Anda di halaman 1dari 68

Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 1

Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

BAB I
PENDAHULUAN
Catatan Pengantar

Ketika mendapat surat tugas dari Purek I ITKI untuk mengampu kuliah
Pembinaan Warga Gereja (selanjutnya dalam tulisan ini disingkat PWG), maka langkah
pertama yang penulis lakukan adalah mengumpulkan bahan-bahan sebagai sumber bahan
ajar. Walaupun ternyata agak sedikit kesulitan memperoleh bahan-bahan yang
dibutuhkan karena terbatasnya sumber-sumber utama seperti buku-buku yang membahas
secara khusus tentang PWG. Namun kesulitan itu dicoba diatasi dengan penyiapan diktat
bahan ajar ini secara sederhana.
Dimasukkannya PWG sebagai salah satu mata kuliah inti dalam kurikulum
standar minimal yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen
Protestan Departemen Agama R.I. menunjukkan bahwa PWG telah mendapat perhatian
serius bukan saja oleh gereja-gereja tetapi juga oleh pemerintah melalui Departemen
yang terkait. Tentu hal itu dimaksudkan supaya setiap warga gereja (khususnya orang
percaya yang sudah dewasa umur) dibina dan dipersiapkan secara komprehensif untuk
menjadi alat kesaksian yang efektif dalam pelaksanaan tugas pelayanannya di tengah-
tengah dunia dan sesamanya. Baik itu di dalam pelaksanaan tugasnya di bidang pekerjaan
sekuler maupun dalam pelayanan gerejawi. Dan yang lebih penting dari itu adalah agar
menjadi tangguh dan terampil dalam menghadapi pergumulan realitas kehidupannya.

Amsumsi Dasar dan Beberapa Pertanyaan

Dalam realitas pelaksanaan tugas gereja dan kehidupan warga gereja ternyata
muncul beberapa asumsi dan pertanyaan sebagai berikut:

1. PWG merupakan salah satu hakikat tugas gereja yang penting. Begitu kita
melupakan tugas PWG, maka gereja sudah melupakan salah satu hakikat tugasnya
yang hakiki.

Apakah betul bahwa PWG merupakan tugas gereja yang hakiki? Apakah dapat
ditemukan dasar-dasarnya dalam kesaksian Alkitab (PL dan PB)? Dalam apa
sajakah PWG tercakup?

2. PWG dilaksanakan dalam rangka memampukan warga jemaat menjadi alat


kesaksian atau mediator berkat Allah kepada sesamanya (di dalam: keluarga,
gereja, dan masyarakat luas).
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 2
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

Apakah benar bahwa PWG efektif dalam memampukan warga jemaat menjadi
alat kesaksian Tuhan bagi sesamanya? Model PWG yang bagaimana, yang
efektif?

3. Guru atau tenaga Pembina dalam PWG merupakan faktor yang sangat
menentukan bagi keberhasilan PWG di sebuah gereja lokal.

Apakah gereja sudah melihat dan menganggap bahwa posisi guru atau tenaga
pendidik dalam sebuah gereja lokal atau sinodal merupakan hal yang sangat
penting dan menentukan? Apakah kita dapat sepakat bahwa kedudukan guru
dalam pelayanan gerejawi setara dengan jabatan lain misalnya jabatan gembala,
penginjil? Apakah gereja sudah dengan serius melakukan rekrutmen dan
sekaligus pemberdayaan secara maksimal terhadap tenaga-tenaga pengajarPWG
di gereja?

4. Perlunya pelurusan pemahaman antara PAK dan PWG.

Apakah betul ada “kekaburan” pemahaman di antara dua subjek ini? Kalau ada,
apakah sudah ada upaya pelurusan pemahaman di antara keduanya? Siapa
yang bertanggung jawab terhadap upaya pelurusan pemahaman tersebut?
Apakah kedua subjek ini justru merupakan dua hal yang saling terkait erat? Dan
dimanakah keterkaitannya itu?

5. Kehidupan manusia (warga gereja) memiliki kompleksitas kebutuhan yang


memerlukan solusi yang tepat.

Apakah betul bahwa belum seluruhnya kebutuhan hidup warga gereja tersentuh
dengan pelayanan gereja? Kalau belum, lalu siapa yang harus disalahkan?
Bagaimana kita dapat memahami kebutuhan warga gereja yang begitu
kompleks? Kebutuhan mana yang harus didahulukan?

6. Pelaksanaan tugas gereja harus bersifat menyeluruh, artinya menyentuh seluruh


kebutuhan umat manusia atau warga jemaat.

Apakah betul bahwa gereja harus melakukan pelayanan yang bersifat


menyeluruh (holistic)? Bukankah tugas gereja hanya pada hal-hal yang bersifat
rohani saja? Kalau demikian, apa bedanya dengan pelaksanaan tugas dari
badan sosial sekuler?

7. Pelaksanaan tugas PWG dalam suatu gereja memerlukan perencanaan yang


cermat serta terukur sehingga memberikan dampak signifikan bagi kehidupan
konkrit warga gereja.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 3
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

Apakah gereja sudah memperoleh data konkrit tentang kebutuhan warga gereja?
Bagaimana caranya memperoleh data-data konkrit kebutuhan warga gereja?
Apakah sudah dilakukan perencanaan pembinaan warga gereja yang terukur
dengan berdasarkan skala prioritas? Bagaimana merancang perencanaan PWG
yang terstruktur dan terukur?

8. Pelaksanaan tugas PWG perlu alat-alat penunjang, yaitu sarana dan prasarana.

Apakah gereja (lokal maupun sinodal) sudah mempersiapkan sarana dan


prasarana yang memadai untuk sebuah pendidikan warga jemaat? Apakah sudah
dianggarkan dalam anggaran tahunan gereja? Berapa persenkah dari
keseluruhan anggaran yang dialokasikan untuk anggaran kebutuhan pendidikan
atau pembinaan?

9. Gereja perlu membangun budaya belajar bagi seluruh warganya.

Mangapa gereja perlu membangun budaya belajar setiap warga gereja?


Bagaimana mengkondisikan warga jemaat agar menjadi warga jemaat
pembelajar? Apakah ditemukan kendala-kendala dalam menjadikan warga
gereja sebagai warga pembelajar? Kalau ada, lalu bagaimana mengatasinya?

Disemangati dengan pemikiran serta pertanyaan-pertanyaan mendasar pada


catatan awal dan asumsi dasar di atas, maka dalam rangka persiapan materi kegiatan
belajar mengajar PWG di ITKI Jakarta, diktat ini disiapkan dalam bentuknya yang
sederhana sebagai pegangan yang dapat memberi arah dalam diskusi-diskusi kelas.
Dalam proses awalnya, diktat ini lebih bersifat “kompilasi’ beberapa tulisan para pakar
PAK dan PWG. Semoga tulisan ini dapat menjadi salah satu konsep alternative untuk
membangun pemahaman tentang pentingnya PWG dalam sebuah gereja lokal atau
sinodal.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 4
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

BAB II
LATAR BELAKANG KEGIATAN PWG
Sebelum kita mendiskusikan lebih lanjut sekitar PWG, ada baiknya terlebih
dahulu kita memahami alasan-alasan yang melatar belakangi pentingnya PWG. Ada
empat alasan mendasar (tentu bisa saja lebih dari itu), yaitu:

1. Identifikasi Masalah Dasar


 Realitas dosa manusia. Alkitab memberikan penegasan bahwa semua manusia
telah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3:23). Kondisi kedosaan
manusia itulah yang memerlukan penanganan dan penyelesaian. Karena itu PWG
merupakan salah satu sarana yang efektif, dimana melalui PWG seseorang dapat
didampingi, disadarkan, dan dibawa kepada pengenalan yang utuh tentang Yesus
Kristus sebagai satu-satunya Tuhan dan juruselamat umat manusia.
 Ketidakberdayaan manusia. Salah satu akibat dosa terhadap keberadaan
manusia adalah ketidakberdayaan manusia. Artinya, sehebat-hebatnya manusia, ia
tetap merupakan mahluk yang terbatas di dalam segala hal, misalnya manusia bisa
gagal, manusia bisa sakit, manusia bisa kecewa, manusia bisa tergoda berdosa,
dan lain-lain. Realitas hidup seperti itu memerlukan pertolongan dan penguatan,
sebab jika tidak maka hidup manusia menjadi semakin terpuruk dan tanpa
harapan. Di sinilah PWG berfungsi untuk membangun kembali kemanusiaan
manusia itu.
 Lingkungan tempat manusia hadir telah rusak. Akibat lain dari dosa adalah
rusaknya lingkungan kehidupan manusia. Yang dimaksudkan lingkungan di sini
adalah dunia tempat di mana manusia itu bermukim atau hadir, misalnya di
rumah, di sekolah, di gereja, di tempat pekerjaan, di wilayah suatu daerah dari
bumi ini; misalnya di Jakarta, di Indonesia, di Asia, dan seterusnya. Kerusakan
lingkungan itu dicerminkan dalam berbagai ekspresi kejahatan yang diperbuat
manusia, misalnya judi, narkoba, pembunuhan, penipuan, seks bebas, dan lain-
lain. Kondisi lingkungan yang seperti ini memerlukan penataan yang baik,
khususnya penataan hidup manusia dan di situlah PWG dapat berperan secara
maksimal.
 Kealpaan gereja terhadap tugas hakikinya. Harus diakui bahwa pembinaan
warga gereja secara bersinambung seolah terabaikan oleh gereja-gereja pada
umumnya. Bahkan ada kecenderungan gereja lebih fokus pada pembangunan
gereja dalam bentuk fisik dibandingkan dengan pembangunan gereja dalam
pengertiannya orangnya. Pada hal yang seharusnya menjadi tugas yang paling
penting adalah pembangunan manusianya lebih dulu.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 5
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

2. Meneruskan pemikiran yang telah dibangun oleh DGI1


Sejak dasawarsa lima puluhan banyak gereja-gereja telah mengadakan pembinaan
bagi warganya. Namun kemudian dirasakan kebutuhan untuk pembinaan yang lebih
terarah, khususnya hubungan misi warga gereja dengan soal-soal yang timbul dalam
masyarakat yang terus berkembang. Itulah sebabnya pertama-tama Sidang Raya DGI
(1967) memutuskan membentuk “Komisi Pendidikan Awam DGI”. Pada waktu itu
timbul pula pemikiran kea rah pembentukan suatu “Institut Ekumenis” dengan tujuan
menampung dan mengembangkan usaha pembinaan warga gereja pada tingkat DGI.
Pada tahun 1968 didirikan proyek khusus DGI yang menampung sebagian tugas-
tugas dari studi dan pembinaan, terutama dalam hubungan dengan masalah-masalah
Gereja dan Masyarakat di mana situasi religius politik pada waktu itu menjadi
perhatian pokok.
Sebagai lanjutan dari prakarsa Sidang Raya VI DGI, maka Sidang Raya VII DGI
(1971) mengambil keputusan agar “Wisma Oikumene” Sukabumi menjadi suatu
tempat sebagai lembaga otonom guna melayani gereja-gereja dalam usaha pembinaan
warganya. Sasaran utamanya ialah “kelengkapan para warga gereja serta pendeta-
pendeta, demi pengembangan kesaksian dan pelayanan Gereja di masyarakat.
Untuk memantapkan hal ini, BPH-DGI memprakarsai Konsultasi Nasional
Pembinaan dan Partisipasi Awam (KNPPA) 1971 di Malang. KNPPA ini menyusun
strategi dasar serta mengembangkan pemahaman teologis untuk mendukung usaha
Pembinaan Warga Gereja (PWG) serta merekomendasikan pembentukan INSTITUT
OIKUMENE INDONESIA (IOI). Berdasarkan daya dorong ini, maka Sidang Raya
BPL-DGI 24-30 Oktober 1971 mensahkan pembentukan IOI-DGI. Adapun tujuan
dan fungsi IOI-DGI adalah: “Melayani gereja-gereja, anggota-anggota dan kelompok-
kelompok dalam gereja dan masyarakat dengan berbagai kegiatan studi dan
kebaktian, agar mereka dengan sadar terus menerus mengejar kebenaran Injil Yesus
Kristus, merelasikan imannya dengan berbagai masalah kehidupan dalam masyarakat
yang berubah-ubah terus, sehingga mereka bersedia serta mampu menjalankan
kesaksian dan pelayanannya terhadap masalah itu dengan kebebasan serta tanggung
jawab penuh.”
Pada tahun 1976 BPH-DGI menyelenggarakan Konsultasi Nasional Pembinaan
Warga Gereja (KNPWG) di PPAG Malang, sesuai dengan penugasan BPL-DGI
1975. Maksud Konsultasi adalah menilai pengalaman kegiatan PWG dalam lima
tahun yang silam. KNPWG 1976 ini mempertegas pemahaman mengenai PWG yaitu:
“Pembinaan warga gereja mesti dilihat dalam rangka pembebasan yang Allah
lakukanmelalui dan di dalam Yesus Kristus. Dalam terang pembebasan ini Gereja pun
harus dibebaskan dari pengertian-pengertian yang keliru tentang pembinaan. Apabila
menyadari fungsinya untuk mewartakan segala kebaikan Allah, maka pandangan
gereja tidak lagi akan mengarah dan berpusat pada dirinya sendiri, melainkan kepada
tugas-tugas pembinaannya yang tertuju kepada dunia ini. Di dalam dan melalui dunia,
Allah membina gereja. Keterbukaan penuh terhadap Allah dan tindakan pembaruan-

1
Albert Widjaja, Menempuh Arah Baru, Laporan Evaluasi Pembinaan Warga Gereja 1971-1979
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 13-14.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 6
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

Nya berarti secara positip kita terbuka penuh terhadap kemungkinan-kemungkinan


yang jadi dalam dunia (tanda-tanda jaman)”.
Cuplikan sepotong dari sejarah pemikiran dan kegiatan PWG di atas memberikan
gambaran pemahaman betapa seriusnya Dewan Gereja Indonesia telah memikirkan
PWG sebagai sesuatu yang sangat penting dalam pelayanan gereja.

3. Alasan Teologis
• PWG merupakan perintah Tuhan Yesus (Mat. 28:19-20). Dari ayat ini,
tampak dengan jelas adanya suatu perintah Tuhan Yesus dalam bentuk penugasan
kepada gereja-Nya untuk melakukan suatu pengabaran Injil keseluruh dunia agar
orang bertobat dan menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat hidup
pribadinya. Dan yang kedua adalah tugas mengajarkan iman Kristiani kepada
semua umat yang telah diselamatkan-Nya, supaya mereka mampu menjalankan
tugas dan kewajibannya, sesuai dengan tugas panggilan-Nya di dunia ini. Dan
dalam proses pembinaan (atau pembelajaran) tersebut, diasumsikan terjadi suatu
proses pembebasan umat dari ikatan kuasa kegelapan (dosa), dari kebodohan, dari
keterbelakangan, dari kedangkalan pemahaman dan penghayatan iman di dalam
Yesus Kristus. Dalam rangka itulah gereja mengemban tugas mengajarkan iman
Kristiani terhadap semua nggota jemaat yang dipercayakan Tuhan kepadanya,
agar umat mampu menjalankan tugas dan kewajibannya secara aktif, dinamis, dan
kreatif sesuai dengan tugas panggilannya di dunia konkritnya.
• Secara teologis, manusia adalah mahluk yang diberi kesempatan oleh Allah untuk
berubah (mengalami transformasi) dan bertumbuh melalui media belajar
(pembinaan) sampai mencapai kepenuhan martabatnya sebagai ciptaan Allah. Hal
ini merupakan hak istimewa manusia.
• Andar Ismail, dalam bukunya “Awam dan Pendeta”; Mitra Membina
Gereja, mengatakan bahwa “setiap orang percaya diberi mandat oleh Allah untuk
melayani orang-orang lain, untuk mengekspresikan imannya dalam tindakan
sosial yang bermanfaat dan dengan demikian mengkomunikasikan kekuasaan
Injil.”2 Secara teologis, pemahaman ini mau menunjukkan bahwa tugas pelayanan
adalah tugas semua orang percaya. Artinya bukan hanya orang-orang yang secara
struktural memiliki jabatan kependetaan, jabatan majelis, jabatan guru Injil, dan
lain-lain melainkan mencakup semua orang yang percaya. Karena itu,
pelaksanaan PWG dalam suatu gereja mempunyai alasan teologis yang signifikan.
• PWG terkait erat dengan upaya implementasi “membumikan” kehendak
Allah dalam kehidupan umat manusia. Dan PWG dalam arti “toerusting”,
sebenarnya tidak lain adalah suatu bentuk “belajar”, namun belajar secara
Alkitabiah selalu berwujud perbuatan.
• Proses PWG merupakan salah satu usaha untuk mewariskan iman
(pengajaran), sehingga umat mampu memahami, menghayati serta menghidupi
imannya dalam keseluruhan realitas hidupnya.
2
Andar Ismail, Awam dan Pendeta; Mitra Membina Gereja (Jakarta: Badan Penerbit BPK
Gunung Mulia, 2000), 3.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 7
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

4. Alasan Pemberdayaan SDM Warga Jemaat


• Keluarga, gereja, masyarakat dan Negara membutuhkan warganya yang beriman
baik, sehingga mampu bertahan terhadap segala macam tantangan dan godaan
untuk berdosa atau berlaku tidak terpuji. Untuk menjawab kebutuhan dimaksud,
maka PWG adalah merupakan salah satu sarana yang tepat.
• PWG merupakan salah satu upaya konkret gereja dalam melaksanakan tugas
pembedayaan umatnya, baik yang bersifat teologis maupun yang bersifat praktis
secara relevan. Artinya bahwa; dari aspek teologis, gereja dan warganya
diperlengkapi kemampuan menginterpretasikan kebenaran pesan-pesan
Alkitabiah secara tepat dan benar ke dalam situasi masyarakat tertentu ataupun
dunia. Di sinilah dibutuhkan suatu disain pembinaan teologi warga jemaat yang
berbobot dan tepat, artinya dapat menjawab pergumulan dan pertanyaan-
pertanyaan iman Kristen. Sedangkan dari aspek praktis, pembinaannya
diharapkan menyentuh seluruh aspek perlengkapan dasar manusia (dalam bentuk
multi kompetensi) agar gereja dan warganya memiliki keterampilan pengetahuan
(technical know how) dalam berbagai segi, untuk mengatasi masalah-masalah
kehidupan konkret yang dihadapinya.
• Keadaan konkret warga gereja sebagai bagian integral dari suatu masyarakat
global yang hidup dan mengalami perubahan-perubahan mendasar yang cepat dan
menyentuh seluruh aspek kehidupan. Dalam rangka itulah PWG menjadi sangat
relevan untuk menyiapkan warga gereja agar siap menyambut perubahan-
perubahan tersebut.
• Setelah peserta didik (mahasiswa, warga jemaat) mengikuti paparan atau kuliah
ini, maka diasumsikan mereka sudah dapat membuat disain PWG di gereja di
mana mereka ditempatkan untuk melayani.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 8
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

BAB III
DASAR TEOLOGI &TUJUAN PWG

Semua kegiatan gerejawi harus memiliki dasar teologi yang baik, sehingga dapat
dipertanggungjawabkan terhadap gereja dan jemaat sesuai dengan terang Firman Tuhan.
Karena itu pada bagian ini kita akan mempelajari dasar-dasar teologi PWG dengan
mengacu kepada kesaksian dan pemberitaan Alkitab.

1. Dasar Teologi PWG dalam Perjanjian Lama

A. Allah pencipta dan manusia adalah ciptaan/mahluk (Kej. 1 dan 2).

Tugas manusia sebagai ciptaan adalah mengucapkan syukur, memuliakan Tuhan,


menjalankan semua perintah Tuhan dengan ketaatan penuh, sehingga seluruh hidupnya
bisa menggambarkan Allah di dalam dan melalui kehidupan hariannya dimanapun
mereka berada. Untuk memberikan kesadaran di atas jelas membutuhkan pembinaan
yang benar-benar teratur dan terarah secara terus menerus, bukan pembinaan sekilas saja.
Hal-hal yang harus dihadapi dan dikerjakan manusia ciptaan Tuhan, waktu itu
adalah sebagai berikut:
• Menyadari bahwa manusia diciptakan sebagai mahluk sosial dan
ditempatkan dalam hidup sosial. Dimana tolong menolong menjadi dasar kehidupan
dan keluarga telah diposisikan oleh Allah menjadi pilot proyek inti kehidupan
masyarakat.
• Manusia harus hidup dalam keterbukaan satu dengan lainnya.
• Manusia harus terbuka, sehingga saling memperkaya kemanusiaan dirinya
satu dengan lainnya.
• Manusia harus saling menjadi manusia satu terhadap sesamanya, sebab
manusia harus menjadi sedaging/sekemanusiaan satu dengan lainnya.
• Manusia harus benar-benar menghayati prinsip-prinsip dasar untuk
menjalankan hidup konkritnya.
• Dasar inti sebenarnya adalah percaya, setia dan menjalankan Firman Allah
dalam kehidupan sehari-hari.
• Manusia harus kerja agar manusia memuliakan Allah lewat kerja serta
mengangkat hakekat diri dan martabat dirinya dengan benar. Dari point 1 s/d 7 di atas
semuanya membutuhkan pembinaan yang membawa kesadaran ke dalam diri
manusia itu sendiri.

B. Sepuluh Hukum Taurat (Kel. 20).

Pada saat kita membaca Sepuluh Hukum Taurat maka kita dapat melihat dua sisi
penting yang harus menjadi dasar hidup orang percaya, yakni: memuji, memuliakan
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 9
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

Allah dengan benar dan yang kedua adalah supaya manusia menjadi manusia dengan
sesamanya.

C. Ulangan 6:4-9

Ulangan 6:4-9 ini menekankan agar semua orang percaya memuliakan Tuhan
dengan segenap realitas hidupnya, sehingga dalam Perjanjian Baru dalam Matius 22:37-
40 dengan judul hokum kasih.

2. Dasar Teologi PWG dalam Perjanjian Baru

A. Teladan Tuhan Yesus

Yang menjadi tujuan pengajaran Yesus Kristus bukanlah untuk membahas


pelbagai pokok agama dan susila secara ilmiah atau secara teori saja, melainkan untuk
melayani tiap-tiap manusia yang datang kepada-Nya. Untuk itulah Ia datang ke dalam
dunia ini (bnd. Markus 10:45). Dapat dikatakan bahwa seluruh kehidupan Tuhan Yesus
merupakan pengajaran sampai saat yang terakhir, karena justru dalam sengsara dan
kematian-Nya, Ia mengajar kita tentang satu-satunya jalan keselamatan bagi manusia
yang berdosa.
Tuhan Yesus telah memberikan tugas kepada para murid dan bahkan semua umat
percaya untuk melaknanakan tugas pekabaran Injil dan pengajaran iman Kristiani kepada
sekalian orang (bnd. Mat. 28:19-20). Tugas itu harus direspon secara baik oleh setiap
umat percaya.

B. Teladan Rasul Paulus

Paulus menjadi seorang hamba Tuhan yang terdorong oleh hasrat yang berapi-api
untuk memasyurkan nama Tuhan Yesus. Kemanapun Paulus pergi, segala kesempatan
digunakannya untuk mengajar orang Yahudi dan kaum kafir tentang kehidupan bahagia
yang terdapat dalam Injil Yesus Kristus. Paulus berkhotbah di hadapan imam-imam dan
rabbi-rabbi Yahudi dan di hadapan rakyat jelata di segala kota dan desa yang
dikunjunginya. Ia mengajar raja-raja dan wali-wali negeri, orang cendikiawan dan kaum
budak, orang laki-laki dan kaum wanita, orang Asia, orang Yunani, orang Romawi,
pendek kata segala golongan manusia yang ditemuinya pada perjalanan-perjalanannya
yang banyak dan panjang itu.

C. Penetapan Jabatan Pelayanan Dalam Gereja Tuhan

Rasul Paulus dalam Efesus 4:11-16 kita mendapatkan kesaksian yang jelas bahwa
Tuhan telah mempersiapkan para tenaga pembina antara lain: rasul-rasul, nabi-nabi,
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 10
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

pemberita-pemberita Injil, gembala-gembala serta para pengajar yang diberi tugas


memperlengkapi semua anggota jemaat bagi:
• Pekerjaan pelayanan membangun tubuh Kristus/gereja (12)
• Untuk mencapai kesatuan iman (13)
• Pengetahuan yang benar mengenai Tuhan Yesus Kristus (13)
• Kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan
Kristus (13)
• Agar tidak terombang-ambing imannya (14)
• Dapat membedakan mana ajaran benar dan mana ajaran sesat (14)
• Semua anggota jemaat bertumbuh dalam kebenaran ini yang berpusatkan pada
diri Yesus Kristus sang Kepala (15)
• Seluruh persekutuan jemaat menjadi satu bangunan dirinya tersusun rapi oleh
pekerjaan pelayanan seluruh jemaat sehingga setiap jemaat bertumbuh dan
membangun dirinya dalam kasih (16)
Untuk bisa mencapai tingkatan di atas dibutuhkan pembinaan jemaat yang terukur
sistematik, kreatif, dinamis dan penuh tanggung jawab dari gereja.

