Anda di halaman 1dari 12

BAB III

KATEKESE PADA MASA KEEMASAN AGAMA KRISTIANI


SEKITAR ABAD IX–XV

A. Pengantar
Keadaan katekese pada masa keemasan agama Kristiani dapat dilihat baik secara
formal maupun informal. Dipandang secara formal keadaan katekese pada masa
keemasan agama Kristiani di Eropa cukup memprihatinkan. Hal ini ditandai oleh tidak
adanya ahli katekese yang menuliskan karya katekese. Tiadanya ahli katekese yang
menuliskan karyanya mengakibatkan tidak ada satu karya katekese yang disusun secara
utuh dan sistematis sehingga berhasil membentuk pola penyelenggaraan katekese pada
masa tersebut dan pada generasi berikutnya. Pada abad-abad ini pendidikan kekristenan
yang dipahami sebagai bagian kegiatan pemeliharaan jiwa-jiwa (cura animarum atau
care of the souls) diselenggarakan oleh sekolah katedral, sekolah paroki dan biara-biara.
Tetapi jumlahnya amat kecil, pada umumnya terbatas untuk anak laki-laki yang berasal
dari keluarga bangsawan atau orang kaya, sedang tujuannya pun lebih untuk
mempersiapkan mereka menjadi imam.
Tetapi secara informal katekese atau pendidikan iman sangat hidup dan menjadi
satu dengan seluruh kegiatan umat yang hampir di segala bidang diwarnai oleh cara
hidup yang berwarna Kristen. Warga yang tidak terhitung jumlahnya sangat mencintai
dan menjunjung tinggi agamanya. Dengan senang hati dan penuh antusiasme, umat
beriman menghayati bermacam-macam kegiatan hidup keagamaan mereka di dalam
perayaan sakramen, devosi jalan salib, devosi dan prosesi untuk menghormati para santo
santa pelindung, memperhatikan jam-jam suci, merayakan pendirian Gereja, dan
mendantangi tempat-tempat kudus lainnya (ziarah).
Pendidikan iman diselenggarakan melalui liturgi (khususnya baptisan, khususnya
baptisa bayi dan sakramen ekaristi), karya seni seperti bangunan katedral, lukisan kisah-
kisah suci pada kaca-kaca, tembok, atap katedral atau gereja, melalui arca-arca suci dan
juga drama-drama suci, dlsb. Kecuali itu, pendidikan iman untuk anak-anak juga
dilaksanakan di dalam keluarga oleh orang tua dan para wali baptis. Seluruh segi hidup
dan kebudayaan masyarakat yang diwarnai oleh agama Kristen menjadi pelaku
pendidikan iman. Kebudayaan masyarakat Eropa saat itu dapat disamakan dengan
kebudayaan Kristen. Apa saja yang berhubungan dengan agama yang meliputi ajaran,
sakramen, doa-doa, bangunan, menjadi sangat penting bagi kehidupan umat.
Berhubung pada abad keemasan agama Kristiani tidak muncul salah satu karya
kateketik yang utuh, bagian pertama dari bab ini akan menggambarkan pelaksanaan
pendidikan iman yang dilakukan oleh warga umat dan yang secara tidak langsung juga
dilaksanakan oleh kebudayaan dan suasana hidup yang sangat didominasi oleh agama
Kristen. Meskipun jumlahnya sedikit bagian kedua memilih beberapa tokoh penting yang
cukup berperanan di dalam pendidikan agama Kristiani yaitu Karel Agung, Yohanes C de
Gerson, dan Erasmus.

