Portugis (pra-1596)
Pada bagian ini, kita akan bersama-sama mempelajari tentang tindakan penyelamatan dan
pemeliharaan Tuhan terhadap gereja- gereja di Indonesia pada masa Portugis (pra-1596) dan
maknanya bagi kehidupan bertanggung jawab siswa pada masa kini. Sesudah mempelajari Materi
Pelajaran pada Bab I ini, kamu diharapkan dapat menunjukkan rasa tanggung jawab terhadap
Tuhan dalam pergaulan hidup masa kini sebagai wujud pengamalan tindakan penyelamatan dan
pemeliharaan-Nya terhadap gereja di Indonesia pada masa Portugis (pra-1596).
Sejarah gereja Indonesia pada masa Portugus ini akan dibahas dimulai dari pelayanan
gereja Katolik di Halmahera, Kondisi gereja di Maluku selatan selama masa Portugis, dinamika
yang terjadi dalam upaya misi di Maluku. Hal lain yang akan kita pelajari tentang tindakan
penyelamatan dan pemeliharaan Tuhan terhadap gereja di Indonesia mada masa Portugis melalui
perjalanan pelayanan yang dilakukan oleh Simon Vaz di Mamuya dan Pelayanan Fransiskus
Xaverius di Maluku. Tahukah kamu bahwa sekitar tahun 1500, abad ke-16, belum ada negara
Indonesia sebagai kesatuan politis. Zaman itu Indonesia merupakan wilayah pulau-pulau yang
bersifat otonom di bawah penguasa kerajaan masing-masing pulau, misalnya kerajaan Perlak di
Aceh, kerajaan Samudera Pasai, kerajaan Malaka, Kerajaan Aceh, Kesultanan Demak, Kerajaan
Mataram Islam di Jawa, Kerajaan Cirebon, Kerajaan Banten, Kerajaan Gowa-Tallo di Makassar,
Kerajaan Ternate dan Tidore, Kerajaan Banjar di Banjarmasin Keberadaan Indonesia pada abad ke-
16 ini lebih dikenal dengan sebutan kepulauan Nusantara, yang terletak di antara daratan Asia dan
benua Australia (Van den End, 7).
Penduduk di setiap wilayah kerajaan ini banyak yang sudah menganut agama Islam yang
dibawa masuk oleh saudagar-saudagar dari India Barat sejak tahun 1300. Mulai dari Aceh, agama
Islam pun tersebar ke daerah Selatan dan Timur Nusantara. Sekitar tahun 1525 seluruh pantai utara
dan sebagian besar Pulau Jawa sudah dikuasai oleh raja-raja Islam. Dari Jawa agama Islam
disebarkan ke Maluku (Van den End, 7-8). Mari kita pelajari lebih lanjut tentang pelayanan gereja
Katolik di Halmahera (Maluku Utara).
Pada tahun 1538, tiga kampung di pulau Ambon menerima agama Kristen, dan bahwa
beberapa tahun kemudian jumlah jemaat telah bertambah menjadi tujuh. Sejumlah besar kampung-
kampung di Ambon dan kepulauan Lease menerima agama Kristen. Hal yang menonjol ialah
bahwa hasil tersebut tercapai walaupun kekristenan Ambon selama waktu itu kurang sekali
mendapat pemeliharaan dari luar. Para rohaniawan yang membaptis orang-orang Kristen pertama
itu tidak lama lagi berangkat. Setelah ia berangkat, ia mengirim seorang imam Yesuit. Akhir tahun
itu juga datang seirang imam, tetapi setengah tahun lagi ia dipanggil di Maluku Utara, di mana ia
mati syahid tak lama kemudian. Kalau dihitung, maka dalam ke-20 tahun pertama, hanya 5 atau 6
tahun lamanya Gereja di Ambon dilayani oleh seorang imam.
Dalam tahun-tahun setelah kunjungan Xaverius usaha pekabaran injil terus berkembang.
Kekristenan Ambon pada waktu itu kurang sekali mendapatkan pemiliharaan dari luar. Xaverius
sendiri hanya beberapa bulan saja lamanya tinggal di Ambon, ia mengirim seorang imam Yesuit
yang bekerja keras namun belum dua tahun dia mati dan anggota kristen di Ambon berdiri sendiri,
hanya lima dan enam tahun lamanya gereja di Ambon dilayani seorang imam.
Pada tahun 1569-1570 merupakan masa tentram, para misionaris membaptis
8.1 orang dewasa dan anak-anak. Orang-orang kristen juga di terima di beberapa kampung
Pulau Seram Selatan. Setelah itu peristiwa-peristiwa datang mengganggu misi di Ternate dan
kehidupan jemaat di Ambon. Setelah tahun 1560-an biasanya ada dua atau tiga orang missioner,
mereka mendirikan agama seperti yang sudah dilakukan oleh Xavirius. Mereka mendidik dan
mengangkat tenaga-tenaga setempat para pater menjalankan satu sekolah, anak-anak diberi
pendidikan mengenai iman Kristen. Dalam waktu yang panjang gereja di Maluku berkembang
dengan baik. Mereka mendidik, mengangkat tenaga setempat. Para pater menjalankan sebuah
sekolah dengan mengajarkan agama dan mata pelajaran lainnya yang menjelaskan pokok-pokok
iman Kristen.
endiri pun tidak selalu menghindari metode-metode yang lama. Baptisan massal berjalan terus,
begitu juga pemisahan sakramen-sakramen. Xaverius dan kawan-kawan mengingatkan kita kepada
seorang “Rasul Maluku” yang lain, dan yang juga membawa semangat baru di dalam rangka sistim
yang lama, yaitu Joseph Kam.
Kita telah melihat bahwa pada tahun-tahun 1540-an orang-orang Yesuit memilih Maluku
sebagai salah satu wilayah kerja mereka. Mereka membawa semangat baru dan metode baru, yang
mendobrak ideologi-negara. Tetapi mereka harus tetap bekerja di dalam rangka lama. Dan mereka
sendiri tidak bebas dari suatu ideologi-gereja yang tidak segan memakai alat-alat negera demi
melindungi dan memajukan Misi.
D. Pelayanan Fransiskus Xaverius di Maluku
Dalam tahun 1540-an, tenaga- tenaga
misi, yaitu pater-pater Serikat Yesus (orang-
orang Yesuit) datang untuk mengabarkan Injil
di Maluku. Mereka menggunakan metode Misi
yang baru. Mereka tidak mau lagi membaptis
orang sebelum dipastikan bahwa setelah
baptisan akan dilanjutkan dengan pendidikan
agama yang memadai, sehingga orang menjadi
sadar akan arti perpindahan agama.
Gambar 1.2. Fransiscus Xaverius
Sumber: https://tirto.id/kisah-fransiskus-
xaverius- penyebar-katolisisme-di-
indonesia-cmhd
Mereka berusaha membimbing orang supaya dapat ikut serta dalam komuni (perayaan Misa atau
perjamuan). Mereka juga tidak setuju kalau orang yang dibaptis diberi nama “Kristen”. Di antara
para misionaris Yesuit yang bekerja di Maluku, Fransiscus Xaverius adalah seorang misionaris
yang paling terkenal. Agar kita lebih mengenal sosok Fransiscus Xaverius, maka mari kita
mengerjakan aktivitas berikut ini: Amatilah gambar berikut ini:
Temukan dari berbagai sumber, terkait dengan kisah kehidupan Fransiscus Xaverius. Setelah
menemukan kisah Fransiscus Xaverius maka berikan tanggapan atas pertanyaan berikut ini:
Fransiscus Xaverius bekerja di Maluku kurang lebih 15 bulan lamanya, sejak tahun 1546-
1547, mula-mula di Ambon, kemudian di Ternate dan Halmahera, kembali di Ternate dan akhirnya
di Ambon. Karena Xaverius berhasil dalam mengerjakan Misi yang dipercayakan gereja
kepadanya, maka ia dinyatakan sebagai “orang kudus” (Santo) oleh Gereja Katolik-Roma. Di
Ternate, Xaverius berusaha untuk mengubah kehidupan orang- orang Kristen Portugis dan Indo-
Portugis yang menyimpang dari ajaran agama Kristen. Setiap hari, ia menyelenggarakan pelajaran
agama Kristen untuk anak-anak dan orang dewasa yang berlangsung selama 2 (dua) jam.
Metode mengajar yang dipakai Xaverius adalah mengkaji dan menjelaskan kepada para
pendengarnya rumusan-rumusan pokok iman Kristen, seperti Pengakuan Iman Rasuli, Doa Bapa
Kami, Salam Maria, Kesepuluh Perintah. Kalau pendengarnya adalah orang-orang Indonesia,
Xaverius memakai terjemahan bahasa Melayu untuk menjelaskan rumusan-rumusan tersebut.
Selanjutnya, para pendengar mengungkapkan ulang naskah-naskah itu sampai hafal.
Bahkan teks-teks tersebut diberi lagu-lagu, sehingga orang bisa menyanyikannya di jalan umum
maupun di ladang dan dalam rumah-rumah mereka. Pada malam hari, ia keliling kota sambil
memegang sebuah lonceng kecil, dan berjalan dari rumah ke rumah untuk mengajak orang
mendoakan jiwa-jiwa di api penyucian dan orang-orang yang hidup dalam dosa berat, dan yang
tidak mau bertobat sehingga akan binasa kelak.
Di Ternate, Xaverius menyusun pula katekismus dalam bentuk suatu syair yang
mengandung penjelasan tentang Pengakuan Iman Rasuli. Katekismus ini memiliki salinan dalam
bahasa Melayu, selain dalam bahasa Portugis. Syair yang terungkap di dalamnya adalah
“Bersukacitalah kalian umat Kristen, mendengar dan mengetahui bahwa Allah membuat segala
barang ciptaan-Nya untuk kepentingan manusia”. Isinya terdiri dari 39 pasal, yang susunannya
disesuaikan dengan urutan Keduabelas Pasal Iman (Pengakuan Iman Rasuli).
Dari Ternate, Xaverius bertolak ke Ambon. Ia tiba di Ambon pada Februari 1546 dan
menemukan 7 kampung yang telah masuk Kristen, yakni: Hatiwe, Amantelu, Nusaniwe, Amahusu,
Eri, Silale dan Namalatu. Cara bekerja Xaverius untuk mengabarkan Injil kepada orang-orang
Ambon sama seperti di Ternate. Bersama seorang anak laki-laki yang membawa salib di depannya
dan sekaligus menjadi jurubahasa, serta ditemani oleh rombongan anak-anak lain Xaverius berjalan
mengunjungi orang dari rumah ke rumah dan menanyakan apakah ada orang yang sakit dalam
rumah itu atau adakah anak-anak yang mau dibaptis. Ketika pertanyaan diiakan orang, ia masuk
rumah, mengangkat tangan dan berdoa; lalu anak-anak yang menghantar dia mengucapkan
Pengakuan Iman Rasuli dan Kesepuluh Perintah dalam bahasa Melayu, dan Xaverius sendiri
membacakan kutipan dari Injil untuk orang sakit atau membaptis anak-anak. Selain itu, dengan
bantuan jurubahasa, ia mengumpulkan orang-orang dewasa maupun anak-anak dan mengajarkan
kepada mereka doa-doa dan pokok-pokok iman yang sudah diterjemahkannya ke dalam bahasa
Melayu.
Selain Xaverius bekerja untuk memelihara dan meningkatkan kualitas iman orang- orang
Kristen, ia juga menyebarkan Injil kepada orang-orang yang masih menganut agama nenek-
moyang. Ia berjalan mengelilingi seluruh daerah Leitimor (bagian Selatan pulau Ambon) dan
mengunjungi pulau Seram, Saparua, Nusa Laut di mana belum terdapat orang-orang Kristen.
Namun hasilnya kecil. Hanya di Nusa Laut ia berhasil membaptis satu
orang. Xaverius agak kecewa dengan hasil pekerjaannya tersebut, sehingga saat ia keluar
meninggalkan pulau itu, ia membuka sepatu dan mengebaskan debu daripadanya.
Tiba saat bagi Xaverius pun untuk meninggalkan Ambon. Namun, sebelum pergi ke luar
Ambon ia mengangkat beberapa orang, yaitu mereka yang paling maju dalam pengetahuan tentang
iman Kristen untuk menjadi pengajar bagi teman-teman sekampungnya. Keberadaan Xaverius di
Ambon telah meninggalkan banyak cerita kenangan karena keramahannya yang luar biasa bagi
orang-orang Kristen, orang-orang Islam, dan penganut agama suku. Diceritakan bahwa Salib
Xaverius pernah hilang dalam laut pada saat usahanya untuk menenangkan ombak yang bergelora.