3. Tujuan PWG

Tujuan kegiatan PWG adalah untuk mempersiapkan semua anggota jemaat agar
memiliki:
• Pemahaman dan kedewasaan penuh dalam iman kepada Yesus Kristus.
• Kehidupan yang penuh tanggung jawab utuh baik kepada Tuhan Yesus Kristus,
kepada sesamanya dan juga kepada dirinya.
• Kesungguhan untuk menggali dan mengembangkan seluruh potensi dirinya untuk
diabdikan bagi kepentingan Kerajaan Allah sesuai dengan kesaksian Alkitab.
• Keterampilan yang dapat memampukannya menjalankan tugas, kewajiban dan
tanggung jawabnya sebagai saksi Kristus di tengah-tengah dunia ini yang meliputi
seluruh wilayah tugasnya. Sehingga melalui tanggung jawab kesaksiannya
semakin banyak orang lain dibimbing datang dan hidup di dalam Kristus dengan
sungguh-sungguh.
• Pengucapan syukur serta senantiasa memuliakan Tuhan dalam seluruh
penampilan hidupnya.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 11
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

BAB IV
MELURUSKAN PEMAHAMAN TENTANG
PAK DAN PWG

Pemahaman yang benar tentang PAK dan PWG di kalangan warga gereja,
mahasiswa teologi dan para pendeta jemaat masih simpang siur, artinya belum terbangun
persepsi yang jelas, karena itu diperlukan pelurusan pemahaman, walaupun tidak
dimaksudkan adanya pemaksaan penyeragaman persepsi dan memang hal itu tidak
pernah dikehendaki oleh tulisan ini. Tetapi kejelasan persepsi atau asumsi dari dua istilah
ini sangat perlu, sebab apabila tidak, maka akan terjadi duplikasi persepsi bukan hanya
pada segi content maupun praxis, tetapi juga dalam implementasinya pada konteks
pelayanan. Dan kalau itu yang terjadi, maka akibatnya yang terjadi adalah bahwa PAK
dan PWG tidak pernah akan mencapai hasilnya sebagaimana yang diharapan.
Sebenarnya istilah PAK dan PWG sudah dikenal oleh gereja-gereja di Indonesia
sejak tahun 50-an. Tetapi asumsi kebanyakan orang Kristen terhadap kedua istilah ini
masih sangat sempit, misalnya PAK cenderung diasosiasikan dengan Sekolah Minggu
atau pelajaran agama di sekolah. Demikian juga dengan PWG cenderung diasosiasikan
sebagai sebuah kursus untuk menjadi tenaga pendeta, penginjil (guru injil), dll.
Menyadari persoalannya, maka pemahaman terhadap kedua istilah ini perlu diluruskan.
Salah satu sumber (bukan satu-satunya) yang paling memadai untuk menjawab persoalan
ini adalah naskah Pidato Dies Natalis ke-55 STT oleh Dr. Andar Ismail (pakar PAK di
STT Jakarta). Alasan adalah bahwa beliau pakar PAK yang cukup dikenal di Indonesia
melalui pengalaman studinya, pengalamannya mengajar ilmu teologi praktika telah teruji
baik pada tingkat akademik maupun pada tingkat jemaat (khususnya beliau melayani di
GKI) dan bahkan melalui tulisannya dengan seri “Selamat” yang sarat dengan nuansa
didaktik metodik. Adapun naskah pidatonya, saya tulis ulang (dengan beberapa
penambahan kecil) sebagai berikut:

1. Catatan Singkat Perkembangan PAK Abad 20

Apabila kita hendak menelusuri akar dan sejarah PAK, maka sumber yang sangat
memadai adalah tulisan Prof. Dr. Robert R. Boelkhe tentang Sejarah Perkembangan
Pemikiran PAK yang diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia dalam dua volume. Tetapi
pada tulisan ini dibatasi hanya pada catatan singkat perkembangan PAK pada abad
ke-20. Menurut catatan Dr. Andar Ismail, PAK sudah mendapat bentuk
sistimatikanya pada konvensi tahun 1903 di Chicago yang melahirkan Religious
Education Association. Setelah itu, maka dalam pergumulannya dua puluh tahun
kemudian dibentuklah apa yang disebut dengan International Council of Religious
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 12
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

Education.3 Dengan terbentuknya badan ini, maka hendak menunjukkan bahwa gereja
sudah menaruh perhatian yang serius terhadap pentingnya kehadiran PAK dalam
pelayanan gereja. Bahkan beberapa puluh tahun sebelumnya oleh Horace Bushnell
(1802-1876), telah merintis dan meletakkan prinsip-prinsip teori PAK. Pemikiran
Bushnell merupakan reaksi terhadap theologia yang sedang dominan di gereja-gereja
Puritan di Negara-negara bagian New England pada zaman itu, yakni teologia yang
sangat menekankan transendensi Allah di satu pihak dan antropologi teologis yang
pesimis di lain pihak. Dalam pemaparan teologinya, mereka pada satu sisi membesar-
besarkan kekuasaan Allah, tetapi pada saat yang bersamaan pula mereka juga
mengecil-negcilkan potensi manusia. Manusia digambarkan hanya sebagai makluk
yang betul-betul celaka dan tidak mempunyai daya apa-apa kecuali menjadi penerima
anugerah Allah yang pasif. Theologia seperti ini sejalan dengan metode tranmissive
khususnya dalam dunia penyiaran rohani seperti kebangunan rohani. Akibatnya pada
zaman itu kebangunan rohani menjadi mode di New England. Dalam penyiaran
ajarannya sangat ditekankan di mana anak kecil maupun orang dewasa ditakut-tekuti
dengan hukuman Tuhan lalu didesak untuk lahir kembali dan bertobat. 4 Kebangunan
rohani telah dipersepsi sebagai jawaban terminal bagi kehidupan lahir baru, artinya
bahwa dengan mengikuti KKR telah dijamin bahwa seseorang sudah lahir baru.
Dalam hal ini, Bushnell sangat menentang pemahaman Injil yang sempit seperti itu,
lalu ia mengemukakan sejumlah tesis dalam bukunya yang berjudul Christian
Nurture. Ia berkata :
“What is the true idea of Christian Education ? That the Child is to grow
up a Christian, never know himself as being otherwise. In other words, the
aim, effort, and expectation should be, not as is commonly assumed, that
the child is to grow up in sin to be converted after he comes to a mature
age; but that he is to open on the world as one that is spiritually renewed,
not remembering the time when he went through a technical experience
but seeming rather to have loved what is good from his earliest years. 5
Tesis lainnya berbunyi: This is the very idea of Christian Education, that is
begins with nurture or cultivation.”6
Untuk zaman sekarang tesis seperti itu tidak mempunyai keistimewaan. Namun
untuk akhir abad yang lalu di mana belum dikenal Psikologi Perkembangan, Didaktik
serta Metodik yang modern, maka tesis seperti ini adalah sesuatu terobosan baru
dalam dunia didik mendidik.

3
William Dean Kennedy, Christian Education Through History, An Introduction to Christian
Education, ed. Marvin J. Taylor (Nashville: Abingdon, 1980), 28.
4
Elmer L. Towns “Horace Bushnell” in A History of Religious Educations, ed. Elmer L. Towns
(Grand Rapids : Baker, 1975), 278-287
5
Horace Bushnell, Christian Nurture (New Haven: Yale University Press, 1967), 4.

6
Ibid., 20
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 13
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

2. Beberapa Asumsi dan Implikasi Tesis Bushnell

a. PAK berdiri di atas antropologi theologies yang optimis yang berkeyakinan


bahwa tiap orang dilahirkan dengan kodrat yang baik dan bahwa kodrat yang
baik itu dapat ditumbuhkan terus karena manusia mempunyai potensi untuk
berpikir baik dan menghasilkan produk baik. George Albert Coe (1862-1951)
yang mewarnai theologia dan teori PAK selama 50 tahun dalam abad ini
mengatakan bahwa mnusia dilahirkan sebagai gambar dan rupa Allah, sebab itu
manusia dapat menjadi kandidat untuk karakter yang baik. Tugas PAK adalah
mendorong dan menopang pertumbuhan ke arah kemungkinan yang baik itu.7
Atau dengan kata lain PAK bertujuan untuk menggali dan mengembangkan
seluruh potensi yang baik dalam diri manusia untuk diabdikan bagi pembangunan
Kerajaan Allah di atas muka bumi sesuai dengan kesaksian Alkitab Perjanjian
Lama maupun Perjanjian Baru. Bertolak dari pemahaman ini, tampaklah bahwa
posisi dan tugas PAK dalam gereja sangat signifikan.
b. PAK berasumsi bahwa kepercayaan yang matang bukan timbul secara mendadak
seperti pada akhir suatu kebaktian kebangunan rohani, melainkan tumbuh dalam
proses jangka panjang sejalan dengan tumbuhnya perkembangan jiwa orang yang
bersangkutan (agar lebih jelas point ini, saya menganjurkan kepada semua
mahasiswa ITKI dan atau siapa saja membaca diktat ini agar membaca tulisan
James W. Fowler dalam bukunya yang berjudul “Stages of Faith”. Dalam
bukunya tersebut, ia memaparkan secara komprehensif tahapan-tahapan
perkembangan iman manusia sesuai dengan perkembangan jiwa manusia itu
sendiri). Sasaran dalam percaya bukanlah pertobatan melainkan pertumbuhan.
Bushnell meletakkan salah satu dasar PAK yaitu bahwa tugas gereja bukanlah
menciptakan suasana emosional sehingga orang bertobat di muka umum,
melainkan menolong orang bertumbuh sedikit demi sedikit sehingga iman itu
berbuah dalam kehidupan. Mengulas tesis Bushnell itu, berkatalah Groome :
The attitude of the revivalists toward Christian Formation was that,
because of human depravity, children could not grow up as Christians but
could only come to the faith by being “born again”. It was on this specific
point that Bushnell began his criticisms of the revival movement and of
the whole conversion syndrome.8
Mendukung tesis Bushnell ini, lebih lanjut Coe berkata : “… the constant aim of
elementary religious education should be to make conversion unnecessary. 9 Dari

7
George Albert Coe, Education in Religious and Morals (New York : Revel, 1904), 33-64.
8
Thomas H. Groome, Christian Relegious Education (San Fransisco, 1980), 116
9
George Albert Coe, A Social Theory of Religious Education (New York : Arno, 1969), 181.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 14
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

beberapa pendapat tokoh di atas dapat disimpulkan adanya penekanan pada aspek
proses di mana di dalamnya terjadi suatu pertumbuhan. Di sinilah proses
pendidikan yang dikembangkan di gereja atau di luar gereja sangat menentukan.
c. PAK berasumsi bahwa iman bisa mengalami stagnasi atau berputar-putar di situ
juga, atau sebaliknya dapat berkembang ke tahap-tahap yang lebih matang dan
lebih luas wawasannya. Asumsi ini digarap oleh William Clayton Bower yang
meneliti hubungan antara perkembangan kepribadian dengan perkembangan
kepercayaan.10 Rintisan Bower pada awal abad ini di bidang PAK ternyata
sekarang ini dikristalisasi oleh dunia psikologi dengan munculnya teori
perkembangan kognitif oleh Jean Piaget, teori perkembangan moral oleh
Lawrence Kolhberg, teori perkembangan kepribadian oleh Erik Erikson dan teori
perkembangan percaya oleh James W. Fowler. Keempat teori ini langsung
digunakan oleh didaktik dan metodik PAK. Dengan demikian konsep kurikulum
dan strategi pendidikan yang dirancang atau yang dikembangkan di dalam gereja
harus memperhatikan dan mempertimbangkan keempat teori di atas.
d. PAK berasumsi bahwa tujuan iman bukanlah hanya untuk keselamatan pribadi
peserta didik, melainkan supaya peserta didik dalam persekutuan umat percaya
berupaya menciptakan tatanan masayarakat yang ciri-cirinya sudah diperlihatkan
oleh Yesus Kristus. Hal itu beararti bahwa seseorang dibimbing untuk tidak
hanya memiliki pengalaman hubungan secara vertical yaitu dengan Allah tetapi
juga menyangkut soal-soal kemasyarakatan. Karena itu di dalam tujuan PAK
harus terkandung pula suatu idealisme social. Coe menyebut idealisme itu
“democracy of God”. Ia berkata :
“Granted this social idealism as the interpretation of the life that now is,
the aim of Christian Education becomes this : Growth of the young toward
and into mature and efficient devotion to the democracy of God, and
happy self-realization therein”.11
e. Pada konvensi 1903 hadir juga John Dewey, filsuf dan teoris pendidikan sekuler
aliran progresif, sebagai narasumber yang memberi masukan. Ia menunjukkan
dengan jelas bahwa sejak awal PAK terjalin secara erat dengan ilmu pendidikan
sekuler. Coe berkata, “.. both the processes and the aims of religious education
intertwine with those of so-called secular education. The relation is more than
intertwining; they are brances of same tree, they partake of the same sap.” 12
Sebab itu hasil-hasil baru yang ditemukan oleh riset Ilmu Pendidikan dan
Keguruan abad ini dimanfaatkan oleh PAK, misalnya cara membuat tujuan
instruksional berdasarkan taxonomi kognitif, afektif dan psiko motor penemuan
Benjamin Bloom dan kawan-kawan pada tahun 60-an.13 Memahami hal itu, maka
bagi pelaksana PAK di tingkat gereja lokal maupun sinodal agar menyusun
10
William Clayton Bower, Moral and Spiritual Values (Lexington: University of Kentucky Press,
1952).
11
Coe, A Social of Religious Education, 55
12
As quoted in Harold William Bugess, An Invitation to Religious Education (Birmingham,
AL. : Religious Education Press, 1975), 60.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 15
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

kurikulum PAK dan strategi pembelajarannya dengan harapan di mana peserta


didik dapat mempunyai pengetahuan, sikap dan tindakan iman.
f. PAK bukan berorientasi pada bahan, melainkan pada peserta didik. Artinya
bahwa yang harus menjadi concern utama dari sebuah pendidikan PAK adalah
peserta didik dan konteks hidup serta kehidupannya. Atau dapat juga berarti
bahwa PAK bukan bermaksud menjejali doktrin agama dan isi Alkitab. Pelajaran
agama bukanlah pewarisan sejumlah doktrin kepada generasi berikut sebagai
harta mati yang tidak boleh diubah melainkan pembuka kesempatan kepada
generasi itu untuk mengembangkan iman yang menjawab persoalan kotemporer. 14
Inti kerugma adalah tetap, yakni bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan
Penyelamat (hal ini tidak bias ditawar-tawar), namun penyebaran kerugma itu
menjadi didache terletak di tangan tiap generasi. Hal itu berarti kualitas pendidik
iman, baik dari sisi kemampuan pengetahuan maupun pemahaman dan
penghayatan imannya sangat menentukan. Sebab pendidikan agama yang
mewariskan agama secara otoriter akan menghasilkan generasi katak beragama di
bawah tempurung. Kemungkinan lain adalah bahwa pendidikan agama semacam
itu akan menimbulkan efek boomerang, yaitu generasi yang kelak malah akan
berbalik dan menolak agama. Kalau itu yang terjadi maka akan tercipta suatu
masyarakat yang skeptis dan bahkan sinis terhadap nilai-nilai agama.

3. Pengertian PAK

PAK adalah suatu usaha sengaja dari gereja untuk membimbing setiap pribadi dari
semua golongan umur agar mereka mengenal, memahami, menyadari dan menghayati
iman Kristen dan oleh pertolongan Roh Kudus peserta didik memasuki persekutuan
iman yang hidup dengan Tuhannya sehingga pada akhirnya peserta didik menjadi
warga gereja serta warga masyarakat yang baik dan bertanggung jawab sesuai dengan
terang Firman Tuhan.

4. Tujuan PAK

• Thomas H. Groome, mengatakan bahwa tujuan ultim PAK adalah Kerajaan Allah,
karena Kerajaan Allah-lah yang menjadi maksud dan tujuan penciptaan-Nya.
Kerajaan Allah itu pulalah yang menjadi tema pokok dan tujuan sentral
pemberitaan dan kehidupan Tuhan Yesus.
• Judo Poerwowidagdo, mengatakan: “Tujuan PAK adalah menggali dan
mengembangkan seluruh kemampuan peserta didik untuk diabdikan bagi

13
Benjamin Bloom, ed., Taxonomy of Educational Objectives, Handbook I : Cognitive Domain
(New York: David McKay, 1956) and David R. Krathwohl, Benjamin Bloom and Bertram B. Mesia,
Taxonomy of Educational Objectives, Handbook II : Effective Domain (New York: David McKay,
1964).
14
Sophia Lyon Fahs, Today’s Children and Yesterday’s Heritage (Boston: Beacon, 1952), 15-18.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 16
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

kepentingan Kerajaan Allah sesuai dengan kesaksian Alkitab baik PL maupun


PB”.
• Harold de Wolf, mengatakan: “Tujuan PAK adalah menghubungkan peserta didik
dengan Tuhan-nya di dalam dan melalui imannya kepada Yesus Kristus”.
• D.C. Wyckoff, mengatakan: “Tujuan PAK adalah menghubungkan peserta didik
dengan Tuhan-nya melalui imannya di dalam dan melalui Kristus dan juga
menyangkut hubungannya dengan soal-soal kemasyarakatan”.
• Howard Grimes, mengatakan: “Tujuan PAK adalah memimpin seseorang kepada
pertobatan yang utuh kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat satu-
satunya”.
• Frans Pantan, mengatakan: “Tujuan PAK membimbing seseorang menghidupi
totalitas kehidupannya sebagaimana layaknya orang yang sudah diselamatkan
oleh Tuhan Yesus Kristus lewat pengorbanan-Nya di atas kayu salib”.
Sebagai orang yang sudah diselamatkan, maka tentu saja cirri-cirinya adalah
sebagai berikut:
• Mengasihi Tuhan Allah dengan sungguh-sungguh (Mat. 22:37). Apa yang
Yesus katakan tidak lain dari apa yang dikatakan dalam hokum Taurat: jangan
ada padamu allah lain di hadapan-Ku. Jangan buat bagimu patung untuk
disembah. Jangan sia-siakan nama Tuhan (Kel. 20:2-11). Dalam dunia modern
sekarang ini banyak juga dewa modern yang dapat menggeserkan Allah,
antara lain: uang, kedudukan, jabatan, kekayaan, kecantikan, kuasa, hasil-hasil
ilmu pengetahuan dan tehnik, dll.
• Mengasihi sesame dengan sungguh-sungguh (Mat. 22:39). Semua manusia
diciptakan menurut citra Allah. Sama-sama memiliki hak dan martabat.
Karena itu manusia tidak boleh dijajah oleh kebencian, ketidakadilan,
kemiskinan, kebodohan, dll. Semuanya itu bertentangan dengan keselamatan.
Karenanya Yesus berkata: kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.
Apa yang Yesus katakana tidak lain dari apa yang juga dikatakan di dalam
hukum Taurat: hormati orangtua, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan
berdusta, jangan berzinah, jangan ingin kepunyaan sesamamu (Mat. 20:12-
170. Penyebab paling besar untuk tidak mengasihi sesame ialah hanya
mengasihi diri sendiri, sehingga manusia saling mau menjadi tuan atas
sesamanya. Sebagai orang selamat kita mengasihi sesame sebagai tanda kita
mengasihi Tuhan.
• Mengasihi diri sendiri. Artinya memelihara diri sendiri sebagai orang
selamat. Janagn disalah artikan hanya mengasihi diri sendiri. Tapi maksudnya
adalah tanggung jawab sebagai orang yang telah diselamatkan. Janganlah
merusak diri kita, baik masa kini maupun masa yang akan datang. Bila kita
tidak merusak diri kita tentu saja kita tidak akan merusak orang lain.
Kemudian orang-orang selamat bukan hanya memelihara diri, tetapi oleh
karena keselamatannya ia berusaha berprestasi sebaik dan setinggi mungkin.
Kita bekerja, berusaha dengan penuh semangat, rajin, disiplin dan penuh
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 17
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

dedikasi. Dan juga menjauhi hal-hal yang merugikan orang lain: malas,
korupsi, penyelewengan, ingin menang sendiri, dll.
• Terhubung erat dengan dunia ciptaan Allah di mana ia ditempatkan.
Manusia diberi mandate sekaligus tanggung jawab untuk mengolah ala mini,
tempat kediamannya. Di situ manusia yang selamat berusaha tidak akan
mengalami kelaparan, sakit penyakit, kekurangan, ketiadaan tempat berteduh,
dst. Ini juga sehubungan dengan mengatur sebaik-baiknya pekerjaan-
pekerjaan di atas muka bumi ini: di kantor, di sekolah, di gereja, dll. Dalam
rangka pengolahan alam ini tidak dimaksudkan kita menguras habis-habisan
segala sumber daya alam. Tidak semua burung di udara, ikan di sungai dan di
laut kita habiskan. Tidak semua pohon di hutan kita harus tebang. Kelestarian
kita perlu pelihara sebaik-baiknya guna kepentingan kita juga. Ingat
keselamatan yang Allah lakukan adalah juga untuk dunia ini.
• Terhubung erat dengan masa depan, bukan saja di dunia ini tetapi juga di
dunia baru yang akan dating. Maksudnya, keselamatan yang kekal. Hidup
dalam Kerajaan Allah yang penuh dan sempurna.

5. Catatan Singkat Perkembangan PWG abad 20

PWG yang kita kenal sekarang ini di Indonesia mulai dikristalisasi pada tahun
1945 di Eropa Barat. Pada Perang Dunia II sejumlah pemikir warga gereja yang
ditahan rezim Nasi merasa prihatin bahwa umat Kristen kurang berhasil menjadikan
diri relevan di tengah penderitaan manusia. Mereka mempelajari Alkitab dan
menyadari bahwa mereka adalah garam dunia, tetapi di manakah garam itu ketika
orang membeo dan membebek pemerintah diktatoral dan ketika satu bangsa
memusnahkan bangsa lain. Seusai perang para warga gereja ini berkumpul dan
memikirkan apa yang mereka harus lakukan. Sebagai hasilnya lahirlah pada tahun
1945 pusat pembinaan warga gereja Institut Kerk en Wereld di Driebergen, Belanda
yang diprakarsai oleh Hendrik Kraemer (1888-1965). Beberapa bulan kemudian
menyusul pembentukan pusat pembinaan warga gereja Evangelische Akademie Bad
Boll di Jerman yang diprakarsai oleh Eberhard Muller. Pusat-pusat pembinaan warga
gereja itu menghimpun untuk mendalami suatu masalah tertentu yang actual dalam
masyarakat, menyorotinya dari terang Firman Tuhan dan mempelajari langkah jalan
keluar yang dapat ditempuh oleh warga gereja di jalan hidupnya masing-masing.15
Sebenarnya kelahiran pusat-pusat pembinaan warga gereja pada tahun 1945
adalah ibarat telur yang menetas setelah dierami. Telurnya sendiri sudah keluar dua
dasawarsa sebelumnya. Tepatnya telur itu keluar dari benak Joseph Oldham (1874-
1969), warga gereja bukan pendeta di gereja Anglikan Skotlandia. Bersama dengan
Visser ‘t Hooft ia mempersiapkan konprensi sedunia tentang church, community and
State di Oxford, Inggris, tahun 1937. Dalam rangka persiapan konprensi itu, yang
sebenarnya merupakan reaksi menentang munculnya pemerintah-pemerintah totaliter
15
Hans-Ruedi Weber, “A New Movement Begins” in Centres of Renewal for study and Lay
Training (Geneve : WCC, n.d.), 5-7.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 18
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

di Eropa, Oldham menulis beberapa tesis tentang warga gereja. Salah satu tesisnya
berbunyi :
It is the members of the church, who discharge the responsibilities of the
commons life in a countless variety of occupations and in an infinite
multiplicity of daily acts and decicions, that are the leaven which leaven
the lump. In this faithful silent witness, they are fulfilling the priestly
function of the church.16
Kemudian tesis Oldham lebih lanjut adalah bahwa ia memandang peranan warga
gereja bukan untuk pekerjaan di dalam gereja melainkan untuk pekerjaan di luar
gereja. Tesis beliau sangat cemerlang dan komprhensif walaupun tidak semua
pemikir (teolog) spendapat dengannya. Pada waktu itu para pemikir tentang peranan
warga gereja, misalnya John Mott, melihat peranan warga gereja hanya sebagai alat
untuk kepentingan gereja. Tetapi menurut Oldham pentingnya warga gereja adalah
justru untuk kehidupan dan pekerjaannya di tengah masyarakat. Mengenai uniknya
tesis Oldham, berkatalah Kraemer :
This approach of Dr. Oldham was quite new, because for the first time it
was not the mobilization of active laymen for various purposes considered
quite apart from the church, simply for its effectiveness, as Dr. John R.
Mott had done in his organizing of the Laymen’s Missionary Movements,
but a viewing of the laity as an expression of the church and its calling and
function in the world.17

6. Beberapa Asumsi dan Implikasi Tesis Oldham

a. PWG lahir dari pemahaman ekklesiologis yang secara expressis verbis


merumuskan tempat organis warga gereja dalam hakekat dan missi gereja.
Oldham memperlihatkan ekklesiologinya ketika berkata bahwa gereja mempunyai
aspek ganda. Sebagai aspek pertama gereja adalah “a society organized for the
specific purposes of worship, teaching preaching and the pastoral ministry.”
Aspek kedua, gereja adalah “A society of men and women who have been given a
new understanding of life and have andergone a change which effects their whole
outlook and behavior and must color every of their lives. 18 Oldham lalu
mensinyalir bahwa sejauh ini aspek yang pertamalah yang paling dominant. Ia
berkata “It is the fisrt and more restricted of these conceptions which tends to
dominate our thingking and consequently to determine and limit our practice.
Thus the church has become clericalized in the thingking of both clergy and
laity.19
16
Joseph H. Oldham, “The function of the Church in Society”, in The Church and Its Function
in Society, ed., W. Visser ‘t Hooft and J.H. Oldham (London: George Allen & Unwin, 1937), 203.
17
Hendrik Kraemer, A Theology of the Laity (Philadelphia: Westminster, 1958), 33.
18
Oldham, Opcit., 154-155.
19
J.H. Oldham, The Oxford Conference, Official Report (Chicago: Willet Clerk, 1937), 35.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 19
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

b. PWG berasumsi bahwa ciri-ciri gereja yang sejati sebagaimana dirumuskan oleh
Calvin adalah kurang lengkap. Calvin mengatakan bahwa ciri gereja adalah
pelayanan Firman secara benar dan pelayanan sakramen secara benar. 20 Kalau
hanya itu ciri gereja, maka warga gereja adalah obyek belaka. Warga gereja
menjadi subyek kalau “notae ecclesiae” Calvin itu dilengkapi dengan ciri yang
lain, yakni kesaksian melalui perbuatan oleh warga gereja dalam hidup
sekulernya. Hal itu diperlukan supaya pemahaman ekklesiologi kita, kata Oldham,
jangan mengarah kepada suatu “disastrous ecclesiasticizing of the church, so that
it becomes primarly an affair and interest of the clergy…rather than a community
of redeemed men and women joyfully serving God in the ordinary concern of the
common life.21
c. PWG berasumsi bahwa konsepsi yang tinggi tentang warga gereja bukan berarti
konsepsi yang rendah tentang jabatan pendeta. Kelahiran PWG bukanlah untuk
memperjuangkan status yang lebih tinggi bagi warga gereja lalu mengurangi arti
jabatan pendeta. Peranan warga gereja adalah di garis depan, dan untuk itu
dibutuhkan pembekalan oleh pendeta dari garis belakang. Keduanya saling
menopang. Oldham membayangkan wadah PWG di mana pendeta dan warga
gereja saling belajar, bukan di mana pendeta mentransmisikan suatu kebenaran
yang otoritatif. Berkatalah Oldham, “It is necessary that Christian ministers
should set themselves deliberately to learn as well as to teach. From the laity may
be learned lessons of life that find no place in the curriculum of theological
college”.22 Berbicara tentang konsepsi pendeta dan konsepsi warga gereja, Hans-
Ruedi Weber menegaskan, “A high doctrine of the laity does not exclude, but
rather demands, a new high doctrine of the clergy”.23
d. Adanya PWG bukanlah untuk menghasilkan warga gereja yang banci, yaitu ½
warga gereja biasa dan ½ pendeta. Orang sering mengira bahwa warga gereja
yang baik adalah mereka yang banyak meninggalkan pekerjaan duniawainya lalu
aktif dalam pekerjaan rohani. Padahal yang dibutuhkan adalah warga gereja yang
justru di dalam dan melalui pekerjaan duniawinya bersaksi tentang Tuhan Yesus.
Di sini ada lagi salah paham di mana orang mengira bahwa bersaksi adalah
memberi renungan di kantor tempat bekerjanya atau sering-sering menyebut “puji
Tuhan”. Padahal yang diperlukan adalah kesaksian tanpa kata namun penetratif,
yaitu bersaksi melalui sikap dan perbuatan misalnya menunjukkan kerja yang
bermutu dan jujur, tidak minta disuap dan tidak menerima hadiah yang bersifat
menyuap. Warga gereja yang rajin dalam soal rohani tetapi berperilaku tidak
Kristiani dalam dunia, pekerjaannya termasuk apa yang disebut Hoekendijk
sebagai warga gereja yang schizofren. Berkatalah Hoekendijk :

20
John Calvin, Institutio, 4.1.9
21
Oldham, “Functions”, 156
22
Ibid., 199
23
Hans-Ruedi Weber, Salty Christians (New York: Seabury, 1969), 17.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 20
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

“…. It betrays something of the layman’s professional dicease :


schizophrenia. It leads to a split between the world of Sundy and the world
during the rest of the week.. a clericelized layman is unsuited for the
opostolate; he has become a church-domesticated layman, tamed and
eaged by the church – one who has betrayed his own trade and has become
unfaithful to the earth.24
e. Itu bukan berarti bahwa PWG mengecilkan arti keaktifan warga gereja di dalam
kegiatan domestic gereja. PWG pun mempunyai lapangan kerja yang mengkader
dan memampukan warga gereja untuk menjadi pelayan pekerjaan gereja. PWG
menyadari perlunya keseimbangan antara kesaksian di kehidupan sekuler dan
pelayanan di dalam gereja. Tidak ada polarisasi diantara keduanya.