B. Gambaran Katekese pada Abad IX-XV

Karena belum ada mesin cetak dan barang-barang hasil cetakan, pada masa ini yang
berkembang adalah tradisi lisan. Hidup keagamaan dan pendidikannya (baca katekese)
juga diwarnai oleh kebudayaan lisan. Tentu saja pada saat itu sudah berkembang budaya
tulisan, tetapi itu jumlahnya amat terbatas dan lebih merupakan hasil tulisan tangan atau
hasil salinan. Hanya para klerus yang bersekolah yang lancar membaca serta menulis.
Karena itu, anak-anak, orang muda dan umat dewasa menghayati hidup keagamaannya
juga di dalam budaya lisan dengan cara mendengar, melihat, menghapal, mengingat dan
mengulang-ulang kembali harta kekayaan iman Gereja entah itu pengakuan iman rasuli,
doa Bapa Kami, Salam Maria, ajaran moral Gereja yang tertuang dalam Dekalog atau dua
hukum cinta ilahi, daftar keutamaan kristiani dan dosa besar yang mematikan, kisah-
kisah kudus dari Kitab Suci, dan teladan para bapa Gereja, lebih-lebih hidup para orang
kudus atau orang-orang yang mereka hormati.
Kemampuan umat untuk mendengar, mengingat dan menghapal serta
memperoleh makna darinya untuk ukuran zaman sekarang tentu dinilai sangat terbatas.
Tetapi pada masa itu, sangat penting karena belum tersedia cara lain. Menghapal doa dan
ajaran-ajaran Gereja kecuali dilaksanakan di rumah, yang paling banyak dilakukan
sesudah homili pada acara misa mingguan. Sesudah menjelaskan makna tiap ayat dari
Sahadat para Rasul dan isi doa Bapa Kami pada saat homili melalui bahasa umat

31
setempat, imam bersama umat khususnya yang telah dewasa mendaraskannya kembali.
Untuk memudahkan penghapalan, disediakan daftar ringkasan ajaran Kristiani dengan
menggunakan angka 7 maka sering disebut septenarii. Septenarii tersebar luas dan amat
berpengaruh pada penyelenggaraan katekese pada saat itu. Contoh Septenarii: 7 sabda
bahagia pada Kotbah di Bukit, 7 permohonan pada doa Bapa Kami, 7 keutamaan
Kristiani, 7 dosa besar yang mematikan, 7 anugerah Roh Kudus, 7 sakramen, dll.
Pada saat itu katekese amat dekat dengan liturgi. Bahkan dapat dinyatakan,
konteks umum katekese adalah liturgi, khususnya melalui kotbah pada saat perayaan
ekaristi. Paus Gregorius Agung juga menegaskan bahwa katekese berdekatan dengan
liturgi dan misiologi. Katekese memiliki hubungan batin dengan liturgi.
Kecuali itu, pendidikan iman secara informal dialukan oleh orang tua dan wali
baptis melalui teladan dan suasana hidup keluarga untuk anak-anak mereka. Orang tua
mengajari anak-anak berdoa. Pada saat-saat tertentu orang tua mendoakan dan
memberkati anak-anaknya dan mengajak mereka ke misa mingguan di Gereja. Sedang
wali baptis, yang mampu menyampaikan pokok-pokok ajaran Gereja, mengajar
katekismus di rumah untuk anak-anak baptis mereka. Baptisan anak dipandang penting
dan amat diharagai oleh keluarga. Menurut keyakinan umat baptis membebaskan anak-
anak yang masih bayi dari kuasa setan dan memasukkan mereka ke dalam suasana hidup
yang berahmat. Melalui baptis anak akan sehat dan selamat. Karena itu, orang tua
berusaha secepatnya membaptiskan anak-anaknya. Sesudah baptis anak-anak secara
resmi menerima nama Kristen; yang umum adalah Yohanes Pemandi, nama para
malaikat besar, keduabelas rasul dan para kudus lainnya. Ada kebiasaan di daratan
Inggris, keluarga bangsawan memilih seorang petani dan sebaliknya keluarga petani
memilih seorang bangsawan untuk wali baptis anak mereka. Pada abad pertengahan, di
samping liturgi konteks katekese berada di tengah-tengah keluarga.
Keluarga-keluarga yang mampu bahkan memiliki Gereja dengan menara tinggi
yang mengarah ke surga untuk mengingatkan mereka bahwa segalannya adalah milik
Allah. Karena semuanya milik Allah, maka apa saja harus disucikan dan dipersembahkan
kepada Allah. Rumah, tanah, kebun, sawah, binatang piaraan dll juga harus dimohonkan
berkat pada Allah. Kegiatan mengolah sawah, dari membajak, menanam sampai
memanen juga dimohonkan berkat dari Allah. Agama dan Allah sungguh menjadi pusat