Tetatpi pada hari berikutnya, di pantai Seram, seekor kepiting besar datang meletakkan Salib
tersebut di kakinya. Selain itu, pernah di suatu kampung di Saparua yang menderita karena
kekurangan air ia berdoa minta hujan, dan hujan pun segera datang sehingga seluruh penduduik
kampung itu masuk Kristen.
Nilai-nilai Iman Kristen
Bab
dalam Perkembangan Gereja
II di Indonesia Pada Masa Portugis (Pra-1596)
Pada bagian pelajaran bab satu kita sudah belajar bersama-sama tentang tindakan
penyelamatan dan pemeliharaan Tuhan terhadap gereja- gereja di Indonesia pada masa Portugis
(pra-1596) dan maknanya bagi kehidupan siswa pada masa kini. Selanjutnya pada bab dua ini, kita
akan mempelajari tentang nilai-nilai iman Kristen dalam perkembangan gereja di Indonesia pada
masa Portugis (pra-1596) dan maknanya bagi kehidupan siswa sehari-hari dalam pergaulan
bermasyarakat pada masa kini.
Sesudah mempelajari materi pelajaran pada bab dua ini, kamu diharapkan dapat
menunjukkan rasa tanggung jawab kepada Tuhan dalam pergaulan sehari-hari sebagai wujud
pengamalan tentang nilai-nilai iman Kristen terhadap gereja di Indonesia pada masa Portugis (pra-
1596). Adapun topik pembelajaran kita terdiri dari bagaimana kepatuhan terhadap penugasan,
memberikan penghargaan terhadap sesama dan cara adaptasi dengan lingkungan
Penghargaan ialah sesuatu yang diberikan pada perorangan atau kelompok jika mereka
melakukan suatu keunggulan atau kontribusi di bidang tertentu. Penghargaan biasanya diberikan
dalam berbagai bentuk seperti gelar, sertifikat, medali, uang atau nobel. Dalam Perjanjian Baru 1
Korintus 16: 14-18 menjelaskan kisah pelayanan Stefanus kepada Jemaat. Ayat 18. Karena mereka
menyegarkan rohku dan roh kamu. Hargailah orang-orang yang demikian. Stefanus adalah tokoh
yang dihormati oleh umat Kristen sebagai protomartir atau juga disebut martir perdana agama
Kristen. Kisah Parah Rasul menjelaskan Stefanus adalah seorang diaken Gereja pertama di
Yerusalem yang begitu aktif dan bersemangat melayani Tuhan bagi sesama. Ketika dihadapkan
kepada mahkamah agama dengan tuduhan penodaan agama ia malah mengecam sidang majelis,
sehingga Stefanus dihukum dengan cara dirajam.
Pada tanggal 8 Februari 1815, Joseph Kam berangkat ke Ambon melalui Pasuruan. Joseph
Kam menikah dengan seorang gadis Indo-Belanda yang bernama Sara Maria Timmerman pada
tanggal 28 April 1815. Mereka dikarunai dua orang anak, tetapi seorang meninggal pada usia
muda. Sedangkan anak yang kedua Joseph Karel, menjadi pendeta mengikuti jejak ayahnya dan
melayani di Maluku Tenggara. Joseph Kam disebut Rasul Maluku karena seluruh pekabaran Injil
yang dilakukannya dengan kesaksian menurut ajaran rasul-rasul. Joseph Kam menjadi saksi
seorang pekabar Injil yang sangat gigih dalam melakukan pelayanannya di Ambon. Dalam
pelayanannya dia memfokuskan kepada para petobat baru. Para misionaris yang pertama
menginjakkan kakinya di kepulauan Maluku, mereka ialah beberapa rahib, lalu mereka mendarat di
Ternate pada tahun 1522. Para rahib menaruh sikap penghargaan terhadap sesama di Maluku
dengan
cara pelayanan misi pekabaran Injil yang menghargai sesama manusia. Melalui sejarah gereja di
Maluku Utara dapat dilihat bahwa para misionaris ditolak dan diusir bahkan dibunuh (Simon Vaz)
karena kadang mengorbankan hak-hak kemanusiaan dalam masyarakat. Lalu mereka mulai bekerja
di Halmahera pada tahun 1534, tetapi disebabkan kebengisan pegawai-pegawai Portugis, rakyat
bersepakat untuk mengusir semua orang kulit putih dan memaksa orang yang telah masuk Kristen
itu murtad lagi. Simon Vaz, seorang pater Fransiskan, mati dibunuh selaku syahid pertama di
Maluku 1536.
Dalam melakukan tugas pelayanan gereja, sikap penting yang perlu diterapkan adalah
menghargai sesama manusia dan bersikap ramah terhadap siapapun. Perilaku yang membedakan
manusia berdasarkan status sosial, jabatan, etnis adalah pantangan besar untuk dilakukan. Hal mana
seperti yang dilakukan oleh Xaverius selama menjalankan tugas misi di Maluku Utara dan Maluku.
Ia dikenal sebagai seorang yang memiliki sikap ramah dan cinta terhadap sesama manusia, tidak
membeda-bedakan manusia berdasarkan agama yang dianut oleh mereka. Perilakunya seperti
demikian telah berhasil menimbulkan rasa cinta-kasih penduduk Maluku, baik yang Kristen
maupun Islam dan penganut agama suku terhadapnya.
Xaverius tak menyebarkan Katolik dengan cara debat dengan orang-orang awam. Setelah
dia bisa bahasa setempat, dia menggali budaya lokal yang cocok untuk menanamkan nilai-nilai
Katolik dalam kehidupan sehari-hari di kalangan masyarakat setempat. Xaverius sadar bahwa
“tidak semua unsur kebudayaan bukan Kristen harus dianggap hina ataupun ditolak begitu saja,
sebaliknya ada banyak hal yang patut dihargai. agama Kristen harus disampaikan sesuai dengan
pendidikan dan kebudayaan setempat,”. Karena agama yang diajarkannya mengajarkan kasih
sayang, “di setiap tempat, sifatnya yang ramah dan perhatiannya yang tulus menarik banyak orang
untuk datang dan percaya untuk mengenal Kristus,”.
Xaverius di anggap berhasil, “keberhasilannya ini terutama disebabkan oleh kasih
sayangnya kepada penduduk setempat. Ia selalu membela penduduk setempat kalau di tindas orang
Portugis,”.Model-model pekabaran Injil yang selalu menaruh sikap penghargaan terhadap sesama
baik yang seiman maupun yang tidak seiman. Kini banyak di lakukan oleh gereja dan badan-badan
misi melalui mendirikan sekolah untuk masyarakat dan melayani melalui kesaksian.
Salah satu model misi pekabaran Injil yang baik adalah beradaptasi dengan lingkungan.
Adaptasi adalah menyesuaikan diri dengan lingkungan bukan Injil dipertentangkan dengan
lingkungan, sehingga kekristenan yang baik dapat bertumbuh di lingkungan, tidak terasing dari
lingkungan. Pengertian adaptasi adalah cara bagaimana organisme mengatasi tekanan lingkungan
sekitarnya untuk bertahan hidup. Organisme yang mampu berdaptasi akan bertahan hidup,
sedangkan yang tidak mampu beradaptasi akan menghadapi kepunahan atau kelangkaan jenis.
Tuhan Yesus memberi teladan yang baik dan sempurna dalam hal adaptasi dengan
lingkungan. Seperti ada tertulis dalam Yohanes 4 : 9-42 dalam kisah percakapan Yesus dengan
perempuan Samaria. Ayat 9. Maka kata perempuan Samaria itu kepada-Nya: “Masakan Engkau,
seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria?” (Sebab orang Yahudi tidak bergaul
dengan orang Samaria.) Firman Tuhan menjelaskan bagaimana Tuhan Yesus bisa masuk kepada
perempuan Samaria yang berbeda budaya, sosial dan keyakinan pada waktu itu. Akhirnya Yesus
bisa menyadarkan dan mempertobatkan perempuan Samaria bahwa ada Mesias yang disebut juga
Kristus sebagai Juruselamat, sehingga lewat pertobatannya itu satu kota atau kampung datang
kepada Yesus, ayat 30. Maka mereka pun pergi keluar kota lalu datang kepada Yesus.
Pendekatan adaptasi yang dilakukan Xaverius membuat dirinya mudah diterima oleh
masyarakat setempat. Penerimaan tersebut membuat ia dapat leluasa melakukan tugas
pelayanannya, seperti mengunjungi jemaat-jemaat Kristen di Halmahera yang
berada dalam keadaan berantakan dan tidak pernah dikunjungi oleh seorang Imam. Pola adaptasi
yang diterapkan Xaverius sedemikian merupakan salah satu pola kontekstual yang relevan untuk
dilakukan sehubungan dengan konteks kemajemukan di Indonesia saat ini. Di akhir pemerintahan
Portugis tahun 1605 jumlah orang Kristen di Ambon dan Lease bertambah menjadi 16.000 orang.
Dalam menjalankan tugas pemberitaan Injil, tindakan menyesuaikan diri dengan lingkungan adalah
suatu cara tepat yang kontekstual untuk ditempuh. Xaverius sewaktu berada di Ternate telah
melakukan hal tersebut. Ia tidak hanya memperhatikan orang-orang yang sudah Kristen. Ia bergaul
juga dengan orang-orang Islam. Ia menjalin persahabatan akrab dengan Sultan Hairun yang muda
yang di kemudian hari akan menjadi musuh besar untuk orang-orang Portugis.
26
27
Perkembangan Gereja Pada Masa VOC
Bab
di Indonesia ( 1596-1799)
III
Pada bagian pelajaran bab tiga ini, kita akan bersama-sama mempelajari tentang
perkembangan sejarah gereja di Indonesia pada masa pemerintahan Verenigde OoastIndische-
Compagnie (VOC). Adapun topik pembahasan kita pada bagian ini seputar nama nama gereja
dalam pengasuhan Verenigde OoastIndische-Compagnie (VOC) pada tahun 1602-1799, bentuk
pelayanan gereja yang dilakukan oleh tokoh Sebastian Danckaerts, tokoh Adrian Hulsebos, dan
tokoh Heurenius.
Sesudah mempelajari materi pelajaran pada bab tiga ini, kamu diharapkan dapat
menunjukkan rasa tanggung jawab terhadap Tuhan dalam pergaulan pelajar masa kini sebagai
wujud pengamalan terhadap perkembangan gereja pada zaman VOC.
Anak anak tahukah kamu kapan pertama kali Pemerintahan Verenigde OoastIndische-
Compagnie (VOC) masuk di Indonesia? gereja apa yang dibawah? dari mana asal usul datangnya
gereja tersebut? daerah mana saja yang menjadi pusat pelayananya? dan siapa saja tokoh-tokoh
yang menyebar luaskannya? untuk mengetahui dan mengerti jawabannya, mari kita belajar
bersama-sama lebih lanjut.
Pada tahun 1596 kapal Belanda pertama masuk di perairan Indonesia, dimulai saat itu
kekuasaan Belanda semakin berkembang dengan cepat dibumi Nusantara sehingga perlu diatur
suatu sistem pemerintahannya. Pada tahun 1602 dibentuklah suatu organisasi yang mengatur
perkapalan Verenigde OoastIndische - Compagnie (VOC), kepala dari organisasi ini diberikan
kekuasaan untuk mengatur seluruh daerah jajahan Belanda mulai dari negara India Selatan sampai
negara Taiwan.
Di Indonesia organisasi VOC ini saat itu dipimpin oleh seorang Gubernur Jenderal, yang
tinggal di Jakarta (Batavia). Dengan adanya organisasi Verenigde OoastIndische - Compagnie
(VOC) ini keberadaan gereja Protestan Calvinis di Nusantara makin berkembang dalam
29
pengawasan dan tanggungjawab VOC. Saat itu gereja sangat diistimewakan oleh pemerintah VOC.
Jemaat-jemaat di Nusantara merupakan perwujudan jemaat dari gereja Belanda yang berasas ajaran
Calvinis. Untuk mengerti sejarah dan perkembangan gereja gereja di Indonesia pada abad ke-17
sampai ke-18, kita semua perlu mengetahui tentang sejarah gereja yang terjadi di Belanda. Pada
saat itu di
30
Negara Belanda sedang terjadi gejolak dan perubahan agama di mana Katolik Roma sebagai agama
resmi Negara diganti dengan agama Protestan
Di pihak Katolik Roma, melalui Negara, terus berupaya untuk menguasai gereja Protestan
namun usaha mereka tidak berhasil. Dalam tahun 1550 di Belanda sudah terbentuk jemaat-jemaat
ajaran Calvinis, tetapi karena waktu itu raja yang memerintah masih berasal dari Spanyol dan tetap
setia kepada agama Katolik Roma maka jemaat jemaat Protestan ditindas dengan keras, sehingga
muncullah pemberontakan dari Protestan. Pada waktu itu pasukan tentara Spanyol berusaha
memadamkan pemberontakan dengan bengis, dan ahkirnya puluhan ribu orang meninggal.
Dalam tahun 1590 Belanda Utara menjadi sebuah Negara yang merdeka. Kemerdekaan
Belanda justru membawa kesulitan besar bagi gereja Katolik Roma, di mana anggota jemaat
dicurigai, dilarang perayaan ibadah di muka umum, hanya boleh beribadah di rumah pribadi atau
gedung gereja samaran. Dalam tahun kemerdekaan itu orang Belanda mulai datang ke Indonesia
dengan membawa misi gereja Protestan Calvinis. Setelah pemerintah masuk VOC di Indonesia
mengusai kota, maka dikusai juga oleh gereja Protestan Calvinis, sehingga muncul gereja beraliran
Calvinis, seperti Gereja Protestan Maluku, Gereja Protestan Ternate dan Tidore semua
diselenggarakan di bawah kekuasaan VOC sebagai Negara.
a. Gereja Protestan di Maluku
Di pulau-pulau Maluku Utara, pada tahun 1570, merupakan titik balik dalam
perkembangan gereja Protestan Calvinis. Di mana para misionaris yang telah dibunuh dan diusir,
dan jemaat yang telah dirusak mulai dibangun kembali. Tercatat sekitar tahun 1565 jumlah daerah
yang menjadi kampung Kristen sebanyak 47 wilayah dengan jumlah anggota jemaat sekitar 80.000
jiwa. Kehadiran Belanda di Maluku dengan kebijakan Verenigde OostIndische Compagnie (VOC)
itu membawa pengaruh baik bagi perkembangan agama Kristen. Bagi VOC, kepentingan agama
dan kepentingan negara saling berkaitan.
Gereja Protestan Ternate dan Tidore dimulai pada tahun 1547-1570, Pulau Ternate merupakan
pusat kegiatan misi, di situ menetap juga kepala orang Yesuit yang bekerja di Maluku, Penduduk
Ternate sendiri kebanyakan beragama Islam. Tetapi pulau itu merupakan pangkalan orang Portugis
di Maluku dan Misi tetap terikat kepada kekuasaan negara Portugis itu berarti mereka terlibat
dalam persaingan kekuasaan politik.
Sultan yang berkuasa pada zaman itu adalah Sultan Hairun. Ia ingin mendirikan suatu kerajaan
besar yang meliputi Maluku dan daerah sekitarnya. Hairun tidak suka kalau ada daerah yang
menerima agama Kristen. Secara pribadi Hairun tidak menyukai orang Portugis bahkan ia dua kali
ditangkap oleh panglima tanpa alasan. Sejarah jemaat ini berlangsung terus sampai abad ke-18
bahkan sampai kepada zaman kita. Jemaat-jemaat Protestan ini berdiri sendiri di Ternate dan
Tidore bahkan tugas pengembangan agama Kristen makin maju dan berkembang, ada sejumlah
orang Ternate dan Tidore dibaptis.
c. Gereja Protestan di Sulawesi Utara
Pada tahun 1560-an, agama Kristen mulai masuk dan mendapat tempat yang baik di
Sulawesi Utara dan kepulauan Sangir Talaud, di sini penyebaran agama Kristen terjalin dengan
baik walaupun ada persaingan antara orang Potugis dan Ternate, juga orang Spanyol dan Belanda.
Di mulai dari dua kapal kora-kora Portugis yang berlayar ke Sulawesi Utara dan seorang
misionaris ikut dalam perjalanan tersebut, mereka sampai di Manado pada bulan Mei 1563.
Masyarakat di pulau ini lebih banyak hubungannya dengan dunia luar, dan lebih terbuka dengan
agama baru, sistem organisasi politisnya berupa kerajaan. Sampai di Manado misionaris Pater
Magelhaes disambut gembira, penduduk senang menerima kehadiran orang Portugis. Dalam
pelayanannya Pater menggunakan waktu dua minggu untuk mengajar mereka tentang pokok-pokok
agama Protestan di sesuaikan dengan daya dan pengertian mereka.
Melalui Pelayanan Pater raja dan 1500 orang rakyatnya memberi diri dibaptis, dan waktu itu
raja pulau Sangir Siau ada di Manado ikut dibaptis, dan diberikan nama baptis Jeremino oleh Pater.
Dalam kurun beberapa tahun kemudian rakyat pulau Sangir Siau menyusul untuk dibaptis.
Peristiwa baptisan itu merupakan permulaan gereja di Minahasa.
Pekabaran Injil di kepulauan Sangir Talaud mulai masuk pada tahun 1606-1677. Kepulauan
Sangir Talaud merupakan daerah perbatasan Filipina di mana pengaruh Spanyol sangat kuat, dan
Verenigde OoastIndische - Compagnie (VOC) yang bersekutu dengan raja Ternate. Saat itu raja
Siau tetap setia kepada raja Spanyol, sedangkan raja Sangir Timur dan Tagulandang lebih berpihak
kepada raja Ternate. Kemenangan Spanyol dari Ternate berdampak baik dalam perkembangan
agama Kristen, Misionaris Pater mengajarkan asas asas Kristen kepada masyarakat Siau, dan lewat
pelayanan tersebut semuanya menjadi Kristen. Dari catatan sejarah pelayanan para misionaris di
Sangir Talaud antara tahun 1628-1677 terdapat 10.000 orang Kristen.
B. Pelayanan Pendeta Sebastian Dankaerts
Berikut kita akan mempelajari tokoh penting dalam perkembangan sejarah gereja di
Indonesia. Pendeta Sebastian Danckaerts lahir di Den Haag pada tahun 1592 dan meninggal dunia
tahun 1634. Sebastian Danckaerts menempuh pendidikan di Fakultas Teologi Universitas Leiden
Belanda, ia dipanggil untuk menjadi pendeta di wilayah VOC pada tahun 1615.
Satu tahun kemudian, dengan menggunakan armada musiman VOC, Danckaerts berangkat ke
Banten dan menjadi pendeta di kantor VOC hingga akhir tahun 1617. Di Banten Sebastian
ditugaskan menjadi Pendeta menggantikan Casparus Wiltens, karena saat itu Pendeta Casparus
ditugaskan di daerah Banda. Setelah bertugas beberapa bulan di Banten, pada bulan Januari tahun
1618 Pendeta Sebastian dipindah tugaskan di Ambon. Pendeta Sebastian Danckaerts sangat pandai
berkhotbah dalam bahasa Melayu. Namun yang menjadi fokus Sebastian adalah mengurus sekolah.
Bentuk dan staretegi pelayanan yang dilakukan di sekolah adalah setiap hari mereka
memberikan beras kepada anak anak, sehingga banyak anak-anak tertarik untuk sekolah. Selain itu
Pendeta Sebastian membuka sekolah untuk para guru, di mana ia melatih dan menyiapkan banyak
guru supaya terampil dan siap bekerja di sekolah maupun pelayanan Jemaat.
C. Pelayanan Adriaan Jacobsz Hulsebus
Pada bagian ini kita akan mempelajari tokoh pekabaran Injil yaitu Pendeta Adriaan Hulsebos.
Adriaan Hulsebos (1616-1622). Pada bulan Desember 1669, diangkatlah Pendeta Adriaan Jacobsz
Halsebos menjadi Pendeta pertama di Batavia. Ibadah perjamuan kudus pertama kali dirayakan
pada 3 Januari 1621. Sekaligus awal pembentukan Majelis Gereja Protestan Batavia.
Majelis gereja fokus melayani dalam bahasa Belanda di gedung pusat VOC yang saat ini
Museum Fatahillah. Sementara pelayanan ibadah dalam bahasa Portugis khusus bagi pengikut
Portugis. Ia diutus ke Maluku oleh Gubernur Jenderal Coen untuk mengatur pelayanan Gereja di
sana. Di Banda, Adriaan Hulsebos mengatur jemaat dan sekolah dengan rapih, tetapi ia meninggal
ketika kapalnya tenggelam waktu memasuki Teluk Ambon.
Pada bagian ini menegaskan bagaimana konteks geografis Indonesia, yaitu Nusantara adalah
wilayah kepulauan. Ada berbagai resiko yang dialami oleh para pelayan Tuhan ketika mengadakan
pelayanan dari satu pulau ke pulau lain, seperti yang dialami oleh pendeta Adriaan J. Hulsebos.
D. Pelayanan Justus Heurnius (1624-1638) Jakarta-Saparua
Berikut kita belajar kisah pelayanan Pendeta Justus Heurnius. Justus Heurnius lahir di
Belanda tahun 1587 kemudian meninggal tahun 1652 di Belanda pada usia 65 tahun. Setelah
belajar ilmu kedokteran dan ilmu Teologi pada usia 36 tahun ia berangkat ke Hindia Belanda,
sekarang ini Indonesia, pada tahun 1624. Pendeta Heurnius tinggal di Jakarta pada tahun 1624-
1632, lalu pada tahun 1632-1638 ia tinggal di Saparua. Pendeta Heurneus adalah anggota
Verenigde Ooastindische - Compagnie (VOC) yang terus bekerja keras di antara orang-orang
Tionghoa.
Dalam pelayanannya Heurneus telah menyusun kamus bahasa Tionghoa, kamus bahasa
Latin dan bahasa Belanda. Ia menterjemahkan pengakuan Iman Rasuli ke dalam bahasa Tionghoa,
Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Melayu. Pendeta Justus Heurnius mengusulkan mendirikan
sekolah Teologi bagi orang Indonesia sendiri, tetapi gereja di Belanda tidak mau karena takut
ajaran gereja tidak bertahan secara murni di sekolah tersebut.
A. Rangkuman
1. Sejarah gereja Kristen Calvinis Indonesia di Pulau Maluku dan Sulawesi dimulai ketika
Verengde Ooastindische-Compagnie (VOC) Belanda didirikan pada tahun 1602. Sebelumnya
agama Katolik Roma mengusainya dan menjadi agama Negara.
2. Gereja dalam pengasuhan Verengde Ooast-Compagnie (VOC) mengalami perkembangan yang
baik di beberapa daerah Maluku, Saparua, Manado, Minahasa, Sangir Talaud, Siau
Tagulandang.
3. Di pulau Maluku para misionaris melakukan pelayanan kepada jemaat-jemaat serta
membangun sekolah-sekolah dan menyiapkan para guru. Para misionaris di Maluku tersebut
adalah Sebastian Danckaerts, Adriaan Hulsebos dan Heurenius.
4. Di Sulawesi Utara dan Sangir Talaud ada misionaris Pater Maegalhaes yang meyebarkan
agama Kristen dan membaptis sehingga agama Kristen berkembang pesat.
F. Latihan Soal
I. Soal Pilihan Ganda. Pilihlah jawaban A,B,C atau D yang dianggap paling benar!
1. Pemerintah Verengde OoastIndische - Compagnie (VOC) Belanda masuk ke Indonesia
dengan misi perdagangan, namun juga di dalamnya ada misi penyebaran agama Kristen.
Berikut daerah pertama penyebaran agama Kristen masuk ke Indonesia…
A. pulau Siau
B. pulau Ambon
C. pulau Seram
D. pulau Saparua
2. Sejarah perkembangan gereja Kristen di Indonesia tidak bisa lepas dari sejarah gereja di
Belanda pada waktu itu. Di mana agama Katolik Roma diganti menjadi agama Kristen. Di
Indonesia agama Kristen menjadi berkembang, tahun berapa agama Kristen masuk ke
Indonesia....