7. Pengertian PWG

PWG adalah “usaha gereja secara sengaja untuk memampukan warga gereja
khususnya yang sudah dewasa menjadi alat kesaksian Tuhan Yesus Kristus kepada
lingkungan hidupnya serta dunia dimana ia dihadirkan melalui karya-karya dan
bahkan keseluruhan penampilan kehidupannya”.

8. Perbedaan PAK dan PWG


Pendidikan Agama Kristen (PAK) :
• Ditujukan kepada semua golongan umur. Karena itu di dalam dunia PAK,
kita mengenal adanya: PAK anak, PAK remaja, PAK pemuda, PAK dewasa dan
PAK manula. Masing-masing jenis PAK yang berdasarkan klasifikasi umur itu
dirancang dalam bentuk dan pendekatan yang berbeda. Hal itu dilakukan atas
pertimbangan bahwa kebutuhan dari masing-masing kelompok umur tersebut
berbeda.
• Tugas PAK lebih banyak ke arah pewarisan Iman Kristen, di mana peserta
didik (warga/umat gereja) diberikan pelajaran dasar-dasar iman secara terstruktur
dan bersinambung. PAK (khususnya PAK di sekolah) lebih mengedepankan
unsur pengetahuan (kognitif), sehingga factor afektif dan psikomotor cenderung
diabaikan. Tentu PAK yang dilaksanakan di gereja, diharapkan tidak demikian;
artinya tetap dirancang untuk mencapai tiga aspek pengetahuan secara seimbang,
yaitu : aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotor.
• PAK merupakan pendidikan yang lebih bersifat formal dan berlangsung
lama serta berkesinambungan.
Pembinaan Warga Gereja (PWG) :
• Ditujukan kepada orang dewasa. Kenapa hanya orang dewasa ? Hal ini terkait
dengan sejarah pemahaman tentang keanggotaan gereja, di mana pada umumnya
dalam gereja-gereja arus utama (saya menyebutnya “gereja tua”), seseorang baru

24
J.C. Hoekendijk, The Church Inside Out, trans. Isaac Rottenberg (Philadelphia: Westminster,
1966), 89.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 21
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

resmi dianggap sebagai anggota gereja yang sah setelah menjalani upacara “sidi”
ketika seseorang sudah mencapai usia pemuda.
• Tugas PWG lebih banyak ke arah melayani orang supaya meningkatkan
kemampuan penghayatan imannya, tetapi juga agar ia dimungkinkan mewujudkan
tugas dan panggilannya di tengah-tengah dunia dan masyarakat di mana ia berada
dengan segala apa yang ada padanya.
• PWG lebih bersifat non-formal pada warga gereja yang diselenggarakan
sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan khusus dan berlangsung dalam waktu yang
singkat.
• Pelaksanaan PWG lebih bersifat fleksible, karena disiapkan dan disusun
sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan actual.

9. Persamaan PAK dan PWG

a. Merupakan pendidikan gereja yang mempunyai kriteria dasar pendidikan yaitu :


• Intensional, berarah tujuan, direncanakan dan disengaja.
• Mempunyai nilai-nilai, menolong peserta didik mengoreksi dan
meningkatkan nilai-nilai hidup.
• Melibatkan usaha untuk mengetahui dan mengerti, lalu usaha untuk
melihat relasi antara apa yang diketahui dan dimengertinya tentang hal yang
satu dengan hal yang lain.
• Terjadi sebagai hasil interaksi yaitu belajar (interaksi antara pelajar
dengan apa yang dipelajari) dan mengajar (interaksi antara pengajar, pelajar
dan bahan pelajaran).
• Terjadi dalam suatu proses.
• Menyangkut dan menimbulkan hasil positif dalam hubungan dengan
dirinya dan hubungan dengan dunia di luar dirinya.
• Menyangkut dimensi kognitif, afektif, aktif dan motif.
• Menyangkut pertumbuhan stadium perkembangan jiwa peserta didik.
b. Bertujuan menolong warga gereja bertumbuh dalam iman Kristiani menuju
kepada tingkat kedewasaan penuh di dalam Kristus. Tetapi di samping itu juga,
menolong setiap warga gereja untuk mampu merealisasikan iman secara konkret
dalam realitas kehidupannya di segala tempat dan situasi.
c. PAK dan PWG mempunyai missi yang kontekstual sesuai dengan kebutuhan
lapangan dan jaman. PAK dan PWG mempunyai misi menjembatani jurang
antara ibadat dengan praktek hidup. Di Indonesia sekarang ini kehidupan
beragama tumbuh dengan subur. Tempat-tempat ibadat dipenuhi dengan umat
penganutnya. Tetapi kehidupan berargama cenderung bersifat ritual. Di satu pihak
orang rajin beribadah, tetapi di lain pihak terjadi penyalagunaan wewenang,
korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, materialisme dan egoisme belum
tersentuh oleh kehidupan beragama. Persepsi keberagamaan lebih menekankan
bakti ritual dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Kehidupan beragama
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 22
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

lebih berorientasi vertical dari pada horizontal. Kepekaan spiritual ternyata tidak
atau belum disertai dengan kepekaan social. Kalau pendidikan agama berjalan ke
arah ini, maka pendidikan agama merosot menjadi indoktrinasi belaka dan umat
akan menjadi munafik dan bahkan fanatisme agama yang sempit.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 23
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

BAB V
KARAKTERISTIK
PEMBINAAN WARGA GEREJA

Di atas telah dipaparkan secara singkat beberapa perbedaan dan juga persamaan
PAK dengan PWG. Pada paparan kita berikutnya, sangat perlu pula dikedepankan
tentang ciri-ciri khas atau karakteristik dari PWG. Hal itu dilakukan agar PWG
semakin jelas posisinya dalam rumpun teologia praktika. Untuk memperoleh
gembaran jelas tentang karakteristik atau ciri-ciri khas PWG, saya mengajak kita
memperhatikan apa yang dikemukakan oleh Alfred Schmidt. Ia mengemukakan ada
tujuh ciri PWG sebagai berikut :
1. Sikap tindakan yang terbuka terhadap perubahan-perubahan yang luas dan
mendalam di dalam masyarakat, dan menempatkan diri secara bertanggung jawab
dan dewasa, secara kritis dan kreatif, di dalam situasi yang baru. Ini berarti bagi
pelayanan gerejawi: bahwa orang-orang Kristen yang ada di tengah-tengah dan
yang menghadapi tantangan baru di dalam dunia dan masyarakat, menjadi sadar
bahwa mereka membutuhkan sikap dan tindakan yang terbuka. Mereka ditolong
untuk memiliki kelengkapan untuk memenuhi panggilannya selaku orang-orang
yang bertanggung jawab. Kita, orang percaya, terpanggil untuk “menjadi kawan
sekerja Allah di dalam pekerjaan-Nya” (1 Kor. 3:9). Apa yang diminta oleh Rasul
Paulus “untuk mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup”
(Rm. 12:1) tidak mampu diwujudkan sebab warga gereja itu belum pernah
memperoleh kesempatan dilatih untuk itu.
2. Sikap kedewasaan: Dengan kata dewasa dimaksudkan kemampuan seseorang
untuk mengungkapkan dengan perkataan sendiri, pikiran dan pengharapannya
serta memutuskan bagi dirinya sendiri jalan-jalan untuk membentuk masa depan
yang dipilihnya sendiri. Ini berarti bahwa ia tidak tergantung pada apa yang
dikatakan oleh orang lain, pada pikiran atau pimpinan orang lain. Orang yang
dewasa menjadi cukup bebas untuk melihat dan menilai tanda-tanda zaman
sendiri, untuk kemudian bersama dengan rekan-rekannya mampu memberikan
jawabnya yang khas. Cukup jelas bahwa pengertian ini mencakup juga segala
aspek social dan politis.
Kedewasaan manusia juga terdapat dalam hubungan antar manusia di mana
dipahami bahwa tidak seorang pun akan dewasa dalam sesuatu struktur otoriter
masyarakat. Dalam suatu struktur masyarakat feodal, di mana berlangsung
perintah dari atas ke bawah, kedewasaan tidak akan diperoleh melalui suatu
indoktrinasi. Maka tugas tenaga pembinaan ialah sebagai hamba yang
menyediakan diri, yang akan menolong dan menyaksikan kemuliaan Tuhan, tetapi
tidak dapat mewujudkan kedewasaan orang lain. Tugasnya bersifat
menyingkirkan hambatan-hambatan di jalan menuju kedewasaan, dari pada
bersifat membangun orang-orang yang dibina oleh Allah.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 24
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

3. Ciri khas yang ketiga adalah menjadi mampu berpikir secara ekumenis, berpikir
inklusif. Dimensi inklusif tidak boleh dibatasi oleh bentuk-bentuk kepercayaan
Kristen, tetapi juga harus mencakupi bentuk-bentuk berbagai kepercayaan dan
agama lain yang berbeda-beda. Kita dibawa kepada kesadaran bahwa corak
kehidupan dan nasib manusia saling berkaitan satu sama lain. Dan bahwa umat
manusia di dunia ini merupakan suatu himpunan yang berada dalam suatu
pemahaman dan perasaan senasib.
Berpikir ekumenis berarti melihat seluruh anggota umat manusia sebagai sesame.
Kesejahteraan umat manusia di mana-mana harus mendorong untuk mengatasi
sikap mengisolisasi diri atau sikap nasionalisme yang picik. Secara realitis kita
harus memahami bahwa tugas mencapai tujuan agung itu tidak akan terlaksana
dan tujuan itu tidak akan tercapai tanpa kerja sama dari seluruh umat manusia
dengan melibatkan segala kemampuan dan kesediaannya.
4. Ciri khas keempat dari PWG adalah penyadaran dan penghadiran yang diberi
kepada manusia untuk mendorongnya kepada pengalaman kebebasan yang
tersedia itu. Berdasarkan kesaksian Alkitab, kebebasan manusia dapat dilihat dari
tiga aspek :
• Aspek pertama, kebebasan dari: ini berarti menjadi bebas dari keakuan.
Menurut Martin Luther inilah pusat utama dari dosa manusia. Bebas dari
keterbelengguan manusia dalam dosa, bebas dari keterpenjaraan pandangan
hidup yang mengekang orang pada usaha hanya mengurus kepentingan diri
sendiri. “Kebebasan dari” adalah anugerah yang diberikan: tetapi serentak
juga merupakan proses dalam membebaskan diri. Proses ini baru berakhir bila
kita memasuki atau beroleh “kebebasan untuk”.
• Aspek kedua, kebebasan untuk: diperoleh dan dipenuhi dalam pelayanan
kepada sesama manusia. Yaitu tindakan yang memperhatikan dan memandang
sesama manusia lebih mulia daripada kepentingan diri sendiri.
• Aspek ketiga, kebebasan dalam: terdapat pada surat Galatia yang
membicarakan tentang kemerdekaan manusia Kristen (Gal. 5:1-11).
Kemerdekaan Kristen dipenuhi dalam iman dan diwujudkan melalui tindakan-
tindakan berdasarkan kasih. Orang Kristen yang dibebaskan seyogianya
menjadi peka terhadap kebutuhan sesama manusia. Juga peka terhadap sikap
diri sendiri. Kebebasan yang sebenarnya adalah pertobatan manusia dalam
akar dan dasar kehidupannya sendiri.
5. Ciri khas kelima adalah mampu bekerja sama. Dalam pengalaman sehari-hari kita
menyadari betapa pentingnya bahwa kerja sama dipupuk dalam masyarakat, dan
bahwa sikap kerja sama harus dilatih sejak usia muda. Kerja sama dalam
perjalanan bersama-sama dewasa ini dan di masa depan adalah syarat mutlak
untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi manusia. Kerja sama harus
berdasarkan atas kepercayaan satu kepada yang lain, atas hokum dan keahlian dan
atas kemampuan memegang tanggung jawab. Kerja sama berarti bahwa kita harus
mementingkan diri kita sendiri secara seimbang dengan kepentingan orang lain
secara timbal balik. Saya akan mencapai kepentingan diri saya sendri jika itu juga
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 25
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

menyangkut kepentingan orang lain. Syarat utama dari kerja sama yang hakiki
adalah “Kasihilah sesama manusia seperti dirimu sendiri” (Luk. 1:27).
6. Ciri khas yang keenam adalah bersedia dan mampu berpikir secara lugas
(zakelijk) atau perkara yang bersifat langsung pada pokok. Dengan berpikir lugas
dimaksudkan bahwa orang belajar dan menetrapkan sesuatu pelajaran (atau
sesuatu pemahaman) dengan memisahkan persoalan pokok dari persoalan pribadi.
Pendeta pada umumnya belum bersedia menerima kritik dari jemaat terhadap
khotbah-khotbahnya. Pendeta biasa menilai khotbahnya itu sama dengan Firman
Allah, identik dengan Firman. Padahal masalahnya bukanlah terletak pada taat
tidaknya Pendeta terhadap Firman Allah. Yang menjadi masalah adalah
kemampuan mengajar dan belajar untuk berpikir secara metodis, agar
mengungkapkan ketaatan kepada Firman Allah secara jelas, dan menterjemahkan
pengertian-pengertian agung dari Firman Allah ke dalam istilah-istilah sehari-
hari. Kemampuan berpikir secara lugas mengenai pokok persoalan adalah
termasuk juga kemampuan dan kesediaan untuk menerima dan menilai kritik,
serta mengakui kekurangan dan kemampuan sendiri.
7. Ciri ketujuh adalah sikap dan semangat dialogis. Dialog dimulai dengan dialog
antara Allah dan manusia. Dialog selalu berarti melibatkan Allah dan sesama
manusia ke dalam diri sendiri. Sikap dialogis pertama-tama berarti bahwa orang-
orang tidak hanya didengar, tetapi ada juga kesediaan mendengar dan bertukar
pikiran dengan sesame. Apa yang diperlukan sebetulnya adalah pelayanan
mendengar. Ini berarti menjadi peka terhadap pertanyaan orang lain, terhadap
pengharapan dan kekuatiran orang lain. Menjadi peka terhadap “suara dan jeritan
orang sengsara” (Ayub 34:28).
Orang yang bersikap dialogis akan menjadi kawan sekerja Allah dengan cara
yang istimewa. Dalam dialog kita memberi kesempatan kepada sesama kita untuk
melepaskan diri dari penjara monolog dan keakuan. Keakuan adalah sikap dan
mental yang hanya memikirkan diri sendiri semata-mata, malah mempergunakan
orang lain untuk kepentingan diri sendiri, dan hanya berputar-putar di sekitar
dirinya sendiri. Sikap dialogis akan menolong untuk melihat ketergantungan diri
sendiri dengan sesama di hadapan Allah.25
Kalau kita memperhatikan ketujuh karakteristik PWG yang dikemukakan oleh
Schmidt di atas, maka dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa PWG lebih tetap
diberikan kepada orang-orang dewasa. Materinya disusun secara fleksible dan
disesuaikan dengan kbutuhan actual dalam suatu konteks kehidupan.

25
Alfred Schmidt, Kawan Sekerja Allah (Jakarta: BPK Gunung Mulia untuk IOI-DGI), 12-27.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 26
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

BAB VI
SENTRALITAS GEREJA DALAM PWG

Ketika kita mulai berbicara tentang pendidikan, dan atau pembinaan, biasanya
asosiasi berpikirnya langsung terarah pada lembaga-lembaga “sekolah”, lembaga-
lembaga kursus yang formal maupun non-formal. Padahal media atau konteks pendidikan
bisa dilakukan oleh keluarga (di rumah), gereja, sekolah, kursus-kursus, bahkan
lingkungan masyarakat di mana saja seseorang itu hadir. Masing-masing konteks
pendidikan mempunyai “core” tugasnya. Dalam kaitannya dengan pendidikan iman
Kristiani, di samping menjadi tugas utama dari pendidikan dalam keluarga, tetapi juga
menjadi tugas penting dari gereja. Karena itu pembinaan warga gereja adalah merupakan
wilayah tanggung jawab utama dari gereja, bukan keluarga, sekolah atau kursus, dll.
Karena itu, gereja tidak dibenarkan apabila melemparkan tanggung jawab itu kepada
institusi-institusi lain, seperti sekolah, dll.
Dalam realitas pelaksanaan tugas pelayanan gereja, khususnya di bidang PWG, belum
terlaksana secara komprehensif. Artinya bahwa bisa saja sebagian sudah terlaksana,
misalnya telah melakukan ibadah di gedung gereja yang diisi dengan pujian, kesaksian
umat dan kemudian mendengarkan khotbah pendeta. Tetapi sebenarnya itu barulah
merupakan sebagian kecil dari sekian banyak tugas pembinaan gereja terhadap umat yang
dipercayakan dan diperhadapkan Tuhan kepadanya. Pembinaan warga gereja seharusnya
bersifat komprehensif, yaitu menyentuh dan atau menjawab seluruh konteks kebutuhan
umat.
Dilandasi dengan pokok pikiran di atas, maka pada bagian ini, pertama-tama secara
khusus akan dibahas tentang pengertian gereja dan posisi sentralitasnya dalam
pelaksanaan tugas PWG. Asumsi dasarnya adalah jika pemahaman kita terhadap hakikat
gereja jelas dan tepat, maka itu akan menjadi modal serta sekaligus sebagai pemberi arah
yang akurat bagi pelaksanaan dan pencapaian sasaran (goal) PWG, baik dalam konteks
gereja lokal, sinodal maupun gereja dalam arti universal. Dilandasi dengan asumsi
tersebut, maka perlu dipaparkan beberapa point penting berikut ini :

a. Pengertian Gereja Secara Teologis


Tulisan ini tidak persiapkan untuk melakukan studi kata (word study) tentang
“gereja”, melainkan lebih diarahkan pada tataran pengertiannya; baik pengertian
teologis maupun pengertian praktis. Salah satu pengertian teologis tentang gereja,
diungkapkan oleh French L. Arrington dalam bukunya “Christian Doctrine; A
Pentecostal Perspective” : The Church is the community of faith. Where the word of
God is preached and received by faith there is the church.26 Tetapi pada sisi lain,
gereja dapat pula didefinisikan sebagai sebuah persekutuan yang diberi spesifikasi
atau konotasi yang khusus, yaitu sebagai persekutuan orang-orang percaya, yang

26
French L. Arrington, Christian Doctrine; A Pentacostal Perspective, Volume three,
(Tennessee: Pathway Press), 165
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 27
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

dipanggil, dipilih dan dikuduskan untuk menjadi berkat bagi semua orang atau
sesama manusia (bnd. Kej. 12:2-3; Kel. 19:5-6; Ul. 4: 20; 7:26; 14:2; 26:18; Tit. 214;
1Petr. 2:9). Dalam rangka panggilan, pilihan dan pengudusan (pengkhususan) inilah
PL berbicara tentang umat Allah (am Yahwe) yang di dalam PB diterjemahkan ek-
klesia, yaitu persekutuan orang-orang yang dipanggil keluar dari ikatan-ikatan lama
kemudian dikhususkan untuk menjadi berkat bagi semua orang. Di sini tampak
dengan jelas bahwa gereja merupakan persekutuan atau perkumpulan masyarakat
iman yang menurut iman Kristiani adalah masyarakat (siapa saja yang terdiri dari
orang-orang) yang telah menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan juruselamatnya.
Secara teologis gereja dapat diartikan sebagai persekutuan yang lahir dari Allah,
karena ia merupakan buah tangan pekerjaan Roh Kudus. Itulah sebabnya,
kehadirannya di dunia ini mempunyai pengertian yang special, yaitu: sebagai “agen”
atau “mediator” berkat Allah bagi dunia ini.

b. Gereja adalah Orangnya


Dilandasi pemahaman pada point a di atas, maka saya ingin mengutip apa yang
dikemukakan oleh Dr. Theo Kobong, melalui tulisannya yang berjudul “Gereja
Bukanlah Gedungnya, Gereja Adalah Orangnya” dalam buku “Kepemimpinan dan
Pembinaan Warga Gereja. Ia secara jelas menguraikan bahwa gereja adalah
orangnya.27 Dari uraian terdahulu di atas kita sudah dapat memahami bahwa yang
dimaksudkan pertama-tama bukanlah gedungnya, melainkan gereja adalah orangnya.
Kita juga sudah memahami bahwa tugas dasar yang diberikan Allah kepada kita
adalah sama dengan tugas yang diberikan Allah kepada Abraham yaitu memeilihara
kehidupan. Memelihara kehidupan seperti yang dimaksudkan Allah tidak mungkin
dilakukan oleh gereja sebagai lembaga/institusi. Di dalam Alkitab, Allah tidak
berbicara kepada lembaga/institusi, melainkan kepada manusia-manusia, walaupun
Alkitab mempergunakan juga ilustrasi seperti bangunan (Ef. 2:21-22; 1 Petrus 2:5),
tubuh (1 Kor. 12), kawanan domba (Yoh. 21:15-17; 1 Petr. 5:2). Namun jelas bahwa
yang disapa melalui ilustrasi-ilustrasi (itu berarti ilustrasi di sini hanya diposisikan
sebagai sarana komunikasi yang komunikatif) itu adalah manusia-manusia yang telah
memberikan dirinya dirangkul oleh kasih Allah. Dengan demikian mau dikatakan
bahwa masing-masing umat Allah disapa sebagai bagian dari satu bangunan, satu
tubuh, satu kawanan domba, tetapi kepada masing-masing anggota telah diberikan
karunia yang berbeda-beda. Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lain
menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita (Roma 12:6). Setiap anggota
mempunyai fungsinya masing-masing (1 Kor. 12). Di dalam 1 Kor. 12:21 dyb. Paulus
mengatakan: mata tidak dapat berkata kepada tangan; aku tidak membutuhkan
engkau. Dan kepala tidak dapat berkata kepada kaki, aku tidak membutuhkan engkau.
Malahan justru anggota-anggota tubuh yang menurut pemandangan kita kurang
terhormat, kita justru memberikan penghormatan khusus kepadanya. Demikian juga
terhadap anggota-anggota tubuh kita yang tidak elok, kita berikan perhatian khusus
kepadanya.
27
Sularso Sopater, ed., Seri Membangun Bangsa; Kepemimpinan dan Pembinaan Warga
Gereja (Jakarta: Sinar Harapan, 1998), 71-73
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 28
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

Di tempat lain Paulus berkata bahwa kita adalah satu tubuh di dalam Kristus.
Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lain menurut kasih karunia yang
dianugerahkan kepada kita: jika karunia itu adalah untuk bernubuat, baiklah kita
melakukannya sesuai dengan iman kita. Jika karunia untuk melayani, baiklah kita
melayani, jika karunia untuk mengajar, baiklah kita mengajar, jika karunia untuk
menasehati, baiklah kita menasehati. Karunia intelektual itu bermacam-macam,
karunia seni mungkin lebih bervariasi lagi, demikian juga karunia keterampilan tidak
kurang banyaknya. Singkatnya kehidupan ini mempunyai banyak segi yang sering
kita tidak sadari, namun apabila kita yakin bahwa kehidupan ini adalah ciptaan
pemberian Tuhan, maka kita harus pula sadari bahwa kehidupan ini adalah ciptaan
dan pemberian Tuhan, maka sebaiknya kita sadar bahwa kehidupan seperti itulah
yang harus kita pelihara dan kembangkan, masing-masing menurut talenta yang
dipercayakan kepadanya.
Dengan pemahaman di atas bahwa gereja/umat Allah dipanggil dan diberikan tugas
memelihara kehidupan, maka jelas bahwa gereja hanya bisa memelihara kehidupan
melalui anggota-anggotanya di setiap bidang kehidupan (artinya dalam multi
kompetensi) sesuai dengan kehendak Allah. Dengan kesadaran demikian, maka
gereja mau tidak mau mempunyai kewajiban untuk memperlengkapi anggota-
anggotanya untuk memelihara kehidupan itu. Untuk itulah Yesus Kristus sendiri
memberikan kepada gereja-Nya pejabat-pejabat/pelayan-pelayan khusus. Para pejabat
dan pelayan tersebut adalah primer dan terutama untuk memperlengkapi warga gereja
bagi suatu pekerjaan memelihara kehidupan yang mengacu kepada kerajaan Allah.
Jadi yang diperlengkapi adalah orangnya dan bukan gedungnya atau organisasinya,
atau kalau organisasinya dan gedungnya dibenahi, maka itu hanya untuk menunjang
usaha mengfungsikan anggota-anggotanya secara efektif. Jadi sekali lagi, starting
point, focusing point and finishing point adalah orangnya, bukan gedungnya. Di
sinilah tampak secara jelas pentingnya PWG.

c. Gereja Dalam Pemahaman Praktis


Menurut Lawrence O. Richards, dalam bukunya A Theology of Christian Education,
bahwa pemahaman mengenai hakikat, sifat dan tugas gereja yang kita anut, akan
sangat mempengaruhi pola pikir kita sendiri terhadap tugas gereja dalam pendidikan
atau pembinaan.28 Dilandasi dengan pengertian ini, maka pemahaman yang jelas oleh
umat, khususnya para “elite” gereja tentang gereja harus dirumuskan secara tepat dan
disosialisasikan. Menurut urgensinya, hal ini merupakan sesuatu yang tidak bisa lagi
ditunda-tunda. Karena apabila tidak, akan terjadi penyalahgunaan dan atau
pemanfaatan institusi gereja dengan label pelayanan demi mewujudkan ambisi
pribadi, kerakusan dan kepentingan pribadi atau kelompok-kelompok tertentu. Dan
kalau itu terjadi, akibatnya praktek dan perilaku sekuralisasi gereja terjadi. Gereja
dapat menjadi arena perebutan kekuasaan, pengumpulan kekayaan, penerusan
kerajaan, tempat perdagangan agama yang sangat populer, dll. Ada beberapa

28
Lawrence O. Richards, A Theology of Christian Education (Grands Rapid: Zondervan
Publishing House, 1975), 120.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 29
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

pemahaman praktis yang dapat dilekatkan pada gereja, seperti yang diuraikan berikut
ini:
• Gereja sebagai suatu organisasi
Organisasi gereja tidak diuraikan secara tegas di dalam Perjanjian Baru.
Organisasi gereja disinggung hanya sedikit saja oleh Kristus dalam Matius 18,
ketika Ia berbicara tentang pembuktian fakta mengenai suatu perselisihan melalui
pemeriksaan bersama oleh jemaat. Ketika kekuasaan para rasul berlalu,
tampaknya organisasi kolektif yang menggantikannya. Sebagai contoh, dalam
Kisah Para Rasul 8 Petrus menentang Simon si tukang sihir berdasarkan
kekuasaan sepihak. Beberapa tahun kemudian, Rasul Paulus menulis kepada
jemaat di Korintus bahwa mereka mempunyai tanggung jawab bersama untuk
menghakimi orang-orang jahat yang ada di tengah-tengah mereka (1 Kor. 5:13).
Di dalam gereja mula-mula organisasi merupakan upaya menanggapi kebutuhan-
kebutuhan dan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh gereja. Sebagai contoh
yang paling jelas tentang pemilihan diaken dalam Kisah Para Rasul 6. Tetapi
dalam perkembangannya lebih lanjut, tidak bisa dihindari bahwa gereja dalam
perjalanan tugas dan tanggung jawab kesaksiannya menghadapi multi tugas
harus dikerjakannya, termasuk di dalamnya PWG. Hal inilah yang mendorong
gereja untuk harus menjadi suatu organisasi yang mampu menerapkan elemen-
elemen organisasi dan kepemimpinan secara benar dan relevan.
• Gereja sebagai suatu organisme
Untuk memahami gereja sebagai suatu organisme, ada baiknya kita mengutip apa
yang dikemukakan oleh William W. Menzies dalam bukunya “Doktrin Alkitab”.
Ia berkata bahwa “gereja lebih dari sekedar organisasi; gereja adalah organisme
yang hidup. Kepala Gereja adalah Yesus Kristus (Ef.1:22,23), yang memelihara
gereja, serta memberikan nhidup rohani kepadanya. Akan tetapi, organisme yang
hidup harus mempunyai struktur. Dalam dunia ini tidak ada yang lebih hebat
organisasinya daripada sel hidup yang paling sederhana. Demikian pula, gereja
adalah susunan bagian-bagian yang rapih dan tersusun, susunan yang ditemukan
bila menyelidiki pola gereja Rasuli. Struktur yang dinyatakan dalam Perjanjian
Baru sangat sederhana, namun prinsipnya ialah bahwa hanya organisasi yang
penting bagi kelangsungan kehidupan gereja harus dipakai. 29 Apa yang
dikemukakan oleh Menzies di atas dapat kita mengambil suatu kesimpulan bahwa
gereja memiliki dimensi illahi dan insani. Illahi karena lahir dari karya Roh
Kudus dan insani karena membutuhkan penataan dari manusia dalam suatu
realitasnya sebagai organisasi.

d. Kedudukan dan Tugas Ganda Gereja


• Kedudukan Gereja
Dalam rangka memahami kedudukan gereja, menarik apabila kita memperhatikan
apa yang Homrighausen katakan tentang gereja. Ia mengatakan, kedudukan gereja

29
William W. Menzies dan Stanley M. Horton, Doktrin Alkitab (Malang: Gandum Mas, 1998),
177.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 30
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

harus dilihat dari tiga aspek, yaitu: gereja adalah pemberian Allah, gereja adalah
suatu organisasi di tengah-tengah masyarakat dan gereja merupakan suatu badan
yang melakukan fungsinya yang istimewa di antara umat manusia. 30 Dari tiga
aspek ini, khususnya aspek yang ketiga sangat terkait erat dengan tugas PWG.
Disebutkan sebagai tugas istimewa oleh karena tugas PWG dimandatkan Allah
bukan kepada lembaga-lembaga non-gereja, melainkan memang telah menjadi
salah satu tugas khusus gereja. Gerejalah yang harus bertanggung jawab terhadap
segala jenis pendidikan/pembinaan iman warga gereja. Apabila gereja melalaikan
tugas tersebut, maka ia telah melalaikan salah satu hakikat dirinya.