32
hidup yang menopang, mempersatukan, dan memberikan makna pada mereka. Dengan
penuh keyakinan dan hormat mereka berdoa kepada Allah, berdevosi, membuat prosesi,
dan mengikuti perayaan-perayaan iman serta peribadatan Gereja. Karena itu, setiap tata
pembangunan kota dan desa juga diwarnai oleh semangat religius yang tinggi. Pada
setiap ujung kota dibangun Gereja sebagai pusat perayaan dan hidup keagamaan mereka.
Segalanya memang dikaitkan dengan agama dan Allah mereka. Kumpulan keluarga,
kegiatan masyarakat, profesi semuanya memiliki santo pelindung. Demikian pula rumah-
rumah sakit, penginapan, lapangan juga mempunyai santo pelindung atau paling sedikit
dihubungkan dengan nama-nama tempat yang ada di dalam Injil. Segala macam
permohonan yang berhubungan peristiwa hidup disampaikan ke atas kepada Allah
melalui para santo pelindung, bahkan badai, pelabuhan dan pulau diberi nama santo
pelindung.
Suasana hidup masyarakat abad pertengahan secara mendalam diresapi oleh nilai-
nilai agama. Waktu juga disucikan, itu berarti ada jam-jam suci yang ditandai dengan
bunyi lonceng Gereja sebagai tanda dan panggilan supaya umat berdoa. Kecuali itu, umat
merayakan banyak pesta, khususnya pesta untuk menghormati Tuhan Yesus, Ibu Maria
dan juga pelindung kota atau desa. Pesta-pesta religius tersebut merupakan hari libur.
Pada pesta-pesta itu diselenggarakan drama suci. Drama suci tidak hanya untuk
menghormati orang kudus tetapi juga untuk memeriahkan perayaan liturgi. Yang paling
umum adalah kisah sengsara Tuhan Yesus, Natal, pertobatan Saulus. Drama tersebut
dipentaskan bukan oleh para aktor profesional melainkan oleh umat secara massal dengan
maksud untuk pembinaan iman umat. Pada kenyataannya, drama religius amat mudah
menyentuh hati jemaat. Suasana hidup masyarakat betul-betul amat bercorak religius.
Mereka memandang dunia dan segalanya isinya tergantung pada yang ilahi, jadi tidak
bersifat otonom.
Umat menghayati kegiatan agamanya bukan sebagai beban melainkan sebagai
bagian pokok kehidupan yang menggembirakan dan menyemangati. Jelas, suasana hidup
demikian ini bernilai positif bagi kehidupan beriman tetapi juga memiliki segi negatif.
Adapun segi negatif dari cara hidup yang memandang segalanya berkaitan dengan agama
semacam ini antara lain tidak adanya kejelasan apakah tindakan umat tersebut sungguh
berdasar iman atau sebetulnya lebih merupakan takhayul. Di dalam kenyataan hidup,

