Anda di halaman 1dari 28

BUDAYA dan IMAN

A. Deskripsi Capaian Umum Elemen


Memahami hakikat budaya dan iman, serta kaitan antara budaya dengan iman, dan
bersikap selektif terhadap pemanfaatan budaya dalam kehidupan. Pada elemen ini
peserta binaan memahami ciri khas budaya masyarakat Indonesia secara holistik,
memaknai hubungan antara kebudayaan dengan iman serta menjadikan ajaran iman
Kristen sebagai acuan dalam mempraktikkan hidup beriman dan berbudaya. Peserta
binaan bersikap selektif terhadap pemanfaatan budaya dalam kehidupan. Peserta binaan
memahami bahwa budaya adalah hasil olah pikir dan karya manusia, Allah
mengaruniakan kemampuan berpikir dan dengan kemampuan itu manusia
mengembangkan daya cipta karya dan karsa yang bermanfaat bagi kehidupannya.
Dalam kenyataannya, seringkali budaya ditempatkan di atas iman. Maka, orang Kristen
harus mampu memfilter pemanfaatan budaya dalam kehidupan sehingga tidak
bertentangan dengan ajaran iman.

1
B. Capaian Elemen, Sub Elemen, Materi Pokok, dan Tujuan

Capaian Sub Elemen Materi Pokok Tujuan


Elemen
Memahami Budaya Suku- Mengenal Memahami budaya dan kepercayaan suku-suku di Indonesia dan ciri
hakikat budaya suku di Indonesia Kebudayaan dan khasnya
dan iman, serta kepercayaan Suku-
kaitan antara suku diIndonesia.
budaya dengan Iman dan Pengertian Iman dan Memahami makna iman dan kebudayaan serta mewujudkannya
iman, dan Kebudayaan Kebudayaan dalam kehidupan pribadi dan sosial.
bersikap selektif
terhadap Iman danKebudayaan ( Memahami karya Allah dalam Budaya
pemanfaatan kearifan lokal)
budaya dalam
kehidupan. Karya Allah dalam
Kebudayaan
Hubungan dan Mengelaborasi hubungan dan kontradiksi yang terdapat di antara
Kontradiksi diAntara Iman dan Kebudayaan, serta mewujudkannya dalam sikap hidup
Iman dan Kebudayaan sehari-hari

Iman dan Kearifan Lokal Memahami Iman sebagai filter kearifan lokal

2
C. Pengantar
Kebudayaan bangsa Indonesia sangatlah beragam dan kaya. Kekayaan budaya
ini merupakan sebuah anugerah Tuhan yang harus dijaga dan dirawat oleh segenap
komponen bangsa. Kebudayaan bangsa juga merupakan modal sosial untuk
membangun kesatuan dan persatuan bangsa. Bangsa yang kuat adalah bangsa yang
memiliki jati diri dan kebangaan identitas nasional yang dapat dikenal kemudian
dikagumi oleh warga negara lain. Sebagai anak bangsa, jati diri ini tidak boleh hilang
dan oleh karenanya pengenalan akan budaya sendiri, budaya lokal atau budaya asli
merupakan sebuah keharusan dalam pendidikan baik pada ranah keluarga, sekolah
maupun dalam masyarakat. Adalah sebuah ironi jika akibat gempuran budaya asing
yang gencar melanda negara, bangsa dan masyarakat Indonesia, lewat kemajuan
tehnologi, media sosial, sarana telekomunikasi lainnya, masyarakat Indonesia sendiri
kehilangan jatidiri dan identitas kebudayaannya sendiri.

Keragaman budaya merupakan sesuatu kenyataan terberi (given) yang tak dapat
dihindarkan atau disangkali. Fakta ini menunjukan bahwa perbedaan suku, ras, agama,
kepercayaan, ekonomi dan kondisi geografis seharusnya tidak menjadi jurang pemisah
bangsa. Kehidupan kebangsaan yang beragam dan penuh warna-warni budaya, tradisi,
adat istiadat ini sehurusnya diperkenalkan sedini mungkin dalam pendidikan anak
dalam keluarga. Jika anak telah diperkenalkan dan memahami keragaman budaya ini,
ia akan terbiasa menghargai budaya, tradisi, adat-istiadat bahkan agama dan
kepercayaan yang berbeda dan lebih mudah mengenal makna toleransi.

Materi ini diharapkan dapat menjadi bahan yang dapat dikembangkan dalam
pembinaan dalam keluarga-keluarga Kristen bahkan dalam masyarakat, sehingga
ketika orang tua sungguh memahami makna keberagaaman ini, ia kemudian dapat
meneruskan kepada anak-anak dalam pola pengasuhan dan pendidikan di dalam
keluarga. Selain itu pemahaman yang benar akan budaya penting yang kemudian
dikaitkan dengan pemahaman akan hakikat iman Kristiani. Terkadang pemahaman
iman Kristiani diperhadapkan bahkan dikontradiksikan dengan kebudayaan, karena
dipandang dalam kebudayaan terdapat unsur-unsur kekafiran dan kepercayaan yang
sia-sia, seperti kepercayaan pada roh leluhur, roh nenek moyang, praktek-prektek

3
penyembahan berhala dan lain sebagainya. Tilikan dari aspek iman Kristiani terhadap
kebudayaan merupakan juga salah sub bagian dalam materi ini. Tilikan ini kiranya
dapat memperkaya khasanah pemahaman dari para penyuluh pada khususnya dan
masyarakat pengguna modul pada umumnya.

Kata Kunci: keragaman budaya, adat istiadat, kepercayaan, iman Kristen dan budaya,
kontekstualisasi.

D. Pengertian Kebudayaan

Pengertian kebudayaan dapat diawali dengan pemahaman etimologi kata


budaya itu sendiri. Budaya dalam bahasa Indonesia terkadang dikenal dengan istilah
kultur, yang dipinjam dari kata dalam bahasa Inggris yaitu culture. Culture berasal dari
bahasa Latin colare yang artinya mengolah atau mengerjakan tanah, bumi atau bertani.
Sedangkan dalam bahasa Indonesia kata budaya itu berasal dari bahasa Sansekerta
yakni ‘buddayah’ yang dikonstruk dari kata ‘buddhi’ yang berarti ‘akal’ dan kata daya
yang berarti “kemampuan melakukan sesuatu atau kemampuan bertindak’. Dari konsep
ini kemudian dipahami bahwa budi merupakan panduan akal dan perasaan untuk
menimbang baik dan buruk sedangkan daya merupakan kemampuan untuk bertindak
berdasarkan pertimbangan budi. Dengan demikian secara sederhana dapat dikatakan
bahwa hakikat budaya terkait dengan kemampuan akal budi manusia untuk melakukan
sesuatu bagi dirinya dan juga kehidupannya di tengah komunitasnya.

Ada sejumlah definisi tentang budaya kebudayaan yag dikembangkan oleh para
ahli, khususnya ahli antropologi. Kontjaraningrat (1990) seorang antropolog
terkemuka Indonesia menegaskan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem yang
terdiri dari gagasan atau ide, tindakan, atau tingkah laku dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan cara belajar.
Sedangkan konsep kebudayaan menurut A. Suyono, kebudayaan adalah keseluruhan
hasil daya budi, cipta karya dan karsa manusia yang dipergunakan untuk memahami
lingkungan serta pengalamannya agar menjadi pedoman bagi tingkah lakunya, sesuai

4
dengan unsur-unsur universal di dalamnya. Selain itu ada beberpa definisi kebudayaan
dari para ahli luar negeri yang dapat dilihat dari para antroplog besar dunia seperti
E.B.Tylor yang menjelaskan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang di
dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat dan kemampuan lain manusia yang diperoleh sebagai anggota masyarakat.
Bagi Cylde Kluchon memandang kebudayaan adalah pola hidup yang tercipta dalam
sejarah yang ekspilisit, implisit, rasional, irasional dan non rasional yang terdapat pada
setiap kurun waktu sebagai pedoman yang potensial bagi tingkah laku manusia.
(Ranjabar, 2013:29).

Dari definisi-definisi yang di atas secara tidak langsung tergambarkan bahwa:


budaya atau kebudayaan sangat itu beraneka ragam, Kebudayaan dapat diteruskan
dalam proses pembelajaran. Kebudayaan terjabar dari komponen biologis, sosiologis
dan psyikhologis dari eksistensi manusia. Kebudayaan itu memuat beberapa aspek
dalam kehidupan suatu komunitas. Salah satu ciri kebudayaan itu bersifat dinamis,
karena itu nilai dalam kebudayaan bersifat relatif.

Berdasarkan pada semua defenisi yang telah disampaikan di atas paling tidak
menurut J.J. Hoenigman dalam bukunya The World of Man seperti yang dikuti oleh
Saebeni (2012:166-167) mengatakan bahwa ada tiga gejala kebudayaan yakni ideas,
aktivities dan artifacts: yang memperlihatkan bahwa Pertama wujud kebudayaan
sebagai suatu kompleks dari ide-ide dan gagasan, nilai, norma dan peraturan. Aspek
Kedua, kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan terpola dari
manusia suatu masyarakat. Ketiga kebudayaan sebagai benda-benda dan atau karya
manusia, memiliki wujud. Wujud kebudayaan tersebut dapat dilihat paling tidak dalam
dua wujud yakni pertama wujud ideal, abstrak, gagasan dari kebudayaan yang
tersimpan dalam bentuk tulisan atau buku-buku, manusia memberi jiwa terhadap
gagasan tersebut, itulah yang disebut sistim budaya (cultural systim). Sedangkan wujud
kebudayaan kedua yang disebut sebagai sosial sistim (social system) yang terdiri dari
aktivitas yang di dalamnya manusia saling berinteraksi, bergaul dan berhubungan satu
sama lain, aktivitas bersifat konkrit dapat diobservasi, difoto dan direkam.

5
Di bawah ini elaborasi lebih lanjut dari wujud kebudayaan dengan beberapa
contoh yang dapat dilihat dalam aktifitas kehidupan masyarakat:

a). Wujud kebudayaan sebagai sistem gagasan/ide

Kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-


norma, dan peraturan yang bersifat abstrak, yang maknanya gagasan dan ide tersebut
tidak dapat diraba atau disentuh, hanya bisa dirasakan. Contohnya: Aturan atau norma
sopan santun dalam bertutur kata kepada orang lain yang lebih tua, aturan bertamu di
rumah orang lain. Contoh wujud konkret dari gagasan atau ide kemudian dituangkan
dalam kitab undang-undang atau aturan tertulis. Undang-undang itu kemudian menjadi
hukum untuk mengatur kehidupan masyarakat supaya adil dan tertib serta teratur.
Contoh lain dari wujud kebudayaan dalam bentuk gagasan ini nampak dalam bahasa
syair, pantun, seloka, cerita rakyat, legenda dan sebagainya.

b). Wujud Kebudayaan sebagai sistem aktivitas atau tindakan.

Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai tindakan berpola dari manusia


dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut sistem sosial, yang terdiri dari
aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul
dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan pada adat tataan
perilaku. Sifat konkretnya, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati serta
didokumentasikan. Artinya aktifitas manusia dapat dilihat atau dirasakan secara kasat
mata. Contohnya, budaya upacara perkawinan dengan seluruh tahapan ritual
perkawinan dari proses lamaran sampai pada upacara dan resepsi, proses pemilihan
pemimpin kepala desa, kepala daerah, kepala negara, atau kampanye partai yang dapat
dikategorikan sebagai wujud kebudayaan bahkan yang berupa aktivitas individu.

c). Wujud Kebudayaan sebagai sistem artefak atau hasil karya:

Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dan aktivitas,
perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-
hal yang dapat diraba, dilihat dan didokumentasikan. Artinya, bisa langsung ditemukan
oleh panca indra. Contohnya, alat musik, tari-tarian kebudayaan yang biasanya
dipertunjukan, atau sebuah mahar berupa barang bawaan keluarga pria yang diberikan

6
kepada keluarga calon pengantin perempuan dalam sebuah upacara adat perkawinan
beberapa suku di Indonesia. Barang –barang bawaan itu dikenal dengan nama
seserahan, bagi suku Jawa dan Sunda atau disebut barang antaran bagi suku-suku di
Nusa Tenggara Timur.

Jadi, secara umum dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah:

1. Kebudayaan sangat beraneka ragam


2. Kebudayaan dapat diteruskan dalam proses pembelajaran
3. Kebudayaan itu hasil proses belajar: cara berlaku yang dipelajari
4. Kebudayaan terjabar dari komponen biologis, sosiologis dan psyikhologis dari
eksistensi manusia
5. Kebudayaan memuat beberapa aspek
6. Kebudayaan dapat disesuaikan dan dinamis
7. Kebudayaan merupakan suatu integrasi: ada unsur-unsur atau sifat yang terpadu
8. Kebudayaan dimiliki bersama/kolektif
9. Pentingnya bahasa untuk menerima dan meneruskan pesan simbolis, maupun pesaan
non-simbolis.
10. Nilai dalam kebudayaan bersifat relatif.

Konsep budaya terkadang secara gampang dikaitkan hanya dengan adat istiadat
saja. Namun, jika meminjam konsep Koentjaraningrat sistim nilai budaya merupakan
tingkat yang paling tinggi dan abstrak dari adat istiadat atau tradisi yang berlaku dalam
masyarakat. Nilai budaya merupakan konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian
besar warga dalam masyarakat. Terhadap apa yang dianggap paling bernilai, berharga
dan berfungsi dalam masyarakat, itu kemudian menjadi pedoman memberi arah dan
orientasi bagi kehidupan warganya.

Dari apa yang dijelaskan oleh Koentjaraningrat (1990) itu, variasi tata sistim
nilai budaya adalah menyangkut: masalah mengenai hakekat hidup, masalah mengenai
karya manusia, masalah mengenai hakekat dan kedudukan manusia dalam ruang dan
waktu, masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dan alam sekitarnya,
masalah mengenai hakekat hubungan atau relasi manusia dan sesamanya. Tata nilai ini
terkait karya manusia kemudian menghasilkan yang bisa dipakai untuk menghasilkan

7
income, atau sekedar hobi belaka. Selanjutnya tata nilai budaya menyangkut hakekat
manusia dalam ruang dan waktu membuat manusia ada yang berpikir dan bertindak
bahwa waktu adalah uang, sehingga harus dipergunakan dengan baik dan diisi dengan
kerja, atau sebaliknya ada orang yang pikir bahwa waktu dan ruang terbatas sehingga
diisi dengan mencari kesenangan. Tata nilai menyangkut relasi manusia dengan alam
sekitar akan menentukan sikap manusia dalam mengelola alam secara arif dan
berkelanjutan atau memanfaatkan alam dengan tidak bertanggung jawab. Sedangkan
tata nilai terkait relasi manusia dan sesamanya akan turut menentukan sikap individu
atau masyarakat yang menghargai, menghormati kemanusiaan sesamanya atau justru
menindas dan mengeksploitasi sesama.

E. Konsepsi Khusus Mengenai Manusia, Masyarakat Dan Kebudayaan


Setelah mamahami makna kebudayaan, dalam bagian ini disajikan keterkaitan
pemahaman mengenai manusia, masyarakat dan kebudayaan yang merupakan sebuah
kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan. Kehidupan sosial yang bermartabat selalu
terjalin dalam kesatuan yang hakiki ini. Masyarakat tak dapat dipisahkan dari manusia,
karena manusia yang membentuk masyarakat. Sebaliknya dalam masyarakat atau dalam
kehidupan bersama sesama manusia, seorang individu akan melengkapi dirinya dan
mewujudkan eksistensi kemanusiaanyanya secara utuh. Manusia adalah elemen utama atau
bagian hakiki dari masyarakat, sehingga perilaku, hasil karya manusia terjadi dalam
masyarakat dan menentukan kualitas hidup masyarakatnya. Hasil capaian ide, tindakan dan
karya manusia beragam dari satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Ada masyarakat
yang sudah semakin maju dan modern, sementara di wilayah lain masih ada masyarakat
yang masih tetap mempertahanankan gaya hidup sederhana dengan ketergantungan utama
pada alam dan lingkungan hidupnya. Di Indonesia, masih banyak suku-suku terasing yang
jauh dari peradaban modern seperti Suku Kubu, Suku Anak Dalam di Sumatra, suku Dayak
di pedalaman Kalimantan dan suku-suku asli Papua. Sedangkan kebudayaan dalam
masyarakat merupakan sebuah kekuatan internal yang menjaga relasi serta kerjasama antar
manusia dan masyarakat.

8
Selanjutnya, perlu juga kemudian untuk dipahami apa saya yang menjadi karakter
pokok dari kebudayaan secara umum. Paling tidak dari berbagai kajian (Saebani, 2012,
Neonbasu, 2020) dapat dikelompokan karateristik pokok kebudayan dalam lima hal yakni:

1. Kebudayaan adalah milik bersama komunitas manusia.


2. Kebudayaan merupakan hasil belajar baik dalam lingkungan keluarga, di lembaga
pendidikan dan di dalam masyarakat.
3. Kebudayaan juga nampak dalam berbagai simbol-simbol
4. Terjadi integrasi kebudayaan dalam kehidupan masyarakat.
5. Terjadinya proses perubahan dalam masyarakat dan kebudayaan.

Di bawah ini akan dielaborasi masing-masing komponen tersebut.

1. Kebudayaan adalah milik bersama komunitas manusia.

Setiap manusia memiliki kontribusi bagi berlangsung, atau bertahan tidaknya suatu
budaya. Oleh karenanya kebudayaan harus dijaga, dirawat dan dihidupi oleh masyarakat.
Kebudayaan yang beragam dan kaya merupakan milik bersama yang harus wariskan
kepada generasi muda melalui pendidikan. Kebudayaan mencakup sejumlah cita-cita, nilai-
nilai dan strandart perilaku yang menjadi milik bersama warga masyarakat. Dalam
pengertian kepemilikan bersama dari kebudayaan juga merujuk pada terjadinya relasi,
komunikasi dan kerjasama demi kelangsungan hidup umat manusia.

2. Kebudayaan merupakan hasil belajar

Seluruh kebudayaan adalah hasil belajar dan warisan manusia. Generasi yang satu
meneruskannya kepada generasi yang lain melalui hasil belajar dalam keluarga dan
komunitas, dan kemudian akan diwariskan kepada generasi yang selanjutnya. Proses
pewarisan kebudayaan itu juga merupakan sebuah proses pendidikan, sehingga kebudayaan
itu dapat dijadikan sebagai milik komunitas. Komponen pewarisan itu bisa mencakup
kegiatan sosial, ekonomi, politik, kepercayaan atau agama sampai pada komponen
ideologi. Peran lembaga keluarga sebagai unit pendidik, tempat bersosialisasi sejak dini.
Keluarga berfungsi menjadi sekolah pertama di mana seorang anak dididik untuk mengenal
kehidupan, diperlengkapi dengan ajaran, petunjuk dan teladan sehingga anak diharapkan
kelak mampu beradaptasi dengan lingkungan sosialnya. Di luar keluarga, sekolah menjadi

9
lembaga formal yang mempersiapkan anak didik mencapai tingkat berjenjang dalam
menggapai berbagai makna kehidupan bagi sesamanya.

3. Budaya dan simbol-simbol.

Kebudayaan yang didasarkan pada simbol nampak dalam bentuk materi misalkan uang
sebagai nilai tukar, hasil karya seni berupa lukisan, gambar-gambar, patung, ukiran, dan
jenis pahatan. Simbol-simbol yang terkait dengan aspek keagamaan dapat dilihat dalam
bentuk salib, pohon natal dan ikon-ikon lainnya. Simbol memberi makna bagi manusia
untuk bernalar mengenai makna kebudayaan dalam kehidupannya.

4. Integrasi kebudayaan

Dalam masyarakat terdapat sejumlah norma dan tata aturan yang mengatur masyarakat
agar tertib dan tertata. Memahami integrasi kebudayaan dalam masyarakat seharusnya
memakai pendekatan yang holistik. Dalam beberapa kajian dari para ahli dikemukakan
bahwa dalam masyarakat ada pikiran kolektif yang mendorong kelompok komunitasnya
untuk memahami makna hidup. Ada gagasan yang secara sosial dimiliki oleh masyarakat
dan tidak lagi menjadi gagasan tunggal. Pikiran kolektif ini menjadi pedoman, acuan bagi
masyarakat untuk berpikir dan berperilaku. Masyarakat dipersatukan dalam pikiran kolektif
ini.

5. Konsep Perubahan Kebudayaan.

Selain ke empat karateristik dari kebudayaan tersebut, perlu juga dijelaskan mengenai
konsep perubahan kebudayaan, karena kebudayaan itu sendiri bersifat dinamis, dan tidak
statis. Konsep dasarnya karena manusia itu sendiri selalu akan berjumpa dengan manusia
yang lain dan berinteraksi sehingga berdampak pada perubahan-perubahan dalam
masyarakat dan budaya. Paling tidak terdapat empat konsep perubahan kebudayaan yakni
terjadinya penemuan-penemuan baru, penyebaran (difusi) kebudayaan, proses akulturasi
dan asimilasi (Saebeni, 2021: 185). Di bawah ini akan digambarkan konsep-konsep
tersebut.

10
a. Penemuan-penemuan baru.

Penemuan baru dalam masyarakat senantiasa berlanjut. Barang-barang, peralatan,


mesin-mesin baru ditemukan oleh manusia menggantikan barang, peralatan, mesin yang
lama, yang sudah dianggap ketinggalan zaman. Manusia berinovasi dengan mencoba hal-
hal baru dalam hidupnya. Ada semacam ketidakpuasan terhadap keadaan yang telah ada
sehingga manusia merancangkan sesuatu yang dipikirkan dapat membawa keuntungan atau
manfaat baginya di masa yang akan datang. Masyarakat di negara-negara maju telah
mengenal dan menimati berbagai kemajuan ilmu dan tehnologi yang membuat hidup
mereka lebih nyaman. Ketika perubahan akibat berbagai penemuan telah dikenal dan
meluas di kalangan masyarakat, masyarakatpun menerima dan mengakomodirnya sebagai
sebuah kewajiban sosial bahkan kebanggaan dan prestise sosial.

b. Penyebaran Kebudayaan.

Proses penyebaran kebudayaan juga dikenal dengan nama difusi kebudayaan yakni
ketika penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari individu maupun masyarakat yang satu ke
individu atau masyarakat yang lainnya. Proses difusi ini dapat terjadi karena terjadi kontak
dengan sumber kebudayaan tersebut. Pola kontak perdagangan dan bisnis, migrasi
penduduk di masa yang lalu dapat menyisakan penyebaran kebudayaan itu. Hal ini dapat
dilihat dengan hadirnya suku bangsa China yang datang berdagang di kepulauan Nusantara
lalu kemudian menetap dan membawa pengaruh kebudayan bagi orang lokal, misalnya di
Kalimantan dan Sumatra. Jadi dalam proses penyebaran kebudayaan tersebut terdapat juga
proses integrasi budaya dengan pola interaksi yang khas tergantung konteks geografis dan
sosiologisnya.

c. Akulturasi

Akulturasi terjadi karena adanya kontak kebudayaan yang berlangsung secara terus-
menerus dan dalam waktu yang lama. Akulturasi juga dikenal dengan istilah percampuran
kebudayaan, dimana terjadi pertemuan dan kontak secara timbal balik sehingga terjadi
saling pengaruh. Dalam sejarah bangsa Indonesia yang mengalami masa penjajahan
Belanda, pada fase historis tertentu mengalami proses akulturasi, dimana budaya asing

11
diserap oleh orang lokal. Orang lokal juga kemudian dapat berbahasa Belanda, menikmati
kuliner londo dan berpakain dengan cara dan style yang sama dengan penjajahnya.
Akibatnya, bisa saja orang asli melupakan budayanya bahkan menganggap lebih rendah
dibanding budaya asing atu budaya baru. Namun dampak positif dari akulturasi budaya
yakni, masyarakat menjadi lebih terbuka, sadar akan perubahan dan ingin mengejar
kemajuan lewat pendidikan dan menerapkan penemuan-penemuan baru. Kemerdekaan
Indonesia juga diraih karena ada kesadaran baru atas ketertindasan bangsa oleh penjajah.

d. Asimilasi.

Asimilasi merupakan kelanjutan dari proses akulturasi di atas. Karena proses sosialnya
telah berlangsung sedemikian lama, terjadi semakin dekatnya masyarakat, menjadi
berkurangnya jurang perbedaan, berubahnya sikap mental masyarakat untuk mencapai
sebuah kepentingan bersama. Proses asimilasi dapat terjadi karena antara lain faktor-faktor
sebagai berikut: (i). Faktor toleransi, yakni terjalinnya sikap menerima dan terbuka melihat
perbedaan.(ii). Faktor kesamaan kepentingan ekonomi, sehingga batas-batas sekat kelas
dapat dimanfaatkan untuk berelasi demi kepentingan ekonomi dan kesejaheraan. (iii).
Faktor simpati terhadap budaya yang lain. Sikap ini akan mewujud dalam perilaku saling
menghargai dan tidak merasa kebuyaannya lebih tinggi dari yang lain. (iv). Faktor
perkawinan campuran. Faktor ini merupakan faktor yang paling manusiawi dalam proses
asimilasi. Kedua belah pihak keluarga yang berbeda suku, ras dan budaya dapat
dipersatukan dalam perkawinan. Ada pengenalan budaya dan tradisi yang berlangsug
dalam kehidupan keluarga. Sebagai catatan kritis, jika semua proses ini terjadi secara damai
maka akan membentuk karakter bangsa yang makin menghargai pluralitas, tidak menafikan
kemajemukan suku bangsa, mencintai perdamaian dan dapat bermitra dalam kesetaraan.
Semua itu tentu menjadi cita-cita semua agama di Indonesia, dan selanjutnya akan dibahas
topik mengenai agama sebagai sebuah sistim religi yang terdapat dalam unsur kebudayaan.

F. Sistim Religi Sebagai Unsur Kebudayaan

Kebudayaan yang beragam di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, telah dikaji
oleh para ahli. Dari hasil kajian itu diperoleh pemahaman bahwa ada unsur kebudayaan

12
yang bersifat universal. Artinya, dari budaya manapun ada unsur-unsur yang sama,
walaupun dalam fenomena dan reallitasnya berbeda-beda atau beragam. Berpedoman pada
temuan itu, Koentjaraningrat (1990: 39) menyebut paling tidak ada tujuh butir unsur
kebudayaan. Adapun ketujuh unsur kebudayaan yang dimaksud adalah:.
1. Sistim religi: kepercayaan dan upacara keagamaan, termasuk iman dan komitment
2. Sistem organisasi kemasyarakatan
3. Sistem pengetahuan: temuan, habitus, tradisi, warisan budaya.
4. Bahasa (dialeg) sebagai media berkomunikasi.
5. Kesenian
6. Sistem mata pencaharian: hidup berpindah dan menetap.
7. Sistem tehnologi: media dan tehnologi

Terkait dengan materi pokok dalam modul ini, maka pembahasan akan lebih difokuskan
sistim religi atau sistim kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat. Sedangkan unsur
yang lain akan dibahas secara lebih ringkas.

1. Sistim Religi
Sistim religi atau sistim kepercayaan, atau agama senatiasa terintegrasi dengan
kebudayaan. Masyarakat yang paling sederhanapun memiliki sistim kepercayaan
tersendiri. Sistim religi mengacu pada pengalaman dasar umat manusia mengenai ‘yang
sakral atau sesuatu yang kudus, yang supranatural’. Kepercayaan terhadap hal-hal spiritual
yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia misalkan dalam sistim kepercayaan
beberapa suku di Indonesia masih mempercayai kehadiran roh-roh yang tak kasat mata, roh
para leluhur baik yang masih menganut aliran kepercayaan atau kah juga yang telah
memeluk agama samawi.

Dalam konsep antropologis dan kerangka pikir teori-teori budaya, agama adalah sistim
kepercayaan atau pola perilaku yang diusahakan oleh manusia dalam menangani masalah
penting dalam hidup, yang tidak dapat dipecahkan dengan tehnologi atau organisasi sosial.
Untuk mengidentifikasikan agama dapat dilihat dari beberapa ciri yang mencakup tindakan
atau ritus, doa, nyanyian, tarian, sajian, kurban, yang digunakan manusia untuk
memanipulasi makhluk dan kekuatan supranatural. Kekuatan supranatural itu dikenal
dengan nama dewa-dewi, arwah-arwah leluhur, roh-roh lainnya. Dalam setiap masyarakat

13
ada orang – orang tertentu yang memiliki pengetahuan khusus untuk berhubungan dengan
kekuatan tersebut lewat berbagai kegiatan ritual keagamaan.

Sistim kepercayaan dan agama erat berkaitan dengan pengalaman manusia berelasi
dengan Yang Ilahi menjawab kebutuhan manusia akan keselamatan dan ketentraman hidup
ketika menghadapi berbagai masalah hidup, tertimpa bencana alam dan tragedi hidup
seperti kematian. Berbagai bentuk ritual dalam melaksanakan praktek agama dilakukan
manusia antara lain dengan mempersembahkan korban, sesajen dan bentuk pengorbanan
atau penghormatan lainnya kepada yang ilahi atau yang dipercaya sebagai dewa. Nama-
nama yang ilahi beragam dari berbagai suku di Indonesia. Suku Batak di Sumatera Utara
misalnya menyebut dengan nama Debata, bagi suku-suku di Nusa Tenggara Timur seperti
suku Sabu menyebut Deo Rai, Suku Timor memanggil dengan nama Uis Neno, Uis Pah,
sedangkan bagi orang Rote menyebut sebagai Lamatuak. Di Kalimantan suku Dayak
menyebut sebagai Ranying Hattala Langit. Agama-agama samawi seperti Yahudi, Kristen,
Islam juga menyebut Yang Ilahi dengan nama Elohim, Yahwe, dan Allah bagi umat Kristen
dan Muslim. Masuknya agama langit ini tidak juga sama sekali menghilangkan agama asli
suku-suku di Indonesia. Sebagai ilustrasi dalam Kekeristenan dikenal proses
kontekstualisasi dimana nama dan sebutan terhadap yang ilahi dari agama suku diadopsi
dalam sistim kepercayaan namun kemudian diberi makna baru. Selain nama-nama Tuhan,
masih juga bentuk lain dari kontekstualisasi teologi yang dibangun di kalangan Kristen.

Dalam sistim kepercayaan ada sejumlah pandangan dunia (world view) tentang relasi
manusia dan alamnya. Pandangan dunia tersebut kemudian dikemas dalam sejumlah mitos
yang memberikan rationalitas atau keterangan mengenai sistim kepercayaan sesuai dengan
pengalaman pemeluknya. Mitos adalah sebuah cerita yang memberi arah atau pedoman
serta arah tertentu kepada suatu komunitas yang dapat berupa lambang atau simbol yang
mencetuskan pengalaman manusia pada masa lampau. Dengan adanya mitos manusia yang
percaya turut kemudian mengambil bagaian atau berpartisipasi dalam pengalaman serta
kemudian membentuk kebijaksanaan tersendiri bagi manusia. Jadi melalui agama, sistim
kepercayaan dan mitos-mitos, terdapat fungsi psikhologi dan sosial di dalamnya. Misalkan,
iman dan kepercayaan dapat mengurangi kegelisahan atau menjelaskan apa yang tidak
diketahui dan menolong manusia lebih memahami makna kehidupannya secara lebih
mendalam. Juga kemudian ada semacam kepercayaan bahwa dengan bantuan kekuatan

14
supranatural, manusia dimampukan untuk menghadapi malapetaka atau bencana serta
krisis kehidupan. Namun, selain itu agama juga memberi sanksi bagi perilaku manusia
dengan menanamkan pengertian mengenai hidup yang baik, merujuk pada preseden
perilaku yang disetujui dan memindahkan kewajiban untuk mengambil keputusan bagi
individu dan kelompoknya. Melalui berbagai praktek dan upacara keagamaan dapat
dimantapkan keteraturan dan menerapkan ketertiban sosial dalam komunitas masyarakat.

Oleh karena itu, jika meminjam pendekatan teoritis mengenai religi, maka konsep religi
di sini lebih berorientasi pada sikap manusia terhadap alam gaib atau hal yang gaib yang
nampak dari berbagai praktek keagamaan. Jadi dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
agama adalah semua sistim perilaku laku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan
cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan makhluk halus, roh-roh, dewa-
dewa yang menempati alam. Banyak ritual keaagaman yang mesti dilakukan untuk
menyenangkan hati dewa-dewi atau roh-roh. Dalam prakteknya hal ini nampak dalam
praktik agama-agama suku sebagain masyarakat di Indonesia. Dalam sistim kepercayaan
suku asli Indonesia seperti ini, sebagai contoh dapat dilihat dari kepercayaan aliran
kepercayaan Kaharingan suku Dayak, dan agama Marapu yang masih dianut sebagian kecil
masyarakat asli Sumba. Secara historis dengan masuknya agama Kristen, banyak sistim
kepercayaan seperti ini dianggap bertentangan dengan prinsip iman Kristen sehingga harus
dilenyapkan, khususnya ketika penginjilan masuk pertama kalinya ke wilayah-wilayah
Indonesia yang dianggap masih ‘gelap’, terbelakang dan tertinggal.

2. Sistim dan organisasi masyarakat.

Manusia diatur dalam sebuah sistim atau organisasi tertentu, yang juga mengatur relasi
antara satu manusia dengan manusia yang lainnya. Juga demikian halnya sistim yang
mengatur relasi manusia dengan lingkungannya. Manusia tak mungkin hidup dan bergerak
tanpa adanya sistim atau organisasi masyarakat. Sistim itu mengatur kehidupan manusia
agar menjadi lebih bermakna. Jadi sebenarnya sistim organisasi kemasyarakatan
merupakan penggerak utama yang membantu manusia menjadi lebih berbudaya dan
bermartabat.

Organisasi sosial mencakup lembaga-lembaga yang menentukan kedudukan baik laki-


laki dan perempuan dalam masyarakat. Kelembagaan dalam masyarakat dapat terjadi

15
karena relasi kekerabatan yang mencakup juga perluasan dari keluarga seperti ikatan klan,
marga atau suku. Namun pranata sosial juga dapat terjadi bukan karena relasi kekerabatan
yang dapat dikenal dengan nama lain seperti perkumpulan atau asosiasi dalam masyarakat
yang begitu beragam.

3. Sistim pengetahuan

Masyarakat yang sederhana sekalipun memiliki sistim pengetahuan terhadap segala


sesuatu yang dianggap bermakna dalam hidupnya. Manusia mengembangkan pengetahuan
dan mencari apa yang disebut kebenaran. Perkembangan kognitif manusia menolongnya
untuk berhadapan dengan alam yang ganas, binatang-binatang, sesama dan bahkan tentang
Tuhan. Pengetahuan itu kemudian disebut kearifan lokal yang terlihat misalnya tentang
cara membangun rumah, cara membuat kapal atau perahu, pengetahuan mengenai obat-
obatan herbal, pengetahuan dalam tenunan, sistim pengetahuan terkait pertanian,
peternakan atau kemaritiman. Contohnya, Suku Bugis Makasar sangat terkenal di bidang
maritim. Seadngkan Suku Mentawai dan Dayak dikenal sangat piawai dalam pengobatan
herbal.

4. Bahasa.
Manusia pada zaman apapun membutuhkan bahasa sebagai medium tunggal untuk
dapat a). berkomunikasi, b). menyampaikan pesan, c). menjalin pengertian dengan sesama
dan d.) meneruskan nilai-nilai tertentu dalam masyarakat. Tanpa peran bahasa manusia tak
dapat memahami satu sama lain, sehingga terjadi kekacauan (chaos) seperti pada peristiwa
Menara Babel (Kejadian 11).
Bahasa dapat dilihat dalam bentuk bahasa ada lisan dan bahasa tulis. Ada bahasa yang
dapat dipergunakan oleh begitu banyak orang, namun ada juga bahasa yang sudah punah
atau terancam punah karena penuturnya sudah tak ada lagi. Selain itu dalam beberapa
kelompok masyarakat masih hidup tradisi bahasa lisan, namun itupun sudah hampir punah
jika tidak dilestrarikan atau ditransmisikan kepada generasi yang lebih muda.Tradisi
bahasa lisan ini dikenal dalam bentuk syair-syair adat, pantun-pantun di beberapa daerah
di Indonesia.

16
6. Kesenian

Seni menjadi bukti kemampuan manusia untuk mengalami dan merasakan keindahan
atau estetika. Kesenian merupakan ekspresi hasrat manusia akan keindahan dalam berbagai
dimensi kehidupan yang tidak dibatasi oleh hierarkhi sosial masyarakat. Kesenian yang
dimaksud meliputi seni ukir, seni musik, seni tari, seni suara, seni lukis dan lain sebagainya.
Suku-suku di Indoesia yang terkenal dengan keragaman keseniannya adalah suku Bali,
Orang Toraja, Suku Dayak dengan ragam jenis seni tari, seni ukir, juga termasuk seni pahat.
Selain itu suku Asmat di Papua juga memiliki ketrampilan dalam seni ukir, dan pembuatan
patung yang khas.

7. Sistim mata pencaharian


Masyarakat dahulu masih menerapkan pola hidup berpindah-pindah/nomaden dan
menetap/sedentair. Sistim mata pencaharian terkadang disebut juga sistim ekonomi
masyarakat. Dalam masyarakat tradisional dikenal beberapa mata pencaharian: berburu dan
meramu, beternak hewan, gembala kambing domba, bercocok tanam di ladang, atau
sebagai nelayan. Sistim mata pencaharian ini dilakukan untuk mempertahankan hidup
dengan berusaha mengolah alam sehingga dapat bermanfaat bagi dirinya dan keluarga.
Selain itu sistim mata pencaharian ini merupakan sebuah pola kebersamaan untuk mengatur
hidup manusia agar menjadi lebih baik atau lebih sejahtera. Dalam konteks masyarakat
modern, mata pencaharian ini lebih bervariasi, apalagi dipengaruhi oleh kemajuan
tehnologi dan telekomunikasi. Dalam masyarakat di negara-negara maju pekerjaan
manusia telah banyak diambil alih oleh mesin dan robot. Dengan perkembangan revolusi
4.0 bahkan sudah memasuki revolusi 5.0 yang ditandai dengan hadirnya intelensia buatan
(artificial intellegence) yang dapat menggantikan otak dan tenaga manusia. Dalam kaitan
dengan mata pencaharian, kemajuan dan perkembangan tehnologi, jika dikaitkan dengan
nilai kehidupan maka pekerjaan, usaha dan mata pencaharian bukan saja sekedar untuk
bertahan hidup (survive), melainkan untuk membuat hidup semakin berkualitas, lebih
efisien dan bermakna bagi sesama.

8. Sistim tehnologi
Manusia dengan kemampuan akal budinya mampu menciptakan barang, perkakas
ataupun peralatan dengan tehnologi yang sederhana maupun yang makin canggih dan

17
modern bahkan supermodern. Menurut Koentjaraningrat paling tidak ada delapan macam
peralatan dalam komponen fisik dari budaya yakni: alat-alat produktif, senjata, wadah atau
tempat menaruh barang-barang, alat membuat api, peralatan makan, minum, pakaian,
perhiasan, rumah, dan alat-alat transportasi. Setiap tahapan dan perkembangan kebudayaan
memiliki tehnologinya sendiri dari yang sangat sederhana, sampai yang canggih dan rumit.

Tehnologi membantu manusia untuk memenuhi dan memperlengkapi kebutuhan dasar


manusia seperti sandang, pangan dan papan. Sistim tehnologi yang dibuat berdasarkan
kebutuhan primer, kemudian sekunder dan tertier. Inovasi dan pengembangan dilakukan
manusia sangat bergantung dari upaya pencarian dan penghargaan terhadap daya budi atau
nalar yang telah diberikan Tuhan. Penemuan-penemuan tersebut seharusnya dapat
dimanfaatkan bagi kemanusiaan.

Dalam bagian berikut akan dibahas keterkaitan antara iman dan kebudayaan.

G. Iman Kristen Dan Kebudayaan.

Tentu iman yang dimaksud di sini adalah iman Kristen. Dari penjelasan mengenai
sistim religi di atas tadi, kepercayaan dalam perspektif budaya secara sederhana merupakan
‘sistim perilaku laku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan
diri kepada kemauan dan kekuasaan makhluk halus, roh-roh, dewa-dewa yang menempati
alam’. Dalam konsep iman Kristen, alam semesta, termasuk segala sesuatu yang ada di
dalamnya adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia, alam, flora dan fauna, tata
surya adalah ciptaan Tuhan (Kejadian 1 dan 2). Segala kuasa di langit maupun di bumi
tunduk dan takhluk pada kekuasaan Allah. Jadi, ketika ada sistim kepercayaan manusia
yang ditujukan pada hasil ciptaan Allah dan bukan pada Allah sebagai Pencipta, maka di
sini tergambar jelas perbedaan antara konsep iman Kristen ketika berhadapan dengan
konsep kepercayaan dari perspektif agama-agama lokal. Kepercayaan terhadap roh-roh dan
makhluk halus, arwah leluhur merupakan kekejian atau kenajisan bagi bangsa Israel seperti
yang tercantum dalam Kitab Imamat 19: 31 dan dalam Bilangan 16: 31, Allah adalah Allah
dari roh segala makhluk. Oleh karena ini penyembahan terhadap ilah-ilah lain merupakan
salah satu hukum dalam Taurat ( Ul 6:4) yang harus ditaati oleh bangsa Israel dan umat
percaya.

18
Untuk menjembatani dua entitas ini, dalam Kekristenan ada upaya berteologi yang
dikenal dengan teologi kontekstual. Teologi kontekstual adalah upaya untuk memahami
pesan Alkitab dalam konteksnya secara tepat dan menghubungkan makna pesan Alkitab
dengan konsep dan konteks budaya lokal dimana pesan tersebut akan disampaikan. Jadi
berbicara mengenai kontekstualisasi sebenarnya adalah proses dengan tiga unsur yang
berbeda yakni pada tataran pernyataan, penafsiran dan penerapan (Hesselgrave, 2010: 240).
Menariknya dalam ketiga unsur ini terdapat elemen kebudayaan, yakni kebudayan di
seputar isi pesan, pernyataan, atau teks, juga kebudayaan dari si penafsir dan terakhir
kebudayaan yang terdapat pada tahapan penerapan pernyataan tersebut. Dalam kerangka
Hesselgrave disebut ‘kontekstualisasi model tiga kebudayaan’.

Teks Alkitab ditulis dalam medium bahasa manusia yang merupakan salah satu unsur
kebudayaan. Teks atau pernyataan Allah ditulis dengan mamakai lambang bahasa manusia,
sehingga ketika melakukan upaya teologia kontekstual tidak saja menafsir apa yang tertulis,
tetapi memahami makna di balik yang dikatakan atau yang tertulis itu. Di sini penafsir juga
harus sungguh menyadari perbedaan budaya penulis Alkitab dalam konteks budaya di
Timur Tengah untuk Perjanjian Lama dan budaya Yunani-Romawi dalam Perjanjian Baru
dan budayanya sendiri yaitu budaya Indonesia (budaya Kalimantan, Toraja, Papua, Timor,
Ambon, Sumatra, Jawa, Sulawesi dll). Oleh karena itu harus disadari penuh bahwa penafsir
sungguh berupaya menyingkapkan apa yang menjadi konteks budaya, historitas, dan sistim
sosial kemasyarakatan dalam teks atau pernyataan Alkitab. Dengan demikian penafsir akan
mampu sedekat mungkin menyingkap makna yang hendak diungkapkan penulis.

Dalam mendialogkan relasi Iman dan kebudayaan paling tidak ada beberapa asumsi
dasar yang harus diterima dan dipahami bahwa kebenaran Injil itu bersifat adibudaya yang
artinya ada kebenaran yang sah dalam setiap budaya. Hal ini secara jelas terdapat dalam
Kisah Para Rasul ketika peristiwa Pentakosta, berita Injil dapat dipahami oleh jemaat dari
berbagai bahasa dan budaya seperti orang Elam, Media dan Partia. (Kis 2: 5-13). Selain itu
berita Injil juga sampai kepada orang Samaria (Kis 8: 4-8), juga kepada orang Romawi (
Kis 10: 34-35, 45) dan kepada orang Yunani ( Kis 11: 19-21). Artinya bahwa perbedaan
budaya tidak menghalangi jemaat untuk memahami pesan Injil dan keselamatan. Berita
keselamatan yang disampaikan para Rasul menumbuhkan iman dan percaya kepada Kristus
yang telah mati mengorbankan nyawaNya menjadi tebusan bagi dosa manusia tetapi

19
kemudian bangkit dari antara orang mati. Kepercayaan terhadapa karya keselamatan dalam
Yesus Kristus ini juga dimiliki oleh dari orang di berbagai budaya yang berbeda dari
bermacam-macam benua, negara dan tradisi.

Prinsip ini berangkat dari berita dan pesan Injil yang tidak dapat ditawar dalam
kebudayaan manapun yakni ajaran mengenai pembenaran oleh karena anugerah Allah dan
bukan atas usaha manusia. (Roma 3: 37, 5: 8). Kebenaran ini kemudian dapat disajikan
dalam bungkusan budaya lokal yang relevan, namun tidak dapat menggantikan fakta
historis bahwa Kristus telah mati demi menebus dosa manusia. DarahNya tercurah bagi
keselamatan manusia dan Dia adalah sumber keselamatan satu-satunya yang tidak ada
dalam satu budaya manapun. Jadi, ketika pesan Injil hendak dikomunikasikan dalam
konteks budaya-budaya lokal, maka keyakinan iman mengenai keselamatan karena
anugerah Allah semata (sola gratia) harus dapat disampaikan dengan baik sehingga seluruh
makna pesan dapat dipahami sesuai konteks teks dan historisasinya.

H. Karya Allah Dalam Kebudayaan


Kesaksian Alkitab secara tegas menyatakan bahwa Allah adalah Sang Klalik, Pencipta
langit dan bumi. Dalam Kejadian pasal 1: 1 mendeklarasikan bahwa pada mulanya Allah
menciptakan langit dan bumi. Ini merupakan sebuah credo, pengakuan percaya bangsa
Israel, bahwa Allah Yahwe, Elohim adalah Pencipta sejak awal mulanya, tak ada yang lain.
Dalam peristiwa penciptaan itu Allah berkenan membuat diriNya dikenal oleh manusia
sebagai makhluk ciptaan, yang serupa dan segambar dengan diriNya. Di pihak lain, Iapun
memperkenankan manusia mendekatiNya dan memanggilnya dengan nama yang sesuai
dengan hakikatNya. Nama Allah merupakan gelar kehormatan atau julukan dan bukan
nama diri. Nama atau gelar kehormatan ini hendak menunjukan sikap hormat dan tuduknya
manusia terhadap Allah Sang Pencipta dan Yang berkuasa.(Mawene, 2008: 27).

Allah menciptakan manusia segambar dengan rupa Allah (Imago Dei, Image of
God). Allah memberi mandat budaya bagi manusia untuk mengelola alam dan
mengusahakan kehidupan. Melalui manusia Allah memberi perlengkapan bagi manusia
untuk berbudaya. Manusia diberi kemampuan oleh Allah untuk mempunyai gagasan-
gagasan atau ide dan konsep melalui proses berpikir. Gagasan itu kemudian diperlihatkan

20
dalam bentuk tindakan. Selanjutnya, dalam realisasi tindakan tersebut manusia
meninggalkan jejak aksinya dalam bentuk karya manusia berupa benda - benda, buku-buku,
peralatan dan lain sebagainya. Jadi Allah ketika menciptakan manusia yang adalah
imageNya, Ia memberi kemampuan bagi manusia untuk mengembangkan diri,
mengusahakan alam dan memeliharanya.

Ketika Allah menempatkan manusia dalam taman Eden, Ia memberi perintah untuk
mengusahakan dan memelihara taman itu (Kej 2:15). Ini adalah mandat kebudayaan
pertama bagi manusia. Gagasan ‘mengusahakan bumi’ berisi perintah untuk mengerjakan
bagi kepentingannya secara bertanggungjawab, namun tetap dalam koridor memelihara,
menjaga, merawat dan bukan sebaliknya merusak dan meneksploitasi alam dengan semena-
mena. Bukti- bukti bagaimana manusia mengusahakan kehidupan adalah cerita mengenai
pekerjaan Kain dan Habel (Kej 4: 1-16). Secara jelas ditulis bahwa pekerjaan Kain adalah
menjadi petani, sedangan Habel adalah gembala kambing domba (ay.3). Jenis pekerjaan ini
Kain dan Habel ini merupakan operasionalisasi dari perintah Allah tadi untuk
mengusahakan dan memelihara bumi. Dari pekerjaan mereka, kemudian ada hasil karya
berupa produk makanan atau hasil olahan lainya. Demikian juga tentu peralatan-peralatan
pertanian dan peternakan dibuat manusia untuk memudahkan pekerjakan mereka. Lebih
lanjut juga disebutkan bahwa cicit Kain, yakni cucu dari Henokh, dan anak dari Lamekh,
yakni Yabal adalah juga seorang yang memelihara ternak dan diam dalam kemah,
sedangkan adiknya Yubal adalah bapa dari semua yang memainkan kecapi dan seruling
(Kej 4:20-21). Jadi di sini, unsur estetika dan kesenian dalam kebudayaan sudah dikenal
oleh manusia Israel kuno. Kemudian, istri kedua dari Lamekh yakni Zila, juga melahirkan
anak yang bernama Tubal-Kain yang dikenal sebagai bapa semua tukang tembaga dan
tukang besi (Kej 4:22). Ayat-ayat ini menegaskan bahwa, orang Israel kuno dan
keturunannya telah berada dalam sebuah tahapan peradaban yang mengenal berbagai jenis
pekerjaan, pembagian kerja, memiliki ketrampilan atau skill, seperti tukang besi, tukang
tembaga yang diolah untuk menjadi peralatan rumah tangga atau peralatan berburu atau
juga untuk dijadikan sebagai senjata-senjata.

Dari konteks Kejadian ini kita dapat melihat bahwa Allah Pencipta yang menjadikan
manusia serupa dan segambar dengan diriNya, memberi kemampuan bagi manusia untuk
meneruskan karyaNya, menjadi co-creator yang bertanggung jawab untuk mengusahakan

21
dan memelihara dunia ini seperti taman Eden. Manusia sebagai mahakarya, mahkota
ciptaan diberi tugas yang tidak ringan untuk lanjutkan karya ciptaanNya. Namun manusia
juga tidak ditinggalkan sendiri sehabis Ia melakukan tugas penciptaan, seperti yang
terdapat dalam kepercayaan lain. Oleh karena itu sebagai mitra pencipta, manusia
bertanggung jawab untuk mengelola alam dan kehidupan ini tidak untuk kepentingan atau
berpusat pada keinginan manusia saja (antroposentris) melainkan juga berorientasi pada
keseimbangan dan kelestarian alam semesta (ekosentris).

I. Kristus hadir dalam Kebudayaan Manusia.

Dalam terang iman Kristen, Allah sendiri kemudian menyatakan diriNya dalam
anakNya Yesus Kristus, menjadi manusia seperti kita, kecuali dosa (Filipi 2:7). Dalam
keadaannya sebagai manusia, Tuhan Yesus lahir, dan hidup dalam sebuah institusi
keluarga. Ia berelasi dan berinteraksi dengan manusia dari berbagai lapisan
masyarakat dan kalangan yakni dengan para perempuan, anak-anak, lelaki, orang
sakit, orang-orang yang disingkirkan dalam masyarakat, pemungut cukai, orang
Samaria, penguasa, para meuka agama, kaum Farisi dan ahli Taurat dan lain
sebagainya. Ia juga membentuk kelompok dengan memanggil murid-muridNya,
makan minum bersama mereka, bekerja dan melayani bersama.
Allah dalam Yesus Kristus masuk ke dalam dunia, hidup dalam budaya
masyarakat Israel. Ia dibesarkan dalam keluarga Yahudi, mengenal tradisi agama
Yahudi namun kemudian Ia mengkritisi praktek-praktek agama yang korup dan
hypokrit, sehingga Ia dibenci terutama oleh pemimpin-pemimpin agama Yahudi.
Melalui karyaNya, Ia membawa pembebasan dan transformasi dalam kehidupan
masyarakat dan insitusi agama, namun terutama Ia menebus dan menyelamatkan
manusia dari dosa. Pengorbanan Yesus di kayu salib, adalah karya agung Allah dalam
kebudayaan, dalam sebuah konteks bangsa dan umat manusia, yang memiliki
organisasi keagamaan, juga para pemimpin agama dan penguasa politik dan konteks
historis yang jelas. Kehadiran Allah melalui Kristus dan karyaNya terjadi di panggung
sejarah dunia, yang riil. Karya keselamatan Allah ini yakni kisah hidup, karya
pelayaan dan pengorbanan Yesus kemudian direkam, ditulis oleh para rasul dalam Injil

22
Dan surat-surat sehingga meninggalkan bukti dari sejarah kehadiran Allah di atas
dunia ini. Karya-karya Allah sungguh dapat dilihat dalam kebudayaan umat manusia.
Dalam kebudayaan jejak-jejak kehadiran Allah dapat dilihat, disaksikan dan dinikmati
sebagai anugerah. Sehingga kemudian menjadi panggilan setiap orang percaya untuk
mengamini karya agung itu sehingga tidak akan binasa melainkan diselamatkan. (Yoh
3:16).

J. Hubungan Dan Kontradiksi DiAntara Iman Dan Kebudayaan

Dalam sub materi ini jelas pada penjelasan di atas bahwa Allah sendiri dalam Yesus
Kristus telah masuk dan terlibat dalam kehidupan manusia. Jadi jelas bahwa Allah
memakai manusia dan kebudayaan sebagai sarana untuk menyatakan Kasih dan
Keselamantan. Tanggapan positif manusia terhadap tawaran keselamatan Allah
kemudian menghadirkan persekutuan orang percaya yang disebut gereja. Kehadiran
gereja di dunia juga mengemban misi Allah untuk membawa Injil, kabar baik, kabar
keselamatan ini. Dalam perjumpaan tersebut terjadi relasi yang bersifat kontradiktif
atau bertentangan dengan prinsip iman Kristen. Dalam sub bagian ini akan dibahas
beberapa pola relasi perjumpaan iman Kristen dan kebudayaan. Gereja dalam
mengemban misinya berhadapan bahkan kemudian tenggelam dalam kebudayaan atau
dikalahkan sehingga tidak jelas ciri kahs pemberitaan dan kesaksian gereja atau orang
Kristen di dunia sebagai ladang misi Allah.
Seperti yang telah disinggung pada bagian terdahulu, dalam upaya melakukan
dialog dan perjumpaan iman Kristen dan Kebudayan atau melakukan upaya berteologi
kontekstual. Namun dalam upaya itu orang percaya perlu menyadari bahwa
kebudayaan di tempat manapun dan dalam situasi apapun tidak pernah luput dari
perubahan sosial, bahkan hal-hal yang negatif dan bertentangan dengan prinsip, etika,
moral iman Kristen. Hal-hal yang bertentangan dengan iman Kristen dimaksud
misalkan praktek penyembahan roh-roh leluhur, kepercayaan pada arwah orang mati
dan ritus-ritus tertentu atau kepercayaan pada peramal, atau keprcayaan sia-sia lainnya.
(lihat Imamat 19:31, I Kor 10:14, 20, Ef 6:12). Hal-hal seperti ini perlu dikritisi dengan
perspektif iman, sehingga tidak terjadi sinkretisme kepercayaan di mana terjadi
pencampuradukan dua kebudayaan yang tidak saling bersesuain dalam kehidupan

23
orang percaya. Akibatnya terjadi ambiguitas iman, kebingungan rohani, mana yang
mau didahulukan, mana yang diprioritaskan budaya atau iman.

Berteologi kontekstual tidak hanya berbicara tentang Injil dan kebudayaan


melainkan Injil dan Konteks. Teologi klasik dimengerti sebagai refleksi dalam iman
menyangkut dua sumber berteologi (loci theologici), yakni Kitab Suci dan tradisi yang
isinya tidak bisa dan tidak pernah berubah, dan berada di atas kebudayaan secara
historis. Namun, perlu disadari bahwa teologi menjadi sungguh kontekstual apabila
mengakui keabsahan locus theologicus yang lain berdasarkan pengalaman manusia
sekarang dalam konteks budaya tertentu.

Gereja mesti mengupayakan sebuah dialog timbal-balik antara teks dan konteks
yang didasari oleh kesadaran bahwa Allah bekerja juga di dalam dan melalui realitas
dan pengalaman budaya lokal. Sehingga gereja berkewajiban dan mengemban tugas
untuk ikut merawat budaya lokal sebagai bagian dari identitas lokal sekaligus identitas
Kristiani lokal. Gereja mesti merumuskan identitas kekristennya dalam sebuah bentuk
sintesa dari perjumpaan Injil dan budaya setempat. Identitas baru sebagai hasil sintesa
ini tentunya terkait dengan tiga aspek, yakni konteks, prosedur dan sejarah. Tiga aspek
ini, menurut Robert J. Schreiter (1996) merupakan prespektif baru. Perspektif baru
dimaksud adalah sebuah teologi yang menekankan kenyataan bahwa teologi dilakukan
oleh dan untuk suatu wilayah dan geografis tertentu oleh warga setempat untuk wilayah
mereka. Karakteristik berteologi secara kontekstual ini merupakan upaya kompromistis
antara Injil dan budaya lokal.
Menurut Stephen B. Bevans (2002) setidaknya ada enam model teologi kontekstual
yang diusulkan, yakni:
a. Model Teologi Tandingan: mengakui peran konteks namun radikal dalam
mencurigai kekudusan dan daya pewayuhan.
b. Model Terjemahan: mengindahkan pengalaman, kebudayaan, lokasi sosial serta
perubahan budaya, namun lebih menekankan hal-hal yang hakiki dari Kitab Suci dan
tradisi iman Kristiani.
c. Model Antropologis : yang menekankan jati diri budaya serta relevansinya untuk
teologi lebih dari pada Kitab Suci atau tradisi yang merupakan hasil dari teologi-

24
teologi yang relatif bersifat kontekstual yang ditempa dalam konteks-konteks yang
yang sangat partikular.
d. Model Praksis: menekankan perlunya konteks yang melibatkan perubahan sosial
atau perlunya perubahan sosial dalam perumusan iman.
e. Model Trasendental memusatkan perhatian bukan pada isi yang hendak dirumuskan
melainkan pada subjek yang merumuskan.
f. Model Sintesis atau model dialogis: menjaga keseimbangan dari semua unsur.
Model sintesis, yang juga merupakan model dialogis, yang menghasilkan sejumlah
simbol-simbol lokal-Kristiani sebagai hasil kreativitas jemaat setempat.

Setiap model memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Pendekatan


dan metode di atas ikut menghasilkan model tertentu. Oleh karena itu, Gereja perlu
mengawasi dan ikut terlibat dalam upaya berteologi agar setiap upaya perjumpaan
dengan model-model diatas dapat mendidik jemaat ke arah pengenalan yang benar akan
budaya lokal namun tidak mengorbankan prinsip iman Kristen. Misalnya dalam Liturgi
kontekstual dalam berbagai ibadah dan perayaan dapat mengakomodir unsur-unsur
budaya lokal namun tetap dalam terang Injil, sehingga penghayatan makna Kabar Baik
dapat diterima sesuai pola budaya jemaat lokal.

K. Penutup dan Refleksi


Allah mengaruniakan kepada manusia kemampuan untuk mengenal Pribadinya
secara dekat dan akrab, manusia dapat memanggil namaNya sesuai dengan hakikatNya,
sebagai Allah Pencipta, Bapa Yang Maha Kuasa, Allah Penyelamat dalam Yesus
Kristus. Allah juga berkenan hadir dalam rupa manusia, hidup dan mati dalam
panggung sejarah dunia ini, namun Ia bangkit dari antara orang mati dan naik ke surga,
menantikan tempat bagi setiap orang yang percaya kepadaNya. Dunia dan manusia
yang hidup dalam beragam budaya menjadi sasaran atau arena karya keselamatan
Allah. Jadi Allah berkenan memakai kebudayaan Israel Kuno, budaya Semit, budaya
Romawi, budaya Yunani, juga termasuk budaya Indonesia, budaya-budaya lokal
sebagai media untuk mengasihi dan menyelamatkan manusia. Gereja sebagai wujud
kehadiran Allah di dunia berhadapan dengan dunia dengan berbagai persoalan dan

25
dinamika budayanya. Apakah orang Kristen atau gereja harus mengalah pada budaya,
ataukah mengakomodir, melakukan dialog serta melakukan sintesa baru ke arah
transformasi dan pembaharuan dan semakin meneguhkan iman percaya orang Kristen.
Namun untuk melakukan upaya-upaya tersebut, perlu disadari bahwa dalam budaya ada
juga unsur-unsur yang merusak, negatif dan bertentangan dengan prinsip iman Kristen.
Budaya juga tidak lepas dari struktur dan karakter dosa dari manusia. Oleh karena ini
gereja harus kritis terhadap hal-hal atau praktek budaya yang tidak membangun
persekutuan dan iman kepada Kristus. Gereja sebagai penjaga ajaran perlu membangun
perspektif iman yang benar dari jemaat, sehingga jemaat dapat menyaring atau
memfilter berbagai unsur budaya yang tidak sejalan atau bertentangan dengan prinsip
iman Kristen.

Berbagai pola pendekatan melakukan upaya berteologi secara kontekstual seperti


yang telah dipaparkan di atas dapat saja diadopsi dalam pelayanan gereja. Model
terjemahan misalnya telah banyak dilakukan oleh gereja-gereja, contoh dapat dilihat
pada hasil dan usaha menterjemahkan Alkitab dan lagu-lagu rohani Kristen ke dalam
berbagai bahasa lokal di Indonesia, agar pesan Firman Tuhan dapat lebih dipahami dan
dimengerti jemaat setempat. Selanjutnya model Antropologis dan model Praksis juga
banyak dilakukan baik dalam bentuk liturgi-liturgi dan tata ibadah perayaan tertentu,
bangunan dan arsitektur gereja, stola pendeta, mimbar dan kain mimbar serta masih
banyak contoh lainnya. Namun model sintesa atau model dialogis juga selalu harus
dikembangkan utuk mendapatkan simbol-simbol kekeristenan lokal dalam berbagai
wujud kreatifitas budaya lokal. Semua upaya itu kiranya nama Tuhan yang diagungkan
dan ditinggikan. Segala hormat dan puji kiranya dipersembahkan hanya kepadaNya.

26
GLOSARIUM
Artefak : benda-benda budaya
Budaya : keseluruhan totalitas dari hasil pemikiran, tindakan dan karya
manusia
Budaya lokal : pola pikir, pola tindak, pola hidup, kebiasaan, tradisi
masyarakat lokal
Gagasan : konsep berfikir
Ideologi : pandangan hidup atau aliran, paham
Iman : kepercayaan pada Tuhan
Kearifan lokal : pengetahuan lokal masyarakat
Kontekstualisasi : proses memahami pesan dalam kontkes budaya lokal
Kontradiksi : unsur yang betentangan
Universal : meliputi seluruh dunia
Seserahan : barang-barang yang dibawa keluarga pria saat pinangan
Sintesa : perpaduan dua unsur
Transformasi : perubahan sosial
Teologi Kontekstual : upaya berteologi dari perspektif budaya lokal
World view : pandangan dunia

27
DAFTAR PUSTAKA
Adams, Daniel J. Teologi Lintas Budaya: Refleksi Barat dan Asia. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.2012.
Bevans, Stephen. B. Model- Model Teologi Kontekstual. Maumere : STFK Ledalero,.2002
Haviland, William A. Antropologi. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1988.
Hesselgrave, David. J and Rommmen, E. Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.2010.
Ihromi, T.O. Pokok-pokok Atropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1999.
Malina, Bruce J. Asal-usul Kekristenan dan Antropologi Budaya: Model-model Praktis untuk
Penafsiran Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia.2011.
Mawene, Marthinus, T. Perjanjian Lama dan Teologi Kontekstual. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.2008.
Neonbasu, Gregor. Sktesa Dasar Mengenal Manusia dan Masyarakat. Jakarta: Penerbit
Kompas, 2020.
Nottingham, Elisabeth K. Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta:
Rajawali Press, 1992.
Nubantimo, Ebenhaizar, I. Dunia Supranatural, Spritisme dan Injil. Salatiga: Fakultas Teologi
UKSW, 2016.
Liliweri, Allo. Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: LKIS, 2012.
Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, UI-
Press. 1990.
Kuntowijoyo. Budaya Dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Ranjabar, Jacobus. Sistim Sosial Budaya Indonesia: Suatu Pengantar. Bandung: Penerbit
Alfabeta, 2013.
Saebani, B.A. Pengantar Antropologi. Bandung: CV Pustaka Setia, 2012.
Schreiter, Robert J. Rancang Bangun Teologi Lokal. Jakarta: BPK Gunung Mulia.1996.
Van Peursen C.A. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993.
Setyawan, Yusak B. Et. All. Perdamaian dan Keadilan dalam Konteks Indonesia yang
Multikultural dan Beragam Tradisi Iman.Jakarta: BPK Gunung Mulia.2017.

28

Anda mungkin juga menyukai