• Tugas Ganda Gereja Dalam PWG


Tugas gereja harus dipahami, dibangun dan dikembangkan dalam suatu dimensi
yang bersifat komprehensif. Tugas Gereja bukan hanya membimbing umat
untuk beriman dan memiliki hubungan dengan Tuhan, melalui kegiatan-kegiatan
pembinaan, seperti dalam bentuk khotbah-khotbah pada acara-acara kebaktian,
pemasyuran Injil, pendalaman-pendalaman Alkitab, dan lain-lain, tetapi harus
pula memperlengkapi dan mendorong umat berbuat sesuatu sesuai bidang
kemampuannya, agar menjadi berkat dalam suatu kehidupan konkret terhadap
sesamanya. Di sinilah tampak secara jelas pentingnya suatu proses pendidikan
atau pembinaan yang bersifat holistic (artinya pendidikan yang menyentuh
seluruh aspek hidup manusia, baik rohani maupun pengetahuan dan keterampilan
umum) dalam suatu gereja. Dengan demikian tugas pencerdasan warga gereja
adalah juga salah satu tugas pokok dari gereja itu sendiri. Hal ini senada dengan
apa yang dikatakan oleh Daniel Aleshire, ia mengatakan, salah satu (artinya
masih ada yang lain) maksud dari gereja adalah “the church must educate its
members”.31 Salah satu maksudnya adalah agar warga gereja menjadi warga yang
terdidik sehingga memahami secara benar isi imannya (content of the faith),
memahami secara benar apa yang benar dan salah, memahami dan mampu
mengkomunikasikan imannya ke dalam kehidupan konkrit, memahami dan
mampu melakukan sesuatu yang memberi makna bagi hidupnya dan hidup orang
lain.
Penekanan utama dalam proses belajar yang dijalankan bagi warga gereja,
hendaknya tidak merupakan suatu proses untuk memiliki sesuatu, melainkan lebih
diarahkan sebagai suatu proses untuk menjadi sesuatu. Hal ini tidak dimaksudkan
bahwa sertifikat yang kita dapatkan melalui suatu proses pendidikan tidak berarti
apa-apa, sehingga sebaiknya dibuang saja. Bukan itu yang dimaksud ! Sekali
lagi, bukan. Tetapi adalah benar bahwa apalah artinya kita memiliki sejumlah
sertifikat yang kita dapatkan dari berbagai lembaga pendidikan, baik yang
sifatnya formal maupun yang sifatnya non-formal, kalau ternyata hidup kita
hidupi ini ternyata tidak berguna secara maksimal, baik untuk diri kita sendiri
30
E.G. Homrighausen, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 53.
31
Bruce P. Powers, ed., Christian Education Handbook; Resources for Church Leaders
(Nashville: Broadman Press, 1981), 32.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 31
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

maupun terhadap sesama. Karena itu, hendak diberi penekanan sekali lagi bahwa
yang jauh lebih terpenting adalah ketika hidup ini bisa menjadi sesuatu artinya
bahwa melalui kehidupan kita ada suatu manfaat yang dirasakan, baik oleh diri
kita maupun oleh sesama yang ada di sekitar kita.

e. Gereja Sebagai Pengembang Strategi Pembinaan

Gereja yang dilukiskan sebagai tubuh Kristus merupakan suatu organisme


Illahi yang terus menerus berkembang. Suatu organisme tidak pernah berhenti dalam
perkembangannya, karena perkembangan adalah tanda-tanda adanya suatu kehidupan
dalam organisme tersebut. Organisme yang bertumbuh itu perlu diatur dan ditata
pertumbuhannya (perkembangannya) agar ia bertumbuh atau berkembang secara
sehat sesuai dengan yang diharapkan. Gereja, selain sebagai organisme, ia juga
merupakan suatu organisasi yang dalam melaksanakan tugasnya harus tertata rapih
secara terstruktur sehingga tercapai pencapaian hasil yang maksimal.
Setiap organisasi apapun; organisasi pemerintahan, organisasi politik, organisasi
kemsyarakatan (termasuk di dalamnya organisasi gereja), organisasi bisnis, dll. di
dunia ini pasti bekerja dengan menggunakan pola strategi. Karena keberhasilan suatu
organisasi, sangat ditentukan pula oleh jenis strategi yang digunakan. Berkenaan
dengan tugas gereja sebagai pengembang strategi pembinaan, maka ada beberapa hal
terkait yang perlu dipaparkan sebagai berikut:

1. Menetapkan Profil Warga Gereja Yang Diharapkan


Ketika kita hendak melakukan suatu pembinaan terhadap warga gereja; pertama-
tama kita harus memunculkan pertanyaan tentang profil warga jemaat yang
bagaimana, yang diharapkan ? Karena dengan adanya pertanyaan seperti ini,
maka akan menjadi dasar dan sekaligus pemberi arah dalam keseluruhan
pengembangan strategi pembinaan yang akan dilakukan. Contoh, profil warga
jemaat yang diharapkan oleh Gereja Bethel Indonesia “adalah mempersiapkan
warga jemaat yang seperti Kristus” (ini hanya sebagai salah satu contoh saja).
Setelah profil hasil pembinaan ditetapkan, maka pertanyaan berikutnya adalah
kebutuhannya apa ? Pada saat kita berbicara tentang kebutuhan, maka ada
beberapa factor yang harus menjadi perhatian khusus, yaitu: analisis kebutuhan,
model-model analisis kebutuhan dan strategi-strategi analisis kebutuhan. Untuk
ketiga aspek ini, saya akan mengutip apa yang dikemukakan oleh Pdt. Japarlin
Marbun, dalam tulisannya yang berjudul “Gembala Jemaat Sebagai Pengembang
Program Gereja” dalam buku “Gnosis“; Merajut Pemahaman Transformasi
Gereja dan Pergumulan Teologi Kekinian”, sebuah jurnal teologi yang diterbitkan
oleh BPD GBI DKI Jakarta. Dalam tulisannya, beliau menekankan tiga aspek
dengan mendasarkan paparannya, seperti pada apa yang telah dikemukakan oleh
Kaufman, Briggs., Lesle., J.Walter., W.Wagner dan Alisson Rosset. Ia
32
menjelaskan tiga aspek sebagai berikut.
32
M. Ferry H. Kakiay, ed., Gnosis; Merajut Pemahaman Transformasi Gereja dan Pergumulan
Teologi Kekinian (Jakarta: BPD GBI DKI, 2003). Japarlin Marbun, dalam judul tulisannya: Gembala
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 32
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

• Analisis Kebutuhan
Dari sekian banyak kebutuhan yang mungkin dirasakan oleh seseorang, maka
tidak semuanya kebutuhan itu dapat dipenuhi pada suatu saat. Oleh karena itu
diperlukan adanya usaha untuk mengidentifikasi serta menentukan skala
prioritas mana yang lebih dahulu dari kebutuhan-kebutuhan tersebut yang
didahulukan. Kesenjangan yang dibutuhkan pemecahannya itulah yang
disebut masalah atau kekurangan dari yang seharusnya ada dengan yang ada
pada saat tertentu. Dengan demikian, maka kesenjangan yang dibutuhkan
pemecahannya disebut masalah. Salah satu contoh masalah, kalau kita
mengacu pada para profil warga jemaat yang diharapkan dari GBI, yaitu
“mempersiapkan warga jemaat yang seperti Kristus”, maka masalahnya
adalah seperti apa performance warga jemaat yang seperti Kristus ? Apa
indikasinya ?.
Menurut Kaufman, masalah adalah tidak lain dari “selected gap” atau
kesenjangan yang diprioritaskan pemecahannya berdasarkan kepentingannya.
Usaha untuk mengidetifikasi, mengukur kebutuhan dan menentukan prioritas
pemecahannya dikenal dengan istilah “need assessment” atau “discrepancy
analysis” atau analisis kebutuhan. Menurut Knirk & Pinola, analisis
kebutuhan adalah proses yang sistematis untuk membandingkan apa yang
telah ada dengan apa yang seharusnya. Sementara Alisson Rosset,
menjelaskan bahwa analisis kebutuhan adalah suatu kegiatan atau proses di
mana seseorang melakukan identifikasi atau mencari informasi tentang
kebutuhan-kebutuhan dan menentukan cara yang paling tepat untuk
menyelesaikannya. Dari beberapa pendapat di atas jelaslah bahwa: analisis
kebutuhan adalah proses menentukan jarak atau kesenjangan antara hasil yang
dicapai sekarang dengan hasil yang sesungguhnya diinginkan/dikehendaki
serta menetapkan kesenjangan tersebut dalam urutan skala prioritas. Jadi hasil
akhir dari analisis kebutuhan adalah ditemukannya sejumlah kesenjangan
antara kondisi yang ada dengan kondisi yang seharusnya ada serta skala
prioritas pemecahan berdasarkan tingkat urgensinya.

• Model-model Analisis Kebutuhan


Menurut Kaufman, model-model analisis kebutuhan dapat diklasifikasi
sebagai berikut:
a. Model Alpha
Analisis kebutuhan model alpha mendasarkan analisisnya dari bawah,
yaitu penekanannya pada identifikasi masalah berdasarkan pada tataran
kebutuhan. Model ini sangat cocok untuk perumusan dan pelaksanaan
kebijakan.
b. Model Beta

Jemaat Sebagai Pengembang Jemaat, hal. 90-95.


Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 33
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

Analisis kebutuhan model beta memberikan penekanan pada fungsi kedua


yaitu penentuan syarat pemecahan dan pengidentifikasian alternative
pemecahan masalah. Jadi model kedua ini lebih banyak berhubungan
dengan organisasi yang berinisiatif mengadakan analisis kebutuhan.
c. Model Gamma
Analisis kebutuhan model gamma dilaksanakan dengan meminta
kesediaan orang-orang untuk menyusun urutan/menyeleksi tujuan umum
dan tujuan khusus yang ada agar ditemukan suatu daftar tujuan yang
disusun berurutan. Kemudian dipilih strategi-strategi pemecahan di antara
strategi-strategi yang telah ditentukan.
d. Model Delta
Analisis kebutuhan model delta dipergunakan untuk menentukan/
memutuskan apa yang akan dilakukan dan bagaimana cara melakukannya.
Jadi pada tahap ini metode diimplementasikan dengan peralatan yang telah
diseleksi, dengan kata lain tahap ini adalah tahap pelaksanaan di lapangan
dan manajemen penyelesaian tugas.
e. Model Epsilon
Model ini berhubungan dengan penentuan sejauhmana hasil yang
diinginkan telah dicapai. Dalam hal ini, suatu yang telah direncanakan,
dikembangkan dan digunakan dalam strategi operasional dinilai apakah
dapat bekerja atau tidak. Dalam tahap ini efektifitas dari metode dan
peralatan dapat ditentukan sehingga tahap ini sering juga disebut sebagai
evaluasi sumatif dari analisis kebutuhan.
f. Model Zeta
Model zeta adalah model yang dapat dipergunakan untuk mengadakan
pembaharuan atau perubahan system yang bersifat konstan dan
berkesinambungan sehingga dimungkinkan adanya revisi apabila
diperlukan.

• Strategi-strategi Analisis Kebutuhan


Strategis analisis kebutuhan dapat dihubungkan dengan pencarian pemecahan
dalam berbagai bidang yang dianggap memerlukan pemecahan terhadap
sesuatu kebutuhan. Dan jika analisis kebutuhan dihubungkan dengan kegiatan
pendidikan dan latihan, maka menurut Kaufman, dapat diidentifikasi tiga
strategi analisis kebutuhan, yaitu:
1. Strategi Klasik
Strategi klasik dimulai dari penentuan tujuan yang sifatnya umum
(generic), kemudian dilanjutkan dengan pengembangan dan selanjutnya
diadakan evaluasi program. Strategi ini dilakukan oleh pengembang
program pendidikan dan latihan.
2. Strategi Induktif
Strategi induktif adalah proses induksi yang bertolak dari pendapat patner
dan data empiric dari lapangan kemudian berdasarkan data tersebut
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 34
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

dirumuskan tujuan umum yang diinginkan. Selanjutnya diukur jarak


antara tujuan umum dengan data yang didapat dari lapangan.
3. Strategi Deduktif
Strategi deduktif bertolak dari perumusan tujuan umum yang diinginkan
dilanjutkan dengan pengumpulan data dari lapangan. Selanjutnya diukur
perbedaan antara tujuan umum dengan data yang ada di lapangan. Dengan
demikian analisis kebutuhan yang berdasarkan strategi deduktif dapat
dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
• Pertama, dilakukan identifikasi tujuan-tujuan yang mungkin dapat
dicapai. Artinya dalam tahap ini akan didaftar semua tujuan yang
mungkin dicapai tanpa mempertimbangkan urgensinya. Tujuan-tujuan
tersebut dirumuskan secara operasional disertai dengan criteria
performance.
• Kedua, disusun tujuan-tujuan berdasarkan skala prioritas. Tujuan dari
kegiatan ini adalah menyusun/mengurutkan tujuan-tujuan yang telah
diidentifikasikan berdasarkan kepentingannya, sehingga akan kelihatan
urutan dari tujuan yang terpenting sampai kepada tujuan yang kurang
penting.
• Ketiga, mengidentifikasi kesenjangan antara performance yang ada
dengan performance yang diharapkan. Kegiatan pertama dalam tahap
ini ialah mendeskripkan tingkat performance dari objek system yang
ada, selanjutnya dibandingkan dengan performance sebagaimana
disyaratkan dalam tujuan.
Untuk lebih jelasnya, Kaufman mengidentifikasi sembilan langkah yang
perlu ditempuh dalam mengukur kebutuhan sebagai berikut:
• Pertama, menyusun rencana
• Kedua, mengidentifikasi gejala masalah berdasarkan permintaan
dari lembaga pendidikan dan latihan untuk mengadakan pengukuran
kebutuhan.
• Ketiga, menentukan ruang lingkup
• Keempat, mengidentifikasi peralatan dan prosedur penilaian
kebutuhan, selanjutnya memilih yang terbaik bekerja sama dengan
patner dalam melakukan perencanaan.
• Kelima, merumuskan keadaan yang ada sekarang dalam bentuk
perumusan performance yang spesifik dan dapat diukur.
• Keenam, Merumuskan kondisi yang diharapkan dalam rumusan
yang spesifik dan dapat diukur.
• Ketujuh, mempertemukan perbedaan pendapat yang ada antara
patner dengan peneliti dalam mengidentifikasi tujuan sehingga
diperoleh kesepakatan antara peserta pelatihan, pengguna lulusan dan
pengembang program pelatihan.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 35
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

• Kedelapan, mengurutkan kebutuhan-kebutuhan tersebut menurut


skala prioritas dan menurut urgensinya.
• Kesembilan, merumuskan penilaian kebutuhan serupa agar tetap
“up to date”.
Kesembilan langkah ini masih dapat disesuaikan dengan keperluan,
ataupun tergantung pada siapa yang melakukan perencanaan, di mana
perencanaan itu dilaksanakan dan pertimbangan-pertimbangan lainnya.

2. Menetapkan PWG Sebagai Tugas Primer Gereja

PWG merupakan suatu usaha gereja secara sengaja untuk membimbing


setiap warga gereja; khususnya yang sudah dewasa agar bertumbuh ke arah
kedewasaan penuh di dalam Kristus. Dengan pertolongan dan bimbingan Roh
Kudus serta dengan tuntunan firman-Nya, warga jemaat dimampukan secara
maksimal dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai mediator
berkat bagi dunia ini. Hal ini dimungkinkan, hanya apabila PWG dilaksanakan
secara baik dan bersinambung oleh gereja terhadap warganya.
Dilandasi dengan pemahaman di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
PWG adalah salah satu tugas sentral dari gereja. Dengan demikian, apabila gereja
melalaikan tugas pelaksanaan PWG, maka ia dapat dikatakan telah melalaikan
salah satu hakikat dirinya. Di sinilah tampak semakin jelas bahwa PWG haruslah
menjadi tugas primer gereja dan bukan merupakan tugas sekunder.
Sayang sekali bahwa ternyata masih banyak diantara gereja Tuhan di
Indonesia belum memposisikan PWG sebagai bagian dari tugas primer gereja.
Bukan bermasud bahwa tidak penting; bahwa gereja dalam realitas kehidupan dan
pelayanannya masih lebih cenderung “concern” terhadap pelaksanaan ibadah-
ibadah raya dalam bentuk KKR di gedung-gedung besar, di lapangan-lapangan
terbuka, dll.,jika dibandingkan dengan pembinaan-pembinaan warga dalam
bentuk kelompok yang lebih kecil. Namun yang menjadi masalah adalah bahwa
kegiatan-kegiatan seperti KKR cenderung lebih bersifat umum, dasar dan tidak
focus. Untuk sebagai starting point bagi pemenangan jiwa-jiwa baru bagi Kristus,
pendekatan ini bisa sangat efektif, tetapi untuk pembinaan warga, agar menjadi
bertumbuh khususnya dalam kualitas iman, maka pendekatan yang paling
memadai adalah PWG dalam bentuk kelompok-kelompok yang lebih kecil.
Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum yang terstruktur dan disesuaikan
dengan jenis serta tingkat kebutuhan warga (peserta didik).

3. Melakukan “Training for the Trainers”.

Di baris terdepan setiap pelayanan Kristen selalu dibutuhkan orang-orang


yang benar-benar terlatih, orang-orang yang memiliki komitmen yang jelas
terhadap Pribadi Kristus, orang-orang yang tahu bagaimana cara mengembangkan
pekerjaan Kristus di atas muka bumi ini; khususnya dalam suatu situasi khusus
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 36
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

seperti pada masa kini yang kita kenal sebagai abad kejayaan teknologi, yang
sarat dengan berbagai tantangannya.
Dilandasi dengan pemahaman di atas dan untuk mewujudkan kerinduan
kita terhadap pentingnya dilaksanakan “training for the trainers”, maka ada
baiknya kita munculkan tiga pertanyaan seperti : mengapa harus memilih dan
melatih orang-orang, bagaimana memilih dan melatih orang-orang, siapa yang
harus dipilih dan dilatih ?
• Mengapa harus memilih dan melatih orang ?
Pertanyaan ini dapat saja dijawab dengan sebanyak mungkin jawaban, akan
tetapi saya hanya memberikan dua alasan sebagai jawaban terhadap
pertanyaan di atas, yakni: Pertama, kita memerlukan orang-orang yang
mampu. Seringkali di dalam suatu gereja, ketika menyusun dan menetapkan
para tenaga pelayan yang nantinya ditugasi untuk melakukan serangkaian
tugas pelayanan seperti penjangkauan jiwa-jiwa yang belum terselamatkan
untuk dibawa kepada Kristus; tampaknya belum melalui suatu mekanisme
yang normal, artinya masih terkesan “asal pilih”, “asal ada”, dsb. Akibatnya,
hasil pelayanannya sangat buruk bahkan menimbulkan frustrasi baru, baik
bagi gereja (tenaga penjangkau) maupun juga bagi orang-orang yang mau
dijangkau tersebut. Bila itu memang kenyataannya, maka tampaklah di sini
pentingnya suatu proses memilih seseorang dan menetapkannya untuk suatu
tugas pelayanan di dalam suatu gereja berdasarkan prinsip “orang yang tepat
untuk suatu pekerjaan yang tepat”. Artinya bahwa diperlukan suatu kejelihan
memilih orang, di samping berdasarkan kemampuannya tetapi juga perlu
diikuti dengan pelatihan-pelatihan terstruktur (sesuai dengan jenis kebutuhan
dan tugas yang akan dimandatkan oleh gereja kepadanya) dalam rangka
mempertajam ketrampilannya guna melaksanakan tugas pelayanan yang
dipercayakan kepadanya. Kedua, tuntutan beban tugas pelayanan dan
kesinambungannya. Tanpa suatu proses pemilihan dan pelatihan yang
berkesinambungan di dalam Tubuh Kristus, maka saya memprediksi bahwa
para pemimpin Kristen yang jumlahnya sangat sedikit akan kelebihan beban
pekerjaan, sehingga pada akhirnya mereka akan kehabisan tenaga. Salah satu
contoh yang menarik dalam Alkitab, untuk contoh kasus adalah Musa. Ia
sedang berada pada titik kelelahan jasmani, emosi dan rohani pada saat ia
berusaha mengurus sekitar dua juta orang atau lebih yang keluar dari Mesir.
Tetapi kemudian, Yitro, ayah mertuanya yang bijaksana, memperhatikan apa
yang sedang terjadi dan mengingatkan Musa bahwa ia sedang menyiksa
dirinya sendiri jika ia tidak mulai mengadakan proses pemilihan dan
pendelegasian tugas (bnd. Kel. 18:13-18). Dengan demikian dapat juga
dipahami bahwa proses pemilihan dan pelatihan orang-orang dalam suatu
organisasi (termasuk organisasi gereja), terkait erat dengan pendelegasian
tugas, agar tugas organisasi ke depan berjalan lebih signifikan. Contoh, ketika
Musa meninggal dunia, bangsa Israel tidak menghadapi masalah
kepemimpinan oleh karena Musa telah melatih dengan sungguh-sungguh
orang yang akan menggantikannya, yaitu, Yosua (bnd. Yosua 11:15).
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 37
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

• Bagaimana memilih dan melatih orang?


Mengacu pada pertanyaan bagaimana memilih dan melatih seseorang,
bukanlah sesuatu yang gampang dijawab. Karena itu, ada empat hal penting
yang perlu diperhatikan. Pertama, lakukan pengamatan secara dekat dan
cermat. Kedua, adakan pra-pelatihan kepada orang-orang yang dipilih (bnd.
Markus 3:14; suatu strategi yang digunakan oleh Yesus Kristus dan itu sangat
efektif). Ketiga, sikap doa (bnd. Lukas 6:12-16). Dalam proses pemilihan,
pengamatan terhadap orang-orang dan latihan yang tepat sangatlah penting.
Walaupun demikian, hal-hal tersebut tidak dapat menggantikan fungsi doa di
mana mencari Allah untuk memilih orang-orang yang telah ditetapkan-Nya.
Meskipun Yesus telah mengenal murid-murid yang telah mengikutiNya dan
yang berada dekat dengan-Nya selama kurang lebih satu tahun, Ia tidak
menggantungkan diri pada kemampuan-Nya sendiri dalam menentukan
pilihan. Ia meluangkan waktu semalam-malaman untuk berdoa kepada Allah,
sehubungan dengan pemilihan yang akan dilakukan-Nya. Yesus menyadari
betapa pentingnya proses pemilihan ini. Di atas bahu merekalah terletak
seluruh masa depan gereja. Oleh karena itu, Yesus tidak sembarangan dalam
memilih, melainkan dengan penuh kesungguhan dan doa.
Dan terbukti bahwa Allah sungguh-sungguh menjawab doa-Nya. Alkitab
mencatat keyakinan Yesus yang dalam, yaitu bahwa murid-murid-Nya adalah
orang-orang yang telah diberikan oleh Allah kepada-Nya. Yesus sangat
menyadari bahwa orang-orang ini adalah hamba-hamba Allah yang
dipercayakan kepada-Nya (bnd. Yohanes 17:6-9). Keempat, sesuai dengan
karunia. Alkitab menyebutkan dengan jelas bahwa bagi setiap anak Allah,
Roh Kudus telah memberikan satu atau beberapa karunia rohani (bnd. 1 Kor.
12:7). Karunia-karunia ini diberikan dengan tujuan untuk membangun
segenap Tubuh Kristus. Jika setiap orang menggunakan karunianya masing-
masing serta melatih orang-orang lain sesuai dengan karunianya itu, maka
Tubuh Kristus akan dibangun dan orang-orang percaya diperlengkapi untuk
melayani (bnd. Efesus 4:11-12).

• Siapa yang dipilih dan dilatih ?