33
umat tidak mudah membedakan secara ketat mana tindakan yang sungguh berdasar iman
dan mana yang lebih berupa takhayul. Segi negatif makin diperberat kalau orang
menghayati agamanya masih berhenti pada segi peraturan sedang motivasi, pilihan, dan
kesadaran pribadi belum cukup berpengaruh.
Untuk Allah dan agama, mereka tidak segan memberi dengan kemurahan hati
yang besar. Semua lapisan warga masyarakat, lebih-lebih para prajurt, kesatria dan
bahkan raja sendiri harus mengabdi Allah yang bertahta di surga. Dengan macam-macam
ritus dan upacara mereka menjalankan tugasnya di dalam rangka melayani Allah.
Pelantikan raja, kesatria dan pejabat pemerintah masing-masing memiliki ritusnya
sendiri. Para kesatria dan prajurit memiliki dua pemimpin, yang satu jendral dan yang
lain uskup. Karena segalanya berpusat pada Allah dan agama, kekuasaan raja sekalipun
berasal dari Allah bukan dari amanat rakyat atau dari usaha raja sendiri. Raja memandang
dirinya sebagai kesatria santo Petrus termasuk para penerus atau penggantinya. Dan
karena segalanya dihubungkan dengan agama dan Allah dengan sendirinya para
pemimimpin Gereja dan orang-orang yang bersangkutan dengan Gereja dan agama
memiliki kedudukan amat penting di dalam hidup warga.
Kekuasaan pemimpin Gereja pada saat itu amat besar; hal itu berarti tidak hanya
terbatas pada hidup dan kegiatan rohani tetapi juga menjangkau segala lapisan kehidupan
termasuk wilayah politik dan pemerintahan. Kekuasaan Gereja mencapai puncak ketika
pada hari Natal tahun 800 paus Leo III menobatkan Karel Agung menjadi kaisar. Paus
merasa kekuasaan kepausannya langsung berasal dari Allah, sehingga dimengerti bersifat
mutlak, jauh lebih tinggi dari pada kedudukan raja. Paus Inocentius (1198-1216)
merupakan salah seorang paus yang memiliki kekuasaan baik pada lingkup kehidupan
Gereja maupun pada bidang pemerintahan. Paus membawahi para raja termasuk
menyetujui tidaknya seseorang untuk dinobatkan menjadi raja. Gereja mencampuri
urusan pemerintahan kerajaan. Hubungan yang demikian itu tidak menjadi soal kalau
paus dan raja rukun, tetapi kalau tidak harmonis bahkan di dalam keadaan konflik,
suasana dapat menjadi kacau. Kalau tidak taat kepada paus, raja merasa berhak
mengangkat uskup, dan boleh memiliki para pasturnya sendiri.

C. Tiga Tokoh yang Berpengaruh dalam Pengembangan Katekese

34
1. Charlemagne (Karel Agung, 742-814): Pengembang Pendidikan
Karel Agung merupakan simbol kebesaran kaisar Roma pada masa keemasan
agama Kristiani di Eropa. Ketika adiknya Karolman meninggal, ia berkuasa penuh
atas wilayah Romawi Barat dan Romawi Timur. Tidak kebetulan ia menerima nama
sebutan “Agung”, karena kecuali berkuasa dalam bidang pemerintahan, ia juga
memiliki pengaruh besar dalam bidang pendidikan, kesenian, dan kegerejaan. Hasrat
hatinya untuk memperkembangkan Gereja mulai terwujud ketika pada pesta Natal,
tahun 800, ia dinobatkan oleh Paus Leo III sebagai Kaisar Kerajaan Romawi yang
suci. Karena itu, ia berusaha membangun kekaisaran Romawi yang suci dengan
memperkembangkan pendidikan. Dia menyatakan semua pihak harus belajar. Ia
sendiri mendatangkan seorang diakon terpelajar dari Inggris bernama Alkwin supaya
dapat belajar kepadanya. Ia juga aktif mendatangi kuliah-kuliah yang diberikan oleh
para sarjana lebih-lebih apabila membahas De Civitate Dei karangan Agustinus.
Karel Agung dikenal pandai; ia lancar berbicara dalam beberapa bahasa seperti Latin,
Yunani, dan Italia. Ia juga mempelajari karya-karya para bapa Gereja dan bahkan
para filsuf.
Karena begitu prihatin pada bidang pendidikan, pada tahun 787 ia mengeluarkan
peraturan pendidikan bagi semua klerus (imam dan biarawan) serta anak laki-laki.
Peraturan ini dikirim pada setiap uskup dan kepala-kepala biara di seluruh
kekaisarannya. Ia menegaskan bahwa pendidikan untuk semua. Ditegaskan pula
supaya para imam dan biarawan pada setiap misa hari Minggu berkotbah untuk
mendidik jemaat. Isi kotbah kecuali pokok-pokok iman juga moral dan keutamaan
kristiani yaitu harapan, iman dan cinta kasih. Kotbah-kotbah dianjurkan supaya
dilaksanakan secara teratur, dipersiapkan dengan baik dan diarahkan demi
pembangunan iman dan kehidupan bersama. Supaya dapat mendidik umatpara imam
diharuskan oleh raja Karel agar belajar dengan sungguh-sungguh. Untuk itu, sebagai
salah satu syarat dapat ditahbiskan, para imam harus menempuh ujian yang berat
dalam bidang pengetahuan, moral dan keutamaan. Yang berhak mentahbiskan imam
hanya uskup, bukan bangsawan atau pejabat pemerintah. Raja Karel juga memiliki
keprihatinan besar pada pendidikan anak laki-laki. Maka ia meminta para imam agar
mendidik anak laki-laki baik dari keluarga atas maupun yang berasal dari keluarga

35
biasa dengan cara yang benar. Kurikulum mencakup membaca, menulis, tata bahasa,
nyanyian, doa, Mazmur, pokok-pokok iman Kristen, dan keutamaan kristiani.

2. Yohanes de Gerson (1363-1429): Pengembang Katekese Anak-anak


Yohanes Gerson, meskipun sebagai seorang teolog besar dari Perancis, memiliki
sumbangan penting pada penyelengaraan dan pengembangan katekese anak-anak.
Sesudah tua ia mengabdikan seluruh talentanya yang banyak untuk menulis katekese
anak-anak dan sekaligus melakukannya sendiri. Ketika berumur 30 tahun, ia
dikukuhkan sebagai rektor universitas Paris. Ia juga menjadi utusan paus dalam
berbagai pertemuan atau konsili seperti dalam konsili Pisa pada tahun 1409. Sesudah
lama terlibat di dalam kancah kehidupan perguruan tinggi, ia menarik diri dan segera
berminat pada katekese anak-anak. Untuk maksud itu, ia pindah dan bertempat
tinggal di biara Lyon. Di dalam biara ia mencurahkan segala perhatiannya untuk
menulis katekismus anak-anak. Ia juga mengundang para teolog universitas untuk
menulis katekismus singkat tetapi berisi pokok-pokok ajaran Kristen yang lengkap
untuk membantu umatmengembangkan imannya. Ia tidak sabar karena setelah
menunggu tidak ada tanggapan yang positif. Pada mulanya minat dan usahanya untuk
menyusun katekismus anak-anak dikecam oleh rekan sejawatnya, yang menyatakan
pendidikan anak-anak tidak harus dilakukan oleh orang sebesar Gerson, seorang
teolog besar dan mistikus. Karena pekerjaan semacam itu dapat merendahkan
martabatnya.
Menanggapi pandangan negatif tersebut, Gerson menulis sebuah pamflet yang
kurang lebih berjudul: “Antarkanlah anak-anak datang pada Yesus Kristus” (On
Leading Children to Christ). Tulisan ini berhasil memperlihatkan pendidikan yang
unggul dan menunjukkan siapa sebetulnya Gerson, orang dewasa berbudi dan rendah
hati sehingga berhasil mendekatkan diri pada hidup anak-anak. Minatnya pada
pembinaan anak-anak muncul dari kenyataan banyak para imam yang bersikap masa
bodoh pada bidang pembinaan lebih-lebih kepada anak-anak. Dengan itu, para
pengritiknya termasuk di dalamnya para imam dapat dibandingkan dengan para murid
yang menghalangi anak-anak dekat pada Yesus dan Yesus sendiri menegur mereka

36
sekaligus mengundang anak-anak supaya dekat sehingga Ia dapat menyambut
mereka.
Untuk dapat mendidik anak-anak menurut Gerson, seseorang harus mencintai
anak-anak, mengerti keadaan hidup mereka, dan menyesuaikan diri dengan
kemampuan mereka. Gerson sendiri menjalankan apa yang ia nasihatkan. Di dalam
usia tuanya, kecuali menulis katekismus untuk anak-anak ia dengan tekun dan penuh
kasih mendidik iman anak-anak. Ia dikenal ramah, sabar, dan penuh senyum. Ia juga
tidak mundur apabila menghadapi kekecewaan dan tantangan. Gerson menegaskan
bahwa mendidik anak merupakan tindakan yang amat bermartabat seperti Yesus
sendiri yang amat mencintai anak-anak.
Gerson mengusulkan supaya pengajarannya ditulis dalam bentuk poster yang
ditempelkan pada tempat-tempat umum seperti Gereja, sekolah, rumah sakit, dan
tempat-tempat pertemuan lainnya sehingga dapat dibaca, disimak dan dipelajari oleh
banyak orang. Kecuali katekismus anak-anak, ia juga menulis katekismus sederhana
untuk umatyang tidak terpelajar yang disebut Katekismus ABC. Di dalam katekismus
tersebut dibuat daftar yang disusun menurut abjad (alfabet) dan harus diketahui oleh
semua jemaat: seperti 5 panca indera, 7 dosa yang membawa pada kematian, 7
keutamaan, 12 ayat Credo, 7 doa permohonan Bapa Kami, 10 Perintah Allah, Salam
Maria, 7 anugerah Roh Kudus, 7 karya cinta kasih, 7 sakramen, persiapan pengakuan,
dll. Gerson di dalam karangan lain, menjelaskan dengan detail masing-masing isi
katekismus ABC.

3. Desiderius Erasmus (1466-1536): Wajah Baru dalam Dunia Katekese

a. Keadaan Zaman dan Perkembangannya di tengah Masyarakat Eropa


1) Pada abad XV masyarakat Eropa telah menemukan bubuk mesiu dan
mengunakannya di dalam peperangan.
2) Mulai zaman penjelajahan orang-orang Portugis dan Spanyol ke wilayah-
wilayah baru seperti ke benua Amerika, Asia dan Afrika. Karena itu
berkembang perdagangan antar wilayah-wilayah tersebut.
3) Berkembang pula rasa nasionalisme di negara-negara Eropa, kesamaan
agama tidak lagi dipandang paling penting.

37
4) Setelah ditemukan rahasia membuat kertas, Yohanes Gutenberg pada
tahun 1438 menemukan mesin cetak. Penemuan ini amat penting perannya
di dalam menyebarluaskan pendapat atau ajaran tertentu.
5) Kopernikus seorang ahli ilmu perbintangan (astronomi) dari Polandia
berpendapat bahwa matarharilah yang menjadi pusat alam semesta
bukannya bumi. Meskipun dikecam oleh Roma, pendapat Kopernikus
tersebut mengawali banyak sekali perubahan hidup khususnya yang
berhubungan dengan agama; maka sering disebut sebagai revolusi
Kopernikus.
6) Muncul dan berkembang pula paham humanisme yang menyatakan bahwa
kemanusiaan dan martabat manusia sangat perlu diperhatikan. Manusia
tidak hanya menjadi objek keselamatan menurut pandangan agama. Para
tokoh humanis mulai menghidupkan kembali ajaran para filsuf Yunani
dan menyatukannya dengan pandangan Kristen. Manusia mulai menyadari
otonomi kehidupannya dan perannya sebagai pelaku di dalam sejarah
hidup mereka. Di sini menjadi awal dimulainya katekese yang
memperhatikan keadaan konkret umatsebagai peserta.
7) Ada berbagai ketidakpuasan karena penyelewengan para pimpinan Gereja
dan karena pola hidup keaagamaan umatyang sulit membedakan mana
yang sungguh kegiatan beriman dan mana yang lebih berupa takhayul.
Karena itu di dalam tubuh Gereja muncul tokoh-tokoh pembaharu yang
dilakukan oleh kalangan ordo religius seperti Fransiskan, Dominikan,
Agustinian, Sistercienser, Karthusianer. Karena cintanya pada Gereja para
pendiri dan tokoh-tokohnya tetap setia pada pengakuan iman Gereja
Katolik dan memperbarui hidup beriman dari dalam.
8) Tidak dapat dipungkiri para pembaharu kehidupan beriman justru sering
menjadi korban dari sistem pengadilan keagamaan Kristen, seperti
Yohanes Wycliffe dari Inggris, Yohanes Hu rektor universitas Praha,
Savonarola dari Ferara, Italia, dll. Mereka dihukum mati, bahkan dibakar
ketika masih hidup. Melihat korban-korban yang berjatuhan ini beberapa
orang menunjuk lembaga pengadilan Gereja sebagai biangnya.

