BAB I
PENDAHULUAN
Catatan Pengantar
Ketika mendapat surat tugas dari Purek I ITKI untuk mengampu kuliah
Pembinaan Warga Gereja (selanjutnya dalam tulisan ini disingkat PWG), maka langkah
pertama yang penulis lakukan adalah mengumpulkan bahan-bahan sebagai sumber bahan
ajar. Walaupun ternyata agak sedikit kesulitan memperoleh bahan-bahan yang
dibutuhkan karena terbatasnya sumber-sumber utama seperti buku-buku yang membahas
secara khusus tentang PWG. Namun kesulitan itu dicoba diatasi dengan penyiapan diktat
bahan ajar ini secara sederhana.
Dimasukkannya PWG sebagai salah satu mata kuliah inti dalam kurikulum
standar minimal yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen
Protestan Departemen Agama R.I. menunjukkan bahwa PWG telah mendapat perhatian
serius bukan saja oleh gereja-gereja tetapi juga oleh pemerintah melalui Departemen
yang terkait. Tentu hal itu dimaksudkan supaya setiap warga gereja (khususnya orang
percaya yang sudah dewasa umur) dibina dan dipersiapkan secara komprehensif untuk
menjadi alat kesaksian yang efektif dalam pelaksanaan tugas pelayanannya di tengah-
tengah dunia dan sesamanya. Baik itu di dalam pelaksanaan tugasnya di bidang pekerjaan
sekuler maupun dalam pelayanan gerejawi. Dan yang lebih penting dari itu adalah agar
menjadi tangguh dan terampil dalam menghadapi pergumulan realitas kehidupannya.
Dalam realitas pelaksanaan tugas gereja dan kehidupan warga gereja ternyata
muncul beberapa asumsi dan pertanyaan sebagai berikut:
1. PWG merupakan salah satu hakikat tugas gereja yang penting. Begitu kita
melupakan tugas PWG, maka gereja sudah melupakan salah satu hakikat tugasnya
yang hakiki.
Apakah betul bahwa PWG merupakan tugas gereja yang hakiki? Apakah dapat
ditemukan dasar-dasarnya dalam kesaksian Alkitab (PL dan PB)? Dalam apa
sajakah PWG tercakup?
Apakah benar bahwa PWG efektif dalam memampukan warga jemaat menjadi
alat kesaksian Tuhan bagi sesamanya? Model PWG yang bagaimana, yang
efektif?
3. Guru atau tenaga Pembina dalam PWG merupakan faktor yang sangat
menentukan bagi keberhasilan PWG di sebuah gereja lokal.
Apakah gereja sudah melihat dan menganggap bahwa posisi guru atau tenaga
pendidik dalam sebuah gereja lokal atau sinodal merupakan hal yang sangat
penting dan menentukan? Apakah kita dapat sepakat bahwa kedudukan guru
dalam pelayanan gerejawi setara dengan jabatan lain misalnya jabatan gembala,
penginjil? Apakah gereja sudah dengan serius melakukan rekrutmen dan
sekaligus pemberdayaan secara maksimal terhadap tenaga-tenaga pengajarPWG
di gereja?
Apakah betul ada “kekaburan” pemahaman di antara dua subjek ini? Kalau ada,
apakah sudah ada upaya pelurusan pemahaman di antara keduanya? Siapa
yang bertanggung jawab terhadap upaya pelurusan pemahaman tersebut?
Apakah kedua subjek ini justru merupakan dua hal yang saling terkait erat? Dan
dimanakah keterkaitannya itu?
Apakah betul bahwa belum seluruhnya kebutuhan hidup warga gereja tersentuh
dengan pelayanan gereja? Kalau belum, lalu siapa yang harus disalahkan?
Bagaimana kita dapat memahami kebutuhan warga gereja yang begitu
kompleks? Kebutuhan mana yang harus didahulukan?
Apakah gereja sudah memperoleh data konkrit tentang kebutuhan warga gereja?
Bagaimana caranya memperoleh data-data konkrit kebutuhan warga gereja?
Apakah sudah dilakukan perencanaan pembinaan warga gereja yang terukur
dengan berdasarkan skala prioritas? Bagaimana merancang perencanaan PWG
yang terstruktur dan terukur?
8. Pelaksanaan tugas PWG perlu alat-alat penunjang, yaitu sarana dan prasarana.
BAB II
LATAR BELAKANG KEGIATAN PWG
Sebelum kita mendiskusikan lebih lanjut sekitar PWG, ada baiknya terlebih
dahulu kita memahami alasan-alasan yang melatar belakangi pentingnya PWG. Ada
empat alasan mendasar (tentu bisa saja lebih dari itu), yaitu:
1
Albert Widjaja, Menempuh Arah Baru, Laporan Evaluasi Pembinaan Warga Gereja 1971-1979
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 13-14.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 6
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
3. Alasan Teologis
• PWG merupakan perintah Tuhan Yesus (Mat. 28:19-20). Dari ayat ini,
tampak dengan jelas adanya suatu perintah Tuhan Yesus dalam bentuk penugasan
kepada gereja-Nya untuk melakukan suatu pengabaran Injil keseluruh dunia agar
orang bertobat dan menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat hidup
pribadinya. Dan yang kedua adalah tugas mengajarkan iman Kristiani kepada
semua umat yang telah diselamatkan-Nya, supaya mereka mampu menjalankan
tugas dan kewajibannya, sesuai dengan tugas panggilan-Nya di dunia ini. Dan
dalam proses pembinaan (atau pembelajaran) tersebut, diasumsikan terjadi suatu
proses pembebasan umat dari ikatan kuasa kegelapan (dosa), dari kebodohan, dari
keterbelakangan, dari kedangkalan pemahaman dan penghayatan iman di dalam
Yesus Kristus. Dalam rangka itulah gereja mengemban tugas mengajarkan iman
Kristiani terhadap semua nggota jemaat yang dipercayakan Tuhan kepadanya,
agar umat mampu menjalankan tugas dan kewajibannya secara aktif, dinamis, dan
kreatif sesuai dengan tugas panggilannya di dunia konkritnya.
• Secara teologis, manusia adalah mahluk yang diberi kesempatan oleh Allah untuk
berubah (mengalami transformasi) dan bertumbuh melalui media belajar
(pembinaan) sampai mencapai kepenuhan martabatnya sebagai ciptaan Allah. Hal
ini merupakan hak istimewa manusia.
• Andar Ismail, dalam bukunya “Awam dan Pendeta”; Mitra Membina
Gereja, mengatakan bahwa “setiap orang percaya diberi mandat oleh Allah untuk
melayani orang-orang lain, untuk mengekspresikan imannya dalam tindakan
sosial yang bermanfaat dan dengan demikian mengkomunikasikan kekuasaan
Injil.”2 Secara teologis, pemahaman ini mau menunjukkan bahwa tugas pelayanan
adalah tugas semua orang percaya. Artinya bukan hanya orang-orang yang secara
struktural memiliki jabatan kependetaan, jabatan majelis, jabatan guru Injil, dan
lain-lain melainkan mencakup semua orang yang percaya. Karena itu,
pelaksanaan PWG dalam suatu gereja mempunyai alasan teologis yang signifikan.
• PWG terkait erat dengan upaya implementasi “membumikan” kehendak
Allah dalam kehidupan umat manusia. Dan PWG dalam arti “toerusting”,
sebenarnya tidak lain adalah suatu bentuk “belajar”, namun belajar secara
Alkitabiah selalu berwujud perbuatan.
• Proses PWG merupakan salah satu usaha untuk mewariskan iman
(pengajaran), sehingga umat mampu memahami, menghayati serta menghidupi
imannya dalam keseluruhan realitas hidupnya.
2
Andar Ismail, Awam dan Pendeta; Mitra Membina Gereja (Jakarta: Badan Penerbit BPK
Gunung Mulia, 2000), 3.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 7
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
BAB III
DASAR TEOLOGI &TUJUAN PWG
Semua kegiatan gerejawi harus memiliki dasar teologi yang baik, sehingga dapat
dipertanggungjawabkan terhadap gereja dan jemaat sesuai dengan terang Firman Tuhan.
Karena itu pada bagian ini kita akan mempelajari dasar-dasar teologi PWG dengan
mengacu kepada kesaksian dan pemberitaan Alkitab.
Pada saat kita membaca Sepuluh Hukum Taurat maka kita dapat melihat dua sisi
penting yang harus menjadi dasar hidup orang percaya, yakni: memuji, memuliakan
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 9
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
Allah dengan benar dan yang kedua adalah supaya manusia menjadi manusia dengan
sesamanya.
C. Ulangan 6:4-9
Ulangan 6:4-9 ini menekankan agar semua orang percaya memuliakan Tuhan
dengan segenap realitas hidupnya, sehingga dalam Perjanjian Baru dalam Matius 22:37-
40 dengan judul hokum kasih.
Paulus menjadi seorang hamba Tuhan yang terdorong oleh hasrat yang berapi-api
untuk memasyurkan nama Tuhan Yesus. Kemanapun Paulus pergi, segala kesempatan
digunakannya untuk mengajar orang Yahudi dan kaum kafir tentang kehidupan bahagia
yang terdapat dalam Injil Yesus Kristus. Paulus berkhotbah di hadapan imam-imam dan
rabbi-rabbi Yahudi dan di hadapan rakyat jelata di segala kota dan desa yang
dikunjunginya. Ia mengajar raja-raja dan wali-wali negeri, orang cendikiawan dan kaum
budak, orang laki-laki dan kaum wanita, orang Asia, orang Yunani, orang Romawi,
pendek kata segala golongan manusia yang ditemuinya pada perjalanan-perjalanannya
yang banyak dan panjang itu.
Rasul Paulus dalam Efesus 4:11-16 kita mendapatkan kesaksian yang jelas bahwa
Tuhan telah mempersiapkan para tenaga pembina antara lain: rasul-rasul, nabi-nabi,
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 10
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
3. Tujuan PWG
Tujuan kegiatan PWG adalah untuk mempersiapkan semua anggota jemaat agar
memiliki:
• Pemahaman dan kedewasaan penuh dalam iman kepada Yesus Kristus.
• Kehidupan yang penuh tanggung jawab utuh baik kepada Tuhan Yesus Kristus,
kepada sesamanya dan juga kepada dirinya.
• Kesungguhan untuk menggali dan mengembangkan seluruh potensi dirinya untuk
diabdikan bagi kepentingan Kerajaan Allah sesuai dengan kesaksian Alkitab.
• Keterampilan yang dapat memampukannya menjalankan tugas, kewajiban dan
tanggung jawabnya sebagai saksi Kristus di tengah-tengah dunia ini yang meliputi
seluruh wilayah tugasnya. Sehingga melalui tanggung jawab kesaksiannya
semakin banyak orang lain dibimbing datang dan hidup di dalam Kristus dengan
sungguh-sungguh.
• Pengucapan syukur serta senantiasa memuliakan Tuhan dalam seluruh
penampilan hidupnya.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 11
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
BAB IV
MELURUSKAN PEMAHAMAN TENTANG
PAK DAN PWG
Pemahaman yang benar tentang PAK dan PWG di kalangan warga gereja,
mahasiswa teologi dan para pendeta jemaat masih simpang siur, artinya belum terbangun
persepsi yang jelas, karena itu diperlukan pelurusan pemahaman, walaupun tidak
dimaksudkan adanya pemaksaan penyeragaman persepsi dan memang hal itu tidak
pernah dikehendaki oleh tulisan ini. Tetapi kejelasan persepsi atau asumsi dari dua istilah
ini sangat perlu, sebab apabila tidak, maka akan terjadi duplikasi persepsi bukan hanya
pada segi content maupun praxis, tetapi juga dalam implementasinya pada konteks
pelayanan. Dan kalau itu yang terjadi, maka akibatnya yang terjadi adalah bahwa PAK
dan PWG tidak pernah akan mencapai hasilnya sebagaimana yang diharapan.
Sebenarnya istilah PAK dan PWG sudah dikenal oleh gereja-gereja di Indonesia
sejak tahun 50-an. Tetapi asumsi kebanyakan orang Kristen terhadap kedua istilah ini
masih sangat sempit, misalnya PAK cenderung diasosiasikan dengan Sekolah Minggu
atau pelajaran agama di sekolah. Demikian juga dengan PWG cenderung diasosiasikan
sebagai sebuah kursus untuk menjadi tenaga pendeta, penginjil (guru injil), dll.
Menyadari persoalannya, maka pemahaman terhadap kedua istilah ini perlu diluruskan.
Salah satu sumber (bukan satu-satunya) yang paling memadai untuk menjawab persoalan
ini adalah naskah Pidato Dies Natalis ke-55 STT oleh Dr. Andar Ismail (pakar PAK di
STT Jakarta). Alasan adalah bahwa beliau pakar PAK yang cukup dikenal di Indonesia
melalui pengalaman studinya, pengalamannya mengajar ilmu teologi praktika telah teruji
baik pada tingkat akademik maupun pada tingkat jemaat (khususnya beliau melayani di
GKI) dan bahkan melalui tulisannya dengan seri “Selamat” yang sarat dengan nuansa
didaktik metodik. Adapun naskah pidatonya, saya tulis ulang (dengan beberapa
penambahan kecil) sebagai berikut:
Apabila kita hendak menelusuri akar dan sejarah PAK, maka sumber yang sangat
memadai adalah tulisan Prof. Dr. Robert R. Boelkhe tentang Sejarah Perkembangan
Pemikiran PAK yang diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia dalam dua volume. Tetapi
pada tulisan ini dibatasi hanya pada catatan singkat perkembangan PAK pada abad
ke-20. Menurut catatan Dr. Andar Ismail, PAK sudah mendapat bentuk
sistimatikanya pada konvensi tahun 1903 di Chicago yang melahirkan Religious
Education Association. Setelah itu, maka dalam pergumulannya dua puluh tahun
kemudian dibentuklah apa yang disebut dengan International Council of Religious
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 12
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
Education.3 Dengan terbentuknya badan ini, maka hendak menunjukkan bahwa gereja
sudah menaruh perhatian yang serius terhadap pentingnya kehadiran PAK dalam
pelayanan gereja. Bahkan beberapa puluh tahun sebelumnya oleh Horace Bushnell
(1802-1876), telah merintis dan meletakkan prinsip-prinsip teori PAK. Pemikiran
Bushnell merupakan reaksi terhadap theologia yang sedang dominan di gereja-gereja
Puritan di Negara-negara bagian New England pada zaman itu, yakni teologia yang
sangat menekankan transendensi Allah di satu pihak dan antropologi teologis yang
pesimis di lain pihak. Dalam pemaparan teologinya, mereka pada satu sisi membesar-
besarkan kekuasaan Allah, tetapi pada saat yang bersamaan pula mereka juga
mengecil-negcilkan potensi manusia. Manusia digambarkan hanya sebagai makluk
yang betul-betul celaka dan tidak mempunyai daya apa-apa kecuali menjadi penerima
anugerah Allah yang pasif. Theologia seperti ini sejalan dengan metode tranmissive
khususnya dalam dunia penyiaran rohani seperti kebangunan rohani. Akibatnya pada
zaman itu kebangunan rohani menjadi mode di New England. Dalam penyiaran
ajarannya sangat ditekankan di mana anak kecil maupun orang dewasa ditakut-tekuti
dengan hukuman Tuhan lalu didesak untuk lahir kembali dan bertobat. 4 Kebangunan
rohani telah dipersepsi sebagai jawaban terminal bagi kehidupan lahir baru, artinya
bahwa dengan mengikuti KKR telah dijamin bahwa seseorang sudah lahir baru.