Yitro sangat bijaksana ketika ia menasihatkan Musa tentang siapa yang harus
dipilih untuk menolong Musa dalam kepemimpinannya. Yitro menyadari
bahwa jika ia memilih orang-orang yang keliru, maka hasilnya akan lebih
buruk daripada sama sekali tidak ada orang yang membantu (bnd. Kel. 18:21).
Ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian kita dalam rangka
menetapkan siapa yang akan dipilih dan dilatih, yakni: Pertama, berkaca
kepada teladan Musa (syaratnya: cakap, jujur, takut akan Allah, tidak dapat
disuap=Kel. 18:21), Paulus (2 Tim. 2:2) dan Para Rasul (Kisah Rasul 6:2-3).
Kedua, setia. Kesetiaan adalah suatu sifat yang jarang ditemukan dan yang
semakin sukar untuk didapat pada abad eksistensial sekarang ini, karena
banyak orang tidak memiliki rasa tanggung jawab (bnd. Amsal 20:6). Ketiga,
bersedia. Banyak orang yang mempunyai potensi besar untuk memimpin dan
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 38
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

memuridkan namun mengurangi potensi yang ada di dalam diri mereka oleh
karena mereka tidak turut ambil bagian dalam mewujudkan kepemimpinan
serta pemuridan. Penyebabnya adalah karena tidak adanya kesediaan. Mereka
gagal untuk hidup sesuai dengan prioritas-prioritasnya dan mendapati bahwa
“benteng keterdesakan” memaksa mereka semakin jauh dari sasaran-sasaran
serta nilai-nilai yang kekal. Keempat, senang diajar. Sifat penting lainnya
yang perlu dicari dalam proses pemilihan adalah sifat senang diajar. Jika
seseorang tidak terbuka dan tidak rela untuk belajar maka ia tidak akan pernah
dapat melayani atau memimpin secara harmonis dalam Tubuh Kristus.
Seorang yang tidak senang diajar lama kelamaan akan menjadi orang yang
tidak bergairah dan statis-ia hanya berada dalam pola-pola yang kaku, yang
menghapuskan keefektifannya.
Salah satu alasan mengapa Allah tidak bekerja melalui orang-orang Farisi
adalah karena mereka mempunyai sikap yang tidak senang diajar. Mereka
mengira bahwa mereka sudah tahu tentang segala hal. Walaupun mereka
adalah orang-orang yang super setia dan bersedia dalam mentaati hukum
Taurat, namun mereka memiliki sikap tidak senang diajar terhadap Perjanjian
Kristus yang Baru, dan oleh karena itu, maka Yesus harus melewatkan mereka
pada saat Ia memilih orang-orang.
Tidak peduli berapa banyak pengetahuan seseorang, ia harus menyadari
bahwa masih ada begitu banyak hal yang harus dipelajari dari Allah kita yang
tidak terbatas itu. Jika kita senantiasa terbuka untuk diajar tentang hal-hal
yang baru dari Dia, kita akan mendapati bahwa kita memiliki kapasitas yang
semakin meningkat untuk mengatasi berbagai situasi dalam kehidupan.
Kelima, lahir baru (hal ini sangat penting dan menentukan). Bertumbuh di
dalam Kristus serta memiliki keintiman (hubungan special) dengan-Nya.
Mampu secara konsisten memperlihatkan buah-buah Roh Kudus di dalam
keseluruhan penampilan hidup kesehariannya, sebagaimana yang disebutkan
dalam Galatia 5:22-23.

4. Menunjuk dan Menetapkan Tim (Panitia) Khusus PWG


Alan Brache, berkata “hanya sedikit manajer yang memiliki pendekatan sistematis
untuk memaksimalkan produktivitas tenaga kerja”. Statement ini menunjukkan
betapa pentingnya tenaga pelayan dan atau warga jemaat yang terlibat dalam
suatu proses tugas pelayanan, ditingkatkan kemampuan dan keterampilannya.
Namun dalam usaha tersebut perlu ditempuh langkah-langkah yang sistematis
agar pencapaian hasilnya maksimal. Proses langkah awal yang perlu dikerjakan
adalah penunjukan dan penetapan team (panitia) khusus pelaksana program PWG.
Hal-hal yang perlu menjadi perhatian utama dari proses awal ini adalah orang-
orang yang direkrut haruslah terdiri dari orang-orang yang memang memiliki
kemampaun dan keahlian di bidangnya sesuai dengan kebutuhan program yang
akan dikerjakan.
Team khusus inilah yang akan memikirkan dan mempersiapkan seluruh
kebutuhan PWG (khususnya juga kebutuhan financial) dan teknis pelaksanaannya
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 39
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

dalam suatu gereja lokal ataupun pada tingkat sinodal. Seperti yang telah
disinggung di atas, maka orang-orangnya adalah yang memang memiliki
kemampuan dan keterampilan yang lebih.

5. Menyusun Kurikulum Berbasis Kebutuhan


Disain kurikulum harus didasarkan pada kebutuhan dan profil warga jemaat yang
diharapkan setelah mengikuti PWG. Karena itu yang harus dikerjakan terlebih
dahulu di sini adalah menetapkan indicator profil warga jemaat yang diharapkan,
kemudian identifikasi kebutuhan serta metodologi apa saja yang diperlukan dan
dapat digunakan dalam rangka pencapaian profil tersebut tadi. Langkah-langkah
praktisnya adalah diperlukan data dan pengenalan lapangan layanan. Kalau hal itu
sudah dikerjakan, maka kurikulum sudah dapat disusun.

6. Sosialisasi Program
Sebelum program disosialisasikan, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan
formal dari pimpinan (gembala sidang), agar proses sosialisasinya tersambut oleh
warga jemaat. Mekanisme sosialisasinya adalah : melalui pengumuman resmi di
gereja (sebaiknya oleh pimpinan/sedapat mungkin gembala siding), dimuat di
dalam warta jemaat, dan atau dapat juga dimuat di majalah-majalah gereja.

7. Penyediaan Sarana Pendukung


Yang dimaksud dengan sarana pendukung di sini adalah tempat (fasilitas)
pelaksanaan PWG yang berupa gedung, ruang belajar dan seluruh perlengkapan
belajarnya. Di samping itu, yang tidak kalah pentingnya adalah tersedianya buku-
buku sumber.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 40
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

BAB VII
GURU DALAM PWG

Guru (pelatih, pembina) merupakan unsur penting dalam suatu kegiatan belajar
mengajar. Karena gurulah yang membimbing peserta didiknya untuk belajar mengenal,
memahami dan menghadapi dunia tempat ia berada. Guru merupakan jembatan dan
sekaligus agen yang memungkinkan peserta didik berdialog dengan dunianya. Dalam
melaksanakan tugasnya, seorang guru sangat dipengaruhi oleh falsafah atau pandangan
hidup yang dianutnya.
Sebagai orang Kristen apabila kita hendak mengembangkan pemahaman tentang
guru dan tugasnya, sudah barang tentu perspektif kita haruslah berakar pada iman Kristen
yang bersumber dari kebenaran dan prinsip-prinsip firman Tuhan sebagaimana
diungkapkan oleh Alkitab. Karena itu dalam terang iman yang kita miliki, kita dapat dan
harus membangun pemikiran, pandangan dunia (isi yang sistematik), dan cara berpikir
(aktivitas) tentang dunia kerja kita sendiri, khususnya dalam bidang belajar mengajar.
Dalam pembahasan lebih lanjut tentang “guru dalam PWG”, kita akan mengacu
pada garis berpikir dan pemaparan B. Samuel Sijabat dalam bukunya “Menjadi Guru
Profesional; Sebuah Perspektif Kristiani.33, Faktor-faktor yang ditekankan adalah sebagai
berikut:

1. Keutamaan Kualitas Guru PWG


Kualitas guru merupakan faktor yang sangat menentukan dalam suatu proses belajar
mengajar. Bahkan oleh Earl V. Pullias dan James D. Young berpendapat bahwa
guru adalah segala-galanya. Artinya, banyak segi dari kedudukan dan peranan guru
dalam membentuk, membimbing dan memperlengkapi anak didik. Dikemukakan
pula bahwa dalam tugasnya, seorang guru adalah pembimbing, pendidik, pembaru,
teladan hidup, pengilham cita-cita, penutur cerita dan sebagai penilai. Berbicara
tentang kualitas guru, maka ada beberapa hal terkait yang harus kita bahas:
Pertama, “profesionalisme”. Profesi guru menghadapi tantangan yang semakin
berat seiring dengan kemajuan tehnologi. Memahami hal tersebut, maka segi
profesionalisme (termasuk juga guru PAK/PWG di gereja) keguruan sangatlah
penting dan mendesak. Dan menurut T. Raka Joni, guru yang professional
sedikitnya memiliki cirri khas seperti: (a) keterandalan layanan, (b) layanan yang
khas itu diakui dan diterima oleh masyarakat, (c) menguasai betul apa yang
diajarkannya, (d) si penerima layanan dapat mempercayai kegunaan, manfaat dan
kebaikan dari apa yang diajarkannya. Dari sudut pandang iman Kristen pun, dewasa
ini dan masa depan, maka keguruan harus selalu kita pahami dari sudut
profesionalisme. Sebab pada era ini dan masa yang akan datang, banyak pekerjaan
dan layanan dalam berbagai bidang telah mengutamakan profesionalisme, yakni
mengupayakan kualitas kerja yang unggul. Kedua, “konsep diri positif”. Modal
dasar yang juga sangat penting bagi kesuksesan tugas mengajar ialah konsep diri

33
B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional: Sebuah Perspektif Kristiani (Bandung: Kalam Hidup,
1994), hal. 31-48.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 41
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

yang positif dari guru itu sendiri. Seorang guru dengan konsep diri yang baik akan
mampu memandang dirinya dimiliki atau diterima oleh Allah tanpa syarat sebab ia
yakin bahwa darah Tuhan Yesus Kristus yang tercurah pada kayu salib merupakan
bukti kuat akan kasih Allah terhadap dirinya (bnd. Roma 5:6,8; Ibrani 9:14).
Penghargaan terhadap dirinya sendiri tidak didasarkan atas faktor fisik, materi dan
prestise ataupun prestasi, melainkan oleh karena penghargaan yang diterima guru
itu dari Allah, yakni kasih sejati. Bagi Allah, guru memandang dirinya berharga
karena telah ditebus oleh kasih Tuhan Yesus Kristus serta dipanggil menjadi rekan
sekerja-Nya (bnd. Ef. 2:10; 2 Kor. 5:17). Dengan dasar konsep diri positif semacam
itu, guru dapat memiliki perasaan mampu dan dimampukan oleh kuasa serta
kehadiran Allah.
Ada banyak dampak yang dihasilkan oleh konsep diri positif dalam kehidupan dan
pekerjaan seorang guru, antara lain: (a) Guru dapat berkembang secara sehat dalam
relasi dengan orang lain, termasuk anak didik dan rekannya. Ia mampu menerima
orang lain sebagaimana adanya, sadar bahwa ia pun memiliki kelebihan dan
kekurangan (Roma 14:1; 15:1-3). Kemampuan seperti itu amat perlu mengingat
guru menghadapi peserta didik yang senantiasa mencari konsep diri lebih baik. (b)
Dengan konsep diri yang baik guru dapat bertumbuh dalam penerimaan akan
dirinya, akan potensi-potensi positif dan negative. Ia akan berupaya bertumbuh
dalam segi-segi positif dan berusaha memerangi dimensi-dimensi yang negative di
dalam dirinya. Dengan kata lain ia mengembangkan persepsi diri yang sehat, tidak
dilanda oleh prasangka negative (Roma 12:3,16; Filipi 4:8). Sebab prasangka buruk
terhadap peserta didik dan rekan sekerja selalu menimbulkan gangguan bagi
kesuksesan mengajar. Perlu ditambahkan bahwa prasangka buruk sering muncul
dalam diri orang karena hadirnya perasaan takut, seperti takut tersaingi, takut tidak
dihormati, dan takut dianggap tidak berwibawa. (c) Dengan konsep diri positif guru
dapat mengembangkan dirinya dalam kesediaan berkorban demi orang lain, serta
menempatkan kepentingan orang lain terlebih dahulu (altruism). Kita tahu bahwa
sikap sedia berkorban demi kemajuan peserta didik sangatlah penting dimiliki oleh
seorang guru. Dengan sikap mental demikian guru bersedia tidak memaksakan
kehendaknya, apalagi yang berkaitan dengan hal-hal yang peserta didik sendiri
tidak mampu mengikuti atau melaksanakan. Seorang guru dapat melihat teladan
Tuhan Yesus Kristus dalam kesediaan berkorban ini, di mana Ia bersedia untuk
menyerahkan nyawa-Nya sekalipun (Yoh. 10:17,18; 1 Yoh. 4:8-10). Tuhan Yesus
Kristus juga telah memberitahukan prinsip hidup utama yang harus
didemonstrasikan oleh murid-murid-Nya. Ia berkata bahwa tidak salah menjadi
besar dan terkemuka di hadapan orang lain, tetapi cara yang tepat untuk sampai ke
tujuan itu haruslah dengan menjadikan diri sebagai pelayan atau penolong bagi
orang lain (Mat. 20:26-28; Mrk. 10:45). (d) Dengan konsep diri yang sehat, seorang
guru akan mampu mengembangkan kemampuan dan ketrampilan pelayanan dengan
sikap percaya diri. Apalagi bila ia terus menunaikan tugasnya dengan motto:
“Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku”
(Fil. 4:13). Artinya persekutuan hidup dengan Kristus dapat membuahkan
kemampuan baru dalam .pribadi seorang guru. Kemampuan memang tidak dating
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 42
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

begitu saja tanpa upaya belajar dan latihan untuk meningkatkan diri. Yang perlu
ditegaskan juga di sini ialah bahwa kemampuan tidak saja menyangkut segi
keterampilan berbuat, tetapi juga segi pemikiran dan perasaan. Ketiga, “iman”. Hal
yang sangat penting dikembangkan oleh seorang guru Kristen ialah pengenalan
mengenai jati dirinya sebagai orang Kristen. Kita memahami bahwa orang Kristen
adalah “orang yang memberikan dirinya secara penuh kepada Tuhan Yesus Kristus”
(bnd. Kis. 11:26). Orang Kristen ialah orang yang percaya dan menyambut
sepenuhnya kedudukan dan peranan Tuhan Yesus Kristus sebagai Tuhan,
Juruselamat, dan Raja atas kehidupannya. Pembukaan diri ini sebenarnya
dimungkinkan oleh kuasa Allah sendiri, sebagai pekerjaan Allah Roh Kudus yang
membuat seseorang memberi respons positif terhadap berita Injil (bnd. Roma 1:16-
17; 1 Kor 15:3-5). Dengan membuka diri, Roh Kudus berkenan hadir ke dalam
hidup dan mendiami diri orang percaya. Dengan demikian nyatalah permulaan
orientasi hidup baru, perubahan hidup, pengertian rohani baru, kuasa, dan dinamika
hidup baru (Yoh. 3:3,5; Roma 8:9-11; 2 Kor. 3:17-18; 5:17).
Kemudian, sebagai orang Kristen, guru terpanggil untuk bertumbuh ke arah
pengenalan yang semakin mendalam dan lengkap tentang pribadi Tuhan Yesus
Kristus (bnd. Kol. 2:6-7; Gal. 2:19-20). Pengenalan tentang pribadi Tuhan Yesus
Kristus ini akan memungkinkan dia makin memahami kehendak Allah. Karena
Tuhan Yesus Kristus sendiri adalah jalan, kebenaran dan hidup, pembawa orang
kepada pengenalan yang sejati akan pribadi dan karya Allah (Yoh. 1:18; 14:6).
Sebab, Yesus menyatakan dengan tegas bahwa di luar Dia, orang tidak dapat
melakukan yang benar bagi kemuliaan Allah (Yoh. 15:4,5,16). Di samping itu
hanya melalui persekutuan dengan Dialah, seorang guru Kristen semakin
menemukan kebenaran yang sesungguhnya. Dan kebenaran yang dinyatakan oleh
Allah kepada setiap orang percaya menyangkut segi kognitif (intelek-pemikiran),
segi moral, etis serta spiritual. Selanjutnya, kebenaran yang harus dikejar oleh guru
Kristen adalah kebenaran realistis, yaitu yang nyata dalam kehidupan. Kebenaran
demikian akan berupaya membebaskan manusia seutuhnya (bnd. Yoh. 8:13-32;
17:17).
Masalah mengikut Tuhan Yesus Kristus tidak saja terbatas kepada bagaimana kita
dapat lebih memahami dan mengerti apa yang dilakukan Tuhan Yesus Kristus bagi
pengampunan dosa, dan jaminan akan kehidupan yang akan datang. Guru Kristen
juga perlu memahami pribadi Tuhan Yesus Kristus sebagi guru yang harus
diteladaninya dalam hidup sehari-hari dan dalam pelaksanaan tugas keguruan.
Berdasarkan dengan apa yang dikemukakan di atas, maka dapatlah disimpulkan
bahwa seorang guru PAK atau PWG haruslah orang yang sudah “lahir baru” dan
yang senantiasa memiliki kerinduan bertumbuh secara dinamis di dalam pengenalan
akan Tuhan Yesus Kristus.

2. Peranan Guru PWG


Apabila kita mencermati dengan seksama tugas guru dan kaitannya dengan
kepentingan peserta didik dalam pelaksanaan PWG, maka tampak dengan jelas
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 43
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

bahwa setiap guru terpanggil untuk memainkan beberapa peranan penting dalam
penunaian tugasnya.
• Ia diharapkan tampil sebagai seorang ahli, yang relative tahu banyak tentang
apa dan bagaimana dari bahan yang diajarkannya. Itulah sebabnya guru harus
selalu meningkatkan kualitas pengetahuannya. Tidak saja ia dapat menjelaskan
banyak tentang bahan yang diajarkan, tetapi juga dapat membantu peserta
didiknya mengenal strategi praktis bagi penguasaan bahan ajarannya. Dengan
kata lain, tugas guru adalah selalu membantu peserta didiknya (peserta PWG)
untuk memahami bagaimana cara mendalami dan menguasai pelajaran yang
akan atau sedang diikutinya. Meskipun demikian, guru harus sadar bahwa tiap
peserta didik tetap memiliki kesadaran tentang cara yang lebih cocok bagi
dirinya sendiri untuk lebih memahami pelajaran yang diikuti. Artinya, setiap
orang memiliki model atau gaya belajar tersendiri untuk memperoleh
pengetahuan. Oleh sebab itu, guru perlu berhati-hati agar jangan sampai
memadamkan “kesadaran strategis cara belajar secara pribadi” itu. Ia harus
mendorong peserta didik mengembangkannya, memperbaharuinya, atau
mempertajamnya, dengan memberikan strategi alternative, yakni keterampilan
belajar yang dimilikinya selama ini. Sebagai seorang ahli, tugas guru juga
termasuk mengajak peserta didik agar memperoleh pengetahuan,
mengembangkan keterampilan belajar, dan mengenal “kesadaran akan cara
belajarnya yang khas”.
• Guru sebagai motivator. Tugas ini sangat mendasar mengingat peristiwa belajar
pada dasarnya berlangsung dalam diri peserta didik. Itu berarti bahwa peserta
didik merupakan pelaku proses belajar bagi dirinya sendiri. Guru tidak dapat
belajar bagi peserta didiknya. Yang dapat dikerjakan guru adalah memberikan
rangsangan, membangkitkan semangat, dan perasaan mampu dalam diri peserta
didik, yang selanjutnya diharapkan sanggup menggerakkan minatnya dalam
melakukan perbuatan belajar. Dorongan belajar timbul dan semakin besar dalam
diri peserta didik atas dasar beberapa kondisi. Pertama, apabila ia mendapat
penerimaan dan perlakuan yang baik, baik dari guru maupun dari sesama rekan
peserta didik. Kedua, apabila ia melihat gurunya sebagai manusia biasa yang
bertumbuh ke arah kedewasaan. Ketiga, apabila peserta didik tahu manfaat dari
hasil belajarnya (sesuai dengan kebutuhan), serta memahami bagaimana belajar
secara efektif. Keempat, apabila ada suasana emosi dan spiritual yang
menyenangkan. Kelima, apabila guru menunjukkan antusiasme terhadap
pengajaran yang disampaikannya, serta mendemonstrasikan itikad baik untuk
membina relasi yang membangun dengan peserta didiknya.
• Guru sebagai fasilitator. Dengan peran ini, guru terpanggil untuk memahami
kebutuhan atau keperluan peserta didik dalam proses belajar. Sebagai fasilitator,
guru mempersiapkan berbagai sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan
belajar mengajar. Ia menyediakan alat-alat bantu dengar (visual aid). Ia
menyediakan literatur yang relevan. Ia juga berusaha untuk “menciptakan”
kondisi emosional dan social yang bermanfaat bagi peristiwa belajar. Juga
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 44
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

sebagai fasilitator, guru menyediakan waktunya bagi konsultasi-konsultasi


pribadi dengan peserta didik, baik di dalam maupun di luar ruangan kelas.
Dengan begitu tugas guru adalah membantu peserta didik merencanakan
kegiatan belajarnya.
• Sebagai pemimpin. Guru sebagai pemimpin, mengelola terjadinya peristiwa
belajar. Ia menempatkan dirinya sebagai otoritas, namun tidak berlaku secara
otoritatif. Ia mencari upaya agar menjadi bagian dari peserta didik (berada di
tengah) sehingga mereka sempat melihat dari dekat seluk beluk kehidupannya.
Ia memberi pengawasan (berdiri di belakang) bagi kemajuan belajar yang
dicapai peserta didiknya. Dalam tugasnya sebagai pemimpin, seorang guru
harus pandai-pandai menempatkan dirinya pada dua factor, yakni pengutamaan
relasi dan pencapaian tujuan. Sebab sering ada guru yang lebih mengutamakan
relasi yang baik dengan peserta didik daripada tercapainya tujuan pengajaran.
Hal demikian membuat guru enggan melakukan disiplin secara tegas. Dan
sebaliknya ada pula guru yang lebih mengutamakan pencapaian tujuan daripada
pembinaan relasi. Guru demikian cenderung sangat tegas dan terkesan kaku. Di
samping itu ada pula guru yang sangat masa bodoh, dalam arti kurang
melakukan tugasnya dengan sepenuh hati baik dalam segi pembinaan relasi
maupun dalam upaya pencapaian tujuan.
• Guru sebagai komentator dan komunikator. Dalam kaitan ini tugas guru adalah
memberi penilaian terhadap kemajuan peserta didik. Di samping itu, guru juga
menyampaikan informasi yang berguna. Sehubungan dengan peranan ini, guru
harus selalu menjaga dirinya untuk tetap dapat menyampaikan kritikan dan
informasi secara tepat dan jujur. Ia harus mengembangkan kemampuannya
dalam mengemukakan pandangan yang bersifat membangun semangat. Jika
tidak, peserta didik dapat menyimpan akar pahit ataupun kekesalan di dalam
dirinya. Sudah tentu hal demikian akan menghambat kemajuan belajar. Guru
sebagai komentator harus mengembangkan diri agar mampu melihat secara
objektif kekurangan dan kelebihan peserta didiknya. Ia juga harus terus menerus
belajar memebedakan antara kekurangan pribadi dengan kekurangan dalam
kasya dari peserta didiknya. Guru harus membedakan apakah yang sedang
dikritiknya itu menyangkut masalah pribadi atau masalah karya, berkaitan
dengan pendapat atau pekerjaan. Dengan kata lain, lewat kemampuan seorang
gurulah peserta didik dilatih untuk tahu membedakan persoalan-persoalan yang
menyangkut pribadi dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan tingkah
laku. Sebagai komunikator, seorang guru amat banyak memainkan peran
sebagai perantara (mediator). Ia diharapkan menjadi mediator di antara peserta
didik dengan bahan pengajaran, dan di antara sesame peserta didik. Tugas
penting yang berkaitan dengan perannya sebagai mediator ini ialah
mengupayakan pelayanan pendamaian (Mat. 5:9; 2 Kor. 5:18-19). Karena itu
melalui keseluruhan kegiatan belajar mengajar, guru harus tetap berusaha
membimbing peserta didik agar mengalami pendamaian dengan Allah, dengan
dirinya serta sesamanya. Perkataan, sikap dan perbuatan guru itu sendiri dituntut
untuk senantiasa menunjang tujuan ini.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 45
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

• Guru sebagai agen sosialisasi..Dengan peran ini, guru berupaya membantu


peserta didik mengalami interaksi edukatif, saling mengenal dan saling mengisi,
melalui diskusi dan kerja kelompok. Peranan ini sangat perlu mengingat peserta
didik, selain sebagai mahluk individu tetapi juga sebagai mahluk social. Oleh
karena itu, cara belajar manusia selalu menempuh dua pendekatan, yakni
pendekatan pribadi (prinsip individualisasi) dan pendekatan social
(kebersamaan-prinsip sosialisasi). Kita juga harus menyadari bahwa munculnya
sosialisasi dalam kelompok memang tidak terjadi dengan mudah. Sedikitnya
ada tiga fase yang dilalui oleh semua peserta. Pertama, fase di mana peserta
berorientasi kepada kepatuhan dan tata tertib jalannya diskusi. Para peserta
masih diselimuti oleh perasaan segan untuk membuka diri dan mengajukan
pendapatnya karena masih terfokus kepada keiinginan untuk melihat kemajuan
orang lain. Kedua, fase di mana para peserta mulai memberikan sumbangan
pemikiran, pendapat dan usulan. Ketiga, adalah tahap di mana para peserta
merasa dekat dan saling memerlukan sehingga timbul kerjasama yang baik.
• Guru sebagai pengajar. Dalam tugasnya sebagai pengajar, maka perlu dibangun
beberapa pemahaman atau pengertian tentang mengajar. Pertama, mengajar
sebagai upaya pengajar untuk mentransfer pengetahuan atau pandangan,
keyakinan, dogma, doktrin atau teologia yang dimiliki kepada peserta didiknya.
Dengan pengertian ini ada kecenderungan bahwa tugas utama peserta didik
(warga jemaat) ialah menguasai bahan pengajaranm mengetahui, dapat
mengungkap ulang, serta memahaminya secara kognitif. Kedua, mengajar
sebagai usaha dari pengajar untuk menolong peserta didik sedemikian rupa
sehingga dapat menemukan konsep diri secara benar. Dengan konsep diri yang
benar peserta didik (warga jemaat) diharapkan memiliki kesadaran diri atas
kelemahan, kekurangan dan kekuatannya. Pserta didik (warga jemaat)
diinginkan menjadi pribadi-pribadi mandiri yang dapat mengembangkan potensi
belajarnya sendiri guna mencapai tujuan yang optimal. Ketiga, mengajar
sebagai upaya pengajar untuk mengelola atau mengatur situasi sedemikian rupa
sehingga peristiwa belajar dapat terjadi. Peranan pengajar dalam hal ini adalah
sebagai pembimbing. Ia juga sebagai pemberi dorongan dan penyaji hal-hal
yang menunjang bagi kepentingan dan dalam kegiatan belajar, baik berupa
sarana maupun prasarana.
• Guru sebagai pelajar. Guru yang tidak sadar bahwa pengetahuan berkembang,
dan bahwa peserta didik yang dihadapinya berubah-ubah akan mengalami
ketertinggalan. Oleh sebab itu, seorang guru perlu tampil dengan kesegaran
baru, segar dalam pengetahuan, kerohanian, dan bahkan secara fisik. Karena
itulah guru terpanggil untuk terus mengembangkan dirinya, wawasan dan
kreativitasnya dengan jalan terus menerus melakukan kegiatan atau perbuatan
belajar.