38
9) Di Eropa Utara, lebih-lebih di Belanda berkembang pula “sekolah”
Persaudaraan Hidup Bersama yang menekankan pentingnya pendidikan
untuk anak-anak, orang muda, dan umat yang berasal dari keluarga biasa
dan tidak terpelajar. Kecuali meningkatkan pendidikan, kelompok ini juga
berusaha memperbarui hidup beriman. Tokoh-tokohnya antara lain:
Tomas a Kempis yang menulis sebuah buku amat terkenal dengan judul
Imitatio Christi (Meneladani Kristus) yang sering diterjemahkan sebagai
Mengikuti Jejak Kristus. Erasmus dari Roterdam tokoh yang akan kita
bicarakan juga pernah dididik oleh kelompok ini.

b. Erasmus: Wajah Baru dalam Dunia Katekese


Setelah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya dan jatuh miskin karena harta
peninggalan keluarga gagal didadapatkannya, Erasmus mengikuti sekolah yang
diselenggarakan oleh Kelompok Persaudaraan di Rotterdam. Untuk dapat
melanjutkan sekolahnya ia mendaftarkan diri menjadi seorang biarawan
Agustinian di Steyn. Ia menerima tawaran menjadi juru tulis seorang uskup. Pada
tahun 1492, ia ditahbiskan menjadi seorang imam, tetapi bukan imam yang
melayani suatu kelompok umat tertentu.
Ia pergi ke Paris untuk melanjutkan belajar teologi. Tetapi di tempat ini, ia
merasa tidak sepaham dengan gaya berteologi spekulatif yang dipelopori oleh
para penganut tomistik. Erasmus merasa lebih cocok membaca tulisan kaum
humanis yang mengembangkan lagi pemikiran filsafat Yunani dan menghormati
martabat hidup manusia. Pemikirannya semakin mantab berkembang ketika ia
pergi ke Inggris dan berjumpa dengan yang mulia Thomas More dan John Colet.
Para tokoh besar Inggris ini menantang dirinya untuk back to basic, kembali lagi
pada Kitab Suci khususnya Perjanjian Baru dari pada menghidupkan kembali
pemikiran filsafat Yunani. Menerima tantangan itu ia berjuang keras mempelajari
bahasa Yunani dan dengan tekun mempelajari Kitab Suci. Pada tahun 1516 di
Swiss, Froben menerbitkan karya Erasmus tentang naskah Kitab Suci Perjanjian
Baru yang paling asli di dalam bahasa Yunani. Erasmus juga menerjemahkan

