiatan-kegiatan kekristenan dan usaha-usaha Pekabaran Injil
di Indonesia dilakukan oleh dua wadah, yakni Gereja Protestan di Indonesia (GPI) dan lembaga-
lembaga PI. GPI merupakan wadah yang mengorganisir seluruh gereja yang ditinggalkan oleh
VOC itu. Lembaga-lembaga PI melakukan kegiatan-kegiatan zending atau pekabaran Injil di
daerah-daerah yang mendapat izin dari pemerintah Belanda dan juga “meminjamkan” tenaga
kepada GPI.
Sekitar tahun 1800, keadaan gereja di Indonesia memprihatinkan. Jumlah anggota-
anggotanya selama dua abad hampir tidak bertambah. Pendeta-pendeta tinggal empat orang saja
(1810). Belum ada pendeta bangsa Indonesia berwenang penuh. Kebanyakan orang Kristen selama
sepuluh tahun lebih tidak dilayani oleh seorang pendeta dan tidak mempunyai Kitab Suci dalam
bahasa yang dapat dipahaminya. Kebanyakan jemaat tidak mempunyai majelis yang dapat
memimpin mereka. Pada zaman itu agama Kristen hilang dari beberapa daerah seperti Bolaang
Mongodow, Maluku Tenggara dan lain-lainnya. Tampaknya seakan-akan agama itu akan hilang
dari seluruh Indonesia.

58
Perkembangan Gereja
Bab Pada Masa Penjajahan Hindia Belanda di Indonesia (1860-1942)
V

Sesudah mempelajari materi pelajaran pada bab ini, kita akan dapat memahami
perkembangan gereja dan nilai-nilai iman Kristen pada masa penjajahan Hindia Belanda di Indonesia di
antara tahun 1860-1942. Perkembangan gereja pada masa itu nampak dalam kehadiran gereja-gereja suku
dalam pengaruh penjajahan Hindia Belanda. Selain itu, kita akan mempelajari kehadiran gereja-gereja suku
dan denominasional hasil pelayanan lembaga-lembaga Pekabaran Injil (P.I) dan tokoh-tokoh lokal.
Nilai-nilai iman Kristen pada masa itu nampak dalam tindakan menjadikan Injil mudah dimengerti
oleh penduduk lokal, dan kemandirian daya dan dana. Dengan pemahaman terhadap perkembangan gereja
dan nilai-nilai iman Kristen pada masa ini, kita dapat menyimpulkan maknanya bagi kehidupan kita dan
bertindak mandiri dalam iman, daya dan dana dalam pergaulan bermasyarakat pada masa kini.
A. Gereja-gereja Suku dalam Pengaruh Hindia Belanda

Dalam pelajaran terdahulu, kita telah mempelajari perkembangan gereja di Indonesia dalam
pengasuhan pemerintahan Hindia Belanda. Dalam kenyataan perkembangannya, gereja-gereja suku itu tidak
hanya hadir sebagai hasil pelayanan gereja yang diasuh oleh pemerintahan Hindia Belanda, melainkan juga
yang dihasilkan oleh Lembaga-lembaga Pekabaran Injil dan tokoh-tokoh penginjil lokal. Lembaga-lembaga
Pekabaran Injil ini ada yang berafiliasi, namun ada pula yang tidak berafiliasi dengan gereja yang diasuh
pemerintahan Hindia Belanda.
Dalam pelajaran hari ini, kita akan mempelajari perkembangan gereja-gereja suku dalam pengaruh
penjajahan Hindia Belanda. Apakah yang dimaksudkan dengan gereja- gereja suku? Untuk menjawab
pertanyaan ini, marilah kita mengerti arti “suku” itu sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “suku”
memiliki banyak pengertian. Namun yang dimaksudkan dalam hubungan dengan gereja, “suku” adalah
“golongan orang-orang (keluarga) yang seturunan” dan “golongan bangsa sebagai bagian dari bangsa yang
besar.” Misalnya, suku Jawa, Sunda, Aceh, Nias, Mentawai, Batak, Dayak, Bali, Minahasa, Toraja, Bugis,
Sangihe, Ambon, Timor, Sumba, Papua, dsbnya.
Dalam hubungan dengan gereja, yang dimaksudkan dengan “gereja-gereja suku” adalah sejumlah organisasi
gereja yang berada di Indonesia yang awal sejarah lahir, pelayanan dan pertumbuhannya berlangsung di
kalangan suku-suku tertentu di Indonesia.
gereja-gereja suku di Indonesia.
Bagaimanakah perkembangan gereja-gereja suku dalam pengaruh penjajahan Hindia Belanda pada
tahun 1860-1942?
Agar kita mudah mempelajari perkembangan tersebut, maka tidak semua perkembangan gereja-
gereja suku diuraikan di sini. Kamu silahkan mempelajari uraian mengenai: jumlah jiwa warga dan
pelayannya, bentuk-bentuk pelayanannya, kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan yang dihadapi
di kalangan beberapa gereja suku pada tahun 1860-1942. Yang pasti, pendirian gereja-gereja suku itu
dimaksudkan agar mudah mengabarkan injil oleh dan dalam lingkungan anggota- anggota suku
tersebut. Sebagai contoh, Gereja Kristen Pasundan pada 14 November 1934 yang berdiri sendiri di
kalangan orang Sunda di Jawa Barat.
a. Jumlah jiwa warga dan pelayannya.
Jumlah warga gereja Kristen Protestan di Indonesia pada masa ini terlihat dalam Tabel 1
berikut ini.
Tabel 5.1 Jumlah
Warga Gereja

NO TAHUN WILAYAH JUMLAH KETERANGAN

01 1860-an Seluruh Indonesia 120,000 orang

02 1938 Minahasa, Timor 700,000 orang


dan Maluku

Sumatera Utara 400,000 orang Gereja Huria Kristen Batak


Protestan (HKBP)

Nias 125,000 orang

Sangir - Talaud 120,000 orang

Pulau Jawa 98,000 orang

Total Seluruh 1,665,771 orang 2,5% dari penduduk Indonesia


Indonesia

Sumber: van den End (Ragi Cerita 2, 2015:301)

Jumlah pelayan gereja pada waktu itu sangat terbatas, baik kalangan para penginjil dari
Gereja Belanda, maupun Badan Pekabaran injil dari Eropa dan Amerika. Lihat Tabel 2 berikut ini:
Tabel 5.2 Jumlah
Pelayan Gereja

NO TAHUN PELAYAN GEREJA KETERANGAN

01 1860-an 25 orang

02 1910 160 orang 30 orang pendeta dan

sisanya adalah tenaga guru dan

dokter.

02 1938 450 orang 206 orang pendeta, 93 orang

guru/dosen, 61 orang dokter dan 90

orang perawat.

Sumber: van den End (Ragi Cerita 2, 2015:281)

b. Bentuk-bentuk Pelayanannya.
Dampak dari perbandingan jumlah jiwa warga dan pelayan gereja yang tidak berimbang
adalah banyak warga yang telah dibaptis kurang memperoleh pembinaan yang berkelanjutan.
Akibatnya, pertumbuhan gereja berlangsung sangat lambat. Selain itu, ditemukan pemahaman
yang berbeda di antara gereja-
gereja suku yang dipengaruhi penjajahan Belanda dan yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga
pekabaran injil mengenai bentuk-bentuk pelayanan gereja. Gereja-gereja suku yang dipengaruhi
penjajahan Belanda memahami pelayanan pendidikan dan kesehatan sebagai penunjang pekabaran
injil. Gereja-gereja suku yang dibentuk oleh lembaga-lembaga pekabaran injil memahami
pelayanan memajukan pendidikan, pelayanan kesehatan dan pengembangan ekonomi warga gereja
adalah hakikat dari pekabaran injil itu sendiri (bd van den End, Ragi Carita 2, 2015:283-284).
Contoh bentuk pelayanan yang dipahami sebagai “penunjang” pekabaran injil,
antara lain:
a) Pemajuan pendidikan nampak pada pembukaan “sekolah rakyat” di beberapa wilayah di
Indonesia dan “sekolah guru jemaat” di Ambon.
b) Pengembangan sosial-ekonomi nampak pada pembangunan rumah pendeta di Sumba Barat
yang menampung 45 orang anak-anak untuk dipelihara dan dididik.
c) Pembentukan “lumbung padi” yang dilakukan oleh gereja di Jawa Timur untuk mengatasi
kelaparan pada saat paceklik di desa-desa Kristen yang miskin.
d) Pembukaan “kebun jemaat” di pulau Buru (Maluku) sebagai upaya gereja mendukung
kegiatan pelayanan pekabaran injil.
c. Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Hambatan Pelayanannya.
Kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan pelayanan gereja dalam pengaruh penjajahan
Hindia Belanda pada masa ini, antara lain seperti terlihat pada Tabel 3 berikut ini.
Tabel 5.3
Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Hambatan Pelayanan

(1) Pengorganisasian warga dan pelayan gereja ditopang oleh sumber


daya manusia dan dana yang cukup dalam sebuah wilayah
Indonesia tertentu. Hal ini membuat terjadinya pertumbuhan gereja
Kekuatan
yang cepat pada wilayah tersebut.
(2) Gereja-gereja suku diberi ruang sebesar-besarnya
untuk mengembangkan pelayanannya sendiri.

(1) Pelayanan gereja dalam wilayah-wilayah tertentu tidak berjalan


sebagaimana seharusnya, karena gereja tidak selamanya menjadi
kritis terhadap praktik pemerintah penjajahan Hindia Belanda.
(2) Gereja-gereja suku bersikap “perlawanan” (antagonistic) terhadap
kekayaan budaya lokalnya, sehingga pekabaran injil kurang
membangun relasi dialogis dengan penganut agama suku atau
agama- agama lain dalam wilayah pelayanannya.
(3) Dengan alasan kepentingan politis dan ekonomis, pemerintah
penjajahan Hindia Belanda melarang gereja untuk melakukan
Kelemahan
kegiatan pekabaran injil di beberapa wilayah tertentu seperti Aceh,
Bali, Gowa dan sebagian wilayah Jawa Barat.
(4) Kehadiran gereja-gereja suku di Indonesia hanyalah memanfaatkan
pelayanan gereja kepada para pegawai Hindia Belanda.
Selalu terbuka untuk melakukan kegiatan pekabaran injil mengingat
belum semua wilayah bumi Nusantara mendengar dan menerima Yesus
Peluang
Kristus selaku Tuhan dan
Juruselamat Dunia.

(1) Kehadiran pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia bukanlah


untuk tujuan pekabaran injil.
(2) Penolakan terhadap kehadiran gereja oleh orang-orang beragama
Hambatan
lain, karena gereja dipandang sebagai perluasan (ekspansi)
kekuasaan penjajahan Hindia
Belanda.

B. Gereja-gereja Suku dan Gereja Lintas Suku (Denominasional) Hasil Pelayanan Lembaga-
lembaga Pekabaran Injil (P.I).
Dalam pelajaran hari ini, kita akan mempelajari perkembangan gereja-gereja suku dan Gereja
Lintas Suku (Denominasional) Hasil Pelayanan Lembaga-lembaga Pekabaran Injil (P.I) termasuk
Gereja-gereja Suku dan Lintas Suku yang terbentuk karena kegiatan P.I dari para penduduk lokal pada
masa ini. suku (denominasional
Apakah yang dimaksudkan dengan gereja lintas)?
Gereja lintas suku adalah gereja
pertumbuhan dan warganya tid

“Denominasional” adalah ungkapan sederhana untuk


menjelaskan lembaga gereja yang memiliki ciri-ciri berbeda, baik sejarah lahir, nama, susunan orga
dsbnya.