3. Bidang Kemampuan Mengajar Yang Harus Dimiliki


Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 46
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

Sebagai pengajar, seorang guru dituntut untuk memiliki dan mengembangkan


kemampuan serta keterampilannya di bidang mengajar. Kent L. Johnson, dalam
bukunya “Called To Teach” mengatakan bahwa sedikitnya ada enam segi
kemampuan dan keterampilan yang harus dikembangkan oleh seorang guru dalam
mengemban profesinya.
Pertama, segi kemampuan memahami dan menetapkan tujuan pengajaran. Tujuan
pengajaran memberikan arah ke mana peserta didik akan dibawa untuk mengalami
perubahan. Tujuan juga menolong guru untuk mempersiapkan bahan pengajaran,
dengan tetap mempertimbangkan kedalaman, keluasan, serta relavansinya. Tujuan
juga dapat menolong untuk merencanakan pendekatan yang tepat dalam
mengajukan bahan yang dirumuskannya.
Kedua, segi kemampuan mengelola kelas dengan baik. Pengelolaan ini
merupakan tugas organisatoris dan manajerial setiap guru. Dengan kata lain, guru
adalah seorang “manajer”. Ia perlu terampil dalam mengarahkan peserta didik untuk
memahami dan mematuhi aturan tata tertib yang berlaku.
Ketiga, segi kemampuan memilih metode mengajar yang cocok dengan tujuan
dan bahan pengajaran. Pemilihan metode tentu tidak terlepas dari factor tendensi
belajar yang dimiliki oleh guru.
Keempat, segi kemampuan dan keterampilan dalam menyajikan pelajaran. Yang
terpenting di sini ialah masalah percaya diri (walaupun kemampuan pengetahuan
dan teknis tetap perlu). Guru yang memiliki rasa percaya diri akan tampak tidak
canggung di dalam interaksinya dengan peserta didik.
Kelima, segi kemampuan menciptakan suasana belajar yang baik. Suasana yang
menyenangkan menjadi factor motivasi kuat bagi kelangsungan peristiwa belajar.
Suasana yang membangun banyak berkaitan dengan dan ditimbulkan oleh relasi
yang penuh pengertian di antara guru dengan peserta didiknya dan di antara sesame
peserta didik.
Keenam, segi perencanaan dan pelaksanaan evaluasi. Seorang guru harus
senantiasa berupaya agar mampu mengembangkan keterampilan dalam bidang ini.
Ia perlu tahu bahwa tugas evaluasi tidak sekedar berkaitan dengan cara memberi
angka (nilai) yang tepat sesuai dengan kemampuan peserta didik. Dengan evaluasi,
guru dapat mengetahui apakah bahan pengajarannya relevan dan mudah dipahami.
Evaluasi juga memberi masukan bagi perencanaan program selanjutnya, dengan
bertitik tolak dari tercapai atau tidaknya tujuan sebelumnya.

4. Syarat Guru PWG


 Lahir baru. Artinya, seorang guru/Pembina dalam PWG haruslah seorang
yang telah menerima Yesus Kristus secara pribadi. Hidup dalam keintiman
dengan Kristus melalui seluruh hidupnya. Bergaul akrab dengan Allah melalui
doa dan merenungkan firman-Nya.
 Mencintai tugas PWG. Artinya, seorang Pembina dalam PWG harus
melihat bidang tugas pelayanannya sebagai sebuah pengabdian terbaiknya bagi
Kristus yang telah mengasihinya. Hal itu juga berarti bahwa seorang tenaga
PWG harus mencintai orang-orang binaannya yang dipercayakan Tuhan ke
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 47
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

dalam tanggung jawabnya untuk dibimbimbing hidup dalam kehendak Allah


sesuai dengan terang firman-Nya.
 Memiliki pengetahuan yang luas tentang Alkitab. Artinya, seorang
tenaga PWG haruslah orang yang memiliki pengetahuan yang komprehensif
mengenai Alkitab dan teologi. Hal ini penting karena sumber utama PWG
adalah Alkitab (Firman Allah) yang oleh iman Kristen diyakini sebagai sebuah
kebenaran mutlak. Karena itu disarankan agar setiap guru PWG memiliki
pendidikan dasar Alkitab yang memadai, baik secara formal maupun non-
formal.
 Memiliki wawasan pengetahuan umum yang komprehensif. Hal ini turut
menentukan kualitas diri guru PWG. Karena dalam realitasnya bahwa warga
jemaat semakin hari kualitas pendidikannya semakin maju dan meningkat dalam
berbagai disiplin ilmu.
 Memiliki ketrampilan menyajikan materi PWG. Harus diakui bahwa ada
banyak orang memiliki pengetahuan yang memadai tetapi ia tidak cukup
terampil dalam memindahkan pengetahuannya kepada orang lain. Keterampilan
mengajar (menyajikan) bahan ajar membutuhkan latihan terus menerus dan itu
berarti dapat dipelajari.
 Memiliki sikap positif. Artinya, seorang guru/tenaga PWG tidak hanya
memindahkan pengetahuan secara kognitif tetapi juga membagi kehidupannya
kepada orang lain dan disinilah pentingnya sebuah sikap positif dari seorang
Pembina dalam PWG.
 Memahami orang lain. Hal ini penting dan sangat menentukan tingkat
keberhasilan dalam segala usaha PWG. Apalagi di dalam gereja terdiri dari
berbagai orang yang berbeda latar belakang budaya, sosial, ekonomi,
pendidikan, dll.
 Dapat menolong orang lain merealisasikan cita-citanya. Keberhasilan
tenaga/guru PWG terlihat pula dalam kemampuangnya membimbing seseorang
merealisasikan cita-citanya, khususnya bagi kemuliaan nama Tuhan. Karena itu
seorang guru PWG merangkap juga sebagai motivator, komunikator, fasilitator,
mentor bagi orang-orang yang dibinanya untuk mencapai suatu cita-citanya.
 Memiliki sumber-sumber bahan ajar/pembinaan yang memadai. Yang
dimaksudkan disini, buku-buku sumber selain Alkitab.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 48
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

BAB VIII
CAKUPAN PEMBINAAN WARGA GEREJA

Pembinaan Warga Gereja dirancang untuk meningkatkan seluruh dimensi


kemampuan umat bagi pembangunan Kerajaan Allah di atas muka bumi ini. Hal itu
senada dengan semangat dan jiwa dari System Pendidikan Nasional kita yang sedang
dikembangkan melalui disain kurikulum yang berbasis kompetensi. Harapan dari filosofi
perubahan paradigma pendidikan kita tersebut adalah agar para lulusan suatu lembaga
pendidikan mampu berkarya di tengah kehidupan nyata sesuai dengan kemampaun dan
keahlian yang dimilikinya.
Dilandasi dengan pemikiran esensial di atas, maka sudah saatnya gereja harus
memiliki keberanian lebih untuk meredefinisi kembali system dan tujuan pendidikan
yang dikembangkannya, yaitu pendidikan yang berbasis kompetensi. Kenapa demikian ?
Karena, kedudukan gereja sebagai mediator berkat bagi dunia ini. Dalam bingkai
pemahaman inilah gereja harus berpikir secara komprehensif tentang kehadiran dirinya di
tengah-tengah dunia ini. Artinya gereja harus menjadi alat berkat bagi dunia ini dalam
segala aspek kehidupan. Menyadari hal tersebut, tampak dengan jelas bahwa PWG harus
dirancang dengan materi pembinaan berbasis kompetensi serta mengarah kepada multi
kompetensi.

1. PWG dan kaitannya dengan Tugas Pendidikan34


Dalam pandangan Tuhan Yesus Kristus, gereja dipanggil dari dunia, untuk diutus
ke dalamnya menjadi berkat bagi banyak orang, sehingga nama Allah dipermuliakan
(Yoh. 17:16,19). Gereja juga dipanggil untuk memelihara kesatuan di antara sesame
umat yang percaya sebagai kesaksian bahwa Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus itu
satu adanya (Yoh. 17:21-23). Jika kehendak Yesus itu dicermati, Dia memaksudkan
terjadi dan terpelihara kesatuan dalam kepelbagaian di antara umat Kristiani. Sebab,
orang-orang percaya memang berasal dari berbagai latar belakang social dan budaya
di dunia ini.
Sebenarnya di dalam Matius 28:19-20, Yesus juga sudah menegaskan apa yang
menjadi tugas orang-orang percaya atau gereja di dalam dunia. Yesus memberi
mandate agar gereja melaksanakan tugas “menjadikan semua bangsa murid-Nya”
(tugas pemuridan). Mengapa harus demikian ? Karena, kalau orang menjadi pengikut
(murid) Yesus, mereka akan berjalan di dalam kebenaran yakni kebenaran yang
memberi kebebasan serta pengenalan yang benar akan Allah Sang Khalik (bnd. Yoh.
8:31-32; 14:6; 17:17). Tugas yang bersifat imperative ini diwujudkan oleh gereja
dengan melaksanakan penginjilan, pembaptisan atau peneguhan iman dan pengajaran.
Ketiganya sama penting guna mewujudkan tugas pemuridan itu. Tujuan akhir
34
B. Samuel Sijabat, Strategi Pendidikan Kristen: Suatu Tinjauan Teologis Filosofis
(Yogyakarta: Penerbit Yayasan Andi, 1996) hal. 88-90
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 49
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

pemuridan itu sendiri adalah komitmen total kepada Yesus sebagai Tuhan, dan Raja,
Penguasa atas langit dan bumi atau surga dan dunia, serta atas tubuh dan jiwa (Mat.
10:32-33,37-39; 28:18).
Untuk dapat meningkatkan kualitas iman orang percaya melalui pelayanan
peneguhan dan pengajaran itu, Allah sendiri telah menganugerahkan guru ataupun
pengajar kepada gereja-Nya. Dalam Efesus 4:11-13, misalnya, Rasul Paulus
menegaskan adanya karunia mengajar yang dioperasionalkan oleh “guru dan
gembala”. Tentu saja tugas dan jabatan ini tidak boleh dipandang lebih penting
daripada karunia rasul, penginjil dan nabi. Sama sekali tidak. Jika demikian halnya,
maka terjadilah kesalahpahaman mengenai hakikat gereja sebagai “tempat kediaman
Roh Kudus” (Ef. 2:21-22). Dengan status gereja sebagai Bait Roh Kudus, Roh itu
memiliki kebebasan untuk bekerja serta memakai setiap orang secara unik bagi
pertumbuhan iman bersama-sama demi kemuliaan Allah. Semua karunia itu, yakni,
pemberita injil, rasul, nabi, guru dan gembala, diberikan Allah bagi kepentingan
pembangunan tubuh atau jemaat Kristus.
Sasaran akhir dari pembinaan warga jemaat adalah “pertumbuhan menuju
kedewasaan iman didalam Tuhan Yesus Kristus”.Kedewasaan dalam Kristus ini
secara komprehensif dijelaskan dalam surat Efesus itu sendiri. Pertama, kedewasaan
itu adalah sebagai pertumbuhan atau proses perubahan hidup (life transformation)
oleh kuasa Roh Kudus dan pengajaran Firman-Nya (bnd. 2 Kor. 3:17-18). Artinya
kedewasaan sebagai sasaran hidup sifatnya dinamis (Ef. 4:13-15). Fokus
pertumbuhan menjadi dewasa adalah Tuhan Yesus Kristus sendiri. Artinya
kedewasaan terjadi sejauh orang percaya hidup dalam relasi yang akrab dengan
Tuhan Yesus Kristus. Perubahan hidup rohani, sikap dan mental terjadi dalam diri
orang percaya sebagai pekerjaan dari Roh Kudus itu sendiri, bukan oleh kekuatan diri
sendiri (bnd. Rm. 8:9-11). Kedua, kedewasaan itu meliputi aspek kognitif atau
pengenalan, pengertian, pemahaman akan Tuhan Yesus Kristus, dalam artian secara
pribadi. Iman yang bertumbuh kea rah kedewasaan akan semakin memahami betapa
besar kasih Allah bagi manusia, yang telah dinyatakan melalui Tuhan Yesus Kristus
(Ef. 1:3-14; 2:1-10). Agar aspek pengertian, pemahaman ini bertumbuh sudah tentu
diperlukan pengajaran atau PWG yang benar dan jujur. Benar dalam arti berdasarkan
Alkitab. Tidak ada pengajaran palsu di dalam pengajaran itu, dan apa pun materi yang
dibahas dapat bersumber atau dibahas berdasarkan criteria pembenaran Alkitab. Jujur
dalam arti tidak ada unsur manipulasi seolah-olah mendewakan pengajar atau
pemberita firman. Ketiga, kedewasaan itu harus berefleksi di dalam komunikasi dan
hubungan antar sesama dalam jemaat dan di luarnya, demi terwujudnya pemeliharaan
kesatuan Roh (Ef. 4:1-4). Hal ini penting karena jemaat adalah tubuh Kristus, di mana
masing-masing anggota terpanggil untuk saling melayani (serving to one another).
Perubahan hidup di dalam Kristus setidaknya harus terwujud dalam pola-pola bertutur
kata di antara sesama anggota (umat). Mereka harus berkata benar, tidak berdusta
atau berpura-pura. Mereka harus berusaha membangun sesamanya melalui perkataan
yang sehat, jujur dan bermakna. Hal ini secara panjang lebar dibahas di dalam Efesus
$:17-5:22. Banyak dibicarakan di sana tentang makna dari perkataan, ucapan, baik
gaya maupun isi. Perkataan haruslah membangun, bukan meruntuhkan semangat
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 50
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

hidup (Ef. 4:29). Hal itu harus nyata pula dalam hidup keluarga, relasi suami istri,
relasi orangtua dan anak (Ef. 5:23-6:4). Selanjutnya pembaharuan hidup harus pula
tampak dalam relasi kerja di antara majikan dengan pekerja, serta dalam penerapan
kepemimpinan hidup (Ef. 6:5-9). Akhirnya, kedewasaan itu harus pula tertuang di
dalam kegiatan ibadah, doa, dalam rangka memenangkan perlawanan terhadap
musuh-musuh rohani (spiritual warfare). Tampaknya yang penting di situ adalah
bahwa kalau seseorang mau bertumbuh menuju kedewasaan rohani, ia harus kuat
dalam kasih karunia dan kekuatan Allah (Ef. 6:10-11). Dari semua penjelasan di atas
dapat ditegaskan kembali bahwa gereja adalah agen pendidikan atau pembinaan
Kristen.

2. PWG dan kaitannya dengan perumusan ulang iman Kristen


Perumusan ulang tentang iman Kristen di sini tidak dimaksudkan bahwa apa yang
telah dirumuskan oleh bapak-bapak gereja, para teolog mengenai iman, yang pada
umumnya berdasarkan “studi kata”, baik dari bahasa Ibrani maupun dari bahasa
Yunani sebagai bahasa Alkitab adalah salah. Sama sekali tidak ! Tetapi yang
dimaksudkan adalah penerjemahan makna iman itu sendiri kepada para warga gereja
yang mengikuti PWG. Jadi maksud utamanya adalah agar iman itu menjadi kekuatan
pendorong bagi warga gereja dalam menghidupi dan menjalani kehidupannya. Karena
itu dalam proses PWG penjelasan dan perumusan ulang secara sederhana tentang
iman Kristen merupakan hal yang sangat penting. Pada bagian ini, akan dipaparkan
beberapa rumusan ulang tentang iman Kristen dengan mengutip apa yang
dikemukakan dalam buku “Mengasihi Tuhan Allah dan Sesama Manusia”, yang
diedit oleh Dr. A.A. Sitompul.35
• Iman adalah pertemuan dengan Allah
Iman tidaklah terarah pada sesuatu, apakah berupa ajaran atau ideology tetapi
suatu pertemuan seorang dengan seorang atau Allah. Allah berfirman dan
manusia menjawab. Jika manusia, meng-ya-kan firman Allah atau
membenarkannya maka ia disebut orang percaya kepada Allah. Oleh sebab iman
terarah kepada pribadi dan dalam hal ini kepada pribadi Allah maka ia tidak
hanya sebagai obyek yang menjadi sasaran budi, tetapi sebagai pribadi yang
kepadanya seorang menghubungkan dirinya dan menaruh perhatian serta
kepercayaan dirinya. Atas dasar itulah mengapa Simon Petrus berkata “Tuhan
kepada siapakah kami akan pergi ? Perkataan-Mu adalah perkataan yang hidup
dan kekal dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah yang kudus dari
Allah” (Yoh. 6:68-69).
• Iman adalah memulai hidup baru
Setelah Abraham mendengar Tuhan meng-ya-kannya maka ia tidak tinggal pasif.
Ia sebenarnya bebas memilih apakah ia menuruti panggilan Tuhan atau menolak.
Kalau ia menolak maka ia akan tetap tinggal di Urkasdim tetapi jika ia meng-ya-
kan maka ia harus berangkat meninggalkan negerinya pergi ke negeri yang
35
Dr. A.A. Sitompul, ed., Mengasihi Tuhan Allah dan Sesama Manusia: Pendidikan Agama
Kristen Untuk Perguruan Tinggi di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Kebangkitan Hidup Baru, 1999), hal. 77-
80
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 51
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

ditunjuk Tuhan. Ia memilih pergi dan dengan itu ia memulai hidup baru. Sejak itu,
ia tetap dalam perjalanan, meninggalkan segala ketenangan yang selama itu
dimilikinya. Ia hidup bergantung kepada janji Allah. Hal yang sama kita
membaca dalam riwayat pemanggilan murid-murid Tuhan Yesus. Dikatakan
bahwa sewaktu Simon dan Andreas menebarkan jalanya di danau, mereka
mendengar Yesus memanggil, “Mari ikut Aku dan kamu akan Kujadikan penjala
manusia” (Mat. 4:18-20). Peristiwa seperti ini terjadi juga sewaktu Yesus
memanggil Yakobus dan Yohanes (Mat. 4:21-22). Tuntutan Allah kepada orang
yang dipanggil-Nya adalah mutlak, tidak ada alasan apapun untuk kembali kepada
keadaan semula dan harus selalu mendahulukannya lebih dari apa saja pun. Tuhan
Yesus berkata : “Barang siapa mengasihi bapa atau ibunya lebih daripada-Ku, ia
tidak layak bagi-Ku, dan barang siapa mengasihi anaknya laki-laki atau
perempuan lebih daripada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku” (Mat. 10:37-38).
• Beriman berarti bersekutu dengan Allah
Panggilan Allah kepada Abraham bukan saja penyampaian tugas yang harus
dijalankannya. Dalam panggilan itu Allah menjanjikan sesuatu kepadanya. Allah
menjanjikan kepada Abraham bahwa Ia akan menjadikan Abraham menjadi
bangsa yang besar dan memberkatinya, membuat namanya masyur, dan menjadi
berkat. Selanjutnya Allah akan memberkati orang-orang yang memberkati
Abraham, mengutuk orang-orang yang mengutuk dia, dan oleh Abraham semua
kaum di muka bumi akan mendapat berkat (Kej. 12:2-3). Perjanjian itu dikuatkan
lagi dengan upacara (Kej. 15:7-10). Dengan perjanjian itu Allah mengikat diri
kepada Abraham dan dengan itu ada persetujuan Abraham dengan Allah.
Panggilan Allah untuk bersekutu dengan-Nya telah meluas oleh karya penebusan
Yesus (Yoh. 11:51-52; bdk. Yoh. 10:16; Mat. 8:11-12; Luk. 13:28-29). Jadi
semua bangsa dapat bersekutu dengan Allah melalui Tuhan Yesus sebagai
pemenuhan janji Allah kepada Abraham, “bahwa semua kaum di muka bumi akan
mendapat berkat melalui Abraham”. Beriman dengan demikian hidup dalam relasi
yang hidup dengan Allah.
• Beriman berarti setia kepada Tuhan
Persekutuan menuntut kesetiaan yaitu kesetiaan manusia yang dapat diuji.
Abraham telah meng-ya-kan Allah dan bersekutu dengan-Nya. Ternyata
perjalannya tidak selalu mulus. Kesetiaannya diuji ketika anak yang ditunggu-
tunggu sebagai pemenuhan janji Allah untuk menjadikannya menjadi suatu
bangsa yang besar belum terwujud (Kej. 15:3). Setelah anaknya yang begitu lama
dinanti-natikan itu lahir, Allah memintanya supaya anaknya yang satu-satunya itu
dikorbankan kepada Allah (Kej. 22:2). Permintaan Allah itu sangat berat baginya,
bukan saja karena ia mencintai anaknya, tetapi oleh karena anaknya Ishak adalah
bukti yang kelihatan bahwa Allah tidak melupakan janji-Nya. Sekarang bukti itu
hendak ditiadakan oleh Allah sendiri, namun ia tidak menolak. Ia percaya dengan
berbagai cara Allah akan mewujudkan janji-Nya. Kepercayaan itu terungkap
dalam kata yang mengharukan, bahwa Allah akan menyediakan (Kej. 22:8).
Kepercayaannya itu diperhitungkan kepadanya sebagai pembenaran (Rm. 4:22).
Allah selalu menuntut kesetiaan umat-Nya. Kesetiaan kepada Allah itu, juga telah
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 52
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

dilakukan oleh Yesus ketika Ia melayani di dunia, bahkan bukti kesetiaan itu
terjadi melalui kematian lewat peristiwa salib.
• Iman terwujud dalam perbuatan
Abraham percaya kepada Allah, karena it berjalan meninggalkan rumah bapanya
dan rela mengorbankan anaknya Ishak. Rahab orang Yerikho percaya bahwa
Allah telah menyerahkan negerinya kepada bangsa Israel (Yos. 2:9). Karena itu,
ia melindungi pengintai-pengintai Israel yang datang menyelidiki Yerikho
sehingga mata-mata itu luput dari pengejaran pengawal-pengawal kota Yerikho
(Yos. 2:1-6; Yak. 2:26). Itulah sebabnya Yakobus berpendapat bahwa iman itu
memimpin kepada perbuatan seperti yang terungkap dalam kata-katanya.
Yakobus tidak mengatakan bahwa perbuatan yang mendasarkan iman melainkan
perbuatan-perbuatan itu adalah ungkapan iman. Ungkapan itu terdapat dalam
perbuatan perwira Romawi yang mengusahakan penyembuhan bagi hambanya
yang sakit (Mat. 8:5-13). Kenyatan-kenyataan tersebut mengatakan bahwa iman
memberi daya sehingga orang beriman bukan saja setia, taat tetapi iman
membimbing dan memberi kekuatan untuk mengadakan perbuatan-perbuatan
baik. Iman yang mengungkapkan diri dalam perbuatan, adalah iman yang
mengalahkan dunia (1 Yoh. 5:5).
• Iman dan konteks kehidupan masyarakat
Beriman tidak berarti tanpa tantangan. Dalam kehidupan bapak-bapak leluhur
Israel tantangan itu disebabkan keadaan dan perbuatan-perbuatan manusia.
Tantangan disebabkan keadaan seperti yang dialami Abraham dalam menunggu
seorang anak sebagai pewaris janji Allah, musim kelaparan dan lain-lain. Dari
berbagai cerita dalam Alkitab khususnya Perjanjian Lama dapat dicatat bahwa
tantangan itu muncul dari para musuh dan penindas. Baru pada cerita Ayub
disebutkan adanya tantangan dari kuasa-kuasa yang tidak tampak. Kitab Ayub
menceritakan iblis yang berkuasa dan dapat mendatangkan malapetaka. Tetapi
dalam kitab Ayub itu iblis belum dianggap sebagai penggoda yang berdiri sendiri
karena ia bekerja atas ijin Allah. Selanjutnya Alkitab banyak menyebut ilah-ilah.
Tetapi ilah-ilah itu tidak dianggap berkuasa sebab ilah itu tidak dapat mendengar
dan tidak dapat melaksanakan sesuatu (1 Raj. 18:29; Mzm. 11:5; 135:16). Mereka
adalah berhala yang bodoh dan dungu (Yer. 10:8). Ilah-ilah digambarkan dalam
bentuk patung-patung yang dibuat tangan manusia (Mzm. 31:7; Yos. 2:8; Yes.
10:3). Tidak ada ilah yang sama dengan Dia. Kemahakuasaan Allah ini telah
dibuktikan Elia di gunung Karmel (1 Raj. 18:20-46).
Dalam Perjanjian Baru diceritakan bahwa penggoda-penggoda itu adalah iblis
yang selalu berusaha merusak manusia dan Yesus yang mau menyelamatkan
manusia. Dalam konfrontasi iblis dengan Yesus, yang menang adalah Yesus.
Karena itu Yesus berkata: “Aku melihat iblis jatuh seperti kilat dari langit” (Luk.
10:17). Para murid melaporkan kepada Yesus, katanya: Tuhan, juga setan-setan
takluk kepada kami karena nama-Mu” (Luk. 16:18). Hal yang sama juga kita
temui dalam Kis. 5:16; 16:18. Menurut Rasul Paulus semua penguasa-penguasa
itu telah dikalahkan oleh Yesus, katanya: “Bahwa oleh kematian Yesus di kayu
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 53
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

salib, Ia telah menjadi tontonan umum dalam kemenangan-Nya atas mereka (Kol.
2:14-15; Ef. 2:1; 3:10).
Bagaimana sebaiknya menghadapi kuasa-kuasa itu ? Seperti yang disebutkan
sebelumnya bahwa sikap dasar kita adalah menyaksikan Kristus dan kemenangan-
Nya terhadap kuasa-kuasa yang membuat kita bebas dari cengkeramannya.
Dengan mengikuti teladan Yesus itu, kita juga dipanggil berperan serta dalam
upaya-upaya pembaharuan struktur masyarakat kea rah yang lebih sempurna di
mana terdapat kasih dan keadilan secara bersama-sama. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa iman adalah jawaban yang meng-ya-kan Tuhan dalam bentuk
kata, perbuatan, kasih dan kesetiaan . Dalam beriman terjadi persekutuan yang
terus menerus antara orang beriman dengan Tuhannya dan sesamanya.
Berhentilah orang percaya pada dirinya sendiri dan hiduplah bagi Allah. Dengan
itu orang beriman membiarkan dirinya dibentuk, diarahkan Allah pada diri-Nya.
Kehendak Allah itu dicari orang beriman dalam firman-Nya dalam Yesus Kristus.
Dalam beriman dilibatkan unsur kondisi, emosi dan kemauan secara seimbang
dan serasi. Tanpa keserasian ini orang beriman akan hidup dalam naluri-naluri
keagamaan saja.

