Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH PRESENTASI KELOMPOK V

PELAKSANAAN PKKI VII – VIII


SEJARAH PENDIDIKAN KEAGAMAAN KATOLIK
  

 Disusun oleh : 
1.Henrikus Reyan Rihasdi 191124052
2.Selviana Soklin 191124058
3. Centuri Jantika 191124080
 

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEAGAMAAN KATOLIK


JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN  DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2021
BAGIAN I

PELAKSANAAN PPKI VII

PKKI VII dengan tema “Katekese Umat dan Kelompok Basis Gerejani” diselenggarakan
di Wisma Sawiran, Nongkojajar, Malang, Jawa Timur, pada tanggal  24 -30 Juni 2000. PKKI VII
ini merupakan persiapan untuk menunjang “Pertemuan Gereja Katolik Indonesia, dengan tema
“Memberdayakan Komunitas Basis Gerejani Menuju Indonesia Baru”. Para peserta yang hadir
terdiri dari wakil pelbagai Komkat Keuskupan di Indonesia, lembaga-lembaga pendidikan
kateketik, wakil pendidikan seminari, para pakar Kitab Suci, Teologi, Kateketik dan
Kurikulum/Pendidikan. Dalam pertemuan ini, para pewarta saling mensharingkan pengalaman
aktual tentang Katekese Umat yang berkaitan dengan Gereja Lokal yang paling kecil, yaitu
Komunitas Basis Gerejani yang sedang bertumbuh di banyak Gereja, keuskupan saat ini.

Hampir semua keuskupan telah melaksanakan Katekese Umat walaupun polanya masih
beragam. Bahkan ada yang masih menggunakan pola pelajaran agama atau pendalaman Kitab
Suci. Ada keuskupan yang telah membudayakan KU dan menggunakan analisa sosial dengan
baik. Dibanyak tempat KU dilaksanakan pada masa APP, Adven, Mei dan Oktober. Bahkan ada
yang melaksanakannya secara tetap, mingguan atau bulanan. Dari laporan yang muncul jelas
bahwa kelompok teritorial atau kategorial apa saja mau disebut Kelompok Basis Gerejani.

PROSES PKKI VII

Pertemuan PKKI VII ini diawali dengan Misa pembukaan kemudian Homili ketua Komisi
Kateketik KWI dengan tema mewujudkan tahun YUBELIUM AGUNG menjadi tahun Rahmat
Tuhan sebagai perwujudan dari sikap dasar dan cara Yesus Menyelamatkan Manusia. Yesus tidak
menyelamatkan manusia dari Surga dan sebatas kata-kata, tetapi terjun ke dunia manusia untuk
solider dalam semua segi pengalaman manusia sampai pada pengalaman penderitaan dan kematian
secara tragis. Dengan fokus pergumulan pada Kelompok Basis Gerejani, PKKI VII dan Pertemuan
Gereja Katolik Indonesia diadakan dalam rangka perayaan tahun Yubelium 2000, moment Gereja
Indonesia berbenah diri memasuki milenium baru, yaitu tahun gerakan sosial dan gerakan moral
supaya manusia dapat hidup secara adil dan bermartabat.

Sambutan dari Direktur Jenderal BIMAS KATOLIK Drs. Stef Agus yang intinya adalah
bahwa kita semua/pemerintah dan mitranya (agama-agama) diajak untuk menjadikan nilai-nilai
agama sebagai aset atau modal demi “menggalang persaudaraan sejati” dalam membangun
bangsa, menjemput masa depan, abad baru, dan milenium baru dengan harapan mewujudkan
kepedulian dan perhatian semua pihak (pejabat-pejabat Hierarki Gereja dan pembina atau relawan
pelaksana yang terpadu).

Peserta PKKI VII tahun 2000 adalah para Katekis yang datang dari berbagai keuskupan di
Indonesia yang mensharingkan pelaksanaan KU (Katekese Umat) di Keuskupan masing-masing
(dari lima Regio Keuskupan) berkaitan dengan kelompok basis gerejani kalangan umat katolik
Indonesia.

Setelah laporan dari masing-masing regio keuskupan dilanjutkan ceramah oleh P. Dr. JOHN
PRIOR, SVD dengan tema “Tegar Mekar Komunitas Basis Gerejani” dengan memberdayakan
KBG sebagai budaya tandingan.

LAPORAN-LAPORAN REGIO dan HASIL CERAMAH

LAPORAN-LAPORAN PELAKSANAAN KU - KBG DI BERBAGAI REGIO

a. Pelaksanaan KU-KBG   Regio Sumatra


 Istilah KU tidak dikenal, lebih dikenal Pendalaman Iman
 Pola KU tidak diterapkan sebagaimana idealnya melainkan modifikasi.
 Pertemuan umat di Kring/kelompok/ kelompok tani-UB, dll; dengan unsur-unsur.
Umat semakin dominan walau suasana doa masih kuat (sesuai kebutuhan umat)
 Keterlibatan umat dalam pertemuan ada, walau untuk Sharing atau tanya jawab
masih terbatas. Keberanian umat untuk sharing justru terjadi setelah doa.
 Sebagian umat merasa keberatan jika pertemuan memakan waktu yang lama (walau
ada yang justru dihentikan).
 Komunitas Basis Gerejani, dapat dirasakan dalam pertemuan kelompok/kring, baru
dalam tahap penyadaran dan mulai masuk tahap aksi.
 Proses KU dilaksanakan dalam rangka atau kaitan untuk membangun jemaat basis.
 Komunitas Basis Gerejani sudah mulai menjadi gerakan pastoral dengan berbagai
istilah : KDK, jemaat basis, kelompok, kelompok hidup.
b. Pelaksanaan KU-KBG Regio Nusa tenggara
1. Model KBG
 Teritorial : Komunitas Basis Yang terdiri dari (20-30 KK)
 Alternatif :
 Lembaga sosial masyarakat
 Kolping
 UBSP dan KSP
2. Struktur Teritorial
 Meliputi ; Keuskupan, Dekenat, Paroki, lingkungan wilayah stasi, dan Komunitas
Umat Basis (TKP)
3. Kelompok Sasaran : KU dan KUB
 Latihan Persiapan Fasilitator tingkat Keuskupan, tingkat dekenat (utusan KUB),
mahasiswa/i, STKIP, dan STF
4. Bahan KU : disesuaikan dengan kebutuhan tiap keuskupan
5. Waktu : Adven, APP, BKSN
6. Metode : Analisa sosial, sotarae, Sharing
7. Evaluasi: dilaksanakan  sesudah masa Adven, Prapaskah, BKSN
 Sasaran evaluasi : fasilitator, peserta KU, bahan, waktu, metode.

Hasil evaluasi:

Positif:

 Umat sudah berani berbicara


 Ada aksi nyata seperti : rehabilitas rumah orang buta/susah, dan menggali sumur
umat.