Terbentuknya gereja-gereja suku dan lintas suku (denominasional) sebagai hasil pelayanan
lembaga-lembaga Pekabaran Injil di Eropa, Amerika, dan para tokoh lokal memperlihatkan bahwa
kehadiran gereja-gereja suku tidak semata-mata buah dari pekabaran injil yang dilakukan oleh gereja
yang didukung oleh pemerintah penjajahan Hindia Belanda. Terdapat banyak sekali lembaga-lembaga
P.I dan tokoh lokal atau pribumi pada masa itu yang melaksanakan pekabaran injil hingga terbentuknya
gereja-gereja suku dan lintas suku (denominasional) di Indonesia, antara lain terlihat dalam Tabel 4
sebagai berikut:
Tabel 5. 4
Nama-nama Lembaga Pekabaran Injil dan Para Tokoh Lokal
NO. LEMBAGA P.I/TOKOH WILAYAH HASIL P.I. TAHUN
1 Nederlands Zendeling Genootschap Indonesia Jemaat-jemaat 1860-
(NZG) atau Lembaga Utusan Injil Maluku, an
Belanda Minahasa, Sulsel,
Timor,
Tanah Karo, dll

2 Nederlandse Zendings Vereniging Jawa Barat dan Jemaat-jemaat 1861


(NZV) atau Perkumpulan Pekabaran Sulawesi Tenggara GKP dan di
Injil Sulawesi 1915
Belanda Tenggara

3 Utrechtse Zendings Vereniging Bali, Cikal bakal 1866


(UZV) atau Perkumpulan Halmahera GMIH
Pekabaran Injil dan Pulau
kota Utrecht Buru
4 Nederlandse Gereformeerde Jawa Tengah Cikal bakal GKS, 1880-
Zendings Vereniging (NGZV) atau dan Sumba GKJ dan GKJW an
Perkumpulan Pekabaran Injil Gereja
Reformasi
Belanda

5 Rheinische Missions Tapanuli Cikal bakal HKBP 1828


Gesellschaft (RMG) atau Utara dan dan
Perserikatan P.I. di Daerah Nias, BNKP
Sungai Rhein Kalimantan
Selatan

6 Baseler Mission (BM) atau Kalimantan Cikal bakal GKE 1920


Selatan
Perserikatan P.I. di kota Basel

7 The Christian and Missionary Kalimantan Cikal bakal 1929


Alliance (C&MA) atau Timur, Gereja Kemah
Persekutuan Kristen dan Kalimantan Injil s.d.
Pekabaran Injil Barat,
Sulawesi 1938
Barat, Bali,
Lombok,
Sumbawa,
Jawa Timur,
dan Papua

8 P. Jansz, Jepara Cikal bakal 1860


Gereja Injili di
Tanah Jawa
9 L.I. Nommensen Tapanuli Cikal Bakal HKBP 1862
10 C. Albers, Cianjur, Bogor Cikal bakal GKP 1865
dan Jatinegara
11 Kiyai Sadrach Jawa Barat dan Jemaat Kristen di 1876
Jawa Tengah Jawa Tengah
11 J.A. Schuurman, Jakarta dan Pendirian Seminari 1878
Depok Depok
(cikal bakal STTJ)

12 H.C. Kruyt, Tomohon dan Pembukaan 1885


Tanah Karo Sekolah
dan
1890
13 J.H. Neumann, Tanah Karo Penerjemahan 1900
Alkitab ke Bahasa
Batak Karo

14 H. Kraemer, Jawa Timur dan Pemrakarsa 1927


Jawa Barat
pembentukan
STT Jakarta
15 John Sung, Jawa Barat Cikal bakal GKI 1939
Jawa Barat
Pertemuan para Tokoh Pekabaran Injil Lokal atau Pribumi dengan Lembaga- lembaga
Pekabaran Injil yang dibentuk oleh gereja-gereja dalam kekuasaan penjajahan Hindia Belanda sering
melahirkan perbedaan pendekatan. Perbedaan itu terjadi terutama dalam memahami kebutuhan dan
semangat budaya masyarakat lokal atau pribumi. Sebagai contoh: Di Jawa Tengah bagian Selatan, kiyai
Sadrach, seorang Tokoh Pekabaran Injil Lokal, mengabarkan Injil dengan metode “kejawen” atau
semangat orang Jawa tulen. Kiyai Sadrach dalam mengabarkan Injil mengundang para kiyai atau guru
lain untuk beradu “ngelmu” atau kesaktian. Ketika para kiyai atau guru tersebut kalah, maka mereka
bersama para pengikutnya menjadi penganut “ngelmu” atau iman Kristen yang diajarkan oleh kiyai
Sadrach. Selanjutnya, kiyai atau guru dan para pengikutnya diantarkan oleh kiyai Sadrach kepada
seorang pendeta atau Tokoh Pekabar Injil yang bekerja di gereja dan/atau Lembaga-lembaga Pekabaran
Injil untuk dibaptis. Namun sesuai dengan semangat orang Jawa, mereka yang telah dibaptis itu tetap
setia mematuhi perintah atau ajaran kiyai Sadrach. Kemajuan pekabaran Injil yang dilakukan kiyai
Sadrach sering disalahartikan oleh pekerja gereja dan/atau Lembaga-lembaga Pekabaran Injil. Mereka
menganggap bahwa iman Kristen yang diajarkan dalam semangat orang Jawa tulen itu sebagai ajaran
sinkretistis (pencampuran agama-agama). Malahan pekerja gereja dan/atau Lembaga-lembaga
Pekabaran Injil, mengharuskan orang Kristen Pribumi meninggalkan kebiasaan sebagai orang Jawa
seperti menonton wayang, ketoprak dan lain-lain (Bd. van den End dan Weitjens, Ragi Carita 2,
2015:221, 225-226).
Dengan demikian, pertemuan para Tokoh Pekabaran Injil Lokal atau Pribumi dengan Lembaga-lembaga
Pekabaran Injil yang dibentuk oleh gereja-gereja dalam kekuasaan penjajahan Hindia Belanda, pada
satu pihak sangat menopang perluasan pelayanan gereja di kalangan berbagai suku, namun pada pihak
lain menimbulkan kesalahpahaman yang menghambat pelayanan gereja di kalangan berbagai suku
tersebut.
Seiring dengan keterlibatan para Pekabar Injil Lokal atau Pribumi dan pekerja gereja dan/atau
Lembaga-lembaga Pekabaran Injil yang menaruh kepedulian dan pemikiran untuk mengabarkan Injil
dengan menghargai semangat dan budaya lokal, seperti bahasa, kesenian, adat-istiadat, serta didorong
oleh semangat untuk
melepaskan diri dari tekanan penjajahan Hindia Belanda dan di kemudian hari dari penjajahan Jepang,
maka bertumbuhlah pemikiran untuk mengembangkan organisasi gereja sendiri. Pemikiran ini
melahirkan semangat untuk melahirkan gereja suku maupun lintas suku (denominasional).
Pembentukan “gereja suku” selain sebagai jawaban pelayanan gereja terhadap realitas ke-Indonesia-an
yang terdiri dari berbagai suku bangsa, berdiam di pulau-pulau yang tersebar dan belum terhubung satu
sama lain, juga sebagai jawaban pelayanan gereja secara kontekstual. Dalam artian, pelayanan gereja
yang menjawab kebutuhan masing-masing suku dalam semangat dan kerangka budaya, adat istiadat dan
bahasanya. Dengan pelayanan gereja tersebut, setiap pelayan dan anggota gereja secara mendalam
semakin memahami, menghayati dan memberlakukan iman Kristen dalam kehidupan setiap hari.
Pembentukan “gereja suku” bersumber dari:
(1) Pengembangan gereja di bawah kekuasaan penjajahan Hindia Belanda, antara lain: pembentukan
Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM) pada tahun 1934 dari Gereja Protestan di Indonesia
(Indische Kerk). Sebelumnya, jemaat-jemaat GMIM ini dirintis oleh NZG dan diserahkan ke pihak
Gereja Protestan di Indonesia (Indische Kerk); juga Gereja Protestan Maluku (GPM) pada tahun
1935 dari Gereja Protestan Indonesia (Indische Kerk).
(2) Hasil pekerjaan Lembaga-lembaga Pekabaran Injil, antara lain: Huria Kristen Batak Protestan
(HKBP) pada tahun 1930 dari RMG di Sumatera Utara, Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) pada
tahun 1931 dari NZG di Jawa Timur, dan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) pada tahun 1941
dari NZG di Tanah Karo.

Aktivitas 5. Mari Berlatih


(1) Lihatlah gambar Peta di bawah ini.
(2) Berikanlah warna pada wilayah tempat gereja suku dan lintas suku (denominasional) itu berada dan
tuliskanlah nama gereja dan tahun berdirinya.
(3) Silahkan kamu menambahkan sekurang-kurangnya tiga buah gereja suku lainnya yang kamu
ketahui, warnailah wilayah tempat gereja suku dan lintas suku (denominasional) itu berada,
tuliskanlah nama gereja dan tahun berdirinya.
Gambar 5.1 Peta Indonesia
Sumber : www.wikepdia.com

Pembentukan gereja lintas suku (denominasional) umumnya merupakan hasil dari Lembaga-
lembaga Pekabaran Injil yang bukan berasal dari dataran Eropa, melainkan dari Inggris (Anglosaksis)
dan Amerika Serikat. Gereja lintas suku (denominasional) ini, antara lain: Gereja- gereja Pentakosta,
Gereja Baptis, Kemah Injil, Gereja Adven Hari Ketujuh, Gereja Bala Keselamatan, dan Gereja Metodis
Indonesia. Umumnya, yang menjadi pelayan dan anggota gereja lintas suku ini memang berasal dari
berbagai suku yang ada di Indonesia, termasuk keturunan India dan Tionghoa.
Pada masa kini, seiring dengan meningkatnya gerakan ekumene se-Dunia, Asia, Indonesia dan
Wilayah-wilayah di tanah air, maka baik gereja suku maupun gereja lintas suku, terutama di wilayah
perkotaan, sama-sama memiliki anggota gereja dari berbagai suku dan ras.
Aktivitas 6. Mari Berdiskusi
(1) Lengkapilah diagram Garis Waktu di bawah ini untuk melihat hubungan di antara pekerjaan
pelayanan Lembaga-lembaga Pekabaran Injil dan para Tokoh Pekabaran Injil Lokal atau Pribumi
pada masa 1860-1942 sebagai berikut:
C. Perkembangan Nilai-nilai Iman Kristen pada masa Penjajahan Hindia Belanda dan
Maknanya.
Dalam pelajaran hari ini, kita akan mempelajari perkembangan nilai-nilai iman
Kristen dalam kehidupan gereja dan masyarakat pada masa penjajahan Hindia Belanda
dan maknanya bagi kehidupan kita dalam pergaulan pada masa kini. Dalam pelajaran
pada Bab 2 sampai Bab 4 Kelas IX yang lalu, kita telah mempelajari pengertian nilai-
nilai dan nilai-nilai iman Kristen, antara lain: nilai kepatuhan terhadap penugasan,
penghargaan terhadap sesama manusia, pelayanan kasih, penolakan terhadap
kekerasan dan ketidakadilan, kritis terhadap superioritas penjajah dan pengutamaan
pengalaman batiniah.
Dalam pelajaran hari ini, kita akan mempelajari dua buah nilai iman Kristen
yang sangat penting dan maknanya bagi kita, yaitu: Pempribumian Injil, dan
Kemandirian Daya dan Dana.
b. Pengertian Pempribumian Injil, dan Kemandirian Daya dan Dana