3. PWG dan kaitannya dengan kepemimpinan

Dunia telah berkembang menjadi semakin kompleks dan membingungkan, terus


memperbaharui diri dan berubah dalam berbagai aspeknya. Pada sisi lain ditemukan
pula bahwa akar dari segala persoalan, baik dalam dunia politik, bisnis, pers,
pendidikan maupun agama adalah karena kurangnya kemampuan memimpin atau
telah terjadinya krisis kepemimpinan dalam semua lembaga-lembaga tersebut di atas.
Bertolak dari realitas kebutuhan tersebut di atas, maka tepatlah apabila dewasa ini
kepemimpinan telah menjadi pemikiran semua orang dan semakin terasa diperlukan.
Karena itu, program PWG harus mengagendakan palatihan-pelatihan kepemimpinan
terhadap warga jemaat, dengan demikian mereka dimampukan mengembangkan
kepemimpinannya. Di dalam keluarga, mereka menjadi pemimpin yang mampu
memimpin keluarganya menurut kaidah-kaidah firman Tuhan dan ketentuan-
ketentuan keluarga harmonis pada umumnya. Menjadi orangtua yang cakap
memimpin anak-anaknya sesuai dengan terang firman Tuhan, mampu mengelola
keuangan keluarga secara baik dan mampu mengatur waktu secara baik antara
kepentingan keluarga dengan kepentingan pekerjaan dan pelayanan. Di dalam
pekerjaan, mereka menjadi terampil sebagai pemimpin atau pun sebagai pekerja
dalam penyelesaian tugas dan tanggung jawabnya. Di dalam pelayanan, mereka
memiliki kemampuan mengatur dan menjalankan pelayanan secara kreatif dan
dinamis. Secara prinsip, semua warga jemaat (khususnya warga jemaat yang sudah
dewasa) adalah pelayan karena diposisikan sebagai “garam dan terang dunia”.
Dengan demikian tidak bisa dihindari bahwa semua orang percaya atau warga jemaat
mengemban tanggung jawab melayani dan itu berarti bahwa mereka adalah juga
sebagai pemimpin. Artinya bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk memimpin
orang-orang menerima Tuhan Yesus Kristus. Tidak berhenti hanya sampai mereka
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 54
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

menerima Kristus tetapi juga harus berakar dan bertumbuh sampai mencapai tingkat
kedewasaan penuh di dalam Kristus.
Kepemimpinan gereja memiliki peran yang sangat penting dalam menumbuh-
kembangkan dinamika kehidupan warga gereja khususnya dalam pemahaman konsep
bergereja. Menyadari hal tersebut maka perlu dikedepankan dalam diktat ini
(walaupun tidak dalam bentuk kajian yang dalam) tentang prinsip-prinsip
kepemimpinan gereja.
Sumber keberadaan dan arah tujuan gereja adalah Tuhan Yesus Kristus. Tuhan
Yesus Kristus itu adalah Allah yang menyelamatkan manusia. Sengsara, kematian
dan kebangkitan-Nya adalah penyelamatan bagi manusia. Tetapi, hanya mereka yang
percaya kepada-Nya yang selamat. Orang-orang yang percaya kepada-Nya, yaitu
mereka yang selamat itu, menyatakan keselamatan mereka antara lain dengan
menciptakan gereja dan menjalankan gereja. Dalam menjalankan gereja itu, orang-
orang yang percaya yang menciptakan gereja itu berorientasi pada Tuhan Yesus
Kristus. Segala sesuatu yang dilakukan oleh gereja (harus) mewujudkan kehendak
Tuhan Yesus Kristus.
Oleh sebab itu, kepemimpinan yang diberlakukan oleh gereja, adalah
kepemimpinan yang meneladan kepada Tuhan Yesus Kristus serta menerapkan
kehendak-Nya. Kepemimpinan itu, antara lain adalah sebagai berikut:36
a. Kepemimpinan Pelayanan
Kata pelayanan sangat populer di kalangan Kristen. Sedemikian populernya
sehingga sering dimanipulasikan oleh orang-orang yang sebenarnya hanya
mencari keutungan diri sendiri. Sebutan pelayanan dipakainya untuk
membenarkan atau memuliakan (agar memiliki nilai mulia) kegiatan atau
tindakannya, meskipun sebenarnya baik dari segi motivasi maupun praktek
kegiatan atau tindakan itu tidak sama dengan, atau bahkan berlawanan sama
sekali dengan makna pelayanan yang sesungguhnya.
Sebenarnya kata ini menunjukkkan ke cara atau gaya hidup meneladan Tuhan
Yesus Kristus, yang dating bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani
(Markus 10:45). Diterapkan pada kepemimpinan, maka kepemimpinan pelayanan
itu merupakan lawan dari kepemimpinan menguasai, memerintah dan menindas.
Kepemimpinan pelayanan adalah cara atau gaya hidup pemimpin yang menyikapi
dan memperlakukan yang dipimpin bukan sebagai obyek, apalagi sekedar sebagai
alat untuk kepentingan dirinya, melainkan sebagai subyek. Sikap dan perlakuan
itu setidak-tidaknya memiliki tiga (3) cirri, yaitu: Pertama, tujuannya adalah
keselamatan mereka yang dipimpin (warga gereja atau orang-orang lain).
Pelayanan pemimpin gereja kepada para warga gereja itu tetap terpelihara, dan
akhirnya mencapai kesempurnaannya di sorga. Dalam kehidupan sehari-hari para
warga gereja selalu berhadapan dengan berbagai pencobaan atau penggodaan
yang dapat mengakibatkan mereka melepaskan keselamatan mereka. Sehingga
bisa terjadi mereka melepaskan keselamatan, atau dengan kata lain murtad atau
setidak-tidaknya mereka kurang memeperkembangkan keselamatan itu. Dengan
36
Sularso Sopater, ed., Kepemimpinan dan Pembinaan Warga Gereja, (Jakarta: PT Sinar Agape
Press, 1998), hal.153-159.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 55
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

kata lain, mereka kurang bersungguh-sungguh menjalankan kehidupan beriman


(Kristen) mereka. Di dalam kehidupan sehari-hari dasar pengambilan keputusan
dan perilaku mereka belum tentu sesuai dengan kaidah iman Kristen. Agar hal-hal
demikian itu tidak terjadi, maka pemimpin Kristen melakukan pelayanan kepada
para warga gereja. Kedua, agar supaya tujuan itu dapat tercapai, maka pemimpin
gereja bersedia berkorban. Sikap dan tindakan berkorban untuk keselamatan
warga gereja ini, juga meneladan kepada Tuhan Yesus Kristus yang bersedia
mengorbankan diri demi keselamatan manusia. Berkorban itu pada hakekatnya
adalah merelakan sesuatu atau bagian yang paling penting dalam hidup ini
sebagai “tumbal” demi orang lain yang menjadi tujuan pengorbanan itu. Para
pemimpin gereja, yang memberlakukan kepemimpinan pelayanan, tertuntut untuk
berkorban demi warga gereja. Ketertuntutan demikian menjadi sangat tampak
jelas, apabila warga gereja yang dilayani itu sedang jatuh dalam dosa. Bisa terjadi
warga gereja yang dilayani itu menerima dengan sukacita pelayanan itu.
Pemimpin bukan menunggu mereka hingga mereka dating memohon pelayanan
pemimpin, melainkan pemimpin yang mencari, dan menggembalakan
mereka.Tetapi bisa juga terjadi mereka justru menolak pelayanan pemimpin itu.
Dalam situasi demikian pemimpin tertuntut antara lain bersikap penuh kasih,
sabar, bijaksana. Bahkan merelakan dirinya terhina dalam pelayanan itu. Cara
atau gaya kepemimpinan demikian memang digambarkan seperti gembala yang
mencari domba Bengal yang hilang. Ketiga, kepemimpinan pelayanan itu adalah
kepemimpinan yang menumbuhkan pelayanan. Mereka yang dipimpin, yaitu yang
semula dilayani, karena dilayani itu maka akan ganti melayani yang lain. Tuhan
Yesus mengharuskan para murid agar mereka saling melayani. Oleh sebab itu,
kepemimpinan pelayanan harus juga bertujuan “melahirkan” pelayan.
b. Kepemimpinan Partisipasif
Di dalam suatu gereja lokal telah ditunjuk dan diangkat seorang (atau lebih)
pendeta sebagai pimpinan. Sebagai pimpinan, ia bertanggung jawab terhadap
keberlangsungan gereja dan pelayanannya. Hal itu menunjukkan bahwa posisi
pimpinan gereja (dalam hal ini pendeta) sangat strategis dan menentukan. Karena
itu, ia haruslah seorang yang memang memiliki kemampaun yang teruji
khususnya di bidang kepemimpinan. Suatu kepemimpinan gereja akan sangat
efektif apabila memberi peluang kepada partisipasi seluruh warga jemaat untuk
terlibat dalam proses pencapaian tujuan organisasi atau pelayanan yang telah
ditetapkan. Dalam kaiatannya dengan itu maka perlu dimengerti bahwa taktik dan
strategi untuk kemajuan gereja ditentukan bersama warga gereja. Bukan taktik
dan strategi “top-down”, melainkan “bottom-up”
Di samping itu, pemimpin gereja , khususnya pendeta harus senantiasa
menyadarkan warga gereja yang adalah pelayan itu bukan pelayan warga gereja,
melainkan pelayan Allah. Oleh karena itu yang harus dilaksanakan bukan
kehendak warga, melainkan kehendak Allah. Dengan demikian kalau yang ada
dan terjadi di dalam gereja itu ternyata tidak benar, tidak sesuai kehendak Allah,
meskipun hal itu sudah menjadi tradisi, maka harus diubah. Di sinilah
perbedaanya dengan kepemimpinan-kepemimpinan sekuler yang memang lebih
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 56
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

cenderung berorientasi hanya pada proses pencapaian suatu tujuan, artinya


bagaimana prose situ bisa efektif untuk mencapai tujuan dan bukan pada bobot
atau nilai kehendak Allah dari proses tersebut.
c. Kepemimpinan Reformis
Yang disebutkan terakhir ini tidak mudah dilakukan. Sebab pada umumnya orang
cenderung mempertahankan status quo. Kapanpun, di manapun, di dalam
masyarakat apapun, perubahan (karena ada pembaharuan) itu selalu
mengakibatkan orang merasa tidak aman, dan tidak mantap. Gereja memang
harus diperbaharui dan itu harus menjadi panggilan bagi para pemimpin gereja
untuk senantiasa melakukan pembaharuan di dalam gereja. Pembaharuan itu
adalah pembaharuan yang membebaskan, pembaharuan yang bertujuan agar
manusia semakin memamusia, semakin pulih sebagai gambar dan peta Allah serta
sebagai mandataris Allah.
Gereja akan memiliki peran, dan diperhitungkan di dalam percaturan dunia,
apabila gereja mampu memberi inspirasi pembaharuan-pembaharuan bagi dunia.
Tentu saja semua itu bisa terjadi apabila gereja, terutama para pemimpinnya, mau
terlebih dahulu membaharui dirinya sendiri.
Agar supaya bisa melakukan, atau memimpin pembaharuan, maka pemimpin
gereja harus memiliki visi. Dengan kata lain pemimpin pembaharuan itu visioner.
Visi itu berdasar pada dua hal, yaitu pertama pergumulan teologis. Visi itu harus
didasarkan pada Alkitab. Kedua, tantangan jaman. Visi itu harus, bukan hanya
menjawab persoalan kini, melainkan menjadi arah untuk masa nanti.
d. Kepemimpinan Yang Mengembangkan Potensi
Batu permata yang belum didulang tidak ada bedanya dengan batu biasa, kalau
tidak ditemukan mungkin akan terpendam untuk selamanya. Demikian juga
seorang calon pemimpim, bakat dan potensinya perlu digarap oleh orang ahli
yang teliti sehingga menjadi batu permata yang berguna dan berharga.
Musa seorang pemimpin yang agung terpendam selama 40 tahun di Mesir dan 40
tahun di Median, namun Tuhanlah yang menemukannya dengan panggilan yang
nyata. Demikian pula perwira Yosua, gembala Daud dan Samuel remaja, hakim-
hakim, nabi-nabi dan rasul-rasul kebanyakan muncul dari dusun-dusun yang
terpencil dan pantai-pantai yang jauh dan sunyi, namun setelah mereka dibentuk,
potensinya nyata tergarap, menjadi pemimpin-pemimpin yang sukses bagi
kerajaan Allah. Tuhan Yesus dengan visi rohaninya mencari orang-orang yang
sederhana dan menjadikan mereka murid-murid yang potensial. Itu sebabnya
pengenalan, pemanfaatan potensi berdasarkan kemampuan seseorang, dapat
menjadikan orang itu menjadi tenaga yang siap pakai. D.L. Moody pernah
berkata: “Lebih baik merangkul 1000 orang untuk bekerja daripada seorang diri
menangani pekerjaan 1000 orang. Dengan demikian tampak di sini dengan jelas
bahwa pembinaan kepada warga gereja sebagai upaya pemaksimalan potensi
mereka bagi pelayanan demi pembangunan kerajaan Allah di atas muka bumi ini
adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, artinya harus dikerjakan oleh gereja
melalui salah satu programnya yaitu PWG.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 57
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

Untuk mengantisipasi pengembangan potensi seorang pemimpin perlu


mendayagunakan potensi dalam hal:
• Berpikir secara positif: sekalipun suasananya terburuk, ia dapat mencapai
hasil yang terbaik. Dalam keadaan biasa ia membentuk suatu hal yang luar
biasa, ketangguhan imannya memampukan dia untuk dapat menghadapi
segala tantangan dan menjadikan kelemahan sebagai kekuatan.
• Bertekad untuk sukses: mempertarukan sekuat tenaganya, maju terus
pantang mundur, dalam akal yang sehat dan setia, dengan penuh kasih untuk
melayani, guna menciptakan suasana kesuksesan.
• Tabah menghadapi perubahan: ketetapan hati tidak terpengaruh oleh
keadaan yang pancaroba, membutuhkan iman yang teguh dan keseimbangan
mental yang kuat. Dengan ketenangan hati dapat kita nikmati rasa aman dan
nyaman bagaikan berkat yang besar, dan memberi kepuasan yang khusus
dalam hidup.
• Menerobos kesulitan: kesukaran dan tantangan dapat menghacurkan niat,
namun dapat juga mengasah diri menjadi sesuatu yang berguna. Daya
menerobos kesulitan timbul dari hati yang mantap, kita dapat tekun sampai
akhir, maka kesuksesan menjadi buah yang indah bagi orang yang tidak
dikalahkan oleh kesulitan.
• Tuntutan kesempurnaan: seorang pemimpin yang supel insyap bahwa
“baik” adalah musuh dari yang “tidak baik”, maka ia selalu menuntut seindah
mungkin dan sesempurna mungkin dalam pekerjaannya, hal mana mendorong
ia bersifat aktif dan proaktif dalam kepemimpinan, sehingga hubungan dengan
sesama, bahkan dalam tuntutan ilmu pengetahuan dapat menjadi teladan dan
pemuka bagi orang lain.
• Penuh daya kreatif: pemimpin yang potensial selalu memberanikan diri
untuk bereksperimen dengan metode yang baru serta tidak berhenti untuk
menuntut kemajuan, ia melatih diri untuk berpikir positif dan optimis, rendah
hati menerima segala aspirasi, saran dan anjuran. Demikian juga ia
mendorong orang lain ikut giat dan bergerak maju bersama-sama
merealisasikan perbaikan dalam segala hal secara kreatif.
• Dapat mempercayai orang lain: kebahagiaan besar dalam hidup ialah
disukai, diperkenankan dan dipercayai, karena dalam hal mana terletak kunci
rasa harga diri dan keyakinan pada diri. Orang yang kuat berkeyakinan lebih
mudah sukses daripada orang yang ragu-ragu sekalipun ia lebih mudah pula
berbuat salah. Bila seorang pemimpin rohani dalam menggarap potensi dan
daya kemampuan, harus belajar mempercayai orang lain dengan cara dedikasi
dan bersedia mendukung dari belakang, serta memberi perhatian penuh
kepadanya.

4. PWG dan kaitannya dengan IPTEK


Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 58
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

Zaman ini (sekarang dan yang akan datang) disebut sebagai zaman kebangkitan
ilmu dan tehnologi (IPTEK). Bahkan IPTEK telah mempengaruhi seluruh dimensi
kehidupan, misalnya: komunikasi, ekonomi, politik, pertanian, pembangunan, tatanan
kehidupan masyarakat, transportasi, dll. Siapa yang menolak dan atau tertinggal di
dalam bidang IPTEK maka ia pasti terlindas dan atau tertinggal dengan kemajuan
yang dihadirkan oleh ilmu pengetahuan dan tehnologi tersebut.
Yang menjadi persoalan menarik adalah bahwa sering orang beranggapan bahwa
ada perbedaan yang fundamental yang tidak bisa dibangun jembatan pengubungnya
antara iman dan ilmu pengetahuan. Pada umumnya iman dipersepsi sebagai sesuatu
yang subyektif, karena itu dianggap tidak ilmiah dan tidak bisa dibuktikan.
Sebaliknya ilmu pengetahuan dinilai sebagai sesuatu yang sifatnya obyektif, ilmiah
dan dapat dibuktikan atau diuji serta berusaha menghindari apa yang subyektif.
Sebagai warga gereja tentu harus melihat persoalan ini secara kritis dan komprehensif
agar tidak terjebak dalam suatu pemahaman yang dangkal, sempit dan bahkan ektrim.
Karena itulah maka dalam proses pembinaan warga gereja salah satu yang harus
dikedepankan adalah tentang “hubungan antara iman dengan ilmu pengetahuan
dan teknologi”.
Ketika kita mengembangkan cara berpikir kita secara terbuka dan kritis maka kita
memahami bahwa iman dan ilmu pengetahuan ternyata memiliki hubungan satu sama
lain. Dalam kaitan itu, iman adalah sesuatu yang dinamis dan tidak hanya tergantung
pada percaya. Karena iman merangkum seluruh keberadaan manusia, termasuk akal
budi (Mat. 22:37). Artinya bahwa apa yang diimani itu adalah sesuatu yang dapat
dimengerti, baik oleh pribadi maupun oleh orang lain, bahkan oleh orang yang tidak
seiman sekalipun. Di sini pandangan Anselmus dan Canterbury sangat tepat yang
mengatakan fides quaerens intellectum (iman berusaha untuk mengerti).
Seorang filsuf terkenal bernama Alfred North Whiteread (1861-1947) pernah
menyatakan bahwa Agama dan IPTEK merupakan dua kekuatan raksasa terbesar di
dunia yang secara hebat mempengaruhi manusia. Agama Kristen dan IPTEK malah
mempunyai relasi ganda yang serba polaris yang berfluktuasi antara keramahan yang
saling menopang sampai dengan sikap bermusuhan yang tajam. Hubungan khusus
anatara IPTEK dan Iman Kristen, tidak saja dalam wujud saling mendukung, tetapi
juga saling berhadapan yang oleh para historisi dilihat sebagai bukan kebetulan,
khususnya apabila kita memperhatikan bahwa bangkit dan berkembang pesatnya ilmu
pengetahuan modern justru terjadi di lingkungan kebudayaan yang sangat kuat
dipengaruhi oleh Kekristenan. Hubungan antara IPTEK dan Agama Kristen
sebagaimana dinyatakan tadi, bukan hanya dalam bentuk saling menunjang tetapi
juga saling berhadap-hadapan sebagai lawan.
Ilmu pengetahuan sering menyerang pokok-pokok kepercayaan agama (Kristen)
yang dianggap paling fundamental, antara lain misalnya, serangan frontal dari teori
Evolusi Darwin terhadap visi penciptaan (creatio) dari Alkitab. Ketegangan antara
Ilmu Pengetahuan dan Agama (Kristen) bukan hanya terbatas pada perbedaan
persepsi tentang isu-isu fundamental, namun dalam bentuk yang lebih mendalam
seperti perbedaan prinsipil dalam persepsi antara “pandangan dunia ilmu” (scientific
world view) dengan agama.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 59
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

Pandangan dunia ilmu pada dasarnya cenderung menjelaskan segala peristiwa


yang terjadi berdasarkan prinsip kasualitas yang mekanis dan dapat diukur, hal mana
bermuara pada pandangan dunia yang “deterministic” serta “positivistic” yang
berprinsip bahwa “obyektivitas” adalah kebenaran satu-satunya. Kalau sudah sampai
pada tingkat ini maka ajaran agama betul-betul terbawa dalam keterlibatan
kontroversi bukan hanya dengan ilmu pengetahuan melainkan juga dengan pelbagai
posisi filosofis yang mengklaim dirinya sebagai yang bersifat keilmuan. Dalam hal ini
teknologi termasuk kategori ini. Apabila ilmu pengetahuan bertujuan untuk
memahami dunia, maka teknologi bertujuan mengontrolnya. Tetapi teknologi lebih
dari hanya sekedar bertujuan mengontrol dunia, teknologi juga mempengaruhi cara
pemahaman orang tentang dunia sekitarnya maupun pemahaman tentang dirinya
sendiri.
Tentang hal ini dapat kita ambil contoh dari masa lalu di mana
manusia/masyarakat yang membuat mesin dan menggunakan mesin sering dan
bahkan cenderung memandang dunia ini sebagai suatu mesin (bnd. ajaran Deisme)
malah melihat diri mereka sendiri sebagai mesin yang beroperasi. Akhir-akhir ini
muncul upaya untuk memahami akal budi manusia sebagai suatu computer yang
canggih. Dalam era mutakhir ini perlu dicatat adanya re-evaluasi dan re-interpretasi
tentang hubungan Agama (Kristen) dan IPTEK baik dari segi pandang kalangan
pakar IPTEK sendiri maupun dari segi pandang para ahli teologi yang berlangsung
dalam semangat yang tidak lagi sarat dengan keangkuhan.
Dari segi pakar IPTEK misalnya orang dapat mengamati kecenderungan untuk
tidak lagi secara mutlak berbicara dan mengklaim tentang “kebenaran absolute dari
realitas” tetapi tentang “probalitas”, tidak lagi asas-asas definitive tetapi tentang
model-model. Dalam pemikiran tradisional, ilmu pengetahuan menghasilkan
obyektivitas terlepas sama sekali dari interes pribadi para ilmuan. Walaupun
idealisme ini masih demikian, namun semakin berkembang pengakuan di kalangan
para ilmuan. Penelitian ilmuan pada dasarnya adalah keterlibatan dalam menjawab
pertanyaan/permasalahan dari manusia yang dipertanyakan oleh manusia, jadi bukan
pertanyaan yang diajukan oleh suatu realitas obyektif. Para ilmuan adalah bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari proses penelitian dan eksperimen yang dilakukan,
sehingga pengetahuan yang dihasilkan pada hakekatnya adalah pengetahuan yang
rasional.
Dari sudut agama sendiri dirasakan bahwa mau tidak mau, agama-agama dewasa
ini banyak mengalami perubahan-perubahan (pergeseran visi-visi dasar
tradisionalnya) yang disebabkan pengaruh ilmu pengetahuan. Orang-orang Kristen
pada umumnya dewasa ini membaca Alkitabnya lain dari cara orang-orang Kristen
dulu (telah terjadi pergeseran dari pandangan yang fundamentalistik).
Walaupun Alkitab tetap dan tidak pernah berubah, dan orang-orang beriman
membaca pasal-pasal awal dari kitab Kejadian dengan penuh rasa hormat yang
mendalam, sebagaimana dilakukan oleh generasi-generasi leluhur sebelumnya.
Namun kini mereka pada umumnya tidak akan menganggap berita tentang asal usul
alam semesta dan manusia dalam Kitab Kejadian sebagai suatu data ilmu
pengetahuan yang harus dipertentangkan begitu saja dengan hasil ilmu pengetahuan
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 60
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

yang disajikan oleh para astronomi, geologi, fisika dan biologi. Artinya paling sedikit
telah terjadi 2 (dua) perubahan penting dalam konsepsi tentang Iman (Kristen).
1. Bahwa dalam pemahaman dan penjelasan tentang hukum-hukum alam semesta,
maka penjelasan dari sudut iman tidak harus bersaing dengan penjelasan ilmu.
2. Bahwa iman bukanlah suatu alat teknologi yang supernatural untuk memanipulasi
alam maupun sesama manusia.
Jadi dengan demikian dapat dikatakan bahwa telah berakhir dan pupuslah seluruh
konflik antara agama dan IPTEK ? Rasanya tidak demikian kesimpulannya. Lebih
tepat apabila dikatakan bahwa konflik dan ketegangan antara IPTEK dan agama telah
megalami suasana yang telah berubah. Berdasarkan paparan tersebut di atas, terlihat
dari sejarahnya bahwa kaitan atau hubungan iman Kristen dengan IPTEK itu
mengalami perkembangan seirama dengan perkembangan pemahaman manusia itu
sendiri.

5. PWG dan kaitannya dengan Kehidupan Keluarga

Seperti yang telah dikemukakan pada pembahasan terdahulu di atas bahwa PWG
ditujukan kepada orang-orang yang sudah dewasa (khususnya dewasa secara umur),
maka adalah sangat penting untuk membahas tentang hubungan antara PWG dengan
kehidupan keluarga. Mengapa penting ? Karena keluarga adalah merupakan lembaga
yang utama dan pertama berlangsungnya seluruh proses kehidupan serta pembinaan
kehidupan itu sendiri. Kehidupan yang terbangun dan tertata secara baik di dalam
keluarga merupakan dasar yang memberi implikasi yang sangat positif bagi
terciptanya suatu masyarakat yang baik dan bertanggung jawab, baik masyarakat
gereja maupun masyarakat suatu bangsa.
Di samping itu, PWG bagi keluarga-keluarga Kristen menjadi sesuatu yang tidak
bisa lagi ditunda-tunda oleh karena adanya suatu tuntutan realitas kehidupan yang
semakin sarat dengan tantangan. Tantangan itu bisa muncul dari factor internal,
seperti mundurnya kesetiaan antara suami istri, semakin sulitnya alokasi waktu untuk
keluarga karena telah tersita oleh waktu pekerjaan di luar rumah, dll, tetapi juga bisa
muncul dari factor eksternal, misalnya pengaruh lingkungan, pengarauh kuasa-kuasa
gelap, dan termasuk pula pengaruh kemajuan teknologi (dalam pengertian
ketidaksiapan keluarga tersebut menyambut kemajuan teknologi).
Dilandasi dengan pemaparan di atas maka gereja harus melaksanakan PWG
terhadap keluarga-keluarga Kristen dengan mengembangkan strategi pelaksanaannya
sebagai berikut :
• Bimbingan Pra-Nikah
Salah satu strategi pembinaan bagi keluarga-keluarga Kristen adalah pelaksanaan
bimbingan bagi orang-orang muda yang hendak berumah tangga atau mau
menikah. Dalam pembinaan tersebut dipaparkan secara komprehensif
(menyangkut dasar Alkitabnya, hirarki keluarga Kristen, etika keluarga Kristen,
dll) tentang arti pernikahan menurut konsep Alkitab. Artinya, bahwa bagi calon
pasangan suami istri sudah harus mempunyai pemahaman Alkitabiah yang jelas
tentang pernikahan Kristen dengan seluruh aspeknya. Materi untuk pembinaan
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 61
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

bimbingan pra-nikah telah tersedia banyak buku-buku Kristen. Salah satu yang
saya anjurkan adalah buku “Konseling Pra-Nikah” karangan Pdt. Dr. Jonathan A.
Trisna dan buku “Tujuh Pilar Pernikahan Kristen”, karangan Pdt. Jaliaman
Sinaga, M.Div. Sudah barang tentu, bisa saja ditambahkan dengan buku-buku
lain.
• Bimbingan Post-Nikah
Di samping bimbingan pra-nikah, maka yang sangat penting pula adalah
bimbingan yang harus dilakukan oleh gereja terhadap orang-orang yang sudah
menikah (post-nikah). Karena mereka (orang yang sudah berkeluarga) justru
menghadapi tugas dan tanggung jawab yang semakin kompleks dan itu berarti
pula bahwa masalahnya juga semakin kompleks.
Keluarga diperhadapkan dengan tanggung jawab memelihara keluarga yang
harmonis, meningkatkan ekonomi keluarga, mempertinggi prestasi kerja (karier),
mendidik anak-anak, membangun rohaninya, dll. Dalam kondisi seperti ini,,
biasanya muncul berbagai masalah dan itu berarti memerlukan solusi atau
pemecahannya.
Dilandasi dengan paparan di atas, maka tampak dengan jelas bahwa gereja
mempunyai tanggung jawab penuh terhadap pembinaan warganya. Pembinaan
dimaksud harus disiapkan sesuai dengan kebutuhan warga jemaat. Misalnya,
bagaimana membina keluarga harmonis ? Dalam hal ini perlu diadakan seminar-
seminar atau pembinaan-pembinaan berkala terhadap keluarga dengan
mengedepankan topik-topik yang berkenaan dengan keluarga, seperti: menjadi
suami atau istri idaman menurut sudut pandang Alkitab, menjadi orangtua teladan
dalam iman kepada anak-anak, membangun komunikasi yang sehat dalam
keluarga, membangun etika keluarga yang sehat, dll. Di samping itu, maka segi
lain yang perlu dibina adalah: misalnya, bagaimana membangun bisnis yang
sukses dan sesuai dengan terang iman Kristiani ? Dalam hal ini perlu diadakan
seminar-seminar atau pembinaan-pembinaan terhadap warga jemaat (khususnya
orang-orang dewasa) tentang dasar-dasar bisnis secara Alkitabiah, menjadi
pebisnis yang pandai membaca pasar, kreatif dan pantang menyerah, handal serta
terampil dalam memimpin bisnis. Dan tentu masih banyak lagi aspek yang perlu
mendapat perhatian dari PWG.

