Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

II.1 LATAR BELAKANG

Dewan Pastoral Paroki (Consilium Pastorale Paroeciale) merupakan persekutuan pelayan

umat yang terdiri dari umat beriman dan diketuai oleh pastor paroki. (Adi, skripsi, 2017). Selain

itu, Dewan Pastoral Paroki (DPP) adalah suatu badan Gerejawi, yang terdiri dari utusan umat dan

Klerus dan bertugas untuk merencanakan, mengutuskan, melaksanakan, dan mengevaluasi

kebijakan dan Program Pastoral di Paroki (Ruteng, 2021) .Dewan Pastoral Paroki dibentuk oleh

Uskup berdasarkan Surat Keputusan. DPP sebagai wakil umat berpartisipasi dalam semangat

kebersamaan dan bersama-sama dengan Pastor Paroki memikirkan, memutuskan, merencanakan,

melaksanakan dan mengevaluasi apa yang perlu atau bermanfaat untuk mewartakan Sabda Allah

(Wicaksono, 2012). Dewan Pastoral Paroki merupakan orgnisasi bagi kaum awam untuk

mewujudkan partisipasi dan tanggungjawab dalam karya perutusan Gereja. Dewan pastoral

paroki juga sekaligus menjadi sarana mewujudkan perutusan Gereja sebagaimana yang telah

dijelaskan di atas. Dewan Pastoral Paroki dipilih dari umat beriman yang berada dan berdomisili

dalam wilayah paroki serta memiliki iman dan moral yang baik. Selain itu, DPP juga dalam

menjalankan tugasnya perlu dibekali dengan pengetahuan dan ketrampilan melaksanakan tugas-

tugas pastoral.

Dewan Pastoral Paroki (DPP) didirikan sebagai sebuah organ baik yang memiliki landasan

teologis, maupun yuridis, di mana melalui organisasi ini terealisasi partisipasi dan kerjasama

para imam, religius dan terutama kaum awam dalam karya pastoral Gereja. Dengan demikian,

melalui representasi Dewan Pastoral Paroki, semua kaum beriman mewujudkan kehadiran
Gereja sebagai Persekutuan(Communio). Terlaksananya perutusan umat Allah dan panggilan

untuk ikut serta secara aktif dalam hidup dan karya pastoral paroki adalah tujuan dari

terbentuknya Dewan Pastoral Paroki (Jehaut, 2023). Dewan Pastoral Paroki hanya memiliki

suara yang bersifat konsultatif. Dengan kata lain, keputusan utama tetap dipegang oleh pastor

paroki namun dalam pengambilan keputusan pastor paroki dapat berkonsultasi dengan dewan

pastoral (jehaut, 2020).

Tujuan pembentukan Dewan Pastoral Paroki adalah untuk membantu reksa pastoral pastor

paroki sekaligus juga untuk mengembangkan kegiatan pastoral paroki. Tugas ini merupakan

bagian dari partisipasi umat (Kan. 228). Selain itu, fungsi utama dari Dewan Pastoral Paroki

adalah pelayanan. Pelayanan pastoral ini bertujuan untuk memajukan perkembangan hidup

Gereja. Fungsi pelayanan DPP sebenarnya mencerminkan fungsi pelayanan Gereja dalam

berbagai bidang seperti Koinonia (persekutuan), Kerygma (Pewartaan), dan Diakonia

( pelayanan) (Yokit, 2022).

Salah satu tugas pelayanan untuk mewartakan sabda Allah yang dilakukan oleh Dewan

Pastoral Paroki adalah katekese. Katekese ialah kegiatan pembinaan iman untuk anak-anak ,

kaum muda, dan orang-orang dewasa. Kegiatan katekese mencakup penyampaian ajaran kristen,

yang diberikan secara organis dan sistematis, dengan maksud mengantar para pendengar

memasuki kepenuhan hidup kristen. Dengan kata lain, katekese adalah usaha Gereja untuk

menolong umat agar semakin memahami, menghayati, dan mewujudkan imannya dalam

kehidupan sehari-hari. Di dalamnya terdapat unsur pewartaan, pengajaran, pendidikan,

pendalaman, pembinaan, pengukuhan serta pendewasaan (Denar, 2021).

Tujuan akhir katekese adalah menempatkan seseorang bukan hanya dalam hubungan dengan

sesama, melainkan dalam Persekutuan dan keintiman dengan Yesus Kristus. Yesus sendiri
dapat mengantar kaum beriman kepada cinta kasih Bapa dalam Roh dan dapat membuat kkaum

beriman mengambil bagian dalam kehidupan Tritunggal kudus. Katekese mematangkan

pertobatan awal dan membantu orang-orang kristiani untuk memaknai sepenuhnya keberadaan

mereka, dengan mendidiknya menuju mentalitas iman yang selaras dengan injil,hingga secara

bertahap merasa, berpikir dan bertindak seperti Kristus (Sande, 2020).

Dalam kegiatan katekese Dewan Pastoral Paroki bertugas sebagai fasilitataor. Tugas

pelayanan dalam bidang kerygma ini biasanya dilaksanakan oleh seksi katekese yang dibawa

naungan Dewan Pastoral Paroki. Tugas katekis adalah mengembangkan iman umat dalam hidup

menggereja melalui pengajaran, pendampingan dan kesaksian hidup kristiani, sehingga iman

umat menjadi hidup, disadari dan penuh daya (Kan.773). Dalam hal ini, Dewan Pastoral Paroki

mempunyai peran penting dalam meningkatkan partisipasi umat dalam pelaksanaan katekese.

GAMBARKAN PELAKSANAAN KATEKESE SECARA UMUM

BERDASARKAN BUKU ATAU PENELITIAN LAIN SEBELUM ANDA MASUK

DALAM KONTEKS WERANG

Penerapan kegiatan katekese di paroki St. Klaus Werang sudah terbilang baik.

Antusiasme umat terbilang positif dalam kegiatan katekese. Tetapi dalam pelaksanaan kegiatan

katekese, belum sepenuhnya dijalankan secara maksimal karena fasilitator kurang memiliki

pemahaman dan kertrampilan dalam bidang kateketik. Hal ini menyebabkan umat kurang

berminat dalam katekese (Sumber Bpk Fransiskus Bin). Bertolak dari kenyataan semaca ini,

maka Dewan Pastoral Paroki hendaknya benar-benar mempersiapkan diri, baik pemahaman

akan materi katekese dan ketrampilan memandu kegiatan katekese, agar umat terdrong dna

termotivasi mengikuti kegiatan katekese. Berdasarkan latar belakang sebagaimana digamabrkan


di atas, maka penulis terdodrong untuk melaksankan penelitian dengan judul : “Peran Dewan

Pastoral Paroki Dalam Meningkatan Partisipasi Umat Dalam Kegiatan Katekese Di Paroki St.

Klaus Werang”

II.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan rumusan latar belakang diatas, maka batasan masalah dari penelitian ini

adalah kurangnya minat umat untuk mengikuti kegiatan katekese. Berdasarkan Batasan

masalah ini, maka rumusan permasalahan yang mau diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Apa faktor yang mempengaruhi partisipasi umat dalam kegiatan katekese?

2. Apa dampak dan pengaruh partisipasi umat kegiatan katekese bagi kehidupannya?

3. Bagaimana upaya dari Dewan Pastoral Paroki dalam meningkatkan partisipasi umat dalam

kegiatan katekese?

II.3 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan yang ingin dicapai dari tulisan ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi partisispasi umat dalam kegiatan katekese.

2. Untuk mengetahui dampak dan pengaruh partisipasi umat dalam kegiatan katekese.

3. Untuk mengetahui upaya dari Dewan Pastoral Paroki dalam meningkatkan partisipasi

umat dalam kegiatan katekese.

II.4 MANFAAT PENULISAN

Penelitian dan penulisan ini diharapkan dapat membawa manfaat bagi berbagai pihak

yang berkepentingan, antara lain:


1. Lembaga Pendidikan Sekolah Tinggi Pastoral (Stipas) St. Sirilus Ruteng

Lembaga pendidikan STIPAS St. Sirilus Ruteng dapat meningkatkan keterampilan para

mahasiswa sebagai calon katekis untuk menanggapi dan memecahkan masalah di tengah

umat sehingga mahasiswa memiliki bekal yang cukup saat menerapkan ilmu pendidikan

yang mereka terima di kampus dengan situasi konkret yang dialami di lapangan.

2. Bagi Dewan Pastoral Paroki St. Klaus Werang. Para Dewan Pastoral Paroki semakin

menyadari pentingnya peran mereka dalam meningkatkan partisipasi umat dalam

kegiatan katekese yang terjadi di Paroki St. Klaus Werang.

3. Bagi Penulis

Sebagai calon Guru Pendidikan Agama Katolik (PAK), tulisan ini akan menjadi bekal

bagi penulis guna menambah wawasan dan pengetahuan untuk dipergunakan dalam tugas

pelayanan sebagai katekis dan Guru Pendidikan Agama Katolik. Tulisan ini juga menjadi

salah satu persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan di Stipas St. Sirilus Ruteng dan

memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1).

1.5. SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan skripsi ini akan mengikuti sistematika pembahasan sebagai berikut:

Bab I. Pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan,

manfaat penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II. Kajian Pustaka. Bab ini diuraikan beberapa gagasan pokok tentang Dewan Pastoral

Paroki, Partisipasi Umat dan Katekese. Dalam pembahasan tentang Dewan Pastoral Paroki

dijelaskan beberapa hal berkaitan penegrtian, tujuan dan fungsi Dewan Pastoral Paroki.
Selanjautnya dijelasakan tentang Partisipasi Umat dan pengertian katekese, dasar dan tujuan

serta sejarah dan berbagai model katekese.

Bab III. Metodologi Penelitian. Bagian ini berisikan penjelasan tentang metode penelitian yang

meliputi jenis dan pendekatan penelitian, lokasi, waktu dan sumber data, sistematika penulisan.

Bab IV. Laporan Hasil Peneleitian. Bagian ini berisikan laporan hasil penelitian, analisis dan

pembahasan atas hasil atau temuan penelitian.

Bab V. Penutup. Bagian ini berisikan beberapa kesimpulan dan saran

1.6. PENJELASAN ISTILAH

1.6.1. Dewan Pastoral Paroki. Dewan Pastoral Paroki (DPP) adalah suatu badan Gerejawi,

yang terdiri dari utusan umat dan Klerus dan bertugas untuk merencanakan,

mengutuskan, melaksanakan, dan mengevaluasi kebijakan dan Program Pastoral di

Paroki

1.6.2. Katekese. Katekese ialah pembinaan anak-anak , kaum muda, dan orang-orang dewasa

dalam iman, yang khususnya mencakup penyampaian ajaran Kristen, yang pada

umumnya diberikan secara organis dan sistematis, dengan maksud mengantar para

pendengar memasuki kepenuhan hidup Kristen.

1.6.3. Partisipasi.

CATATAN:

 Bagian pendahuluan, khususnya latar belakang, anda perlu masukan pandangan ahli
atau hasil penelitian tentang kurangnya minat umat terhadap katekese sebelum anda
gambarkan situasi di paroki werang.
 Dalam sistematikan pembahasan, anda harus tambahkan unsur-unsur yang mau dibahas
berkaitan dengan DPP, Katekese dan Peran DPP dalam katekese
 Penjelasan istialah: anda harus tambahkan penjelasan tentang partisipasi.
 Perhatikan penggunaan tanda baca, huruf besar dan huruf kecil, Bahasa Indonesia yang
baik dan benar.
 Minta bantuan orang untuk membaca tulisan anda sebelum diserahkan kepada pembimbing.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

II.5 DEWAN PATORAL PAROKI

II.5.1 Pengertian Dewan Patoral Paroki

Dewan Pastoral Paroki (DPP) dalam bahasa Latin disebut “Consilium Pastorale”.

Kata “consilium” memiliki arti yang berbeda dengan kata “Concilium”. Consilium

berarti dewan atau nasehat, sedangkan concilium diartikan sebagai konsili atau sinode.

Consilium sebagai dewan atau nasehat, selalu mengandung pada sifat konsultatif. Kata

konsultatif sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu “consulere” yang berarti memberi

saran, menasehati, berunding, dan musyawarah. Maka secara harifiah, DPP merupakan

dewan konsultatif yang bertugas memberi saran dan nasehat demi pengembangan

pastoral di dalam Gereja (Yokit, 2022).

Menurut Kitab Hukum Kanonik, Dewan Pastoral Paroki (DPP) merupakan

himpunan atau badan konsultatif yang dibentuk atas dasar keputusan uskup, yang di

dalamnya berkumpul para wakil umat Allah dengan Pastor Paroki sebagai kepala, yang

berfungsi membantu penyelenggaraan dan pengembangan karya pastoral di paroki yang

bersangkutan. Singkatnya, DPP adalah badan konsultatif yang bertugas membantu pastor

paroki untuk membuat kebijakan dalam reksa pelayanan pastoral. Oleh karena itu, Dewan
Pastoral Paroki sangatlah berbeda dengan Dewan Pastoral Keuskupan sebagaimana di

maksud dalam Kan.551( Ibid hal.2).

Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dijelaskan diatas dapat disimpulkan

bahwa Dewan Pastoral Paroki adalah dewan penasehat yang memiliki suara konsultatif

untuk membantu pastoral paroki dalam mengembangkan karya pastoral.

II.5.2 Tugas dan Peran Dewan Pastoral Paroki

Pertama, Dewan Pastoral Paroki (DPP) bertugas dan bertanggungjawab untuk

membantu Pastor Paroki sebagai gembala spiritual umat (bdk. CD 30;Kan.519). Tugas

Dewan Pastoral Paroki adalah mempelajari, memeriksa semua yang berkaitan dengan

kegiatan pastoral, dan kemudian menyampaikan kesimpulan-kesimpulan praktis, untuk

mendorong kesesuaian hidup dan tindakan Umat Allah dengan Injil (Paus Paulus

VI,PPKP, 110). Kedua, Dewan Pastoral Paroki (DPP) bertugas dan bertanggung jawab

dalam merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan dan mengendalikan seluruh

program dan kegiatan umat (Kontekstual) dan berjejaring satu sama lain (integral).

Ketiga, Dewan Pastoral paroki (DPP) bertugas dan bertanggungjawab dalam karya

pewartaan Gerja untuk mewartakan Injil seperti katekese sakremental dan ketekese umat

(Kan.773,779), rekoleksi, retret, pembacaan dan perenungan Kitab Suci, seminar

pembaharuan hidup rohani, pewartaan melalui media komunikasi sosial, serta mendorong

agar kehidupan keluarga dan umat beriman diinspirasi oleh Sabda Allah. Keempat,

Dewan pastoral Paroki (DPP) bertugas dan bertanggung jawab untuk mengordinasi

seluruh organisasi katolik dan lembaga katolik yang ada di paroki dengan menghargai

otonomi masing-masing, mendorong dialog dan kerja sama antara mereka untuk

membangun kehidupan pastoral paroki yang integral. Kelima, Dewan Pastoral Paroki
(DPP) bertugas dan bertanggung jawab untuk mendorong berkembangnya persekutuan

hidup kelompok terirorial (KBG) dan ketegorial (Kelompok anak remaja, orang muda,

keluarga, komunitas rohani) di paroki (Ruteng P. p., 2021). SUMBER APA INI….

Dalam mewujudkan peranan sebagai Dewan Pastoral Paroki, kemampuan

berpikir bagi para anggota menjadi sangat penting. Selain aktivitas berpikir,

kesanggupan dan kecerdasan dalam membuat keputusan juga merupakan suatu keharusan

yang mesti dimiliki oleh para anggota Dewan Pastoral Paroki. Dalam proses pengambilan

setiap keputusan juga perlu diperhatikan perwujudan cita rasa menggereja yang sejati,

sehingga keputusan yang diambil sungguh merupakan buah pemikiran bersama yang bisa

dijadikan milik serta komitmen seluruh umat (Pandoyoputro, 58). Setelah membuat

Keputusan, Dewan Pastoral Paroki memiliki tugas untuk melaksanakan apa yang

menjadi hasil kesepakatan atau musyawarah bersama. Hal yang perlu diperhatikan oleh

Dewan Pastoral Paroki adalah memastikan keberlangsungan dan pelaksanaan apa yang

telah menjadi kesepakatan bersama itu. Hal itu dilakukan demi tercapainya tujuan.

Singkat kata, Dewan Pastoral Paroki hendaknya memikirkan dan mempertimbangkan

secara matang, serta membuat Keputusan atas nama umat dan untuk seluruh umat, serta

mengupayakan pelaksanaan keputusan dan kebijakan bersama seluruh umat (Yulius Defri

Sudi, dkk, 2022).


II.5.3 Tujuan Dewan Pastoral Paroki

Konsili Vatikan II menekankan bahwa paroki ada untuk menyediakan pelayanan

pastoral umat kristiani, untuk mengajar, untuk menguduskan, dan untuk memerintah agar

dapat memahami tempatnya dalam Gereja Universal. Konsili Vatikan II memuat seruan

yang kuat untuk berkolaborasi antara umat awam dengan mereka yang bertanggung

jawab atas kepemimpinan pastoral di semua tingkatan Gereja. Setiap paroki hendaknya

mempunyai Dewan Pastoral Paroki untuk membantu pastor dalam melayani umat.

Dewan Pastoral Paroki adalah badan penasehat yang membantu pastor untuk memahami

kebutuhan paroki dan membantu melaksanakan rencana untuk memenuhi kebutuhan

paroki. Dewan Pastoral Paroki membantu pastor paroki untuk membimbing paroki

menuju pemenuhan misi Gereja dalam panggilannya untuk pelayanan dan evangelisasi.

Meskipun otoritas tertinggi dan akuntabilitas berada di tangan Pastor Paroki berdasarkan

Hukum Kanonik, keputusan harus dibuat dengan cara kolaboratif dan kolegial (Calgary,

2013).

Tujuan terbentuknya Dewan Pastoral Paroki adalah demi terlaksannya panggilan

dan perutusan Umat Allah dengan berpartisipasi secara aktif dalam hidup dan kegiatan

pastoral paroki. Maksudnya ialah umat dipanggil tidak hanya untuk berkarya, sibuk serta

tenggelam dalam aneka kegiatan (bahaya aktivisme), melainkan juga dan pertama-tama

untuk menghayati imannya sebagai umat paroki, bukan hanya sebagai serikat kerja,

melainkan umat Allah yang hidup. Sulit dibayangkan partisipasi semua warga paroki

dalam semua kegiatan paroki berupa tugas-tugas khusus yang terbatas jumlahnya. Karena

itu, secara organisatoris dan kelembagaan partisipasi umat dijalankan melalui perwakilan
Dewan Pastoral Paroki. Hendaknya dibedakan antara hidup dan karya, semua umat

dipanggil untuk berpartisipasi dalam hidup paroki yang sangat bersifat operasional, yakni

terlaksananya panggilan dan perutusan umat Allah (Yulius Defri Sudi, dkk, 2022).

Dewan Pastoral Paroki mempunyai tanggungjawab untuk memastikan bahwa rencana

yang sudah dibuat bisa dilaksanakan, dan selanjutnya perlu dibuat evaluasi atas apa

yang terjadi di paroki serta kesesuaiannya dengan Injil. Perencanaan yang hanya

mengharapkan imam/pemimpin pastoral awam untuk melakukan pekerjaan bukanlah

perencanaan yang baik dan benar.

2.1.4. Fungsi Dewan Pastoral Paroki

2.1.4.1. Fungsi utama DPP

Fungsi utama Dewan Pastoral Paroki adalah pelayanan. Dalam konteks ini, pelayanan ini

berciri pastoral karena bertujuan memajukan perkembangan Gereja. Hal ini berarti

Dewan Pastoral Paroki melayani segala kebutuhan umat dalam bidang pastoral, seperti

malayani dalam bidang pewartaan dan katekese. Fungsi pelayanan Dewan Pastoral

Paroki mencerminkan fungsi pelayanan Gereja dalam bidang koinonia (persekutuan),

kerygma (pewartaan), liturgia (peryaan), dan diakonia (pelayanan).

2.1.4.2. Fungsi Representatif

Fungsi Dewan Pastoral Paroki adalah menunjukkan jalan untuk mencapai tujuan yang

sudah dirumuskan dengan jelas. Ada beberapaa fungsi terbentuknya Dewan Pastoral

Paroki, antara lain sebagai wadah perwakilan umat. Fungsi ini hendak menekankan

bahwa tanggung jawab umat dengan ribuan warga sulit dilaksanakan tanpa perwakilan

oleh kelompok kecil, yang dipilih untuk membawakan suara umat kepada dewan dan

menyampaikan rencana dan keputusan dewan kepada umat. Dari fungsi representatif ini
jelas bahwa para anggota Dewan Pastoral Paroki hendaknya bersikap merakyat,

menampung suara umat, mengenal umat dalam arti seluas-luasnya, khususnya

sehubungan dengan tugas-tugas pastoral (Yulius Defri Sudi, dkk, 2022).

Berdasarkan uraian di atas, maka fungsi Dewan Pastoral Paroki secara singkat

dapat dikatakan sebagai berikut: Pertama, sebagai wadah struktural dan fungsional dalam

melaksanakan tanggungjawab bersama dan menunjukkan partisipasi umat dalam hidup

menggereja; Kedua, sebagai dewan musyawarah dan kerjasama, di mana pastor paroki

dan wakil umat memberikan pertimbangan, penilaian, pendapat dan usulan, dalam rangka

membantu Ketua Umum mengambil keputusan mengenai semua persoalan yang

menyangkut seluruh komunitas paroki (Wisaksono, 2013).

2.1.5. Wewenang Dewan Pastoral Paroki

Wewenang Dewan Pastoral Paroki dapat digambarkan sebagai berikut:

Petama, Dewan Pastoral Paroki (DPP) berwenang memberikan penilaian dan

pertimbangan terhadap situasi dan kebijakan pastoral. Kedua, Dewan Pastoral Paroki (DPP)

, dalam kesatuan dengan pastor paroki berwenang untuk mengambil keputusan mengenai

kebijakan, program dan kegiatan pastoral di paroki dan mempertanggungjawabkannya

kepada Uskup Diosesan dan/atau ordinaris wilayah yang mewakilinya (Vikep). Ketiga,

Dewan Pastoral Paroki (DPP) dalam kesatuan dengan pastor paroki berwenang

mengordinasi dan melaksanakan reksa dan program pastoral Paroki.

Selain itu, Dewan Pastoral Paroki berwenang mengambil keputusan reksa pastoral

paroki sesuai dengan Arah Dasar Pastoral Keuskupan. Dewan Pastoral Paroki

bertanggung jawab atas pelaksanaan keputusan reksa pastoral paroki kepada Uskup
Diosesan. Wewenang Dewan Pastoral Paroki pada dasarnya bercorak konsultatif. Fungsi

konsultatif ini dimaksudkan bahwa bilamana dewan mengadakan musyawarah untuk

mufakat, berdasarkan jabatan dan fungsinya yang khas pastor paroki menjadi penentu

keputusan terakhir berdasarkan masukan dan pendapat yang sah dalam forum tersebut.

Hal ini berarti Dewan Pastoral Paroki tidak bisa membuat keputusan atau kebijakan

pastoral dalam suatu rapat tertentu tanpa diketahui oleh pastor paroki. Keputusan

semacam itu dengan sendirinya tidak sah. Wewenang konsultatif berlaku pertama-tama

dan terutama dalam hal-hal yang menyangkut kerja struktural dan organisatoris (Yulius

Defri Sudi, dkk, 2022).

2.2. PARTISIPASI UMAT

2.2.1. Pengertian Partisipasi Umat

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2021) partisipasi diartikan sebagai

perihal berperan serta dalam suatu kegiatan (Pritiani, 2021). Selain itu, menurut Amirin

(2005: 80) istilah partisipasi diambil dari bahasa Inggris “participation”. Dalam

penggunaannya sehari-hari di Indonesia istilah “participation” tersebut adakalanya

diterjemahkan sebagai ikut serta (keikutsertaan), peran serta (berperan serta), ambil

bagian, dan terlibat (keterlibatan). Sementara itu, menurut Koten (2020: 22) partisipasi

adalah keikutsertaan atau keterlibatan seorang individu dalam melakukan suatu kegiatan

sebagai anggota masyarakat sehingga tercipta suasana kebersamaan yang mempunyai

pengaruh besar terhadap pelaksanaan dan keberhasilan suatu kegiatan. Bentuk

keterlibatan seorang individu tidak hanya sebatas pada kehidupan soaial kemasyarakatan

saja, tetapi juga dalam kehidupan rohani tergantung pada iman dan kepercayaan yang

dianutnya. Salah satu bentuk keterlibatan dalam kehidupan rohani tersebut ialah
partisipasi umat dalam kegiatan menggereja sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Dapat

dipahami bahwa partisipasi berarti bentuk keterlibatan emosi, mental dan fisik seseorang

atau kelompok dalam suatu kegiatan tertentu. Dalam arti ini, bukan hanya imannya saja

melainkan seluruh tubuh.

Istilah umat berasal dari kata Arab yang berarti bangsa, rakyat, kaum yang hidup

bersatu padu atas dasar iman kepada Allah (Maryanto, 2004: 78). Secara lebih konkret

Gereja diartikan sebagai umat yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh

Kudus menuju kerajaan Bapa, dan telah menerima warta gembira yang wajib mereka

siarkan kepada sesama (hal. 80). Konsili Vatikan II memilih istilah biblis “Umat Allah”

untuk menyebut para pengikut Yesus Kristus, yaitu semua anggota gereja yang telah

dibaptis. Umat katolik bersekutu sepenuhnya dengan Gereja Kristus melalui rahmat,

sakramen-sakramen, pengakuan iman, serta persekutuan dengan para Uskup Gereja yang

bersatu dengan Paus. Umat adalah kaum beriman Kristiani yang memiliki dasar iman

kepada Allah.

Berdasarkan penjelasan kedua istilah diatas, yakni partisipasi dan umat, maka

dapat disimpulkan bahwa partisipasi umat merupakan suatu bentuk keterlibatan umat atas

dasar iman kepada Allah untuk melaksanakan berbagai tugas perutusan Gereja.

2.2.2. Landasan Partisipasi Umat Dalam Kegiatan Katekese Umat

2.2.2.1. Tuntutan Persekutuan Hidup Sebagai Orang Beriman

Membangun sebuah persekutuan bararti bersama-sama membangun Gereja yang

selalu menjalin persekutuan dengan Kristus dan senantiasa mau ditebus oleh Kristus.

Gereja selanjutnya menjadi sebuah persekutuan. Namun, proses membangun


persekutuan itu harus didorong dari partisipasi umat sendiri. Sebagai misa, umat harus

berpartisipasi dalam setiap kegiatan liturgy, khususnya di bidang pewartaan (kerygma).

Dalam bidang pewartaan partisipasi umat sangat dibutuhkan karena tugas menjadi

seorang pewarta bukan hanya diemban oleh para imam, ataupun katekis melainkan juga

mejadi tugas semua umat atas dasar pembaptisan.

2.2.2.2. Tugas Orang Beriman

Paus Fransiskus menegaskan; “berkat pembaptisan, semua anggota umat Allah

telah menjadi murid-murid yang diutus (bdk. Mat. 28:29). Semua orang yang dibaptis,

apapun kedudukannya dalam Gereja, dan tingkatan pendidikannya dalam iman, adalah

pelaku-pelaku evangelisasi. Membayangkan evangelisasi yang berkualitas tidak akan

terjadi tanpa pelaku berkualitas dan menuntut umat beriman untuk terlibat dan bukan

hanya menjadi penerima pasif (Ruteng P. S., 2013-2015). Dalam Gereja semua orang

beriman berdasarkan sakramen baptis, mengambil bagian dalam tugas Yesus Kristus

sebagai nabi, imam dan raja sehingga perutusan dan karya Kristus diteruskan dan

dikonkretkan di semua tempat di dunia sesuai dengan situasi dn kondisi setempat.

Salah satu bentuk evangelisasi adalah keterlibatan atau partisipasi pribadi

seseorang yang telah dibaptis. Maka untuk melaksankan kesaksian, orang beriman harus

peka dengan penghayatan imannya sendiri. Konsekuensinya setiap orang beriman harus

lebih dahulu membaharui diri, agar dapat menemukan wajah Allah yang baru. Orang

beriman perlu menggali imannya untuk disuburkan, karena selama hidup ia mengalami

banyak kekurangan dan kelemahan, maka dibutuhkan pertobatan untuk menemukan

semangat baru dalam hidup.


2.2.2.3. Iman Timbul Dari Pendengaran

Setiap orang beriman dipanggil untuk hidup semakin bertanggung jawab dalam

beriman. Orang beriman sadar bahwa Tuhanlah yang memanggil dan membuat mereka

mampu untuk sungguh hidup beriman karena satu-satunya jawaban terhadap panggilan

Allah adalah hidup beriman yang mantap. Hidup beriman yang mantap itu berarti selalu

terlibat pada hidup yang penuh pengabdian kepada Allah dan sesama. Beriman itu berarti

selalu mengalami kehadiran dan intervensi Allah dalam hidup. Beriman bukanlah

pertama-tama menerima atauran, khususnya aturan dan hukum moral, melainkan

menghayati kesaksian hidup secara otonom dan bertanggung jawab sesuai bisikan hati

nurani (Lalu, 2010). Iman adalah sebuah anugerah atau rahmat Allah kepada manusia.

Iman itu ibarat benih yang ditaburkan Allah ke dalam diri manusia. Memiliki iman yang

dewasa itu tidak mudah karena iman yang dewasa bukan hanya diwujudkan dengan

perkataan, tetapi harus melalui perbuatan nyata atau kesaksian hidup.

2.2.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Umat

Ada berbagai faktor yang mempengaruhi partisipasi umat dalam mengikuti

kegiatan tugas perutusan Gereja, khususnya dalam kegiatan katekese. Faktor-faktor itu

adalah sebagai berikut:

2.2.3.1. Faktor Pembina/Fasilitator

Dalam kegiatan katekese umat, fasilitator menjadi salah satu faktor yang sangat

penting untuk mempengaruhi partisipasi umat dalam mengikuti kegiatan katekese umat.

Hal pokok yang dibutuhkan dari seorang fasilitator, antara lain: Pertama, berkaitan

dengan keterempilan fasilitator khususnya dalam membangun komunikasi (sukendar,


2012). Komunikasi yang baik akan menentukan keberhasilan dari sebuah kegiatan karena

sebuah partisipasi ada apabila komunikasi antara pembina dan peserta terjalin dengan

baik. Seorang fasilitator yang mampu merefleksikan pengalaman imannya akan

berdampak pada partisipasi umat. Kedua, kepribadian yang baik dari seorang fasilitator.

Kepribadian yang baik merupakan modal dasar bagi pembina katekese umat dalam

menjalankan tugas perutusannya. Semangat yang dimiliki oleh seorang fasilitator

senantiasa dikembangkan terus menerus dengan begitu dapat membangkitkan partisipasi

umat dalam mengikuti kegiatan katekese umat.

Selain aspek kepribadian dan keterampilan fasilitator, antusiasme umat dalam

mengikuti kegiatan katekese juga menjadi salah satu factor penting yang mempengaruhi

partisipasi umat dalam mengikuti kegiatan katekese. Apabila dari dalam diri umat itu

sendiri tidak ada dorongan untuk mengikuti kegiatan katekese maka tidak ada juga

partsipasi atau keterlibatan aktif dalam mengikuti kegiatan katekese.

2.2.3.2. Waktu Pelaksanaan

Dalam kegiatan katekese umat, waktu menjadi hal yang sangat penting untuk

diperhatikan (Papo, 1987). Kegiatan katekese hendaknya dilaksanakan pada kesempatan

orang berkumpul dan waktu bebas di mana semua peserta dapat berkumpul. Namun

dalam kenyataan, banyak orang atau umat lebih memilih bekerja untuk menambah

penghasilan atau untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam kesehariannya dan juga

karena adanya tugas rangkap yang menyita banyak waktu.


2.2.3.3. Tema Katekese

Tema katekese ialah pokok pembicaraan dalam sebuah pertemuan katekese. Ada

berbagai tema yang disiapkan dalam katekese. Namun sering terjadi, banyak umat tidak

mengikuti kegiatan katekese hanya karena temanya kurang menarik. Tak hanya itu,

tema yang dibawakan yang tidak sesuai dengan konteks dan kebutuhan umat (ibid (hal.

92). Tema yang tidak sesuai dengan konteks akan menyebabkan umat enggan mengikuti

atau mengambil bagian dalam kegiatan katekese.

2.2.3.4. Bentuk-Bentuk Partisipasi Umat Dalam Kegiatan Katekese Umat di Paroki

Keterlibatan umat dalam kegiatan katekese bisa diwujudkan dalam berbagai

bentuk antara lain: Pertama, Kehadiran. Kehadiran umat merupakan salah satu bentuk

partisipasi yang dapat melancarkan kegiatan katekese. Kehadiran ini didorong oleh

panggilannya sebagai umat beriman dengan tujuan untuk mendengarkan sabda Allah

serta menjadi pelaku utama dalam kegiatan tersebut (ibid (hal. 92) Kedua, Keterlibatan

dalam proses. Peserta katekese umat dikatakan mendukung pelaksanaan katekese umat

apabila peserta terlibat secara penuh dalam proses katekese. Di sini yang dimaksudkan

dengan keterlibatan adalah umat turut mengambil bagian aktif dalam kegiatan katekese,

misalnya dengan berdiskusi, sharing pengalaman, atau mengambil bagian dalam

membaca Kitab Suci, dan mengangkat lagu, dan lain sebagainya.


2.2.4. Upaya Pastoral Dalam Meningkatkan Partisipasi Umat Pada Kegiatan Katekese

Umat

Berhadapan dengan persoalan minimnya keterlibatan umat dalam kaegiatan

katekese, maka ada berbagai usaha dan upaya yang dilakukan untuk mendorong dan

meningkatkan partisipasi umat dalam kegiatan katekese. Adapun usaha-usaha itu adalah

sebagai berikut:

2.2.4.1. Menyiapkan Fasilitator Katekese

Persiapan fasilitator yang trampil merupakan syarat mutlak untuk kegiatan

katekese. Untuk mengajak peserta katekese berlatih berpikir tentang sesuatu, berdiskusi

bersama-sama, dan membantu peserta menemukan kesimpulan atau jawaban, maka

dibutuhkan seorang fasilitator (Seran, 2007). Fasilitator yang baik hendaknya menguasai

berbagai ragam cara atau metode untuk memandu kegiatan katekeses sesuai dengan tema.

Hal ini hanya dapat dicapai melalui pelatihan-pelatihan. Fasilitator adalah orang yang

berperan sebagai perantara antara sesama peserta dalam kegiatan katekese untuk

bersama-sama mengikuti proses katekese dan merumuskan hasil yang dicapai dalam

proses katekese.

2.2.4.2. Memilih Tema Yang Kontekstual

Tema katekese yang kontekstual selalu brkaitan dengan situasi konkret

pergulatan hidup manusia. Tema katekeses yang kontekstual biasanya diambil dari

pengalaman hidup sehari-hari dan menyapa secara konkret kerinduan dan kebutuhan

manusia (Papo, 1987). Pemilihan tema yang kontekstual akan membantu pewartaan

sungguh meresap ke dalam lingkungan dan kenyataan sosial hidup umat serta membantu
mereka menghayati dan mengembangkan imannya dalam kenyataan sosial yang sedang

mereka geluti, melalui partisipasi mereka dalam mengikuti kegiatan-kegiatan di paroki.

2.3. KATEKESE

2.3.1. Pengertian katekese

Kata katekese berasal dari kata kerja bahasa Yunani “Katechein”. Kata kerja ini

berasal dari akar Yunani “Kat” artinya keluar atau ke arah luar dan “ecco” artinya gema,

gaung. Secara etimologis, katekese berarti membuat bergema, menyebabkan sesuatu

bergaung. Suatu gema yang disampaikan keluar atau kearah luas. Gema dapat terjadi jika

ada suara yang penuh keyakinan menyuarakaan sesuatu, dan gema itu tidak pernah

berhenti pada satu arah. Maka katekese juga perlu dilakukan dengan penuh keyakinan

dan tidak pernah berhenti pada satu arah (Mali, 2013) .

Gereja masa kini menempatkan katekese dalam pengertian yang lebih luas. Dalam

Anjuran Apostolic “Catechese Tradendae”, Sri Paus Yohanes Paulus II menegaskan

katekese ialah pembinaan anak-anak, kaum muda dan orang-orang dewasa dalam iman

khususnya mencakup pengajaran kristen yang umunya diberikan secara organis dan

sistematis dengan maksud mengantarkan para pendengar memasuski kepenuhan hidup

Kristen (Catechese Tradendae No. 18, (Mali, 2013). Dengan kata lain katekese adalah

usaha-usaha ari pihak gereja, untuk menolong umat agar semakin menghayati,

memahami dan mewujudkan imannya dalam kehidupan sehari-hari. Di dalamnya terdapat


unsur pewartaan, pembinaan, pengukuhan serta kedewasaan. Metode yang sesuai perlu

dicarikan agar katekese dalam berbagai bentukya bergema dalam hati para pendengarnya.

2.3.2. Sejarah Singkat Katekese Umat

Pada abad pertama katekese merupakan sarana persiapan dalam penerimaan

sakramen baptis dan penyebaran iman atau kegiatan misioner. Oleh karena itu peserta

katekese adalah orang-orang dewasa. Materi atau obyek dari katekese sangatlah beragam

dan tergantung kepada umat yang diberi pelajaran katekese. Para rasul mewartakan Yesus

Kristus kepada masyarakat Yahudi di Yerusalem, sebagai Mesias yang telah dinantikan

kedatangan-Nya dan yang telah diramalkan oleh para nabi. Mereka memperlakukan

orang Yahudi sebagai orang yang sudah disiapkan dengan hukum taurat, merupakan

penuntun yang membawa kepada Kristus (Gal 3:24).

Sedangkan kepada orang-orang Yahudi diaspora, Santo Stefanus menempatkan

Yesus Kristus di atas Musa dan Yesus Kristus juga mengajarkan agama yang terpisah

dari rirus dan ajaran-ajaran Musa. Dan kepada masyarakat Yunani dalam pidatonya di

Areopagus, Paulus menekankan beberapa hal antara lain: keberadaan satu Allah sebagai

pencipta surga dan bumi, penolakan pada penyembahan berhala, dan pentingnya

pertobatan untuk menyabut kemulian Yesus Kristus.

Buku pegangan paling awal tentang instruksi iman dan moral kristiani adalah

Didache atau ajaran dari dua belas rasul yang berisi 17 bab. Didache ini ditulis oleh

banyak pengarang yang berasal dari Mesir, Syria atau Palestina pada tahun 60. s.d 90.

Buku pegangan ini menindaklanjuti konsili Yerusalem dan berisikan prinsip-prinsip


moral kristiani dan liturgi yang terkait dengan baptis, ekaristi, pengakuan publik, dan

aturan puasa (ibid (hal. 40).

Diakhir abad ke-2, Clemens dari Alexandria menulis “pedagogue” yang berisi

tentang hal-hal yang terkait dengan filsafat dan pemikira apologetic. Pada tahun 202

Uskup Lyon yakni Irenaeus menulis “Proof of the Apostolic Preaching”, untuk melawan

Gnostisisme. Abad ke-2 dan ke-3 sampai dengan masa Konstantinus, bahan pengajaran

katekese lain berisi aturan yang lengkap tentang katekumenat yang terdapat dalam

“Tradisi Para Rasul” yang ditulis oleh Hypolitus dari Roma, sekitar tahun 215.

Pada abad ke-4 dan ke-5 banyak orang yang meminta pembaptisannya ditunda

hingga dewasa. Salah satu alasannya adalah sesudah menerima sakramen baptis, seorang

kristen yang jatuh dalam dosa berat akan terkena disiplin sakramen tobat yang keras

yakni setelah ia baru mendapat pengampunan setelah menjalani penitensi umum. Bahan

pengajarannya diambil dari karya St. Agustinus “ De Catechizandis Rudibus”. Isi

katekese tentang keselamatan di mana katekis mengajar seluruh ajaran Kristen dalam

bentuk ceritra, mulai Adam dan Hawa sampai kitab Wahyu. Selanjutnya pengajaran iman

pada abad ke-6 ditandai pembaptisan dan pendidikan anak-anak. Dalam masa persiapan

akhir, para katekumenat mendoakan Bapa Kami dan mengucapkan Credo, tanya jawab

iman dengan diwakili oleh wali baptis. Pada abad 7-11 buku yang digunakan sebagai

pegangan katekismus karangan Santo Agustinus dari Hippo yakni “De Catechizandis

Rudibus”.

Abad ke-12 dan abad ke-15 ditandai dengan peningkatan kegiatan perdaganagan

dan meningkatnya komunitas urban, sehingga menuntut pembaharuan bentuk katekese.


Ordo Dominikan dan Fransiskan mulai mengembangkan filsafat dan teologi dalam

berkatekese, dan universitas memegang peranan dalam metodologi katekese. Thomas

Aquinas menulis buku “Summa Teologia” yang berisikan pengajaran moral yang didasari

semangat iman, harapan dan kasih.

Dalam abad pertengahan tidak terdapat suatu bentuk katekese gerejani yang

bersifat teratur untuk anak-anak, terutama setelah kelas menengah masuk didalam

gereja. Kendati demikian orang tua dan juga para wali baptis tetap berkewajiban untuk

memberikan bimbingan untuk anak-anak mereka. Wali baptis juga harus menjalankan

pemeriksaan tentang pemahamannya tentang Credo dan hafal doa Bapa Kami. Dalam

katekese yang dibuat langsung oleh para Klerus dan oleh mereka yang dipercayakan

kepada orang dewasa.

Pristiwa Reformasi yang digagas oleh Martin Luther, mendorong Gereja

untuk memajukan katekese. Konsili Trente mewajibkan para Uskup agar katekese

untuk anak-anak disemua gereja paroki, sekurang-kurangnya pada hari minggu dan

hari-hari raya wajib.

2.3.3. Tugas Utama Katekese

2.3.3.1. Mengantar Pada Pengenalan Iman

Katekese memiliki tugas meningkatkan pengenalan dan pendalaman pesan

kristiani. Dengan cara ini, katekese membantu mengenal kebenaran-kebenaran iman

kristiani, membimbing untuk pengenalan akan kitab suci dan tradisi Gereja yang

hidup, Credo (aku percaya) dan penciptaan visi doktrinal yang koheren, yang menjadi

acuan dalam hidup (KWI, 2022) . Pentinglah untuk tidak meremehkan dimensi
kognitif tentang iman dan berhati-hati untuk mengintegrasikannya ke dalam proses

pendidikan untuk pendewasaan kristiani yang utuh. Sesungguhnya, katekese

bertentangan dengan isi dan pengalaman iman akan terbukti gagal. Katekese tanpa isi

akan menghambat pematangan iman, yang mampu membawa kepada makna Gereja

dan untuk menghayati perjumpaan dan konfrontasi dengan orang lain.

2.3.3.2. Memulai Perayaan Misteri

Katekese, selain membantu pengenalan yang hidup akan misteri Kristus, juga

bertugas membantu pemahaman dan pengalaman akan perayaan-perayaan liturgis.

Melalui tugas ini, katekese membantu memahami pentingnya liturgi dalam hidup

Gereja, melalui pengenalan akan sakramen-sakramen dan kehidupan sakramental,

khususnya sakramen ekaristi, sumber dan puncak kehidupan dan misi Gereja (KWI,

2022). Melalui partisipasi yang sadar dan aktif pada perayaan-perayaan liturgis,

katekese mendidik pemahaman tentang tahun liturgis, guru sejati iman, dan arti hari

minggu, hari Tuhan dan dari komunitas Kristiani.

2.3.3.3. Membina hidup dalam Kristus

Katekese bertugas menggemakan kembali dalam hati setiap orang kristiani

panggilan untuk menghayati hidup baru, selaras dengan martabat anak-anak Allah

yang diterima dalam pembaptisan dan dengan hidup Dia yang bangkit yang

disampaikan melalui sakramen-sakramen. Tugas ini tercakup dalam menunjukan

bahwa panggilan kepada kekudusan (yang sesuai dengan jawaban atas cara hidup

sebagai anak, mampu mengarahkan kembali setiap situasi pada jalan kebenaran dan

kegembiraan yang adalah Kristus.


2.3.3.4. Mengajar untuk berdoa

Doa itu terutama merupakan anugerah Allah; sesungguhnya di dalam diri setiap

orang yang dibaptis “Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-

keluhan yang tak terucapkan” (Rm 8:6). Katekese mempunyai tugas mendidik untuk

doa dan dengan doa, dengan mengembangkan dimensi kontenplatif pengalaman

Kristiani (Ibid. (hal. 72)Tugas ini melibatkan pendidikan, baik untuk doa pribadi

maupun doa liturgis dan komunitas, dan mulai dengan bentuk-bentuk doa yang tepat:

doa berkat dan sembah sujud, permohonan, doa bagi orang lain, ucapan syukur dan

pujian.

2.3.4. Sumber-Sumber Katekese

2.3.4.1. Sabda Allah dalam Kitab Suci dan dalam Tradisi Suci

Katekese menimbah pesannya dari sabda Allah, yang merupakan sumber

utamanya. Karena itu, penting bahwa sabda yang diwahyukan secara radikal

memperkaya katekese dan seluruh daya upaya untuk meneruskan iman. Kitab Suci

itu diilhami oleh Allah dan menjangkau jiwa manusia lebih dalam dari perkataan lain

apa pun (KWI, 2022). Sabda Allah tidak hanya berakhir pada tulisan Kitab Suci,

karena sabda itu adalah realitas yang hidup, bekerja dan berdaya (Yes. 55:10-11; Ibr

4:12-13). Allah berbicara dan sabda-Nya dinyatakan dalam ciptaan (bdk. Kej 1:3 dst,;

Mzm 33:6, 9; Keb 9:1) dan dalam sejarah.

2.3.4.2. Magisterium

Kristus telah memberikan amanat kepada para Rasul dan pengganti-pengganti

mereka untuk mewartakan injil sampai ke ujung bumi sambil menjanjikan kepada
mereka bantuan Roh Kudus yang telah menjadikan mereka guru-guru kemanusian

dalam kaita dengan keselamatan, dengan meneruskan sabda Allah secara lisan

(Tradisi) dan melalui tulisan (Kitab Suci). Magisterium mendapat tugas dan mandat

untuk memilihara, menafsirkan dan meneruskan warisan iman, yakni isi wahyu. Pada

dasarnya, seluruh umat Allah berkewajiban untuk menjaga dan menyebarkan warisan

iman. Menjaga dan mewariskan iman merupakan tugas seluruh Gereja untuk

mewartakan injil kepada segala bangsa. Kebenaran yang menyelamatkan selalu tetap

sama dalam dirinya dan tidak berubah. Meskipun begitu, Gereja dari waktu ke waktu

semakin mengenal dengan lebih baik warisan wahyu. Oleh karena itu, terdapat

pendalaman dan perkembangan yang homogen, dalm kesinambungan dengan sabda

Allah yang sama. Kitab Suci, Tradisi dan Magisterium, dengan demikian, bersatu erat

dan tak satu pun diantara mereka ada tanpa yang lain. Katekese, merupakan salah satu

perantara dari pernyataan magisterium.

2.3.4.3. Liturgi

Liturgi merupakan salah satu sumber-sumber yang utama dan sangat

diperlukan untuk katekese Gereja. Hal ini tidak hanya berarti melalui liturgi, katekese

menimba isi, bahasa, siakap-sikap dan kata-kata yang mengungkapkan iman,

melainkan terutama karena kedua-duanya, baik katekese maupun liturgi menjadi

bagian satu sama lain dalam kegiatan beriman. Liturgi dan katekese, yang dimengerti

dalam terang Tradisi Gereja, meskipun masing-masing memiliki kekhususannya

sendiri, tidak boleh disejajarkan, tetapi keduanya harus dipahami dalam konteks

kehidupan kristiani dan Gerejawi dan ditunjukkan untuk menghayati pengalaman kasih
Allah. Liturgi merupakan tempat yang paling istimewa untuk kegiatan katekese bagi

umat Allah.

2.3.4.4. Kesaksian Para Kudus dan Para Martir

Sejak awal kehidupan Gereja, teladan Perawan Maria, kehidupan orang-orang

kudus dan para martir merupakan bagian integral dan efektif dalam katekese. Kisah-

kisah para martir (acta martyrum), kisah-kisah sengsara (passiones), lukisan-lukisan

dinding dalam gereja dan ikon-ikon dan cerita-cerita sudah digunakan dalam katekese

untuk mendidik anak-anak dan orang-orang yang buta huruf. Gereja memandang para

martir sebagai guru-guru iman yang amat terkenal, yang dengan daya upaya dan

penderitaan dalam kerasulan mereka, telah memungkinkan penyebaran dan perumusan

mula-mula iman yang sama.

2.3.5. Dasar-Dasar Katekese

Katekese didasarkan pada pewartaan yang diberikan Gereja, yang dianggap

memiliki dan menyampaikan pewartaan yang secara utuh. Pusat dan dasar pewartaan

Gereja adalah Yesus Kristus yang selalu mengemukakan peristiwa-peristiwa penting

dari kehidupan Yesus dan menghubungkannya dengan pengalaman dari setiap pewarta

(Mali, 2013).

Inti dari katekese adalah kasaksian para rasul tentang kebangkitan Kristus,

yang diakui sebagai Mesias yang menebus umat manusia dengan sengsara, wafat,

dan kebangkitan-Nya. Pewartaan para rasul diberikan dalam bentuk “kerygma” yang

didasarkan pada keyakinan berikut: Pertama, campur tangan Allah yang

menyelamatkan umat manusia dalam diri putra-Nya yang tunggal. Kedua, rencana
keselamatan Allah yang terlaksana dan terpenuhi dalam Yesus Kristus yang

disalibkan dan bangkit. Yesus adalah satu-satunya penyelamat umat manusia dan

merupakan kpusat kerygma (bdk Kis 4-12). Ketiga, disamping wafat dan kebangkitan

Kristus, metanonia yakni kesediaan manusia untuk berbalik kepada Allah

merupakan tema utama para rasul. Keempat, motivasi pertobatan adalah misteri

paskah. Hal itu dapat dijelaskan dengan kebangkitan dan kemenagan Kristus atas

kekuasaan dosa. Dalam diri Yesus terlaksana rencana keselamatan Allah secara

sempurna dan sekaligus Ia juga membangun kembali hubungan antara manusia

dengan Allah dan antara manusia dengan alam ciptaan

2.3.5.1. Prinsip-Prinsip Katekese.

Pelaksanaan katekese umat didasarkan pada beberapa prinsip sebagai berikut:

Pertama, usaha katekese merupakan tanggung jawab seluruh umat sebagai gereja,

bukan hanya para katekis, atau para iman. Kedua, usaha katekese mementingkan

proses, bukan hasil yang langsung atau instan. Dalam kegiatan katekese, proses itu

penting, namun yang utama bukan hasil tetapi proses menuju hasil. Ketiga, peserta

adalah subyek atau pelaku yang berperan dalam proses, sementara fasilitator hanya

bertugas untuk membantu. Keempat, katekese menolong umat dalam upaya

membangun relasi yang harmonis dengan Tuhan, sesama maupun lingkungan. Dalam

hal ini, proses katekese umat bertujuan mematangkan dan mendewasakan iman, yang

harus dilaksanakan secara sadar dan terencana dengan penuh tanggung jawab, bukan

improvasi. Kelima, proses katekese adalah pendidikan iman yang membebaskan.

Dalam proses katekese setiap pribadi dihargai martabatnya, di mana semua orang

bebas mengungkapkan imannya tanpa rasa takut. Dalam hal ini, setiap pengalaman
iman dari masing-masing pribadi harus dilihat sebagai pengalaman yang dapat

memperkaya sesamanya dalam proses katekese umat.

2.3.6. Tujuan Katekese Umat

Adapun tujuan dari katekese umat berdasarkan Pertemuan Kateketik Keuskupan

se-Indonesia (PKKI) II adalah sebagai berikut: Pertama,Supaya dalam terang injil,

umat semakin meresapi arti pengalaman-pengalaman hidup sehari-hari. Kedua, Umat

bertobat (metanoia) kepada Allah dan semakin menyadari kehadiran-Nya dalam

kenyataan hidup sehari-hari Ketiga, Dengan demikian umat semakin sempurna dalam

beriman, berharap, mengamalkan cinta kasih dan hidup beriman kristiani semakin

dikukuhkan. Keempat, Umat sanggup memberi kesaksian tentang Kristus dalam hidup di

tengah masyarakat (Adisusanto, 2010) .

Pada intinya tujuan khas dari katekese adalah mengembangkan iman. Melalui

katekese umat diharapakan untuk semakin mengerti dan menghayati misteri Kristus

dalam cahaya firman Allah, sehingga seluruh pribadi manusia diresapi oleh firman itu.

Berdasarkan tujuan ini jelas bahwa katekese bertujuan untuk mengembangkan iman

semua orang, termasuk didalamnya juga kaum muda. Kaum muda memerlukan katekese

karena jumlah kaum muda dalam Gereja sangat dominan. Kaum muda sebagai harapan

dan masa depan Gereja, dalam kenyataan memiliki pemahaman yang minim tentang

imannya. Merujuk pada kenyataan semacam ini, maka diperlukan katekese untuk semua

orang muda untuk meningkatkan iman dan partisipasi mereka dalam kehidupan Gereja.
2.3.7. Proses Katekese Umat

Usaha katekese mementingkan “proses” (bukan hasil yang langsung/instan).

Dalam hal ini, proses katekese yang bertujuan mematangkan dan mendewasakan iman

harus dilaksanakan secara sadar dan terencana dengan penuh tanggung jawab (tidak

“improvisasi”). Karena itu, dalam mempersiapkan katekese hendaknya diperhatikan

beberapa hal sebagai berikut berikut: (Papo, 1987)

2.3.7.1. Gagasan pokok. Gagasan pokok merupakan gagasan utama yang mendasari

proses dan selanjutnya akan diolah dalam proses. Gagasan pokok dapat pula dikatakan

sebagai intisari dari keseluruhan proses katekese. Sebuah gagasan pokok hendaknya

memuat tiga aspek, yakni: Pertama, Antropologis. Aspek manusiawi dari pokok yang

dibahas dalam tema, yang ditampilkan dan disajikan dalam proses, dengan tujuan

membuat tema sungguh riil, konkret dan aktual, serta tepat sasar menyentuh kebutuhan

peserta katekese umat. Kedua, Biblis-Teologis. Ulasan Kitab Suci dan/atau ajaran Gereja

yang menyentuh peserta untuk menemukan nilai iman dalam kenyataan konkret yang

ditampilkan pada bagian antropologis. Ulasan tersebut dapat mempertanyakan,

memperbandingkan atau meneguhkan unsur-unsur antropologis. Ketiga, Kateketis. Nilai

iman dan nilai moral kristiani yang diharapkan tertanam dan terwujud dalam diri peserta

katekese sebagai suatu dasar pembangunan sikap baru, setelah peserta katekese bergelut

dalam peoses katekese.

2.3.7.2. Tujuan. Tujuan merupakan sesuatu yang akan dicapai melalui sebuah proses

katekese atau tema tertentu. Fungsi dari ditetapkannya tujuan adalah agar pokok bahasan
yang akan dibahas terfokus pada maksud tertentu, sehingga terhindar dari pembahasan

yang terlalu melebar.

2.3.7.3. Sumber bahan. Sumber bahan merupakan sumber-sumber (biasanya tertulis) yang

digunakan untuk mengembangkan tema tertentu, sehingga isi pembahasan sungguh kaya,

mendalam, konkret dan aktual. Sumber utama dalam proses katekese adalah kitab suci.

Sumber penting lainnya adalah ajaran Gereja.

2.3.7.4. Metode merupakan cara yang sistematis dan terencana untuk dilaksanakan dalam

proses demi mencapai tujuan. Pemilihan metode hendaknya memperhtikan tujuan, usia

peserta, waktu, tempat dan kondisi-kondisi lain. Sarana, merupakan segala maca

perangkat yang digunakan untuk mendukung metode yang dipilih dalam proses katekese.

2.3.7.5. Proses katekese. Merupakan rincian dari langkah-langkah kegiatan yang semakin

lama semakin mendalam, mengarah pada tujuan. Hendaknya langkah-langkah dalam

proses harus berkesinambungan, sehingga dalam penerapannya “mengalir”, tidak

terputus. Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam proses merupakan pengembangan dari

rincian kegiatan dari gagasan pokok. Maka langkah-langkah yang harus diperhatikan

dalam penyusunan proses katekese adalah sebagai berikut: Pertama, Mendalami

pengalaman manusiawi (antropologis); Kedua: Mendalami ajaran Kitab Suci/ Gereja

(biblis-teologis); Ketiga, Pengambilan sikap baru (katekis)

2.3.8. Metode Katekese Umat

2.3.8.1. Metode Amos

Amos adalah nabi keadilan sosial. Dia mewartakan bahwa Allah adalah pembela

hak-hak orang miskin. Allah mengambilnya dari kawanan dan mengutusnya ke daerah

tetangga dibagian utara yakni Kerajaan Israel. Dengan demikian ia memulai kegiatan
kenabiannya di kota-kota Israel, mencela ketidakadilan sosial dan kehidupan keagamaan

yang mengutamakan hal-hal yang bersifat lahiriah saja (Suwasono, 2018) . Ia

mempringatkan Israel bahwa akan ada hukuman dan mereka akan dibuang dan semuanya

akan berakhir dengan datangnya hari-hari yang penuh kebahagiaan.

Metode Amos bertujuan untuk memberikan penyadaran kepada jemaat-jemaat

kristen dan membantu mereka untuk melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah yang

membuat mereka menderita sengsara.

2.3.8.2. Metode Menggali Pengalaman

Wahyu Allah ditawarkan kepada manusia melalui cara-cara tertentu sehingga

Sabda itu dapat dialami dan dirasakan umat dalam kehidupannya. Untuk membuat Sabda

itu bisa dialami dan dirasakan oleh umat maka Gereja melakukannya melalui kotbah dan

katekese. Kotbah dan katekese yang dilaksanakan dalam Gereja sebaiknya berhubungan

dengan pengalaman sehari-hari, berdaya memukau, dan menyentuh hati pendengar

(Yohanes, 2013). Prinsip dari metode menggali pengalaman ini juga dapat

membangkitkan partisipasi umat dalam mengambil bagian pada kegiatan katekese yaitu

mensharingkan pengalaman imannya. Karena itu harus bertitik tolak dari kehidupan

konkret umat atau sesuai dengan situasi sosial pada saat itu.

Pengalaman termasuk pengetahuan, namun bukan berkat daya nalar namun karena

kontak langsung dan efektif dengan dunia. Kontak itu membuat orang tersentuh. Seperti

menceritakan pengalaman religius. Dengan adanya pengalaman religius, terjadi hubungan

yang hidup antara pribadi seseorang dengan imannya. Berkat pengalaman religius inilah,

pengalaman iman akan berpindah ke tahap penghayatan iman.


2.3.8.3. Metode Diskusi

Metode diskusi ialah cara membentuk dan menghayati iman dengan saling

menukar pikiran dan pendapat dalam pembicaraan bersama. Peserta katekese dididik

untuk menghargai pendapat orang lain, barani mengungkapkan pendapat dan saling

tenggang rasa dengan orang lain. Diskusi harus dijalankan dalam kelompok kecil dengan

arahan yang baik agar tidak terjadi perdebatan yang sengit dan tidak seorangpun yang

menguasai seluruh pembicaraan. Suasana diskusi hendaknya dilaksanakan dengan penuh

persaudaran dan kesimpulan harus menjadi kesimpulan yang diterima bersama.

2.3.8.4. Metode Cerita

Katekese dengan metode bercerita dalah salah satu metode katekese untuk

mendidik dan membentuk serta menghayati iman dengan mengisahkan suatu kebenaran,

pengalaman atau kejadian. Cerita yang disampaikan dalam metode ini menarik perhatian

semua peserta katekese karena melalui cerita hidup dan pengalaman manusia

digambarkan dengan dengan baik dan menakyubkan.

2.3.8.5. Metode Bertanya

Katekese dengan metode bertanya adalah cara pendidikan iman dengan

memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya (Papo, 1987). Metode ini

digunakan bila peserta sudah memiliki dasar pengetahuan yang memadai, dan

berdasarkan ini peserta dihantar kepada pengetahuan dan penghayatan iman yang lebih

mendasar.
2.3.9. Bentuk- Bentuk Katekese Umat

Pada abad pertengahan ditemukan beberapa bentuk katekese umat. Gereja secara

langsung memberi tanggung jawab kepada umatnya dalam pendidikan iman melalui para

imam, biarawan-biarawati dan para katekis. Mereka diharapkan menjadi penolong dan

penasehat dan melalui proses katekese umat secara langsung menanggapi serta meniru

apa yang diajarkan. Gereja tidak hanya mengeluarkan undang-undang atau peraturan-

peraturan kateketik tetapi mengusahakan serta menggunakan semua cara untuk

menyadarkan dan memampukan umat beriman akan tugas mereka dalam pendidikan

iman (Mali, 2013) . Berdasarkan segi penyajiannya, katekese dapat dibedakan dalam tiga

bentuk, antara lain: Pertama, bentuk praktis. Katekese bentuk praktis mengarahkan

peserta katekese untuk giat dan rajin mempraktekkan kehidupan agamanya, seperti rajin

beribadat, rajin berdoa, berdevosi, bergairah menghadiri perayaan ekaristi dan perayaan

liturgi lainnya. Umat diajak untuk mengenal secara baik masa-masa liturgi dengan segala

sasaran dan peralatann. Sumber informasi utama adalah liturgi gereja itu sendiri.

Kedua, bentuk historis. Katekese bentuk historis bertujuan untuk memperdalam

pemahaman umat akan sejarah penyelamatan Allah yang diawali dengan janji mesianis

dalam Perjanjian Lama dan berpuncak dalam diri Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru.

Sumber utamanya adalah Kitab Suci. Dalam Kitab Suci, keterlibatan Allah dalam

menyelamatkan umat manusia digambarkan secara jelas dan nyata. Bentuk ketiga, bentuk

skematis. Katekeese skematis bertujuan menyajikan kepada umat secara dogmatis dan

teologis, yang tersusun secara sistematis, singkat dan padat. Sumbernya adalah buku

katekismus.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 JENIS DAN PENDEKATAN PENELITIAN


Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang

bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis. Dalam penelitian kualitatif, proses

dan makna lebih ditonjolkan dan mendapat perhatian. Landasan teori yang dipakai dimanfaatkan

sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta di lapangan.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif sebab dalam penelitian ini peneliti

mendeskripsikan dan menganalisis data-data primer terutama dari para informan. Penelitian

kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada suatu fenomena

sosial. Penelitian kualitatif bertujuan memudahkan peneliti dalam meneliti, serta untuk

memahami fenomena yang diangkat peneliti, sehingga dalam proses penelitian, peneliti sendiri

tidak mengalami kesulitan. Penelitian kualitatif dapat merekonstruksi pemahaman dari sumber

data yang diperoleh melalui interaksi antara manusia.

3.2 LOKASI PENELITIAN DAN SUMBER DATA

3.2.1 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Paroki St. Klaus Werang yang berlokasi di Werang Desa Golo

Mbu, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, Propinsi Nusa Tenggara Timur.

3.2.2. Sejarah Paroki St. Klaus Werang

Paroki St. Klaus Werang didirikan pada tangggal 12 Desember 1999. Tokoh yang berjuang

mendirikan Paroki ini adalah Pater Melki Kisa,SVD. P. Melki adalah pastor Paroki Nunang saat

itu, dibantu oleh Pater Laurens Kuil, SVD, sebagai Pastor Kapelan di Nunang saat itu, yang

kemudian menjadi Pastor Paroki pertama St. Klaus Werang. Selain pastor paroki dan pastor
rekan, ada juga tokoh-tokoh umat yang berperan penting dalam mendirikan paroki ini, seperti

Bapak Petrus ( yang kemudian menjadi Tu’a Golo). Umat Stasi Werang sebelumnya bergabung

dengan umat Paroki Rekas, sedangkan umat Stasi Paku, Stasi Cereng, Stasi Parek dan Look

masih merupakan bagian dari Paroki St. Mikael Nunang.

Sejak tanggal 24 Januari 1983, Stasi Werang dialihkan dari paroki Rekas dan masuk Paroki

St. Mikael Nunang berdasarkan surat keputusan Vikaris Jenderal Dioses Ruteng. Bersamaan

dengan itu pula Stasi Joneng dan Wae Wako dialihkan dari Paroki Reweng ke Paroki Wae

Nakeng. Dengan masuknya stasi Werang menjadi bagian Paroki Nunang, maka wilayah paroki

Nunang menjadi lebih luas, sementara kondisi geografisnya sangat sulit dijangkau, baik dengan

berjalan kaki maupun dengan kendaraan. Dalam perjalanan waktu, konsentrasi umat di Werang

semakin meningkat dengan cepat terutama karena posisi Werang sebagai pusat kecamatan.

Kondisi ini mendorong Pater Erwin Smutz, SVD, Pastor Paroki Nunang untuk mengupayakan

tempat ibadat sendiri, meskipun sudah ada tempat ibadat di Teong Toda. Pertimbangan serupa di

miliki oleh Pater Melkiades Kisa, SVD yang menggantikan Pater Erwin sebagai pastor Paroki

Nunang. Untuk merealisasikan harapan ini, maka pada tanggal 4 Maret 1993, didukung oleh

umat dari lima kelompok yang sudah disebutkan diatas berhasil mendapatkan sebidang tanah

yang sangat strategis. Beberapa tahun kemudian didirikan gereja Santo Klaus Werang di atas

tanah ini.

Pada tahun 1994 sesuai dengan kebijakan Keuskupan Ruteng yang memutuskan bahwa

pusat kecamatan sebaiknya sekaligus menjadi pusat paroki. Merujuk pada kebijakan ini, maka

Pater Ernest Wasser, SVD bersama dengan Pater Laurens Kuil, SVD yang menggantikan Pater

Melkiades Kisa, SVD menganjaurkan agar Teong Toda yang semula menjadi pusat stasi

dialihkan menjadi Pusat Lembaga Pendidikan. Sementara itu pusat stasi dipindahkan ke
Werang. Keputusan ini nampaknya diterima dengan berat hati oleh sebagian umat. Hal ini

selanjutnyan menjadi alasan polemic dalam waktu yang cukup lama. Polemik ini berpuncak

dengan munculnya surat penolakan pada tanggal 28 Januari 1998, yang ditandatangani oleh 8

(delpan) orang ketua kelompok dan 8 (delapan) orang tokoh umat. Alasan penolakan adalah

Teong Toda sudah menjadi tempat yang strategis dan sudah dilengkapi dengan kapela yang

memiliki nilai sejarah yang Panjang. Karena itu, kapela yang ada tidak perlu di bongkar dan

pusat stasi tidak boleh di pindahkan. Perbedaan pendapat selanjutnya mendapatkan jalan keluar

ketika umat Stasi Werang menerima Teong Toda sebai pusat lembaga pendidikan dan Werang

diterima sebagai pusat stasi. Hal yang patut di banggakan dalam proses perjuangan ini adalah

terbentuknya Paroki St. Klaus Werang. Meski terjadi polemic di antara umat, namun Pater

Ernest Wasser, SVD tetap mendanai pembangunan gereja, dan selanjutnya membangun aula

paroki.

Pemilihan St. Klaus sebagai pelindung paroki terdorong oleh spiritualitas Santo Klaus,

seorang yang suci dari Swiss, seorang yang sederhana dan sangat dekat dengan Tuhan. Beliau

adalah bapak keluarga yang kemudian membaktikan diri sepenuhnya bagi Tuhan dan bagi

perdamaian Negara Swiss. Umat paroki Werang berkomitmen ubtuk meneladani sikap dan

perilaku dari Bruder Klaus.

Setelah menjadi paroki defenitif, paroki Santo Klaus Werang berturut-turut dipimpin oleh P.

Erwin Schumutz sebagai pastor paroki pertama. Selanajutnya P. Erwin digantikan oleh P.

Laurens Kuil, SVD, Rm. Yovan Nukul, Pr, Rm. Egis Masri, Pr dan Rm. Jhon Syukur, Pr.

3.2.2 Keadaan Geografis


Paroki St. Klaus Werang terletak di Desa Golo Mbu, Kecamatan Sano Nggoang,

Kabupaten Manggarai Barat. Batas-batas Paroki St. Kalus Werang adalah sebagai berikut:

sebalah timur Paroki Rekas, sebelah barat Paroki Sok Rutung, sebelah utara Paroki Noa, dan

sebalah selatan Paroki Nunang. BAGAIMANA KONDISI GEOGRAFISNYA…..

3.2.3 Keadaan Demografis

Paroki St. Klaus Werang memiliki jumlah umat sebanyak 4.105 jiwa. Paroki ini terdiri

dari 4 stasi dan 50 KBG, dengan rincian sebagai berikut: Stasi Werang memiliki 33 KBG, Stasi

Parek memiliki 4 KBG, Stasi Paku memiliki 9 KBG, dan Stasi Cereng memiliki 4 KBG.

3.2.4 Keadaan Sosio Ekonomis

Umat Paroki St. Klaus Werang didominasi oleh orang-orag yang bekerja sebagai petani.

Selain itu, ada segelintir orang yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan swasta.

Penghasilan utama dari bidang pertanian lahan kering adalah padi dan kemiri. Sementara

pertanian basa yakni pengolahan sawah masih sangat bergantung pada curah hujan. Oleh sebab

itu, mayoritas umat memiliki kehidupan yang sederhana. Kondisi ini membawa dampak dalam

bidang pendidikan. Rata-rata umat hanya menyelesasikan pendidikan tingkat SD dan SMP.

Sebagian penduduk memiliki ijazah sarjana tetapi mereka memilih tinggal di kota untuk

bekerja. Selain usaha pertanian, sebagian umat juga memiliki usaha alternatif, seperti membuka

kios, beternak babi, anyam dan menganyam topi dan kerajinan tangan lainnya.

3.2.5 Keadaan Sosio Budaya

Mayoritas umat Paroki Werang adalah orang Manggarai. Karena itu, bahasa yang

digunakan adalah bahasa Manggarai dengan dialek Kempo. Sebagian besar orang Manggarai di

Werang beragama katolik. Meski demikian, ada pula umat muslim pribumi yang bisa dijumpai
pada semua stasi di Paroki St. Klaus Werang. Meski berbeda agama dan keyakinan, namun

semua hidup berdampingan dengan rukun dan damai. Selain suku Manggarai, ada juga etnis lain

seperti Ende, Bejawa, Larantuka, Jawa dan Bali yang hidup di Werang.

Dalam perspektif budaya, peran Tu’a Golo masih sangat penting terutama untuk

menyelesaikan masalah adat, sosial dan budaya. Sementara itu, mereka juga masih

mempertahankan ritus adat yakni ritus Kelas. Ritus Kelas merupakan ritus yang lazim dilakukan

untuk menutup rangkaian doa bagi orang yang meninggal. Sementara itu, Ritus Teing Hang

hanya dilaksanakan oleh beberapa keluarga. Sedangkan Ritus Penti hampir jarang di lakukan

di wilayah Kempo.

3.3 SUMBER DATA

Dalam penelitian ini, data dan sumber data sangat dibutuhkan. Data merupakan kumpulan

informasi yang diperoleh dari hasil suatu pengamatan dan wawancara. Data yang diperoleh

dapat berupa angka atau lambang. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer

dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang

melakukan penelitian. Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan dari sumber-

sumber yang telah ada. Data tersebut biasanya diperoleh dari perpustakan atau

laporan-laporan/dokumen peneliti yang terdahulu.

3.4 TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Teknik pengambilan data adalah teknik yang digunakan dalam suatu penelitian untuk

mengumpulkan atau memperoleh data. Pengambilan atau pengumpulan data bertujuan untuk
memperoleh informasi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan penelitian. Berdasarkan jenis

penelitian yakni penelitian kualitatif, maka ada beberapa teknik pengambilan data seperti

observasi, wawancara dan analisis dokumen.

3.4.1 Observasi

Observasi dalam penelitian adalah teknik pengambilan data dengan cara membuat

pengamatan. Peneliti mengamati peran serta dari objek yang diamati. Sebagai misal, peneliti

mengamati Peran Dewan Pastoral Paroki dalam meningkatkan partisipasi umat dalam kegiatan

katekese. Hasil pengamatan dicatat dan selanjutnya dianalisis untuk menarik beberapa

kesimpulan.

3.4.2 Wawancara

Wawancara merupakan salah satu teknik yang paling penting dalam pengambilan data.

Dengan wawancara terhadap sumber informasi, peneliti akan dengan mudah mendapatkan data

atau sumber informasi tentang fenomena yang diteliti. Teknik wawancara dilaksanakan secara

terstruktur dengan merumuskan pertanyaan yang sesuai dengan apa yang diteliti. Dalam

menggali informasi, peneliti melakukan wawancara dengan beberapa narasumber yang

dianggap mampu memberikan informasi yang valid dan benar. Wawancara dilakukan dengan

tujuan untuk mendapat informasi yang akurat dan aktual, sehingga penelitian dapat berjalan

dengan baik.

3.4.3 Analisis dokumen


Analaisis dokumen digunakan dengan melihat dan mempelajari berbagai dokumen-

dokumen yang berhubungan dengan teman penelitian. Dokumen-dokumen ini diamati dan

dipelajari dengan saksama untuk mendapatkan jawaban atas masalah yang sedang diteliti.

3.5 ANALISIS DATA

Analisis data di sini berarti mengatur secara sistematis bahan hasil wawancara dan

observasi, menafsirkannya dan menghasilkan suatu pemikiran, pendapat, teori atau gagasan yang

baru. Inilah yang disebut hasil temuan atau findings. Findings dalam analisis kualitatif berarti

mencari dan menemukan tema, pola, konsep, insights dan understanding. Semuanya diringkas

dengan istilah ‘penegasan yang memiliki arti’ (statement of meanings) (J.R 2010). Analisis

berarti mengolah data, mengorganisir data, memecahkannya dalam unit-unit yang lebih kecil,

mencaripola dan tema-tema yang sama (Ibid, hlm.122).

3.5.1 MereduksiData

Reduksi data adalah kegiatan merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan

pada hal-hal penting, mencari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi

akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan

pengumpulan data selanjutnya, dan mencari tambahan bila diperlukan.

Dalam reduksi data, setiap peneliti dipandu oleh tujuan yang akan dicapai. Tujuan utama

dari penelitian kualitatif adalah temuan. Oleh karena itu, kalau peneliti dalam melakukan

penelitian menemukan segala sesuatu yang dipandang asing, tidak dikenal, belum memiliki pola,

maka hal-hal itu harus dijadikan sebagai fokus perhatian peneliti dalam melakukan reduksi data.

Reduksi data merupakan proses berpikir sensitif yang memerlukan kecerdasan, keluasan dan

kedalaman wawasan yang tinggi.


3.5.2 Penyajian Data (Data Display)

Penyajian data adalah penyusunan kumpulan informasi yang bisa memberi kemungkinan

adanya penarikan kesimpulan. Langkah ini dilakukan dengan menyajikan sekumpulan informasi

yang tersusun dan yang memberi kemungkinan untuk penarikan kesimpulan. Hal ini dilakukan

dengan alasan data-data yang diperoleh selama proses penelitian kualitatif biasanya disusun

secara naratif, sehingga memerlukan penyederhanaan tanpa mengurangi isinya. Penyajian data

dilakukan untuk dapat melihat gambaran keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari gambaran

keseluruhan.

3.5.3 Penarikan Kesimpulan

Kesimpulan adalah tahap akhir dalam proses analisis data. Pada bagian ini peneliti

mengutarakan kesimpulan dari data-data yang telah diperoleh. Kegiatan ini dimaksudkan untuk

mencari makna data yang sudah dikumpulkan, dengan mencari hubungan, persamaan, atau

perbedaan. Penarikan kesimpulan biasa dilakukan dengan jalan membandingkan kesesuaian

pernyataan dari subyek penelitian dengan makna yang terkandung di dalamnya, dengan konsep-

konsep dasar dalam penelitian tersebut.

3.6 PENGECEKAN KEABSAHAN DATA

Dalam penelitian kualitatif, temuan dapat dinyatakan valid apabila tidak ada pembedaan

antara apa yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada obyek

penelitian. Yang dimaksudkan di sini adalah data yang sesuai dengan apa yang dilaporkan

peneliti.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik triangulasi,member check,

dependability, dan transferability.


Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan yang memanfaatkan sesuatu yang lain di

luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Dalam

penelitian ini, pemeriksaan itu dilakukan dengan membandingkan hasil wawancara dan hasil

observasi terhadap fenomena yang telah ditemukan.

Member check adalah teknik yang dilakukan dengan mengekspos hasil sementara atau

hasil akhir agar memberikan kesempatan kepada rekan/partisipan untuk menguji hasil hipotesis

yang muncul dalam peneleitian.

Dependability adalah adalah teknik yang memperhitungkan segala sesuatu yang terjadi

selama penelitian dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya.

Transferability adalah usaha yang dilakukan peneliti untuk mencari dan mengumpulkan

data-data empiris tentang masalah yang diteliti. Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan

data tentang Peran Dewan Pastoral Paroki dalam meningkatkan partisipasi umat dalam Katekese

di Paroki St. Klaus Werang.

3.7 TAHAP-TAHAP PENELITIAN

Penelitianz tentang Peran Dewan Pastoral dalam meningkatkan partisipasi umat dalam katekse

di Paroki St. Klaus Werang dilakukan dalam tiga tahap sebagai berikut:

3.7.1 Tahap Perencanaan

Pada tahap perencanaan/persiapan ini peneliti menentukan lokasi penelitian, melakukan

konsultasi dengan dosen pembimbing mengenai prosedur yang digunakan peneliti dalam

penelitian ini, serta melakukan pendekatan kepada Dewan Pastoral Paroki di St. Klaus Werang.

3.7.2 Kegiatan Penelitian


Tahap awal yang dilakukan peneliti adalah menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan

dengan menyerahkan surat izin penelitian/surat rekomendasi penelitian. Pada tahap ini juga

peneliti melakukan kegiatan pengumpulan data. Dalam tahap ini peneliti melakukan wawancara

langsung dengan Dewan Pastoral Paroki St. Klaus Werang serta mengajukan pertanyaan teknis

melalui wawancara untuk dijawab oleh informan.

3.7.3 Tahap Penulisan Laporan/Pencatatan Data

Pencatatan data yang dilakukan berupa catatan lapangan yang diperoleh dan dianalisis

kemudian dituangkan atau dideskripsikan dalam skripsi. Tahap penulisan laporan ini

dilaksanakan setelah peneliti kembali dari tempat penelitian. Kegiatan penulisan laporan ini

dilaksanakan selama satu bulan.

Anda mungkin juga menyukai