Secara umum, “pempribumian Injil” adalah proses menjadikan Injil milik


pribumi Indonesia. Jadi bukan menjadikan Injil milik orang Yahudi, Eropa, Amerika
Serikat, dsbnya.
Sedangkan pengertian “kemandirian Daya dan Dana“ dalam pelayanan gereja
adalah “keadaan dapat berdiri sendiri, tanpa ketergantungan gereja dalam
pelayanannya kepada pihak lain,” baik dalam bidang ketenagaan maupun
keuangan.
D. Nilai-nilai Pempribumian Injil, dan Kemandirian Daya dan Dana dalam Pelayanan
Gereja pada masa 1860-1942.
Nilai-nilai apakah yang terdapat dalam proses pempribumian Injil, dan kemandirian
Daya dan Dana dalam pelayanan gereja pada masa ini?
(1) Pempribumian Injil.
Berbeda dari pendekatan yang dilakukan di awal masa Injil masuk ke Indonesia
melalui monopoli perdagangan rempah-rempah, maka pada masa 1860-1942,
gereja bergumul untuk menjadikan iman Kristen dipahami, dimengerti dan
diwujudkan dalam kehidupan pelayan dan anggota gereja di setiap hari. Kalau
pada masa sebelumnya, terjadi sikap menentang (antagonistic) dan
melenyapkan semangat dan kekayaan budaya, bahasa, adat-istiadat dan seni
para pribumi yang diinjili, maka pada masa 1860-1942 sudah mulai muncul
sikap keterbukaan untuk menjadikan Injil yang dikemas dalam pemikiran,
semangat dan kebudayaan Eropa, Inggris dan Amerika Serikat dipahami dalam
semangat dan budaya pribumi. Memang, dalam semangat dan budaya ini,
pelayanan gereja mudah terperangkap dalam pencampuran nilai-nilai Injil dan
nilai-nilai penyembahan roh-roh nenek moyang anggota gereja pribumi,
sanjungan terhadap pembunuhan dan perebutan budak-budak, perang antar-
kampung, dsbnya. Beberapa contoh dapat dikemukakan di sini, sebagai berikut:
a. Di Minahasa, pada waktu anggota keluarga meninggal dunia, di bagian
depan rumah, orang yang datang melayat di rumah duka bertemu dengan
orang Kristen, tetapi di belakang rumah duka, mereka bertemu dengan
orang yang belum Kristen. Di depan rumah duka, pendeta atau guru jemaat
berdoa, menyanyikan lagu pujian Kristen dan membacakan Alkitab,
sementara itu, di belakang rumah duka, nasi disiapkan dan dibungkus dalam
daun “woka” (pucuk daun lontar yang muda) sebagai bekal perjalanan orang
yang meninggal dalam dunia kematian. (Bd. van den End dan Weitjens, Ragi
Carita 2, 2015:83).
b. Di Papua, khususnya di kalangan suku Numfor dan suku-suku sekitarnyaa
selalu hidup dalam perang antarsuku yang terus-menerus. Upacara
dilaksanakan sebagai persiapan pembalasan dendam. Kalau pembalasan
dendam tidak terlaksana ketika ada anggota yang gugur dalam perang
antarsuku tersebut, maka anggota suku ketakutan terhadap roh anggotanya
yang gugur itu. Demikian pula kalau budak-budaknya direbut, maka anggota
sukunya harus merebut kembali budak-budak mereka. Kalau tidak merebut
kembali, maka suku yang merebut budak-budak akan menganggap suku
pemilik budak-budak itu lemah. Sebab itu, para Pekabar Injil menebus para
budak itu dan mendidik mereka. (Bd. van den End dan Weitjens, Ragi Carita
2, 2015:114).
c. Di Toraja, anggota gereja dibebaskan untuk mengikuti ataupun tidak
mengikuti adat-istiadat setempat. Hanya kalau adat-istiadat itu berhubungan
dengan penyembahan berhala, percabulan dam mengabaikan orang miskin,
maka anggota gereja dilarang untuk mengikuti adat tersebut. Nyanyian, tari-
tarian, pesta adat, pola hiasan dipakai untuk menghayati iman Kristen. (Bd.
van den End dan Weitjens, Ragi Carita 2, 2015:156).
d. Di Kalimantan, orang Dayak yang hendak dibaptis harus membuang alat-alat
dan benda-benda kuno, tidak diperbolehkan untuk menghafal mitos-mitos
kuno. Pada tahun 1930-an sikap Pekabar Injil menjadi lebih positif bahkan
gereja menetapkan untuk memperdalam pengetahuan mengenai agama
suku, Kaharingan. (Bd. van den End dan Weitjens, Ragi Carita 2, 2015:168).
e. Di Sumatera Utara, orang Batak mengalami peperangan antar kampung.
Orang Batak yang telah dibaptis menjadi orang Kristen diusir dari kampung
halaman mereka karena mereka tidak mau lagi memberi sumbangan untuk
berbagai upacara agama suku. Ludwig Ingwer Nommensen sebagai Pekabar
Injil, membangun kampung baru bagi mereka yang terusir dari kampungnya
sendiri. Kampung baru itu dinamakan “Hutadame” atau Kampung Damai.
Dalam rangka pempribumian Injil, Nommensen berusaha dan berhasil
menyusun beberapa ketentuan menyangkut perilaku hidup orang Batak
Kristen. Ketentuan itu mengenai hukum perkawinan, hal memanggil roh-roh
orang mati dengan memukul “godang”, melawan perjudian dan pencurian
serta aturan bekerja pada hari Minggu. Usaha ini dikembangkan lebih lanjut
oleh J. Warneck (Ephorus/Ketua Sinode 1920-1932). Warneck menyatakan:
“Jemaat dan gereja sedapat mungkin dibangun berdasarkan bentuk-bentuk
kemasyarakatan dan sosial yang ditemui sebelumnya oleh zending di dalam
kehidupan bangsa. Jemaat yang telah bertumbuh itu bergabung dengan sifat
dan kebiasaan, tata cara dan hukum milik bangsa itu, bahkan berakar di
dalamnya.” (Bd. van den End dan Weitjens, Ragi Carita 2, 2015:180, 185).
Dari beberapa contoh di atas, nampaklah bahwa nilai pempribumian Injil
adalah sebuah proses yang berlangsung terus-menerus dalam pelayanan
gereja. Sebuah proses untuk menjadikan nilai-nilai Injil, yaitu kasih, kebenaran,
keadilan, persaudaraan dan damai sejahtera yang dikehendaki Tuhan Allah bagi
manusia dan dunia itu dapat dimengerti, dihayati dan diberlakukan dalam
kehidupan orang Kristen. Pengertian, penghayatan dan pemberlakuan nilai-nilai
Injil ini berlangsung dalam semangat, kerangka budaya, adat-istiadat, bahasa
dan seni anggota suku-suku di Indonesia.
Dalam kenyataannya, proses ini tidak semudah kita membalikkan telapak
tangan. Kendala utamanya adalah pada derajad pendidikan para anggota gereja
suku, terutama generasi lebih dulu, yang sangat rendah. Selain itu, pada cara
pandang dan pendekatan para Pekabar Injil sendiri yang kurang luas, kurang
kreatif dan inovatif untuk mengembangkan pemikiran alkitabiah yang relevan
dengan semangat dan khasanah budaya lokal, di tempat mereka mengabarkan
Injil. Usaha pempribumian Injil yang sangat kasat mata adalah dalam bentuk:
penerjemahan Alkitab ke dalam berbagai bahasa daerah, penerjemahan dan
dan penyusunan Lagu-lagu Pujian (Rohani) untuk digunakan dalam setiap
ibadah. Selain itu, juga dalam bentuk rumusan pengakuan Iman, pengaturan
organisasi gereja yang mandiri dengan menaati tata-gereja dan peraturan-
peraturannya berdasarkan hasil refleksi Injil terhadap semangat dan khasanah
budaya lokal gereja-gereja suku itu berada, dan pengembangan pembinaan dan
pendidikan anggota gereja (“menginjili dulu”) dengan mengurangi pendekatan
pembaptisan massal (“mengkristenkan dulu”).

(2) Kemandirian Daya dan Dana


Pergumulan amat berat dihadapi gereja pada masa 1860-1942 di bidang
penyediaan tenaga Pekabar Injil dan pekerja gereja lainnya (perawat, guru
sekolah dan guru jemaat). Berkurangnya tenaga Pekabar Injil dari luar negeri,
terutama pada masa pendudukan Jepang, ketika banyak Pekabar Injil dari luar
negeri kembali ke negara asal mereka, dan sebagian besar tewas oleh
kebengisan tentara Jepang, juga tidak seluruh guru jemaat dari kalangan
pribumi diberikan pendidikan khusus. Sementara itu, lapangan Pekabaran Injil
di Indonesia semakin luas terbuka.
Untuk memenuhi kemandirian Daya, pada tahun 1872-1878 didirikanlah sekolah guru
jemaat di Kuala Kapuas (Kalimantan Tengah). Tahun 1902, didirikanlah sekolah
pendidikan guru di Banjarmasin Kalimantan Selatan. Tahun 1868, Nommensen
mendirikan Seminari Guru di Parau-Sorat. Pada tahun 1879 dipindahkannya ke Pansur-
napitu di Silindung. Akhirnya, tahun 1901 dipindahkan ke Sipoholon. Tahun 1884,
Seminari Guru ini dikembangkan menjadi pendidikan lanjutan bagi para calon pendeta.
Tahun 1873-1878 didirikan sekolah pertanian di Depok. Atas prakarsa J.A. Schuurman,
Seminari Depok (1878-1926) didirikan untuk mempersiapkan guru Injil sebagai pembantu
para Pekabar Injil. Tahun 1934, Seminari Depok itu diganti oleh Sekolah Theologia Tinggi
di Bogor. Tahun 1936 dipindahkan ke Jakarta. Saat ini Sekolah Theologia Tinggi ini kita
kenal sebagai Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta. Tahun 1885 didirikan sekolah
pendeta pribumi (School Tot Opleiding Van Inlandsche Leeraren) atau STOVIL di Ambon.
Melalui beberapa tahapan dalam rentang waktu yang panjang, STOVIL ini kemudian
berkembang menjadi Universitas Kristen Indonesia Maluku pada tahun 1985. Tahun 1868
didirikan sekolah guru jemaat di Minahasa. Pada tahun 1886 didirikan STOVIL di Tomohon
yang merupakan pengembangan sekolah guru jemaat.
Singkatnya, hampir di seluruh wilayah di Indonesia, gereja dan Lembaga-lembaga
Pekabaran Injil mendirikan persekolahan, baik sekolah umum, sekolah guru maupun
sekolah pendeta/penginjil. Selain itu, kemandirian daya juga terlihat dalam aktivitas
mengirimkan tenaga guru sekolah, guru jemaat dan pendeta dari wilayah pelayanan
gereja yang satu ke gereja yang lain. Sebagai contoh: Tahun 1890, 4 (empat) orang guru
Minahasa dibawa oleh J. Kruyt dan A.C. Kruyt untuk mengabarkan injil di Tanah Karo.
Tahun 1861-1863, I. Esser, residen Timor, mendatangkan seorang guru dari Ambon untuk
membuka sekolah di pulau Sawu. Tahun 1913 -1915, didirikanlah sekolah oleh Lembaga
Pekabaran Injil Gereformeerd (NGZV) dengan guru-gurunya didatangkan dari Ambon,
Rote dan Sawu.
Dukungan dana semakin berkurang, baik dari pihak gereja maupun Lembaga-lembaga
Pekabaran Injil untuk menopang kegiatan pekabaran Injil di Indonesia.
Tidak jarang kita bisa menemukan adanya Pekabar Injil yang terpaksa bekerja untuk
memperoleh dana yang digunakan membiayai kegiatan pekabaran Injil mereka.
E. Maknanya bagi Siswa dalam Pergaulan Masa Kini.
Proses pempribumian Injil ini memang tidak mudah dan baru terlihat hasilnya
setelah menempuh perjalanan sejarah gereja belasan tahun. Namun, aspek positif
dari proses ini adalah kita menjadi orang Kristen tanpa kehilangan atau tercerabut
dari akar semangat, kerangka budaya, adat istiadat, bahasa dan seni suku-suku
atau ras kita masing-masing.

F. Rangkuman

Pada periode 1860-1942, terjadi perkembangan gereja yang nampak dalam kehadiran
gereja-gereja suku dalam pengaruh penjajahan Hindia Belanda. Selain itu, ada kehadiran
gereja-gereja suku dan denominasional hasil pelayanan lembaga-lembaga Pekabaran Injil
(P.I) dan tokoh-tokoh lokal. Terbentuknya gereja-gereja suku dan lintas suku
(denominasional) sebagai hasil pelayanan lembaga-lembaga Pekabaran Injil di Eropa,
Amerika, dan para tokoh lokal memperlihatkan bahwa kehadiran gereja-gereja suku tidak
semata-mata buah dari pekabaran injil yang dilakukan oleh gereja yang didukung oleh
pemerintah penjajahan Hindia Belanda. Terdapat banyak sekali lembaga P.I dan tokoh
lokal atau pribumi pada masa itu yang melaksanakan pekabaran injil hingga terbentuknya
gereja-gereja suku dan lintas suku (denominasional) di Indonesia. Nilai-nilai iman Kristen
pada masa itu nampak dalam tindakan menjadikan Injil mudah dimengerti oleh penduduk
lokal, dan kemandirian daya dan dana. Injil di daerah-daerah yang mendapat izin dari
pemerintah Belanda dan juga “meminjamkan” tenaga kepada GPI.
1. pada masa kini!

2. Perkembangan Gereja
3. Pada Masa Penjajahan Jepang di Indonesia (1942-1945)

84
A. Gereja-gereja Suku dan/atau Denomisional Dalam Pengaruh Penjajahan Jepang

Dalam pelajaran terdahulu, kamu telah mempelajari perkembangan gereja di


Indonesia dalam pengasuhan pemerintahan Hindia Belanda, Lembaga-lembaga
Pekabaran Injil dan Tokoh-tokoh Penginjil Lokal. Dalam pelajaran hari ini, kamu akan
mempelajari perkembangan gereja-gereja suku dan/atau denominasional dalam
pengaruh penjajahan Jepang.

.
Selanjutnya, pelajarilah uraian di bawah ini:
Kehadiran Gereja-gereja Suku dan/atau
Denominasional dalam pengaruh
penjajahan Jepang sangat ditentukan
oleh hubungan kekasisaran Jepang dan
kekristenan di Jepang itu sendiri. Sebab
sebelum Jepang menjajah Indonesia,
pemerintah Jepang telah mengirimkan
para pendetanya untuk melayani orang-
Gambar 5.4. Gereja orang Jepang yang bekerja di Indonesia.
Sumber : kumparan.com
Kekristenan di Jepang berkembang sejak tahun 1549 yang ditandai dengan
kehadiran pekabar injil Gereja Katolik, khususnya Fransiskus Xaverius. Dia adalah
anggota tarekat Yesuit bentukan Ignatius Loyola. Kehadirannya di Jepang
memperlihatkan sebuah lapangan pekabaran injil yang luas. Sebab itu, dia diikuti
oleh rekan-rekannya yang berasal dari tarekat yang sama dan para anggota tarekat
Fransiskan dan Dominikan (bd. Donald E. Hoke, Sejarah Gereja Asia, Volume 1,
2000: 392, dyb). Hanya dalam kurun waktu 33 tahun, jumlah warga gereja 150.000
orang, yang tersebar kira-kira di 250 jemaat dan dilayani oleh 85 orang pelayan
yang berasal dari luar dan 120 pelayan dari dalam Jepang sendiri.
Kehadiran pekabar injil Protestan baru berlangsung pada tahun 1859 yang ditandai
dengan kehadiran dokter sekaligus penginjil James C. Hepburn, Channing M.
William, seorang pendiri Universitas Saint Paul dan Rumah Sakit Saint Lukas, Guido
F. Verbeck, seorang ahli bahasa, dll. Mereka berasal dari berbagai gereja
denominasional, yakni Presbiterian, Episkopal, Reform, Anglikan dan Metodis.
Perkembangan kekristenan di Jepang menjadi sangat pesat. Sebab itu, sebelum
tahun 1889, ditetapkanlah Undang-undang anti-Kristen. Undang-undang ini
diterbitkan karena nilai-nilai iman Kristen dipandang sebagai unsur yang
bertentangan dengan nasionalisme Jepang yang berakar pada agama Shinto dan
bercabang pada Khonghucu dan membuahkan Budhaisme. Namun Undang-
undang itu tidak menyurutkan semangat pengembangan pelayanan para pekabar
injil dari luar dan dari dalam Jepang sendiri. Sesudah tahun 1889, Undang-undang
ini dicabut. Para penginjil asli Jepang diutus ke wilayah-wilayah pendudukan
Jepang agar mereka dapat memengaruhi masyarakat setempat bahwa kehadiran
Jepang adalah sebagai “kakak tertua” dalam wilayah Asia Timur Raya. Dengan
begitu, para penduduk di seluruh wilayah Asia Timur (Vietnam, Kamboja, Taiwan,
Thailand, dan Indonesia) dapat memberikan sumber daya alamnya bagi kekaisaran
Jepang. Sebab sejatinya, Jepang sendiri memiliki sumber daya alam yang terbatas.
Sumber daya mineralnya sangat sedikit. Hanya 16% tanahnya bisa dijadikan lahan
pertanian (bd. Donald E. Hoke, Sejarah Gereja Asia, Volume 1, 2000: 389, dyb).
Seiring dengan perkembangan gereja Protestan di Jepang, didirikanlah Gereja
Kristus di Jepang (Nippon Kirisuto Kyodan) pada tahun 1941. Gereja ini menjadi
“payung” bagi seluruh denominasi gereja dalam wilayah kekaisaran Jepang (bd. van
den End. Th, Ragi Carita 2, 2018: 321).
Pada 7 Desember 1941, Jepang berhasil menghancurkan kekuatan militer Amerika
Serikat di Pearl Harbour (Kepulauan Hawai). Dalam waktu singkat, seluruh wilayah
Asia Tenggara dikuasai dan dijajah Jepang, termasuk wilayah yang dulu dikuasai
Hindia Belanda. Minahasa direbut pada bulan Januari. Ambon dan Timor direbut
pada bulan Pebruari. Jawa dan Sumatera direbut pada bulan Maret tahun 1942.
Demi efektivitas kekuatan militer dalam wilayah jajahannya, Jepang membagi
Nusantara menjadi dua wilayah. Pulau Jawa dan Sumatera adalah wilayah yang
diperintah oleh Angkatan Darat Jepang (Gunseibu). Pulau Kalimantan, Sulawesi dan
kawasan Timur nusantara diperintah oleh Angkatan Laut Jepang (Minseibu).
Jepang memperlakukan gereja-gereja suku dan/atau Denominasional yang
didirikan oleh penjajah Hindia Belanda, Lembaga Pekabaran Injil dan para Pekabar
Injil pribumi dengan dua pendekatan sesuai tempat dan waktunya. Pertama,
Jepang memperlakukan orang Kristen yang berasal dari kalangan gereja-gereja
suku dan denominasional secara lemah lembut. Jepang melindungi warga gereja
dan menghentikan penganiayaan terhadap orang Kristen dalam rentang waktu
bulan Maret-April 1942. Perlakuan ini dijadikan alat propaganda agar penduduk
Nusantara dapat mendukung seluruh program kerja penjajahan Jepang. Kedua,
Jepang memperlakukan orang Kristen yang berasal dari kalangan gereja-gereja
suku dan denominasional secara keras. Banyak orang asli Belanda termasuk
perempuan dan anak-anak ditangkap, ditawan dalam kamp-kamp tawanan, dan
dianiaya. Malahan ada yang dibuang ke wilayah lain (misalnya, ke Myanmar) untuk
menjalani “kerja paksa.” Ada pula yang kepalanya dipenggal. Di wilayah pelayanan
GPM, 150 orang pendeta dan seluruh penduduk desa Emplawas (Kepulauan Babar)
dipenggal kepala dan perumahan mereka dibumihanguskan oleh tentara Jepang.
Hal ini dilakukan untuk memaksa penduduk asli Nusantara agar selalu mendukung
sepak-terjang pemerintah Jepang dan melenyapkan pengaruh Eropa dalam
kehidupan masyarakat pribumi.
Sekolah-sekolah yang dimiliki oleh gereja, lembaga pekabaran Injil, dsbnya diambil
alih oleh Jepang pada 1 April 1943. Mata pelajaran agama Kristen diganti oleh mata
pelajaran yang membangkitkan “semangat Jepang” berupa nyanyian, sejarah,
bahasa dan slogan-slogan Jepang dan penghargaan terhadap kaisar.
Dalam setiap Ibadah, warga gereja wajib mendengarkan pidato yang berisi
penjelasan tentang sebab dan tujuan Perang Asia Raya. Bendera Jepang wajib
digantung dalam setiap gedung gereja. Pada awal ibadah, warga gereja wajib
berdiri menghadap ke Tokyo sambil membungkukkan badannya sebagai tanda
penghormatan terhadap kaisar dan bukan kepada Tuhan Allah.
Dalam kalangan gereja-gereja suku dan/atau denominasional, gaji para pendeta,
penginjil, dan guru-jemaat masih disubsidi oleh lembaga Pekabaran Injil dan
pemerintah. Pada masa penjajahan Jepang, para pendeta meningkatkan kesadaran
anggota gereja bahwa tanggung jawab pelayanan dan pembiayaannya menjadi
tanggung jawabnya sendiri. Dengan jumlahnya yang terbatas, keuangan digunakan
untuk membiayai kebutuhan pelayanan gereja. Akibatnya, perkembangan
pelayanan gereja juga menjadi terbatas.
Jepang membiarkan pimpinan gereja-gereja suku dan denominasional yang
memiliki Ketua Sinode - seorang Belanda, untuk tetap menempati jabatannya.
Misalnya GBKP, GKP, GKE, GMIM, GMIT dan GPM. Sedangkan HKBP dan GKJW
telah memiliki ketua sinode dari kalangan pribumi. Seiring dengan orang-orang
Eropa kembali ke tanah airnya, maka terjadilah kekurangan pendeta. Jepang
mendatangkan para pendeta dari negeri sakura untuk membantu para pendeta
pribumi melayani seluruh jemaat yang ditinggalkan oleh para pendeta yang berasal
dari Eropa. Kehadiran para pendeta Jepang adalah juga untuk mengambil hati
masyarakat yang dijajahnya. Dengan begitu, masyarakat terutama orang Kristen
mau bekerja sama dan menopang kehadiran pasukan dan bisnis Jepang di
Indonesia.
Di wilayah Timur (Minseibu) banyak tindakan kekerasan, penyiksaan dan
pembunuhan dialami oleh anggota gereja. Tindakan itu dilakukan secara
perorangan, namun ada pula yang dilakukan secara masif. Banyak yang
dipenjarakan, banyak pula yang meloloskan diri. Di kepulauan Sangir, nyaris semua
raja Kristen dibunuh Jepang. Situasi dan kondisi ini berbeda bila dibandingkan
dengan wilayah Barat (Gunseibu) yang relatif tenteram pada masa penjajahan
Jepang. Jumlah pendeta Jepang di wilayah Barat hanya dua orang yang disebut
dalam sumber-sumber sejarah gereja. Kegiatan mereka pun amat terbatas bila
dibandingkan dengan rekan mereka yang melayani wilayah Timur.
Dengan rentangan jarak wilayah yang luas dan kondisi transportasi yang terbatas
pada masa itu, membuat hubungan di antara pusat sinode (pucuk pimpinan)
gereja-gereja suku dan/atau denominasional dengan jemaat-jemaatnya merosot.
Apalagi ketika orang Belanda yang berkedudukan sebagai pucuk pimpinan mati
terbunuh atau kembali ke negara asalnya. Selain itu, kondisi perang membuat
kegiatan persidangan sinode atau pertemuan para pendeta di kalangan beberapa
gereja-gereja suku dan denominasional untuk menyatukan visi dan misi serta
tujuan pelayanannya tidak berjalan dengan baik dan teratur.
Pada tahun 1942, di beberapa wilayah, setiap hari Minggu ibadah berlangsung.
Namun ketika dilarang untuk berkotbah, maka ibadah Minggu hanya diisi dengan
pembacaan Alkitab. Ketika di beberapa jemaat, terjadi larangan untuk beribadah
di gereja atau gedung sekolah, maka ibadah Minggu dilangsungkan di bawah
pepohonan sambil membangun gedung gereja sementara. Kehadiran anggota
gereja dalam ibadah Minggu juga merosot. Faktor penyebabnya adalah
kebanyakan anggota gereja beranggapan bahwa ibadah itu telah dinodai dengan
upacara kebangsaan Jepang yaitu membungkuk, menghormati dan menyembah
kaisar Jepang. Selain itu, keengganan anggota gereja ke ibadah Minggu karena keterbatasan pakaia
B. Pelayanan Para Pendeta Jepang

Dalam pertemuan sebelumnya, kamu telah mempelajari fakta sejarah


mengenai kehadiran dan perkembangan gereja-gereja suku dan/atau denominasional
pada masa penjajahan Jepang. Sekarang, kamu akan mempelajari karya nyata para
pendeta Jepang yang bekerja di Indonesia pada saat dijajah oleh Jepang.

a. Shusho Miyahira

Pendeta Shusho Miyahira adalah seorang perwira Gereja Bala Keselamatan.


Dia bekerja di Indonesia pada tahun 1927-1939. Dia melayani sebuah jemaat orang
Jepang di Surabaya. Pemerintah Hindia Belanda mengusir dia dengan dugaan bahwa
dia adalah “mata-mata” (intelejen) Jepang. Sebab itu dia kembali ke Jepang. Sesudah
Jepang menjajah Indonesia, barulah dia kembali ke Indonesia pada bulan Pebruari
1942.
Namun Miyahira bukan hanya tampil sebagai pendeta, tetapi juga tampil sebagai perwira Angkatan Laut Jepang.
Jabatan tinggi dalam Minseibu yang dipegangnya adalah Kepala Kantor Agama Minseibu dan merangkap sebagai
Sekretaris Gubernur Sulawesi di Makassar. Dalam pelayanannya, Miyahira berusaha keras untuk meredakan
propaganda pihak tertentu yang melawan orang Kristen, dan untuk membantah fitnahan terhadap orang Kristen
seolah-olah orang Kristen menghendaki kehadiran kembali pihak Barat di Indonesia. Sebab itu, dia memerintahkan
penghentian penganiayaan terhadap jemaat GKKS dari kalangan orang Bugis di Soppeng. Ia juga membantu
jemaat-jemaat Kristen dengan menyumbang uang dan mengembalikan harta milik gereja yang telah dirampas oleh
militer Jepang. Malahan sesudah kekalahan Jepang, Miyahira bergabung dengan Angkatan Laut Republik Indonesia
selama perang kemerdekaan. Sebagai orang Jepang yang fasih berbahasa Indonesia, dia memohon pemerintah sipil
di wilayah kekuasaan Angkatan Laut Jepang untuk mendatangkan para pendeta Jepang. Permintaan ini diteruskan
kepada Gereja Kristus di Jepang (Nippon Kirisuto Kyodan). Pengurus Gereja ini mengutus pendeta Hachiro Shirato
untuk meninjau keadaan di Indonesia. Hasil peninjauan ini, diutuslah sepuluh orang pendeta Jepang ke Indonesia.
Empat orang di antara mereka meninggal dunia ketika kapal yang ditumpangi mereka ditenggelamkan oleh kapal
selam Amerika. Peranan Miyahira menjadi sangat penting terutama dalam mendatangkan para pendeta Jepang ke
wilayah Minseibu. Tahun 1944 sembilan pendeta Jepang tiba di Indonesia.

b. Siici Honda

Pendeta Seiichi Honda adalah salah seorang dari kesembilan orang pendeta yang didatangkan oleh Gereja
Kristus di Jepang ke Indonesia. Dia ditempatkan untuk melayani pasukan militer Jepang dan penduduk pribumi di
Kalimantan.
Pendeta Seiichi Honda tidak sendirian melayani di wilayah Kalimantan. Dia dibantu oleh sesama teman pendeta,
bernama Kazuo Kaneda. Pelayanan pendeta Seiichi Honda dan Kazuo Kaneda adalah berusaha menunjukkan
kesetiaannya kepada tanah airnya dengan menyampaikan pemahaman Jepang kepada semua orang Kristen di
Kalimantan, sambil meneguhkan iman para pendengarnya melalui kotbah dan pidato mereka.

c. Shigeharu Seya

Pendeta Shigeharu Seya adalah salah seorang dari kesembilan orang pendeta yang didatangkan oleh
Gereja Kristus di Jepang ke Indonesia. Dia ditempatkan untuk melayani pasukan militer Jepang dan penduduk
pribumi di Sulawesi Selatan.
Pendeta Shigeharu Seya tidak sendirian melayani di wilayah Sulawesi Selatan. Dia dibantu oleh sesama teman
pendeta, bernama Hachiro Shirato.
Sama seperti teman-teman pendeta Jepang lainnya, pelayanan Shigeharu Seya dan Hachiro Shirato adalah berusaha
menunjukkan kesetiaannya kepada tanah airnya dengan menyampaikan pandangan Jepang kepada semua orang
Kristen di Sulawesi Selatan terutama di Makale (Tana Toraja), sambil meneguhkan iman para pendengarnya
melalui kotbah dan pidato mereka. Dalam kegiatan pembinaan yang dilakukan kepada para pelayan pribumi pada
bulan Mei-April 1945 di Tana Toraja, pendeta Shigeharu Seya menyampaikan bahwa ketidakadilan telah dilakukan
oleh orang Barat terhadap Asia dan usaha mulia yang dilakukan Jepang adalah membebaskan bangsa Asia dari
pengaruh bangsa Barat (Amerika dan Eropa). Namun dia menegaskan pula bahwa semua manusia, Inggeris,
Amerika, Rusia, Belanda dan Nippon “harus kembali kepada Allah melalui salib Joljuta.” Dalam banyak hal para
pendeta ini melindungi orang Kristen terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan, baik oleh pihak Jepang sendiri
maupun orang bukan Kristen dari kalangan pribumi.

d. Ryoichi Kato

Pendeta Ryoichi Kato adalah salah seorang dari kesembilan orang pendeta yang didatangkan oleh Gereja
Kristus di Jepang ke Indonesia. Dia ditempatkan untuk melayani pasukan militer Jepang dan penduduk pribumi di
Maluku.
Sama seperti teman-teman pendeta, pelayanan Ryoichi Kato adalah mencegah dan melindungi para gadis Ambon
terhadap upaya tentara Jepang menjadikan mereka sebagai pekerja seksual. Di tengah pandangan tentara Jepang
bahwa orang Maluku
memiliki relasi akrab dengan bangsa Barat (Belanda dan Inggris) yang pernah menjajah Indonesia, maka pendeta
Kato meningkatkan peribadatan, memberi pembinaan dan pelatihan, serta terkadang menahbiskan seorang pendeta
jemaat dari kalangan pribumi. Atas sarannya, didirikanlah Gereja Kristen Ambon. Gereja ini mewadahi semua
denominasi gereja yang ada di Maluku, khususnya di kota Ambon, baik gereja Protestan, Katholik, Adven hari ke-7
maupun gereja-gereja Pentakosta. Dia meninggal di Jepang. Jenazahnya dikremasi. Sebagian abu jenazahnya
disemayangkan di depan Gereja Imanuel Karang Panjang-Ambon.
C. Perkembangan Nilai-nilai Iman Kristen pada masa Penjajahan Jepang dan maknanya bagi masa kin

Dalam pertemuan sebelumnya, kamu telah mempelajari fakta sejarah mengenai kehadiran dan karya
nyata para pendeta Jepang yang bekerja di Indonesia pada saat dijajah oleh Jepang. Sekarang kamu akan
mempelajari dan mewujudkan nili-nilai iman Kristen yang dihadirkan oleh para pendeta Jepang yang bermakna
bagi generasi masa kini. Sekurang-kurangnya ada dua nilai iman Kristen penting yang dihadirkan dalam pelayanan
gereja-gereja suku dan/atau denominasional di Indonesia.

a. Pembentukan Gereja Kesatuan

Nilai iman Kristen yang menonjol dalam kehadiran para pendeta Jepang dan yang bermakna bagi gereja
dan generasi orang percaya kepada Yesus Kristus pada masa kini adalah nilai kesatuan. Tepatnya, nilai keesaan di
tengah kenyataan gereja- gereja suku dan/atau denominasional di Indonesia. Pada saat itu, gereja-gereja suku
dan/atau denominasional di Indonesia. sedang berjuang menjadi manusia dan masyarakat yang merdeka dan
berdaulat. Dengan mengikuti spirit yang telah diperlihatkan dalam pembentukan Gereja Kristus di Jepang (Nippon
Kirisuto Kyodan), maka gereja-gereja suku dan/atau denominasional di kawasan Timur Indonesia disatukan ke
dalam Dewan Kristen (Kiristokyo Rengokai) pada tahun 1943.
Seluruh wilayah Sulawesi Utara dan Selatan, Kalimantan dan Maluku memiliki Dewan Kristen ini.
Organisasi ini memang bukan sebuah institusi gereja yang baru. Sebab gereja-gereja suku dan/atau denominasional
tidak dileburkan menjadi satu. Sebab masing-masing gereja suku dan/atau denominasional tetap mengelola
pelayanan gerejanya sendiri. Nilai iman Kristen yang dihadirkan dengan kehadiran Dewan ini adalah rasa
solidaritas, saling berbagi dan menopang dalam kesatuan sebagai gereja. Hubungan gereja-gereja suku dan/atau
denominasional yang nyaris tidak saling berhubungan dan malahan saling konflik berdarah-darah sebelum
penjajahan Jepang, pada masa ini menjadi kompak. Hal ini menjadi modal dasar bagi

97
bertumbuhnya semangat keesaan di kalangan gereja-gereja suku dan/atau denominasional.

.
b. Pembelajaran terhadap sesama
manusia tak berdaya

Nilai iman Kristen yang menonjol dalam kehadiran para


pendeta Jepang dan yang bermakna bagi gereja dan
generasi orang percaya kepada Yesus Kristus pada masa
kini adalah nilai pembelaan terhadap sesama manusia
yang tidak berdaya. Tepatnya, nilai kasih, kepedulian
dan keadilan di tengah kenyataan gereja- gereja suku
dan/atau denominasional di Indonesia yang terjajah oleh
ambisi
Jepang.

Gambar 6.4 Kerja paksa pada masa


penjajahan Jepang
Sumber : sangkalafatamorgana. wordpress.
Com

gereja-gereja suku dan/atau denominasional di Indonesia, pada satu pihak sedang berjuang menjadi manusia dan
masyarakat yang merdeka dan berdaulat dalam melawan penjajah, dan pada pihak lain menghadapi sesama
anggota masyarakat yang tidak menyukai kehadiran gereja. Selain disebabkan oleh pra-anggapan bahwa gereja
Kristen dekat dengan bangsa Barat, juga karena perkembangan gereja Kristen yang pesat di seluruh wilayah
Nusantara. Di beberapa wilayah, terutama wilayah Minseibu, para pelayan dan anggota gereja-gereja suku dan/atau
denominasional mengalami perlakuan yang tidak manusiawi. Para tawanan perang, orang-orang Barat (Belanda
dan Inggris), perempuan dan anak-anak mereka diperlakukan secara tidak senonoh. Banyak anak gadis direbut dan
dipekerjakan sebagai pemuas seksual para tentara Jepang. Gadis-gadis ini ada yang memperoleh bayaran, ada pula
yang tidak menerima bayaran. Mereka tak mampu untuk melakukan perlawanan. Para pemuda Kristen bersama
yang bukan Kristen diperintahkan untuk menjadi “tentara Jepang” (romusya) dan banyak yang gugur di medan
perang. Pendeta pribumi dan anggota jemaatnya dicurigai sebagai “kaki-tangan” orang Barat. Kekristenan
dianggap sebagai agama Barat, sebab itu harus dilenyapkan. Banyak orang Kristen
yang dipenggal kepalanya, hanya karena laporan-laporan fitnah dan hasutan dari
anggota masyarakat yang disampaikan kepada militer Jepang. Orang Kristen lebih banyak berdiam diri. Jarang ada
yang berani memprotes kondisi ini.
Menghadapi situasi dan kondisi seperti itu, kehadiran para pendeta Jepang sejatinya sangat membantu orang
Kristen, baik di wilayah Gunseibu maupun Minseibu.
Para pendeta Jepang ini melakukan pembelaan terhadap orang Kristen. Pembelaan itu dilakukan, baik terhadap
perorangan maupun persekutuan.
Ketika ada pendeta pribumi atau pendeta Belanda dan anggota gereja yang ditangkap dan diinterogasi oleh tentara
Jepang, maka pendeta Jepang ikut mendampingi agar tidak terjadi siksaan kepada mereka yang tertangkap itu.
Demikian pula, pendeta Jepang melakukan tawar-menawar dengan pihak militer Jepang agar anak-anak gadis dan
terutama pemuda di bawah umur dan orang tua usia lanjut dikembalikan kepada keluarga mereka. Nilai-nilai iman
Kristen yang mendorong para pendeta Jepang melakukan pembelaan terhadap sesama manusia yang tidak berdaya
adalah bertindak kritis terhadap tindakan militer Jepang yang tidak manusiawi, sekaligus meneguhkan iman
sesama orang Kristen melalui ibadah. Hal itu dilakukan mereka berkaitan dengan melemahnya aspek
kemasyarakatan, keuangan dan pendapatan, serta kedudukan dalam pemerintahan di wilayah jajahan maupun
kondisi kejiwaan orang-orang Kristen. Malahan pembelaan terhadap sesama yang tidak berdaya ini mereka
teruskan sampai pada masa perjuangan orang Indonesia mempertahankan kemerdekaan.
D. Rangkuman

Masa penjajahan Jepang di Indonesia dalam kurun waktu 1942-1945, sebagian besar gereja-gereja suku
dan/atau denominasional sudah menjalani kehidupan pelayanan yang mandiri. Namun peranan para pelayan dari Eropa
dalam gereja masih besar sekali. Kehadiran penjajahan Jepang menimbulkan tantangan yang hebat terhadap
perkembangan gereja-gereja suku dan/atau denominasional. Tantangan terhadap sumber daya kepemimpinan, keuangan,
lembaga-lembaga pendidikan dan kesehatan. Banyak sekolah dan klinik diambil alih penjajah Jepang.
Sejumlah pelayan dan anggota gereja mengalami kematian yang mengenaskan, baik disebabkan oleh tindakan
militer Jepang maupun masyarakat pribumi yang tidak
senang melihat perkembangan pesat gereja-gereja suku dan/atau denominasional. Pelayanan dilakukan para
penatua dan diaken dalam keterbatasan wawasan alitabiah dan bergereja. Peranan para pendeta Jepang sangat
besar dan berfaedah menumbuhkan nilai-nilai dan semangat kesatuan, keesaan dan kepedulian serta
pemberdayaan terhadap sesama manusia yang tidak berdaya.
104
Bab Perkembangan Gereja Pada Masa
VII Kemerdekaan dan Pembangunan Indonesia (Tahun 1945-2000)

Pada bab 7 terjadi beberapa perubahan-perubahan yang memperlihatkan perkembangan gereja.


Melalui pelajaran kali ini, kita akan fokus mempelajari perkembangan gereja dan nilai-nilai iman yang
berkembang pada masa kemerdekaan dan pembagunan di Indonesia (tahun 1945-2000) dan maknanya bagi
siswa dalam pergaulan bermasyarakat pada masa kini. Kamu diharapkan dapat aktif terlibat dalam
pemberlakuan nilai-nilai iman Kristen yang khusus muncul pada masa kemerdekaan dan pembangunan
Indonesia (Tahun 1945-2000). Nilai-nilai tersebut dapat menjadi pegangan dalam kamu merespon berbagai
bentuk tantangan yang muncul pada masa kini dan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari

105
n Gereja-gereja Suku dan Denominasional Pada Masa Kemerdekaan dan Pembangunan Indonesia (1945

Pada masa kemerdekaan Indonesia tahun 1945 sampai dengan 2000, Gereja gereja di Indonesia mengalami perkembangan yang
sangat baik. Setiap gereja yang ada memiliki organisasi yang mengayomi dan juga ciri khas dalam pelayanannya. Berikut ini kita
akan melihat dan mempelajari organisasi gereja-gereja suku dan denominasi.

a. Gereja-gereja Suku di Indonesia

Yang di maksud gereja suku atau daerah adalah berciri khas suku tertentu atau daerah tertentu
menurut adat istiadat setempat, di mana merupakan tempat gereja pertama kali didirikan, tetapi gereja-gereja
ini tetap terbuka bagi suku lain (ada pula gereja yang tertutup untuk suku lain, tetapi kemungkinannya sangat
kecil). Di Indonesia gereja kesukuan atau kedaerahan banyak jenis atau cabang mulai di kota sampai desa.
Aktivitas 1. Mari Berdiskusi
1. Buatlah kelompok terdiri dari 2-3 orang.
2. Pilihlah dua gereja dari anggota kelompokmu berciri khas daerah.
a.
…………………………………………………………………………………………………………………………………
b.
…………………………………………………………………………………………………………………………………
3. Pertanyaan.
 Apa ciri khas yang menonjol dari dua gereja suku tersebut?
4. Tuliskan pendapatmu, pendapat temanmu diskusikan bersama!
…………………………………………………………………………………………………………………………………
……
…………………………………………………………………………………………………………………………………
……

Berikut di bawah ini beberapa contoh nama gereja suku di Indonesia yang mewakili beberapa daerah yaitu:
a. Huria Kristen Batak Protestan - HKBP (memakai adat suku Batak Toba)

Huria Kristen Batak Protestan

Logo HKBP

Singkatan HKBP

Klasifikasi Kristen Protestan

Orientasi Lutheran

Pemimpin Ephorus Pdt. Dr. Darwin Lumbantobing

Asosiasi  Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)


 Federasi Lutheran se-Dunia (LWF)

 Indonesia
 Malaysia
Wilayah
 Singapura
 Amerika Serikat

Bahasa  Batak Toba (diprioritaskan)


 Indonesia
 Inggris

Liturgi Liturgi HKBP

Pearaja, Hutatoruan V, Tarutung, Tapanuli Utara, Sumatra


Kantor pusat
Utara

 Pdt. Carl Wilhelm Heine


 Karl Johann Klammer
Pendiri
 Friederich Wilhelm Betz
 Gerrit van Asselt

7 Oktober 1861
Didirikan Parau Sorat, Sipirok, Sumatra Utara Divisi

Regional I Sumatra Utara

Pecahan/pemekaran dari Rheinische Missionsgesellschaft (RMG)

 Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS)


 Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI)
 Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA)
 Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD)

Komunitas pemuda NHKBP

Kelompok jemaat 753 Ressort dalam 31 Distrik

Umat +6,500,000

Gambar 7.1 Profil Huria Kristen Batak Protestan


Sumber : https://id.wikipedia.org
b. Gereja Kristen Jawi Wetan

Gereja Kristen Jawi Wetan

Logo GKJW

Klasifikasi Kristen Protestan

Orientasi Calvinisme

Naskah agama Alkitab

Struktur organisasi Sinodial

Pemimpin Pdt. Tjondro Firmanto Gardjito

Asosiasi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia

Wilayah Jawa Timur, Indonesia

Bahasa Bahasa Indonesia


Bahasa Jawa

Liturgi Liturgi GKJW

Kantor pusat Shodanco Supriadi 18, Malang, Jawa Timur 65147

Didirikan 11 Desember 1936


Mojowarno, Kabupaten Jombang, Jawa Timur

Kelompok jemaat 171 Jemaat dalam 14 Majelis Daerah (per Februari 2019)

Situs web http://gkjw.or.id/

Slogan Patunggilan Kang Nyawiji

Gambar 7.2. Profil Gereja Kristen Jawi Wetan


Sumber : https://id.wikipedia.org
c. Gereja Kalimantan Evangelis - GKE (memakai adat Dayak)

Gereja Kalimantan Evangelis

Logo GKE

Klasifikasi Protestan

Pemimpin Pdt. Dr. Wardinan S. Lidim, Pdt. John Asihua, M.Th

Wilayah Kalimantan, Indonesia

Didirikan 10 April 1839


Kalimantan

Gereja induk RMG & Basler Mission

Kelompok jemaat 1.280

Umat 330.735 jiwa

Situs web http://gke.or.id/

Email: msgke@yahoo.co.id

Gambar 7.3. Profil Gereja Kalimantan Evangelis


Sumber : https://id.wikipedia.org
d. Gereja Toraja.

Gereja Toraja

Logo Gereja Toraja

Klasifikasi Protestan, Kalvinis

Pemimpin Pdt. Musa Salusu, M.Th. (2016-2021)

Wilayah Sulawesi, Indonesia

Didirikan 25 Maret 1947


Rantepao, Sulawesi Selatan

Umat 400.000 orang (2012)[1]

Situs web Situs Resmi Gereja Toraja

Gambar 7.4 Profil Gereja Toraja


Sumber : https://id.wikipedia.org
e. Gereja Kristen Injili Tanah Papua

Gereja Kristen Injili Tanah Papua

Logo GKITP

Klasifikasi Protestan

Orientasi Calvinis

Wilayah Tanah Papua

Didirikan 26 Oktober 1956;


Tanah Papua

Kelompok jemaat 1237 jemaat

Organisasi kemanusiaan tidak diketahui

Pendidikan tinggi Sekolah Tinggi Theologia Izak Samuel Kijne

Gambar 7.5 Profil Gereja Kristen Injili Tanah Papua


Sumber: https://id.wikipedia.org
f. Gereja Protestan Maluku

Gereja Protestan Maluku

Logo GPM

Klasifikasi Protestan, Calvinis

Pemimpin Ketua Umum Pdt. Dr. Ates Werinussa, M.Si.

Wilayah Indonesia

Didirikan 6 September 1935


Maluku

Pecahan/pemekaran dari Gereja Protestan Calvanis


Gereja Protestan di Indonesia (GPI)

Umat 504.128 jiwa

Gambar 7.6 Profil Gereja Protestan Maluku


Sumber https://id.wikipedia.org
g. Gereja Masehi Injili di Minahasa - GMIM (memakai adat Minahasa)

Gereja Masehi Injili di Minahasa

Logo GMIM

Klasifikasi Protestan, Calvinisme Reformed

Pemimpin Pdt. Dr. Hein Arina

Wilayah - Indonesia : Minahasa, Jakarta, Bandung, Medan, Batam dan wilayah lainnya - Luar
Negeri : Amerika, Jepang, Australia, Hongkong dan wilayah
lainnya.

Didirikan 30 September 1934


Minahasa, Sulawesi Utara

Gereja induk Indische Kerk

Umat 845.274 orang (2012)[1]

Situs web www.gmim.or.id

Email: sinode_gmim@yahoo.co.id; info@gmim.or.id

Gambar 7.7 Gereja Masehi Injili di Minahasa


Sumber : https://id.wikipedia.org
B. Gereja Menurut Denominasional

Pada masa sekarang ini, agama Kristen di Indonesia memiliki banyak kelompok yang biasa disebut
denominasi. Pengertian Denominasionalisme adalah sebuah ideologi, yang menganggap sejumlah atau semua
kelompok Kristen sebagai versi-versi dari suatu
kelompok yang sama, tak peduli dengan label-label yang membedakan mereka. Namun tidak semua
denominasi mengajarkan hal ini, dan ada sejumlah kelompok yang menganggap semua kelompok yang
berbeda dengannya sebagai murtad atau sesat: artinya, bukan versi yang sah dari agama Kristen.
Namun perpecahan terbesar dalam agama Kristen pada masa kini adalah antara Gereja-gereja
Ortodoks Timur, Katolik Roma, dan berbagai denominasi yang terbentuk pada masa dan sesudah Reformasi
Protestan. Di kalangan Gereja Protestan juga terdapat berbagai kesatuan dan perbedaan dalam tingkat yang
berbeda-beda. Perbandingan antara kelompok-kelompok denominasional harus dihampiri dengan hati-hati.
Misalnya, dalam sejumlah kelompok, jemaat adalah bagian dari satu organisasi gereja yang monolitik,
sementara dalam kelompok-kelompok lainnya, masing-masing jemaat adalah sebuah organisasi yang mandiri
dan otonom.
Perbandingan dengan angka juga dapat menjadi masalah. Sejumlah kelompok menghitung
keanggotaannya berdasarkan jumlah orang percaya yang dewasa dan anak- anak orang percaya yang
dibaptiskan, sementara yang lainnya hanya menghitung orang percaya dewasa yang sudah dibaptiskan. Selain
itu, barangkali ada motif-motif politik dari para penganjur atau lawan dari suatu kelompok tertentu untuk
menggelembungkan atau menggemboskan jumlah keanggotaan melalui propaganda atau pengelabuan.
Berikut ini sebutan beberapa nama gereja denominasional yaitu: Lutheran, Calvinis, Anglikan, Presbyterian,
Baptis, Metodis, Pentakostal, dan Karismatik.
1. Denominasi Lutheran.
Gereja-gereja Lutheran adalah gereja-gereja yang berasaskan ajaran Martin Luther, tokoh Reformasi
gereja pada abad ke-16 yang mengkritik ajaran dan praktik gereja yang
menyimpang dari firman Tuhan. Ajaran khas Martin Luther yang
seringkali juga diakui sebagai ciri khas ajaran Reformasi
disimpulkan dalam tiga sola, yaitu sola fide, sola gratia, dan
sola scriptura, yang berarti "hanya iman", "hanya anugerah",
dan "hanya Kitab
Suci". Maksudnya, Luther menyatakan bahwa
Gambar7.8. Martin Luther
Sumber : www.jawaban.com keselamatan manusia hanya diperoleh karena iman
kepada karya anugerah Allah yang dikerjakan-Nya melalui Yesus Kristus, sebagaimana yang disaksikan oleh
Kitab Suci yang tertulis pada Efesus 2 :8-9. Luther menentang praktik penyalahgunaan indulgensia
(penghapusan hukuman sementara akibat dosa) pada saat itu alasannya karena keselamatan karena anugerah
Allah bukan karena perbuatan. Pengaruh gereja Lutheran di Indonesia pada gereja-geraja Suku adalah dalam
Liturgi, dogma atau ajaran gereja, struktur organisasi dan kepemipinan.

2. Denominasi Calvin
Pengaruh internasional Yohanes Calvin dalam perkembangan doktrin-doktrin
Reformasi Protestan dimulai ketika ia berusia 25 tahun, ketika ia mulai menulis
edisi pertamanya dari Institusi Agama Kristen pada 1534 (diterbitkan pada 1536).
Karya ini mengalami sejumlah revisi pada masa hidupnya, termasuk terjemahan
yang
mengesankan ke dalam bahasa Prancis sehari-hari. Lewat Institusi Gambar7.9. John Calvin Sumber :
www. Wikipedia.org

bersama, Calvin memberi sumbangannya yang besar dalam bentuk tafsir Alkitab. Selain itu beliau
memberikan pengaruh secara pribadi yang besar terhadap Protestanisme. Ia hanyalah salah satu di antara
banyak tokoh lainnya yang memengaruhi doktrin-doktrin gereja-gereja Hervormd, meskipun akhirnya ia
menjadi yang paling terkemuka.

3. Denominasi Baptis.
Gereja Baptis adalah nama generik untuk gereja-gereja di lingkungan Protestan yang dicirikan antara lain
oleh penolakannya terhadap baptisan anak (baptisan yang diberikan kepada bayi
dan anak kecil). Gereja ini percaya bahwa baptisan hanya diberikan kepada
orang dewasa yang sudah dapat mengakui imannya secara sadar dan
bertanggung jawab. Praktik pelayanan baptisan hanya kepada orang dewasa di
kalangan Gereja Baptis ini kelak juga ditiru oleh beberapa denominasi lain.
John Smyth (lahir ~1570, meninggal 28
Agustus 1612) adalah seorang Pendeta Kristen asal Inggris, yang
Gambar 7.10: John Smyth
Sumber: www.google.com merupakan penganut awal komunitas Baptis dan seorang pembela prinsip
kebebasan beragama. Para sejarawan
menganggap John Smyth sebagai pendiri denominasi Gereja Baptis.

4. Denominasi Methodis.
Gereja Methodis berkembang dari Gereja Anglikan di Inggris. Karena Indonesia tidak banyak mendapatkan
pengaruh Inggris, maka Gereja Methodis di Indonesia pun tidak begitu besar.
Gereja Methodis adalah Gereja Protestan terbesar. Dengan jumlah anggota sekitar
20 juta orang yang tersebar di berbagai kelompok. Diperkirakan adalah Gereja
Protestan terbesar kedua di Amerika Serikat setelah Gereja Baptis. Sejak itu John
Wesley mengajarkan pengalamannya yang baru ini dan banyak orang yang
sebelumnya tidak ke gereja mulai tertarik
akan ajarannya.
Wesley mengajar dan mengarahkan kehidupan dan iman mereka. Wesley mengumpulkan

Gambar 7.11: John Wesley orang-orang ini dalam “persekutuan-persekutuan untuk berdoa bersama, mendengarkan firman, dan saling
Sumber : www.goegle.com mengawasi di dalam kasih, agar mereka
dapat mengerjakan keselamatan mereka masing-masing.”. Aturan-aturan ini
menyebabkan mereka diejek sebagai orang-orang yang “bermetode” atau “Methodis.”

5. Denominasi Pentakosta.
Gereja Pentakosta atau Pentakostalisme (aliran Pentakosta; bahasa Inggris:
Pentecostalism) - yang di Indonesia sering disebut juga Pantekosta - adalah
sebuah gerakan di kalangan Protestanisme yang sangat menekankan peranan
karunia- karunia Roh Kudus. Charles Fox Parham adalah figur utama
lahirnya kegerakan Pentakosta dan memberi kemajuan dalam teologi bahasa
roh yang merupakan bukti awal seseorang dibabtis Roh Kudus. Gereja
Pentakosta memiliki ciri-ciri:
1. Menekankan keyakinan akan peranan Roh Kudus dan karunia-
karunia Roh Kudus di dalam kehidupan sehari-hari para pengikutnya.
2. Pembaharuan infrastruktur ibadah, antara lain lagu-lagu
Gambar 7.12 :
Charles Fox Parham rohani yang digunakan lebih modern dibandingkan dengan lagu-lagu lama
Sumber : yang bernuansa Gregorian.
www.google.com
3. Gereja mengizinkan peran kaum perempuan dalam pelayanan dan desakralisasi hubungan antara
imam dan jemaat yang lebih ditekankan pada nilai kekeluargaan, sehingga jauh dari kesan
kesenjangan tingkat kerohanian.
C. Gerekan Oikumene dan Tokoh-tokoh di Kalangan Gereja
Suku dan Denominasional Pada Masa Kemedekaan dan Pembangunan Indonesia (tah

1. Johanes Ludwig Chrissostomus Abineno.


Abineno pernah sebagai Dosen di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Lahir pada
tahun 1917 dan wafat pada tahun 1995. Abineno seorang Pendeta dari Gereja
Masehi Injili di Timor. Latar belakang Abineno adalah Kalvinis. Abineno
mendapatkan gelar doktoralnya di Rijksuniversiteit di Belanda.
Dia menulis banyak buku di bidang teologi, khususnya di
Gambar 7.13
Johanes L.C. Abinemo bidang Praktika. Akibatnya, manusia tidak dapat berkata- kata
Sumber : mengenai penyataan Allah tanpa membicarakan
www.wikipedia.com
mengenai manusia, dan juga tidak dapat berkata-kata tentang manusia tanpa berkata- kata juga mengenai
penyataan Allah. Abineno juga merupakan salah satu pendiri Yayasan Musik Gereja Indonesia (Yamuger)
bersama-sama sejumlah tokoh musik gereja, termasuk DR. Alfred Simanjuntak, pada tahun 1967 di Jakarta.

2. P.D Latuihamallo.
P.D Latuihamallo merupakan seorang pendeta dari satu anggota PGI yang
berlatar belakang Calvinis yaitu GPM ( Gereja Protestan Maluku) dan Dosen
Emiritus STT Jakarta bidang Etika Sosial Politik. Ia juga beberapa kali
menjadi ketua PGI dan juga menjadi ketua umum PGI periode 1980-1984.
Latuhamillo sangat berminat pada Etika Sosial ketika menjadi pendeta pada
masa revolusi Indonesia tahun 1945-1949. Dia bergumul dengan

Gambar 7.14 P.D kemerdekaan Indonesia dan nasionalisme dan politik yang dihadapi
Latuihamallo Sumber :
warga jemaatnya. Pada zaman orde baru,saat pemerintah memiliki
www.wikipedia.com
Repelita (Rencana Pembagunan Lima
Tahun) pada 1969-1974, Latuihamallo membuat artikel yang berjudul Misiologi and Politic
Christian Alertness in Indonesia. Dalam artikel tersebut, jelas terdapat pemikiran untuk bangsa Indonesia
yang modern dan hubungan yang erat antara Kristen dan Muslim dalam modernisasi Indonesia.

3. Pdt. Wilhelm Johannis Rumambi.


Lahir di Minahasa, 1917 - RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, 23 Januari 1984) adalah Menteri
Penerangan Indonesia tahun 1966 pada Kabinet Dwikora III pada masa
pemerintahan Presiden Ir. Soekarno.W. J. Rumambi yang dikenal sebagai
pendeta tamatan Sekolah Tinggi Teologia Jakarta (1940), mula-mula
menjadi salah seorang pengurus Gereja Masehi Injili di Minahasa
(GMIM). Kariernya kemudian naik ketika sebagai sekretaris umum Dewan
Gereja-gereja di Indonesia (DGI) pada waktu lembaga

Gambar 7.15 W.J Rumambi itu terbentuk pada 1950. Tatkala Parkindo (Partai Kristen Indonesia) muncul
Sumber : www.wikipedia.com
sebagai salah satu pemenang dalam
Pemilu 1955, pendeta ini juga muncul di arena politik. Ia mewakili partainya dalam sidang-sidang Dewan
Konstituante di Bandung. Belakangan ia bahkan dua kali mendapat kepercayaan duduk sebagai menteri yaitu
sebagai Menteri Penghubung Lembaga Tinggi Negara dan Menteri Penerangan. Bermula dari kalangan
Gereja, setelah lepas dari kegiatan pemerintahan, Rumambi pulang kembali ke Gereja. Sejak 1967, ia
menjadi sekretaris DGI bidang kemasyarakatan. Sejak 1974, sampai akhir hayatnya, ia memegang jabatan
sekretaris Lembaga Alkitab Indonesia. Ia juga sempat menjadi komisans utama PT Sinar Kasih, yang
menerbitkan harian sore Sinar Harapan.

4. Todung Sutan Gunung Mulia.


Nama lengkapnya Todung Sutan Mulia Harahap, lahir
tahun 1896 – meninggal tahun 1966 pada umur 70tahun. Gunung
Mulia adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada tahun
1945 hingga tahun 1946 dalam Kabinet SjahrirI dan Kabinet Sjahrir
II. Ia adalah seorang Batak- Angkola yang
bermarga Harahap, ia juga adik sepupu

Gambar 7.16 T.S.G


Mulia
Sumber : www.wikipedia.com
dari Amir Sjarifoeddin. Ia juga salah satu pemrakarsa Pembentukan Partai Kristen Indonesia. Namanya kini
diabadikan menjadi nama sebuah badan penerbitan buku Kristen PGI, yakni BPK Gunung Mulia.

5. Dr. Soritua A.E. Nababan.


Adalah seorang pendeta dan tokoh gereja di Indonesia. Nababan dilahirkan
pada 1933. Ia menempuh pendidikannya di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
dan lulus pada 1956 dengan gelar Sarjana Theologia. Pada 1987-1998 ia
menjabat sebagai Ephorus Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), sebuah
gereja beraliran Lutheran di Indonesia. Pada masa kepemimpinannya
terjadi dualisme kepemimpinan di tubuh

HKBP (1992-1998). Jabatan-jabatan lain yang pernah di pegangnya Sekretaris


Gambar 7.17 SA. E Nababan
Sumber : www.wikipedia.com Umum Persekutuan Gereja-gereja di

Indonesia pada 1967-1984 dan kemudian Ketua Umum dari lembaga yang sama pada 1984-1987.
Nababan banyak terlibat dalam organisasi gereja di tingkat dunia. Ia pernah menjabat sebagai Sekretaris
Pemuda Dewan Gereja-gereja Asia (1963-1967) dan belakangan Presiden dari lembaga yang sama (1990-
1995), Wakil Ketua dari Komite Sentral Dewan Gereja-gereja se-Dunia (1983-1998), Wakil Presiden
Federasi Lutheran se- Dunia dan anggota Komite Eksekutif dari lembaga yang sama. Nababan juga menjabat
sebagai Ketua pertama dari Vereinte Evangelische Mission (United Evangelical Mission), sebuah lembaga
misi internasional yang terdiri atas 34 gereja anggota yang tersebar di Afrika, Asia, dan Jerman. Dalam
Sidang Raya ke-9 Dewan Gereja-gereja se-Dunia di Porto Alegre, Brasil pada tahun 2006, Nababan
terpilih menjadi salah seorang Presiden dari lembaga persekutuan gereja-gereja sedunia itu yang
beranggotakan gereja- gereja Protestan dan Ortodoks.
6. Tahi Bonar Simatupang.
Lebih dikenal dengan nama T.B. Simatupang (lahir
di Sidikalang, Sumatra Utara, 28 Januari 1920 – meninggal di
Jakarta, 1 Januari 1990 pada umur 69 tahun) adalah seorang tokoh militer di
Indonesia. Simatupang pernahditunjuk oleh Presiden Soekarno
sebagai Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia pada tahun 1950. Ia
menjadi KASAP hingga tahun 1953. Jabatan KASAP secara hierarki
organisasi pada

Gambar 7.18 T.B


Simatupang
Sumber : waktu itu berada di atas Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala
www.wikipedia.com
Staf Angkatan Laut, Kepala Staf Angkatan Udara[2] dan berada di bawah tanggung jawab Menteri
Pertahanan. Simatupang meninggal dunia pada tahun 1990 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kalibata. Pada tanggal 8 November 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada TB Simatupang. Saat ini namanya diabadikan sebagai salah
satu nama jalan besar di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan.

7. Dr. Johannes Leimena.


Lahir di Ambon, Maluku, 6 Maret 1905 dan meninggal di
Jakarta, 29 Maret 1977 pada umur 72 tahun. Dia adalah salah satu pahlawan
Indonesia. Ia merupakan tokoh politik yang paling sering
menjabat sebagai menteri kabinet Indonesia dan satu-
satunya Menteri Indonesia yang menjabat sebagai Menteri selama 21 tahun
berturut-turut tanpa terputus. Leimena masuk ke dalam 18 kabinet. Selain
itu Leimena juga menyandang pangkat Laksamana Madya
(Tituler) di TNI-AL. Keprihatinan Leimena atas

Gambar 7.19 Dr. J Leimena


Sumber : www.wikipedia.com
kurangnya kepedulian sosial umat Kristen terhadap nasib bangsa, merupakan hal utama yang mendorong
niatnya untuk aktif pada "Gerakan Oikumene". Leimena mulai bekerja sebagai dokter sejak tahun 1930.
Pertama kali diangkat sebagai dokter pemerintah di "CBZ Batavia" (kini RS Cipto Mangunkusumo) dan
pernah pula menjabat Direktur Rumah Sakit DGI Cikini. Pada tanggal 29 Maret 1977, J. Leimena meninggal
dunia di Jakarta.
8. Pdt. Dr. Sularso Sopater, M.Th.
Lahir di Yogyakarta, 9 Mei 1934 umur 85 tahun adalah pemuka agama
Kristen. Dia pernah menjabat sebagai Anggota Dewan Pertimbangan
Agung Republik Indonesia (DPA RI), Ketua Sinode Gereja Kristen
Jawa dan Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia.
Meraih gelar Master Teologi di Grand Rapids Michigan USA tahun
1975, lalu mengajar dogmatika di STT Jakarta
sejak tahun 1978. Gelar doktor teologi diperoleh
Gambar 7.21 Solarso Sopater
Sumber : www.wikipedia.com dari Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Dia adalah p e n d e t a di
lingkungan Gereja Kristen Jawa (GKJ), dan pernah menjabat sebagai ketua sinode di situ. Selain itu, Sularso
juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan dipercaya
menjadi salah satu anggota Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia (DPA RI). Diluar jabatannya
sebagai pemimpin umat, Sularso juga aktif dalam organisasi antara lain Direktur Lembaga Pembinaan Kader
GKJ/GKI Jawa Tengah, berkedudukan di Yogyakarta

9. Natan Setiabudi.

Kelahiran desa Blabak, Magelang, Jawa Tengah tanggal 30 Augustus


1940 adalah alumnus Sekolah Tinggi Theologia Jakarta, 1960-1966,
dengan gelar S.Th. dan Boston College Graduate School, USA, 1994,
dengan gelar Ph.D. Natan beristrikan Elizabeth Anantatedjana dan
memiliki tiga putra: Danny Setiabudi, George Citrawira Setiabudi, Gita
Kristi Setiabudi. Ketiga anak bersama mantu dan cucunya menetap di
Amerika Serikat. Pengerja GKI SW Jabar ini, mencuat kepermukaan
ajang nasional karena sikap, gagasan

Gambar 7.22 Natan Setiabudi


Sumber : www.wikipedia.com
dan pemikiran-pemikirannya yang menurut beberapa orang tidak klise tapi memiliki roh modernisasi
moderat, yang mampu menembus bidang untuk melakukan perubahan dan pembaharuan. Ketua Umum PGI
masa layanan 2000-2005 dan Koordinator Forum
Komunikasi Lembaga-Lembaga Gerejawi Aras Nasional (Forum LGAN), ini seorang yang tenang, cerdas,
berwibawa dan berwawasan luas.

10. Andreas Yewangoe.

Dilahirkan dari suami-istri Lakimbaba dan Kuba Yowi, namun sejak


usia 7 bulan, menurut kebiasaan di daerahnya, ia sudah diasuh oleh
orang tua angkatnya, yaitu Pdt. S.M. Yewangoe yang melayani sebagai
seorang pendeta di kampungnya, dan istrinya, Leda Kaka. Kehidupan
Pdt. Yewangoe ini sangat sederhana karena gaji pendeta di desa sangat
kecil. Karena itu, ayah angkatnya juga harus mencari nafkahnya
sebagai seorang petani. Sebagai seorang anak tani, Yewangoe terbiasa
hidup

Gambar 7.22 Natan Setiabudi


Sumber : www.wikipedia.com
menggembalakan kerbau bersama teman-temannya. Hidup di tengah keluarga pendeta ternyata meninggalkan
kesan yang sangat mendalam pada dirinya. Dalam benaknya muncul keinginan untuk juga menjadi seorang
pendeta. Harapannya ini ternyata cocok dengan harapan ayah angkatnya, sehingga ia pun didorong untuk
mengembangkan karier itu. Karenanya Yewangoe pun tertarik untuk belajar teologi, meskipun saat itu ia
sama sekali tidak tahu apa-apa tentang studi teologi.
Demikianlah Yewangoe menempuh pendidikan dasarnya selama enam tahun di Sekolah Rakyat
Masehi di Mamboru (1951-1957), yang dilanjutkannya dengan pendidikan menengahnya di sebuah sekolah
Kristen di Waikabubak, ibu kota Kabupaten Sumba Barat. Setelah tamat dari SMA pada 1963, ia pun
meninggalkan kampung halamannya menuju Jakarta untuk belajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (STT
Jakarta).

D. Perkembangan Iman Kristen

Pada bagian sebelumnya kita sudah belajar tentang kemandirian gereja dan gerakan oikumene.
Selanjutnya kita akan belajar tentang perkembangan nilai-nilai iman Kristen dalam hal kemandirian, Teologi,
Daya, dan Oikumene. Pengertian Iman dalam kekristenan adalah suatu keyakinan sentral yang diajarkan oleh
Yesus sendiri dalam kaitannya dengan injil (Kabar Baik). Kekristenan berbeda dengan agama lainnya karena
berfokus pada ajaran-ajaran Yesus, kedudukan-Nya sebagai Kristus yang dinubuatkan, termasuk keyakinan
akan Perjanjian Baru.

a. Nilai Kemandirian Teologi, Daya dan Dana.


Sebagai gereja yang terdiri dari banyak anggota kita harus bertumbuh dalam hal kemadirian,
termasuk dalam hal pemahaman Teologi, tenaga dan pembiayaan. Pengertian Kemandirian (self reliance)
adalah kemampuan untuk mengelola semua yang dimiliki, tahu bagaimana mengelola waktu, berjalan dan
berpikir secara mandiri disertai dengan kemampuan mengambil resiko dan memecahkan masalah.
Kemandirian berkenaan dengan kemampuan menyelesaikan suatu hal sampai tuntas.

b. Nilai Oikumene Semesta.


Berdirinya gereja di berbagai wilayah di Indonesia, seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi,
NTT, Maluku dan Papua mendorong munculnya gereja suku atau daerah dan juga gereja-geraja bersifat
umum. Gereja semakin tersebar ke seluruh Nusantara seperti perintah Tuhan Yesus dalam Markus 16:15.
Lalu Ia berkata kepada mereka: Pergilah keseluruh dunia, beritakanlah injil ke semua makluk”
Indonesia Negara kepulauan yang teridiri dari beragam suku, budaya dan bahasa sehingga setiap
gereja dalam cara melayani dan bertumbuh berbeda-beda. Akhirnya gereja terpisah-pisah seperti dalam
Jemaat di Efesus, Jemaat Korintus, Roma dan Tesalonika. Dalam pertumbuhan Jemaat mengikuti konteks
Jemaatnya seperti ketika Roh Kudus turun ke atas parah murid. Kis. 2:9-11 kita orang Partia, Media, Elam,
penduduk Mesopotamia, Yudea dan Kapadokia, Pontus dan Asia, Frigia dan Pamfilia, Mesir dan daerah-
daerah Libia yang berdekatan dengan Kirene, pendatang-pendatang dari Roma, baik orang Yahudi maupun
penganut agama Yahudi, orang Kreta dan orang Arab, kita
mendengar mereka berkata-kata dalam bahasa kita sendiri tentang perbuatan-perbuatan besar yang
dilakukan Allah."(TB) Jemaat yang bertumbuh akan menyesuaikan diri dengan kondisi masung-masing.
Pergumulan dalam gereja memunculkan kesadaran bahwa setia gereja adalah bagian dari gereja yang esa,
kudus, am dan rasuli di semua tempat dan zaman. Setiap gereja terpanggil untuk menyatakan keesaan gereja,
memberitakan injil ke semua orang.
E. Rangkuman

1. Gereja Suku atau daerah adalah berciri khas suku tertentu atau daerah tertentu menurut adat istiadat
setempat, di mana merupakan tempat gereja pertama kali didirikan, tetapi gereja-gereja ini tetap terbuka
bagi suku lain (ada pula gereja yang tertutup untuk suku lain, tetapi kemungkinannya sangat kecil). Di
Indonesia gereja kesukuan atau kedaerahan banyak jenis atau cabang mulai dari kota sampai kedesa.
2. Pada masa sekarang ini, agama Kristen di Indonesia memiliki banyak kelompok yang biasa disebut
denominasi. Pengertian denominasionalisme adalah sebuah ideologi, yang menganggap sejumlah atau
semua kelompok Kristen sebagai versi-versi dari suatu kelompok yang sama, tak peduli dengan label-
label yang membedakan mereka. Namun tidak semua denominasi mengajarkan hal ini, dan ada
sejumlah kelompok yang menganggap semua kelompok yang berbeda dengannya sebagai murtad atau
sesat: artinya, bukan versi yang sah dari agama Kristen.
3. Sebagai gereja yang terdiri dari banyak anggota kita harus bertumbuh dalam hal kemadiriann, termasuk
dalam hal pemahaman Teologi, tenaga dan pembiayaan. Pengertian kemandirian adalah kemampuan
untuk mengelola semua yang dimiliki. Pergumulan dalam gereja memunculkan kesadaran bahwa setiap
gereja adalah bagian dari gereja yang esa, kudus, am dan rasuli di semua tempat dan zaman. Setiap
gereja terpanggil untuk menyatakan keesaan gereja dan memberitakan Injil ke semua orang.

Anda mungkin juga menyukai