Dalam hal ini, Bushnell sangat menentang pemahaman Injil yang sempit seperti itu,
lalu ia mengemukakan sejumlah tesis dalam bukunya yang berjudul Christian
Nurture. Ia berkata :
“What is the true idea of Christian Education ? That the Child is to grow
up a Christian, never know himself as being otherwise. In other words, the
aim, effort, and expectation should be, not as is commonly assumed, that
the child is to grow up in sin to be converted after he comes to a mature
age; but that he is to open on the world as one that is spiritually renewed,
not remembering the time when he went through a technical experience
but seeming rather to have loved what is good from his earliest years. 5
Tesis lainnya berbunyi: This is the very idea of Christian Education, that is
begins with nurture or cultivation.”6
Untuk zaman sekarang tesis seperti itu tidak mempunyai keistimewaan. Namun
untuk akhir abad yang lalu di mana belum dikenal Psikologi Perkembangan, Didaktik
serta Metodik yang modern, maka tesis seperti ini adalah sesuatu terobosan baru
dalam dunia didik mendidik.
3
William Dean Kennedy, Christian Education Through History, An Introduction to Christian
Education, ed. Marvin J. Taylor (Nashville: Abingdon, 1980), 28.
4
Elmer L. Towns “Horace Bushnell” in A History of Religious Educations, ed. Elmer L. Towns
(Grand Rapids : Baker, 1975), 278-287
5
Horace Bushnell, Christian Nurture (New Haven: Yale University Press, 1967), 4.
6
Ibid., 20
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 13
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
7
George Albert Coe, Education in Religious and Morals (New York : Revel, 1904), 33-64.
8
Thomas H. Groome, Christian Relegious Education (San Fransisco, 1980), 116
9
George Albert Coe, A Social Theory of Religious Education (New York : Arno, 1969), 181.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 14
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
beberapa pendapat tokoh di atas dapat disimpulkan adanya penekanan pada aspek
proses di mana di dalamnya terjadi suatu pertumbuhan. Di sinilah proses
pendidikan yang dikembangkan di gereja atau di luar gereja sangat menentukan.
c. PAK berasumsi bahwa iman bisa mengalami stagnasi atau berputar-putar di situ
juga, atau sebaliknya dapat berkembang ke tahap-tahap yang lebih matang dan
lebih luas wawasannya. Asumsi ini digarap oleh William Clayton Bower yang
meneliti hubungan antara perkembangan kepribadian dengan perkembangan
kepercayaan.10 Rintisan Bower pada awal abad ini di bidang PAK ternyata
sekarang ini dikristalisasi oleh dunia psikologi dengan munculnya teori
perkembangan kognitif oleh Jean Piaget, teori perkembangan moral oleh
Lawrence Kolhberg, teori perkembangan kepribadian oleh Erik Erikson dan teori
perkembangan percaya oleh James W. Fowler. Keempat teori ini langsung
digunakan oleh didaktik dan metodik PAK. Dengan demikian konsep kurikulum
dan strategi pendidikan yang dirancang atau yang dikembangkan di dalam gereja
harus memperhatikan dan mempertimbangkan keempat teori di atas.
d. PAK berasumsi bahwa tujuan iman bukanlah hanya untuk keselamatan pribadi
peserta didik, melainkan supaya peserta didik dalam persekutuan umat percaya
berupaya menciptakan tatanan masayarakat yang ciri-cirinya sudah diperlihatkan
oleh Yesus Kristus. Hal itu beararti bahwa seseorang dibimbing untuk tidak
hanya memiliki pengalaman hubungan secara vertical yaitu dengan Allah tetapi
juga menyangkut soal-soal kemasyarakatan. Karena itu di dalam tujuan PAK
harus terkandung pula suatu idealisme social. Coe menyebut idealisme itu
“democracy of God”. Ia berkata :
“Granted this social idealism as the interpretation of the life that now is,
the aim of Christian Education becomes this : Growth of the young toward
and into mature and efficient devotion to the democracy of God, and
happy self-realization therein”.11
e. Pada konvensi 1903 hadir juga John Dewey, filsuf dan teoris pendidikan sekuler
aliran progresif, sebagai narasumber yang memberi masukan. Ia menunjukkan
dengan jelas bahwa sejak awal PAK terjalin secara erat dengan ilmu pendidikan
sekuler. Coe berkata, “.. both the processes and the aims of religious education
intertwine with those of so-called secular education. The relation is more than
intertwining; they are brances of same tree, they partake of the same sap.” 12
Sebab itu hasil-hasil baru yang ditemukan oleh riset Ilmu Pendidikan dan
Keguruan abad ini dimanfaatkan oleh PAK, misalnya cara membuat tujuan
instruksional berdasarkan taxonomi kognitif, afektif dan psiko motor penemuan
Benjamin Bloom dan kawan-kawan pada tahun 60-an.13 Memahami hal itu, maka
bagi pelaksana PAK di tingkat gereja lokal maupun sinodal agar menyusun
10
William Clayton Bower, Moral and Spiritual Values (Lexington: University of Kentucky Press,
1952).
11
Coe, A Social of Religious Education, 55
12
As quoted in Harold William Bugess, An Invitation to Religious Education (Birmingham,
AL. : Religious Education Press, 1975), 60.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 15
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
3. Pengertian PAK
PAK adalah suatu usaha sengaja dari gereja untuk membimbing setiap pribadi dari
semua golongan umur agar mereka mengenal, memahami, menyadari dan menghayati
iman Kristen dan oleh pertolongan Roh Kudus peserta didik memasuki persekutuan
iman yang hidup dengan Tuhannya sehingga pada akhirnya peserta didik menjadi
warga gereja serta warga masyarakat yang baik dan bertanggung jawab sesuai dengan
terang Firman Tuhan.
4. Tujuan PAK
• Thomas H. Groome, mengatakan bahwa tujuan ultim PAK adalah Kerajaan Allah,
karena Kerajaan Allah-lah yang menjadi maksud dan tujuan penciptaan-Nya.
Kerajaan Allah itu pulalah yang menjadi tema pokok dan tujuan sentral
pemberitaan dan kehidupan Tuhan Yesus.
• Judo Poerwowidagdo, mengatakan: “Tujuan PAK adalah menggali dan
mengembangkan seluruh kemampuan peserta didik untuk diabdikan bagi
13
Benjamin Bloom, ed., Taxonomy of Educational Objectives, Handbook I : Cognitive Domain
(New York: David McKay, 1956) and David R. Krathwohl, Benjamin Bloom and Bertram B. Mesia,
Taxonomy of Educational Objectives, Handbook II : Effective Domain (New York: David McKay,
1964).
14
Sophia Lyon Fahs, Today’s Children and Yesterday’s Heritage (Boston: Beacon, 1952), 15-18.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 16
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
dedikasi. Dan juga menjauhi hal-hal yang merugikan orang lain: malas,
korupsi, penyelewengan, ingin menang sendiri, dll.
• Terhubung erat dengan dunia ciptaan Allah di mana ia ditempatkan.
Manusia diberi mandate sekaligus tanggung jawab untuk mengolah ala mini,
tempat kediamannya. Di situ manusia yang selamat berusaha tidak akan
mengalami kelaparan, sakit penyakit, kekurangan, ketiadaan tempat berteduh,
dst. Ini juga sehubungan dengan mengatur sebaik-baiknya pekerjaan-
pekerjaan di atas muka bumi ini: di kantor, di sekolah, di gereja, dll. Dalam
rangka pengolahan alam ini tidak dimaksudkan kita menguras habis-habisan
segala sumber daya alam. Tidak semua burung di udara, ikan di sungai dan di
laut kita habiskan. Tidak semua pohon di hutan kita harus tebang. Kelestarian
kita perlu pelihara sebaik-baiknya guna kepentingan kita juga. Ingat
keselamatan yang Allah lakukan adalah juga untuk dunia ini.
• Terhubung erat dengan masa depan, bukan saja di dunia ini tetapi juga di
dunia baru yang akan dating. Maksudnya, keselamatan yang kekal. Hidup
dalam Kerajaan Allah yang penuh dan sempurna.
PWG yang kita kenal sekarang ini di Indonesia mulai dikristalisasi pada tahun
1945 di Eropa Barat. Pada Perang Dunia II sejumlah pemikir warga gereja yang
ditahan rezim Nasi merasa prihatin bahwa umat Kristen kurang berhasil menjadikan
diri relevan di tengah penderitaan manusia. Mereka mempelajari Alkitab dan
menyadari bahwa mereka adalah garam dunia, tetapi di manakah garam itu ketika
orang membeo dan membebek pemerintah diktatoral dan ketika satu bangsa
memusnahkan bangsa lain. Seusai perang para warga gereja ini berkumpul dan
memikirkan apa yang mereka harus lakukan. Sebagai hasilnya lahirlah pada tahun
1945 pusat pembinaan warga gereja Institut Kerk en Wereld di Driebergen, Belanda
yang diprakarsai oleh Hendrik Kraemer (1888-1965). Beberapa bulan kemudian
menyusul pembentukan pusat pembinaan warga gereja Evangelische Akademie Bad
Boll di Jerman yang diprakarsai oleh Eberhard Muller. Pusat-pusat pembinaan warga
gereja itu menghimpun untuk mendalami suatu masalah tertentu yang actual dalam
masyarakat, menyorotinya dari terang Firman Tuhan dan mempelajari langkah jalan
keluar yang dapat ditempuh oleh warga gereja di jalan hidupnya masing-masing.15
Sebenarnya kelahiran pusat-pusat pembinaan warga gereja pada tahun 1945
adalah ibarat telur yang menetas setelah dierami. Telurnya sendiri sudah keluar dua
dasawarsa sebelumnya. Tepatnya telur itu keluar dari benak Joseph Oldham (1874-
1969), warga gereja bukan pendeta di gereja Anglikan Skotlandia. Bersama dengan
Visser ‘t Hooft ia mempersiapkan konprensi sedunia tentang church, community and
State di Oxford, Inggris, tahun 1937. Dalam rangka persiapan konprensi itu, yang
sebenarnya merupakan reaksi menentang munculnya pemerintah-pemerintah totaliter
15
Hans-Ruedi Weber, “A New Movement Begins” in Centres of Renewal for study and Lay
Training (Geneve : WCC, n.d.), 5-7.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 18
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
di Eropa, Oldham menulis beberapa tesis tentang warga gereja. Salah satu tesisnya
berbunyi :
It is the members of the church, who discharge the responsibilities of the
commons life in a countless variety of occupations and in an infinite
multiplicity of daily acts and decicions, that are the leaven which leaven
the lump. In this faithful silent witness, they are fulfilling the priestly
function of the church.16
Kemudian tesis Oldham lebih lanjut adalah bahwa ia memandang peranan warga
gereja bukan untuk pekerjaan di dalam gereja melainkan untuk pekerjaan di luar
gereja. Tesis beliau sangat cemerlang dan komprhensif walaupun tidak semua
pemikir (teolog) spendapat dengannya. Pada waktu itu para pemikir tentang peranan
warga gereja, misalnya John Mott, melihat peranan warga gereja hanya sebagai alat
untuk kepentingan gereja. Tetapi menurut Oldham pentingnya warga gereja adalah
justru untuk kehidupan dan pekerjaannya di tengah masyarakat. Mengenai uniknya
tesis Oldham, berkatalah Kraemer :
This approach of Dr. Oldham was quite new, because for the first time it
was not the mobilization of active laymen for various purposes considered
quite apart from the church, simply for its effectiveness, as Dr. John R.
Mott had done in his organizing of the Laymen’s Missionary Movements,
but a viewing of the laity as an expression of the church and its calling and
function in the world.17
b. PWG berasumsi bahwa ciri-ciri gereja yang sejati sebagaimana dirumuskan oleh
Calvin adalah kurang lengkap. Calvin mengatakan bahwa ciri gereja adalah
pelayanan Firman secara benar dan pelayanan sakramen secara benar. 20 Kalau
hanya itu ciri gereja, maka warga gereja adalah obyek belaka. Warga gereja
menjadi subyek kalau “notae ecclesiae” Calvin itu dilengkapi dengan ciri yang
lain, yakni kesaksian melalui perbuatan oleh warga gereja dalam hidup
sekulernya. Hal itu diperlukan supaya pemahaman ekklesiologi kita, kata Oldham,
jangan mengarah kepada suatu “disastrous ecclesiasticizing of the church, so that
it becomes primarly an affair and interest of the clergy…rather than a community
of redeemed men and women joyfully serving God in the ordinary concern of the
common life.21
c. PWG berasumsi bahwa konsepsi yang tinggi tentang warga gereja bukan berarti
konsepsi yang rendah tentang jabatan pendeta. Kelahiran PWG bukanlah untuk
memperjuangkan status yang lebih tinggi bagi warga gereja lalu mengurangi arti
jabatan pendeta. Peranan warga gereja adalah di garis depan, dan untuk itu
dibutuhkan pembekalan oleh pendeta dari garis belakang. Keduanya saling
menopang. Oldham membayangkan wadah PWG di mana pendeta dan warga
gereja saling belajar, bukan di mana pendeta mentransmisikan suatu kebenaran
yang otoritatif. Berkatalah Oldham, “It is necessary that Christian ministers
should set themselves deliberately to learn as well as to teach. From the laity may
be learned lessons of life that find no place in the curriculum of theological
college”.22 Berbicara tentang konsepsi pendeta dan konsepsi warga gereja, Hans-
Ruedi Weber menegaskan, “A high doctrine of the laity does not exclude, but
rather demands, a new high doctrine of the clergy”.23
d. Adanya PWG bukanlah untuk menghasilkan warga gereja yang banci, yaitu ½
warga gereja biasa dan ½ pendeta. Orang sering mengira bahwa warga gereja
yang baik adalah mereka yang banyak meninggalkan pekerjaan duniawainya lalu
aktif dalam pekerjaan rohani. Padahal yang dibutuhkan adalah warga gereja yang
justru di dalam dan melalui pekerjaan duniawinya bersaksi tentang Tuhan Yesus.
