Disusun oleh :
1.Henrikus Reyan Rihasdi 191124052
2.Selviana Soklin 191124058
3. Centuri Jantika 191124080
PKKI VII dengan tema “Katekese Umat dan Kelompok Basis Gerejani” diselenggarakan
di Wisma Sawiran, Nongkojajar, Malang, Jawa Timur, pada tanggal 24 -30 Juni 2000. PKKI VII
ini merupakan persiapan untuk menunjang “Pertemuan Gereja Katolik Indonesia, dengan tema
“Memberdayakan Komunitas Basis Gerejani Menuju Indonesia Baru”. Para peserta yang hadir
terdiri dari wakil pelbagai Komkat Keuskupan di Indonesia, lembaga-lembaga pendidikan
kateketik, wakil pendidikan seminari, para pakar Kitab Suci, Teologi, Kateketik dan
Kurikulum/Pendidikan. Dalam pertemuan ini, para pewarta saling mensharingkan pengalaman
aktual tentang Katekese Umat yang berkaitan dengan Gereja Lokal yang paling kecil, yaitu
Komunitas Basis Gerejani yang sedang bertumbuh di banyak Gereja, keuskupan saat ini.
Hampir semua keuskupan telah melaksanakan Katekese Umat walaupun polanya masih
beragam. Bahkan ada yang masih menggunakan pola pelajaran agama atau pendalaman Kitab
Suci. Ada keuskupan yang telah membudayakan KU dan menggunakan analisa sosial dengan
baik. Dibanyak tempat KU dilaksanakan pada masa APP, Adven, Mei dan Oktober. Bahkan ada
yang melaksanakannya secara tetap, mingguan atau bulanan. Dari laporan yang muncul jelas
bahwa kelompok teritorial atau kategorial apa saja mau disebut Kelompok Basis Gerejani.
Pertemuan PKKI VII ini diawali dengan Misa pembukaan kemudian Homili ketua Komisi
Kateketik KWI dengan tema mewujudkan tahun YUBELIUM AGUNG menjadi tahun Rahmat
Tuhan sebagai perwujudan dari sikap dasar dan cara Yesus Menyelamatkan Manusia. Yesus tidak
menyelamatkan manusia dari Surga dan sebatas kata-kata, tetapi terjun ke dunia manusia untuk
solider dalam semua segi pengalaman manusia sampai pada pengalaman penderitaan dan kematian
secara tragis. Dengan fokus pergumulan pada Kelompok Basis Gerejani, PKKI VII dan Pertemuan
Gereja Katolik Indonesia diadakan dalam rangka perayaan tahun Yubelium 2000, moment Gereja
Indonesia berbenah diri memasuki milenium baru, yaitu tahun gerakan sosial dan gerakan moral
supaya manusia dapat hidup secara adil dan bermartabat.
Sambutan dari Direktur Jenderal BIMAS KATOLIK Drs. Stef Agus yang intinya adalah
bahwa kita semua/pemerintah dan mitranya (agama-agama) diajak untuk menjadikan nilai-nilai
agama sebagai aset atau modal demi “menggalang persaudaraan sejati” dalam membangun
bangsa, menjemput masa depan, abad baru, dan milenium baru dengan harapan mewujudkan
kepedulian dan perhatian semua pihak (pejabat-pejabat Hierarki Gereja dan pembina atau relawan
pelaksana yang terpadu).
Peserta PKKI VII tahun 2000 adalah para Katekis yang datang dari berbagai keuskupan di
Indonesia yang mensharingkan pelaksanaan KU (Katekese Umat) di Keuskupan masing-masing
(dari lima Regio Keuskupan) berkaitan dengan kelompok basis gerejani kalangan umat katolik
Indonesia.
Setelah laporan dari masing-masing regio keuskupan dilanjutkan ceramah oleh P. Dr. JOHN
PRIOR, SVD dengan tema “Tegar Mekar Komunitas Basis Gerejani” dengan memberdayakan
KBG sebagai budaya tandingan.
Hasil evaluasi:
Positif:
Negatif:
KBG
Tema diambil dari KWI, disesuaikan dengan keadaan setempat. PSE adalah
koordinatornya, sehingga bahan tidak cukup mendukung KU yang di cita-citakan
PKKI II.
Dilakukan oleh komkat, namun ada juga yang bekerja sama dengan sejumlah
komisi.
Bahan cukup sesuai KU tetapi belum bisa sesuai standar PKKI II
KBG hanya berjalan di daerah kabupaten Purwokerto selatan, diawali dengan SOD
bagi para pastor paroki.
Di malang bergerak melalui PSE dan juga ada dari kelompok evangelisasi.
Di KAS khususnya mulai berkembang di Surakarta
Di Surabaya ada sejumlah kelompok kecil tapi tidak begitu jelas apakah itu KBG
atau bukan
f. Pelaksanaan KU-KBG Regio Papua
Katekese umat
Diperkenalkan KU pada para petugas dan selanjutnya kepada umat.
Proses KU meliputi : persiapan, pelaksanaan, evaluasi, dukungan, dan hambatan.
Fasilitator diambil dari aktivis umat, tokoh adat, petugas pastoral, katekis, dan guru
agama.
Ada dua jenis bahan, yaitu bahan yang terikat dan bahan yang bebas.
Pelaksanaan dilakukan dalam kelompok; kring, rukun lingkungan, stasi, dan umat
kategorial.
Pelaksanaannya dilakukan pada masa BKSN, adven, APP dan rekoleksi masal.
Kelompok yang ada; kring, rukun lingkungan, dan stasi. Sedangkan pada kelompok
kategorial; WK, dan OMK
TENTANG KATEKESE
1. Mengapa kehadiran ibu-ibu dianggap sebagai kelompok yang negatif atau diperhitungkan
sebagai kelemahan? (Regio Nusa Tenggara).
2. Apa maksudnya bahwa kebutuhan-kebutuhan bahan disusun menurut kebutuhan
keuskupan? ( Regio Nusa Tenggara )
3. Apa yang di maksud bahwa KBG baru muncul pasca kerusuhan di Surakarta? (Regio
Semarang)
4. Apa yang dimaksud banyak pemuka umat tidak siap? ( Regio Jakarta)
5. Dalam laporan regio Jakarta disebutkan adanya evaluasi tentang KU, apakah dalam hal ini,
peserta dilibatkan dalam evaluasi katekese tersebut.
6. Membaca laporan kelompok Nusa Tenggara di khawatirkan keadaan yang sesungguhnya
jauh lebih kaya, beragam, lebih hidup daripada apa yang tampak dalam laporan. Apakah
kelompok mempunyai informasi keberadaan kelompok-kelompok basis yang
terkonsentrasi atau tersebar di keuskupan, apakah jumlahnya diketahui?
7. Pelaksanaan KU, juga terjadi diluar masa APP khususnya bulan Oktober dan Mei, apakah
ada alasan tertentu dilaksanakan dalam bulan ini? ( Regio Nusa Tenggara ).
8. KU berjalan dalam pendalaman iman, APP, adven, sharing pengalaman KU yang
bagaimana yang berjalan dalam pendalaman iman? (Regio Nusa Tenggara)
9. Dalam pelaksanaan KU tidak tepaku pada ansos atau SOTARAE tetapi lebih mau
mengajak orang untuk sampai pada situasi konkrit, yaitu aksi. ( Regio Nusa Tenggara).
10. Dikatakan bahwa dalam keuskupan masih kurang adanya kesepakatan tentang KU.
Apakah ada usaha untuk mengumatkan KU?( Regio Kalimantan ).
11. Dalam laporan regio Kalimantan dikatakan bahwa para pastor tidak mendukung adanya
KU. Bagaimana hubungan kerja antara pastor dan katekis hingga terjadi hal yang
demikian? (Regio Kalimantan )
12. KU kurang dikenal. Apa maksudnya? (Regio Sumatra)
13. KU tidak dilaksanakan secara murni, tetapi KU dilaksanakan dengan modifikasi. Lalu
bagaimana modifikasi itu dilaksanakan? (Regio Sumatra)
14. Apakah yang dimaksud dengan komunitas percontohan? (Regio Kalimantan)
15. Mengapa umat belum membutuhkan atau belum tertarik dengan KU? (Regio Kalimantan)
16. Apa yang dimaksud dengan KBG sebagai kegiatan tandingan? (Regio Nusa Tenggara)
Setelah ceramah dari P. DR. John Prior, SVD dilaksanakan diskusi dengan berbagai
pertanyaan :
“Katekese Umat salah satu sarana membangun KBG”. Dalam ceramahnya dibahas
tentang visi dan misi komunitas basis. Komunitas basis mengambil bagian dalam visi dan
misi Yesus. Setelah ceramah dilanjutkan dengan refleksi tentang pemahaman katekese
umat PKKI II dan Pemandu Katekese umat yang transformatif serta diskusi dengan
beberapa pertanyaan:
Apakah kelompok basis tidak efektif kalau KU itu dikembangkan dalam kelompok
kategorial?
Apakah benar KU terbatas pada merefleksikan konfrontasi antara pengalaman
hidup dan pesan injili. Dengan waktu yang sangat terbatas. Bagaimana dengan
hasilnya? Apakah boleh dilaksanakan sebagai rangkaian kegiatan katekese ataukah
melupakan kegiatan seksi lain?
• KU bisa berguna menanamkan visi Yesus menjadi visi kelompok basis. Apakah praktek
KU tidak terjebak dan jatuh pada praktek katekese alkitabiah, sehingga mengakibatkan
kehilangan segi kontekstualisasinya?
• Apakah boleh dikatakan kelompok basis menjadi lahan KU?
• KBG mengandaikan anggota yang menetap, bagaimana dengan anggota yang sering
bergantian?
KATEKESE UMAT
Hampir pada semua keuskupan telah dilaksanakan Katekese Umat, tetapi polanya
masih beragam. Bahkan masih ada yang menggunakan pola pelajaran agama,
pendalaman Kitab Suci, tetapi dinamakan saja Katekese Umat. Namun ada
keuskupan-keuskupan yang KU-nya sudah membudaya dan telah menggunakan
analisa sosial dengan baik. Di banyak tempat KU dilaksanakan pada masa APP,
Adven, bulan Mei dan Oktober, bahkan ada yang melaksanakannya secara tetap,
mingguan, atau bulanan.
Satu hal penting yang sungguh membedakan KBG dari organisasi Legio Mariae
dan sejenisnya ialah kenyataan bahwa tiap-tiap KBG memiliki wujud yang khas.
Lain dengan Legio Mariae serta paguyuban rohani lainnya, KBG tidak memiliki
konstitusi anggaran dasarnya. KBG adalah sebuah persekutuan yang senantiasa
bertumbuh, berkembang, berada di tengah perjalanan. KBG selalu “sedang
menjadi”. Namun, walaupun wujudnya bermacam-macam, gagasan teologi yang
melatarbelakanginya tetap sama.
Dari masukan pakar (P. John Prior SVD) dan refleksi para peserta akhirnya bisa
dirumuskan beberapa ciri KBG, antara lain:
1. KBG adalah komunitas yang relatif kecil
Komunitas Basis adalah satuan umat yang relatif kecil, di mana dimungkinkan
relasi dan komunikasi yang intensif. KBG adalah persekutuan, bukan
sekelompok orang. KBG adalah satuan Gerejani karena daya dorong dasar yang
melahirkan dan mengembangkannya adalah Roh Kristus.
2. KBG adalah komunitas yang mendasari hidupnya pada firman Allah (Kitab Suci).
Dalam menggumuli kebutuhan dan persoalan hidup nyatanya sehari-hari
komunitas ini selalu menimba inspirasi dan kekuatannya dari Kitab Suci. Kitab
Suci menjadi pegangan hidup mereka.
PKKI VIII
PKKI VIII dilaksanakan pada tanggal 22 - 27 Februari 2004, yang bertempat di
Malang dengan tema “Membangun Komunitas Basis Gerejawi Berdaya Transformatif
Lewat Katekese umat”. PKKI VIII memfokuskan perhatian pada evaluasi dan refleksi
tentang implementasi KBG sebagai cara hidup bergereja secara baru dan peranan
katekese umat kepadanya. Latar belakang tema ialah KBG belum menyentuh dimensi
sosial, politik, dan ekonomi sehingga tidak memiliki daya transformatif bagi kehidupan
masyarakat banyak. sehingga kita diajak untuk mengembangkan KBG sebagai wujud dari
terang dan garam dunia.
