JURUSAN ILMU PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2019 A. Sejarah Singkat Karya Misioner Alexander De Rhodes Alexander De Dhodes adalah salah seorang misionaris Jesuit yang berkarya di Vietnam, memiliki Kepekaan yang tinggi kepada kebudayaannya dan tradisi relegius orang- orang setempat. Dengan tulus dan penuh perhatian ia menerima dan menghormati segi-segi yang pasif bahkan mengintegrasikannya ke dalam tugas-tugas perutusannya mewartakan Injil Yesus Kristus kepada orang-orang Vietnam. Melalui usaha yang keras dan penuh antusias de Rhodes berhasil menguasai bahasa Vietnam dan juga mempelajari kebudayaan dan kebiasaan hidup mereka. Alexander De Dhodes lahir di Avignon (Perancis) pada tanggal 15 Maret 1593. Setelah menyelesaikan studi menengah di kotanya, ia bergabung dengan Serikat Yesus dan menjalani masa novisiat di Roma tahun 1612-1614. Pada tahun 1624 ia diutus oleh superiornya untuk menjadi misionaris di Cochinchina. Dibawah bimbingan Francisco de Pina, seorang teman Jesuit yang telah beberapa tahun bekerja di Vietnam dan telah fasih berbahasa orang setempat, ia belajar bahasa Vietnam di Quang Nam, tahun 1624-1626. Sesudah kembalinya ke Macao, tahun 1627-1630 ia melaksanakan tugas perutusannya di Tonkin (Ibu Kota Timur).
B. Tantangan Misioner de Rhodes Di Vietnam : Pengusiran
1. Alasan Dari Segi Ekonomi, Politik Dan Militer Alasan Pengusiran meliputi 3 hal, yaitu : yang pertama alasan politik ekonomi dan militer, yang kedua berhubungan dengan tradisi dan kebudayaan, dan yang ketiga adalah praktek keagamaan orang-orang setempat. Alasan dari segi ekonomi, politik, dan militer De Rhodes sebagai misionaris berangkat ke Vietnam di bawah perlindungan pemerintahan Raja Portugal sesuai sistem padroado. Orang setempat pada mulanya tidak dapat membedakan dengan jelas mana yang pedagang, anggota militer, dan misionaris. Karena itu agama yang diwartakan oleh para misionaris diberi sebutan “Romo-romo Kristen” atau “Romo-romo Portugis”. Hal ini juga termuat dalam buku Mission and Catechesis in Seventeenth-Century Vietnam yaitu dalam paragraf, “Arriving in Tonkin and Cochinchina on Portugese ships, and Presented to the lords of two countries with great reverence by the Portuguese merchants and military officers, de Rhodes and his fellow missionaries would have had a difficult time distinguishing themselves from their compatriots, at least in the eyes of the local authorities. It was no accident that the religion they preached was then known in Vietnamese as dao Hoa Lang, literally, way or religion of the Portuguese. De Rhodes himself was called “The Father of the Portuguese”, that is “The Father of the Christians.” (Mission and Catechesis in Seventeenth-Century Vietnam, Hal. 70-71). Kehadiran misionaris dimanfaatkan oleh raja setempat untuk menjadi alat pertukaran. Misionaris diperbolehkan mewartakan agamanya asal menguntungkan raja dan masyarakat setempat dari segi ekonomi dan perlengkapan militer. Tetapi kehadiran de Rhodes ternyata tidak memberi keuntungan ekonomi dan militer apa pun. Karena tidak menguntungkan secara ekonomi dan militer akhirnya de Rhodes diusir dari Tonkin oleh raja Trinh Trang. De Rhodes juga dituduh oleh seorang biarawan Budhis yang menyatakan de Rhodes berkomplot dengan Cao Bang (orang Cochinchina) untuk menggulingkan raja Trinh Trang meninggal dan anaknya pangeran Trinth Tac dituduh ingin menyerang Cochinchina ada semacam politik adu domba yang menjadikan suasana semakin tegang. Dijelaskan juga dalam buku Mission and Catechesis in Seventeenth-Century Vietnam, yang mengatakan bahwa”They regarded missionaries as useful pawns in their bid for power, allowing them to stay and preach in their lands as long as they could attract foreign trade, and expelling them when their usefulness vanished… in 1630, it was triggered by the accusation of a former buddhist monk that de Rhodes and the Christians were involved in a plot with Cao Bang and Cochinchina to overthrow Lord Trinh Trang”. ( Mission and Catechesis in Seventeenth-Century Vietnam. Hal. 71) 2. Alasan Yang Berhubungan Dengan Tradisi Kebudayaan Yang dimaksud tradisi kebudayaan di sini adalah kebiasaan poligami yang banyak dilakukan oleh para pemimpin dan orang-orang kaya. Poligami merupakan masalah pelik kebuadayaan Vietnam. De Rhodes menegaskan orang yang berpoligami tidak dapat dibaptis. Sebagai salah satu syarat penting untuk dibaptis, ia menetapkan pihak yang berpoligami harus mengambil satu istri dan meninggalkan istri-istri lainnya. Alasan poligami masuk akal untuk kebudayaan Vietnam. Raja Trinh Trang mengusir de Rhodes karena ia menentang poligami. Kecuali itu, para wanita yang telah dimadu tidak mau dicerai, mereka mengajukan protes kepada raja dan minta agar de Rhodes berhenti mengajarkan monogami, tetapi kalau tidak mau berhenti harus diusir atau dibunuh. Dalam buku Mission and Catechesis in Seventeenth-Century Vietnam yaitu dalam paragraf, In his account of the various customs of the Vietnamese in Tonkin, de Rhodes mentioned polygamy, nothing that this practice was common among the well-to-do. As a Christian, he could not but regard it as immoral, and as a missionary he made the dismissal of “Concubines” the condition for baptism. (Mission and Catechesis in Seventeenth-Century Vietnam. Hal. 72) 3. Alasan Yang Berkaitan Dengan Praktek Keagamaan Alasan keagamaan ini menyangkut ibadat penyembahan berhala dan penghormatan kepada arwah leluhur. Berhala yang dimaksud di sini adalah patung-patung Budha, Confusius, roh-roh dewata, roh-roh lain missal para pahlawan dan arwah leluhur mereka. Orang-orang yang tidak menyetujui ajaran de Rhodes, menuduh orang-orang Kristen menghancurkan patung- patung tersebut. De Rhodes juga dituduh melarang orang-orang Vietnam menghormati arwah para leluhur. Karena it, Raja mengeluarkan keputusan yang berupa larangan bagi penduduk di wilayahnya yang ingin memeluk agama Kristen. Sebagai tanggapan terhadap keputusan Raja, de Rhodes bertemu secara pribadi dengan Raja Trinh Trang dan menolak tuduhan palsu tersebut. Untuk sementara ia berhasil meyakinkan raja sehingga ia diperbolehkan meneruskan karya pewartaannya. De Rhodes sendiri selalu menganjurkan pendekatan damai dan saling menghormati siapapun. De Rhodes dan agama Kristen dituduh merusak pemujaan arwah yang telah mereka lakukan berabad-abad. Pemujaan arwah leluhur amat penting untuk orang Vietnam karena pemujaan tersebut berhasil mempersatukan orang-orang Vietnam dan keluarganya, sekaligus meneguhkan jati diri mereka (sense of identity) dan memberi rasa aman serta membangkitkan kesetiaan sebagai anggota masyarakat. Orang-orang Vietnam amat menghormati para leluhurnya. C. Strategi Missioner De Rhodes De Rhodes memilih mempelajari bahasa setempat, melakukan adaptasi kebudayaan dan liturgy serta membangun kerjasama yang erat dengan para tokoh umat. Strategi de Rhodes ini menjadi kunci keberhasilan tugas misionernya untuk meletakkan dasar pembangunan Gereja Yesus Kristus di Vietnam.
1. Menguasai Bahasa dan Melakukan Adaptasi terhadap Kebudayaan Orang Vietnam
De Rhodes memilih menguasai bahasa setempat sebagai strategi pokok untuk menghadapi tantangan kebudayaan dan keagamaan orang-orang Vietnam. De Rhodes sendiri menguasai beberapa bahasa, seperti Peranci, Italia, Latin, Portugis, Cina, Vietnam, dan Persia. Ia juga dapat mengerti bahsa Jepang dan Konkani. De Rhodes menegaskan pentingnya baptisan baru tetap memegang teguh budaya setempat asal tidak berlawanan dengan moralitas Kristen dan ajaran Tuhan Yesus. De Rhodes berpendapat yang penting bukan yang lahiriah tetapi batiniah yaitu jiwa manusia yang mencintai dan beriman kepada Yesus Kristus. De Rhodes sendiri dengan tulus berusaha menyesuaikan diri dengan gaya hidup orang Vietnam. Ia juga memakai sandal seperti orang kebanyakan di Vietnam sebagai ganti sepatu boot Eropa. Ia juga membiarkan rambutnya menjadi panjang dan menikmati makanan asli Vietnam seperti ikan asin, nasi dan teh asli Vietnam. Alasan yang pokok dan penting ialah menghormati dan dekat bahkan menjadi satu bagian dengan orang-orang Vietnam. Contoh-contoh kebudayaan yang digunakan oleh de Rhodes sebagai pintu masuk untuk evangelisasi: a. Tanda salib yang diberikan oleh ibu kepada bayinya yang baru lahir diganti dengan tanda salib baptisan b. Sumpah kesetiaan sampai mati seorang prajurit di depan seorang bijak sebagai wakil raja (sesudahnya yang bersangkutan diberi sertifikat kesetian), diganti dengan sumpah setia kepada Allah tritunggal. c. Perayaan Tet atau Tahun Baru Vietnam. Sebagai seorang misionaris, sikap de Rhodes berhadapan dengan kebudayaan dapat dinyatakan sebagai berikut: 1. Ia menolak kebudayaan atau cara hidup yang secara moral bertentang dengan Injil dan ajaran Yesus Kristus, namun ia menerima dan menghormati serta memanfaatkan kebiasaan setempat yang ia yakini bersifat positif. 2. Ia mneghormati praktek-praktek kebudayaan yang positif dan memberi nama Kristen kepadanya. 3. Ia berusaha memurnikan segi-segi kebudayaan yang bercampur dengan takhayul padahl memiliki nilai pastoral dan spiritual yang mendalam 4. Pada prinsipnya ia tidak memasukkan budaya asing ke Vietnam meskipun dihormati di negerinya agar jemaat Katolik tidak tercabut dari akar budayanya.
2. Mempelajari Praktek Keagamaan Orang-orang Vietnam
Ia menilai positif budaya setempat bukan dengan kacamata seorang antropolog tetapi berdasar minat seorang misionaris yang memiliki tujuan demi pewartaan Injil. De Rhodes bersikap apologetic terhadap tiga agama pendatang yang sudah ada Vietnam yaitu Budhisme, Konfusius dan Taoisme dan terhadap agama asli. Keprihatinan utama de Rhodes adalah membaptis orang Vietnam dengan cara yang ia yakini benar. Ia suka sekali menerima pertobatan para pendeta Budha. Dan betul sesudah dibaptis mereka menjadi orang-orang Kristen yang fanatik. Dari praktek agama-agama tersebut de Rhodes dengan gigih menolak peranan para dukun yang ia nilai hanya mencari keuntungan sendiri dan tidak mendatangkan kebaikan apa pun. Ia melihat banyak orang Vietnam lebih mempercayai dukun daripada menggunakan akal untuk memahami peristiwa-peristiwa hidup yang sedang terjadi. De Rhodes mengirim beberapa katekis untuk menyembuhkan orang-orang sakit dengan membawa salib, air suci, lilin, daun palma dan gambar perawan Maria; terjadilah mujizat penyembuhan pada orang-orang yang sakit. Itu berarti barang-barang suci orang katolik jauh lebih superior.
3. De Rhodes dan Agama Asli Vietnam
Agama asli diVietnam ditandai dengan pemujaan roh-roh nenek moyang dan pemujaan roh-roh lain. Ia dapat melukiskan secara detail mengenai penyembahan arwah nenek moyang. Orang-orang Vietnam mewujudkannya melalui 3 bentuk, yaitu: a. Meletakkan uang di peti mati dan memilih tempat pemakaman yang terbaik b. Memberikan penghormatan besar-besaran pada waktu penguburan c. Keluarga yang ditinggalkan memperpanjang rasa duka pada orangtua yang meninggal sampai 3 tahun
De Rhodes menyatakan penghormatan terhadap arwah dapat dibenarkan secara
kristiani apabila dilakukan dengan cara berdoa kepada Allah untuk arwah yang masih di api pencucian dan melaksanakan tindakan cinta kasih kepada siapapun dengan puncak penghormatan melalui perayaan ekaristi atau misa.
4. Melakukan Penyesuaian Liturgi Kristiani
Dalam membuat penyesuain liturgy katolik de Rhodes mengungkapkan melalui beberpa hal yang antara lain, sebagai berikut: a. Penggunaan gong dan gendang di dalam ibadat penghormatan jalan salib pada setiap jumat selam masa prapaskah dan saat minggu suci. b. Upacara baptis secara public dilakukan di dalam Perayaan Ekaristi pada siang hari supaya wanita tidak perlu keluar malam hari (ini pantangan orang Vietnam) c. Pemberkati daun palma dan lilin prosesi untuk dibawa pulang supaya digunakan untuk mengusir roh-roh jahat d. Perayaan Ekaristi masih dilakukan dengan bahasa Latin. Saat memimpin misa ia tidak menutup kepala sebagai tanda keterbukaan dan kesedian mengakui dirinya lemah dan berdosa di hadapan Allah. e. Salah satu kegiatan inovasi pra-liturgi (paraliturgi) yang dilakukan de Rhodes yaitu ngam dung, meditasi (ngam) berdiri (dung) untuk mengenangkan sengsara dan penderitaan Yesus Kristus pada masa prapaska.
5. De Rhodes dan Organisasi Gereja
Tantangan berat yang dihadapi di dalam menjalankan tugas Plantio Ecclesiae (Pengakaran Kehidupan Gereja) di bumi Vietnam dilakukan oleh de Rhodes dengan cara yang bijak sekaligus cerdik. Tetapi pada kenyataannya ia bekerja sendiri karena konfraternya, kecuali jumlahnya sedikit dan semuanya misionaris tidak menguasai bahasa Vietnam. Ia melakukan pelayanan pastoral sendiri pada wilayah yang luas sekali dengan jumlah katekumen yang banyak. Cara yang ditempuh de Rhodes ialah menghimpun tenaga para pemimpin atau tokoh jemaat setempat, bekerja sama dan memberi tanggungjawab besar kepada mereka. Ia juga membentuk persekutuan tokoh jemaat setempat yang terdiri dari mantan biarawan Budha, guru, bangsawan, da nada pula wanita-wanita yang memiliki peran penting. Di antara wanita itu ada yang berhasil menulis buku panduan hidup orang katolik berdasarkan Injil dan ajaran katolik. Tokoh-tokoh ini berperan melayani jemaat dengan mengajar, mengorganisir, memperhatikan kebutuhan jemaat, dan meneguhkan iman mereka.
6. De Rhodes dan Persekutuan para Katekis
Sebagai bagian tokoh jemaat para katekis berperan besar dalam pendirian dan pembangunan Gereja di Vietnam. Mereka menjadi tiang-tiang yang ikut menyangga berdiri dan hidupnya Gereja. Baik di Tonkin maupun di Cochinachina, de Rhodes membentuk persekutuan para katekis. Persekutuan mereka disebut Nha Duc Troi (House of The Lord of Heaven: Persekutuan orang-orang Tuhan Surgawi). Karena peranannya begitu penting untuk dipilih menjadi katekis seorang calon harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Mereka masih muda, rata-rata usia 25 tahun, sehat rohani dan jasmani b. Diharapkan mereka cukup pintar supaya dapat mengajar katekumen, tahu huruf China, mengenal ajaran Konfusius dan filsafat klasiknya serta mengetahui aksara Romawi. c. Katekis bekerja secara full time, bahkan kalau perlu mereka selibat atau plaing sedikit tidak menikah selama bertugas. d. Ditekankan kerjasama kuat di antara mereka. e. Mereka harus pria yang sungguh beriman dan memilih hanyamelayani Allah Gereja dan sesama.
Daftar Pustaka
Phan, Peter, Mission and Catechesis Alexander de Rhodes and Inculturation in Seventeentn- Century Vietnam, New york: Orbis Books, 1998.
Heryatno, FX, Catatan Kuliah Sejarah PAK, Yogyakarta, 2008