Negatif:

 Sebagian besar fasilitator kurang trampil memproses KU karena latar belakang


pendidikan.
 Kehadiran umat kebanyakan perempuan
 Bahan dari keuskupan kurang menjawab persoalan umat di semua komunitas umat
basis.
c. Pelaksanaan KU-KBG Regio Kalimantan
Katekese Umat
 Katekese dilaksanakan di tiap-tiap keuskupan yang dikoordinir oleh komkat.
 Dilaksanakan dalam berbagai bentuk; masa APP dan BKSN dan kesempatan-
kesempatan khusus
Kesulitan/hambatan:
 Kekurangan fasilitator yang trampil
 KU belum menjadi program keuskupan dan juga belum menjadi kebutuhan umat.
 Pastor paroki kurang mendukung karena sebagian besar pastor paroki belum
memahami apa itu KU.

KBG

 Empat keuskupan baru melaksanakan sebatas SOD (seminar orientasi dasar)


 Satu keuskupan sudah mencapai pelaksanaan di tingkat paroki dengan membentuk
komunitas-komunitas percontohan.
 Kesulitan dan kelemahannya adalah; KBG dianggap sebagai kegiatan tandingan
bagi para pastor, dan banyak pastor paroki belum memahami KBG.
d. Pelaksanaan KU-KBG Regio Jakarta
1. Keuskupan Bandung
 Pembangunan komunitas kecil mendapat respon baik karena memungkinkan
komunikasi.
 Aktualisasi; pada tiap lingkungan jumlahnya kurang lebih 30 KK.  KU dijalankan
dengan ansos ( APP ).
 Tidak semua paroki menjalankan dengan murni; tercampur dengan ibadat.  Setiap
pelaksanaan mempunyai buku panduan untuk memudahkan KU.
 Pendampingan fasilitator untuk KBG berbentuk SOD dan kursus pembangunan
jemaat.
2. Keuskupan Bogor
 KU belum terlalu hidup, namun terjadi momen-momen tertentu; APP, Adven, dan
Bulan Maria.
 Komunitas Basis Gerejani sedang diupayakan; pelatihan untuk paroki-paroki dan
kelompok buruh
3. Keuskupan Agung Jakarta
 Ketekese Umat dilakukan secara toritorial maupun ketegorial, pada momen-momen
khusus: APP, Adven, BKSN.
 Kendala: kurangnya kesepahaman dan kerja sama antar komisi tentang KU
sehingga KU kurang tersosialisasi dan berkembang.
 Sosialisasi dan pengembangan KU dilaksanakan oleh Komkat bekerja sama dengan
P3J Unika Atmajaya dengan memberi penataran dan pendampingan di dekanat,
paroki, dan kelompok ketegorial tertentu.
 Komunitas Basis sangat banyak; profesi, status sosial, kepentingan, cita-cita dll.
 KU dalam komunitas basis paling kelihatan adalah segi komunikasi dan partisipasi
aktif tiap anggota.
 Komunitas Basis Gerejani untuk kaum buruh sudah berkembang baik, berkat KU
e. Pelaksanaan KU-KBG  Regio Semarang
Katekese Umat
 Berjalan dalam pendalaman iman APP, Adven dan BKSN.
 Diluar masa APP dan Adven dilaksanakan KU pada bulan Mei dan Oktober atau
pada masa novena Roh Kudus.
 Dalam melaksanakan KU biasanya didahului ibadat.
Bahan katekese umat
 Bahan yang secara umum dipakai dari bahan APP dan adven, bahan yang di susun
disesuaikan dengan standar PKKI II.

Penyusunan bahan APP

 Tema diambil dari KWI, disesuaikan dengan keadaan setempat. PSE adalah
koordinatornya, sehingga bahan tidak cukup mendukung KU yang di cita-citakan
PKKI II.

Penyusunan bahan adven

 Dilakukan oleh komkat, namun ada juga yang bekerja sama dengan sejumlah
komisi.
 Bahan cukup sesuai KU tetapi belum bisa sesuai standar PKKI II

Komunitas basis gerejani

 KBG hanya berjalan di daerah kabupaten Purwokerto selatan, diawali dengan SOD
bagi para pastor paroki.
 Di malang bergerak melalui PSE dan juga ada dari kelompok evangelisasi.
 Di KAS khususnya mulai berkembang di Surakarta
 Di Surabaya ada sejumlah kelompok kecil tapi tidak begitu jelas apakah itu KBG
atau bukan
f. Pelaksanaan KU-KBG Regio Papua
Katekese umat
 Diperkenalkan KU pada para petugas dan selanjutnya kepada umat.
 Proses KU meliputi : persiapan, pelaksanaan, evaluasi, dukungan, dan hambatan.
 Fasilitator diambil dari aktivis umat, tokoh adat, petugas pastoral, katekis, dan guru
agama.
 Ada dua jenis bahan, yaitu bahan yang terikat dan bahan yang bebas.
 Pelaksanaan dilakukan dalam kelompok; kring, rukun lingkungan, stasi, dan umat
kategorial.
 Pelaksanaannya dilakukan pada masa BKSN, adven, APP dan rekoleksi masal.

Komunitas basis gerejani

 Kelompok yang ada; kring, rukun lingkungan, dan stasi. Sedangkan pada kelompok
kategorial; WK, dan OMK

DISKUSI ATAS LAPORAN REGIO

TENTANG KATEKESE

UMAT DAN KBG

1. Mengapa kehadiran ibu-ibu dianggap sebagai kelompok yang negatif atau diperhitungkan
sebagai kelemahan? (Regio Nusa Tenggara).
2. Apa maksudnya bahwa kebutuhan-kebutuhan bahan disusun menurut kebutuhan
keuskupan? ( Regio Nusa Tenggara )
3. Apa yang di maksud bahwa KBG baru muncul pasca kerusuhan di Surakarta? (Regio
Semarang)
4. Apa yang dimaksud banyak pemuka umat tidak siap? ( Regio Jakarta)
5. Dalam laporan regio Jakarta disebutkan adanya evaluasi tentang KU, apakah dalam hal ini,
peserta dilibatkan dalam evaluasi katekese tersebut.
6. Membaca laporan kelompok Nusa Tenggara di khawatirkan keadaan yang sesungguhnya
jauh lebih kaya, beragam, lebih hidup daripada apa yang tampak dalam laporan. Apakah
kelompok mempunyai informasi keberadaan kelompok-kelompok basis yang 
terkonsentrasi atau tersebar di keuskupan, apakah jumlahnya diketahui?
7. Pelaksanaan KU, juga terjadi diluar masa APP khususnya bulan Oktober dan Mei, apakah
ada alasan tertentu dilaksanakan dalam bulan ini? ( Regio Nusa Tenggara ).
8. KU berjalan dalam pendalaman iman, APP, adven, sharing pengalaman KU yang
bagaimana yang berjalan dalam pendalaman iman? (Regio Nusa Tenggara)
9. Dalam pelaksanaan KU tidak tepaku pada ansos atau SOTARAE tetapi lebih mau
mengajak orang untuk sampai pada situasi konkrit, yaitu aksi. ( Regio Nusa Tenggara).
10. Dikatakan bahwa dalam keuskupan masih kurang adanya kesepakatan tentang KU.
Apakah ada usaha untuk mengumatkan KU?( Regio Kalimantan ).
11. Dalam laporan regio Kalimantan dikatakan bahwa para pastor tidak mendukung adanya
KU. Bagaimana hubungan kerja antara pastor dan katekis hingga terjadi hal yang
demikian? (Regio Kalimantan )
12. KU kurang dikenal.  Apa maksudnya? (Regio Sumatra)
13. KU tidak dilaksanakan secara murni, tetapi KU dilaksanakan dengan modifikasi. Lalu
bagaimana modifikasi itu dilaksanakan? (Regio Sumatra)
14. Apakah yang dimaksud dengan komunitas percontohan? (Regio Kalimantan)
15. Mengapa umat belum membutuhkan atau belum tertarik dengan KU? (Regio Kalimantan)
16. Apa yang dimaksud dengan KBG sebagai kegiatan tandingan? (Regio Nusa Tenggara)