Peserta : Komkat KWI ( tiap keuskupan 3 anggota untuk Jawa dan 2 anggota
untuk luar Jawa), Tamu dari Bimas Katolik pusa, OC: mahasiswa IPPI Malang
Proses :
Refleksi II merupakan refleksi umum atas masukan dan tanggapan sidang atas
perkara ini.
Keterlibatan Sosial Politik dalam Pandangan Iman Katolik (P. Dr. Amatus Woy,
SVD)
1. Bidang Sosial Politik Sebagai Elemen Substansi dan Integral Iman Kristiani. Dalam
konsep Kristiani pengakuan Iman dan perbuatan, baik dalam kehidupan bersama,
membentuk satu kesatuan yang erat. Iman sebagai pengajuan dapat menjadi suatu
penipuan dan pemalsuan belaka jikalau tidak dibuktikan dalam perbuatan dan gaya
hidup. Iman bagaikan satu pohon, yang dapat dikenal dan diidentifikasikan lewat
buah-buah, yaitu perbuatan-perbuatan konkrit. Hubungan antara pohon dan buah
sebagai metafora hubungan antara iman dan perbuatan sering digunakan Yesus dalam
pewartaan-Nya (Mat 12, 33c; Luk 6, 44a).
Gereja sebagai elemen atau komponen keagamaan masyarakat, sebagaimana
agama-agama pada umumnya, secara khusus pembaptisan, penguatan, pengakuan,
ekaristi, pernikahan, dan tahbisan. Atau menghitung statistik kehadiran dalam ibadat,
baik lingkungan maupun paroki. Unsur sosial-politik tidak atau paling kurang hingga
kini belum dimasukan sebagai kriterium penilaian keberhasilan dan kegagalan hidup
keagamaan atau iman kita.
Namun situasi sosial-politik umat dan masyarakat pada umunya sesungguhnya
menjadi barometer sikap iman dan diposisi jiwa/rohani umat. situasi sosial-politik,
yang acap kali hanya dibebankan dan dipikulkan pada bahu negara tidak lain adalah
ekspresi jiwa dari manusia-manusia pembentuk masyarakat tersebut.
KBG kita sudah dewasa, mendalam, ataukah iman kita pincang, palsu dan mati,
yang berarti sesungguhnya kita tidak beriman Kristiani, melainkan menganut atau
menghidupi suatu kesia-siaan. Aspek sosial-politik dapat menjadi media dan
kekuatan mata kita untuk menilai keadaan kehidupan iman secara benar. Ia dapat
menghindari kita dari rasa bangga yang tidak profesional, sambil tidak melupakan
karya sosial-karitatif yang dibuat dan diemban dibawah panji-panji gereja hingga
dewasa ini.
2. Model-model Penghayatan Sosial-Politik dalam Agama-agama
Pertama, Model Refrentasi Ontokratik
Kedua, Model Kekuasaan Teo-nomis
Ketiga, Model Pemisahan
Keempat, Model Keterlibatan Kritis
3. Bentuk dan Arah Dasar Keterlibatan Sosial-Politik Komunitas Basis Gerejawi:
Option/Preference for the Poor
Keterlibatan sosial-politik merupakan bagian integral iman kristen. Oleh karena
itu keterlibatan sosial-politik Komunitas Basis Gerejawi merupakan bagian yang utuh
dari kehidupan iman kristen dari segenap orang beriman.
Peran Sosial Politik KBG; Hakikat, Teologi dan Spiritualitasnya (P. Dr. Amatus
Woy, SVD)
1. KBG Sebagai Titik Silang Perwujudan Nilai-nilai
2. Dimensi Sosial-Politik KBG
Federasi Konferensi Para Uskup Asia (FABC), Bandung, 1990: Gereja adalah
Persekutuan paguyuban-paguyuban (CC), di mana kaum awam, imam, dan
biarawan-biarawati, saling mengakui dan menerima sebagai saudara-saudari,
dipanggil dan dibimbing untuk membentuk KBG (SCC), mereka berdoa dan
sharing Injil, dan membawanya ke kehidupan keseharian.
Paus Yohanes Paulus II (Ensiklik Church Missionary Mandate); Komunitas Basis
Gerejani merupakan tanda dari daya hidup atau vitalitas Gereja sendiri.