Di sini ada lagi salah paham di mana orang mengira bahwa bersaksi adalah
memberi renungan di kantor tempat bekerjanya atau sering-sering menyebut “puji
Tuhan”. Padahal yang diperlukan adalah kesaksian tanpa kata namun penetratif,
yaitu bersaksi melalui sikap dan perbuatan misalnya menunjukkan kerja yang
bermutu dan jujur, tidak minta disuap dan tidak menerima hadiah yang bersifat
menyuap. Warga gereja yang rajin dalam soal rohani tetapi berperilaku tidak
Kristiani dalam dunia, pekerjaannya termasuk apa yang disebut Hoekendijk
sebagai warga gereja yang schizofren. Berkatalah Hoekendijk :
20
John Calvin, Institutio, 4.1.9
21
Oldham, “Functions”, 156
22
Ibid., 199
23
Hans-Ruedi Weber, Salty Christians (New York: Seabury, 1969), 17.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 20
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
7. Pengertian PWG
PWG adalah “usaha gereja secara sengaja untuk memampukan warga gereja
khususnya yang sudah dewasa menjadi alat kesaksian Tuhan Yesus Kristus kepada
lingkungan hidupnya serta dunia dimana ia dihadirkan melalui karya-karya dan
bahkan keseluruhan penampilan kehidupannya”.
24
J.C. Hoekendijk, The Church Inside Out, trans. Isaac Rottenberg (Philadelphia: Westminster,
1966), 89.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 21
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
resmi dianggap sebagai anggota gereja yang sah setelah menjalani upacara “sidi”
ketika seseorang sudah mencapai usia pemuda.
• Tugas PWG lebih banyak ke arah melayani orang supaya meningkatkan
kemampuan penghayatan imannya, tetapi juga agar ia dimungkinkan mewujudkan
tugas dan panggilannya di tengah-tengah dunia dan masyarakat di mana ia berada
dengan segala apa yang ada padanya.
• PWG lebih bersifat non-formal pada warga gereja yang diselenggarakan
sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan khusus dan berlangsung dalam waktu yang
singkat.
• Pelaksanaan PWG lebih bersifat fleksible, karena disiapkan dan disusun
sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan actual.
lebih berorientasi vertical dari pada horizontal. Kepekaan spiritual ternyata tidak
atau belum disertai dengan kepekaan social. Kalau pendidikan agama berjalan ke
arah ini, maka pendidikan agama merosot menjadi indoktrinasi belaka dan umat
akan menjadi munafik dan bahkan fanatisme agama yang sempit.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 23
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
BAB V
KARAKTERISTIK
PEMBINAAN WARGA GEREJA
Di atas telah dipaparkan secara singkat beberapa perbedaan dan juga persamaan
PAK dengan PWG. Pada paparan kita berikutnya, sangat perlu pula dikedepankan
tentang ciri-ciri khas atau karakteristik dari PWG. Hal itu dilakukan agar PWG
semakin jelas posisinya dalam rumpun teologia praktika. Untuk memperoleh
gembaran jelas tentang karakteristik atau ciri-ciri khas PWG, saya mengajak kita
memperhatikan apa yang dikemukakan oleh Alfred Schmidt. Ia mengemukakan ada
tujuh ciri PWG sebagai berikut :
1. Sikap tindakan yang terbuka terhadap perubahan-perubahan yang luas dan
mendalam di dalam masyarakat, dan menempatkan diri secara bertanggung jawab
dan dewasa, secara kritis dan kreatif, di dalam situasi yang baru. Ini berarti bagi
pelayanan gerejawi: bahwa orang-orang Kristen yang ada di tengah-tengah dan
yang menghadapi tantangan baru di dalam dunia dan masyarakat, menjadi sadar
bahwa mereka membutuhkan sikap dan tindakan yang terbuka. Mereka ditolong
untuk memiliki kelengkapan untuk memenuhi panggilannya selaku orang-orang
yang bertanggung jawab. Kita, orang percaya, terpanggil untuk “menjadi kawan
sekerja Allah di dalam pekerjaan-Nya” (1 Kor. 3:9). Apa yang diminta oleh Rasul
Paulus “untuk mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup”
(Rm. 12:1) tidak mampu diwujudkan sebab warga gereja itu belum pernah
memperoleh kesempatan dilatih untuk itu.
2. Sikap kedewasaan: Dengan kata dewasa dimaksudkan kemampuan seseorang
untuk mengungkapkan dengan perkataan sendiri, pikiran dan pengharapannya
serta memutuskan bagi dirinya sendiri jalan-jalan untuk membentuk masa depan
yang dipilihnya sendiri. Ini berarti bahwa ia tidak tergantung pada apa yang
dikatakan oleh orang lain, pada pikiran atau pimpinan orang lain. Orang yang
dewasa menjadi cukup bebas untuk melihat dan menilai tanda-tanda zaman
sendiri, untuk kemudian bersama dengan rekan-rekannya mampu memberikan
jawabnya yang khas. Cukup jelas bahwa pengertian ini mencakup juga segala
aspek social dan politis.
Kedewasaan manusia juga terdapat dalam hubungan antar manusia di mana
dipahami bahwa tidak seorang pun akan dewasa dalam sesuatu struktur otoriter
masyarakat. Dalam suatu struktur masyarakat feodal, di mana berlangsung
perintah dari atas ke bawah, kedewasaan tidak akan diperoleh melalui suatu
indoktrinasi. Maka tugas tenaga pembinaan ialah sebagai hamba yang
menyediakan diri, yang akan menolong dan menyaksikan kemuliaan Tuhan, tetapi
tidak dapat mewujudkan kedewasaan orang lain. Tugasnya bersifat
menyingkirkan hambatan-hambatan di jalan menuju kedewasaan, dari pada
bersifat membangun orang-orang yang dibina oleh Allah.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 24
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
3. Ciri khas yang ketiga adalah menjadi mampu berpikir secara ekumenis, berpikir
inklusif. Dimensi inklusif tidak boleh dibatasi oleh bentuk-bentuk kepercayaan
Kristen, tetapi juga harus mencakupi bentuk-bentuk berbagai kepercayaan dan
agama lain yang berbeda-beda. Kita dibawa kepada kesadaran bahwa corak
kehidupan dan nasib manusia saling berkaitan satu sama lain. Dan bahwa umat
manusia di dunia ini merupakan suatu himpunan yang berada dalam suatu
pemahaman dan perasaan senasib.
Berpikir ekumenis berarti melihat seluruh anggota umat manusia sebagai sesame.
Kesejahteraan umat manusia di mana-mana harus mendorong untuk mengatasi
sikap mengisolisasi diri atau sikap nasionalisme yang picik. Secara realitis kita
harus memahami bahwa tugas mencapai tujuan agung itu tidak akan terlaksana
dan tujuan itu tidak akan tercapai tanpa kerja sama dari seluruh umat manusia
dengan melibatkan segala kemampuan dan kesediaannya.
4. Ciri khas keempat dari PWG adalah penyadaran dan penghadiran yang diberi
kepada manusia untuk mendorongnya kepada pengalaman kebebasan yang
tersedia itu. Berdasarkan kesaksian Alkitab, kebebasan manusia dapat dilihat dari
tiga aspek :
• Aspek pertama, kebebasan dari: ini berarti menjadi bebas dari keakuan.
Menurut Martin Luther inilah pusat utama dari dosa manusia. Bebas dari
keterbelengguan manusia dalam dosa, bebas dari keterpenjaraan pandangan
hidup yang mengekang orang pada usaha hanya mengurus kepentingan diri
sendiri. “Kebebasan dari” adalah anugerah yang diberikan: tetapi serentak
juga merupakan proses dalam membebaskan diri. Proses ini baru berakhir bila
kita memasuki atau beroleh “kebebasan untuk”.
• Aspek kedua, kebebasan untuk: diperoleh dan dipenuhi dalam pelayanan
kepada sesama manusia. Yaitu tindakan yang memperhatikan dan memandang
sesama manusia lebih mulia daripada kepentingan diri sendiri.
• Aspek ketiga, kebebasan dalam: terdapat pada surat Galatia yang
membicarakan tentang kemerdekaan manusia Kristen (Gal. 5:1-11).
Kemerdekaan Kristen dipenuhi dalam iman dan diwujudkan melalui tindakan-
tindakan berdasarkan kasih. Orang Kristen yang dibebaskan seyogianya
menjadi peka terhadap kebutuhan sesama manusia. Juga peka terhadap sikap
diri sendiri. Kebebasan yang sebenarnya adalah pertobatan manusia dalam
akar dan dasar kehidupannya sendiri.
5. Ciri khas kelima adalah mampu bekerja sama. Dalam pengalaman sehari-hari kita
menyadari betapa pentingnya bahwa kerja sama dipupuk dalam masyarakat, dan
bahwa sikap kerja sama harus dilatih sejak usia muda. Kerja sama dalam
perjalanan bersama-sama dewasa ini dan di masa depan adalah syarat mutlak
untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi manusia. Kerja sama harus
berdasarkan atas kepercayaan satu kepada yang lain, atas hokum dan keahlian dan
atas kemampuan memegang tanggung jawab. Kerja sama berarti bahwa kita harus
mementingkan diri kita sendiri secara seimbang dengan kepentingan orang lain
secara timbal balik. Saya akan mencapai kepentingan diri saya sendri jika itu juga
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 25
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
menyangkut kepentingan orang lain. Syarat utama dari kerja sama yang hakiki
adalah “Kasihilah sesama manusia seperti dirimu sendiri” (Luk. 1:27).
6. Ciri khas yang keenam adalah bersedia dan mampu berpikir secara lugas
(zakelijk) atau perkara yang bersifat langsung pada pokok. Dengan berpikir lugas
dimaksudkan bahwa orang belajar dan menetrapkan sesuatu pelajaran (atau
sesuatu pemahaman) dengan memisahkan persoalan pokok dari persoalan pribadi.
Pendeta pada umumnya belum bersedia menerima kritik dari jemaat terhadap
khotbah-khotbahnya. Pendeta biasa menilai khotbahnya itu sama dengan Firman
Allah, identik dengan Firman. Padahal masalahnya bukanlah terletak pada taat
tidaknya Pendeta terhadap Firman Allah. Yang menjadi masalah adalah
kemampuan mengajar dan belajar untuk berpikir secara metodis, agar
mengungkapkan ketaatan kepada Firman Allah secara jelas, dan menterjemahkan
pengertian-pengertian agung dari Firman Allah ke dalam istilah-istilah sehari-
hari. Kemampuan berpikir secara lugas mengenai pokok persoalan adalah
termasuk juga kemampuan dan kesediaan untuk menerima dan menilai kritik,
serta mengakui kekurangan dan kemampuan sendiri.
7. Ciri ketujuh adalah sikap dan semangat dialogis. Dialog dimulai dengan dialog
antara Allah dan manusia. Dialog selalu berarti melibatkan Allah dan sesama
manusia ke dalam diri sendiri. Sikap dialogis pertama-tama berarti bahwa orang-
orang tidak hanya didengar, tetapi ada juga kesediaan mendengar dan bertukar
pikiran dengan sesame. Apa yang diperlukan sebetulnya adalah pelayanan
mendengar. Ini berarti menjadi peka terhadap pertanyaan orang lain, terhadap
pengharapan dan kekuatiran orang lain. Menjadi peka terhadap “suara dan jeritan
orang sengsara” (Ayub 34:28).
Orang yang bersikap dialogis akan menjadi kawan sekerja Allah dengan cara
yang istimewa. Dalam dialog kita memberi kesempatan kepada sesama kita untuk
melepaskan diri dari penjara monolog dan keakuan. Keakuan adalah sikap dan
mental yang hanya memikirkan diri sendiri semata-mata, malah mempergunakan
orang lain untuk kepentingan diri sendiri, dan hanya berputar-putar di sekitar
dirinya sendiri. Sikap dialogis akan menolong untuk melihat ketergantungan diri
sendiri dengan sesama di hadapan Allah.25
Kalau kita memperhatikan ketujuh karakteristik PWG yang dikemukakan oleh
Schmidt di atas, maka dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa PWG lebih tetap
diberikan kepada orang-orang dewasa. Materinya disusun secara fleksible dan
disesuaikan dengan kbutuhan actual dalam suatu konteks kehidupan.
25
Alfred Schmidt, Kawan Sekerja Allah (Jakarta: BPK Gunung Mulia untuk IOI-DGI), 12-27.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 26
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
BAB VI
SENTRALITAS GEREJA DALAM PWG
Ketika kita mulai berbicara tentang pendidikan, dan atau pembinaan, biasanya
asosiasi berpikirnya langsung terarah pada lembaga-lembaga “sekolah”, lembaga-
lembaga kursus yang formal maupun non-formal. Padahal media atau konteks pendidikan
bisa dilakukan oleh keluarga (di rumah), gereja, sekolah, kursus-kursus, bahkan
lingkungan masyarakat di mana saja seseorang itu hadir. Masing-masing konteks
pendidikan mempunyai “core” tugasnya. Dalam kaitannya dengan pendidikan iman
Kristiani, di samping menjadi tugas utama dari pendidikan dalam keluarga, tetapi juga
menjadi tugas penting dari gereja. Karena itu pembinaan warga gereja adalah merupakan
wilayah tanggung jawab utama dari gereja, bukan keluarga, sekolah atau kursus, dll.
Karena itu, gereja tidak dibenarkan apabila melemparkan tanggung jawab itu kepada
institusi-institusi lain, seperti sekolah, dll.
Dalam realitas pelaksanaan tugas pelayanan gereja, khususnya di bidang PWG, belum
terlaksana secara komprehensif. Artinya bahwa bisa saja sebagian sudah terlaksana,
misalnya telah melakukan ibadah di gedung gereja yang diisi dengan pujian, kesaksian
umat dan kemudian mendengarkan khotbah pendeta. Tetapi sebenarnya itu barulah
merupakan sebagian kecil dari sekian banyak tugas pembinaan gereja terhadap umat yang
dipercayakan dan diperhadapkan Tuhan kepadanya. Pembinaan warga gereja seharusnya
bersifat komprehensif, yaitu menyentuh dan atau menjawab seluruh konteks kebutuhan
umat.
Dilandasi dengan pokok pikiran di atas, maka pada bagian ini, pertama-tama secara
khusus akan dibahas tentang pengertian gereja dan posisi sentralitasnya dalam
pelaksanaan tugas PWG. Asumsi dasarnya adalah jika pemahaman kita terhadap hakikat
gereja jelas dan tepat, maka itu akan menjadi modal serta sekaligus sebagai pemberi arah
yang akurat bagi pelaksanaan dan pencapaian sasaran (goal) PWG, baik dalam konteks
gereja lokal, sinodal maupun gereja dalam arti universal. Dilandasi dengan asumsi
tersebut, maka perlu dipaparkan beberapa point penting berikut ini :
26
French L. Arrington, Christian Doctrine; A Pentacostal Perspective, Volume three,
(Tennessee: Pathway Press), 165
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 27
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
dipanggil, dipilih dan dikuduskan untuk menjadi berkat bagi semua orang atau
sesama manusia (bnd. Kej. 12:2-3; Kel. 19:5-6; Ul. 4: 20; 7:26; 14:2; 26:18; Tit. 214;
1Petr. 2:9). Dalam rangka panggilan, pilihan dan pengudusan (pengkhususan) inilah
PL berbicara tentang umat Allah (am Yahwe) yang di dalam PB diterjemahkan ek-
klesia, yaitu persekutuan orang-orang yang dipanggil keluar dari ikatan-ikatan lama
kemudian dikhususkan untuk menjadi berkat bagi semua orang. Di sini tampak
dengan jelas bahwa gereja merupakan persekutuan atau perkumpulan masyarakat
iman yang menurut iman Kristiani adalah masyarakat (siapa saja yang terdiri dari
orang-orang) yang telah menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan juruselamatnya.
