Anda di halaman 1dari 16

Masyarakat Majemuk

A. Deskripsi Capaian Umum

Memahami hakikat masyarakat majemuk dan bersikap sesuai dengan ajaran iman
Kristen. Pada elemen ini peserta binaan memahami makna kemajemukan masyarakat
Indonesia dan mewujudkan dalam sikap hidup yang menghargai kemajemukan,
menganalisis model-model hubungan antar umat beragama serta mendalami teks Alkitab
yang berkaitan dengan kemajemukan, mewujudkan solidaritas dalam masyarakat
majemuk mengacu pada Alkitab serta menjabarkan bentuk-bentuk sumbangan
kemajemukan dalam praktik hidup bertetangga, bermasyarakat dan berbangsa.

Peserta binaan memahami Indonesia adalah negara kebangsaan yang majemuk.


Masyararakat Indonesia telah berabad-abad hidup dalam keberagaman budaya, suku,
Agama, geografis maupun kelas sosial dan keberagaman itu diikat oleh semboyan
Bhineka Tunggal Ika. Dalam rangka hidup Bersama dalam masyarakat majemuk, maka
ajaran iman mengenai kasih persaudaraan amat penting untuk diterapkan. Solidaritas
antar umat beragama dan bersikap inklusif amat penting untuk dipahami dan dijadikan
“habit” atau pembiasaan hidup.

B. Capaian Elemen, Sub Elemen, Tujuan dan Materi Pokok

Capaian Sub Elemen Materi & Model Tujuan Pokok Sasaran Jumlah Sumber
Elemen Pembelajaran Kegiatan Pertemuan Bahan

Memahami Masyarakat Pengertian Memahami Penyuluhan Segala 1 Kali


hakikat Indonesia kemajemukan makna di berbagai usia Pertemuan
masyarakat yang masyarakat kelompok
(45 menit)
majemuk Majemuk majemuk Binaan
dan
Masyarakat Menganalisis
bersikap
Indonesia yang kemajemukan
sesuai
Majemuk bangsa
dengan
Indonesia,
ajaran iman
model-model
Kristen
hubungan
antar umat
beragama di
Indonesia dan

1
mewujudkan
solidaritas
dalam
hubungan
antar umat
beragama

Hidup Gereja, Memahami 1 Kali


Bersama Kemajemukan sikap Gereja Pertemuan
dalam dan terhadap
(45 menit)
masyarakat multikulturalisme kemajemukan
Majemuk dan
multikulturali
sme serta
mengelaboras
i teks Alkitab
berkaitan
dengan
kemajemukan
dan
mu.tikulturali
sme serta
membuat
komitmen
untuk
bersikap
sesuai dengan
isi Alkitab

Membangun Mewujudkan
solidaritas dalam solidaritas
masyarakat dalam
majemuk masyarakat
majemuk

Sumbangan Menjabarkan
Kemajemukan bentuk-
bagi Bangsa bentuk
Indonesia sumbangan

2
kemajemukan
dalam praktik
kehidupan
bertetangga,
bermasyaraka
t dan
berbangsa.

C. Pengantar

Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri atas kelompok-kelompok,


yang tinggal bersama dalam suatu wilayah, tetapi terpisah menurut garis budaya masing-
masing. Kemajemukan suatu masyarakat patut dilihat dari banyak variabel yaitu
kemajemukan budaya dan kemajemukan sosial, kemajemukan agama, suku dll.
Kemajemukan budaya ditentukan oleh indikator-indikator genetik-sosial (ras, etnis,
suku), budaya (kultur, nilai, kebiasaan), bahasa, agama, kasta, ataupun wilayah.
Sedangkan kemajemukan sosial berupa lapisan-lapisan sosial yang menjadi ciri khas
perbedaan masyarakat dalam strata sosial. Kemajemukan budaya dan agama dapat
merambah pada kemajemukan sosial. Pada wilayah-wilayah tertentu di Indonesia,
kemajemukan suku diikuti oleh kemajemukan agama. Pada pembahasan ini akan dikaji
bukan hanya kemajemukan agama tetapi lebih mengarah pada kemajemukan budaya dan
sosial. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk.
D. Bangsa Indonesia yang Majemuk

Dari segi historis, Indonesia adalah negara kebangsaan dimana bangsanya adalah
bangsa yang majemuk dan kemajemukan itu diikat oleh semboyan “bhineka Tunggal
Ika” yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Bapak Bangsa Indonesia, Soekarno
telah melihat potensi disintegrasi bagi bangsa Indonesia yang plural oleh karena itu ia
menemukan semboyan Bhineka Tunggal Ika untuk mempersatukan bangsa yang plural
ini dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan. Kesadaran akan keberagaman ini mulai
merebak 20 tahun terakhir dan semakin memperoleh tempat sejak reformasi bergulir.
Memang harus diakui meskipun kini kita hidup ditengah dunia yang mengglobal namun
percakapan-percakapan mengenai hidup bersama dalam keberagaman khususnya
keberagaman agama masih tetap menjadi topik yang tidak terlalu mudah untuk
diperdebatkan. Meskipun kesadaran itu telah menjadi bahagian yang tak terpisahkan dari
kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia namun juga masih cukup banyak orang yang

3
belum secara terbuka dan tulus mau menerima dan mengakui keberagaman atau
kemajemukan.

Di dunia ini banyak negara yang memiliki keberagaman namun Indonesia


memiliki keberagaman yang amat khas, beribu pulau baik yang kecil maupun besar
memiliki suku, budaya, bahasa dan agama yang amat beragam. Hal ini merupakan
kekayaan yang patut disyukuri namun keberagaman ini juga dapat menjadi akar konflik
dan perpecahan jika tidak dikelola dengan baik. Hal itu terbukti dalam sejarah perjalanan
bangs kita, yaitu ketika di beberapa daerah terjadi konflik yang berlatar belakang suku
dan agama. Seringkali konflik berakhir dengan kekerasan dan peristiwa seperti itu
meninggalkan bekas-bekas luka dalamkehidupan berbangsa. Keberagaman memang
dapat menjadi akar konflik namun konflik akan semakin parah ketika orang tidak
mengenyam pendidilkan yang cukup. Mereka akan sangat gampang diprovokasi dan
mengalami apa yang disebut “brain wash” atau otaknya dicuci sehingga kurang memiliki
kemampuan untuk membedakan mana fakta dan mana provokasi. Hal itu semakin parah
karena di zaman digital ini sebuah berita bohong akan cepat beredar ke tiap pelosok
tempat. Karena itu seiring dengan gencarnya upaya pemerintah untuk mengembangkan
apa yang disebut sebagai moderasi beragama, hendaknya diikuti dengan pembangunan
pendidikan dan pemberantasan buta huruf. Hanya pendidikanlah yang akan mampu
meminimalisir pengaruh-pengaruh negatif dan bentuk-bentuk provokasi yang mengadu
domba umat beragama.

Beberapa konflik besar yang pernah terjadi di beberapa wilayah di Indonesia


meninggalkan kenangan pahit yang cukup membekas dihati sanubari orang-orang yang
mengalami akibat dari konflik tersebut. Daerah papua, Ambon , Poso dan Sampit adalah
daerah-daerah dimana terjadi konflik yang membawa kematian cukup banyak orang.
Prasangka etnis, suku dan agama memang amat gampang dibangun ditengah masayarakat
yang masih berpikiran sempit. Oleh karena itu pemerintah kini gencar melakukan
sosialisasi “moderasi beragama” yaitu pengakuan atas keberadaan pihak lain, memiliki
sikap toleran, penghormatan atas perbedaan pendapat dan tidak memaksakan kehendak
dengan cara kekerasan. Diperlukan peran pemerintah, tokoh masyarakat, guru, penyuluh
agama, kaum muda dll untuk mensosialisasikan, menumbuhkembangkan sikap inklusif
dalam hubungan antar umat beragama demi terwujudnya keharmonisan dan kedamaian.
Namun demikian, kehidupan keberagamaan yang penuh toleransi itu bukan hanya lahir
dari aturan pemerintah namun harus dikondisikan terutama dari dalam keluarga melalui
pola asuh yang inklusif dimana anak-anak dididik oleh orang tuanya untuk selalu berbaik
sangka, berpikir positif terhadap orang lain, mengasihi sesama tanpa memandang

4
perbedaan latar belakang agama dan suku.

Jadi pembentukan visi, pembiasaan hidup terutama dibentuk dalam keluarga dan
ditopang melalui lembaga pendidikan yang semakin memperkuat nilai-nilai toleransi
dalam diri seseorang. Ada seorang tokoh studi agama-agama, Paul Knitter yang
mengatakan bahwa kebenaran sebuah agama adalah berkontribusi pada tindakan manusia
yang mengarah pada keadilan lingkungan dan manusia. Artinya bahwa agama baru
menjadi agama yang benar ketika berkontribusi pada keadilan dan kemanusiaan bukan
hanya memiliki doktrin atau ajaran saja namun yang mewujudkan ajarannya dalam
kehidupan nyata bagi kemanusiaan dan keadilan. Itu berarti ketika kita mendiskusikan
mengenai hubungan antar umat beragama maka diskusi itu hendaknya dimulai dari titik
berangkat kemanusiaan dan keadilan dan hal itu hendaknya dijadikan titik temu agama-
agama dan pemeluknya. Bahwa agama hadir untuk kebaikan manusia untuk membangun
solidaritas dalam memecahkan masalah-masalah kemanusiaan secara bersama-sama.
E. Multikulturalisme

Multikulturalisme bukan sekadar pemikiran yang dituangkan dalam kebijakan.


Lebih dari itu, multikulturalisme adalah perjumpaan orang dengan orang (antar
manusia) yang berasal dari berbagai latar belakang berbeda termasuk di dalamnya agama.
Sebuah perjumpaan dan pergaulan yang menyenangkan, dimana perbedaan budaya dan
lainnya dipahami, dialami dan dihargai . Namun, ada saat ketika multikulturalisme
dimasukkan ke dalam kontestasi politik dan dijadikan komoditi politik maka potensi
konflik muncul. Hal ini terjadi misalnya dalam kampanye pemilu legislatif dan pemilu
presiden dan wakil presiden. Isu ini dibangun untuk mengurangi elektabilitas calon dan
untuk mempengaruhi para pemilih yang dengan mudah termakan oleh isu tersebut
terutama di kalangan masyarakat yang masih memilih pemimpin berdasarkan agama.
Namun masyarakat kini mulai berpikir rasional memilih pemimpin berdasarkan
kemampuan dan integritas bukan berdasarkan agama dan suku.

Meskipun demikian, tak dapat dihindari Ketika kemajemukan, khususnya agama


dijadikan komoditi politik maka dapat menimbulkan potensi konflik secara horizontal
(antar masyarakat). Pada aras akar rumput atau rakyat jelata, nampak solidaritas dan
kebersamaan namun situasi ini dapat saja berubah ketika perbedaan agama dijadikan
komoditi politik.

Apakah multikulturalisme sama dengan kemajemukan? Multikulturalisme


berkaitan dengan kemajemukan namun lebih luas dari itu. Inti multikulturalisme adalah
kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memedulikan
perbedaan budaya, etnis, gender, bahasa, ataupun agama. Sedangkan fokus
multikulturalisme terletak pada pemahaman akan hidup penuh dengan perbedaan sosial
budaya, baik secara individual maupun kelompok dan masyarakat. Dalam hal ini individu

5
dilihat sebagai refleksi dari kesatuan sosial dan budaya. Konsep multikulturalisme
tidaklah sama dengan konsep keanekaragaman dari segi suku bangsa atau kebudayaan
yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena konsep multikulturalisme menekankan
keanekaragaman dan kesederajatan. Multikulturalisme mengulas berbagai permasalahan
yang tidak hanya menyangkut perbedaan budaya tetapi juga mengandung ideologi,
politik, demokrasi, penegakan hukum, keadilan, kesempatan kerja dan berusaha, HAM,
hak budaya komunitas golongan minoritas dan prinsip-prinsip etika (Parsudi Suparlan,
Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural).

F. Gereja, Kemajemukan dan Multikulturalisme

Kemajemukan bukanlah sesuatu yang asing bagi gereja-gereja di Asia pada


umumnya dan gereja-gereja di Indonesia. Keberagaman suku, bangsa, budaya, adat
istiadat serta berbagai kebiasaan telah turut mewarnai perjalanan gereja-gereja di Asia
dan Indonesia. Menurut pakar sosiologi, tidak ada wilayah yang amat beragam seperti di
Asia. Masyarakat Asia adalah masyarakat yang multikultur. Hope S.Antone (Pendidikan
Kristiani Kontekstual, 2010) menulis bahwa dunia Alkitab ditandai oleh kemajemukan
atau keanekaragaman budaya dan agama. Di zaman Abraham dipanggil di tanah Haran
masyarakat amat beragam dan tiap suku memiliki pemahaman terhadap “allahnya”
sendiri. Demikian pula di tanah Kanaan di tempat dimana Abraham dan Sara hidup
sebagai pendatang. Menurut Hope di tanah Kanaan setiap suku memiliki pandangannya
sendiri terhadap yang ilahi. Di tengah situasi seperti itulah Abraham dan Sara dan
kemudian bangsa Israel membangun kepercayaannya terhadap Allah yang mereka
sembah. Dalam konteks Yesus juga ditandai oleh keberagaman, Yesus tumbuh dalam
tradisi iman komunitas-Nya. Dalam tradisi agama Yahudi sendiri . Di zaman setelah
Yesus, kekristenan tumbuh dan berakar dalam budaya Yahudi dan Yunani helenis.

Menurut Wikipedia Indonesia, Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat


yang terdiri dari berbagai elemen, baik itu suku, ras, agama, pendidikan, ekonomi, politik,
bahasa dll. yang hidup dalam suatu kelompok masyarakat, jadi ada unsur keberagaman.
Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan
seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang
menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam
budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai,
sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut.

Kemajemukan atau keberagaman bukan merupakan pemikiran dan wacana yang


asing bagi bangsa Indonesia dan gereja-gereja Kristen di Indonesia. Bangsa Indonesia
adalah bangsa yang multikultur, demikian pula gereja-gereja di Indonesia mumumnya
6
gereja-gereja yang dibangun berdasarkan latar belakang suku, budaya dan geografis yang
berbeda-beda. Berikut ini merupakan fakta bahwa gereja-gereja Kristen mewujudkan
keberagaman meskipun masih ada banyak tantangan yang harus dihadapi.
 Gereja-gereja Kristen memiliki anggota yang terbuka dari segi suku, budaya, bahasa,
daerah asal maupun kebangsaan.
 Gereja-gereja Kristen juga mengadopsi beberapa unsur budaya lokal yang dimasukkan ke
dalam liturgi ibadah. Mulai dari lagu, musik, di samping itu, berbagai kebiasaan dan prinsip
hidup lokal dapat diadaptasi dalam rangka memperkaya pemahaman iman Kristen.
Misalnya mengenai persaudaraan yang rukun dalam budaya masyarakat suku yang dapat
dikembangkan dalam rangka membangun kebersamaan dalam jemaat sebagaimana ditulis
dalam Kitab Kisah Para Rasul.
 Berbagai pelayanan gereja ditujukan bagi masyarakat secara umum tanpa memandang
daerah asal, budaya, adat istiadat, kelas sosial dan agama. Tingkat kesadaran gereja dalam
partisipasi di tengah masyarakat cukup signifikan.
 Banyak gereja yang kini melakukan studi-studi kebudayaan untuk menggali kembali
unsur-unsur budaya yang terancam hilang dari masyarakatnya. Misalnya di NTT lembaga
Alkitab bekerja sama dengan gereja melakukan penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-
bahasa daerah di hampir seluruh daerah yang ada di NTT.
 Gereja-gereja Kristen membangun dialog dan kerja sama dengan umat beragama lain,
khususnya di bidang kemanusiaan dan keadilan. Ada tim advokasi hukum, ada pelayanan
kesehatan yang memberikan pelayanan bagi semua orang tanpa memandang perbedaan
latar belakang budaya maupun agama.
G. Masyarakat Multikultur

Dalam masyarakat multikultur orang-orang hidup berdampingan satu sama lain


dalam suasana toleransi dan menghargai berbagai perbedaan yang ada. Berbagai
perbedaan menyangkut adat, kebiasaan, kesenian, pakaian adat, musik, tari. Tidak ada
satu kelompok masyarakat pun yang tersubordinasi atau direndahkan. Semua perbedaan
memperoleh tempat dalam masyarakat multikultur. Orang-orang saling beradaptasi dan
belajar dari berbagai perbedaan yang ada, mereka bertumbuh bersama dan berubah
bersama menjadi lebih baik dalam rangka memperjuangkan kebersamaan, keadilan dan
pemerataan di berbagai bidang kehidupan. Struktur sosial dan interaksi sehari-hari
ditentukan oleh keadilan, kebersamaan, rasa hormat, kesetaraan, pemahaman,
penerimaan, kebebasan, keragaman, mengadakan berbagai upaya perdamaian serta
mengadakan berbagai perayaan secara bersama-sama.

Dalam istilah atau pengertian multikulturalisme ada tuntutan untuk menerima


serta memperlakukan semua orang di dalam berbagai perbedaannya sebagai manusia
yang bermartabat dan makhluk mulia ciptaan Tuhan. Ada prinsip keadilan dan persamaan

7
yang erat kaitannya dengan hak asasi manusia. Mengapa demikian? Pada mulanya sejak
zaman kolonialisme terjadi penindasan terhadap suku, bangsa dan budaya masyarakat
tertentu. Ada bangsa dan budaya tertentu yang menjadi begitu superior dan berkuasa dan
mereka cenderung menolak serta menindas suku, bangsa dan budaya lain bahkan agama
lain. Setelah zaman kolonialisme berakhir pun suku, bangsa, budaya maupun agama
mayoritas masih menjalankan praktik penindasan dan pengabaian terhadap kaum
minoritas maupun yang dipandang lebih rendah dari mereka yang berkuasa. Bahkan
sampai dengan saat ini kita dapat membaca berbagai informasi, melihat maupun
menonton di media elektronik bahwa masih ada orang-orang dari kelompok tertentu yang
diperlakukan secara tidak adil maupun susah memperoleh akses ke berbagai bidang
kehidupan.

Dalam masyarakat multikultur, interaksi sesama manusia cukup tinggi intensitas-


nya, sehingga kemampuan sosial warga masyarakat dalam berinteraksi antar manusia
perlu dimiliki setiap anggota masyarakat. Kemampuan tersebut menurut Curtis,
mencakup tiga wilayah, yaitu : affiliation (kerja sama), cooperation and resolution
conflict (kerjasama dan penyelesaian konflik), kindness, care and affection/ emphatic
skill (keramahan, perhatian, dan kasih sayang). (Curtis, 1988). Keragaman suku, ras,
agama, perbedaan bahasa dan nilai-nilai hidup yang terjadi di Indonesia sering berujung
pada konflik. Konflik di masyarakat yang bersumber pada kekerasan antar kelompok
yang meledak secara sporadis di berbagai kawasan di Indonesia menunjukkan betapa
rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam Negara-Bangsa Indonesia, betapa
kentalnya prasangka antara kelompok dan betapa rendahnya saling pengertian antar
kelompok.

Konflik berbasis kekerasan di Indonesia seringkali berakhir menjadi bencana


kemanusiaan yang cenderung berkembang dan meluas baik dari jenis maupun pelakunya.
Hal ini yang menjadikan proses penanganan konflik membutuhkan waktu lama dengan
kerugian sosial, ekonomi, dan politik yang luar biasa. Berdasarkan masalah-masalah yang
datang silih berganti ini, Indonesia bisa masuk dalam situasi darurat kompleks. Konflik
dan kekerasan sudah masuk dalam berbagai lingkungan masyarakat. Faktor pemicu
tindak-tindak kekerasan yang selama ini terjadi seringkali merupakan muara terjadinya
konflik yang tertangani secara keliru. Konflik telah mencapai titik kekerasan dapat
dipastikan karena konflik telah tertangani secara keliru atau konflik telah diabaikan
(Sutanto, 2005).

Dalam konteks kemasya-rakatan, pengendalian terhadap perilaku konflik ada


yang dilakukan secara ketat tetapi ada pula yang mengembangkan pendekatan edukatif.
Sebagai contoh, dalam dunia pendidikan terdapat tiga pendekatan edukatif yang umum
diterapkan untuk mengatasi konflik pelajar, yaitu : [1] pendidikan damai yang di-

8
integrasikan dengan kurikulum sekolah, [2] latihan penyelesaian konflik secara
konstruktif, dan [3] mediasi dan negosiasi oleh teman sebaya (Gerstein & Moeschberger,
2003). Model penyelesaian konflik tersebut efektif, di antaranya dapat meningka- tkan
pengetahuan pelajar dalam menyelesai- kan konflik secara konstruktif, lebih bersikap
prososial, dan dapat menghindari sebagai korban dari tindak kekerasan (Laursen,
Finkelstein, Betts, 2001). perlu meningkatkan persepsi mereka, mencukupkan diri dengan
pengetahuan tentang keragaman budaya, memahami adanya bentuk-bentuk diskriminasi,
stereotip dan rasisme yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dalam
masyarakat multikultural, para guru, pemimpin agama, pemimpin bangsa dapat menjadi
fasilitator perubahan dan ahli dalam mengatasi konflik.

Muzhar dalam Darlis, 2017, memandang multikulturalisme mencakup gagasan,


cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang
majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita
untuk mengembang- kan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggaan
untuk mempertahankan kemajemukan tersebut. Konsep multikulturalisme bukanlah
konsep yang asing dalam kekristenan. Hukum kasih yang diajarkan oleh Yesus
memberikan pencerahan bagi umat Kristen bahwa kasih melewati batas-batas suku,
bangsa, budaya dan geografis. Multikultralisme memiliki relevansi dengan ajaran iman
Kristen antara lain dalam toleransi, perdamaian dan keadilan. Multikulturalisme
menekankan pada perberlakuan yang adil dalam memandang dan bersikap terhadap
orang atau kelompok lain. Dalam komunikasi horizontal antar masyarakat, Mulyana
menyebut, benturan antar suku masih berlangsung di berbagai wilayah, mulai dari
sekedar stereotip dan prasangka antar suku, diskriminasi, hingga ke konflik terbuka dan
pembantaian antar suku yang memakan korban jiwa (Mulyana, 2008). Persaingan antar
suku tidak hanya di kalangan masyarakat tetapi juga dikalangan elit politik bahkan
akademisi untuk menempati jabatan di berbagai instansi.

H. Sumbangan Kemajemukan, multikulturalisme dalam memperkuat Persatuan Umat


Kristen dan Bangsa Indonesia:

Ada beberapa nilai yang dapat diwujudkan dalam tindakan untuk memperkuat
persatuan sebagai bangsa Indonesia yang majemuk
1) Pengakuan terhadap berbagai perbedaan dan kompleksitas kehidupan dalam
masyarakat.
Perlakuan yang sama terhadap berbagai komunitas dan budaya, baik yang mayoritas
maupun minoritas.
2) Kesederajatan kedudukan dalam berbagai keanekaragaman dan perbedaan, baik secara
individu ataupun kelompok serta budaya.

9
3) Penghargaan yang tinggi terhadap hak-hak asasi manusia dan saling menghormati
dalam perbedaan.
4) Unsur kebersamaan, solidaritas, kerja sama, dan hidup berdampingan secara damai
dalam perbedaan.

Beberapa poin tersebut di atas merupakan nilai-nilai yang dapat dibangun dalam
membina kehidupan bersama sebagai bangsa yang multikultur. Peran pendidikan dan
pola asuh dalam keluarga amat penting untuk menanamkan nilai-nilai tersebut. Pada masa
kini sudah banyak tokoh nasional dan pemerhati pendidikan yang menganjurkan untuk
memberlakukan pendidikan multkultural di sekolah dan perguruan tinggi. Hal ini penting
mengingat pendidikan merupakan salah satu unsur yang dapat menjadi kekuatan perubah
dalam masyarakat. Pendidikan menjadi pendorong perubahan yang efektif bagi individu
dan masyarakat.

Berikut ada tawaran bagi orang Kristen dalam kaitannya dengan


multikulturalisme. Yaitu beberapa sikap yang harus dihindari dalam membangun
masyarakat multikultural yang rukun dan bersatu, yaitu:

1. Primordialisme
Primordialisme artinya perasaan kesukuan yang berlebihan. Menganggap suku bangsanya
sendiri yang paling unggul, maju, dan baik. Sikap ini tidak baik untuk dikembangkan di
masyarakat yang multikultural seperti Indonesia. Apabila sikap ini ada dalam diri warga
suatu bangsa, maka kecil kemungkinan mereka untuk bisa menerima keberadaan suku
bangsa yang lain.
2. Etnosentrisme
Etnosentrisme artinya sikap atau pandangan yang berpangkal pada masyarakat dan
kebudayaannya sendiri, biasanya disertai dengan sikap dan pandangan yang meremehkan
masyarakat dan kebudayaan yang lain. Indonesia bisa maju dengan bekal kebersamaan,
sebab tanpa itu yang muncul adalah disintegrasi sosial. Apabila sikap dan pandangan ini
dibiarkan maka akan memunculkan provinsialisme yaitu paham atau gerakan yang bersifat
kedaerahan dan eksklusivisme yaitu paham yang mempunyai kecenderungan untuk
memisahkan diri dari masyarakat.

3. Diskriminatif
Diskriminatif adalah sikap yang membeda-bedakan perlakuan terhadap sesama warga
negara berdasarkan warna kulit, golongan, suku bangsa, ekonomi, agama, dan lain-lain.
Sikap ini sangat berbahaya untuk dikembangkan karena bisa memicu munculnya antipati
terhadap sesama warga negara.

10
4. Stereotip
Stereotip adalah konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang
subjektif dan tidak tepat. Indonesia memang memiliki keragaman suku bangsa dan masing-
masing suku bangsa memiliki ciri khas. Tidak tepat apabila perbedaan itu kita besar-
besarkan hingga membentuk sebuah kebencian.
 Menerima dan menghargai semua orang tanpa memandang berbagai perbedaan yang
ada.
 Menolong sesama serta menunjukkan solidaritas tanpa memandang latar belakang
perbedaan.
 Menghilangkan prasangka buruk terhadap suku, bangsa, budaya maupun kelas sosial
tertentu termasuk berbagai julukan.
 Berpikir positif terhadap semua orang namun tetap kritis. Artinya harus memiliki
kemampuan menyaring berbagai perbedaan yang ada sehingga tidak kehilangan
identitas.
 Menjadikan hukum kasih sebagai landasan dalam bergaul dengan sesama.

I. Pengayaan Teologis
Dalam Galatia 3:28, perbedaan yang ditekankan kaum Yudais sekarang dihapus
sepenuhnya di dalam Kristus. Tidak ada hambatan bagi siapa saja untuk menjadi seorang
Kristen. Arogansi Yahudi terhadap bangsa-bangsa lain, budak, dan wanita telah benar-
benar dihapus. Perbedaan ini tidak berlaku untuk keselamatan (Roma 3:22; 1 Korintus
12:13; dan Kolose 3:11), namun ini tidak berarti bahwa kita tidak lagi merupakan laki-laki
atau perempuan, budak atau orang merdeka, Yahudi atau Yunani. Perbedaan-perbedaan itu
tetap ada dan ada bagian yang berbicara tentang perbedaan-perbedaan ini, namun dalam
hal menjadi seorang Kristen tidak ada hambatan. Setiap penghalang yang didirikan oleh
manusia yang membenarkan diri sendiri, legalistik atau bias, telah dirobohkan oleh Kristus
sekali dan untuk semua. Realitas baru dalam Kristus telah menegasikan dan
mengungkapkan bias dari Yudaisme abad pertama tersebut. "Dalam Kristus" mengatasi
segalanya! Sikap eksklusif kaum Yahudi telah dikoreksi oleh Paulus bahwa di dalam
Kristus semua orang sama. Tidak ada yang superior dan inferior, hanya Kristus yang
dimuliakan.
Dalam Kitab Efesus 2:11-21 Paulus menjelaskan mengenai dipersatukan dalam
Kristus. Ia memfokuskan pembahasannya pada pekerjaan penebusan, rekonsiliasi dan
merubuhkan tembok-tembok pemisah antar umat. Jadi, jika kita satu di dalam Kritus maka
kita terlepas dari perbedaan suku, ras, budaya maupun status sosial ekonomi. Karena kita
sudah merubuhkan tembok pemisah dalam berbagai perbedaan, maka kita menjadi satu
dalam Kristus. Sebagaimana Kristus telah menerima kita tanpa syarat maka kita pun wajib

11
saling menerima satu dengan yang lain. Menjadi satu dalam Kristus memungkinkan gereja
menjadi satu. Dalam Kitab Galatia 3:26-28, Paulus mengatakan kita memiliki identitas
baru melalui Kristus. Tidak ada diskriminasi dalam Kristus, kita semua sama di hadapan
Allah.
Injil Yohanes 14:6 Yesus berkata, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada
seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Dalam Kisah Para Rasul
4:12, Petrus menyatakan, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di
dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada
manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” Landasan ini telah menjadi dasar bagi
mereka yang mengklaim hanya agamanya saya saja yang paling benar (orang Kristen yang
eksklusif). Padahal ayat ini tidak berbicara mengenai hubungan antar agama melainkan
mengenai keteguhan dalam iman dan pilihan hidup untuk memilih Kristus. Pilihan itu tidak
mengabaikan kemanusiaan, keadilan dan persahabatan dengan orang lain. Bahkan ketika
kita mengenal orang beriman lain, membangun relasi dan pertemanan, maka kita akan
semakin memperkaya visi iman kita, bahwa Kristus telah mengajarkan hukum cinta kasih
yang melewati batas-batas perbedaan dengannya kita semakin meyakjini jalan yang kita
pilih dan iman yang kita teguhkan.

J. Beberapa Model Hubungan Antar Agama


Motif-motif agama seringkali digunakan untuk membakar emosi orang dan
membangkitkan kebencian terhadap kelompok-kelompok yang berbeda. Konflik-konflik
yang terjadi dan pernah terjadi dikatakan sebagai bermotifkan agama, namun penyebabnya
diduga keras sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama. Sebab-sebab yang ada di balik
semuanya itu seringkali bersifat politis karena melibatkan kepentingan elit-elit politik
tertentu. Namun agama dimanfaatkan untuk menghancurkan masyarakat dan untuk
menyembunyikan motifnya yang sesungguhnya. Cara ini amat rentan membawa
perpecahan dalam tubuh bangsa Indonesia dan cara ini amat tidak terpuji. Indonesia adalah
rumah kita bersama yang harus dijaga dan dirawat sehingga dalam keberagaman bangsa
kita terus tumbuh menjadi semakin kuat. Berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa
hendaknya diatasi secara bersama-sama setiap orang dapat menyumbangkan partisipasi
nyata dalam membangun bangsa ini melalui peran masing-masing.

Ada beberapa Model Hubungan antar Umat Beragama:

1. Eksklusivisme adalah sikap yang memandang agamanya sendirilah yang paling benar dan
baik. Sementara itu, agama lain adalah agama yang tidak benar.

12
2. Inklusivisme

Sikap inklusivisme berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya juga terdapat
kebenaran, meskipun tidak seutuh atau sesempurna agama yang dianutnya. Di sini masih
didapatkan toleransi teologis dan iman. sikap inklusif adalah yang memandang bahwa
agama-agama lain adalah bentuk implisit agama kita. sikap inklusivistik cenderung untuk
menginterpretasikan kembali hal-hal dengan cara sedemikian, sehingga hal-hal itu tidak
saja cocok tetapi juga dapat diterima. Ringkasnya, sikap inklusif adalah keterbukaan
dalam menerima bahwa agama lain memiliki kebenarannya sendiri. Sikap ini merupakan
sikap yang umumnya diambil oleh orang-orang kristen. Memang ada keberagaman dalam
menyikapi hubungan antar agama, namun umumnya sikap inklusif lebih dianjurkan oleh
para tokoh agama dan nampaknya dapat disesuaikan dengan teologi Kristen.

3. Pluralisme.
Gerald O‟ Collins dan Edward G. Farrugia (1996).Pluralisme adalah pandangan
filosofis yang menerima keberagaman agama. Daniel S. Breslauer menyebut pluralisme
sebagai: “Suatu situasi di mana bermacam-macam agama berinteraksi dalam suasana
saling menghargai dan dilandasi kesatuan rohani meskipun mereka berbeda.” Dengan sikap
pluralis, orang berupaya mencari titik temu bagi agama-agama. Titik temu bagi terciptanya
dialog dan kerja sama adalah kebersamaan setiap pemeluk agama dalam menghadapi serta
memecahkan masalah-masalah kemanusiaan bersama. Orang yang memiliki wawasan
pluralisme tidak berarti mempersamakan semua agama. Justeru mereka tetap teguh
memegang imannya seraya mencari bentuk atau model kerja sama yang dapat
mempertemukan semua orang berbeda iman dalam tiitik yang sama yaitu: upaya-upaya
nyata dalam mengatasi masalah-masalah kemanusiaan, keadilan dan kebenaran secara
bersama-sama.

Menurut Prof.Magnis suseno, agama barulah menjadi agama yang benar ketika agama
melayani kepentingan manusia dan kemanusiaan tentu saja dalam keadilan dan kebenaran.
Agama harus menjadi agama yang manusiawi. Jika orang beragama tidak manusiawi,
maka apakah dapat disebut sebagai orang beragama?

Dapat disimpulkan cerminan sikap pluralis adalah sebagai berikut


 Hidup dalam Perbedaan
Sikap menerima orang lain yang berbeda
 Saling Menghargai

13
Mendudukkan semua manusia dalam relasi kesetaraan, tidak ada yang lebih tinggi ataupun
lebih rendah.
 Sikap saling percaya
Rasa saling percaya adalah salah satu unsur terpenting dalam menjalani hubungan antar
sesama manusia dalam pebedaan agama maupun kultural atau pun masyarakat.
 Interdependen (sikap saling membutuhkan/saling ketergantungan)
Manusia adalah makhluk sosial (homo socius), antara satu dengan yang lainnya adalah
saling membutuhkan dan saling melengkapi.

K. Penutup/Kesimpulan

Kerukunan bukanlah sebuah konsep baru dalam kehidupan masyarakat Indonesia.


Sejak zaman dahulu gotong royong (kerja sama) dan tolong-menolong sudah dipraktikkan
dalam kehidupan masyarakat. Mereka sadar bahwa kerja sama sangat dibutuhkan untuk
menjawab dan memecahkan persoalan-persoalan bersama kita. Untuk mengakomodasi
berbagai perbedaan suku bangsa, budaya, dan agama, para pendiri negara Indonesia telah
merumuskan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya berbeda-beda tetapi tetap
satu. Rupanya mereka telah membaca adanya bahaya yang akan timbul di kemudian hari
karena adanya kepelbagaian dalam suku bangsa, budaya, dan agama. Namun demikian
kepelbagaian ini pun dapat dijadikan kekayaan yang harus diterima dan memperkaya
budaya dan kehidupan masyarakat Indonesia. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika dipakai
untuk merekat berbagai perbedaan dalam satu pelangi yang indah, suatu kesatuan nasional
sebagai “bangsa Indonesia”.

14
Glosarium

Bhineka Tunggal Ika : Biarpun berbeda-beda tetapi tetap Satu

Inklusif : Keterbukaan, toleransi dan menerima serta menghargai perbedaan

Lapisan sosial : lapisan antar masyarakat

Masyarakat majemuk : Masyarakat yang beraneka ragam latar belakangnya

Meminimalisir : Mengurangi

Provokasi : Tingkah laku yang bersifat menghasut

15
KEPUSTAKAAN

1. A Lion Handbook The World’s Religions, Lion Publishing plc, Oxford, 1994
2. Edward S.Curtis. 2010. The Gerald O‟ Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta, 1996, h. 257.anishing Race. University Of Washington”.
3. Fay, Brian, 1996, Contemporary Philosophy of Social Science: A Multicultural

Approach. Oxford: Blackwell


4. Gerald O‟ Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1996, h.
257.
5. Gerstein. 2005. “Counceling Psychologist as International Social Architects”. SAGE Publication

6. Glazer, Nathan, 1997, We Are All Multiculturalists Now. Cambridge, Mass.:Harvard


University Press.
7. Homer A. Jack,(ed.) World Religions And World Peace, The International Inter-Religious
Symposium On Peace, Beacon Press, Boston, 1968
8. Hope S.Antone. 2010. “Pendidikan Kristiani Kontekstual”. Jakarta. PT BPK Gn Mulia
9. Ian S.Markham, Christy Lohrsapp, A World Religion Reader 4 th Edition, Orbis Books,
2016
10. Indoo Pandey Khanduri, Religion: For or Against Humanity, published in Dimensions of
Philosophy of Religion, NBC, Delhi, 2014, p, 473
11. Laursen, B., Finkelstein, B. D., & Betts, N. T. (2001). A developmental metaanalysis of peer conflict
resolution. Developmental Review, 21, 423–449. Laursen, B., Hartup, W. W., & Koplas, A. L. (1996).
Towards understanding peer conflict. Merrill-Palmer Quarterly, 42, 76–102.
12. Magnis Suseno. 2015. “Agama Keterbukaan dan Demokrasi, Harapan dan Tantangan. Pusat Studi
Agama dan Demokrasi Yayasan Paramedina.

13. Mary Pat Fisher, Living Religions (4th ed.), Prentice-Hall, New Jersey, 1991
14. Mulyana Dedi. 2010. Komunikasi Efektif. Bandung. PT Rosdakarya
15. Parsudi Suparlan, 2002. “Menuju Masyarakat Indonesia Yang Multikultural”. Makalah Simposium.
16. ---------------------------Multikulturalisme”. Jurnal Studi Amerika, vol.5 Agustus, hal. 35-42.
17. ---------------------------Kesatuan Bangsa dalam Rangka Menuju Integrasi Bangsa”. Badan
Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya –
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (BKNST) Pontianak. Singkawang, 12-14 Juni 2002.

18. Paul F.Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, BPK Gn Mulia, Jakarta, 2012
19. Paul Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, Kanisius, Yogyakarta, 2008
20. Sutanto, Limas. 2005. “Teori Konseling dan Psikoterapi Perdamaian”. Tesis tidak diterbitkan.
Malang: UNM
21. Watson, C.W., 2000, Multiculturalism. Buckingham-Philadelphia: Open University Press.

16

Anda mungkin juga menyukai