CERAMAH NARASUMBER DAN DISKUSINYA


P. DR. John Prior, SVD

“Tegar Mekar Komunitas Basis Gerejani Memberdayakan KBG sebagai budaya


tandingan”. Hal pertama yang dibicarakan adalah rakyat menuntut pembaharuan tuntas
baik dalam negara maupun dalam Gereja yang didalamnya ditekankan dua point, yaitu;
demokrasi Negara dan Demokrasi Gereja.
Hal yang kedua beliau membicarakan tentang kilas balik: petikan pengalaman
kelompok basis di Nusa Tenggara. Beliau juga membahas ciri-ciri KBG yang didalamnya
mengandung arti KBG:
KBG memiliki pengertian yang berbeda-beda dari tempat ke tempat, ada
Keuskupan yang menyebutnya kelompok-kelompok Khusus sebagai KBG misalnya :
Legio Mariae, WKRI, Karismatik, Kelompok Karyawan Muda Katolik, Tani Lestari,
Kelompok Hati Nurani, Serikat Konfreria, Paguyuban Para Ibu, Komunikasi Mahasiswa
Katolik, dan Forum Kaum Awam. Namun ada satu hal yang perlu kita ketahui yakni
bahwa KBG memiliki perbedaan dengan organisasi Legio Mariae dan sejenisnya, yaitu
bahwa KBG memiliki wujud yang khas, KBg tidak memiliki konstitusi, tidak ada
organisasi tingkat keuskupan apalagi tingkat KWI atau mondial. Selain itu KBG bukanlah
paguyuban Rohani yang dilengkapi dengan anggaran dasarnya. KBG adalah sebuah
persekutuan yang senantiasa bertumbuh, berkembang, berada ditengah perjalanan. Sifatnya
tidak tetap dan wahananya tidak memuaskan. KBG selalu “sedang menjadi”, namun
meskipun wujudnya bermacam-macam, gagasan teologi yang melatarbelakanginya tetap
sama.

ada 4 ciri utama KBG :

 KBG adalah kelompok basis Gereja setempat


Biasanya ada 15-20 keluarga yang mudah berkumpul untuk mendengarkan Firman
Allah, yang di mana mereka saling mengenal dan bahkan saling mengetahui
riwayat hidup serta harapan dari masing-masing anggota. Jumlah anggota KBG
biasanya puluhan hingga ratusan, namun diperkotaan jumlah anggota lebih sedikit
dari pada dipedesaan, hal ini dikarenakan para anggota sudah dicabut dari akar
budayanya, jam kerja yang padat, adanya pengaruh dari latar belakang sosial,
budaya, dan bahasa yang berbeda-beda. KBG tidak terbatas, karena biasanya tamu-
tamu dari luar dan bahkan tetangga atau sanak saudara yang non Kristiani juga
diperbolehkan untuk bergabung sejauh mereka suka.
KBG adalah ruang untuk mengembangkan persahabatan, namun bukan
kelompok “kawan-kental” melainkan kelompok tetangga yang memiliki visi yang
sama. Pedagogi yang digunakan di KBG perlu bersifat lembut, bertahap,
berasaskan saling mendengar, dan menghargai setiap pribadi serta setiap pendapat.
 KBG adalah kelompok basis masyarakat setempat
Ciri kedua yang membedakan KBG dari kelompok-kelompok yang lain ialah KBG
sebagai basis masyarakat setempat. dalam arti paling mendalam, ialah bahwa KBG
terdiri dari orang yang berasal dari basis masyarakat, yaitu kaum kecil, kaum
tersisih, mereka yang paling bawah (basis), dan yang paling terpinggir. Maka,
semakin kita memperhatikan, mendengar, mengetahui, memerdekakan, dan
menuntun orang tersisih, kita semakin dekat dengan keprihatinan Allah Bapa yang
berbelas kasih dan hati Putera-Nya Yesus yang memaklumkan Tahun Pembebasan,
Tahun Lubilaeum.
Kita hendaknya membangun dunia yang lebih adil dan yang lebih manusiawi di
mana kita saling memandang satu sama lain sebagai saudara dan saudari. dengan
membangun satu dunia yang bebas dari diskriminasi etnis dan gender, dan dari
dominasi ekonomi atau politik, serta dari kekerasan dan kebrutalan yang dilakukan
atas nama agama.
 KBG adalah basis kerasulan
KBG menyatukan Iman dan kehidupan sehari-hari. Kelompok Basis dapat
digambarkan sebagai manusia yang mempunyai dua telinga dan satu mulut, dengan
setiap anggota yang mendengarkan Firman Allah dan juga suara rakyat; sesudah
mendengar dua suara tersebut barulah ia menyuarakan pesan profetis Injili. Jadi
kegiatan sosial dan sharing pengalaman iman berjalan bersama. KBg sendiri
memberi wajah pada lingkaran Pastoral-Misioner, yang di mana Pastoran beranjak
dari pengalaman yang terenungkan, berjalan melalui analisis sosial-budaya, dilanjut
dengan refleksi teologi, dan mencapai tujuannya dengan menjawab persoalan-
persoalan  yang ditemukan demi membuat hidup menjadi lebih manusiawi. Firman
Allah adalah denyut jantung persekuruan KBG. Doa, perayaan iman, serta
renungan Alkitabiah dan Teologis, dan hidangan Sakramental membekali para
anggota dengan kinerja Injili.
 KBG adalah Basis pemberdayaan umat awam
KBG adalah basis dari Gereja setempat, dan masyarakat setempat. KBG juga
berarti basis kerasulan, basis reksa pastoral secara menyeluruh. Komunitas Basis
bergerak di basis Gereja, akar Gereja, dan diantara kaum umat awam. Tujuan dari
KBG sendiri tidak hanya membebaskan kaum miskin dan tertindas, KBG juga
berperan untuk membebaskan kaum umat awam dari kungkungan klerikalisme
(awamisasi atau umatisasi). Tugas yang dijalankan oleh tim pimpinan KBG
merupakan tugas pelayanan  resmi dari Gereja.
 KBG adalah basis reksa pastoral transformatif  yang mempunyai prioritas yaitu ;
mengutamakan penumbuhan KBG, mengutamakan pelatihan
ketrampilan/kepemimpinan, dan menenggapi kondisi masyarakat yang sedang
bergejolak.
Selain itu beliau juga membahas tentang KBG sebagai budaya tandingan.

Setelah ceramah dari P. DR. John Prior, SVD dilaksanakan diskusi dengan berbagai
pertanyaan :

 Apakah kondisi/prasyarat yang harus ada sehingga bisa mempercepat bertumbuh


kembangnya KBG yang efektif ?
 Semakin kategorial suatu kelompok semakin sulit menjadi komunitas basis. Namun
jika kelompok-kelompok kategorial tersebut pada suatu saat memiliki ciri
komunitas basis. apakah kelompok tersebut dapat disebut komunitas basis? Apakah
harus tetap memakai nama KBG/KBI?
 Apa pengertian basis?
 Apa saja ciri-ciri Gereja yang harus ada dalam KBG?
 Di keuskupan Banjarmasin KBG dikembangkan secara bertahap dan dirintis oleh
misionaris dari Filipina. Persoalannya, apakah awal pembentukan KBG harus
dimulai denga satu atau dua kelompok atau boleh serentak di semua kelompok?
Dll.

Dra. Afra Siowardjaya

“Katekese Umat salah satu sarana membangun KBG”. Dalam ceramahnya dibahas
tentang visi dan misi komunitas basis. Komunitas basis mengambil bagian dalam visi dan
misi Yesus.  Setelah ceramah dilanjutkan dengan refleksi tentang pemahaman katekese
umat PKKI II dan Pemandu Katekese umat yang transformatif serta diskusi dengan
beberapa pertanyaan:

 Apakah kelompok basis tidak efektif kalau KU itu dikembangkan dalam kelompok
kategorial?
 Apakah benar KU terbatas pada merefleksikan konfrontasi antara pengalaman
hidup dan pesan injili. Dengan waktu yang sangat terbatas. Bagaimana dengan
hasilnya? Apakah boleh dilaksanakan sebagai rangkaian kegiatan katekese ataukah
melupakan kegiatan seksi lain?
•  KU bisa berguna menanamkan visi Yesus menjadi visi kelompok basis. Apakah praktek
KU tidak terjebak dan jatuh pada praktek katekese alkitabiah, sehingga mengakibatkan
kehilangan segi kontekstualisasinya?
•  Apakah boleh dikatakan kelompok basis menjadi lahan KU?
•  KBG mengandaikan anggota yang menetap, bagaimana dengan anggota yang sering
bergantian?

KESELURUHAN HASIL PERGULATAN PKKI VII DI SAWIRAN PASURUAN (2 JUNI S/D


30 JUNI 2000)

A. SITUASI KATEKESE UMAT (KU) DAN KELOMPOK BASIS GEREJANI (KBG)


DI LAPANGAN

KATEKESE UMAT
Hampir pada semua keuskupan telah dilaksanakan Katekese Umat, tetapi polanya
masih beragam. Bahkan masih ada yang menggunakan pola pelajaran agama,
pendalaman Kitab Suci, tetapi dinamakan saja Katekese Umat. Namun ada
keuskupan-keuskupan yang KU-nya sudah membudaya dan telah menggunakan
analisa sosial dengan baik. Di banyak tempat KU dilaksanakan pada masa APP,
Adven, bulan Mei dan Oktober, bahkan ada yang melaksanakannya secara tetap,
mingguan, atau bulanan.

KOMUNITAS BASIS GEREJANI

Dari laporan-laporan yang muncul, menjadi jelas bahwa ada kecenderungan


bahwa kelompok teritorial dan kategorial apa saja mau disebut Kelompok Basis
Gerejani.
Peran dan makna Komunitas Basis, khususnya yang teritorial sangat berbeda
dari tempat ke tempat. Misalnya, kalau hampir seluruh rakyat beragama Kristen
Katolik, maka komunitas basis hampir sama dengan rukun tetangga. Malah
pimpinan desa, dusun, dan RW, mungkin sekali sama dengan pimpinan wilayah,
lingkungan dan komunitas basis. Karena itu, wadah komunitas basis cukup kuat
sebagai basis masyarakat. Lain halnya di mana umat Kristen Katolik merupakan
minoritas kecil. Di situ Komunitas Basis terdiri dari orang yang bukan tetangga
dekat, tetapi adalah orang per orang atau keluarga-keluarga yang terpencar-pencar.
Tidak jarang basisnya dalam masyarakat berdasarkan suku, pendatang (perantau
atau transmigran dari Jawa Tengah, Bali, atau NTT misalnya).
Mudah dipahami bahwa sejarah pembentukan dan pertumbuhan komunitas atau
kelompok basis juga berbeda dari keuskupan – keuskupan. Ada yang bertumbuh
dari lingkungan (kring) atau wilayah, ada yang bertumbuh dari unit kampung atau
rukun tetangga, dsbnya.
Halangan utama dari KBG model ini adalah KBG tersebut sering dianggap
sebatas wilayah administratif paroki. Halangan atau kendala lain ialah kelompok-
kelompok itu sering menjalankan pola budaya politik atau adat yang otoriter dan
patrinalistik.

B. CIRI-CIRI KOMUNITAS BASIS GEREJANI


Seperti sudah dikatakan di atas bahwa Komunitas Basis Gerejani diberi
pengertian yang sangat berbeda dari tempat ke tempat. Ada keuskupan yang
menyebut kelompok-kelompok khusus sebagai KBG, misalnya, Legio Mariae,
Kharismatik, Kelompok Karyawan Muda Katolik, dsbnya, sebagai Komunitas Basis
Gerejani. Artinya, kelompok Gerejani mana saja dijuluki Komunitas Basis Gerejani.
Sambil mengakui bahwa sejarah perkembangan KBG berbeda dari Keuskupan ke
Keuskupan, dan basis sosialnya berbeda dari wilayah mayoritas Katolik ke wilayah
minoritas Katolik, kita masih harus bertanya: Apakah setiap kelompok boleh saja
disebut sebagai KBG?