Secara teologis gereja dapat diartikan sebagai persekutuan yang lahir dari Allah,
karena ia merupakan buah tangan pekerjaan Roh Kudus. Itulah sebabnya,
kehadirannya di dunia ini mempunyai pengertian yang special, yaitu: sebagai “agen”
atau “mediator” berkat Allah bagi dunia ini.
Di tempat lain Paulus berkata bahwa kita adalah satu tubuh di dalam Kristus.
Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lain menurut kasih karunia yang
dianugerahkan kepada kita: jika karunia itu adalah untuk bernubuat, baiklah kita
melakukannya sesuai dengan iman kita. Jika karunia untuk melayani, baiklah kita
melayani, jika karunia untuk mengajar, baiklah kita mengajar, jika karunia untuk
menasehati, baiklah kita menasehati. Karunia intelektual itu bermacam-macam,
karunia seni mungkin lebih bervariasi lagi, demikian juga karunia keterampilan tidak
kurang banyaknya. Singkatnya kehidupan ini mempunyai banyak segi yang sering
kita tidak sadari, namun apabila kita yakin bahwa kehidupan ini adalah ciptaan
pemberian Tuhan, maka kita harus pula sadari bahwa kehidupan ini adalah ciptaan
dan pemberian Tuhan, maka sebaiknya kita sadar bahwa kehidupan seperti itulah
yang harus kita pelihara dan kembangkan, masing-masing menurut talenta yang
dipercayakan kepadanya.
Dengan pemahaman di atas bahwa gereja/umat Allah dipanggil dan diberikan tugas
memelihara kehidupan, maka jelas bahwa gereja hanya bisa memelihara kehidupan
melalui anggota-anggotanya di setiap bidang kehidupan (artinya dalam multi
kompetensi) sesuai dengan kehendak Allah. Dengan kesadaran demikian, maka
gereja mau tidak mau mempunyai kewajiban untuk memperlengkapi anggota-
anggotanya untuk memelihara kehidupan itu. Untuk itulah Yesus Kristus sendiri
memberikan kepada gereja-Nya pejabat-pejabat/pelayan-pelayan khusus. Para pejabat
dan pelayan tersebut adalah primer dan terutama untuk memperlengkapi warga gereja
bagi suatu pekerjaan memelihara kehidupan yang mengacu kepada kerajaan Allah.
Jadi yang diperlengkapi adalah orangnya dan bukan gedungnya atau organisasinya,
atau kalau organisasinya dan gedungnya dibenahi, maka itu hanya untuk menunjang
usaha mengfungsikan anggota-anggotanya secara efektif. Jadi sekali lagi, starting
point, focusing point and finishing point adalah orangnya, bukan gedungnya. Di
sinilah tampak secara jelas pentingnya PWG.
28
Lawrence O. Richards, A Theology of Christian Education (Grands Rapid: Zondervan
Publishing House, 1975), 120.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 29
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
pemahaman praktis yang dapat dilekatkan pada gereja, seperti yang diuraikan berikut
ini:
• Gereja sebagai suatu organisasi
Organisasi gereja tidak diuraikan secara tegas di dalam Perjanjian Baru.
Organisasi gereja disinggung hanya sedikit saja oleh Kristus dalam Matius 18,
ketika Ia berbicara tentang pembuktian fakta mengenai suatu perselisihan melalui
pemeriksaan bersama oleh jemaat. Ketika kekuasaan para rasul berlalu,
tampaknya organisasi kolektif yang menggantikannya. Sebagai contoh, dalam
Kisah Para Rasul 8 Petrus menentang Simon si tukang sihir berdasarkan
kekuasaan sepihak. Beberapa tahun kemudian, Rasul Paulus menulis kepada
jemaat di Korintus bahwa mereka mempunyai tanggung jawab bersama untuk
menghakimi orang-orang jahat yang ada di tengah-tengah mereka (1 Kor. 5:13).
Di dalam gereja mula-mula organisasi merupakan upaya menanggapi kebutuhan-
kebutuhan dan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh gereja. Sebagai contoh
yang paling jelas tentang pemilihan diaken dalam Kisah Para Rasul 6. Tetapi
dalam perkembangannya lebih lanjut, tidak bisa dihindari bahwa gereja dalam
perjalanan tugas dan tanggung jawab kesaksiannya menghadapi multi tugas
harus dikerjakannya, termasuk di dalamnya PWG. Hal inilah yang mendorong
gereja untuk harus menjadi suatu organisasi yang mampu menerapkan elemen-
elemen organisasi dan kepemimpinan secara benar dan relevan.
• Gereja sebagai suatu organisme
Untuk memahami gereja sebagai suatu organisme, ada baiknya kita mengutip apa
yang dikemukakan oleh William W. Menzies dalam bukunya “Doktrin Alkitab”.
Ia berkata bahwa “gereja lebih dari sekedar organisasi; gereja adalah organisme
yang hidup. Kepala Gereja adalah Yesus Kristus (Ef.1:22,23), yang memelihara
gereja, serta memberikan nhidup rohani kepadanya. Akan tetapi, organisme yang
hidup harus mempunyai struktur. Dalam dunia ini tidak ada yang lebih hebat
organisasinya daripada sel hidup yang paling sederhana. Demikian pula, gereja
adalah susunan bagian-bagian yang rapih dan tersusun, susunan yang ditemukan
bila menyelidiki pola gereja Rasuli. Struktur yang dinyatakan dalam Perjanjian
Baru sangat sederhana, namun prinsipnya ialah bahwa hanya organisasi yang
penting bagi kelangsungan kehidupan gereja harus dipakai. 29 Apa yang
dikemukakan oleh Menzies di atas dapat kita mengambil suatu kesimpulan bahwa
gereja memiliki dimensi illahi dan insani. Illahi karena lahir dari karya Roh
Kudus dan insani karena membutuhkan penataan dari manusia dalam suatu
realitasnya sebagai organisasi.
29
William W. Menzies dan Stanley M. Horton, Doktrin Alkitab (Malang: Gandum Mas, 1998),
177.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 30
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
harus dilihat dari tiga aspek, yaitu: gereja adalah pemberian Allah, gereja adalah
suatu organisasi di tengah-tengah masyarakat dan gereja merupakan suatu badan
yang melakukan fungsinya yang istimewa di antara umat manusia. 30 Dari tiga
aspek ini, khususnya aspek yang ketiga sangat terkait erat dengan tugas PWG.
Disebutkan sebagai tugas istimewa oleh karena tugas PWG dimandatkan Allah
bukan kepada lembaga-lembaga non-gereja, melainkan memang telah menjadi
salah satu tugas khusus gereja. Gerejalah yang harus bertanggung jawab terhadap
segala jenis pendidikan/pembinaan iman warga gereja. Apabila gereja melalaikan
tugas tersebut, maka ia telah melalaikan salah satu hakikat dirinya.
maupun terhadap sesama. Karena itu, hendak diberi penekanan sekali lagi bahwa
yang jauh lebih terpenting adalah ketika hidup ini bisa menjadi sesuatu artinya
bahwa melalui kehidupan kita ada suatu manfaat yang dirasakan, baik oleh diri
kita maupun oleh sesama yang ada di sekitar kita.
• Analisis Kebutuhan
Dari sekian banyak kebutuhan yang mungkin dirasakan oleh seseorang, maka
tidak semuanya kebutuhan itu dapat dipenuhi pada suatu saat. Oleh karena itu
diperlukan adanya usaha untuk mengidentifikasi serta menentukan skala
prioritas mana yang lebih dahulu dari kebutuhan-kebutuhan tersebut yang
didahulukan. Kesenjangan yang dibutuhkan pemecahannya itulah yang
disebut masalah atau kekurangan dari yang seharusnya ada dengan yang ada
pada saat tertentu. Dengan demikian, maka kesenjangan yang dibutuhkan
pemecahannya disebut masalah. Salah satu contoh masalah, kalau kita
mengacu pada para profil warga jemaat yang diharapkan dari GBI, yaitu
“mempersiapkan warga jemaat yang seperti Kristus”, maka masalahnya
adalah seperti apa performance warga jemaat yang seperti Kristus ? Apa
indikasinya ?.
Menurut Kaufman, masalah adalah tidak lain dari “selected gap” atau
kesenjangan yang diprioritaskan pemecahannya berdasarkan kepentingannya.
Usaha untuk mengidetifikasi, mengukur kebutuhan dan menentukan prioritas
pemecahannya dikenal dengan istilah “need assessment” atau “discrepancy
analysis” atau analisis kebutuhan. Menurut Knirk & Pinola, analisis
kebutuhan adalah proses yang sistematis untuk membandingkan apa yang
telah ada dengan apa yang seharusnya. Sementara Alisson Rosset,
menjelaskan bahwa analisis kebutuhan adalah suatu kegiatan atau proses di
mana seseorang melakukan identifikasi atau mencari informasi tentang
kebutuhan-kebutuhan dan menentukan cara yang paling tepat untuk
menyelesaikannya. Dari beberapa pendapat di atas jelaslah bahwa: analisis
kebutuhan adalah proses menentukan jarak atau kesenjangan antara hasil yang
dicapai sekarang dengan hasil yang sesungguhnya diinginkan/dikehendaki
serta menetapkan kesenjangan tersebut dalam urutan skala prioritas. Jadi hasil
akhir dari analisis kebutuhan adalah ditemukannya sejumlah kesenjangan
antara kondisi yang ada dengan kondisi yang seharusnya ada serta skala
prioritas pemecahan berdasarkan tingkat urgensinya.
seperti pada masa kini yang kita kenal sebagai abad kejayaan teknologi, yang
sarat dengan berbagai tantangannya.
Dilandasi dengan pemahaman di atas dan untuk mewujudkan kerinduan
kita terhadap pentingnya dilaksanakan “training for the trainers”, maka ada
baiknya kita munculkan tiga pertanyaan seperti : mengapa harus memilih dan
melatih orang-orang, bagaimana memilih dan melatih orang-orang, siapa yang
harus dipilih dan dilatih ?
• Mengapa harus memilih dan melatih orang ?
Pertanyaan ini dapat saja dijawab dengan sebanyak mungkin jawaban, akan
tetapi saya hanya memberikan dua alasan sebagai jawaban terhadap
pertanyaan di atas, yakni: Pertama, kita memerlukan orang-orang yang
mampu. Seringkali di dalam suatu gereja, ketika menyusun dan menetapkan
para tenaga pelayan yang nantinya ditugasi untuk melakukan serangkaian
tugas pelayanan seperti penjangkauan jiwa-jiwa yang belum terselamatkan
untuk dibawa kepada Kristus; tampaknya belum melalui suatu mekanisme
yang normal, artinya masih terkesan “asal pilih”, “asal ada”, dsb. Akibatnya,
hasil pelayanannya sangat buruk bahkan menimbulkan frustrasi baru, baik
bagi gereja (tenaga penjangkau) maupun juga bagi orang-orang yang mau
dijangkau tersebut. Bila itu memang kenyataannya, maka tampaklah di sini
pentingnya suatu proses memilih seseorang dan menetapkannya untuk suatu
tugas pelayanan di dalam suatu gereja berdasarkan prinsip “orang yang tepat
untuk suatu pekerjaan yang tepat”. Artinya bahwa diperlukan suatu kejelihan
memilih orang, di samping berdasarkan kemampuannya tetapi juga perlu
diikuti dengan pelatihan-pelatihan terstruktur (sesuai dengan jenis kebutuhan
dan tugas yang akan dimandatkan oleh gereja kepadanya) dalam rangka
mempertajam ketrampilannya guna melaksanakan tugas pelayanan yang
dipercayakan kepadanya. Kedua, tuntutan beban tugas pelayanan dan
kesinambungannya. Tanpa suatu proses pemilihan dan pelatihan yang
berkesinambungan di dalam Tubuh Kristus, maka saya memprediksi bahwa
para pemimpin Kristen yang jumlahnya sangat sedikit akan kelebihan beban
pekerjaan, sehingga pada akhirnya mereka akan kehabisan tenaga. Salah satu
contoh yang menarik dalam Alkitab, untuk contoh kasus adalah Musa. Ia
sedang berada pada titik kelelahan jasmani, emosi dan rohani pada saat ia
berusaha mengurus sekitar dua juta orang atau lebih yang keluar dari Mesir.
Tetapi kemudian, Yitro, ayah mertuanya yang bijaksana, memperhatikan apa
yang sedang terjadi dan mengingatkan Musa bahwa ia sedang menyiksa
dirinya sendiri jika ia tidak mulai mengadakan proses pemilihan dan
pendelegasian tugas (bnd. Kel. 18:13-18). Dengan demikian dapat juga
dipahami bahwa proses pemilihan dan pelatihan orang-orang dalam suatu
organisasi (termasuk organisasi gereja), terkait erat dengan pendelegasian
tugas, agar tugas organisasi ke depan berjalan lebih signifikan. Contoh, ketika
Musa meninggal dunia, bangsa Israel tidak menghadapi masalah
kepemimpinan oleh karena Musa telah melatih dengan sungguh-sungguh
orang yang akan menggantikannya, yaitu, Yosua (bnd. Yosua 11:15).
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 37
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
memuridkan namun mengurangi potensi yang ada di dalam diri mereka oleh
karena mereka tidak turut ambil bagian dalam mewujudkan kepemimpinan
serta pemuridan. Penyebabnya adalah karena tidak adanya kesediaan. Mereka
gagal untuk hidup sesuai dengan prioritas-prioritasnya dan mendapati bahwa
“benteng keterdesakan” memaksa mereka semakin jauh dari sasaran-sasaran
serta nilai-nilai yang kekal. Keempat, senang diajar. Sifat penting lainnya
yang perlu dicari dalam proses pemilihan adalah sifat senang diajar. Jika
seseorang tidak terbuka dan tidak rela untuk belajar maka ia tidak akan pernah
dapat melayani atau memimpin secara harmonis dalam Tubuh Kristus.
Seorang yang tidak senang diajar lama kelamaan akan menjadi orang yang
tidak bergairah dan statis-ia hanya berada dalam pola-pola yang kaku, yang
menghapuskan keefektifannya.
Salah satu alasan mengapa Allah tidak bekerja melalui orang-orang Farisi
adalah karena mereka mempunyai sikap yang tidak senang diajar. Mereka
mengira bahwa mereka sudah tahu tentang segala hal. Walaupun mereka
adalah orang-orang yang super setia dan bersedia dalam mentaati hukum
Taurat, namun mereka memiliki sikap tidak senang diajar terhadap Perjanjian
Kristus yang Baru, dan oleh karena itu, maka Yesus harus melewatkan mereka
pada saat Ia memilih orang-orang.
Tidak peduli berapa banyak pengetahuan seseorang, ia harus menyadari
bahwa masih ada begitu banyak hal yang harus dipelajari dari Allah kita yang
tidak terbatas itu. Jika kita senantiasa terbuka untuk diajar tentang hal-hal
yang baru dari Dia, kita akan mendapati bahwa kita memiliki kapasitas yang
semakin meningkat untuk mengatasi berbagai situasi dalam kehidupan.
Kelima, lahir baru (hal ini sangat penting dan menentukan). Bertumbuh di
dalam Kristus serta memiliki keintiman (hubungan special) dengan-Nya.
Mampu secara konsisten memperlihatkan buah-buah Roh Kudus di dalam
keseluruhan penampilan hidup kesehariannya, sebagaimana yang disebutkan
dalam Galatia 5:22-23.
dalam suatu gereja lokal ataupun pada tingkat sinodal. Seperti yang telah
disinggung di atas, maka orang-orangnya adalah yang memang memiliki
kemampuan dan keterampilan yang lebih.
6. Sosialisasi Program
Sebelum program disosialisasikan, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan
formal dari pimpinan (gembala sidang), agar proses sosialisasinya tersambut oleh
warga jemaat. Mekanisme sosialisasinya adalah : melalui pengumuman resmi di
gereja (sebaiknya oleh pimpinan/sedapat mungkin gembala siding), dimuat di
dalam warta jemaat, dan atau dapat juga dimuat di majalah-majalah gereja.
BAB VII
GURU DALAM PWG
Guru (pelatih, pembina) merupakan unsur penting dalam suatu kegiatan belajar
mengajar. Karena gurulah yang membimbing peserta didiknya untuk belajar mengenal,
memahami dan menghadapi dunia tempat ia berada. Guru merupakan jembatan dan
sekaligus agen yang memungkinkan peserta didik berdialog dengan dunianya. Dalam
melaksanakan tugasnya, seorang guru sangat dipengaruhi oleh falsafah atau pandangan
hidup yang dianutnya.
Sebagai orang Kristen apabila kita hendak mengembangkan pemahaman tentang
guru dan tugasnya, sudah barang tentu perspektif kita haruslah berakar pada iman Kristen
yang bersumber dari kebenaran dan prinsip-prinsip firman Tuhan sebagaimana
diungkapkan oleh Alkitab. Karena itu dalam terang iman yang kita miliki, kita dapat dan
harus membangun pemikiran, pandangan dunia (isi yang sistematik), dan cara berpikir
(aktivitas) tentang dunia kerja kita sendiri, khususnya dalam bidang belajar mengajar.
Dalam pembahasan lebih lanjut tentang “guru dalam PWG”, kita akan mengacu
pada garis berpikir dan pemaparan B. Samuel Sijabat dalam bukunya “Menjadi Guru
Profesional; Sebuah Perspektif Kristiani.33, Faktor-faktor yang ditekankan adalah sebagai
berikut:
33
B.S. Sijabat, Menjadi Guru Profesional: Sebuah Perspektif Kristiani (Bandung: Kalam Hidup,
1994), hal. 31-48.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 41
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
yang positif dari guru itu sendiri. Seorang guru dengan konsep diri yang baik akan
mampu memandang dirinya dimiliki atau diterima oleh Allah tanpa syarat sebab ia
yakin bahwa darah Tuhan Yesus Kristus yang tercurah pada kayu salib merupakan
bukti kuat akan kasih Allah terhadap dirinya (bnd. Roma 5:6,8; Ibrani 9:14).
Penghargaan terhadap dirinya sendiri tidak didasarkan atas faktor fisik, materi dan
prestise ataupun prestasi, melainkan oleh karena penghargaan yang diterima guru
itu dari Allah, yakni kasih sejati. Bagi Allah, guru memandang dirinya berharga
karena telah ditebus oleh kasih Tuhan Yesus Kristus serta dipanggil menjadi rekan
sekerja-Nya (bnd. Ef. 2:10; 2 Kor. 5:17). Dengan dasar konsep diri positif semacam
itu, guru dapat memiliki perasaan mampu dan dimampukan oleh kuasa serta
kehadiran Allah.
Ada banyak dampak yang dihasilkan oleh konsep diri positif dalam kehidupan dan
pekerjaan seorang guru, antara lain: (a) Guru dapat berkembang secara sehat dalam
relasi dengan orang lain, termasuk anak didik dan rekannya. Ia mampu menerima
orang lain sebagaimana adanya, sadar bahwa ia pun memiliki kelebihan dan
kekurangan (Roma 14:1; 15:1-3). Kemampuan seperti itu amat perlu mengingat
guru menghadapi peserta didik yang senantiasa mencari konsep diri lebih baik. (b)
Dengan konsep diri yang baik guru dapat bertumbuh dalam penerimaan akan
dirinya, akan potensi-potensi positif dan negative. Ia akan berupaya bertumbuh
dalam segi-segi positif dan berusaha memerangi dimensi-dimensi yang negative di
dalam dirinya. Dengan kata lain ia mengembangkan persepsi diri yang sehat, tidak
dilanda oleh prasangka negative (Roma 12:3,16; Filipi 4:8). Sebab prasangka buruk
terhadap peserta didik dan rekan sekerja selalu menimbulkan gangguan bagi
kesuksesan mengajar. Perlu ditambahkan bahwa prasangka buruk sering muncul
dalam diri orang karena hadirnya perasaan takut, seperti takut tersaingi, takut tidak
dihormati, dan takut dianggap tidak berwibawa. (c) Dengan konsep diri positif guru
dapat mengembangkan dirinya dalam kesediaan berkorban demi orang lain, serta
menempatkan kepentingan orang lain terlebih dahulu (altruism). Kita tahu bahwa
sikap sedia berkorban demi kemajuan peserta didik sangatlah penting dimiliki oleh
seorang guru. Dengan sikap mental demikian guru bersedia tidak memaksakan
kehendaknya, apalagi yang berkaitan dengan hal-hal yang peserta didik sendiri
tidak mampu mengikuti atau melaksanakan. Seorang guru dapat melihat teladan
Tuhan Yesus Kristus dalam kesediaan berkorban ini, di mana Ia bersedia untuk
menyerahkan nyawa-Nya sekalipun (Yoh. 10:17,18; 1 Yoh. 4:8-10). Tuhan Yesus
Kristus juga telah memberitahukan prinsip hidup utama yang harus
didemonstrasikan oleh murid-murid-Nya. Ia berkata bahwa tidak salah menjadi
besar dan terkemuka di hadapan orang lain, tetapi cara yang tepat untuk sampai ke
tujuan itu haruslah dengan menjadikan diri sebagai pelayan atau penolong bagi
orang lain (Mat. 20:26-28; Mrk. 10:45). (d) Dengan konsep diri yang sehat, seorang
guru akan mampu mengembangkan kemampuan dan ketrampilan pelayanan dengan
sikap percaya diri. Apalagi bila ia terus menunaikan tugasnya dengan motto:
“Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku”
(Fil. 4:13). Artinya persekutuan hidup dengan Kristus dapat membuahkan
kemampuan baru dalam .pribadi seorang guru. Kemampuan memang tidak dating
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 42
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
begitu saja tanpa upaya belajar dan latihan untuk meningkatkan diri. Yang perlu
ditegaskan juga di sini ialah bahwa kemampuan tidak saja menyangkut segi
keterampilan berbuat, tetapi juga segi pemikiran dan perasaan. Ketiga, “iman”. Hal
yang sangat penting dikembangkan oleh seorang guru Kristen ialah pengenalan
mengenai jati dirinya sebagai orang Kristen. Kita memahami bahwa orang Kristen
adalah “orang yang memberikan dirinya secara penuh kepada Tuhan Yesus Kristus”
(bnd. Kis. 11:26). Orang Kristen ialah orang yang percaya dan menyambut
sepenuhnya kedudukan dan peranan Tuhan Yesus Kristus sebagai Tuhan,
Juruselamat, dan Raja atas kehidupannya. Pembukaan diri ini sebenarnya
dimungkinkan oleh kuasa Allah sendiri, sebagai pekerjaan Allah Roh Kudus yang
membuat seseorang memberi respons positif terhadap berita Injil (bnd. Roma 1:16-
17; 1 Kor 15:3-5). Dengan membuka diri, Roh Kudus berkenan hadir ke dalam
hidup dan mendiami diri orang percaya. Dengan demikian nyatalah permulaan
orientasi hidup baru, perubahan hidup, pengertian rohani baru, kuasa, dan dinamika
hidup baru (Yoh. 3:3,5; Roma 8:9-11; 2 Kor. 3:17-18; 5:17).
Kemudian, sebagai orang Kristen, guru terpanggil untuk bertumbuh ke arah
pengenalan yang semakin mendalam dan lengkap tentang pribadi Tuhan Yesus
Kristus (bnd. Kol. 2:6-7; Gal. 2:19-20). Pengenalan tentang pribadi Tuhan Yesus
Kristus ini akan memungkinkan dia makin memahami kehendak Allah. Karena
Tuhan Yesus Kristus sendiri adalah jalan, kebenaran dan hidup, pembawa orang
kepada pengenalan yang sejati akan pribadi dan karya Allah (Yoh. 1:18; 14:6).
Sebab, Yesus menyatakan dengan tegas bahwa di luar Dia, orang tidak dapat
melakukan yang benar bagi kemuliaan Allah (Yoh. 15:4,5,16). Di samping itu
hanya melalui persekutuan dengan Dialah, seorang guru Kristen semakin
menemukan kebenaran yang sesungguhnya. Dan kebenaran yang dinyatakan oleh
Allah kepada setiap orang percaya menyangkut segi kognitif (intelek-pemikiran),
segi moral, etis serta spiritual. Selanjutnya, kebenaran yang harus dikejar oleh guru
Kristen adalah kebenaran realistis, yaitu yang nyata dalam kehidupan. Kebenaran
demikian akan berupaya membebaskan manusia seutuhnya (bnd. Yoh. 8:13-32;
17:17).
Masalah mengikut Tuhan Yesus Kristus tidak saja terbatas kepada bagaimana kita
dapat lebih memahami dan mengerti apa yang dilakukan Tuhan Yesus Kristus bagi
pengampunan dosa, dan jaminan akan kehidupan yang akan datang. Guru Kristen
juga perlu memahami pribadi Tuhan Yesus Kristus sebagi guru yang harus
diteladaninya dalam hidup sehari-hari dan dalam pelaksanaan tugas keguruan.
Berdasarkan dengan apa yang dikemukakan di atas, maka dapatlah disimpulkan
bahwa seorang guru PAK atau PWG haruslah orang yang sudah “lahir baru” dan
yang senantiasa memiliki kerinduan bertumbuh secara dinamis di dalam pengenalan
akan Tuhan Yesus Kristus.
bahwa setiap guru terpanggil untuk memainkan beberapa peranan penting dalam
penunaian tugasnya.
• Ia diharapkan tampil sebagai seorang ahli, yang relative tahu banyak tentang
apa dan bagaimana dari bahan yang diajarkannya. Itulah sebabnya guru harus
selalu meningkatkan kualitas pengetahuannya. Tidak saja ia dapat menjelaskan
banyak tentang bahan yang diajarkan, tetapi juga dapat membantu peserta
didiknya mengenal strategi praktis bagi penguasaan bahan ajarannya. Dengan
kata lain, tugas guru adalah selalu membantu peserta didiknya (peserta PWG)
untuk memahami bagaimana cara mendalami dan menguasai pelajaran yang
akan atau sedang diikutinya. Meskipun demikian, guru harus sadar bahwa tiap
peserta didik tetap memiliki kesadaran tentang cara yang lebih cocok bagi
dirinya sendiri untuk lebih memahami pelajaran yang diikuti. Artinya, setiap
orang memiliki model atau gaya belajar tersendiri untuk memperoleh
pengetahuan. Oleh sebab itu, guru perlu berhati-hati agar jangan sampai
memadamkan “kesadaran strategis cara belajar secara pribadi” itu. Ia harus
mendorong peserta didik mengembangkannya, memperbaharuinya, atau
mempertajamnya, dengan memberikan strategi alternative, yakni keterampilan
belajar yang dimilikinya selama ini. Sebagai seorang ahli, tugas guru juga
termasuk mengajak peserta didik agar memperoleh pengetahuan,
mengembangkan keterampilan belajar, dan mengenal “kesadaran akan cara
belajarnya yang khas”.
• Guru sebagai motivator. Tugas ini sangat mendasar mengingat peristiwa belajar
pada dasarnya berlangsung dalam diri peserta didik. Itu berarti bahwa peserta
didik merupakan pelaku proses belajar bagi dirinya sendiri. Guru tidak dapat
belajar bagi peserta didiknya. Yang dapat dikerjakan guru adalah memberikan
rangsangan, membangkitkan semangat, dan perasaan mampu dalam diri peserta
didik, yang selanjutnya diharapkan sanggup menggerakkan minatnya dalam
melakukan perbuatan belajar. Dorongan belajar timbul dan semakin besar dalam
diri peserta didik atas dasar beberapa kondisi. Pertama, apabila ia mendapat
penerimaan dan perlakuan yang baik, baik dari guru maupun dari sesama rekan
peserta didik. Kedua, apabila ia melihat gurunya sebagai manusia biasa yang
bertumbuh ke arah kedewasaan. Ketiga, apabila peserta didik tahu manfaat dari
hasil belajarnya (sesuai dengan kebutuhan), serta memahami bagaimana belajar
secara efektif. Keempat, apabila ada suasana emosi dan spiritual yang
menyenangkan. Kelima, apabila guru menunjukkan antusiasme terhadap
pengajaran yang disampaikannya, serta mendemonstrasikan itikad baik untuk
membina relasi yang membangun dengan peserta didiknya.
• Guru sebagai fasilitator. Dengan peran ini, guru terpanggil untuk memahami
kebutuhan atau keperluan peserta didik dalam proses belajar. Sebagai fasilitator,
guru mempersiapkan berbagai sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan
belajar mengajar. Ia menyediakan alat-alat bantu dengar (visual aid). Ia
menyediakan literatur yang relevan. Ia juga berusaha untuk “menciptakan”
kondisi emosional dan social yang bermanfaat bagi peristiwa belajar. Juga
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 44
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
BAB VIII
CAKUPAN PEMBINAAN WARGA GEREJA
pemuridan itu sendiri adalah komitmen total kepada Yesus sebagai Tuhan, dan Raja,
Penguasa atas langit dan bumi atau surga dan dunia, serta atas tubuh dan jiwa (Mat.
10:32-33,37-39; 28:18).
Untuk dapat meningkatkan kualitas iman orang percaya melalui pelayanan
peneguhan dan pengajaran itu, Allah sendiri telah menganugerahkan guru ataupun
pengajar kepada gereja-Nya. Dalam Efesus 4:11-13, misalnya, Rasul Paulus
menegaskan adanya karunia mengajar yang dioperasionalkan oleh “guru dan
gembala”. Tentu saja tugas dan jabatan ini tidak boleh dipandang lebih penting
daripada karunia rasul, penginjil dan nabi. Sama sekali tidak. Jika demikian halnya,
maka terjadilah kesalahpahaman mengenai hakikat gereja sebagai “tempat kediaman
Roh Kudus” (Ef. 2:21-22). Dengan status gereja sebagai Bait Roh Kudus, Roh itu
memiliki kebebasan untuk bekerja serta memakai setiap orang secara unik bagi
pertumbuhan iman bersama-sama demi kemuliaan Allah. Semua karunia itu, yakni,
pemberita injil, rasul, nabi, guru dan gembala, diberikan Allah bagi kepentingan
pembangunan tubuh atau jemaat Kristus.
Sasaran akhir dari pembinaan warga jemaat adalah “pertumbuhan menuju
kedewasaan iman didalam Tuhan Yesus Kristus”.Kedewasaan dalam Kristus ini
secara komprehensif dijelaskan dalam surat Efesus itu sendiri. Pertama, kedewasaan
itu adalah sebagai pertumbuhan atau proses perubahan hidup (life transformation)
oleh kuasa Roh Kudus dan pengajaran Firman-Nya (bnd. 2 Kor. 3:17-18). Artinya
kedewasaan sebagai sasaran hidup sifatnya dinamis (Ef. 4:13-15). Fokus
pertumbuhan menjadi dewasa adalah Tuhan Yesus Kristus sendiri. Artinya
kedewasaan terjadi sejauh orang percaya hidup dalam relasi yang akrab dengan
Tuhan Yesus Kristus. Perubahan hidup rohani, sikap dan mental terjadi dalam diri
orang percaya sebagai pekerjaan dari Roh Kudus itu sendiri, bukan oleh kekuatan diri
sendiri (bnd. Rm. 8:9-11). Kedua, kedewasaan itu meliputi aspek kognitif atau
pengenalan, pengertian, pemahaman akan Tuhan Yesus Kristus, dalam artian secara
pribadi. Iman yang bertumbuh kea rah kedewasaan akan semakin memahami betapa
besar kasih Allah bagi manusia, yang telah dinyatakan melalui Tuhan Yesus Kristus
(Ef. 1:3-14; 2:1-10). Agar aspek pengertian, pemahaman ini bertumbuh sudah tentu
diperlukan pengajaran atau PWG yang benar dan jujur. Benar dalam arti berdasarkan
Alkitab. Tidak ada pengajaran palsu di dalam pengajaran itu, dan apa pun materi yang
dibahas dapat bersumber atau dibahas berdasarkan criteria pembenaran Alkitab. Jujur
dalam arti tidak ada unsur manipulasi seolah-olah mendewakan pengajar atau
pemberita firman. Ketiga, kedewasaan itu harus berefleksi di dalam komunikasi dan
hubungan antar sesama dalam jemaat dan di luarnya, demi terwujudnya pemeliharaan
kesatuan Roh (Ef. 4:1-4). Hal ini penting karena jemaat adalah tubuh Kristus, di mana
masing-masing anggota terpanggil untuk saling melayani (serving to one another).
Perubahan hidup di dalam Kristus setidaknya harus terwujud dalam pola-pola bertutur
kata di antara sesama anggota (umat). Mereka harus berkata benar, tidak berdusta
atau berpura-pura. Mereka harus berusaha membangun sesamanya melalui perkataan
yang sehat, jujur dan bermakna. Hal ini secara panjang lebar dibahas di dalam Efesus
$:17-5:22. Banyak dibicarakan di sana tentang makna dari perkataan, ucapan, baik
gaya maupun isi. Perkataan haruslah membangun, bukan meruntuhkan semangat
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 50
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
hidup (Ef. 4:29). Hal itu harus nyata pula dalam hidup keluarga, relasi suami istri,
relasi orangtua dan anak (Ef. 5:23-6:4). Selanjutnya pembaharuan hidup harus pula
tampak dalam relasi kerja di antara majikan dengan pekerja, serta dalam penerapan
kepemimpinan hidup (Ef. 6:5-9). Akhirnya, kedewasaan itu harus pula tertuang di
dalam kegiatan ibadah, doa, dalam rangka memenangkan perlawanan terhadap
musuh-musuh rohani (spiritual warfare). Tampaknya yang penting di situ adalah
bahwa kalau seseorang mau bertumbuh menuju kedewasaan rohani, ia harus kuat
dalam kasih karunia dan kekuatan Allah (Ef. 6:10-11). Dari semua penjelasan di atas
dapat ditegaskan kembali bahwa gereja adalah agen pendidikan atau pembinaan
Kristen.
ditunjuk Tuhan. Ia memilih pergi dan dengan itu ia memulai hidup baru. Sejak itu,
ia tetap dalam perjalanan, meninggalkan segala ketenangan yang selama itu
dimilikinya. Ia hidup bergantung kepada janji Allah. Hal yang sama kita
membaca dalam riwayat pemanggilan murid-murid Tuhan Yesus. Dikatakan
bahwa sewaktu Simon dan Andreas menebarkan jalanya di danau, mereka
mendengar Yesus memanggil, “Mari ikut Aku dan kamu akan Kujadikan penjala
manusia” (Mat. 4:18-20). Peristiwa seperti ini terjadi juga sewaktu Yesus
memanggil Yakobus dan Yohanes (Mat. 4:21-22). Tuntutan Allah kepada orang
yang dipanggil-Nya adalah mutlak, tidak ada alasan apapun untuk kembali kepada
keadaan semula dan harus selalu mendahulukannya lebih dari apa saja pun. Tuhan
Yesus berkata : “Barang siapa mengasihi bapa atau ibunya lebih daripada-Ku, ia
tidak layak bagi-Ku, dan barang siapa mengasihi anaknya laki-laki atau
perempuan lebih daripada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku” (Mat. 10:37-38).
• Beriman berarti bersekutu dengan Allah
Panggilan Allah kepada Abraham bukan saja penyampaian tugas yang harus
dijalankannya. Dalam panggilan itu Allah menjanjikan sesuatu kepadanya. Allah
menjanjikan kepada Abraham bahwa Ia akan menjadikan Abraham menjadi
bangsa yang besar dan memberkatinya, membuat namanya masyur, dan menjadi
berkat. Selanjutnya Allah akan memberkati orang-orang yang memberkati
Abraham, mengutuk orang-orang yang mengutuk dia, dan oleh Abraham semua
kaum di muka bumi akan mendapat berkat (Kej. 12:2-3). Perjanjian itu dikuatkan
lagi dengan upacara (Kej. 15:7-10). Dengan perjanjian itu Allah mengikat diri
kepada Abraham dan dengan itu ada persetujuan Abraham dengan Allah.
Panggilan Allah untuk bersekutu dengan-Nya telah meluas oleh karya penebusan
Yesus (Yoh. 11:51-52; bdk. Yoh. 10:16; Mat. 8:11-12; Luk. 13:28-29). Jadi
semua bangsa dapat bersekutu dengan Allah melalui Tuhan Yesus sebagai
pemenuhan janji Allah kepada Abraham, “bahwa semua kaum di muka bumi akan
mendapat berkat melalui Abraham”. Beriman dengan demikian hidup dalam relasi
yang hidup dengan Allah.
• Beriman berarti setia kepada Tuhan
Persekutuan menuntut kesetiaan yaitu kesetiaan manusia yang dapat diuji.
Abraham telah meng-ya-kan Allah dan bersekutu dengan-Nya. Ternyata
perjalannya tidak selalu mulus. Kesetiaannya diuji ketika anak yang ditunggu-
tunggu sebagai pemenuhan janji Allah untuk menjadikannya menjadi suatu
bangsa yang besar belum terwujud (Kej. 15:3). Setelah anaknya yang begitu lama
dinanti-natikan itu lahir, Allah memintanya supaya anaknya yang satu-satunya itu
dikorbankan kepada Allah (Kej. 22:2). Permintaan Allah itu sangat berat baginya,
bukan saja karena ia mencintai anaknya, tetapi oleh karena anaknya Ishak adalah
bukti yang kelihatan bahwa Allah tidak melupakan janji-Nya. Sekarang bukti itu
hendak ditiadakan oleh Allah sendiri, namun ia tidak menolak. Ia percaya dengan
berbagai cara Allah akan mewujudkan janji-Nya. Kepercayaan itu terungkap
dalam kata yang mengharukan, bahwa Allah akan menyediakan (Kej. 22:8).
Kepercayaannya itu diperhitungkan kepadanya sebagai pembenaran (Rm. 4:22).
Allah selalu menuntut kesetiaan umat-Nya. Kesetiaan kepada Allah itu, juga telah
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 52
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
dilakukan oleh Yesus ketika Ia melayani di dunia, bahkan bukti kesetiaan itu
terjadi melalui kematian lewat peristiwa salib.
• Iman terwujud dalam perbuatan
Abraham percaya kepada Allah, karena it berjalan meninggalkan rumah bapanya
dan rela mengorbankan anaknya Ishak. Rahab orang Yerikho percaya bahwa
Allah telah menyerahkan negerinya kepada bangsa Israel (Yos. 2:9). Karena itu,
ia melindungi pengintai-pengintai Israel yang datang menyelidiki Yerikho
sehingga mata-mata itu luput dari pengejaran pengawal-pengawal kota Yerikho
(Yos. 2:1-6; Yak. 2:26). Itulah sebabnya Yakobus berpendapat bahwa iman itu
memimpin kepada perbuatan seperti yang terungkap dalam kata-katanya.
Yakobus tidak mengatakan bahwa perbuatan yang mendasarkan iman melainkan
perbuatan-perbuatan itu adalah ungkapan iman. Ungkapan itu terdapat dalam
perbuatan perwira Romawi yang mengusahakan penyembuhan bagi hambanya
yang sakit (Mat. 8:5-13). Kenyatan-kenyataan tersebut mengatakan bahwa iman
memberi daya sehingga orang beriman bukan saja setia, taat tetapi iman
membimbing dan memberi kekuatan untuk mengadakan perbuatan-perbuatan
baik. Iman yang mengungkapkan diri dalam perbuatan, adalah iman yang
mengalahkan dunia (1 Yoh. 5:5).
• Iman dan konteks kehidupan masyarakat
Beriman tidak berarti tanpa tantangan. Dalam kehidupan bapak-bapak leluhur
Israel tantangan itu disebabkan keadaan dan perbuatan-perbuatan manusia.
Tantangan disebabkan keadaan seperti yang dialami Abraham dalam menunggu
seorang anak sebagai pewaris janji Allah, musim kelaparan dan lain-lain. Dari
berbagai cerita dalam Alkitab khususnya Perjanjian Lama dapat dicatat bahwa
tantangan itu muncul dari para musuh dan penindas. Baru pada cerita Ayub
disebutkan adanya tantangan dari kuasa-kuasa yang tidak tampak. Kitab Ayub
menceritakan iblis yang berkuasa dan dapat mendatangkan malapetaka. Tetapi
dalam kitab Ayub itu iblis belum dianggap sebagai penggoda yang berdiri sendiri
karena ia bekerja atas ijin Allah. Selanjutnya Alkitab banyak menyebut ilah-ilah.
Tetapi ilah-ilah itu tidak dianggap berkuasa sebab ilah itu tidak dapat mendengar
dan tidak dapat melaksanakan sesuatu (1 Raj. 18:29; Mzm. 11:5; 135:16). Mereka
adalah berhala yang bodoh dan dungu (Yer. 10:8). Ilah-ilah digambarkan dalam
bentuk patung-patung yang dibuat tangan manusia (Mzm. 31:7; Yos. 2:8; Yes.
10:3). Tidak ada ilah yang sama dengan Dia. Kemahakuasaan Allah ini telah
dibuktikan Elia di gunung Karmel (1 Raj. 18:20-46).
Dalam Perjanjian Baru diceritakan bahwa penggoda-penggoda itu adalah iblis
yang selalu berusaha merusak manusia dan Yesus yang mau menyelamatkan
manusia. Dalam konfrontasi iblis dengan Yesus, yang menang adalah Yesus.
Karena itu Yesus berkata: “Aku melihat iblis jatuh seperti kilat dari langit” (Luk.
10:17). Para murid melaporkan kepada Yesus, katanya: Tuhan, juga setan-setan
takluk kepada kami karena nama-Mu” (Luk. 16:18). Hal yang sama juga kita
temui dalam Kis. 5:16; 16:18. Menurut Rasul Paulus semua penguasa-penguasa
itu telah dikalahkan oleh Yesus, katanya: “Bahwa oleh kematian Yesus di kayu
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 53
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
salib, Ia telah menjadi tontonan umum dalam kemenangan-Nya atas mereka (Kol.
2:14-15; Ef. 2:1; 3:10).
Bagaimana sebaiknya menghadapi kuasa-kuasa itu ? Seperti yang disebutkan
sebelumnya bahwa sikap dasar kita adalah menyaksikan Kristus dan kemenangan-
Nya terhadap kuasa-kuasa yang membuat kita bebas dari cengkeramannya.
Dengan mengikuti teladan Yesus itu, kita juga dipanggil berperan serta dalam
upaya-upaya pembaharuan struktur masyarakat kea rah yang lebih sempurna di
mana terdapat kasih dan keadilan secara bersama-sama. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa iman adalah jawaban yang meng-ya-kan Tuhan dalam bentuk
kata, perbuatan, kasih dan kesetiaan . Dalam beriman terjadi persekutuan yang
terus menerus antara orang beriman dengan Tuhannya dan sesamanya.
Berhentilah orang percaya pada dirinya sendiri dan hiduplah bagi Allah. Dengan
itu orang beriman membiarkan dirinya dibentuk, diarahkan Allah pada diri-Nya.
Kehendak Allah itu dicari orang beriman dalam firman-Nya dalam Yesus Kristus.
Dalam beriman dilibatkan unsur kondisi, emosi dan kemauan secara seimbang
dan serasi. Tanpa keserasian ini orang beriman akan hidup dalam naluri-naluri
keagamaan saja.
menerima Kristus tetapi juga harus berakar dan bertumbuh sampai mencapai tingkat
kedewasaan penuh di dalam Kristus.
Kepemimpinan gereja memiliki peran yang sangat penting dalam menumbuh-
kembangkan dinamika kehidupan warga gereja khususnya dalam pemahaman konsep
bergereja. Menyadari hal tersebut maka perlu dikedepankan dalam diktat ini
(walaupun tidak dalam bentuk kajian yang dalam) tentang prinsip-prinsip
kepemimpinan gereja.
Sumber keberadaan dan arah tujuan gereja adalah Tuhan Yesus Kristus. Tuhan
Yesus Kristus itu adalah Allah yang menyelamatkan manusia. Sengsara, kematian
dan kebangkitan-Nya adalah penyelamatan bagi manusia. Tetapi, hanya mereka yang
percaya kepada-Nya yang selamat. Orang-orang yang percaya kepada-Nya, yaitu
mereka yang selamat itu, menyatakan keselamatan mereka antara lain dengan
menciptakan gereja dan menjalankan gereja. Dalam menjalankan gereja itu, orang-
orang yang percaya yang menciptakan gereja itu berorientasi pada Tuhan Yesus
Kristus. Segala sesuatu yang dilakukan oleh gereja (harus) mewujudkan kehendak
Tuhan Yesus Kristus.
Oleh sebab itu, kepemimpinan yang diberlakukan oleh gereja, adalah
kepemimpinan yang meneladan kepada Tuhan Yesus Kristus serta menerapkan
kehendak-Nya. Kepemimpinan itu, antara lain adalah sebagai berikut:36
a. Kepemimpinan Pelayanan
Kata pelayanan sangat populer di kalangan Kristen. Sedemikian populernya
sehingga sering dimanipulasikan oleh orang-orang yang sebenarnya hanya
mencari keutungan diri sendiri. Sebutan pelayanan dipakainya untuk
membenarkan atau memuliakan (agar memiliki nilai mulia) kegiatan atau
tindakannya, meskipun sebenarnya baik dari segi motivasi maupun praktek
kegiatan atau tindakan itu tidak sama dengan, atau bahkan berlawanan sama
sekali dengan makna pelayanan yang sesungguhnya.
Sebenarnya kata ini menunjukkkan ke cara atau gaya hidup meneladan Tuhan
Yesus Kristus, yang dating bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani
(Markus 10:45). Diterapkan pada kepemimpinan, maka kepemimpinan pelayanan
itu merupakan lawan dari kepemimpinan menguasai, memerintah dan menindas.
Kepemimpinan pelayanan adalah cara atau gaya hidup pemimpin yang menyikapi
dan memperlakukan yang dipimpin bukan sebagai obyek, apalagi sekedar sebagai
alat untuk kepentingan dirinya, melainkan sebagai subyek. Sikap dan perlakuan
itu setidak-tidaknya memiliki tiga (3) cirri, yaitu: Pertama, tujuannya adalah
keselamatan mereka yang dipimpin (warga gereja atau orang-orang lain).
Pelayanan pemimpin gereja kepada para warga gereja itu tetap terpelihara, dan
akhirnya mencapai kesempurnaannya di sorga. Dalam kehidupan sehari-hari para
warga gereja selalu berhadapan dengan berbagai pencobaan atau penggodaan
yang dapat mengakibatkan mereka melepaskan keselamatan mereka. Sehingga
bisa terjadi mereka melepaskan keselamatan, atau dengan kata lain murtad atau
setidak-tidaknya mereka kurang memeperkembangkan keselamatan itu. Dengan
36
Sularso Sopater, ed., Kepemimpinan dan Pembinaan Warga Gereja, (Jakarta: PT Sinar Agape
Press, 1998), hal.153-159.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 55
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
Zaman ini (sekarang dan yang akan datang) disebut sebagai zaman kebangkitan
ilmu dan tehnologi (IPTEK). Bahkan IPTEK telah mempengaruhi seluruh dimensi
kehidupan, misalnya: komunikasi, ekonomi, politik, pertanian, pembangunan, tatanan
kehidupan masyarakat, transportasi, dll. Siapa yang menolak dan atau tertinggal di
dalam bidang IPTEK maka ia pasti terlindas dan atau tertinggal dengan kemajuan
yang dihadirkan oleh ilmu pengetahuan dan tehnologi tersebut.
Yang menjadi persoalan menarik adalah bahwa sering orang beranggapan bahwa
ada perbedaan yang fundamental yang tidak bisa dibangun jembatan pengubungnya
antara iman dan ilmu pengetahuan. Pada umumnya iman dipersepsi sebagai sesuatu
yang subyektif, karena itu dianggap tidak ilmiah dan tidak bisa dibuktikan.
Sebaliknya ilmu pengetahuan dinilai sebagai sesuatu yang sifatnya obyektif, ilmiah
dan dapat dibuktikan atau diuji serta berusaha menghindari apa yang subyektif.
Sebagai warga gereja tentu harus melihat persoalan ini secara kritis dan komprehensif
agar tidak terjebak dalam suatu pemahaman yang dangkal, sempit dan bahkan ektrim.
Karena itulah maka dalam proses pembinaan warga gereja salah satu yang harus
dikedepankan adalah tentang “hubungan antara iman dengan ilmu pengetahuan
dan teknologi”.
Ketika kita mengembangkan cara berpikir kita secara terbuka dan kritis maka kita
memahami bahwa iman dan ilmu pengetahuan ternyata memiliki hubungan satu sama
lain. Dalam kaitan itu, iman adalah sesuatu yang dinamis dan tidak hanya tergantung
pada percaya. Karena iman merangkum seluruh keberadaan manusia, termasuk akal
budi (Mat. 22:37). Artinya bahwa apa yang diimani itu adalah sesuatu yang dapat
dimengerti, baik oleh pribadi maupun oleh orang lain, bahkan oleh orang yang tidak
seiman sekalipun. Di sini pandangan Anselmus dan Canterbury sangat tepat yang
mengatakan fides quaerens intellectum (iman berusaha untuk mengerti).
Seorang filsuf terkenal bernama Alfred North Whiteread (1861-1947) pernah
menyatakan bahwa Agama dan IPTEK merupakan dua kekuatan raksasa terbesar di
dunia yang secara hebat mempengaruhi manusia. Agama Kristen dan IPTEK malah
mempunyai relasi ganda yang serba polaris yang berfluktuasi antara keramahan yang
saling menopang sampai dengan sikap bermusuhan yang tajam. Hubungan khusus
anatara IPTEK dan Iman Kristen, tidak saja dalam wujud saling mendukung, tetapi
juga saling berhadapan yang oleh para historisi dilihat sebagai bukan kebetulan,
khususnya apabila kita memperhatikan bahwa bangkit dan berkembang pesatnya ilmu
pengetahuan modern justru terjadi di lingkungan kebudayaan yang sangat kuat
dipengaruhi oleh Kekristenan. Hubungan antara IPTEK dan Agama Kristen
sebagaimana dinyatakan tadi, bukan hanya dalam bentuk saling menunjang tetapi
juga saling berhadap-hadapan sebagai lawan.
Ilmu pengetahuan sering menyerang pokok-pokok kepercayaan agama (Kristen)
yang dianggap paling fundamental, antara lain misalnya, serangan frontal dari teori
Evolusi Darwin terhadap visi penciptaan (creatio) dari Alkitab. Ketegangan antara
Ilmu Pengetahuan dan Agama (Kristen) bukan hanya terbatas pada perbedaan
persepsi tentang isu-isu fundamental, namun dalam bentuk yang lebih mendalam
seperti perbedaan prinsipil dalam persepsi antara “pandangan dunia ilmu” (scientific
world view) dengan agama.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 59
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
yang disajikan oleh para astronomi, geologi, fisika dan biologi. Artinya paling sedikit
telah terjadi 2 (dua) perubahan penting dalam konsepsi tentang Iman (Kristen).
1. Bahwa dalam pemahaman dan penjelasan tentang hukum-hukum alam semesta,
maka penjelasan dari sudut iman tidak harus bersaing dengan penjelasan ilmu.
2. Bahwa iman bukanlah suatu alat teknologi yang supernatural untuk memanipulasi
alam maupun sesama manusia.
Jadi dengan demikian dapat dikatakan bahwa telah berakhir dan pupuslah seluruh
konflik antara agama dan IPTEK ? Rasanya tidak demikian kesimpulannya. Lebih
tepat apabila dikatakan bahwa konflik dan ketegangan antara IPTEK dan agama telah
megalami suasana yang telah berubah. Berdasarkan paparan tersebut di atas, terlihat
dari sejarahnya bahwa kaitan atau hubungan iman Kristen dengan IPTEK itu
mengalami perkembangan seirama dengan perkembangan pemahaman manusia itu
sendiri.
Seperti yang telah dikemukakan pada pembahasan terdahulu di atas bahwa PWG
ditujukan kepada orang-orang yang sudah dewasa (khususnya dewasa secara umur),
maka adalah sangat penting untuk membahas tentang hubungan antara PWG dengan
kehidupan keluarga. Mengapa penting ? Karena keluarga adalah merupakan lembaga
yang utama dan pertama berlangsungnya seluruh proses kehidupan serta pembinaan
kehidupan itu sendiri. Kehidupan yang terbangun dan tertata secara baik di dalam
keluarga merupakan dasar yang memberi implikasi yang sangat positif bagi
terciptanya suatu masyarakat yang baik dan bertanggung jawab, baik masyarakat
gereja maupun masyarakat suatu bangsa.
Di samping itu, PWG bagi keluarga-keluarga Kristen menjadi sesuatu yang tidak
bisa lagi ditunda-tunda oleh karena adanya suatu tuntutan realitas kehidupan yang
semakin sarat dengan tantangan. Tantangan itu bisa muncul dari factor internal,
seperti mundurnya kesetiaan antara suami istri, semakin sulitnya alokasi waktu untuk
keluarga karena telah tersita oleh waktu pekerjaan di luar rumah, dll, tetapi juga bisa
muncul dari factor eksternal, misalnya pengaruh lingkungan, pengarauh kuasa-kuasa
gelap, dan termasuk pula pengaruh kemajuan teknologi (dalam pengertian
ketidaksiapan keluarga tersebut menyambut kemajuan teknologi).
Dilandasi dengan pemaparan di atas maka gereja harus melaksanakan PWG
terhadap keluarga-keluarga Kristen dengan mengembangkan strategi pelaksanaannya
sebagai berikut :
• Bimbingan Pra-Nikah
Salah satu strategi pembinaan bagi keluarga-keluarga Kristen adalah pelaksanaan
bimbingan bagi orang-orang muda yang hendak berumah tangga atau mau
menikah. Dalam pembinaan tersebut dipaparkan secara komprehensif
(menyangkut dasar Alkitabnya, hirarki keluarga Kristen, etika keluarga Kristen,
dll) tentang arti pernikahan menurut konsep Alkitab. Artinya, bahwa bagi calon
pasangan suami istri sudah harus mempunyai pemahaman Alkitabiah yang jelas
tentang pernikahan Kristen dengan seluruh aspeknya. Materi untuk pembinaan
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 61
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
bimbingan pra-nikah telah tersedia banyak buku-buku Kristen. Salah satu yang
saya anjurkan adalah buku “Konseling Pra-Nikah” karangan Pdt. Dr. Jonathan A.
Trisna dan buku “Tujuh Pilar Pernikahan Kristen”, karangan Pdt. Jaliaman
Sinaga, M.Div. Sudah barang tentu, bisa saja ditambahkan dengan buku-buku
lain.
• Bimbingan Post-Nikah
Di samping bimbingan pra-nikah, maka yang sangat penting pula adalah
bimbingan yang harus dilakukan oleh gereja terhadap orang-orang yang sudah
menikah (post-nikah). Karena mereka (orang yang sudah berkeluarga) justru
menghadapi tugas dan tanggung jawab yang semakin kompleks dan itu berarti
pula bahwa masalahnya juga semakin kompleks.
Keluarga diperhadapkan dengan tanggung jawab memelihara keluarga yang
harmonis, meningkatkan ekonomi keluarga, mempertinggi prestasi kerja (karier),
mendidik anak-anak, membangun rohaninya, dll. Dalam kondisi seperti ini,,
biasanya muncul berbagai masalah dan itu berarti memerlukan solusi atau
pemecahannya.
Dilandasi dengan paparan di atas, maka tampak dengan jelas bahwa gereja
mempunyai tanggung jawab penuh terhadap pembinaan warganya. Pembinaan
dimaksud harus disiapkan sesuai dengan kebutuhan warga jemaat. Misalnya,
bagaimana membina keluarga harmonis ? Dalam hal ini perlu diadakan seminar-
seminar atau pembinaan-pembinaan berkala terhadap keluarga dengan
mengedepankan topik-topik yang berkenaan dengan keluarga, seperti: menjadi
suami atau istri idaman menurut sudut pandang Alkitab, menjadi orangtua teladan
dalam iman kepada anak-anak, membangun komunikasi yang sehat dalam
keluarga, membangun etika keluarga yang sehat, dll. Di samping itu, maka segi
lain yang perlu dibina adalah: misalnya, bagaimana membangun bisnis yang
sukses dan sesuai dengan terang iman Kristiani ? Dalam hal ini perlu diadakan
seminar-seminar atau pembinaan-pembinaan terhadap warga jemaat (khususnya
orang-orang dewasa) tentang dasar-dasar bisnis secara Alkitabiah, menjadi
pebisnis yang pandai membaca pasar, kreatif dan pantang menyerah, handal serta
terampil dalam memimpin bisnis. Dan tentu masih banyak lagi aspek yang perlu
mendapat perhatian dari PWG.
Tugas suruhan diterima karena ada yang menyuruh. Lazimnya yang lebih tinggi
derajatnya, yang lebih berkuasa, yang lebih berwenang menyuruh orang lain
melakukan sesuatu. Orang yang disuruh diharapkan menaati apa yang dimaksud atau
diperintahkan yang menyuruh. Ketaatan seperti itu diperlihatkan Tuhan Yesus Kristus
sampai akhir hayat-Nya (Flp. 2:8). Hubungan antara guru dan murid adalah hubungan
yang berisi suruhan. Kata “disiplin” terambil dari kata “discipel (Bel. : murid),
dengan kata lain, “disiplin” mengandung arti ketaatan yang disuruh oleh sang guru.
37
O.E.Ch. Wuwungan, Bina Warga: Bunga Rampai Pembinaan Warga Gereja (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1995), 49-62
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 62
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
Suruhan yang pertama-tama diterima oleh manusia ialah supaya mereka beranak
cucu dan bertambah banyak, memenuhi bumi dan menaklukkannya serta berkuasa
atas segala margasatwa (Kej. 1:28); menarik diperhatikan kata “berkuasa” dan daya
takluk manusia menjangkau seluruh bumi; perlu diingat bahwa menurut taksiran
terakhir penduduk dunia kini berjumlah lebih dari sembilan miliar). Versi yang lain
menceritakan bahwa manusia itu diberikan kepercayaan untuk mengelola kebun yang
bernama ‘taman Eden’ dan diberi perintah (mungkin terjemahan di sini lebih baik
‘izin’ untuk dengan bebas makan buah dari semua pohon di situ kecuali buah pohon
pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat. Bila melanggar perintah itu, manusia
pasti akan mengalami kematian (Kej. 2:15-17). Versi itu memperlihatkan bahwa
wilayah kewenangan manusia terbatas, yakni seluas taman itu. Baru setela ia
melakukan pelanggaran, ia ditempatkan dalam lingkungan yang lebih luas
kemungkinannya tetapi di luar batasan yang aman dan tenteram seperti taman Eden
(Kej. 3:23).
Suruhan yang dikaitkan dengan janji ditujukan kepada Abraham: “Pergilah dari
negerimu… Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati
engkau serta membuat namamu masyur” dan engkau akan menjadi berkat… (Kej.
12:1-2; ay. 3 merupakan kelanjutan janji Tuhan yang menyangkut hubungan Abram
dengan orang lain, baik secara pribadi maupun secara umum). Kembali tampak
bagaimana suatu suruhan mempunyai daya jangkau yang jauh dan luas. Tersirat di
situ suatu dimensi masa depan yang tidak akan dialami lagi oleh Abram sendiri. Janji
itu meliputi generasi-generasi yang pada peristiwa suruhan itu dilaksanakan belum
muncul ke permukaan sejarah dunia. Lima belas tahun setelah Abram berangkat dari
Haran (Kej. 17:1; bnd. Kej. 12:4) ketika sudah menetap di tanah Kanaan, janji itu
diperkokoh dengan suatu suruhan yang singkat: “Hiduplah di hadapan-Ku dengan
tidak bercela”. Ada perubahan dalam janji di sini: ‘engkau akan menjadi bapa
sejumlah besar bangsa’ (ay. 4b dan 5b, sedangkan pada 12:2a:.. engkau menjadi
bangsa yang besar,…’). Itu berarti bahwa Tuhan yang menyebut diri-Nya ‘Allah
Yang Mahakuasa’ (17:1), berkenan menyangkutkan bangsa-bangsa ke dalam
perjanjian-Nya dengan Abram. Itu dipertegas lagi dengan ungkapan: ‘engkau akan
Kubuat menjadi bangsa-bangsa,…. (ay. 6) dan nama Abram digantikan-Nya dengan
nama ‘Abraham’, yang artinya “bapa sejumlah besar bangsa” (ay. 5). Perjanjian itu
bersifat ‘kekal’ (ay. 7) dan berlaku bagi seluruh keturunan Abraham, bahkan Sarai
pun, yang kemudian diberi nama baru Sara, turut menerima berkat Tuhan, sehingga ia
menjadi ibu bangsa-bangsa; raja-raja bangsa-bangsa akan lahir dari padanya (ay.
16b). Yang aneh, dalam perjanjian itu tersirat suatu suruhan yang berlaku bagi
Abraham dan keturunannya dan seisi rumahnya, yakni setiap laki-laki harus disunat
(ay. 10-11a, 12-13a). Sunat adalah tanda perjanjian itu (ay. 11b), yang diterangkan
lebih jauh pada ay. 13b: “maka dalam dagingmulah perjanjian-Ku itu menjadi
perjanjian yang kekal”.
Itulah kekhasan suruhan kepada Abraham. Tentang sunat ini rasul Paulus
memberi tanggapannya (Rm. 2:25-29), bahwa keadaan bersunat tak ada gunanya
kalau seseorang tidak mentaati hukum Taurat. Ia menekankan sunat di dalam hati
daripada sunat secara lahiriah, yang hanya memperlihatkan keyahudian seseorang.
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 64
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
bangsa, …Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus” (ay.
5b-6a). Isi janji itu bergema terus dan terpantul dari ucapan antara lain penulis surat 1
Petrus, di mana kedudukan yang istimewa itu dikaitkan dengan tugas suruhan:
“memberitakan perbuatan-perbuatan besar dari Dia, yang telah memanggil kamu
keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib” (1 Petrus 2:9).
Dengan kata lain, tugas suruhan Musa kepada bangsanya dimaksudkan untuk
membangkitkan kesadaran kepada bangsa itu bahwa mereka juga mengemban tugas
suruhan yang khusus di antara bangsa-bangsa (bnd. Mi. 5:6; Yes. 49:6b). Malah
dalam keadaan terjepit dan tertindas sebagai bangsa buangan sekalipun, mereka harus
berupaya untuk mewujudkan kesejahteraan untuk seluruh masyarakat di mana mereka
tinggal (Yer. 29:7). Bangsa yang diistimewakan itu tidak terlepas dari amanat Tuhan
berupa dasa titah yang merupakan jawab bangsa itu atas keselamatan yang Ia telah
berikan kepada mereka (Kel. 20:1-2). Hukum yang disampaikan Tuhan bukan
merupakan syarat untuk mendapatkan pembebasan dan keselamatan, karena
pembebasan dan keselamatan telah diperoleh umat lebih dulu. Kini keselamatan yang
diterimanya itu harus tercermin dalam hidupnya sehari-hari, dalam baktinya kepada
Tuhan dan kepada sesamanya (bnd. Mat. 22:36-40; Rm. 13:9-10). Patut pula
diperhatikan bahwa apa yang bangsa itu ikrarkan: “segala yang difirmankan Tuhan
akan kami lakukan” (Kel. 19:8), harus mereka buktikan sungguh-sungguh dalam
hidup (bnd. Rm. 12:1-2).
Kita telah memperoleh gambaran sepintas tentang tugas suruhan pada masa pra-
Keluaran, pada masa Keluaran itu sendiri, pula pada masa Pembuangan (Yer. 29).
Kini kita beralih ke masa-masa akhir Pembuangan dan sesudahnya.
Penulis pasal 66 kitab Yesaya menyatakan bahwa ada orang-orang yang terluput
yang akan diutus kepada bangsa-bangsa untuk memberitakan kemuliaan Tuhan dan
untuk membawa kembali orang-orang seiman yang tercecer di antara bangsa-bangsa
ke Yerusalem, ke pusat peribatan dan bahwa dari antara mereka akan ada yang
dijadikan imam dan orang Lewi (ay. 18-21). Dengan kata lain, bangsa-bangsa juga
dijadikan sasaran suruhan dan diperkenankan menyaksikan kemuliaan Tuhan. Di
gunung Sinai hanya umat yang kudus yang boleh menyaksikannya, atau lebih tegas,
hanya Musa yang boleh mendekatinya. Pikiran-pikiran serupa muncul di pasal 61 di
mana dikatakan bahwa hanya umat yang dapat disebut “imam Tuhan” dan ‘pelayan
Allah’ yang akan menikmati kekayaan bangsa-bangsa (ay. 6). Perlu pula diperhatikan
kata-kata yang ditujukan kepada umat, bahwa mereka akan mengalami “sukacita
abadi” (ay. 7d) dan Allah akan mengikat perjanjian abadi dengan mereka (ay. 8d),
dan bahwa keturunan mereka akan menjadi terkenal di antara bangsa-bangsa dan
akan disebut keturunan yang diberkati Tuhan (ay. 9a, d). Bangsa-bangsa di sini
berada di luar lingkaran berkat. Sang nabi rupanya hanya diutus untuk orang-orang
yang terkena musibah dari bangsanya. Ia digerakkan oleh Roh Tuhan Allah untuk
membawa kabar baik kepada orang-orang itu (ay. 1-3b). Di masa Perjanjian Baru,
para murid Tuhan Yesus harus lebih dulu menunggu kuasa Roh Kudus sebelum
membawa kabar baik ke seluruh dunia (Kis. 1:8). Juga di Yesaya 58 berita nabi
ditujukan kepada bangsanya sendiri dengan suruhan supaya menyatakan dengan tegas
dosa dan pelanggaran umat (ay. 1). Umat diajak untuk bertobat dari kebiasaan yang
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 66
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
salah dalam hal berpuasa (ay. 3c-4b,5). Kemudian disingkapkan makna sesungguhnya
mengenai puasa: membuka belenggu kelaliman, melepaskan tali kuk, memerdekakan
orang yang teraniaya, mematahkan setiap kuk, memecahkan roti bagi yang lapar,
membawa ke rumah orang miskin yang tak punya rumah, memberi pakaian kepada
orang yang telanjang, dan tidak menyembunyikan diri terhadap sesama. Kita lihat di
sini bagaimana berita itu mengandung unsure-unsur diakonal atau pelayanan.
Pelayanan itu memancarkan kasih terhadap sesama yang memerlukan pertolongan.
Pada waktu sikap hidup itu diambil, maka segala hubungan yang retak akan pulih
kembali, juga hubungan dengan Allah (ay. 8b, 9a.b). Dan umat akan menjadi fajar
yang memancarkan terang (ay. 8a, 10c). Kata terang itu dirangkaikan dalam kalimat-
kalimat suruhan yang ditujukan khusus kepada ‘kota Tuhan’ (yakni Sion): “menjadi
teranglah” (60:1). Kota itu menjadi terang karena terang Tuhan terbit atasnya (ay. 2c).
Daya tarik sinar kota itu begitu kuat sehingga bangsa-bangsa berduyun-duyun dating
kepadanya (ay. 3). Terang itu menyatakan kemuliaan Tuhan (ay. 2d) yang bersinar-
sinar dan disaksikan oleh bangsa-bangsa, sehingga orang-orang dari Syeba
memberitakan perbuatan-perbuatan masyur Tuhan (ay. 6d). Kebanggaan abadi kota
itu (ay. 15b) dan keagungannya (ay. 19d) disebabkan karena Tuhan hadir di dalamnya
sebagai penerang abadi (ay. 19c, 20c). Tuhan itu akan dikenal sebagai Juruselamat,
Penebus, Yang Mahakuasa (ay. 16c). Selain kebutuhan-kebutuhan spiritual seperti
damai sejahtera dan keadilan yang akan melindungi dan mengatur hidup (ay. 17d,e),
Tuhan pula memenuhi kebutuhan-kebutuhan material (ay. 17a-c). Kota itu juga akan
terhindar dari kekerasan dan keruntuhan (ay. 18a-b). Dalam pada itu pasal 62
menggemakan nubuat bahwa dengan dipulihkannya semarak kota itu di masa depan,
Tuhan akan membawa kembali umat-Nya yang tersebar, yang akan disebut bangsa
kudus, orang-orang tebusan Tuhan (ay. 10-12). Dan kota itu akan menjadi pusat
perhatian bangsa-bangsa bila kelak kebenarannya bersinar seperti cahaya dan
keselamatannya menyala seperti suluh (ay. 1c.d).
Gambaran akhir zaman ini di mana Tuhan berperan sebagai penerang abadi, titik
pusat ke mana semua bangsa akan bergerak untuk memperoleh kesejahteraan mereka,
memantul ke Perjanjian Baru, kitab Wahyu. Pada waktu tidak ada lagi Bait Allah
karena Tuhan sendiri adalah Bait Suci kota itu (21:22). Dan tidak perlu penerang,
karena Allah sendiri dan Anak Domba adalah penerangnya (ay. 23-22:5b). Perkataan
Allah yang pertama dalam menciptakan alam semesta adalah kalimat suruhan:
“Jadilah terang” (Kej. 1:3). Lalu terang itu jadi (ay. 4). Firman mewujud nyata,
menyatu dalam suruhan Allah. Kejadian mengawali gerak tindak Allah dengan terang
dan Wahyu menerima pantulan berita lewat lintasan sejarah orang-orang beriman dan
menutupnya pula dengan peran Allah sendiri sebagai Terang. Dalam lingkaran
Terang itu umat-Nya bergerak. Itulah sebabnya penulis surat 1 Yoh. Bersaksi tentang
Allah adalah terang (1:5) dan mengajak untuk hidup dalam terang supaya dapat
dibersihkan dari dosa oleh darah Yesus dan memperoleh persekutuan yang sejati
dengan sesama (ay. 7).
Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG) 67
Disiapkan oleh : Pdt. Dr. Frans Pantan
7. PWG dan kaitannya dengan tugas warga gereja untuk membangun bangsa
Manusia adalah subjek atau pelaksana pembangunan dan sekaligus dia harus
dibangun untuk dapat membangun. Membangun manusia pembangun, atau
pendidikan kea rah kedewasaan dan ketrampilan untuk pembangunan sebagai bagian
dari suatu rencana tenaga manusia (manpower planning) yang menyeluruh
merupakan salah satu bagian yang penting dalam tugas PWG. Dalam rangka inilah,
warga gereja sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia perlu dimampukan yang
pada akhirnya dapat memberikan pengabdian kepada pembangunan nasional dalam
segala aspek.
Partispasi orang-orang Kristen sebagai warga gereja yang baik dan beriman di
Indonesia harus ditujukan kepada kesejahteraan umum bangsa Indonesia sebagai
keseluruhan sebab hanya dalam rangka kesejahteraan umum itulah kesejahteraan
orang Kristen di Indonesia dapat diperkembangkan. Partispasi berarti kerjasama
dalam kerendahan hati dengan semua golongan. Salah satu tugas bangsa kita dalam
pembangunan ialah untuk berusaha memahami dengan hati dan pikiran yang terbuka
terhadap hal-hal yang harus diatasi, seperti hal-hal psikologis, hal-hal strukturil,
communication gap diantara berbagai golongan, dll, agar semua warga Negara
dengan berbagai latar belakang keagamaan, kebudayaan, keturunan yang beraneka
ragam dan yang termasuk generasi-generasi yang berlain-lainan, dapat sepenuhnya
berpartisipasi secara bahu membahu dalam pembangunan itu.
Hal-hal yang dipaparkan di atas harus menjadi salah satu “concern” dari materi PWG.
Hanya dengan demikianlah maka warga gereja sebagai warga bangsa dapat
menyiarkan dan sekaligus menterjemahkan “shalom” kepada dunia di mana ia
dihadirkan oleh Tuhan sebagai alat kesaksian-Nya. Karena itu, seperti yang dikatakan
oleh Brother Lawrence (seorang guru masak di dalam salah satu biara di Perancis)
berkata “janganlah kita berusaha merubah apa yang kita kerjakan tetapi rubahlah
sikap kita terhadap apa yang kita kerjakan”. Artinya bahwa setiap orang Kristen,
biarlah ia mengerjakan apa yang harus dikerjakannya sesuai dengan kemampaun yang
dianugerahkan oleh Tuhan kepadanya. Tetapi yang penting adalah di atas semua yang
dikerjakan itu agar nama Tuhan yang disaksikan. Oleh karenanya, keikutsertaan umat
Kristiani (warga gereja) dalam pembangunan adalah motif yang fundamental dan
elementer sekali. Apalagi dalam nasion Indonesia, dimana kita sebagai umat Kristen
mutlak bertanggung jawab atas pembangunan dan kemajuan bangsa maka gereja dan
umat Kristen harus solider dengan seluruh rakyat. Namun fungsi kritis daripada
gereja tidak boleh ditinggalkan.
investment”, maka ada dua konsentrasi yang saya tawarkan untuk dikerjakan oleh
gereja dalam membina warganya adalah:
• Pembinaan Kepribadian atau “Karakter”. Setiap warga gereja
diharapkan memiliki kepribadian yang matang yaitu: memiliki sikap yang positif,
dapat memahami orang lain, memiliki tutur bahasa yang tepat, memiliki wawasan
yang luas, dan dapat merealisasikan cita-cita. Apabila warga gereja memiliki
tingkat kematangan kepribadian seperti ini maka mereka dipastikan dapat menjadi
berkat bagi orang-orang yang ada di sekitarnya dan bahkan bagi bangsa-bangsa.
• Pembinaan Ketrampilan. Setiap warga gereja harus dibina dan
dipersiapkan dalam berbagai ketrampilan (ketrampilan kerja dan pelayanan yang
menunjukkan kualitas tinggi dari kinerja umat Tuhan) sehingga karya-karyanya
dapat disaksikan dan dirasakan oleh sesamanya. Karena hanya dengan
demikianlah, warga gereja sebagai anak Tuhan dapat menjadikan dirinya sebagai
mediator berkat Allah yang efektif bagi sesamanya dan bahkan dunia di mana ia
dihadirkan oleh Tuhan.