39
Kitab Suci dari bahasa Yunani ke Latin (terjemahan pertama sesudah karya
Hieronimus: Vulgata).
Kecuali itu, Erasmus juga menulis Buku Pegangan bagi Seorang Kesatria
Kristen (Enchiridion Militis Christiani). Di dalamnya ia menegaskan pentingnya
pengetahuan Kitab Suci bagi setiap warga jemaat, khususnya orang muda Kristen,
baik laki-laki maupun perempuan. Erasmus menyatakan pendidikan tidak hanya
untuk anak laki-laki tetapi juga untuk anak perempuan. Dari sekian banyak tulisan
Erasmus, terlihat bahwa ia tidak menyetujui gaya berteologi skolastik yang
spekulatif sebaliknya ia memelopori metode berteologi yang positif. Yang
dimaksud adalah penjelasan Kitab Suci berdasar kewibawaan para Bapa Gereja
yang sangat kristosentris. Cinta kasih Yesus Kristus melalui salib harus menjadi
sumber inspirasi hidup setiap orang Kristen. Seorang Kristen sejati berarti
memiliki iman yang kokoh, menghayati keutamaan Kristen, dan siap melayani
Kristus, serta terus belajar memperkembangkan diri. Bagi Erasmus, kristianitas
lebih merupakan jalan hidup daripada kumpulan ajaran.
Sebagai seorang humanis, Erasmus juga menekankan pentingnya
memperhatikan kenyataan hidup manusia. Ia mengingatkan umat dan juga kaum
imam supaya sungguh beriman secara mendalam, tidak hanya berhenti pada
tataran lahiriah, misalnya di dalam penerimaan sakramen, berdevosi dan
mengadakan prosesi. Lebih baik sungguh beriman kepada Yesus Kristus dan
bersandar kepada perlindungan Roh Kudus yang mendatangkan buah cinta kasih
daripada melakukan kegiatan keagaamaan yang hanya bersifat lahiriah apalagi
kalau berbau takhayul.
Karena pengalamannya pribadi ia juga memiliki keprihatinan mendalam
pada keutuhan keluarga dan pernikahan yang benar. Ia menghormati kedudukan
setiap perempuan untuk bahagia dan menyatakan ketidaksetujuannya pada pria
yang dijodohkan oleh orang tua kepadanya. Ia menghendaki pernikahan yang
suci, diberkati Allah dan menyatukan seorang laki-laki dengan seorang
perempuan secara abadi. Sebagai seorang humanis, Erasmus tidak memandang
remeh kedudukan perempuan. Demi menjaga pernikahan yang suci, sebaiknya
para imam sungguh setia, tidak mengorbakan pihak mana pun. Jangan menjadi

40
imam yang suka mengorbankan orang lain, atau kalau perlu Gereja meninjau
kembali peraturannya yang mengharuskan imam selibat. Pendapatnya ini tentu
ditolak. Karena tidak ingin mengobarkan perang dan lebih suka menjadi pembawa
damai bagi siapapun ia menerimanya, dan yang pokok adalah memberikan
peringatan.
Erasmus menulis katekismus yang dikenal sebagi katekismus Erasmus.
Berbeda dengan katekismus abad pertengahan yang pada umumnya ditujukan
lebih-lebih untuk para imam, katekismus Erasmus dan para humanis lainnya
ditujukan untuk kaum awam. Di dalam katekismus itu, Erasmus menekankan
pentingnya iman seperti diwartakan oleh Paulus di dalam Surat-suratnya dan cinta
kasih seperti yang ditekankan oleh penginjil Yohanes. Erasmus menyatakan
keduanya saling berhubungan secara erat, iman berkembang melalui cinta kasih
(fides per dilectionem operans). Menurut pandangannya seorang Kristen sungguh
beriman kalau hidupnya sungguh dilandasi oleh cinta kasih dan buahnya juga
cinta kasih baik pada sesama maupun pada Tuhan dan Gerejanya.
Gaya katekismus Erasmus yang memperhatikan hidup peserta, yang
disusun dalam bentuk dialog, yang bersifat biblis dan diperkaya dengan tulisan
para bapa Gereja amat mempengaruhi katekismus Petrus Kanisius. Meskipun
pandangan ini masih perlu didiskusikan. Beberapa tokoh dan pemimpin Gereja
yang humanis amat menyetujui pendapat dan pemikiran Erasmus, tetapi sebagian
besar menolak. Paus Paulus IV, tahun 1559 memasukkan tulisan-tulisan Erasmus
dalam daftar yang dilarang beredar atau boleh dibaca hanya oleh kelompok
terbatas yaitu para teolog.

41

Anda mungkin juga menyukai