2. Ciri-ciri KB (untuk menandai suatu kelompok sebagai KB)
Persekutuan Umat yang relatif kecil, saling mengenal, tinggal berdekatan
(teritorial) dan punya kepentingan bersama (kategorial), dan rutin berkumpul.
Berdoa, membaca Kitab Suci, sharing Kitab Suci-sharing iman berdasarkan Kitab
Suci (bukan Bible Study)
Berbicara masalah keseharian, berdiskusi mencari solusi, aksi nyata dengan
terang Alkitabiah.
Di bawah payung Gereja Universal
Dengan 4 ciri tersebut KB adalah Gereja yang nyata ditingkat akar rumput.
Concern Gereja adalah orang miskin dan orang tertindas, serta berjuang memerangi
ketidakadilan, berjuang untuk HAM dan demokrasi.
2. Regio Semarang
3. Regio Jakarta
a) Dalam kesempatan ini regio Jakarta memiliki pendapat Spiritualitas keterlibatan yang
bersumber pada “ Pathos Allah “ dengan memperhatikan unsur peduli terhadap sesama,
memikul salib, semangat dalam persekutuan serta berani berkorban dan melayani
masyarakat.
b) Maka dari itu regio Jakarta memiliki beberapa tema yang dapat dikembangkan dalam KU
yaitu, kerukunan dalam lingkungan hidup, memperhatikan kesetaraan, narkoba,
HIV/AIDS, kekerasan, dan kesetiaan dalam hidup perkawinan.
4. Regio Kalimantan
a) Regio papua memilih spiritualitas: pembawa damai “ Tuhan jadikanlah aku pembawa
damai “ dengan tema membangun budaya damai dan rekonsilisasi.
b) Dengan tema ini maka muncullah tema-tema kecil yang diantaranya adalah partisipasi,
kebersamaan dan toleransi menghargai, komunikasi/informasi kesehjateraan, rasa aman
dan nyaman, kemandirian, harga diri dan pengakuan serta keutuhan/harmoni.
6. Regio MAM
a) Ada beberapa spiritualitas yang dipilih seperti janda miskin, anak yang hilang dan jemaat
perdana.
b) Ketiga jenis spiritualitas tersebut diaktualisasikan dan tergambar dalam tema-tema kecil
yaitu; membangun budaya pengorbanan, budaya pengampunan, bertumbuh dalam budaya
belas kasih, budaya rekonsilisasi, membangun budaya persaudaraan sejati, budaya
keadilan, menuju kemandirian, membangun jemaat yang beriman dan berbudaya,
menumbuhkan kepekaan, dan berkata Ya dalam kebenaran dan tidak pada kebenaran.
a) Regio ini memiliki spiritualitas yang dapat membangun hidup Gereja yang Kontekstual
yang akhirnya memunculkan berbagai tema.
b) Tema-tema tersebut ialah; konflik sekitar tanah, diskriminasi terhadap perempuan,
kemajemukan-ketertutupan dan fanatisme, Gereja dan kekuasaan, iman dan kebudayaan.
Regio ini mempunyai program yang sudah dibicarakan dan disepakati dalam konfrensi
wali Gereja Regio Nusra. Kesepakatannya yakni, membagikan tema-tema pada setiap
keuskupan (Komkat) untuk diolah Katekesenya pada pertemuan Komkat diruteng,
September 2003. Selanjutnya tema Katekese akan dibahas pada pertemuan komkat
tahunan se-Regio Nusra, September 2004 di Atambua.
SUMBER REFRENSI
https://komkat-kwi.org/2014/02/26/pertemuan-kateketik-antar-keuskupan-se-indonesia-ke-
vii/
Komisi Kateketik KWI. 2002. Katekese Umat Komunitas Basis Gerejani, Revisi Kurikulum
PAK. Jakarta: Penerbit Komisi Kateketik KWI.
https://komkat-kwi.org/2014/02/26/pertemuan-kateketik-antar-keuskupan-se-indonesia-ke-
viii/
Komisi Kateketik KWI. 2005. Membangun Komunitas Basis Berdaya Transformatif Lewat
Katekese Umat. Jakarta: Penerbit Komisi Kateketik KWI.