Satu hal penting yang sungguh membedakan KBG dari organisasi Legio Mariae
dan sejenisnya ialah kenyataan bahwa tiap-tiap KBG memiliki wujud yang khas.
Lain dengan Legio Mariae serta paguyuban rohani lainnya, KBG tidak memiliki
konstitusi anggaran dasarnya. KBG adalah sebuah persekutuan yang senantiasa
bertumbuh, berkembang, berada di tengah perjalanan. KBG selalu “sedang
menjadi”. Namun, walaupun wujudnya bermacam-macam, gagasan teologi yang
melatarbelakanginya tetap sama.
Dari masukan pakar (P. John Prior SVD) dan refleksi para peserta akhirnya bisa
dirumuskan beberapa ciri KBG, antara lain:
1. KBG adalah komunitas yang relatif kecil
Komunitas Basis adalah satuan umat yang relatif kecil, di mana dimungkinkan
relasi dan komunikasi yang intensif. KBG adalah persekutuan, bukan
sekelompok orang. KBG adalah satuan Gerejani karena daya dorong dasar yang
melahirkan dan mengembangkannya adalah Roh Kristus.
2. KBG adalah komunitas yang mendasari hidupnya pada firman Allah (Kitab Suci).
Dalam menggumuli kebutuhan dan persoalan hidup nyatanya sehari-hari
komunitas ini selalu menimba inspirasi dan kekuatannya dari Kitab Suci. Kitab
Suci menjadi pegangan hidup mereka.

3. KBG selalu berorientasi pada kaum kecil


Komunitas Basis ini terdiri dari orang-orang kecil dan mereka yang
memiliki keprihatinan dan keberpihakan pada orang kecil.Mereka melihat,
mendengar, dan merasa seperti orang kecil. Mereka menghayati keprihatinan dan
keberpihakan Kristus sendiri.
4. Komunitas Basis ini adalah komunitas yang terbuka
Komunitas yang menerima siapa saja, ayah, ibu, anak-anak, kaya-miskin,
dari strata sosial dan kebudayaan mana saja.
5. Komunitas Basis ini adalah komunitas yang menghayati pola hidup alternatif
Ia diharapkan menghayati budaya tandingan, tidak terbawa arus, misalnya:
semangat konsumerisme, ketidakadilan, korupsi, kesewenang-wenangan dan
kekerasan, diskriminasi, dst.
6. KBG diharapkan menjadi basis pemberdayaan umat awam

C. KATEKESE UMAT YANG MENUNJANG KOMUNITAS BASIS GEREJANI


Peserta PKKI VII dapat melihat beberapa peran KU terhadap KBG, antara lain:
1. KU menghantar umat membangun komunitas, saling mengenal secara lebih
mendalam, serta menyadari mengapa kita perlu berkomunitas. Orientasi KU
bukan sebagai kegiatan yang dihadiri sekelompok umat, melainkan KU sendiri
menjadi satu peristiwa umat berkomunio.  Maka, suasana pola relasi di antara
mereka menjadi satu tujuan yang penting.Dalam komunitas ini persaudaraan
mulai dibangun. Tidak ada persaudaraan yang bisa ditumbuhkan tanpa proses
saling mengenal yang semakin mendalam. Melalui proses itu, kepekaan terhadap
suka dan duka anggota sekomunitas ditumbuhkan, terutama suka duka anggota
komunitas yang paling lemah dan menderita. Lalu bersama-sama mencarikan
jalan untuk membebaskan mereka dari belenggunya. Kepekaan akan kesetaraan
(kaya-miskin, tua-muda/senior-yunior, perempuan-laki-laki, etnis dsbnya)
menjadi basis pertumbuhan komunitas. Kepekaan terhadap lingkungan hidup juga
mendapat tempat penting dalam komunitas. Pemandu KU tidak hanya seorang
ahli berproses, tapi juga seorang yang sangat mampu menciptakan suasana dan
membangun relasi, terutama dengan yang paling lemah, minder, miskin dalam
komunitasnya, dan emampukan mereka bersuara dan berperan serta. Pemandu
KU mempunyai visi ymang jelas dan kepekaan terhadap nilai-nilai dasar
pertumbuhan komunitas.
2. KU menghantar semua anggota komunitas memiliki visi, misi, dan spiritualitas
yang sama. Sebagai komunitas murid-murid Yesus (Gereja), komunitas
merefleksikan pengalaman berkomunitas dalam terang injil. Apa arti menjadi
murid-murid Yesus? Siapa Yesus? Apa visi dan misiNya? Mengenal Yesus dari
Nazaret dengan misiNya untuk membangun Kerajaan Allah menjadi sentral dan
dasar hidup komunitas. Membangun komunitas bukan lagi hanya merupakan
pengalaman manusiawi, melainkan pendalaman iman, perwujudan iman itu
sendiri. Untuk itu, seorang pemandu KU hendaknya memiliki visi dan misi Yesus
cukup jelas dan sejauh mungkin terinternalisasi dalam hidup dan karyanya. Dan
perlahan-lahan semua anggota dihantar ke visi yang sama. Pengalaman hidup
berkomunitas yang ditumbuhkan, direfleksikan, dalam pertemuan/KU dan dari
refleksi dicarikan perwujudannya dalam komunitas. Dengan kata lain, KU dengan
proses Aksi – Refleksi Iman – Aksi, dst, merupakan sarana pertumbuhan
komunitas.
3. KU mengamalkan kesederajatan. Pemimpin hanya fasilitator. Maka KU dapat
membantu semua anggota komunitas memahami dan mempraktekkan
kepemimpinan partisipatif yang menjadi sentral dalam membangun komunitas.
Dengan kepemimpinan pastisipatif dan karakter-karakternya yang sarat dengan
nilai-nilai Kerajaan Allah, terutama nilai kesetaraan dan option for the poornya,
komunitas basis dapat berkembang dengan baik.vBahan-bahan kepemimpinan
banyak dikembangkan dalam ilmu manusia.

PKKI VIII
PKKI VIII dilaksanakan pada tanggal 22 - 27 Februari 2004, yang bertempat di
Malang dengan tema “Membangun Komunitas Basis Gerejawi Berdaya Transformatif
Lewat Katekese umat”. PKKI VIII memfokuskan perhatian pada evaluasi dan refleksi
tentang implementasi KBG sebagai cara hidup bergereja secara baru dan peranan
katekese umat kepadanya. Latar belakang tema ialah KBG belum menyentuh dimensi
sosial, politik, dan ekonomi sehingga tidak memiliki daya transformatif bagi kehidupan
masyarakat banyak. sehingga kita diajak untuk mengembangkan KBG sebagai wujud dari
terang dan garam dunia.
Peserta : Komkat KWI ( tiap keuskupan 3 anggota untuk Jawa dan 2 anggota
untuk luar Jawa), Tamu dari Bimas Katolik pusa, OC: mahasiswa IPPI Malang

Proses :

1. Pembukaan dilanjutkan dengan makan-makan dan perkenalan.


2. Pertemuan Regio guna melaporkan perkembangan dan refleksi mereka atas
perkembangan KBG di regio masing-masing. Refleksi I merupakan refleksi
umum atas laporan regio ini.
3. Masukan dari narasumber.
 KBG ditinjau dari segi Sosio Politik ( Rm. Amatus Woi, SVD )
 KBG ditinjau dari segi Sosial Ekonomi ( Bp. A. Margana )
 KBG ditinjau dari segi Theologi ( Rm. C. Putranta, SJ.)

Refleksi II merupakan refleksi umum atas masukan dan tanggapan sidang atas
perkara ini.

4. Dolan makan apel di kebun apel.


5. Mencari gagasan berkaitan dengan Katekese Umat yang dapat mengembangkan
KBG berdimensi sosial politik dan ekonomi. Dilakukan dalam kelompok
campuran Regio. Refleksi III merupakan refleksi umum atas gagasan-gagasan
yang berkaitan dengan Katekese Umat, yang diharapkan/ diperkirakan akan dapat
mengembangkan KBG yang berdimensi sosial politik dan ekonomi sejauh
ditemukan oleh Regio.
6. Mencari Tema-tema pokok Katekese Umat yang menunjang Pengembangan KBG
yang Berdimensi Sosial politik dan Ekonomi. Dilakukan dalam kelompok Regio.
Refleksi IV merupakan refleksi umum atas usulan-usulan tema pokok yang
diharapkan/ diperkirakan akan bisa menunjang Pengembangan KBG yang
berdimensi Sosial politik dan Ekonomi. Diakhiri dengan kesimpulan-kesimpulan.
7. Informasi berkaitan dengan buku PAK baru, berbasis kompetensi, oleh Komkat
KWI, penerbit Kanisius dan Bimas Katolik. Rapat Pleno Komkat KWI.

MASUKAN/GAGASAN PARA PAKAR: MEMBANGUN KBG YANG BERDATA


TRANSFORMATIF

A. DIMENSI SOSIAL POLITIK DALAM  KBG

Keterlibatan Sosial Politik dalam Pandangan Iman Katolik (P. Dr. Amatus Woy,
SVD)

1. Bidang Sosial Politik Sebagai Elemen Substansi dan Integral Iman Kristiani. Dalam
konsep Kristiani pengakuan Iman dan perbuatan, baik dalam kehidupan bersama,
membentuk satu kesatuan yang erat. Iman sebagai pengajuan dapat menjadi suatu
penipuan dan pemalsuan belaka jikalau tidak dibuktikan dalam perbuatan dan gaya
hidup. Iman bagaikan satu pohon, yang dapat dikenal dan diidentifikasikan lewat
buah-buah, yaitu perbuatan-perbuatan konkrit. Hubungan antara pohon dan buah
sebagai metafora hubungan antara iman dan perbuatan sering digunakan Yesus dalam
pewartaan-Nya (Mat 12, 33c; Luk 6, 44a).
Gereja sebagai elemen atau komponen keagamaan masyarakat, sebagaimana
agama-agama pada umumnya, secara khusus pembaptisan, penguatan, pengakuan,
ekaristi, pernikahan, dan tahbisan. Atau menghitung statistik kehadiran dalam ibadat,
baik lingkungan maupun paroki. Unsur sosial-politik tidak atau paling kurang hingga
kini belum dimasukan sebagai kriterium penilaian keberhasilan dan kegagalan hidup
keagamaan atau iman kita.
Namun situasi sosial-politik umat dan masyarakat pada umunya sesungguhnya
menjadi barometer sikap iman dan diposisi jiwa/rohani umat. situasi sosial-politik,
yang acap kali hanya dibebankan dan dipikulkan pada bahu negara tidak lain adalah
ekspresi jiwa dari manusia-manusia pembentuk masyarakat tersebut.
KBG kita sudah dewasa, mendalam, ataukah iman kita pincang, palsu dan mati,
yang berarti sesungguhnya kita tidak beriman Kristiani, melainkan menganut atau
menghidupi suatu kesia-siaan. Aspek sosial-politik dapat menjadi media dan
kekuatan mata kita untuk menilai keadaan kehidupan iman secara benar. Ia dapat
menghindari kita dari rasa bangga yang tidak profesional, sambil tidak melupakan
karya sosial-karitatif yang dibuat dan diemban dibawah panji-panji gereja hingga
dewasa ini.
2. Model-model Penghayatan Sosial-Politik dalam Agama-agama
 Pertama, Model Refrentasi Ontokratik
 Kedua, Model Kekuasaan Teo-nomis
 Ketiga, Model Pemisahan
 Keempat, Model Keterlibatan Kritis
3. Bentuk dan Arah Dasar Keterlibatan Sosial-Politik Komunitas Basis Gerejawi:
Option/Preference for the Poor
Keterlibatan sosial-politik merupakan bagian integral iman kristen. Oleh karena
itu keterlibatan sosial-politik Komunitas Basis Gerejawi merupakan bagian yang utuh
dari kehidupan iman kristen dari segenap orang beriman.
Peran Sosial Politik KBG; Hakikat, Teologi dan Spiritualitasnya (P. Dr. Amatus
Woy, SVD)
1. KBG Sebagai Titik Silang Perwujudan Nilai-nilai
2. Dimensi Sosial-Politik KBG

B. DIMENSI SOSIAL EKONOMI  DALAM KBG

Komunitas Basis Gerejawi dan Pemberdayaan Ekonomi Kecil (Oleh Drs. A.


Margana, M.Si)

1. Komunitas Basis Gerejawi


2. Kaum Miskin
3. Komunitas Basis dalam Pemberdayaan Kaum Miskin

Ringkasan Pokok-pokok Materi yang Telah Dipresentasikan:

1. Komunitas Basis berdasarkan Dokumen Gereja

 Federasi Konferensi Para Uskup Asia (FABC), Bandung, 1990: Gereja adalah
Persekutuan paguyuban-paguyuban (CC), di mana kaum awam, imam, dan
biarawan-biarawati, saling mengakui dan menerima sebagai saudara-saudari,
dipanggil dan dibimbing untuk membentuk KBG (SCC), mereka berdoa dan
sharing Injil, dan membawanya ke kehidupan keseharian.
 Paus Yohanes Paulus II (Ensiklik Church Missionary Mandate); Komunitas Basis
Gerejani merupakan tanda dari daya hidup atau vitalitas Gereja sendiri.
2. Ciri-ciri KB (untuk menandai suatu kelompok sebagai KB)
 Persekutuan Umat yang relatif kecil, saling mengenal, tinggal berdekatan
(teritorial) dan punya kepentingan bersama (kategorial), dan rutin berkumpul.
 Berdoa, membaca Kitab Suci, sharing Kitab Suci-sharing iman berdasarkan Kitab
Suci (bukan Bible Study)
 Berbicara masalah keseharian, berdiskusi mencari solusi, aksi nyata dengan
terang Alkitabiah.
 Di bawah payung Gereja Universal

Dengan 4 ciri tersebut KB adalah Gereja yang nyata  ditingkat akar rumput.
Concern Gereja adalah orang miskin dan orang tertindas, serta berjuang memerangi
ketidakadilan, berjuang untuk HAM dan demokrasi.

3. Tujuh pantangan KB (berdasarkan Evangelii Nuntiandi)


 Jangan biarkan diri direkayasa untuk politik sempit
 Jangan hanya sibukkan diri dengan urusan rohani, dengan mengabaikan
penderitaan sekitar.
 Jangan menafsirkan KS harafiah dan sectarian
 Jangan kebanyakan aktif dibidang bisnis, proyek pembangunan, main uang. itu
sumber korupsi dan perpecahan
 Jangan tertutup terhadap sesama KBG
 Jangan mengabaikan menggereja secara baru yang memperjuangkan keadilan dan
transformasi
 Jangan menjadikan KBG sebagai label semata

Di bidang ekonomi diperlukan keahlian khusus. Bila KB terjun ke dalamnya ada


bahaya pemecatan, dsb. Apabila bisnis yang terkait dengan money game. Contoh: multi
level marketing (MLM), sasaran MLM adalah keluarga, dan komunitas terdekat. Bisa
saja KB bahkan pastor dilibatkan.

4. Apa yang mesti dilakukan, mengikuti pantangan itu?


 KB tidak menutup mata bagi derita di sekitarnya
 Tidak eksklusif, sektarian, merasa paling benar
 Menghindarkan bisnis, main uang, terlibat proyek pembangunan yang
konsumeristik
 Membawa transformasi bagi masyarakat sekitarnya
 Dalam kegiatan usaha/bisnis untuk pengentasan kemiskinan, usahakan sejauh
mungkin KBG mencari mitra, bukan pelaku langsung
 Salah urus, kurang ahli, KBG bisa rusak dan pecah.
5. KB perlu memiliki spiritualitas. Spiritualitas ditumbuhkan dengan sharing Injil tujuh
langkah.
 (pertama) Mengundang Tuhan
 (kedua) Membaca KS
 (ketiga) Melantunkan kata/ ayat KS yang paling menyentuh
 (keempat) Hening, merenungkan sabda Tuhan di hati kita
 (kelima) Sharing (berbagi) pengalaman iman berdasarkan sabda Tuhan yang
paling menyentuh
 (keenam) Aksi nyata: membicarakan masalah nyata disekitar, mencari solusi,
berbagi tugas (5W+1H)
 (ketujuh) Doa penutup: Spontan
6. Dari sharing itu, komunitas diharapkan sampai pada aksi nyata, yakni:
 Sharing Injil 7 langkah menjadi dasar spiritualitas aksi nyata KBG
 Dalam langkah 6, mereka membahas masalah keseharian, dan dengan terang Injil,
mereka mengadakan aksi bersama untuk anggota, masyarakat sekitar, dan alam
lingkungan. Keputusan itu bukan sekedar niat atau ujub.
 Pemberdayaan ekonomi kecil bisa menjadi bagian dari aksi nyata KBG.
7. Berbagai istilah dirumuskan oleh konsili Komisi Teologi KWI; KBG, KBM, KBAI.
 KBG: empat ciri KBG. Persekutuan umat beriman. Kehidupan iman dan
keseharian disatupadukan, menghantar anggotanya ke sikap sosial, perjuangan
keadilan, kemiskinan, tertindas, mediasi konflik rekayasa elite.
 KBM: paguyuban tak dibatasi agama/iman, berjuang kurangi penderitaan,
membawa hidupnya sendiri menuju transformasi.
 KBAI: paguyuban antar pemeluk agama yang berbeda, saling pendalaman iman,
transformasi kehidupan, dialog antar iman.
8. Bagaimana ketiganya dapat memperjuangkan pengentasan kemiskinan?
 KBG: gerak menggereja kontekstual, mampu memberdayakan kaum miskin, baik
di dalam maupun di sekitarnya.
 KBM: memungkinkan punya jaringan lebih luas karena tak ada batas
agama/iman.
 KBG-KBG bisa memanfaatkan KBM untuk penanggulangan kemiskinan. Tak
semua unsur KBG mesti terlibat dalam KBM.
 KBAI: lebih menekankan dialog. Transformasi rakyat miskin bisa dilakukan
lewat KBG/KBM
9. KBG dan Pemberdayaan Kaum Miskin
 Kegiatan KBG misalnya, membantu dan mendampingi kaum kecil. Beberapa
anggota KBG ditugaskan untuk itu, terutama bila yang dibantu di luar KBG.
 Unsur KBG mengusulkan  di KBM untuk pemberdayaan ekonomi kecil.
 KBG menghimpun modal untuk pemberdayaan ekonomi kecil.
 KBG-KBG mengusahakan anggota-anggotanya yang duduk di KBM untuk
program penanggulangan kemiskinan.
10. Siapakah kaum miskin?
 Ukuran pengeluaran (US$)
 Konsumsi beras (Sayogya)
 Kemiskinan: ketidakmampuan seseorang untuk mendapatkan makan, pakaian,
rumah, pelayanan kesehatan, dll yang layak.
 Kemiskinan: kondisi tidak terpenuhinya berbagai kebutuhan dan pelayanan dasar
untuk hidup dan berkembang secara bermartabat.
11. Penanggulangan kemiskinan terarah pada upaya: (Sasaran penanggulangan kemiskinan)
 Mengurangi beban konsumsi kelompok miskin dengan BLM (Bantuan Langsung
Masyarakat), BOP (Bantuan Operasi Pembangunan), dll.
 Meningkatkan produktivitas: peningkatan pendapatan (UMKM), dengan program,
pendanaan, dan pendampingan.
 Dalam otonomi daerah, Pemda berperan aktif menanggulangi kemiskinan.
12. Peran KBG untuk memberdayakan kaum kecil:
 Kaum miskin jadi pusat usaha penanggulangan kemiskinan itu sendiri. Mereka
dilibatkan untuk mencari solusi. Kaum miskin bukan obyek, melainkan pusat.
 Partisipasi aktif, mereka dilibatkan, menganalisis, merencanakan, melaksanakan,
dan mengevaluasi dalam usaha penanggulangan kemiskinan.
 KB bermitra dengan kaum kecil
 KBG memberdayakan secara berkelanjutan
 Mendorong kaum miskin untuk menolong diri sendiri (self help)
 Mengikuti perkembangan yang dinamis dari si miskin
13. Kemiskinan: Masalah Nyata Gereja!
 KBG harus terlebih dahulu terbebas dari kemiskinan, agar memiliki krtahanan
yang tangguh.
 Kemiskinan masalah kompleks, tak bisa diatasi hanya dengan teori pembangunan
 Karakteristik daerah dan pelaku tertentu harus diperhatikan, KBG yang berada di
sana lebih memahami sekitarbya ketimbang yang diatas
 KBG sebagai lembaga dan gerakan sangat dekat dengan kaum miskin
disekitarnya. Pemberdayaan kaum miskin lewat KBG bisa lebih cepat dan tepat.