A. tahun 1596
B. tahun 1695
C. tahun 1796
D. tahun 1896
3. Dalam pelayanan gereja Kristen di Maluku para misionaris berjuang supaya orang Maluku
percaya kepada Yesus. bentuk pelayanan yang dilakukan Pendeta Sebastian adalah…
A. Berkhotbah dan mengajar jemaat.
B. bertani untuk bertahan hidup.
C. bekerja sama dengan masyarakat.
D. memimpin pasukan VOC.
4. Pemerintah Verengde OoastIndische - Compagnie (VOC) menyebarkan agama Kristen.
Tidak lepas dari peran misionaris. Berikut nama misionaris pertama penyebaran agama
Kristen masuk ke Maluku…
A. Pendeta Sebastian.
B. Raja Hairun.
C. Pendeta Adriaan.
D. Raja Spanyol.
40
5. Pemerintah Verengde Ooastindische - Compagnie (VOC) mengatur jemaat dan sekolah
dengan rapi, tetapi ia meninggal ketika kapalnya tenggelam waktu memasuki Teluk
Ambon. Misionaris yang meninggal tersebut adalah…
A. Raja Saparu
B. Pdt. Adriaan
C. Raja Ambon
D. Pdt. Sabastian
6. Pada tahun 1560-an, agama Kristen mulai masuk dan mendapat tempat yang baik di
Sulawesi Utara dan kepulauan Sangir Talaud, Perkembangan tersebut berkat perjuangan
misionaris …
A. Raja Siau
B. Pater Megalhaes
C. Pdt. Sebastian
D. Raja Tagulandang
7. Pada tahun 1632-1638 Pendeta Heurnius tinggal di Saparua, dan ia anggota Verenigde
Ooastindische - Compagnie (VOC) yang terus bekerja keras diantara orang - orang
Tionghoa. Bentuk pelayanannya adalah …
A. menterjemahkan kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Melayu.
B. mengajarkan azas Kristen.
C. memberikan bantuan.
D. menterjemahkan injil kedalam bahasa daerah.
8. Kepulauan Sangir Talaud merupakan daerah perbatasan dengan Filipina di mana pengaruh
Spanyol sangat kuat, dan Verenigde Ooastindische Compagnie (VOC) bersekutu dengan
raja Ternate. Tahun berapakah VOC masuk ke Sangir Talaud? …
A. tahun 1777
B. tahun 1887
C. tahun 1997
D. tahun 1606
41
9. Misionaris Pater mengajarkan asas asas Kristen kepada masyarakat Siau, dan lewat
pelayanan tersebut semuanya menjadi Kristen. Berapa jumlah orang Kristen dibaptis? …
A. 10. 000 orang
B. 10. 500 orang
C. 11. 000 0rang
D. 11. 500 Orang
10. Pater mengunjungi beberapa daerah lain di Sulawesi Utara, seperti Kaidipan pantai utara
Gorontalo dan mengajar selama delapan hari dalam pelayanan itu banyak yang dibaptis.
Berapa jumlah orang Kaidipan dibaptis? …
A. 2000 orang
B. 1000 orang
C. 3000 orang
D. 2500 orang
II. Essay. Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan baik dan benar
44
oleh pemerintah kolonial Belanda yang m enghambat pelaksanaan dari azas itu secara penuh,
yakni:
Adanya sejumlah jemaat di Indonesia bekas asuhan dari VOC. Pemerintah Belanda
sebagai pewaris VOC, tidak bisa melepaskan jemaat-jemaat itu begitu saja. Ini
mendorong pemerintah kolonial Belanda untuk mendirikan Gereja Protestan di
Indonesia yang dapat menampung dan mengasuh seluruh jemaat bekas asuhan VOC
itu.
Pemerintah kolonial Belanda sadar bahwa orang-orang Islam di Indonesia rata- rata
bersikap lebih memusuhi pemerintah Belanda daripada orang-orang Kristen. Untuk
mengatasi keadaan ini, maka pemerintah kolonial Belanda mengambil kebijaksanaan
bahwa sebaiknya daerah-daerah yang masih beragama suku dikristenkan, sedangkan
daerah Islam jangan. Dalam usaha untuk mengkristenkan daerah-daerah yang masih
menganut agama suku itulah maka lembaga-lembaga PI diizinkan masuk ke Indonesia.
Pada zaman VOC, lembaga-lembaga PI belum diizinkan masuk ke Indonesia.
GPI itu hanya diurus oleh orang-orang Belanda saja. Orang-orang Indonesia diabaikan
sama sekali. Orang-orang yang menyusun peraturan itu seakan-akan tidak mengetahui
bahwa dalam gereaja itu juga terdapat orang-orang Indonesia bahkan mayoritas anggotanya
adalah orang-orang Indonesia. Dalam pengurus GPI tercipta juga pangkat-pangkat yang
bersifat hierarkhis yakni:
Pendeta pendeta yang diutus oleh lembaga pekabaran Injil dipekerjakan sebagai pembantu di dala
Pembantu:
Pendeta Pribumi: yakni pendeta yang diangkat dari orang Indonesia yang
biasanya tidak bisa melayani sakramen.
Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa GPI pada mulanya mempunyai tiga
ciri yakni:
- Ia diikat dan diperalat negara.
- Ia tidak mempunyai tata gereja dan pengakuan iman sebagaimana selayaknya dimiliki
oleh suatu gereja.
- Ia tidak memberi suara kepada orang-orang Indonesia yang berada di dalamnya dan
secara resmi tidak mengaku bertanggungjawab kepada mereka yang masih di luar.
- Gereja-gereja di Indonesia yang ada sekarang yang berasal dari GPI atau Gereja
Pemerintah itu, selain dari GPI itu sendiri ialah:
a. Gereja Protestan Maluku (GPM) yang berpusat di Ambon.
b. Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM) yang berpusat di Manado.
c. Gereja Masehi Injili Timor (GMIT) yang berpusat di Kupang.
d. Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) yang berpusat di Jakarta.
Pada tahun 1814 Joseph Kam bersama dua rekannya tiba di Indonesia. Joseph Kam adalah
Pendeta pertama yang diutus dari negeri Belanda ke Indonesia untuk melayani orang-orang Kristen
di sana. Pemerintah Portugis dan VOC mengaku sebagai pemerintah Kristen. Kepentingan rakyat
indonesia harus dimajukan dalam segala hal. Dan negara tidak campur tangan dalam soal agama
bahkan bersifat netral.
Setelah orang Inggris mengembalikan jajahannya di Indonesia kepada Nederland (1816),
barulah keadaan Gereja diatur secara baru, dilakukan oleh raja baru William I, menggabungkan
jemaat gereja menjadi satu badan yang diberikan nama Gereja Protestan di Hindia Belanda
(Indonesia) dengan aturan yang berlaku yaitu GPI dipimpin oleh suatu pengurus yang diangkat oleh
gubernur jendral yang berkedudukan di Batavia.
Nommensen sejak kecil sudah hidup di dalam kemiskinan dan penderitaan. Sejak kecil ia sudah
mencari nafkah untuk membantu orang tuanya. Ayahnya adalah seorang yang miskin dan selalu
sakit-sakitan. Pada umur 8 tahun, ia mencari nafkah dengan menggembalakan domba milik orang
lain pada musim panas, dan pada musim dingin ia bersekolah. Pada umur 10 tahun ia menjadi
buruh tani sehingga pekerjaan itu tidak asing lagi baginya. Semuanya ini tampaknya merupakan
persiapan bagi pekerjaannya sebagai pengabar Injil di kemudian hari.
Tahun 1846 Nommensen mengalami kecelakaan yang serius. Pada waktu ia bermain kejar-
kejaran dengan temannya, tiba-tiba ia ditabrak oleh kereta berkuda. Kereta kuda itu menggilas
kakinya sehingga patah. Oleh karenanya, terpaksa ia hanya bisa berbaring saja di tempat tidur
selama berbulan-bulan. Teman-temannya biasa datang untuk menceritakan pelajaran dan cerita-
cerita yang disampaikan guru di sekolah. Cerita-cerita itu adalah tentang pengalaman pendeta-
pendeta yang pergi memberitakan Injil kepada banyak orang, dan Nommensen sangat tertarik
mendengar cerita-cerita itu.
Lukanya makin parah, sehingga dia tidak dapat berjalan sama sekali. Sekalipun sakit,
Nommensen belajar merajut kaos, menjahit, dan menambal sendiri pakaiannya yang robek. Pada
suatu hari, ia membaca Yohanes 16:23-26, yaitu tentang kata-kata Tuhan Yesus bahwa siapa yang
meminta kepada Bapa di Surga, maka Bapa akan mengabulkannya. Nommensen bertanya kepada
ibunya, apakah perkataan Yesus itu masih berlaku atau tidak. Ibunya meyakinkannya bahwa
perkataan itu masih berlaku. Ia mengajak ibunya untuk berdoa bersama-sama. Nommensen
meminta kesembuhan dan dengan janji, jikalau ia sembuh maka ia akan pergi memberitakan Injil.
Doanya dikabulkan, dan beberapa minggu kemudian kakinya sembuh. Setelah sembuh,
Nommensen kembali menggembalakan domba. Janjinya selalu menggodanya untuk segera
memenuhinya. Oleh karena itu, ia melamar untuk menjadi penginjil pada Lembaga Pekabaran Injil
Rhein (RMG). Beberapa tahun lamanya ia belajar sebagai calon pengabar Injil.
Tahun 1861 ia ditahbiskan menjadi pendeta. Dan sesudahnya ia berangkat menuju Sumatera
dan tiba pada bulan Mei 1862 di Padang. Ia memulai pekerjaannya di Barus. Ia mulai belajar
bahasa Batak dan bahasa Melayu, yang cepat sekali dapat dikuasainya. Sekarang ia mulai
mengadakan kontak-kontak dengan orang-orang Batak, terutama dengan raja-raja. Ia tidak jemu
mengadakan perjalanan keliling untuk menciptakan hubungan pergaulan yang baik. Ia mempelajari
adat-istiadat Batak dan mempergunakannya dalam mempererat pergaulan.
Nommensen meminta izin untuk masuk ke pedalaman namun dilarang oleh pemerintah, karena
sangat berbahaya bagi seorang asing. Namun Nommensen tidak takut. Ia memilih Silindung
sebagai tempat tinggalnya yang baru. Ia mendapat gangguan yang hebat di sini, namun ia tidak
putus asa. Ia berhasil mengumpulkan jemaatnya yang pertama di Huta Dame (Kampung Damai).
Tahun 1873 ia mendirikan sebuah gedung gereja, sekolah, dan rumahnya sendiri di Pearaja. Sampai
sekarang Pearaja menjadi pusat HKBP. Pekerjaan Nommensen diberkati Tuhan, sehingga Injil
makin meluas. Kemudian dia pindah tempat tinggal ke kampung Sigumpar pada tahun 1891, dan ia
tinggal di sana sampai dia meninggal.
Nommensen memberitakan Injil di tanah Batak dengan berbagai macam cara. Ia
menerjemahkan Alkitab Perjanjian Baru (PB) ke dalam bahasa Toba dan menerbitkan cerita-cerita
Batak. Ia juga berusaha untuk memperbaiki pertanian, peternakan,
meminjamkan modal, menebus hamba-hamba dari tuan-tuannya, serta membuka sekolah-sekolah
dan balai-balai pengobatan.
Dalam pekerjaan pengabaran Injil, ia menyadari perlunya mengikutsertakan orang- orang
Batak. Maka dari itu, dibukalah sekolah penginjil yang menghasilkan penginjil- penginjil Batak
pribumi. Juga untuk kebutuhan guru-guru sekolah, dia membuka pendidikan guru. Karena
kecakapan dan jasa-jasanya dalam pekerjaan penginjilan, maka pimpinan RMG mengangkatnya
menjadi Ephorus pada tahun 1881.
Pada hari ulang tahunnya yang ke-70, Universitas Bonn memberikan gelar Doktor Honoris
Causa kepada Nommensen. Nommensen meninggal pada umur yang sangat tua -
- 84 tahun. Ia meninggal pada tanggal 12 Mei 1918. Nommensen dikuburkan di Sigumpar, di
tengah-tengah suku bangsa Batak setelah bekerja dalam kalangan suku bangsa ini selama 57 tahun
lamanya.
Selama di tanah Batak, Nommensen telah mendirikan 510 sekolah dengan murid 32.700 orang,
menterjemahkan Perjanjian Baru dalam bahasa Batak tahun 1876. Dalam pekerjaan pekabaran Injil,
ia menyadari perlunya mengikutsertakan orang Batak pribumi. Maka untuk kebutuhan guru-guru
sekolah, ia membuka pendidikan guru. Walaupun bukan merupakan missionaris pertama untuk
tanah Batak tetapi Nommensen adalah missionaris yang memegang peranan paling penting dalam
pengabaran Injil di sana. Orang Batak memberikan gelar “Ompungta”; bapak kita-tidak gentar
walau diracuni, ditangkap dan hendak dipersembahkan kepada dewa, dituduh mata-mata Belanda
sehingga layak mendapatkan julukan “Rasul orang Batak”.
Setelah membaca kisah dari Ludwig Ingwer Nommensen maka jawablah pertanyaan bersama
kelompok belajarmu berikut ini:
58
Perkembangan Gereja
Bab Pada Masa Penjajahan Hindia Belanda di Indonesia (1860-1942)
V
Sesudah mempelajari materi pelajaran pada bab ini, kita akan dapat memahami
perkembangan gereja dan nilai-nilai iman Kristen pada masa penjajahan Hindia Belanda di Indonesia di
antara tahun 1860-1942. Perkembangan gereja pada masa itu nampak dalam kehadiran gereja-gereja suku
dalam pengaruh penjajahan Hindia Belanda. Selain itu, kita akan mempelajari kehadiran gereja-gereja suku
dan denominasional hasil pelayanan lembaga-lembaga Pekabaran Injil (P.I) dan tokoh-tokoh lokal.
