Anda di halaman 1dari 6

pengertian revolusi hijau Pengertian revolusi hijau adalah usaha pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi pangan.

Mengubah dari pertanian yang tadinya menggunakan teknologi tradisional menjadi pertanian yang menggunakan teknologi lebih maju atau modern.

Revolusi hijau diawali oleh Ford dan Rockefeller Foundation, yang mengembangkan gandum di Meksiko (1950) dan padi di Filipina (1960). Revolusi hijau menekankan pada SEREALIA: padi, jagung, gandum, dan lain-lain. (serealia adalah tanaman biji-bijian) Revolusi hijau mendasarkan diri pada empat pilar penting yaitu 1. penyediaan air melalui sistem irigasi, 2. pemakaian pupuk kimia secara optimal, 3. penerapan pestisida sesuai dengan tingkat serangan organisme pengganggu, dan 4. penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam berkualitas. Melalui penerapan teknologi non-tradisional ini, terjadilah peningkatan hasil tanaman pangan berlipat ganda dan memungkinkan penanaman tiga kali dalam setahun untuk padi pada tempattempat tertentu. Revolusi hijau di Indonesia Di negara kita Indonesia revolusi industri diterapkan dengan ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian. Ekstensifikasi dengan perluasan areal. Terbatasnya areal, menyebabkan pengembangan lebih banyak pada intensifikasi. Intensifikasi dilakukan melalui Panca Usaha Tani, (lima usaha tani) 1. Teknik pengolahan lahan pertanian 2. Pengaturan irigasi 3. Pemupukan 4. Pemberantasan hama 5. Penggunaan bibit unggul

Dampak Revolusi hijau Hasil dari suatu metode tentunya mempunyai dampak positif dan negatif, begitu juga dengan Revolusi hijau berikut ini merupakan dampak positif dan negatif dari revolusi hijau Dampak positif revolusi hijau Produksi padi dan gandum meningkat sehingga pemenuhan pangan (karbohidrat) meningkat. Salah satu contohnya bagi bangsa indonesia sendiri adalah Indonesia yang tadinya pengimpor beras menjadi mampu swasembad beras. Dampak Negatif Revolusi Hijau antara lain : 1. Penurunan produksi protein, dikarenakan pengembangan serealia (sebagai sumber karbohidrat) tidak diimbangi pengembangan pangan sumber protein dan lahan peternakan diubah menjadi sawah. 2. Penurunan keanekaragaman hayati. 3. Penggunaan pupuk terus menerus menyebabkan ketergantungan tanaman pada pupuk. 4. Penggunaan peptisida menyebabkan munculnya hama strain baru yang resisten. Revolusi hijau juga mendapatkan kritik dari pihak pihak yang mempunyai kesadaran akan kelestarian lingkungan karena telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Oleh mereka yang mendukung revolusi industri, mereka menyebutkan bahwa kerusakan tersebut bukan karena revolusi industri tapi karena akses dalam penggunaan teknologi yang tidak memandang kaidah-kaidah yang sudah ditentukan. Revolusi hijau mendapat kritik sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan kelestarian lingkungan karena mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Oleh para pendukungnya, kerusakan dipandang bukan karena Revolusi Hijau tetapi karena ekses dalam penggunaan teknologi yang tidak memandang kaidah-kaidah yang sudah ditentukan. Selain kritik tersebut di atas masih ada kritik lain lagi yitu Revolusi Hijau tidak dapat menjangkau seluruh strata negara berkembang karena ia tidak memberi dampak nyata di wilayah Afrika. Semoga penjelasan tentang revolusi hijau di atas bisa bermanfaat bagi kamu yang membutuhkan.

Revolusi Hijau
== Revolusi Hijau adalah suatu istilah untuk menggambarkan sebuah transformasi agrikultural yang membawa peningkatan produksi secara signifikan di banyak negara berkembang sekitar tahun 1940-1960. Transformasi itu didasarkan hasil penelitian dan pengembangan infrastruktur yang dilakukan oleh The Rockefeller Foundation, Ford Foundation, dan sejumlah lembaga lainnya. Istilah Revolusi Hijau itu sendiri baru digunakan pertama kali tahun 1968 oleh mantan Direktur USAID, William Gaud. Ia menyatakan, Pertumbuhan yang cepat dari bibit gandum dan beras terbaru di seluruh Asia dan perkembangan lainnya di bidang agrikultur mengandung makna sebuah revolusi baru. Revolusi Hijau didasarkan pada aplikasi teknologi ilmiah yang digunakan. Awalnya Revolusi hijau ini dilakukan di Mexico pada tahun 1943 dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan industri. Pemerintah Mexico melakukan pengembangan infrastruktur di daerah pedesaan dan mengadopsi varietas bibit unggul. Usaha ini membuahkan hasil, yakni pada tahun 1951 Mexico telah dapat berswasembada gandum dan bahkan mengekspornya kemudian. Keberhasilan Mexico ini mendorong The Rockefeller Foundation membawa Revolusi Hijau ini ke India, kemudian ke Indonesia, Pakistan, Sri Lanka, Filipina, Amerika Latin, dan Negara-negara lain di Asia dan Afrika. Dampak Revolusi Hijau terhadap ketahanan pangan global sebenarnya sulit dipahami karena sistem makanan sesungguhnya amat kompleks. Di satu sisi Revolusi Hijau dianggap berjasa karena mampu meningkatkan produksi pangan dan mencegah terjadinya bahaya kelaparan. Agrikultural dengan Revolusi Hijau telah mampu memberi makan bermilyar orang di seluruh dunia. Tanpa Revolusi Hijau, ada kemungkinan jumlah orang yang mengalami kelaparan dan malnutrisi lebih besar dari yang telah dihitung oleh FAO saat ini. Saat ini rata-rata orang mengkonsumsi 25% lebih banyak kalori dibandingkan sebelum Revolusi Hijau (Wikipedia). Karakteristik ketahanan, sistem dan arah kebijakan pangan sudah berubah seiring perubahan zaman. Namun, sayangnya, ada yang sama sekali belum berubah: nasib petani. Betulkah nasib mereka tetap saja terbelakang padahal rantai konsumsi dan produksi produk pertanian sudah berada pada tingkat yang lebih tinggi? Konsep ketahanan pangan sejatinya mengacu pada pengertian adanya kemampuan mengakses pangan secara cukup untuk mempertahankan kehidupan yang aktif dan sehat. Konsep yang multidimensi ini meliputi mata rantai sistem pangan dan gizi, mulai dari produksi, distribusi, konsumsi, dan status gizi. Kerawanan pangan tidak semata-mata karena kekurangan pangan tapi juga berupa kebijakan pemerintah dalam pertanian dan pembangunan secara keseluruhan, mekanisme distribusi, ketiadaan akses terhadap pangan dan ketiadaan kemampuan daya beli masyarakat. Aspek ketersediaan pangan bergantung pada sumber daya alam, fisik, dan manusia. Pemilikan lahan yang ditunjang iklim yang mendukung disertai sumber daya manusia yang baik akan menjamin ketersediaan pangan yang kontinyu. Apalagi beban petani kian bertambah berat. Menurut Prof. Jules Pretty seorang pakar pertanian

berkelanjutan dari Universitas Essex, Inggris, dewasa ini dan ke depan petani tidak saja harus meningkatkan produksi pertaniannya untuk mencegah kelangkaan pangan di desanya, tapi juga harus melonjaknya kebutuhan pangan orang-orang kota. Jules mencatat, selama periode hingga 2020, jumlah masyarakat kota akan bertambah menjadi 3,4 miliar orang, sementara penduduk desa hanya bertambah dari 300 juta orang menjadi 3 miliar orang. Kedaulatan rakyat untuk pangan menjadi titik sentral untuk menuju ketahanan pangan rakyat. Pada 1983, Indonesia berhasil meraih swasembada pangan dalam hal ini beras. Namun prestasi ini hanya berlangsung sebentar saja. Kurang dari lima tahun berikutnya, Indonesia kembali mengimpor beras guna mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya hingga sekarang. Peningkatan produktifitas pertanian menjadi acuan kebijakan pertanian Indonesia selama ini. Caranya dengan menggunakan asupan eksternal seperti pupuk dan pestisida, penggunaan varietas unggul, mekanisasi pertanian dan irigasi. Awalnya praktek revolusi hijau ini menunjukkan hasil yang menakjubkan. Tetapi lambat laun kian menurun. Alam mempunyai batas maksimal untuk berproduksi. Jika batas tersebut terlampaui, produktifitas lahan akan menurun sebagai akibat dari penggunaan asupan eksternal sintetis yang berlebihan. Selain mengganggu kesehatan dan menyebabkan kerusakan lingkungan, penggunaan asupan eksternal tersebut secara tidak langsung merebut kedaulatan petani dalam berproduksi, menciptakan ketergantungan petani terhadap asupan luar. Untuk berproduksi, petani menggunakan pupuk dan pestisida sintetis yang faktanya diproduksi oleh perusahaan-perusahaan besar. Petani harus menukarkan hasil produksinya hanya untuk mendapatkan asupan tersebut. Semakin lama penggunaan pupuk dan pestisida menyebabkan ketergantungan lahan atau tanaman terhadap asupan tersebut. Mesin-mesin dan bahan bakar merupakan input yang datang bukan hanya dari luar daerah usaha tani, namun seringkali datang dari luar negeri. Ini berarti bahwa input itu harus diimpor dan dibayar dengan hasil pertanian. Kondisi tersebut menyebabkan, khususnya di negara-negara berkembang, kedaulatan petani atas produksi dan kehidupannya menjadi terpinggirkan. Artinya di sepanjang rantai produksi, petanilah mendapatkan yang nilai tambah paling kecil. Seperti kata pepatah lama, mereka tak lebih sekadar menjadi kuda pelajang bukittenaganya dikuras dan tak dihargai sama sekali. Meskipun begitu, untunglah para petani masih setia dengan lahannya dan tidak sampai mengundurkan diri alias meninggalkan pertanian mereka. Sebab kalau itu terjadi, kelaparan global akan menggeliat di depan mata. Dan itu jelas sebuah tragedi.

Revolusi Hijau
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari

Revolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an di banyak negara berkembang, terutama di Asia. Hasil yang nyata adalah tercapainya swasembada (kecukupan penyediaan) sejumlah bahan pangan di beberapa negara yang sebelumnya selalu kekurangan persediaan pangan (pokok), seperti India, Bangladesh,

Tiongkok, Vietnam, Thailand, serta Indonesia, untuk menyebut beberapa negara. Norman Borlaug, penerima penghargaan Nobel Perdamaian 1970, adalah orang yang dipandang sebagai konseptor utama gerakan ini. Revolusi hijau diawali oleh Ford dan Rockefeller Foundation, yang mengembangkan gandum di Meksiko (1950) dan padi di Filipina (1960)[1].Konsep Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras[2]. Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial. Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disabut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur.Gerakan ini berhasil menghantarkan Indonesia pada swasembada beras.

Daftar isi

1 Revolusi hijau di Indonesia 2 Dampak positif revolusi hijau 3 Permasalahan dan dampak negatif 4 Lihat pula 5 Referensi

Revolusi hijau di Indonesia


Gerakan Revolusi Hijau yang dijalankan di negara negara berkembang dan Indonesia dijalankan sejak rezim Orde Baru berkuasa. Gerakan Revolusi Hijau sebagaimana telah umum diketahui di Indonesia tidak mampu untuk menghantarkan Indonesia menjadi sebuah negara yang berswasembada pangan secara tetap, tetapi hanya mampu dalam waktu lima tahun, yakni antara tahun 1984 1989. Disamping itu, Revolusi Hijau juga telah menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial pedesaan karena ternyata Revolusi Hijau hanyalah menguntungkan petani yang memiliki tanah lebih dari setengah hektar, dan petani kaya di pedesaan, serta penyelenggara negara di tingkat pedesaan. Sebab sebelum Revolusi Hijau dilaksanakan, keadaan penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia sudah timpang, akibat dari gagalnya pelaksanaan Pembaruan Agraria yang telah mulai dilaksanakan pada tahun 1960 sampai dengan tahun 1965.[3] Revolusi hijau mendasarkan diri pada empat pilar penting[4]: penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia secara optimal, penerapan pestisida sesuai dengan tingkat serangan organisme pengganggu, dan penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam berkualitas. Melalui penerapan teknologi non-tradisional ini, terjadi peningkatan hasil tanaman pangan berlipat ganda dan memungkinkan penanaman tiga kali dalam setahun untuk padi pada tempat-tempat tertentu, suatu hal yang sebelumnya tidak mungkin terjadi. Revolusi hijau mendapat kritik sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan kelestarian lingkungan karena mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Oleh para pendukungnya, kerusakan dipandang bukan karena Revolusi Hijau tetapi karena ekses dalam penggunaan

teknologi yang tidak memandang kaidah-kaidah yang sudah ditentukan. Kritik lain yang muncul adalah bahwa Revolusi Hijau tidak dapat menjangkau seluruh strata negara berkembang karena ia tidak memberi dampak nyata di Afrika.

Dampak positif:
produksi padi dan gandum meningkat sehingga pemenuhan pangan meningkat. sebagai contoh : indonesia dari pengimpor beras mampu swasembada.

Dampak negatif:
1.penurunan produksi protein,di karenakan pengembangan serealia(sebagai sumber karbohidrat)tidak di imbangi

Dampak positif revolusi hijau


Produksi padi dan gandum meningkat sehingga pemenuhan pangan (karbohidrat) meningkat. Sebagai contoh: Indonesia dari pengimpor beras mampu swasembada.

Permasalahan dan dampak negatif


1.Penurunan produksi protein, dikarenakan pengembangan serealia (sebagai sumber karbohidrat) tidak diimbangi pengembangan pangan sumber protein dan lahan peternakan diubah menjadi sawah. 2.Penurunan keanekaragaman hayati. 3.Penggunaan pupuk terus menerus menyebabkan ketergantungan tanaman pada pupuk. ]] 4.Penggunaan peptisida menyebabkan munculnya hama strain baru yang resisten

Anda mungkin juga menyukai