RENCANA DAN TINDAK LANJUT MEMBANGUN KBG BERDAYA TRANSFORMATIF


LEWAT KU
A.  Rencana-Aksi Setiap Regio
1. Regio Sumatra

a) Spiritualitas Untuk Membangun Hidup Gereja yang Kontekstual di Sumatra. Umat


Katolik Sumatra sebagian besar adalah Gereja diaspora yang hidup sebagai komunitas
minoritas kecil ditengah-tengah masyarakat yang beragama dan berbudaya lain. Dalam
situasi seperti itu Gereja Katolik Sumatra harus membuka diri kepada masyarakat dan
menjadi bagian dari masyarakat tersebut. Seperti Yesus turun ke dunia, berjuang dengan
manusia dan berani mati demi manusia agar sampai kepada kebangkitan; demikianlah
Gereja Sumatra harus menjadi komunitas yang terbuka dan menjadi bagian dari
masyarakat, sehingga Gereja tidak lagi dipandang “benda asing” ditengah masyarakat,
tetapi menjadi milik dan bagian dari masyarakat itu sendiri.
b) Maka Gereja Sumatra memiliki beberapa tema dalam KU yang dapat dikembangkan,
yaitu: Gereja sebagai Sakramen Keselamatan, kesetiakawanan, membangun persaudaraan
sejati, pengorbanan, pengampunan, menghargai keanekaragaman.

2. Regio Semarang

a) Gereja Semarang lebih mengutamakan bagaimana KU bisa mengembangkan Gereja


secara kontekstual. Dengan beberapa sikap yang diambil oleh gereja Semarang agar
tujuan KU dapat terealisasi yaitu dengan sikap siap mendengarkan Tuhan dan sesama,
mendahulukan dan menghargai orang lain, memperhaikan persaudaraan pelayanan serta
mau bekerja sama dengan orang lain. Untuk mencapai tujuan diatas gereja.
b) Semarang memiliki tema untuk dikembangkan, yaitu : spiritualitas belarasa yang
berdimensi sosial politik, sosial ekonomi, sosial budaya serta lingkungan hidup.

3. Regio Jakarta

a) Dalam kesempatan ini regio Jakarta memiliki pendapat Spiritualitas keterlibatan yang
bersumber pada “ Pathos Allah “ dengan memperhatikan unsur peduli terhadap sesama,
memikul salib, semangat dalam persekutuan serta berani berkorban dan melayani
masyarakat.
b) Maka dari itu regio Jakarta memiliki beberapa tema yang dapat dikembangkan dalam KU
yaitu, kerukunan dalam lingkungan hidup, memperhatikan kesetaraan, narkoba,
HIV/AIDS, kekerasan, dan kesetiaan dalam hidup perkawinan.

4. Regio Kalimantan

a) Spiritualitas : Roh/semangat/jiwa menggerakkan menuju Kalimantan baru. Dasarnya


alam seluruh isinya menghidupkan manusia (hutan, sungai, udara dan tanah). Namun
sekarang alam telah rusak (air, tanah, hutan dan udara). Maka muncullah berbagai
penyakit yang melanda masyarakat, dan memunculkan system yang menindas seperti ;
mengurung, pembodohan, pemecah belah, penghacuran budaya, perjudian,
pelacuran,miras, dan mengejar kenikmatan hidup. Berdasarkan beberapa hal tersebut
maka spiritualitas yang diharapkan adalah; pembebasam tanpa kekerasan, setia kawan,
persaudaraan, partisipatif, solider, cinta kasih, inkarnasi, kemandirian,
keadilan/perdamaian, kemuritan Yesus, cinta ekologi, harmonisasi dan persamaan
martabat.
b) Secara umum pembebasan partisipatif tanpa kekerasan menuju Kalimantan baru perlu
memperhatikan hal tersebut; keutuhan ciptaan, martabat manusia, keadilan/perdamaian,
gerakan cinta alam, gerakan cinta kehidupan, hidup sebagai anugerah, tanggung jawab
yang membebaskan, system yang menindas, peningkatan taraf hidup, mandiri dalam
kebersamaan dan rekonsilisasi.
5. Regio Papua

a) Regio papua memilih spiritualitas: pembawa damai “ Tuhan jadikanlah aku pembawa
damai “ dengan tema membangun budaya damai dan rekonsilisasi.
b) Dengan tema ini maka muncullah tema-tema kecil yang diantaranya adalah partisipasi,
kebersamaan dan toleransi menghargai, komunikasi/informasi kesehjateraan, rasa aman
dan nyaman, kemandirian, harga diri dan pengakuan serta keutuhan/harmoni.

6. Regio MAM

a) Ada beberapa spiritualitas yang dipilih seperti janda miskin, anak yang hilang dan jemaat
perdana.
b) Ketiga jenis spiritualitas tersebut diaktualisasikan dan tergambar dalam tema-tema kecil
yaitu; membangun budaya pengorbanan, budaya pengampunan, bertumbuh dalam budaya
belas kasih, budaya rekonsilisasi, membangun budaya persaudaraan sejati, budaya
keadilan, menuju kemandirian, membangun jemaat yang beriman dan berbudaya,
menumbuhkan kepekaan, dan berkata Ya dalam kebenaran dan tidak pada kebenaran.

7. Regio Nusa Tenggara

a) Regio ini memiliki spiritualitas yang dapat membangun hidup Gereja yang Kontekstual
yang akhirnya memunculkan berbagai tema.
b) Tema-tema tersebut ialah; konflik sekitar tanah, diskriminasi terhadap perempuan,
kemajemukan-ketertutupan dan fanatisme, Gereja dan kekuasaan, iman dan kebudayaan.
Regio ini mempunyai program yang sudah dibicarakan dan disepakati dalam konfrensi
wali Gereja Regio Nusra. Kesepakatannya yakni, membagikan tema-tema pada setiap
keuskupan (Komkat) untuk diolah Katekesenya pada pertemuan Komkat diruteng,
September 2003. Selanjutnya tema Katekese akan dibahas pada pertemuan komkat
tahunan se-Regio Nusra, September 2004 di Atambua.

SUMBER REFRENSI

https://komkat-kwi.org/2014/02/26/pertemuan-kateketik-antar-keuskupan-se-indonesia-ke-
vii/
Komisi Kateketik KWI. 2002. Katekese Umat Komunitas Basis Gerejani, Revisi Kurikulum
PAK. Jakarta: Penerbit Komisi Kateketik KWI.

https://komkat-kwi.org/2014/02/26/pertemuan-kateketik-antar-keuskupan-se-indonesia-ke-
viii/

Komisi Kateketik KWI. 2005. Membangun Komunitas Basis Berdaya Transformatif Lewat
Katekese Umat. Jakarta: Penerbit Komisi Kateketik KWI.

Anda mungkin juga menyukai