6. PWG dan kaitannya dengan Tugas Kesaksian37

Tugas suruhan diterima karena ada yang menyuruh. Lazimnya yang lebih tinggi
derajatnya, yang lebih berkuasa, yang lebih berwenang menyuruh orang lain
melakukan sesuatu. Orang yang disuruh diharapkan menaati apa yang dimaksud atau
diperintahkan yang menyuruh. Ketaatan seperti itu diperlihatkan Tuhan Yesus Kristus
sampai akhir hayat-Nya (Flp. 2:8). Hubungan antara guru dan murid adalah hubungan
yang berisi suruhan. Kata “disiplin” terambil dari kata “discipel (Bel. : murid),
dengan kata lain, “disiplin” mengandung arti ketaatan yang disuruh oleh sang guru.
37
O.E.Ch. Wuwungan, Bina Warga: Bunga Rampai Pembinaan Warga Gereja (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1995), 49-62
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 62
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

Perkembangan pengetahuan, perluasan pengalaman serta pertumbuhan kepercayaan


terjadi karena langkah-langkah ketaatan. Dalam pergumulan hebat Yeremia mencoba
meninggalkan sikap taat itu, tetapi ia tidak sanggup, seakan-akan terperangkap (Yer.
20:9; bnd. Am. 3:8). Garis yang dapat dibayangkan antara yang menyuruh dan yang
disuruh ialah garis tegak, sedang antara yang disuruh ke penerima berita dapat pula
berupa garis tegak, tetapi lebih banyak garis mendatar. Dan dimensi garis ini
menonjol dalam Alkitab. Bila Allah adalah Dia yang menyuruh, dan yang disuruh
ialah perantara-Nya, seseorang atau suatu persekutuan orang, yang lazim disebut
umat, maka si penerima berita ialah orang seorang atau sekelompok orang atau
seluruh rakyat (bnd. 1 sam. 3:11-14), malah seluruh dunia (Yoh. 17:18; menjadi
pertanyaan apakah dengan istilah “kosmos” tidak juga dimaksudkan seluruh jagad
raya).
Yang perlu diselami adalah isi tugas suruhan itu, dan dalam hubungan apa atau
keadaan apa tugas diberikan. Senantiasa ada peristiwa yang dikaitkan, di mana yang
menyuruh telah atau akan berprakarsa. Panggilan Musa merupakan persiapan ke arah
peristiwa yang lebih besar: pembebasan umat dari perbudakan (Kel. 3, khususnya
ayat 3-10). Demikian pula pada peristiwa Kenaikan, Tuhan mempersiapkan para rasul
untuk tugas-tugas yang lebih luas (!.... sampai ke ujung bumi’ Kis. 1:8), yang menjadi
kenyataan awal pada peristiwa Pentakosta (Kis. 2). Antara kedua peristiwa tersebut
ada selang sepuluh hari, suatu jarak waktu di mana mereka “dilarang meninggalkan
Yerusalem dan disuruh tinggal di situ untuk menantikan janji Bapa” (Kis. 1:4; perlu
diperhatikan kata “dilarang” dan “disuruh” dalam hubungan dengan tugas “suruhan”,
sedang pada ayat 2 digunakan ungkapan memberi perintah). Sasaran suruhan pada
tahap pertama ialah janji itu, yang menurut ayat 8 adalah kuasa Roh Kudus. Kata
kuasa itu rupanya punya makna yang sama seperti pada Roma 1:16, dimana Injil
dinyatakan sebagai kekuatan Allah, dengan kata lain, yang dikuasai oleh kekuatan itu
memiliki daya ledak dan gerak yang dasyat laksana ledakan ‘dinamit’. Itu juga berarti
bahwa daya jangkaunya sangat luas, “sampai ke ujung bumi” (ay. 8 bnd. Za. 9:10;
Yes. 52:10). Dalam nada yang sama penulis Injil Lukas juga berbicara, bahwa orang-
orang yang diperlengkapi dengan kekuasaan dari tempat tinggi didorong dan
diwajibkan oleh kuasa itu untuk (ungkapan yang digunakan penulis: “harus
disampaikan”, Luk. 24:47) meneruskan berita tentang pertobatan dan pengampunan
dosa kepada segala bangsa (baca selengkapnya Luk. 24:46-49). Dengan cara yang
sama penulis Injil Markus mengungkapkan peristiwa suruhan itu, diwarnai dengan
kalimat-kalimat suruhan: Pergilah… beritakanlah…, dan sasarannya ialah: seluruh
dunia, yang kemudian dirinci dengan segala makhluk (mrk. 18:15). Jangkauan yang
meliputi seluruh dunia itu, bahkan alam semesta itu mungkin dapat dimengerti dari
sudut pandang penulis Injil Matius, yang mengungkapkan kata-kata Yesus, bahwa
kepada-Nya telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi (Mat. 28:18b). Ada
segi yang khas pada Markus, yang disebutnya tanda-tanda (16:17-18), yang rupanya
menjadi pernyataan atau ujud dari kuasa Allah itu yang memampukan orang yang
percaya untuk menjadi jurubicara dan melakukan perbuatan-perbuatan yang
mengherankan (bnd. Musa, Kel. 4).
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 63
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

Suruhan yang pertama-tama diterima oleh manusia ialah supaya mereka beranak
cucu dan bertambah banyak, memenuhi bumi dan menaklukkannya serta berkuasa
atas segala margasatwa (Kej. 1:28); menarik diperhatikan kata “berkuasa” dan daya
takluk manusia menjangkau seluruh bumi; perlu diingat bahwa menurut taksiran
terakhir penduduk dunia kini berjumlah lebih dari sembilan miliar). Versi yang lain
menceritakan bahwa manusia itu diberikan kepercayaan untuk mengelola kebun yang
bernama ‘taman Eden’ dan diberi perintah (mungkin terjemahan di sini lebih baik
‘izin’ untuk dengan bebas makan buah dari semua pohon di situ kecuali buah pohon
pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat. Bila melanggar perintah itu, manusia
pasti akan mengalami kematian (Kej. 2:15-17). Versi itu memperlihatkan bahwa
wilayah kewenangan manusia terbatas, yakni seluas taman itu. Baru setela ia
melakukan pelanggaran, ia ditempatkan dalam lingkungan yang lebih luas
kemungkinannya tetapi di luar batasan yang aman dan tenteram seperti taman Eden
(Kej. 3:23).
Suruhan yang dikaitkan dengan janji ditujukan kepada Abraham: “Pergilah dari
negerimu… Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati
engkau serta membuat namamu masyur” dan engkau akan menjadi berkat… (Kej.
12:1-2; ay. 3 merupakan kelanjutan janji Tuhan yang menyangkut hubungan Abram
dengan orang lain, baik secara pribadi maupun secara umum). Kembali tampak
bagaimana suatu suruhan mempunyai daya jangkau yang jauh dan luas. Tersirat di
situ suatu dimensi masa depan yang tidak akan dialami lagi oleh Abram sendiri. Janji
itu meliputi generasi-generasi yang pada peristiwa suruhan itu dilaksanakan belum
muncul ke permukaan sejarah dunia. Lima belas tahun setelah Abram berangkat dari
Haran (Kej. 17:1; bnd. Kej. 12:4) ketika sudah menetap di tanah Kanaan, janji itu
diperkokoh dengan suatu suruhan yang singkat: “Hiduplah di hadapan-Ku dengan
tidak bercela”. Ada perubahan dalam janji di sini: ‘engkau akan menjadi bapa
sejumlah besar bangsa’ (ay. 4b dan 5b, sedangkan pada 12:2a:.. engkau menjadi
bangsa yang besar,…’). Itu berarti bahwa Tuhan yang menyebut diri-Nya ‘Allah
Yang Mahakuasa’ (17:1), berkenan menyangkutkan bangsa-bangsa ke dalam
perjanjian-Nya dengan Abram. Itu dipertegas lagi dengan ungkapan: ‘engkau akan
Kubuat menjadi bangsa-bangsa,…. (ay. 6) dan nama Abram digantikan-Nya dengan
nama ‘Abraham’, yang artinya “bapa sejumlah besar bangsa” (ay. 5). Perjanjian itu
bersifat ‘kekal’ (ay. 7) dan berlaku bagi seluruh keturunan Abraham, bahkan Sarai
pun, yang kemudian diberi nama baru Sara, turut menerima berkat Tuhan, sehingga ia
menjadi ibu bangsa-bangsa; raja-raja bangsa-bangsa akan lahir dari padanya (ay.
16b). Yang aneh, dalam perjanjian itu tersirat suatu suruhan yang berlaku bagi
Abraham dan keturunannya dan seisi rumahnya, yakni setiap laki-laki harus disunat
(ay. 10-11a, 12-13a). Sunat adalah tanda perjanjian itu (ay. 11b), yang diterangkan
lebih jauh pada ay. 13b: “maka dalam dagingmulah perjanjian-Ku itu menjadi
perjanjian yang kekal”.
Itulah kekhasan suruhan kepada Abraham. Tentang sunat ini rasul Paulus
memberi tanggapannya (Rm. 2:25-29), bahwa keadaan bersunat tak ada gunanya
kalau seseorang tidak mentaati hukum Taurat. Ia menekankan sunat di dalam hati
daripada sunat secara lahiriah, yang hanya memperlihatkan keyahudian seseorang.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 64
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

Menurut dia, orang yang memperhatikan tuntutan-tuntutan hukum Taurat dapat


dianggap sama dengan orang yang bersunat (ay. 26). Pada peristiwa perjanjian
dengan Abraham, orang yang tidak bersunat dianggap ‘mengingkari perjanjian-Ku’
(Kej. 17:14b). Dan orang seprti itu harus dilenyapkan (ay. 14a).
Perbudakan terhadap orang Israel menggerakkan Allah untuk bertindak (Kel.
2:23-25; 3:7-9). Pangkal tolak tindakan-Nya itu ialah perjanjian-Nya dengan
Abraham, Ishak dan Yakub (2:24). Untuk maksud itu Ia memilih seseorang yang
dapat melaksanakan rencana-Nya atas nama-Nya. Orang itu dipanggil dengan nama-
Nya: Musa, Musa ! (3:4; bnd. 1 Sam. 3:4, ketika Samuel juga dipanggil seperti itu:
Samuel, Samuel!). Dan Allah memperkenalkan diri-Nya kepada Musa sebagai Allah
ayahnya, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub (3:6). Dalam
memperkenalkan diri-Nya itu Allah serentak mengungkapkan kaitan-Nya dengan
perjanjian yang dibuat-Nya dengan Abraham dan keturunan-Nya.Cara perkenalan diri
seperti itu diulang-ulang (ay. 15 dan 16, serta 4:5; terhadap raja Mesir perkenalan itu
berbunyi: Tuhan, Allah orang Ibrani, 3:18), rupanya untuk meyakinkan sasaran
susruhan, yakni orang Israel. Tidak cukup sampai di situ saja, Allah malah
menyingkapkan hakikat nama-Nya kepada Musa: Aku adalah Aku(3:14) dan
menggandengkan nama itu dengan suruhan-Nya kepada Musa: “Akulah Aku telah
mengutus Aku kepadamu” (13:14b). Isi suruhan kepada Musa sederhana dan
disampaikan dengan kalimat singkat: ‘… pergilah, Aku mengutus engkau kepada
Firaun untuk membawa umat-Ku, orang Israel, keluar dari Mesir’ (3:10), namun dari
segi operasioanlnya Musa menganggapnya seperti gunung yang tak tertembuskan.
Dua kekuatan yang harus ia hadapi: Firaun dan umat Israel, sedang kekuatan Tuhan
masih harus diyakininya. Ia tidak saja harus diyakinkan Tuhan dengan kata-kata
(3:12), tetapi juga dengan tanda-tanda mujizat (4:2-9). Ketika Musa masih juga ragu
untuk melaksanakan suruhan itu, ia diperbolehkan mendapat bantuan Harun,
kakaknya, yang akan bertindak sebagai jurubicara (4:14-16). Yang mungkin aneh
kedengaran ialah bahwa Musa akan bertindak laksana Allah dalam kerjasamanya
dengan Harun (4:16b). Begitu besar kepercayaan Allah kepada orang pilihan-Nya itu,
walaupun orang itu sendiri tidak merasa dirinya layak untuk melaksanakan tugas
suruhan itu. Dalam murka-Nya pun (4:14a) Tuhan menunjukkan kemurahan-Nya
dengan menyesuaikan rencana-Nya dengan keadaan mental orang suruhan-Nya itu.
Walaupun sebagai wahana rencana, Ia tidak memperlakukan orang-Nya itu sebagai
boneka. Musa bukan Yesaya yang serta merta mau diutus Tuhan (Yes. 6:8).
Suruhan kepada Musa itu bukan suruhan yang satu-satunya yang diterimanya,
karena setelah itu menyusul suruhan-suruhan lain sementara mereka dalam perjalanan
menuju “negeri yang berlimpah susu dan madu” (Kel. 3:17). Salah satu suruhan yang
sentral ialah persiapan umat untuk menerima dasa titah (Kel. 19). Peristiwa
pembebasan umat dari cengkeraman perbudakan oleh Tuhan masih segar dalam
ingatan (baru tiga bulan sebelumnya terjadi, ay. 1). Peristiwa itu pula dipakai Tuhan
untuk membentangkan maksud-Nya terhadap umat-Nya itu (ay. 3b-4). Ia inginkan
supaya mereka patuh pada firman-Nya dan berpegang pada perjanjian-Nya (ay. 5a).
Dan bila mereka mau melakukan itu, mereka akan diperlakukan Tuhan secara
istimewa: “… kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 65
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

bangsa, …Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus” (ay.
5b-6a). Isi janji itu bergema terus dan terpantul dari ucapan antara lain penulis surat 1
Petrus, di mana kedudukan yang istimewa itu dikaitkan dengan tugas suruhan:
“memberitakan perbuatan-perbuatan besar dari Dia, yang telah memanggil kamu
keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib” (1 Petrus 2:9).
Dengan kata lain, tugas suruhan Musa kepada bangsanya dimaksudkan untuk
membangkitkan kesadaran kepada bangsa itu bahwa mereka juga mengemban tugas
suruhan yang khusus di antara bangsa-bangsa (bnd. Mi. 5:6; Yes. 49:6b). Malah
dalam keadaan terjepit dan tertindas sebagai bangsa buangan sekalipun, mereka harus
berupaya untuk mewujudkan kesejahteraan untuk seluruh masyarakat di mana mereka
tinggal (Yer. 29:7). Bangsa yang diistimewakan itu tidak terlepas dari amanat Tuhan
berupa dasa titah yang merupakan jawab bangsa itu atas keselamatan yang Ia telah
berikan kepada mereka (Kel. 20:1-2). Hukum yang disampaikan Tuhan bukan
merupakan syarat untuk mendapatkan pembebasan dan keselamatan, karena
pembebasan dan keselamatan telah diperoleh umat lebih dulu. Kini keselamatan yang
diterimanya itu harus tercermin dalam hidupnya sehari-hari, dalam baktinya kepada
Tuhan dan kepada sesamanya (bnd. Mat. 22:36-40; Rm. 13:9-10). Patut pula
diperhatikan bahwa apa yang bangsa itu ikrarkan: “segala yang difirmankan Tuhan
akan kami lakukan” (Kel. 19:8), harus mereka buktikan sungguh-sungguh dalam
hidup (bnd. Rm. 12:1-2).
Kita telah memperoleh gambaran sepintas tentang tugas suruhan pada masa pra-
Keluaran, pada masa Keluaran itu sendiri, pula pada masa Pembuangan (Yer. 29).
Kini kita beralih ke masa-masa akhir Pembuangan dan sesudahnya.
Penulis pasal 66 kitab Yesaya menyatakan bahwa ada orang-orang yang terluput
yang akan diutus kepada bangsa-bangsa untuk memberitakan kemuliaan Tuhan dan
untuk membawa kembali orang-orang seiman yang tercecer di antara bangsa-bangsa
ke Yerusalem, ke pusat peribatan dan bahwa dari antara mereka akan ada yang
dijadikan imam dan orang Lewi (ay. 18-21). Dengan kata lain, bangsa-bangsa juga
dijadikan sasaran suruhan dan diperkenankan menyaksikan kemuliaan Tuhan. Di
gunung Sinai hanya umat yang kudus yang boleh menyaksikannya, atau lebih tegas,
hanya Musa yang boleh mendekatinya. Pikiran-pikiran serupa muncul di pasal 61 di
mana dikatakan bahwa hanya umat yang dapat disebut “imam Tuhan” dan ‘pelayan
Allah’ yang akan menikmati kekayaan bangsa-bangsa (ay. 6). Perlu pula diperhatikan
kata-kata yang ditujukan kepada umat, bahwa mereka akan mengalami “sukacita
abadi” (ay. 7d) dan Allah akan mengikat perjanjian abadi dengan mereka (ay. 8d),
dan bahwa keturunan mereka akan menjadi terkenal di antara bangsa-bangsa dan
akan disebut keturunan yang diberkati Tuhan (ay. 9a, d). Bangsa-bangsa di sini
berada di luar lingkaran berkat. Sang nabi rupanya hanya diutus untuk orang-orang
yang terkena musibah dari bangsanya. Ia digerakkan oleh Roh Tuhan Allah untuk
membawa kabar baik kepada orang-orang itu (ay. 1-3b). Di masa Perjanjian Baru,
para murid Tuhan Yesus harus lebih dulu menunggu kuasa Roh Kudus sebelum
membawa kabar baik ke seluruh dunia (Kis. 1:8). Juga di Yesaya 58 berita nabi
ditujukan kepada bangsanya sendiri dengan suruhan supaya menyatakan dengan tegas
dosa dan pelanggaran umat (ay. 1). Umat diajak untuk bertobat dari kebiasaan yang
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 66
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

salah dalam hal berpuasa (ay. 3c-4b,5). Kemudian disingkapkan makna sesungguhnya
mengenai puasa: membuka belenggu kelaliman, melepaskan tali kuk, memerdekakan
orang yang teraniaya, mematahkan setiap kuk, memecahkan roti bagi yang lapar,
membawa ke rumah orang miskin yang tak punya rumah, memberi pakaian kepada
orang yang telanjang, dan tidak menyembunyikan diri terhadap sesama. Kita lihat di
sini bagaimana berita itu mengandung unsure-unsur diakonal atau pelayanan.
Pelayanan itu memancarkan kasih terhadap sesama yang memerlukan pertolongan.
Pada waktu sikap hidup itu diambil, maka segala hubungan yang retak akan pulih
kembali, juga hubungan dengan Allah (ay. 8b, 9a.b). Dan umat akan menjadi fajar
yang memancarkan terang (ay. 8a, 10c). Kata terang itu dirangkaikan dalam kalimat-
kalimat suruhan yang ditujukan khusus kepada ‘kota Tuhan’ (yakni Sion): “menjadi
teranglah” (60:1). Kota itu menjadi terang karena terang Tuhan terbit atasnya (ay. 2c).
Daya tarik sinar kota itu begitu kuat sehingga bangsa-bangsa berduyun-duyun dating
kepadanya (ay. 3). Terang itu menyatakan kemuliaan Tuhan (ay. 2d) yang bersinar-
sinar dan disaksikan oleh bangsa-bangsa, sehingga orang-orang dari Syeba
memberitakan perbuatan-perbuatan masyur Tuhan (ay. 6d). Kebanggaan abadi kota
itu (ay. 15b) dan keagungannya (ay. 19d) disebabkan karena Tuhan hadir di dalamnya
sebagai penerang abadi (ay. 19c, 20c). Tuhan itu akan dikenal sebagai Juruselamat,
Penebus, Yang Mahakuasa (ay. 16c). Selain kebutuhan-kebutuhan spiritual seperti
damai sejahtera dan keadilan yang akan melindungi dan mengatur hidup (ay. 17d,e),
Tuhan pula memenuhi kebutuhan-kebutuhan material (ay. 17a-c). Kota itu juga akan
terhindar dari kekerasan dan keruntuhan (ay. 18a-b). Dalam pada itu pasal 62
menggemakan nubuat bahwa dengan dipulihkannya semarak kota itu di masa depan,
Tuhan akan membawa kembali umat-Nya yang tersebar, yang akan disebut bangsa
kudus, orang-orang tebusan Tuhan (ay. 10-12). Dan kota itu akan menjadi pusat
perhatian bangsa-bangsa bila kelak kebenarannya bersinar seperti cahaya dan
keselamatannya menyala seperti suluh (ay. 1c.d).
Gambaran akhir zaman ini di mana Tuhan berperan sebagai penerang abadi, titik
pusat ke mana semua bangsa akan bergerak untuk memperoleh kesejahteraan mereka,
memantul ke Perjanjian Baru, kitab Wahyu. Pada waktu tidak ada lagi Bait Allah
karena Tuhan sendiri adalah Bait Suci kota itu (21:22). Dan tidak perlu penerang,
karena Allah sendiri dan Anak Domba adalah penerangnya (ay. 23-22:5b). Perkataan
Allah yang pertama dalam menciptakan alam semesta adalah kalimat suruhan:
“Jadilah terang” (Kej. 1:3). Lalu terang itu jadi (ay. 4). Firman mewujud nyata,
menyatu dalam suruhan Allah. Kejadian mengawali gerak tindak Allah dengan terang
dan Wahyu menerima pantulan berita lewat lintasan sejarah orang-orang beriman dan
menutupnya pula dengan peran Allah sendiri sebagai Terang. Dalam lingkaran
Terang itu umat-Nya bergerak. Itulah sebabnya penulis surat 1 Yoh. Bersaksi tentang
Allah adalah terang (1:5) dan mengajak untuk hidup dalam terang supaya dapat
dibersihkan dari dosa oleh darah Yesus dan memperoleh persekutuan yang sejati
dengan sesama (ay. 7).
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 67
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

7. PWG dan kaitannya dengan tugas warga gereja untuk membangun bangsa

Manusia adalah subjek atau pelaksana pembangunan dan sekaligus dia harus
dibangun untuk dapat membangun. Membangun manusia pembangun, atau
pendidikan kea rah kedewasaan dan ketrampilan untuk pembangunan sebagai bagian
dari suatu rencana tenaga manusia (manpower planning) yang menyeluruh
merupakan salah satu bagian yang penting dalam tugas PWG. Dalam rangka inilah,
warga gereja sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia perlu dimampukan yang
pada akhirnya dapat memberikan pengabdian kepada pembangunan nasional dalam
segala aspek.
Partispasi orang-orang Kristen sebagai warga gereja yang baik dan beriman di
Indonesia harus ditujukan kepada kesejahteraan umum bangsa Indonesia sebagai
keseluruhan sebab hanya dalam rangka kesejahteraan umum itulah kesejahteraan
orang Kristen di Indonesia dapat diperkembangkan. Partispasi berarti kerjasama
dalam kerendahan hati dengan semua golongan. Salah satu tugas bangsa kita dalam
pembangunan ialah untuk berusaha memahami dengan hati dan pikiran yang terbuka
terhadap hal-hal yang harus diatasi, seperti hal-hal psikologis, hal-hal strukturil,
communication gap diantara berbagai golongan, dll, agar semua warga Negara
dengan berbagai latar belakang keagamaan, kebudayaan, keturunan yang beraneka
ragam dan yang termasuk generasi-generasi yang berlain-lainan, dapat sepenuhnya
berpartisipasi secara bahu membahu dalam pembangunan itu.
Hal-hal yang dipaparkan di atas harus menjadi salah satu “concern” dari materi PWG.
Hanya dengan demikianlah maka warga gereja sebagai warga bangsa dapat
menyiarkan dan sekaligus menterjemahkan “shalom” kepada dunia di mana ia
dihadirkan oleh Tuhan sebagai alat kesaksian-Nya. Karena itu, seperti yang dikatakan
oleh Brother Lawrence (seorang guru masak di dalam salah satu biara di Perancis)
berkata “janganlah kita berusaha merubah apa yang kita kerjakan tetapi rubahlah
sikap kita terhadap apa yang kita kerjakan”. Artinya bahwa setiap orang Kristen,
biarlah ia mengerjakan apa yang harus dikerjakannya sesuai dengan kemampaun yang
dianugerahkan oleh Tuhan kepadanya. Tetapi yang penting adalah di atas semua yang
dikerjakan itu agar nama Tuhan yang disaksikan. Oleh karenanya, keikutsertaan umat
Kristiani (warga gereja) dalam pembangunan adalah motif yang fundamental dan
elementer sekali. Apalagi dalam nasion Indonesia, dimana kita sebagai umat Kristen
mutlak bertanggung jawab atas pembangunan dan kemajuan bangsa maka gereja dan
umat Kristen harus solider dengan seluruh rakyat. Namun fungsi kritis daripada
gereja tidak boleh ditinggalkan.

8. PWG dan Keperluan “Human Investment”


Masalah yang urgen yang sekarang ini dihadapi baik oleh bangsa dan terutama oleh
gereja adalah bagaimana kita membina manusia-manusia yang pembangun yang
unggul bagi kerajaan Allah? Bagaimana kita bisa meningkatkan mental masing-
masing orang dan masyarakat (khususnya masyarakat Kristen) sehingga
pembangunan dan perubahan menjadi targetnya? Dalam kaitannya dengan “human
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 68
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan

investment”, maka ada dua konsentrasi yang saya tawarkan untuk dikerjakan oleh
gereja dalam membina warganya adalah:
• Pembinaan Kepribadian atau “Karakter”. Setiap warga gereja
diharapkan memiliki kepribadian yang matang yaitu: memiliki sikap yang positif,
dapat memahami orang lain, memiliki tutur bahasa yang tepat, memiliki wawasan
yang luas, dan dapat merealisasikan cita-cita. Apabila warga gereja memiliki
tingkat kematangan kepribadian seperti ini maka mereka dipastikan dapat menjadi
berkat bagi orang-orang yang ada di sekitarnya dan bahkan bagi bangsa-bangsa.
• Pembinaan Ketrampilan. Setiap warga gereja harus dibina dan
dipersiapkan dalam berbagai ketrampilan (ketrampilan kerja dan pelayanan yang
menunjukkan kualitas tinggi dari kinerja umat Tuhan) sehingga karya-karyanya
dapat disaksikan dan dirasakan oleh sesamanya. Karena hanya dengan
demikianlah, warga gereja sebagai anak Tuhan dapat menjadikan dirinya sebagai
mediator berkat Allah yang efektif bagi sesamanya dan bahkan dunia di mana ia
dihadirkan oleh Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai