Pendahuluan
Sejak akhir tahun 2019, dunia berhadapan dengan permasalahan global yaitu,
pandemi covid-19, yang berdampak pada berbagai sektor kehidupan manusia termasuk
kehidupan keagamaan Indonesia yang mengalami hal serupa. Dengan adanya
penyebaran virus covid-19 yang terjadi di Indonesia, akhirnya mendorong pemerintah
menetapkan kebijakan pembatasan kegiatan sosial berskala besar, termasuk kegiatan
peribadahan di rumah ibadah. Ketetapan pemerintah juga berlaku di wilayah Kota
Putussibau, Provinsi Kalimantan Barat.
Pandemi covid-19 tak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat, tetapi juga
memengaruhi kondisi perekonomian, pendidikan, dan kehidupan sosial masyarakat
Indonesia. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang
dikutip oleh Smeru Research Institute, jumlah pasien positif terinfeksi COVID-19 di
Indonesia mencapai 6.575 orang per 19 April 2020. 1 Pandemi yang menyebabkan
beberapa pemerintah daerah menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB) termasuk di Kota putussibau yang berimplikasi terhadap pembatasan aktivitas
masyarakat, termasuk aktivitas ekonomi, aktivitas pendidikan, dan aktivitas sosial
lainnya. Menurunnya berbagai aktivitas ini berdampak pada kondisi sosial dan ekonomi
masyarakat, khususnya masyarakat rentan dan miskin.
Pada kondisi kehidupan masyarakat dan anggota jemaat yang berada dalam
kerapuhan dalam pergumulan dikarenakan pandemi virus Covid-19 ini, mereka
1
Smeru Research Institute. “Studi Dampak Sosial-Ekonomi Pandemi Covid-19, di Indonesia,”
https://smeru.or.id/id/research-id/studi-dampak-sosial-ekonomi-pandemi-covid-19-di-indonesia
(diakses 14 Desember 2022).
memerlukan respons sigap dari gereja dalam mengupayakan pemeliharaan kehidupan
beriman bagi setiap anggota jemaatnya. Penghentian paksa dan tiba-tiba dari berbagai
aspek kehidupan, kegiatan, dan bentuk pelayanan gereja menuntut para praktisi gereja
berhenti sejenak dari rutinitas dan melihat ulang apa yang telah dikerjakan atau apa
yang telah terjadi. Menurut Teng dan Margaret yang dikutip oleh Eva Inriani
mengatakan bahwa hal ini dapat dipandang sebagai bentuk interupsi Ilahi atas
ambiguitas panjang gereja terkait refleksi dan visi teologi gereja dalam pelayanannya,
ambiguitas dalam mengukur keberhasilan, ambiguitas tujuan dan sasaran yang hendak
dicapai, bahkan ambiguitas dalam cara dan metodologi yang digunakan dalam
mewujudkan kehadiran dan pelayanannya di tengah dunia. Ambiguitas gereja perlu
direspons dengan tepat oleh gereja, sehingga muncul pembaharuan yang hakiki dalam
kehidupan berjemaat.2 Penulis melihat bahwa ambiguitas tersebut juga mencakup
pemahaman dan praktis panggilan gereja GKE Imanuel, Putussibau yang dikenal
sebagai Tri Panggilan Gereja. Di tengah pergumulan dikarenakan wabah penyakit yang
tengah menyebar, gereja berefleksi untuk melihat sejauh mana gereja telah
mewujudkan Tri Panggilan Gereja yaitu koinonia, marturia dan diakonia serta
bagaimana gereja menjawab tantangan zaman seturut visi dan misi Tuhan atas umat-
Nya. Dengan demikian, penulis berusaha mengkaji kehidupan GKE Imanuel selama
pandemi covid-19 dengan memperlihatkan sudah sejauh mana tri panggilan gereja itu
diwujudkan di tengah gereja dan masyarakat Kota Putussibau.
Pada saat hal itu dilakukan, saya mencoba untuk melakukan wawancara kepada
5 orang dengan cakupan usia dan gender berbeda. Pertama, Eldisa Tania (9 Tahun),
mengatakan bahwa “gereja dari facebook tidak asik, Nia tidak bisa bermain bersama
teman-teman dan tidak bisa sekolah minggu terus tidak dapat jajan dari kakak sekolah
minggu”.4 Kedua, Elsa Dwita (17 Tahun), mengatakan bahwa “ibadah di rumah dan
facebook sama bosannya, tidak bisa bertemu teman-teman dan tidak bisa nongkrong
setelah ibadah hahaha”.5 Ketiga, Apriani (49 Tahun), mengatakan bahwa “ibadah dari
facebook tidak seperti ibadah, saya seperti hanya menonton dan dengan kualitas yang
buruk membuat siaran terkadang buram”.6 Keempat, Jeki (48 Tahun), mengatakan
bahwa “selama ibadah online saya tidak pernah ikut nonton, tetapi saya tetap
memberikan persembahan setiap minggunya kepada majelis jemaat”.7 Kelima,
margaretha Laualau (58 Tahun), mengatakan bahwa “saya kurang ngerti ibadahnya
gimana, jadi saya nonton-nonton aja”.8 Dengan berbagai cerita dan pengalaman dari
beberapa jemaat yang coba saya telisik dan dengar, ibadah online dengan menggunakan
facebook sebagai media dirasa kurang diminati oleh jemaat dan tidak memiliki nilai
persekutuan dan komunitas.
Dengan melihat berbagai cerita dan pengalaman dari jemaat GKE Imanuel, kita
melihat adanya kaitan yang sangat erat antara pandemi dan komunitas eklesial. Seperti
yang ditulis oleh Joas Adiprasetya, daya lenting (resilensi) gereja dalam menghadapi
komunitas ternyata sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam merespons krisis
pandemi secara tepat. Respons yang tepat tersebut harusnya ditunjukkan oleh gereja
melalui kesetiaan pada identitasnya sebagai komunitas misional, kepekaannya pada
mereka yang rapuh dan paling terdampak, serta kesediaannya untuk memperjuangkan
persekutuan yang merawat kehidupan para warganya.9 Pertanyaan kita adalah,
4
Tania, Eldisa. Wawancara oleh penulis. Putussibau, Indonesia, 13 Desember 2022.
5
Dwita, Elsa. Wawancara oleh penulis. Putussibau, Indonesia, 13 Desember 2022.
6
Apriani. Wawancara oleh penulis. Putussibau, Indonesia, 13 Desember 2022.
7
Jeki. Wawancara oleh penulis. Putussibau, Indonesia, 13 Desember 2022.
8
Laualau, Margaretha. Wawancara oleh penulis. Putussibau, Indonesia, 13 Desember 2022.
9
Adiprasetya, Joas. Gereja Pascapandemi Merengkuh Kerapuhan (Jakarta: STFT Jakarta & BPK Gunung
Mulia, 2021), 38.
seberapa jauh ketiga faktor kelentingan ini terus dipertahankan oleh GKE Imanuel
dalam menghadapi pandemi Covid-19?
GKE Imanuel yang memiliki identitas sebagai komunitas yang missional dengan
mewujudkan berbagai misi, yaitu:
10
Sanon. “Paradigma Misi GKE.” (April 2018): 68.
11
Sanon. “Paradigma Misi GKE.” (April 2018): 76.
12
Sanon. “Paradigma Misi GKE.” (April 2018): 77.
13
Sanon. “Paradigma Misi GKE.” (April 2018): 81-82.
Misi utama gereja di tengah masyarakat adalah memberitakan injil dan membawa
damai dan sejahtera bagi manusia di sekitarnya. Misi utama gereja itu dilaksanakan
melalui tri panggilan gereja yaitu bersekutu, bersaksi dan melayani. 14
Pada saat pandemi covid-19, banyak orang-orang yang terdampak dan rentan.
Bagaimana gereja kemudian merespons mereka yang membutuhkan rangkulan pada
saat masa krisis?
GKE Imanuel Merespons Konteks yang Terus Berubah Secara Transformatif dan
Konstruktif dengan Memaksimalkan Tri Panggilan Gereja
Gereja memiliki tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan panggilan Allah,
secara khusus GKE Imanuel menyatakannya dalam tri panggilan gerreja. Panggilan
Allah bagi gereja dikenal sebagai Tri Panggilan Gereja, yaitu panggilan gereja untuk
bersekutu (koinonia), bersaksi (marturia) dan melayani (diakonia). Tri Panggilan
Gereja ini melekat dan terikat satu sama lain dengan membentuk pola saling
keterhubungan. Persekutuan gereja harus merupakan persekutuan yang bersaksi dan
melayani. Tri Panggilan Gereja dapat dijelaskan sebagai berikut: 15
14
Sanon. “Paradigma Misi GKE.” (April 2018): 82-83.
15
Inriani, Eva. “Strategi Gereja Memaksimalkan Tri Panggilan Gereja Pada Masa Pandemi Covid-19,”
Jurnal Teologi Pambelum Vol. 1, no. 1 (Agustus 2021), 96.
16
Inriani, Eva. “Strategi Gereja Memaksimalkan Tri Panggilan Gereja Pada Masa Pandemi Covid-19,”
Jurnal Teologi Pambelum Vol. 1, no. 1 (Agustus 2021), 96.
pengembalaan, kelas pembinaan terstruktur, pembinaan keluarga, kelas pembinaan
dan pendampingan generasi muda, pembinaan yang bersifat meningkatkan kualitas
hidup anggota jemaat di tengah masyarakat, pembinaan tentang
mengkomunikasikan iman.17
3. Gereja yang Melayani (diakonia)
Pelayanan berasal dari bahasa Yunani yaitu diakonia. Soedarmo yang dikutip Inriani
menyatakan bahwa diakonia pada umumnya mengacu pada aktivitas gereja untuk
membantu anggota-anggota gereja yang lemah ekonominya. Namun gereja dalam
melaksanakan tugasnya panggilannya tidak boleh berhenti hanya memperhatikan
orang-orang yang seiman saja, namun juga di luar orang yang seiman.18
Gereja akan terus bertumbuh dan berkembang menyesuaikan kondisi dan zaman, tak
luput GKE Imanuel pun demikian. Namun apa yang terjadi jika GKE Imanuel tiba-tiba
berubah tanpa mendengarkan suara jemaat tentang perubahannya tersebut? Akan ada
mereka yang tidak bahagia seperti dulu lagi beribadah. Saat pandemi ada banyak
mereka yang rapuh dan tak berdaya, gereja sebagai bagian dari komunitas tak boleh
17
Inriani, Eva. “Strategi Gereja Memaksimalkan Tri Panggilan Gereja Pada Masa Pandemi Covid-19,”
Jurnal Teologi Pambelum Vol. 1, no. 1 (Agustus 2021), 96-97.
18
Inriani, Eva. “Strategi Gereja Memaksimalkan Tri Panggilan Gereja Pada Masa Pandemi Covid-19,”
Jurnal Teologi Pambelum Vol. 1, no. 1 (Agustus 2021), 97.
menghilang, namun ikut bersama-sama saling merangkul dan membantu dalam proses
pandemi ini.
Daftar Pustaka
Buku:
Adiprasetya, Joas. Gereja Pascapandemi Merengkuh Kerapuhan. Jakarta: STFT Jakarta &
BPK Gunung Mulia, 2021.
Website:
Jurnal:
Inriani, Eva. “Strategi Gereja Memaksimalkan Tri Panggilan Gereja Pada Masa Pandemi
Covid-19.” Jurnal Teologi Pambelum Vol. 1, no. 1 (Agustus 2021): 93-109.
Wawancara: