Revolusi hijau diawali oleh Ford dan Rockefeller Foundation, yang mengembangkan gandum di
Meksiko (1950) dan padi di Filipina (1960). Revolusi hijau menekankan pada SEREALIA: padi,
jagung, gandum, dan lain-lain. (serealia adalah tanaman biji-bijian).
Melalui penerapan teknologi non-tradisional ini, terjadilah peningkatan hasil tanaman pangan
berlipat ganda dan memungkinkan penanaman tiga kali dalam setahun untuk padi pada tempat-
tempat tertentu.
Revolusi hijau di Indonesia. Di negara kita Indonesia revolusi industri diterapkan dengan
ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian. Ekstensifikasi dengan perluasan areal. Terbatasnya
areal, menyebabkan pengembangan lebih banyak pada intensifikasi. Intensifikasi dilakukan
melalui Panca Usaha Tani, (lima usaha tani)
Revolusi hijau juga mendapatkan kritik dari pihak pihak yang mempunyai kesadaran akan
kelestarian lingkungan karena telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Oleh
mereka yang mendukung revolusi industri, mereka menyebutkan bahwa kerusakan tersebut
bukan karena revolusi industri tapi karena akses dalam penggunaan teknologi yang tidak
memandang kaidah-kaidah yang sudah ditentukan.
Revolusi hijau mendapat kritik sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan kelestarian
lingkungan karena mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Oleh para pendukungnya,
kerusakan dipandang bukan karena Revolusi Hijau tetapi karena ekses dalam penggunaan
teknologi yang tidak memandang kaidah-kaidah yang sudah ditentukan. Selain kritik tersebut di
atas masih ada kritik lain lagi yitu Revolusi Hijau tidak dapat menjangkau seluruh strata negara
berkembang karena ia tidak memberi dampak nyata di wilayah Afrika.
Tulisan Malthus itu telah mempengaruhi sebagian besar masyarakat eropa sehingga
memunculkan gerakan untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk dan penelitian bibit
unggul untuk menambah jumlah produksi pangan. Dengan menekan jumah penduduk dan
pemakaian bibit unggul yang mampu melipatgandakan hasil pertanian diharapkan akan mampu
mengatasi masalah kemiskinan dan kemelaratan.
Sejak dimulainya Perang Dunia I banyak lahan-lahan pertanian yang dihancurkan karena
menjadi area perang, terlebih lagi beberapa dekade sebelumnya telah banyak lahan pertanian
yang beralih menjadi lahan industri sejak munculnya revolusi industri. Hal ini telah mengancam
produktifitas pangan di berbagai wilayah di eropa. Revolusi hijau dimulai sejak berakhirnya PD I
yang berakibat hancurnya lahan pertanian. Penelitian disponsori oleh
Ford and Rockefeller Foundation di Meksiko, Filipina, India, dan Pakistan. IMWIC
(International Maize and Wheat Improvement Centre) merupakan pusat penelitian di Meksiko.
Sedangkan di Filipina, IRRI (International Rice Research Institute) berhasil mengembangkan
bibit padi baru yang produktif yang disebut padi ajaib atau padi IR-8. Pada tahun 1970 dibentuk
CGIAR (Consultative Group for International Agriculture Research) yang bertujuan untuk
memberikan bantuan kepada berbagai pusat penelitian international.
Demikian juga setelah Perang Dunia II berakhir, revolusi hijau menjadi semakin giat untuk
menggunakan metode-metode pertanian demi meningkatkan hasil pertanian yang telah terbukti
berhasil di beberapa negara seperti india dan filipina serta di beberapa negara berkembang
lainnya. Sedangkan di Indonesia upaya pelaksanaan revolusi hijau telah dimulai sejak rezim orde
baru dalam program pembangunan. Oleh sebab itu penulis tertarik untuk menulis makalah ini
untuk melihat bagaimanakah penerapan revolusi hijau di Indonesia serta hasil dan dampak yang
ditimbulkan dengan pelaksanaan revolusi hijau tersebut.
Salah satu masalah yang dihadapi oleh pemerintah Orde Baru adalah produksi pangan yang tidak
seimbang dengan kepadatan penduduk yang terus meningkat. Oleh karena itu pemerintah Orde
Baru memasukkan Revolusi Hijau dalam program Pelita Konsep Revolusi Hijau yang di
Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) adalah program nasional
untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Tujuan tersebut
dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi,
politik dan sosial. Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi
yang sering disabut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi
serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur. Gerakan ini berhasil menghantarkan Indonesia
pada swasembada beras.
Gerakan Revolusi Hijau sebagaimana telah umum diketahui di Indonesia tidak mampu untuk
menghantarkan Indonesia menjadi sebuah negara yang berswasembada pangan secara tetap,
tetapi hanya mampu dalam waktu lima tahun, yakni antara tahun 1984 – 1989.
Kebijakan modernisasi pertanian pada masa Orde baru atau Revolusi Hijau merupakan
perubahan cara bercocok tanam dari cara tradisional ke cara modern. Revolusi Hijau (Green
Revolution) merupakan suatu revolusi produksi biji-bijian dari hasil penemuan-penemuan ilmiah
berupa benih unggul baru dari berbagai varietas, gandum, padi, dan jagung yang mengakibatkan
tingginya hasil panen komoditas tersebut. Tujuan Revolusi hijau adalah mengubah petani-petani
gaya lama (peasant) menjadi petani-petani gaya baru (farmers), memodernisasikan pertanian
gaya lama guna memenuhi industrialisasi ekonomi nasional. Revolusi hijau ditandai dengan
semakin berkurangnya ketergantungan para petani pada cuaca dan alam karena peningkatan
peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam peningkatan produksi bahan makanan.
Perkembangan revolusi hijau yang semakin bertambah pesat, juga berpengaruh terhadap
masyarakat Indonesia. Dengan tumbuhnya kesadaran akan pentingnya meningkatkan ekonomi
dari sektor pertanian yang disebabkan oleh kesadaran akan kebutuhan penduduk yang meningkat
dengan pesat, tingkat produksi pertanian yang masih sangat rendah, dan karena produksi
pertanian belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan penduduk, maka upaya yang dilakukan
pemerintah Indonesia untuk menggalakan revolusi hijau ditempuh dengan cara :
Intensifikasi Pertanian
Kegiatan pengembangan produksi hasil pertanian yaitu dengan menerapkan teknologi tepat guna
( panca usaha Tani) untuk tiap luas tanah pertanian. Intensifikasi Pertanian di Indonesia dikenal
dengan nama Panca Usaha Tani yang meliputi :
Ekstensifikasi Pertanian
Ekstensifikasi pertanian, yaitu Memperluas lahan tanah yang dapat ditanami dengan pembukaan
lahan-lahan baru (misal mengubah lahan tandus menjadi lahan yang dapat ditanami, membuka
hutan, dsb).
Diversifikasi Pertanian
Usaha penganekaragaman jenis tanaman pada suatu lahan pertanian melalui sistem tumpang sari.
Usaha ini menguntungkan karena dapat mencegah kegagalan panen pokok, memperluas sumber
devisa, mencegah penurunan pendapatan para petani.
Rehabilitasi Pertanian
Merupakan usaha pemulihan produktivitas sumber daya pertanian yang kritis, yang
membahayakan kondisi lingkungan, serta daerah rawan dengan maksud untuk meningkatkan
taraf hidup masyarakat di daerah tersebut. Usaha pertanian tersebut akan menghasilkan bahan
makanan dan sekaligus sebagai stabilisator lingkungan.
Sedangkan proses penerapan revolusi hijau di Indonesia dilakukan dengan berbagai upaya yang
diatur oleh pemerintah diantaranya :
Selain usaha-usaha pertanian diatas, pemerintah juga melakukan berbagai macam penelitian
benih tanaman. Maka berbagai macam penelitian yang dilakukan di Indonesia bertujuan untuk
mendapatkan varietas tanaman pertanian yang unggul yang sesuai dengan kondisi alam
Indonesia. Disamping melakukan penelitian dengancara menanam varietas-varietas unggul,
penelitian juga diikuti pengolahan lahan-lahan pertnian atau perluasan lahan pertanian yang
disusul dengan program transmigrasi dari daerah daerah yang padat ke daerah-daerah yang masih
jarang penduduknya.
Sejak tahun 1950, pemerintah Indonesia berupaya untuk memindahkan penduduk dari pulau
Jawa ke daerah-daerah yang masih jarang penduduknya seperti ke pulau Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, dan Irian Jaya. Pemindahan penduduk ini masih tetap berlanjut sampai sekarang dan
merupakan suatu upaya pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, selain untuk
meningkatkan produksi pertanian.
Disamping itu, Revolusi Hijau juga telah menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan
sosial pedesaan karena ternyata Revolusi Hijau hanyalah menguntungkan petani yang memiliki
tanah lebih dari setengah hektar, dan petani kaya di pedesaan, serta penyelenggara negara di
tingkat pedesaan. Sebab sebelum Revolusi Hijau dilaksanakan, keadaan penguasaan dan
pemilikan tanah di Indonesia sudah timpang, akibat dari gagalnya pelaksanaan Pembaruan
Agraria yang telah mulai dilaksanakan pada tahun 1960 sampai dengan tahun 1965.
Pertanian revolusi hijau juga dapat disebut sebagai kegagalan karena produknya sarat kandungan
residu pestisida dan sangat merusak ekosistem lingkungan dan kesuburan tanah. Sebagaimana
kita ketahui diatas bahwa salah satu upaya untuk meningkatkan hasil pertanian adalah dengan
penggunaan pestisida untuk membunuh hama dan gulma.
Pestisida telah lama diketahui menyebabkan iritasi mata dan kulit, gangguan pernapasan,
penurunan daya ingat, dan pada jangka panjang menyebabkan kanker. Bahkan jika ibu hamil
mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung residu pestisida, maka janin yang
dikandungnya mempunyai risiko dilahirkan dalam keadaan cacat. Penggunaan pestisida juga
menyebabkan terjadinya peledakan hama —suatu keadaan yang kontradiktif dengan tujuan
pembuatan pestisida— karena pestisida dalam dosis berlebihan menyebabkan hama kebal dan
mengakibatkan kematian musuh alami hama yang bersangkutan
Penyuluh pertanian tidak pernah menyampaikan informasi secara utuh bahwa pupuk kimia
sebenarnya tidak dapat memperbaiki sifat-sifat fisika tanah, sehingga tanah menghadapi bahaya
erosi. Penggunaan pupuk buatan secara terus-menerus juga akan mempercepat habisnya zat-zat
organik, merusak keseimbangan zat-zat makanan di dalam tanah, sehingga menimbulkan
berbagai penyakit tanaman. Akibatnya, kesuburan tanah di lahan-lahan yang menggunakan
pupuk buatan dari tahun ke tahun terus menurun.
Maka keberhasilan revolusi hijau dapat dirangkum dalam beberapa poin berikut :
Gebrakan revolusi hijau di Indonesia memang terlihat pada dekade 1980-an. Saat itu, pemerintah
mengkomando penanaman padi, pemaksaan pemakaian bibit impor, pupuk kimia, pestisida, dan
lain-lainnya. Hasilnya, Indonesia sempat menikmati swasembada beras. Namun pada dekade
1990-an, petani mulai kelimpungan menghadapi serangan hama, kesuburan tanah merosot,
ketergantungan pemakaian pupuk yang semakin meningkat dan pestisida tidak manjur lagi, dan
harga gabah dikontrol pemerintah. Bahan kimia sintetik yang digunakan dalam pertanian, pupuk
misalnya telah merusak struktur, kimia dan biologi tanah. Bahan pestisida diyakini telah merusak
ekosistem dan habitat beberapa binatang yang justru menguntungkan petani sebagai predator
hama tertentu. Disamping itu pestisida telah menyebabkan imunitas pada beberapa hama. Lebih
lanjut resiko kerusakan ekologi menjadi tak terhindarkan dan terjadinya penurunan produksi
membuat ongkos produksi pertanian cenderung meningkat. Akhirnya terjadi inefisensi produksi
dan melemahkan kegairahan bertani.
Revolusi Hijau bahkan telah mengubah secara drastis hakekat petani. Dalam sejarah peradaban
manusia, petani bekerja mengembangkan budaya tanam dengan memanfaatkan potensi alam
untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Petani merupakan komunitas mandiri. Namun
dalam revolusi hijau, petani tidak boleh mem-biakkan benih sendiri. Bibit yang telah disediakan
merupakan hasil rekayasa genetika, dan sangat tergantung pada pupuk dan pestisida kimia —
yang membuat banyak petani terlilit hutang. Akibat terlalu menjagokan bibit padi unggul, sekitar
1.500 varietas padi lokal telah punah dalam 15 tahun terakhir ini.
Meskipun dalam Undang-Undang No. 12/1992 telah disebutkan bahwa “petani memiliki
kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudi-dayaannya”, tetapi ayat
tersebut dimentahkan lagi oleh ayat berikutnya, yakni “petani berkewajiban berperan serta dalam
mewujudkan rencana pengembangan dan produksi budidaya tanam” (program pemerintah).
Dengan begitu, kebebasan petani tetap dikebiri oleh rezim pemerintah. Dapat dipastikan bahwa
Revolusi Hijau hanya menguntungkan para produsen pupuk, pestisida, benih, serta petani
bermodal kuat. Revolusi Hijau memang membuat hasil produksi pertanian meningkat, yang
dijadikan tolak ukur sebagai salah satu keberhasilan Orde Baru. Namun, di balik itu semua, ada
penderitaan kaum petani. Belum lagi kerusakan sistem ekologi pertanian yang kerugiannya tidak
dapat dinilai dengan uang.