Nilai-nilai iman Kristen pada masa itu nampak dalam tindakan menjadikan Injil mudah dimengerti
oleh penduduk lokal, dan kemandirian daya dan dana. Dengan pemahaman terhadap perkembangan gereja
dan nilai-nilai iman Kristen pada masa ini, kita dapat menyimpulkan maknanya bagi kehidupan kita dan
bertindak mandiri dalam iman, daya dan dana dalam pergaulan bermasyarakat pada masa kini.
A. Gereja-gereja Suku dalam Pengaruh Hindia Belanda
Dalam pelajaran terdahulu, kita telah mempelajari perkembangan gereja di Indonesia dalam
pengasuhan pemerintahan Hindia Belanda. Dalam kenyataan perkembangannya, gereja-gereja suku itu tidak
hanya hadir sebagai hasil pelayanan gereja yang diasuh oleh pemerintahan Hindia Belanda, melainkan juga
yang dihasilkan oleh Lembaga-lembaga Pekabaran Injil dan tokoh-tokoh penginjil lokal. Lembaga-lembaga
Pekabaran Injil ini ada yang berafiliasi, namun ada pula yang tidak berafiliasi dengan gereja yang diasuh
pemerintahan Hindia Belanda.
Dalam pelajaran hari ini, kita akan mempelajari perkembangan gereja-gereja suku dalam pengaruh
penjajahan Hindia Belanda. Apakah yang dimaksudkan dengan gereja- gereja suku? Untuk menjawab
pertanyaan ini, marilah kita mengerti arti “suku” itu sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “suku”
memiliki banyak pengertian. Namun yang dimaksudkan dalam hubungan dengan gereja, “suku” adalah
“golongan orang-orang (keluarga) yang seturunan” dan “golongan bangsa sebagai bagian dari bangsa yang
besar.” Misalnya, suku Jawa, Sunda, Aceh, Nias, Mentawai, Batak, Dayak, Bali, Minahasa, Toraja, Bugis,
Sangihe, Ambon, Timor, Sumba, Papua, dsbnya.
Dalam hubungan dengan gereja, yang dimaksudkan dengan “gereja-gereja suku” adalah sejumlah organisasi
gereja yang berada di Indonesia yang awal sejarah lahir, pelayanan dan pertumbuhannya berlangsung di
kalangan suku-suku tertentu di Indonesia.
gereja-gereja suku di Indonesia.
Bagaimanakah perkembangan gereja-gereja suku dalam pengaruh penjajahan Hindia Belanda pada
tahun 1860-1942?
Agar kita mudah mempelajari perkembangan tersebut, maka tidak semua perkembangan gereja-
gereja suku diuraikan di sini. Kamu silahkan mempelajari uraian mengenai: jumlah jiwa warga dan
pelayannya, bentuk-bentuk pelayanannya, kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan yang dihadapi
di kalangan beberapa gereja suku pada tahun 1860-1942. Yang pasti, pendirian gereja-gereja suku itu
dimaksudkan agar mudah mengabarkan injil oleh dan dalam lingkungan anggota- anggota suku
tersebut. Sebagai contoh, Gereja Kristen Pasundan pada 14 November 1934 yang berdiri sendiri di
kalangan orang Sunda di Jawa Barat.
a. Jumlah jiwa warga dan pelayannya.
Jumlah warga gereja Kristen Protestan di Indonesia pada masa ini terlihat dalam Tabel 1
berikut ini.
Tabel 5.1 Jumlah
Warga Gereja
Jumlah pelayan gereja pada waktu itu sangat terbatas, baik kalangan para penginjil dari
Gereja Belanda, maupun Badan Pekabaran injil dari Eropa dan Amerika. Lihat Tabel 2 berikut ini:
Tabel 5.2 Jumlah
Pelayan Gereja
01 1860-an 25 orang
dokter.
orang perawat.
b. Bentuk-bentuk Pelayanannya.
Dampak dari perbandingan jumlah jiwa warga dan pelayan gereja yang tidak berimbang
adalah banyak warga yang telah dibaptis kurang memperoleh pembinaan yang berkelanjutan.
Akibatnya, pertumbuhan gereja berlangsung sangat lambat. Selain itu, ditemukan pemahaman
yang berbeda di antara gereja-
gereja suku yang dipengaruhi penjajahan Belanda dan yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga
pekabaran injil mengenai bentuk-bentuk pelayanan gereja. Gereja-gereja suku yang dipengaruhi
penjajahan Belanda memahami pelayanan pendidikan dan kesehatan sebagai penunjang pekabaran
injil. Gereja-gereja suku yang dibentuk oleh lembaga-lembaga pekabaran injil memahami
pelayanan memajukan pendidikan, pelayanan kesehatan dan pengembangan ekonomi warga gereja
adalah hakikat dari pekabaran injil itu sendiri (bd van den End, Ragi Carita 2, 2015:283-284).
Contoh bentuk pelayanan yang dipahami sebagai “penunjang” pekabaran injil,
antara lain:
a) Pemajuan pendidikan nampak pada pembukaan “sekolah rakyat” di beberapa wilayah di
Indonesia dan “sekolah guru jemaat” di Ambon.
b) Pengembangan sosial-ekonomi nampak pada pembangunan rumah pendeta di Sumba Barat
yang menampung 45 orang anak-anak untuk dipelihara dan dididik.
c) Pembentukan “lumbung padi” yang dilakukan oleh gereja di Jawa Timur untuk mengatasi
kelaparan pada saat paceklik di desa-desa Kristen yang miskin.
d) Pembukaan “kebun jemaat” di pulau Buru (Maluku) sebagai upaya gereja mendukung
kegiatan pelayanan pekabaran injil.
c. Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Hambatan Pelayanannya.
Kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan pelayanan gereja dalam pengaruh penjajahan
Hindia Belanda pada masa ini, antara lain seperti terlihat pada Tabel 3 berikut ini.
Tabel 5.3
Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Hambatan Pelayanan
B. Gereja-gereja Suku dan Gereja Lintas Suku (Denominasional) Hasil Pelayanan Lembaga-
lembaga Pekabaran Injil (P.I).
Dalam pelajaran hari ini, kita akan mempelajari perkembangan gereja-gereja suku dan Gereja
Lintas Suku (Denominasional) Hasil Pelayanan Lembaga-lembaga Pekabaran Injil (P.I) termasuk
Gereja-gereja Suku dan Lintas Suku yang terbentuk karena kegiatan P.I dari para penduduk lokal pada
masa ini. suku (denominasional
Apakah yang dimaksudkan dengan gereja lintas)?
Gereja lintas suku adalah gereja
pertumbuhan dan warganya tid
Terbentuknya gereja-gereja suku dan lintas suku (denominasional) sebagai hasil pelayanan
lembaga-lembaga Pekabaran Injil di Eropa, Amerika, dan para tokoh lokal memperlihatkan bahwa
kehadiran gereja-gereja suku tidak semata-mata buah dari pekabaran injil yang dilakukan oleh gereja
yang didukung oleh pemerintah penjajahan Hindia Belanda. Terdapat banyak sekali lembaga-lembaga
P.I dan tokoh lokal atau pribumi pada masa itu yang melaksanakan pekabaran injil hingga terbentuknya
gereja-gereja suku dan lintas suku (denominasional) di Indonesia, antara lain terlihat dalam Tabel 4
sebagai berikut:
Tabel 5. 4
Nama-nama Lembaga Pekabaran Injil dan Para Tokoh Lokal
NO. LEMBAGA P.I/TOKOH WILAYAH HASIL P.I. TAHUN
1 Nederlands Zendeling Genootschap Indonesia Jemaat-jemaat 1860-
(NZG) atau Lembaga Utusan Injil Maluku, an
Belanda Minahasa, Sulsel,
Timor,
Tanah Karo, dll
Pembentukan gereja lintas suku (denominasional) umumnya merupakan hasil dari Lembaga-
lembaga Pekabaran Injil yang bukan berasal dari dataran Eropa, melainkan dari Inggris (Anglosaksis)
dan Amerika Serikat. Gereja lintas suku (denominasional) ini, antara lain: Gereja- gereja Pentakosta,
Gereja Baptis, Kemah Injil, Gereja Adven Hari Ketujuh, Gereja Bala Keselamatan, dan Gereja Metodis
Indonesia. Umumnya, yang menjadi pelayan dan anggota gereja lintas suku ini memang berasal dari
berbagai suku yang ada di Indonesia, termasuk keturunan India dan Tionghoa.
Pada masa kini, seiring dengan meningkatnya gerakan ekumene se-Dunia, Asia, Indonesia dan
Wilayah-wilayah di tanah air, maka baik gereja suku maupun gereja lintas suku, terutama di wilayah
perkotaan, sama-sama memiliki anggota gereja dari berbagai suku dan ras.
Aktivitas 6. Mari Berdiskusi
(1) Lengkapilah diagram Garis Waktu di bawah ini untuk melihat hubungan di antara pekerjaan
pelayanan Lembaga-lembaga Pekabaran Injil dan para Tokoh Pekabaran Injil Lokal atau Pribumi
pada masa 1860-1942 sebagai berikut:
C. Perkembangan Nilai-nilai Iman Kristen pada masa Penjajahan Hindia Belanda dan
Maknanya.
Dalam pelajaran hari ini, kita akan mempelajari perkembangan nilai-nilai iman
Kristen dalam kehidupan gereja dan masyarakat pada masa penjajahan Hindia Belanda
dan maknanya bagi kehidupan kita dalam pergaulan pada masa kini. Dalam pelajaran
pada Bab 2 sampai Bab 4 Kelas IX yang lalu, kita telah mempelajari pengertian nilai-
nilai dan nilai-nilai iman Kristen, antara lain: nilai kepatuhan terhadap penugasan,
penghargaan terhadap sesama manusia, pelayanan kasih, penolakan terhadap
kekerasan dan ketidakadilan, kritis terhadap superioritas penjajah dan pengutamaan
pengalaman batiniah.
Dalam pelajaran hari ini, kita akan mempelajari dua buah nilai iman Kristen
yang sangat penting dan maknanya bagi kita, yaitu: Pempribumian Injil, dan
Kemandirian Daya dan Dana.
b. Pengertian Pempribumian Injil, dan Kemandirian Daya dan Dana
F. Rangkuman
Pada periode 1860-1942, terjadi perkembangan gereja yang nampak dalam kehadiran
gereja-gereja suku dalam pengaruh penjajahan Hindia Belanda. Selain itu, ada kehadiran
gereja-gereja suku dan denominasional hasil pelayanan lembaga-lembaga Pekabaran Injil
(P.I) dan tokoh-tokoh lokal. Terbentuknya gereja-gereja suku dan lintas suku
(denominasional) sebagai hasil pelayanan lembaga-lembaga Pekabaran Injil di Eropa,
Amerika, dan para tokoh lokal memperlihatkan bahwa kehadiran gereja-gereja suku tidak
semata-mata buah dari pekabaran injil yang dilakukan oleh gereja yang didukung oleh
pemerintah penjajahan Hindia Belanda. Terdapat banyak sekali lembaga P.I dan tokoh
lokal atau pribumi pada masa itu yang melaksanakan pekabaran injil hingga terbentuknya
gereja-gereja suku dan lintas suku (denominasional) di Indonesia. Nilai-nilai iman Kristen
pada masa itu nampak dalam tindakan menjadikan Injil mudah dimengerti oleh penduduk
lokal, dan kemandirian daya dan dana. Injil di daerah-daerah yang mendapat izin dari
pemerintah Belanda dan juga “meminjamkan” tenaga kepada GPI.
1. pada masa kini!
2. Perkembangan Gereja
3. Pada Masa Penjajahan Jepang di Indonesia (1942-1945)
84
A. Gereja-gereja Suku dan/atau Denomisional Dalam Pengaruh Penjajahan Jepang
.
Selanjutnya, pelajarilah uraian di bawah ini:
Kehadiran Gereja-gereja Suku dan/atau
Denominasional dalam pengaruh
penjajahan Jepang sangat ditentukan
oleh hubungan kekasisaran Jepang dan
kekristenan di Jepang itu sendiri. Sebab
sebelum Jepang menjajah Indonesia,
pemerintah Jepang telah mengirimkan
para pendetanya untuk melayani orang-
Gambar 5.4. Gereja orang Jepang yang bekerja di Indonesia.
Sumber : kumparan.com
Kekristenan di Jepang berkembang sejak tahun 1549 yang ditandai dengan
kehadiran pekabar injil Gereja Katolik, khususnya Fransiskus Xaverius. Dia adalah
anggota tarekat Yesuit bentukan Ignatius Loyola. Kehadirannya di Jepang
memperlihatkan sebuah lapangan pekabaran injil yang luas. Sebab itu, dia diikuti
oleh rekan-rekannya yang berasal dari tarekat yang sama dan para anggota tarekat
Fransiskan dan Dominikan (bd. Donald E. Hoke, Sejarah Gereja Asia, Volume 1,
2000: 392, dyb). Hanya dalam kurun waktu 33 tahun, jumlah warga gereja 150.000
orang, yang tersebar kira-kira di 250 jemaat dan dilayani oleh 85 orang pelayan
yang berasal dari luar dan 120 pelayan dari dalam Jepang sendiri.
Kehadiran pekabar injil Protestan baru berlangsung pada tahun 1859 yang ditandai
dengan kehadiran dokter sekaligus penginjil James C. Hepburn, Channing M.
William, seorang pendiri Universitas Saint Paul dan Rumah Sakit Saint Lukas, Guido
F. Verbeck, seorang ahli bahasa, dll. Mereka berasal dari berbagai gereja
denominasional, yakni Presbiterian, Episkopal, Reform, Anglikan dan Metodis.
Perkembangan kekristenan di Jepang menjadi sangat pesat. Sebab itu, sebelum
tahun 1889, ditetapkanlah Undang-undang anti-Kristen. Undang-undang ini
diterbitkan karena nilai-nilai iman Kristen dipandang sebagai unsur yang
bertentangan dengan nasionalisme Jepang yang berakar pada agama Shinto dan
bercabang pada Khonghucu dan membuahkan Budhaisme. Namun Undang-
undang itu tidak menyurutkan semangat pengembangan pelayanan para pekabar
injil dari luar dan dari dalam Jepang sendiri. Sesudah tahun 1889, Undang-undang
ini dicabut. Para penginjil asli Jepang diutus ke wilayah-wilayah pendudukan
Jepang agar mereka dapat memengaruhi masyarakat setempat bahwa kehadiran
Jepang adalah sebagai “kakak tertua” dalam wilayah Asia Timur Raya. Dengan
begitu, para penduduk di seluruh wilayah Asia Timur (Vietnam, Kamboja, Taiwan,
Thailand, dan Indonesia) dapat memberikan sumber daya alamnya bagi kekaisaran
Jepang. Sebab sejatinya, Jepang sendiri memiliki sumber daya alam yang terbatas.
Sumber daya mineralnya sangat sedikit. Hanya 16% tanahnya bisa dijadikan lahan
pertanian (bd. Donald E. Hoke, Sejarah Gereja Asia, Volume 1, 2000: 389, dyb).
Seiring dengan perkembangan gereja Protestan di Jepang, didirikanlah Gereja
Kristus di Jepang (Nippon Kirisuto Kyodan) pada tahun 1941. Gereja ini menjadi
“payung” bagi seluruh denominasi gereja dalam wilayah kekaisaran Jepang (bd. van
den End. Th, Ragi Carita 2, 2018: 321).
Pada 7 Desember 1941, Jepang berhasil menghancurkan kekuatan militer Amerika
Serikat di Pearl Harbour (Kepulauan Hawai). Dalam waktu singkat, seluruh wilayah
Asia Tenggara dikuasai dan dijajah Jepang, termasuk wilayah yang dulu dikuasai
Hindia Belanda. Minahasa direbut pada bulan Januari. Ambon dan Timor direbut
pada bulan Pebruari. Jawa dan Sumatera direbut pada bulan Maret tahun 1942.
Demi efektivitas kekuatan militer dalam wilayah jajahannya, Jepang membagi
Nusantara menjadi dua wilayah. Pulau Jawa dan Sumatera adalah wilayah yang
diperintah oleh Angkatan Darat Jepang (Gunseibu). Pulau Kalimantan, Sulawesi dan
kawasan Timur nusantara diperintah oleh Angkatan Laut Jepang (Minseibu).
Jepang memperlakukan gereja-gereja suku dan/atau Denominasional yang
didirikan oleh penjajah Hindia Belanda, Lembaga Pekabaran Injil dan para Pekabar
Injil pribumi dengan dua pendekatan sesuai tempat dan waktunya. Pertama,
Jepang memperlakukan orang Kristen yang berasal dari kalangan gereja-gereja
suku dan denominasional secara lemah lembut. Jepang melindungi warga gereja
dan menghentikan penganiayaan terhadap orang Kristen dalam rentang waktu
bulan Maret-April 1942. Perlakuan ini dijadikan alat propaganda agar penduduk
Nusantara dapat mendukung seluruh program kerja penjajahan Jepang. Kedua,
Jepang memperlakukan orang Kristen yang berasal dari kalangan gereja-gereja
suku dan denominasional secara keras. Banyak orang asli Belanda termasuk
perempuan dan anak-anak ditangkap, ditawan dalam kamp-kamp tawanan, dan
dianiaya. Malahan ada yang dibuang ke wilayah lain (misalnya, ke Myanmar) untuk
menjalani “kerja paksa.” Ada pula yang kepalanya dipenggal. Di wilayah pelayanan
GPM, 150 orang pendeta dan seluruh penduduk desa Emplawas (Kepulauan Babar)
dipenggal kepala dan perumahan mereka dibumihanguskan oleh tentara Jepang.
Hal ini dilakukan untuk memaksa penduduk asli Nusantara agar selalu mendukung
sepak-terjang pemerintah Jepang dan melenyapkan pengaruh Eropa dalam
kehidupan masyarakat pribumi.
Sekolah-sekolah yang dimiliki oleh gereja, lembaga pekabaran Injil, dsbnya diambil
alih oleh Jepang pada 1 April 1943. Mata pelajaran agama Kristen diganti oleh mata
pelajaran yang membangkitkan “semangat Jepang” berupa nyanyian, sejarah,
bahasa dan slogan-slogan Jepang dan penghargaan terhadap kaisar.
Dalam setiap Ibadah, warga gereja wajib mendengarkan pidato yang berisi
penjelasan tentang sebab dan tujuan Perang Asia Raya. Bendera Jepang wajib
digantung dalam setiap gedung gereja. Pada awal ibadah, warga gereja wajib
berdiri menghadap ke Tokyo sambil membungkukkan badannya sebagai tanda
penghormatan terhadap kaisar dan bukan kepada Tuhan Allah.
Dalam kalangan gereja-gereja suku dan/atau denominasional, gaji para pendeta,
penginjil, dan guru-jemaat masih disubsidi oleh lembaga Pekabaran Injil dan
pemerintah. Pada masa penjajahan Jepang, para pendeta meningkatkan kesadaran
anggota gereja bahwa tanggung jawab pelayanan dan pembiayaannya menjadi
tanggung jawabnya sendiri. Dengan jumlahnya yang terbatas, keuangan digunakan
untuk membiayai kebutuhan pelayanan gereja. Akibatnya, perkembangan
pelayanan gereja juga menjadi terbatas.
Jepang membiarkan pimpinan gereja-gereja suku dan denominasional yang
memiliki Ketua Sinode - seorang Belanda, untuk tetap menempati jabatannya.
Misalnya GBKP, GKP, GKE, GMIM, GMIT dan GPM. Sedangkan HKBP dan GKJW
telah memiliki ketua sinode dari kalangan pribumi. Seiring dengan orang-orang
Eropa kembali ke tanah airnya, maka terjadilah kekurangan pendeta. Jepang
mendatangkan para pendeta dari negeri sakura untuk membantu para pendeta
pribumi melayani seluruh jemaat yang ditinggalkan oleh para pendeta yang berasal
dari Eropa. Kehadiran para pendeta Jepang adalah juga untuk mengambil hati
masyarakat yang dijajahnya. Dengan begitu, masyarakat terutama orang Kristen
mau bekerja sama dan menopang kehadiran pasukan dan bisnis Jepang di
Indonesia.
Di wilayah Timur (Minseibu) banyak tindakan kekerasan, penyiksaan dan
pembunuhan dialami oleh anggota gereja. Tindakan itu dilakukan secara
perorangan, namun ada pula yang dilakukan secara masif. Banyak yang
dipenjarakan, banyak pula yang meloloskan diri. Di kepulauan Sangir, nyaris semua
raja Kristen dibunuh Jepang. Situasi dan kondisi ini berbeda bila dibandingkan
dengan wilayah Barat (Gunseibu) yang relatif tenteram pada masa penjajahan
Jepang. Jumlah pendeta Jepang di wilayah Barat hanya dua orang yang disebut
dalam sumber-sumber sejarah gereja. Kegiatan mereka pun amat terbatas bila
dibandingkan dengan rekan mereka yang melayani wilayah Timur.
Dengan rentangan jarak wilayah yang luas dan kondisi transportasi yang terbatas
pada masa itu, membuat hubungan di antara pusat sinode (pucuk pimpinan)
gereja-gereja suku dan/atau denominasional dengan jemaat-jemaatnya merosot.
Apalagi ketika orang Belanda yang berkedudukan sebagai pucuk pimpinan mati
terbunuh atau kembali ke negara asalnya. Selain itu, kondisi perang membuat
kegiatan persidangan sinode atau pertemuan para pendeta di kalangan beberapa
gereja-gereja suku dan denominasional untuk menyatukan visi dan misi serta
tujuan pelayanannya tidak berjalan dengan baik dan teratur.
Pada tahun 1942, di beberapa wilayah, setiap hari Minggu ibadah berlangsung.
Namun ketika dilarang untuk berkotbah, maka ibadah Minggu hanya diisi dengan
pembacaan Alkitab. Ketika di beberapa jemaat, terjadi larangan untuk beribadah
di gereja atau gedung sekolah, maka ibadah Minggu dilangsungkan di bawah
pepohonan sambil membangun gedung gereja sementara. Kehadiran anggota
gereja dalam ibadah Minggu juga merosot. Faktor penyebabnya adalah
kebanyakan anggota gereja beranggapan bahwa ibadah itu telah dinodai dengan
upacara kebangsaan Jepang yaitu membungkuk, menghormati dan menyembah
kaisar Jepang. Selain itu, keengganan anggota gereja ke ibadah Minggu karena keterbatasan pakaia
B. Pelayanan Para Pendeta Jepang
a. Shusho Miyahira
b. Siici Honda
Pendeta Seiichi Honda adalah salah seorang dari kesembilan orang pendeta yang didatangkan oleh Gereja
Kristus di Jepang ke Indonesia. Dia ditempatkan untuk melayani pasukan militer Jepang dan penduduk pribumi di
Kalimantan.
Pendeta Seiichi Honda tidak sendirian melayani di wilayah Kalimantan. Dia dibantu oleh sesama teman pendeta,
bernama Kazuo Kaneda. Pelayanan pendeta Seiichi Honda dan Kazuo Kaneda adalah berusaha menunjukkan
kesetiaannya kepada tanah airnya dengan menyampaikan pemahaman Jepang kepada semua orang Kristen di
Kalimantan, sambil meneguhkan iman para pendengarnya melalui kotbah dan pidato mereka.
c. Shigeharu Seya
Pendeta Shigeharu Seya adalah salah seorang dari kesembilan orang pendeta yang didatangkan oleh
Gereja Kristus di Jepang ke Indonesia. Dia ditempatkan untuk melayani pasukan militer Jepang dan penduduk
pribumi di Sulawesi Selatan.
Pendeta Shigeharu Seya tidak sendirian melayani di wilayah Sulawesi Selatan. Dia dibantu oleh sesama teman
pendeta, bernama Hachiro Shirato.
Sama seperti teman-teman pendeta Jepang lainnya, pelayanan Shigeharu Seya dan Hachiro Shirato adalah berusaha
menunjukkan kesetiaannya kepada tanah airnya dengan menyampaikan pandangan Jepang kepada semua orang
Kristen di Sulawesi Selatan terutama di Makale (Tana Toraja), sambil meneguhkan iman para pendengarnya
melalui kotbah dan pidato mereka. Dalam kegiatan pembinaan yang dilakukan kepada para pelayan pribumi pada
bulan Mei-April 1945 di Tana Toraja, pendeta Shigeharu Seya menyampaikan bahwa ketidakadilan telah dilakukan
oleh orang Barat terhadap Asia dan usaha mulia yang dilakukan Jepang adalah membebaskan bangsa Asia dari
pengaruh bangsa Barat (Amerika dan Eropa). Namun dia menegaskan pula bahwa semua manusia, Inggeris,
Amerika, Rusia, Belanda dan Nippon “harus kembali kepada Allah melalui salib Joljuta.” Dalam banyak hal para
pendeta ini melindungi orang Kristen terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan, baik oleh pihak Jepang sendiri
maupun orang bukan Kristen dari kalangan pribumi.
d. Ryoichi Kato
Pendeta Ryoichi Kato adalah salah seorang dari kesembilan orang pendeta yang didatangkan oleh Gereja
Kristus di Jepang ke Indonesia. Dia ditempatkan untuk melayani pasukan militer Jepang dan penduduk pribumi di
Maluku.
Sama seperti teman-teman pendeta, pelayanan Ryoichi Kato adalah mencegah dan melindungi para gadis Ambon
terhadap upaya tentara Jepang menjadikan mereka sebagai pekerja seksual. Di tengah pandangan tentara Jepang
bahwa orang Maluku
memiliki relasi akrab dengan bangsa Barat (Belanda dan Inggris) yang pernah menjajah Indonesia, maka pendeta
Kato meningkatkan peribadatan, memberi pembinaan dan pelatihan, serta terkadang menahbiskan seorang pendeta
jemaat dari kalangan pribumi. Atas sarannya, didirikanlah Gereja Kristen Ambon. Gereja ini mewadahi semua
denominasi gereja yang ada di Maluku, khususnya di kota Ambon, baik gereja Protestan, Katholik, Adven hari ke-7
maupun gereja-gereja Pentakosta. Dia meninggal di Jepang. Jenazahnya dikremasi. Sebagian abu jenazahnya
disemayangkan di depan Gereja Imanuel Karang Panjang-Ambon.
C. Perkembangan Nilai-nilai Iman Kristen pada masa Penjajahan Jepang dan maknanya bagi masa kin
Dalam pertemuan sebelumnya, kamu telah mempelajari fakta sejarah mengenai kehadiran dan karya
nyata para pendeta Jepang yang bekerja di Indonesia pada saat dijajah oleh Jepang. Sekarang kamu akan
mempelajari dan mewujudkan nili-nilai iman Kristen yang dihadirkan oleh para pendeta Jepang yang bermakna
bagi generasi masa kini. Sekurang-kurangnya ada dua nilai iman Kristen penting yang dihadirkan dalam pelayanan
gereja-gereja suku dan/atau denominasional di Indonesia.
Nilai iman Kristen yang menonjol dalam kehadiran para pendeta Jepang dan yang bermakna bagi gereja
dan generasi orang percaya kepada Yesus Kristus pada masa kini adalah nilai kesatuan. Tepatnya, nilai keesaan di
tengah kenyataan gereja- gereja suku dan/atau denominasional di Indonesia. Pada saat itu, gereja-gereja suku
dan/atau denominasional di Indonesia. sedang berjuang menjadi manusia dan masyarakat yang merdeka dan
berdaulat. Dengan mengikuti spirit yang telah diperlihatkan dalam pembentukan Gereja Kristus di Jepang (Nippon
Kirisuto Kyodan), maka gereja-gereja suku dan/atau denominasional di kawasan Timur Indonesia disatukan ke
dalam Dewan Kristen (Kiristokyo Rengokai) pada tahun 1943.
Seluruh wilayah Sulawesi Utara dan Selatan, Kalimantan dan Maluku memiliki Dewan Kristen ini.
Organisasi ini memang bukan sebuah institusi gereja yang baru. Sebab gereja-gereja suku dan/atau denominasional
tidak dileburkan menjadi satu. Sebab masing-masing gereja suku dan/atau denominasional tetap mengelola
pelayanan gerejanya sendiri. Nilai iman Kristen yang dihadirkan dengan kehadiran Dewan ini adalah rasa
solidaritas, saling berbagi dan menopang dalam kesatuan sebagai gereja. Hubungan gereja-gereja suku dan/atau
denominasional yang nyaris tidak saling berhubungan dan malahan saling konflik berdarah-darah sebelum
penjajahan Jepang, pada masa ini menjadi kompak. Hal ini menjadi modal dasar bagi
97
bertumbuhnya semangat keesaan di kalangan gereja-gereja suku dan/atau denominasional.
.
b. Pembelajaran terhadap sesama
manusia tak berdaya
gereja-gereja suku dan/atau denominasional di Indonesia, pada satu pihak sedang berjuang menjadi manusia dan
masyarakat yang merdeka dan berdaulat dalam melawan penjajah, dan pada pihak lain menghadapi sesama
anggota masyarakat yang tidak menyukai kehadiran gereja. Selain disebabkan oleh pra-anggapan bahwa gereja
Kristen dekat dengan bangsa Barat, juga karena perkembangan gereja Kristen yang pesat di seluruh wilayah
Nusantara. Di beberapa wilayah, terutama wilayah Minseibu, para pelayan dan anggota gereja-gereja suku dan/atau
denominasional mengalami perlakuan yang tidak manusiawi. Para tawanan perang, orang-orang Barat (Belanda
dan Inggris), perempuan dan anak-anak mereka diperlakukan secara tidak senonoh. Banyak anak gadis direbut dan
dipekerjakan sebagai pemuas seksual para tentara Jepang. Gadis-gadis ini ada yang memperoleh bayaran, ada pula
yang tidak menerima bayaran. Mereka tak mampu untuk melakukan perlawanan. Para pemuda Kristen bersama
yang bukan Kristen diperintahkan untuk menjadi “tentara Jepang” (romusya) dan banyak yang gugur di medan
perang. Pendeta pribumi dan anggota jemaatnya dicurigai sebagai “kaki-tangan” orang Barat. Kekristenan
dianggap sebagai agama Barat, sebab itu harus dilenyapkan. Banyak orang Kristen
yang dipenggal kepalanya, hanya karena laporan-laporan fitnah dan hasutan dari
anggota masyarakat yang disampaikan kepada militer Jepang. Orang Kristen lebih banyak berdiam diri. Jarang ada
yang berani memprotes kondisi ini.
Menghadapi situasi dan kondisi seperti itu, kehadiran para pendeta Jepang sejatinya sangat membantu orang
Kristen, baik di wilayah Gunseibu maupun Minseibu.
Para pendeta Jepang ini melakukan pembelaan terhadap orang Kristen. Pembelaan itu dilakukan, baik terhadap
perorangan maupun persekutuan.
Ketika ada pendeta pribumi atau pendeta Belanda dan anggota gereja yang ditangkap dan diinterogasi oleh tentara
Jepang, maka pendeta Jepang ikut mendampingi agar tidak terjadi siksaan kepada mereka yang tertangkap itu.
Demikian pula, pendeta Jepang melakukan tawar-menawar dengan pihak militer Jepang agar anak-anak gadis dan
terutama pemuda di bawah umur dan orang tua usia lanjut dikembalikan kepada keluarga mereka. Nilai-nilai iman
Kristen yang mendorong para pendeta Jepang melakukan pembelaan terhadap sesama manusia yang tidak berdaya
adalah bertindak kritis terhadap tindakan militer Jepang yang tidak manusiawi, sekaligus meneguhkan iman
sesama orang Kristen melalui ibadah. Hal itu dilakukan mereka berkaitan dengan melemahnya aspek
kemasyarakatan, keuangan dan pendapatan, serta kedudukan dalam pemerintahan di wilayah jajahan maupun
kondisi kejiwaan orang-orang Kristen. Malahan pembelaan terhadap sesama yang tidak berdaya ini mereka
teruskan sampai pada masa perjuangan orang Indonesia mempertahankan kemerdekaan.
D. Rangkuman
Masa penjajahan Jepang di Indonesia dalam kurun waktu 1942-1945, sebagian besar gereja-gereja suku
dan/atau denominasional sudah menjalani kehidupan pelayanan yang mandiri. Namun peranan para pelayan dari Eropa
dalam gereja masih besar sekali. Kehadiran penjajahan Jepang menimbulkan tantangan yang hebat terhadap
perkembangan gereja-gereja suku dan/atau denominasional. Tantangan terhadap sumber daya kepemimpinan, keuangan,
lembaga-lembaga pendidikan dan kesehatan. Banyak sekolah dan klinik diambil alih penjajah Jepang.
Sejumlah pelayan dan anggota gereja mengalami kematian yang mengenaskan, baik disebabkan oleh tindakan
militer Jepang maupun masyarakat pribumi yang tidak
senang melihat perkembangan pesat gereja-gereja suku dan/atau denominasional. Pelayanan dilakukan para
penatua dan diaken dalam keterbatasan wawasan alitabiah dan bergereja. Peranan para pendeta Jepang sangat
besar dan berfaedah menumbuhkan nilai-nilai dan semangat kesatuan, keesaan dan kepedulian serta
pemberdayaan terhadap sesama manusia yang tidak berdaya.
104
Bab Perkembangan Gereja Pada Masa
VII Kemerdekaan dan Pembangunan Indonesia (Tahun 1945-2000)
105
n Gereja-gereja Suku dan Denominasional Pada Masa Kemerdekaan dan Pembangunan Indonesia (1945
Pada masa kemerdekaan Indonesia tahun 1945 sampai dengan 2000, Gereja gereja di Indonesia mengalami perkembangan yang
sangat baik. Setiap gereja yang ada memiliki organisasi yang mengayomi dan juga ciri khas dalam pelayanannya. Berikut ini kita
akan melihat dan mempelajari organisasi gereja-gereja suku dan denominasi.
Yang di maksud gereja suku atau daerah adalah berciri khas suku tertentu atau daerah tertentu
menurut adat istiadat setempat, di mana merupakan tempat gereja pertama kali didirikan, tetapi gereja-gereja
ini tetap terbuka bagi suku lain (ada pula gereja yang tertutup untuk suku lain, tetapi kemungkinannya sangat
kecil). Di Indonesia gereja kesukuan atau kedaerahan banyak jenis atau cabang mulai di kota sampai desa.
Aktivitas 1. Mari Berdiskusi
1. Buatlah kelompok terdiri dari 2-3 orang.
2. Pilihlah dua gereja dari anggota kelompokmu berciri khas daerah.
a.
…………………………………………………………………………………………………………………………………
b.
…………………………………………………………………………………………………………………………………
3. Pertanyaan.
Apa ciri khas yang menonjol dari dua gereja suku tersebut?
4. Tuliskan pendapatmu, pendapat temanmu diskusikan bersama!
…………………………………………………………………………………………………………………………………
……
…………………………………………………………………………………………………………………………………
……
Berikut di bawah ini beberapa contoh nama gereja suku di Indonesia yang mewakili beberapa daerah yaitu:
a. Huria Kristen Batak Protestan - HKBP (memakai adat suku Batak Toba)
Logo HKBP
Singkatan HKBP
Orientasi Lutheran
Indonesia
Malaysia
Wilayah
Singapura
Amerika Serikat
7 Oktober 1861
Didirikan Parau Sorat, Sipirok, Sumatra Utara Divisi
Umat +6,500,000
Logo GKJW
Orientasi Calvinisme
Kelompok jemaat 171 Jemaat dalam 14 Majelis Daerah (per Februari 2019)
Logo GKE
Klasifikasi Protestan
Email: msgke@yahoo.co.id
Gereja Toraja
Logo GKITP
Klasifikasi Protestan
Orientasi Calvinis
Logo GPM
Wilayah Indonesia
Logo GMIM
Wilayah - Indonesia : Minahasa, Jakarta, Bandung, Medan, Batam dan wilayah lainnya - Luar
Negeri : Amerika, Jepang, Australia, Hongkong dan wilayah
lainnya.
Pada masa sekarang ini, agama Kristen di Indonesia memiliki banyak kelompok yang biasa disebut
denominasi. Pengertian Denominasionalisme adalah sebuah ideologi, yang menganggap sejumlah atau semua
kelompok Kristen sebagai versi-versi dari suatu
kelompok yang sama, tak peduli dengan label-label yang membedakan mereka. Namun tidak semua
denominasi mengajarkan hal ini, dan ada sejumlah kelompok yang menganggap semua kelompok yang
berbeda dengannya sebagai murtad atau sesat: artinya, bukan versi yang sah dari agama Kristen.
Namun perpecahan terbesar dalam agama Kristen pada masa kini adalah antara Gereja-gereja
Ortodoks Timur, Katolik Roma, dan berbagai denominasi yang terbentuk pada masa dan sesudah Reformasi
Protestan. Di kalangan Gereja Protestan juga terdapat berbagai kesatuan dan perbedaan dalam tingkat yang
berbeda-beda. Perbandingan antara kelompok-kelompok denominasional harus dihampiri dengan hati-hati.
Misalnya, dalam sejumlah kelompok, jemaat adalah bagian dari satu organisasi gereja yang monolitik,
sementara dalam kelompok-kelompok lainnya, masing-masing jemaat adalah sebuah organisasi yang mandiri
dan otonom.
Perbandingan dengan angka juga dapat menjadi masalah. Sejumlah kelompok menghitung
keanggotaannya berdasarkan jumlah orang percaya yang dewasa dan anak- anak orang percaya yang
dibaptiskan, sementara yang lainnya hanya menghitung orang percaya dewasa yang sudah dibaptiskan. Selain
itu, barangkali ada motif-motif politik dari para penganjur atau lawan dari suatu kelompok tertentu untuk
menggelembungkan atau menggemboskan jumlah keanggotaan melalui propaganda atau pengelabuan.
Berikut ini sebutan beberapa nama gereja denominasional yaitu: Lutheran, Calvinis, Anglikan, Presbyterian,
Baptis, Metodis, Pentakostal, dan Karismatik.
1. Denominasi Lutheran.
Gereja-gereja Lutheran adalah gereja-gereja yang berasaskan ajaran Martin Luther, tokoh Reformasi
gereja pada abad ke-16 yang mengkritik ajaran dan praktik gereja yang
menyimpang dari firman Tuhan. Ajaran khas Martin Luther yang
seringkali juga diakui sebagai ciri khas ajaran Reformasi
disimpulkan dalam tiga sola, yaitu sola fide, sola gratia, dan
sola scriptura, yang berarti "hanya iman", "hanya anugerah",
dan "hanya Kitab
Suci". Maksudnya, Luther menyatakan bahwa
Gambar7.8. Martin Luther
Sumber : www.jawaban.com keselamatan manusia hanya diperoleh karena iman
kepada karya anugerah Allah yang dikerjakan-Nya melalui Yesus Kristus, sebagaimana yang disaksikan oleh
Kitab Suci yang tertulis pada Efesus 2 :8-9. Luther menentang praktik penyalahgunaan indulgensia
(penghapusan hukuman sementara akibat dosa) pada saat itu alasannya karena keselamatan karena anugerah
Allah bukan karena perbuatan. Pengaruh gereja Lutheran di Indonesia pada gereja-geraja Suku adalah dalam
Liturgi, dogma atau ajaran gereja, struktur organisasi dan kepemipinan.
2. Denominasi Calvin
Pengaruh internasional Yohanes Calvin dalam perkembangan doktrin-doktrin
Reformasi Protestan dimulai ketika ia berusia 25 tahun, ketika ia mulai menulis
edisi pertamanya dari Institusi Agama Kristen pada 1534 (diterbitkan pada 1536).
Karya ini mengalami sejumlah revisi pada masa hidupnya, termasuk terjemahan
yang
mengesankan ke dalam bahasa Prancis sehari-hari. Lewat Institusi Gambar7.9. John Calvin Sumber :
www. Wikipedia.org
bersama, Calvin memberi sumbangannya yang besar dalam bentuk tafsir Alkitab. Selain itu beliau
memberikan pengaruh secara pribadi yang besar terhadap Protestanisme. Ia hanyalah salah satu di antara
banyak tokoh lainnya yang memengaruhi doktrin-doktrin gereja-gereja Hervormd, meskipun akhirnya ia
menjadi yang paling terkemuka.
3. Denominasi Baptis.
Gereja Baptis adalah nama generik untuk gereja-gereja di lingkungan Protestan yang dicirikan antara lain
oleh penolakannya terhadap baptisan anak (baptisan yang diberikan kepada bayi
dan anak kecil). Gereja ini percaya bahwa baptisan hanya diberikan kepada
orang dewasa yang sudah dapat mengakui imannya secara sadar dan
bertanggung jawab. Praktik pelayanan baptisan hanya kepada orang dewasa di
kalangan Gereja Baptis ini kelak juga ditiru oleh beberapa denominasi lain.
John Smyth (lahir ~1570, meninggal 28
Agustus 1612) adalah seorang Pendeta Kristen asal Inggris, yang
Gambar 7.10: John Smyth
Sumber: www.google.com merupakan penganut awal komunitas Baptis dan seorang pembela prinsip
kebebasan beragama. Para sejarawan
menganggap John Smyth sebagai pendiri denominasi Gereja Baptis.
4. Denominasi Methodis.
Gereja Methodis berkembang dari Gereja Anglikan di Inggris. Karena Indonesia tidak banyak mendapatkan
pengaruh Inggris, maka Gereja Methodis di Indonesia pun tidak begitu besar.
Gereja Methodis adalah Gereja Protestan terbesar. Dengan jumlah anggota sekitar
20 juta orang yang tersebar di berbagai kelompok. Diperkirakan adalah Gereja
Protestan terbesar kedua di Amerika Serikat setelah Gereja Baptis. Sejak itu John
Wesley mengajarkan pengalamannya yang baru ini dan banyak orang yang
sebelumnya tidak ke gereja mulai tertarik
akan ajarannya.
Wesley mengajar dan mengarahkan kehidupan dan iman mereka. Wesley mengumpulkan
Gambar 7.11: John Wesley orang-orang ini dalam “persekutuan-persekutuan untuk berdoa bersama, mendengarkan firman, dan saling
Sumber : www.goegle.com mengawasi di dalam kasih, agar mereka
dapat mengerjakan keselamatan mereka masing-masing.”. Aturan-aturan ini
menyebabkan mereka diejek sebagai orang-orang yang “bermetode” atau “Methodis.”
5. Denominasi Pentakosta.
Gereja Pentakosta atau Pentakostalisme (aliran Pentakosta; bahasa Inggris:
Pentecostalism) - yang di Indonesia sering disebut juga Pantekosta - adalah
sebuah gerakan di kalangan Protestanisme yang sangat menekankan peranan
karunia- karunia Roh Kudus. Charles Fox Parham adalah figur utama
lahirnya kegerakan Pentakosta dan memberi kemajuan dalam teologi bahasa
roh yang merupakan bukti awal seseorang dibabtis Roh Kudus. Gereja
Pentakosta memiliki ciri-ciri:
1. Menekankan keyakinan akan peranan Roh Kudus dan karunia-
karunia Roh Kudus di dalam kehidupan sehari-hari para pengikutnya.
2. Pembaharuan infrastruktur ibadah, antara lain lagu-lagu
Gambar 7.12 :
Charles Fox Parham rohani yang digunakan lebih modern dibandingkan dengan lagu-lagu lama
Sumber : yang bernuansa Gregorian.
www.google.com
3. Gereja mengizinkan peran kaum perempuan dalam pelayanan dan desakralisasi hubungan antara
imam dan jemaat yang lebih ditekankan pada nilai kekeluargaan, sehingga jauh dari kesan
kesenjangan tingkat kerohanian.
C. Gerekan Oikumene dan Tokoh-tokoh di Kalangan Gereja
Suku dan Denominasional Pada Masa Kemedekaan dan Pembangunan Indonesia (tah
2. P.D Latuihamallo.
P.D Latuihamallo merupakan seorang pendeta dari satu anggota PGI yang
berlatar belakang Calvinis yaitu GPM ( Gereja Protestan Maluku) dan Dosen
Emiritus STT Jakarta bidang Etika Sosial Politik. Ia juga beberapa kali
menjadi ketua PGI dan juga menjadi ketua umum PGI periode 1980-1984.
Latuhamillo sangat berminat pada Etika Sosial ketika menjadi pendeta pada
masa revolusi Indonesia tahun 1945-1949. Dia bergumul dengan
Gambar 7.14 P.D kemerdekaan Indonesia dan nasionalisme dan politik yang dihadapi
Latuihamallo Sumber :
warga jemaatnya. Pada zaman orde baru,saat pemerintah memiliki
www.wikipedia.com
Repelita (Rencana Pembagunan Lima
Tahun) pada 1969-1974, Latuihamallo membuat artikel yang berjudul Misiologi and Politic
Christian Alertness in Indonesia. Dalam artikel tersebut, jelas terdapat pemikiran untuk bangsa Indonesia
yang modern dan hubungan yang erat antara Kristen dan Muslim dalam modernisasi Indonesia.
Gambar 7.15 W.J Rumambi itu terbentuk pada 1950. Tatkala Parkindo (Partai Kristen Indonesia) muncul
Sumber : www.wikipedia.com
sebagai salah satu pemenang dalam
Pemilu 1955, pendeta ini juga muncul di arena politik. Ia mewakili partainya dalam sidang-sidang Dewan
Konstituante di Bandung. Belakangan ia bahkan dua kali mendapat kepercayaan duduk sebagai menteri yaitu
sebagai Menteri Penghubung Lembaga Tinggi Negara dan Menteri Penerangan. Bermula dari kalangan
Gereja, setelah lepas dari kegiatan pemerintahan, Rumambi pulang kembali ke Gereja. Sejak 1967, ia
menjadi sekretaris DGI bidang kemasyarakatan. Sejak 1974, sampai akhir hayatnya, ia memegang jabatan
sekretaris Lembaga Alkitab Indonesia. Ia juga sempat menjadi komisans utama PT Sinar Kasih, yang
menerbitkan harian sore Sinar Harapan.
Indonesia pada 1967-1984 dan kemudian Ketua Umum dari lembaga yang sama pada 1984-1987.
Nababan banyak terlibat dalam organisasi gereja di tingkat dunia. Ia pernah menjabat sebagai Sekretaris
Pemuda Dewan Gereja-gereja Asia (1963-1967) dan belakangan Presiden dari lembaga yang sama (1990-
1995), Wakil Ketua dari Komite Sentral Dewan Gereja-gereja se-Dunia (1983-1998), Wakil Presiden
Federasi Lutheran se- Dunia dan anggota Komite Eksekutif dari lembaga yang sama. Nababan juga menjabat
sebagai Ketua pertama dari Vereinte Evangelische Mission (United Evangelical Mission), sebuah lembaga
misi internasional yang terdiri atas 34 gereja anggota yang tersebar di Afrika, Asia, dan Jerman. Dalam
Sidang Raya ke-9 Dewan Gereja-gereja se-Dunia di Porto Alegre, Brasil pada tahun 2006, Nababan
terpilih menjadi salah seorang Presiden dari lembaga persekutuan gereja-gereja sedunia itu yang
beranggotakan gereja- gereja Protestan dan Ortodoks.
6. Tahi Bonar Simatupang.
Lebih dikenal dengan nama T.B. Simatupang (lahir
di Sidikalang, Sumatra Utara, 28 Januari 1920 – meninggal di
Jakarta, 1 Januari 1990 pada umur 69 tahun) adalah seorang tokoh militer di
Indonesia. Simatupang pernahditunjuk oleh Presiden Soekarno
sebagai Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia pada tahun 1950. Ia
menjadi KASAP hingga tahun 1953. Jabatan KASAP secara hierarki
organisasi pada
9. Natan Setiabudi.
Pada bagian sebelumnya kita sudah belajar tentang kemandirian gereja dan gerakan oikumene.
Selanjutnya kita akan belajar tentang perkembangan nilai-nilai iman Kristen dalam hal kemandirian, Teologi,
Daya, dan Oikumene. Pengertian Iman dalam kekristenan adalah suatu keyakinan sentral yang diajarkan oleh
Yesus sendiri dalam kaitannya dengan injil (Kabar Baik). Kekristenan berbeda dengan agama lainnya karena
berfokus pada ajaran-ajaran Yesus, kedudukan-Nya sebagai Kristus yang dinubuatkan, termasuk keyakinan
akan Perjanjian Baru.
1. Gereja Suku atau daerah adalah berciri khas suku tertentu atau daerah tertentu menurut adat istiadat
setempat, di mana merupakan tempat gereja pertama kali didirikan, tetapi gereja-gereja ini tetap terbuka
bagi suku lain (ada pula gereja yang tertutup untuk suku lain, tetapi kemungkinannya sangat kecil). Di
Indonesia gereja kesukuan atau kedaerahan banyak jenis atau cabang mulai dari kota sampai kedesa.
2. Pada masa sekarang ini, agama Kristen di Indonesia memiliki banyak kelompok yang biasa disebut
denominasi. Pengertian denominasionalisme adalah sebuah ideologi, yang menganggap sejumlah atau
semua kelompok Kristen sebagai versi-versi dari suatu kelompok yang sama, tak peduli dengan label-
label yang membedakan mereka. Namun tidak semua denominasi mengajarkan hal ini, dan ada
sejumlah kelompok yang menganggap semua kelompok yang berbeda dengannya sebagai murtad atau
sesat: artinya, bukan versi yang sah dari agama Kristen.
3. Sebagai gereja yang terdiri dari banyak anggota kita harus bertumbuh dalam hal kemadiriann, termasuk
dalam hal pemahaman Teologi, tenaga dan pembiayaan. Pengertian kemandirian adalah kemampuan
untuk mengelola semua yang dimiliki. Pergumulan dalam gereja memunculkan kesadaran bahwa setiap
gereja adalah bagian dari gereja yang esa, kudus, am dan rasuli di semua tempat dan zaman. Setiap
gereja terpanggil untuk menyatakan keesaan gereja dan memberitakan Injil ke semua orang.