Mahasiswa Semester IV
(Pendikkat Paroki)
BAB I
PENGERTIAN DAN SEJARAH PAROKI
A. PENGERTIAN PAROKI1
1. Peristilahan Umum
Istilah ‘paroki’ sekarang ini menunjuk pada suatu bagian dari Gereja lokal, bagian dari
keuskupan. Konsili Vatikan II dalam Konstitusi tentang Liturgi mengatakan bahwa “Dalam Gerejanya
Uskup tidak dapat selalu atau di mana-mana memimpin sendiri segenap kawanannya. Maka haruslah
ia membentuk kelompok-kelompok orang beriman, di antaranya yang terpenting yakni paroki-
paroki, ...” (Sacrosanctum Concilium 42; bdk. Kitab Hukum Kanonik can. 515). Kutipan tersebut
secara tidak langsung menunjuk adanya pengelompokan umat atas dasar ‘wilayah’, baik wilayah
geografis untuk paroki teritorial maupun wilayah kategorial untuk paroki kategorial atau personal.
Pada umumnya paroki adalah teritorial, namun untuk alasan-alasan tertentu, misalnya atas dasar
bahasa, ritus, bangsa, status pekerjaan atau fungsi-fungsi pribadi sesuai dengan kebutuhan masing-
masing (KHK can. 518), uskup bisa mendirikan paroki kategorial atau personal tersebut. Dengan
demikian, sesuai dengan pengertian paroki menurut KHK can. 515, paroki pada prinsipnya terdiri dari
unsur-unsur dasar yang penting demi eksistensinya, yaitu: kumpulan jemaat kristiani tertentu, tempat
beribadat di mana dapat dikumpulkan atau diketemukan orang-orang kristiani; wilayah atau daerah
tertentu; dan ada pastor tertentu yang bertanggung jawab atas paroki tersebut.
1
Bagian ini mengambil dasar uraian dari karangan Tom Jacobs, SJ, ”Paroki” dalam Rohani XXXII, No. 12,
Desember 1986, hlm. 373-380.
Pendidikan Keagamaan Katolik Paroki__________________________________________________ 2
melalui Ishak-Yakub, dan kedua belas suku bangsa Israel dari perjanjian Sinai sampai pada
kepenuhannya yang sempurna. Yesus sendiri, lewat pribadi, pewartaan dan tindakan-Nya adalah
Kerajaan Allah yang sedang hadir. Kerajaan Allah sungguh di tengah manusia (Luk 17:21), karena
“jika Aku mengusir setan dengan kuasa Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang
kepadamu” (Luk 11:20). Lewat sabda-Nya, orang-orang sakit disembuhkan (Mat 8:16-17); angin
badai ditenangkan (Mat 8:27); orang mati dibangkitkan (Mat 5:39) dan setan diusir (Mat 13:26; Luk
10:23). Berbahagialah mereka yang melihat saat keselamatan dalam Kristus (Mat 13:16; Luk 10:26).
1). Tekun dalam ajaran para rasul (Kis 2:42) adalah suatu kesaksian yang baik bagi mereka di antara
praktek hidup bersama dan katekese tradisional sebagai paguyuban jemaat perdana. Istilah ‘rasul’
menunjuk pada kedua-belas yang ternyata mampu untuk menjadi sumber hidup baru bagi paguyuban
tersebut. Karena mereka erat dengan Yesus selama hidup-Nya di dunia ini, maka mereka menjadi
saksi khusus, karena merekalah yang telah secara langsung mengalami hidup bersama Yesus dan yang
Pendidikan Keagamaan Katolik Paroki__________________________________________________ 4
mengalami katekese Yesus. Kesaksian iman mereka inilah yang membuat orang-orang mampu juga
untuk percaya kepada Yesus dan kepada pewartaan mereka. Para rasul dapat menjadi suatu tanda
untuk kesatuan dan keutuhan serta keaslian ajaran yang diyakini berasal dari Yesus sehingga mereka
bisa menyelesaikan penyelewengan ajaran sesat yang mungkin timbul di tengah-tengah paguyuban
jemaat perdana. Dengan demikian, Tradisi para rasul bukannya ditemukan tetapi diterima dari Yesus.
2). Antusiasme dalam pemecahan roti diungkapkan dalam Kis 2:42-47; 20:7-12; 27:35. Hanya teks
terakhir saja yang berhubungan dengan pemecahan roti profan. Sedangkan kedua teks yang lain
diyakini oleh para ekseget sebagai pemecahan roti dalam Ekaristi. Pemecahan ini terjadi dalam
rumah-rumah pribadi, dalam suatu kerangka perjamuan makan (1 Kor 11:17-22) di mana bisa
berlangsung sampai larut malam (Kis 20:9-11). Pemecahan ini dirayakan untuk melaksanakan dari
apa yang diminta Yesus dalam Perjamuan Terakhir: “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (1
Kor 11:24). Kemudian, nampaknya setelah itu, pemecahan itu berlangsung setiap awal hari dalam satu
minggu (Kis 20:7; Luk 24:1): hari Minggu, hari perayaan kebangkitan Yesus (Luk 24:1.13).
3). Kehidupan doa dari paguyuban jemaat perdana sungguh sangat mengesankan: menanti kedatangan
Roh (Kis 1:14); setiap hari mereka berdoa di kenisah atau sinagoga (Kis 2:46); setelah pembebasan
Petrus dan Yohanes dari penjara (Kis 4:24), sebelum membangkitkan Tabita (Kis 9:40); berdoa di
teras suatu rumah (Kis 10:9), dll. Jadi dalam kehidupan konkrit dan dalam situasi eksistensial mereka
bersatu dan tekun dalam doa. Dengan teladan Yesus serta mengikuti petunjuk-Nya, paguyuban jemaat
perdana berani berdoa pada Allah, Bapa, “Abba”: suatu panggilan dalam bahasa Aram yang
menggaris-bawahi suatu keakraban yang mesra antara anak dan bapak (Mrk 14:36; Rm 8:15; Gal 4:6).
4). Hidup bersama dengan hak milik bersama menjadi suatu ungkapan dari kesatuan persaudaraan
(‘koinonia’: Kis 2:42) yang hidup di antara para jemaat perdana. Milik bersama dalam paguyuban itu
bukanlah suatu komunisme yang ditempatkan di luar atau demi ideologi manusia saja. Milik bersama
ini merupakan suatu ungkapan kesatuan dari ke-berada-an paguyuban jemaat perdana dalam cinta
kasih. Kesatuan persaudaraan mengungkapkan kesatuan hati dan budi serta bahkan menunjukkan
perhatian mereka pada orang-orang yang miskin. Mereka mengumpulkan harta bersama untuk
mencukupi kebutuhan masing-masing. Dan “selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu
membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing” (Kis 2:45) atau
“mereka meletakkan di depan kaki rasul-rasul; lalu dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan
keperluannya” (Kis 4:35). Inti pokok yang terkandung dalam hidup bersama dengan milik bersama
adalah “orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa” (Kis 4:32). Kehendak untuk bersatu
membantu paguyuban untuk bersama mengambil keputusan dalam kesatuan hati dan budi (Kis 15:25).
Dalam semangat untuk mewujudkan kesatuan tersebut, Paulus mengadakan kolekte dari paguyuban-
paguyuban yang dibentuknya di tanah ‘kafir’ (2 Kor 8:1-15). Hal ini menandakan kesatuan paguyuban
jemaat ‘lokal’ Paulus dengan jemaat di Yerusalem.
Sebetulnya paguyuban jemaat kristiani perdana itu merupakan satu dari bermacam-macam
kelompok yang ada dalam agama Yudaisme: satu komunitas dalam komunitas. Paguyuban itu
merupakan suatu ‘sekte’ di antara sekte-sekte yang lain (misalnya: orang-orang Farisi, orang-orang
Essen, gerakan-gerakan baptis, dsb.), meskipun harus dimengerti bahwa arti ‘sekte’ bukanlah seperti
diartikan sekarang dalam arti yang jelek. Paguyuban jemaat kristiani perdana ini merupakan satu sekte
Nasrani (Kis 2:22; 3:6 dan bahkan dalam Kis 24:5 Paulus dikenal sebagai pimpinan dari suatu aliran
dari sekte Nasrani itu) yang terbentuk oleh karena iman pada pribadi Yesus Nasareth, Mesias, Yang
bangkit dari antara orang mati. Baru kelak di Antiokia, untuk pertama kalinya perkumpulan murid-
murid disebut ‘paguyuban kristiani’ (Kis 11:26), yang artinya: ‘pengikut’, ‘komplotan’ Kristus.
Prinsip kesatuan mereka yang mendasar adalah pada kesatuan iman akan pribadi Yesus Kristus yang
bangkit dari antara orang mati dan pada pengajaran para rasul. Namun dalam sejarah Gereja, prinsip
dasar dari paguyuban jemaat kristiani berkembang dalam bentuk yang berbeda-beda.
dari seluruh umat kristiani dari suatu daerah tertentu. Maka perlulah suatu paroki dibatasi oleh daerah
jangkauan masing-masing. Dan sebagai suatu paguyuban kristiani dalam keuskupan, paroki
merupakan suatu bagian yang lebih berkembang, lebih tetap dan lebih luas. Paroki ialah “jemaat
tertentu kaum beriman kristiani yang dibentuk secara tetap dalam Gereja partikular dan yang reksa
pastoralnya, di bawah otoritas Uskup diosesan, dipercayakan kepada pastor paroki sebagai
gembalanya sendiri” (can. 515). Ditempatkan dalam konteks paguyuban jemaat kristiani, paroki
adalah suatu Gereja kecil, suatu komunitas orang beriman sebagai suatu bagian dari umat Tuhan (can.
369). Paroki adalah suatu bagian kecil dari umat Tuhan dalam keuskupan. Maka dari akarnya yang
mendasar, keuskupan dan paroki terjadi untuk melayani umat Tuhan. Paroki menjadi tempat
keterlibatan pertama dari umat dalam Gereja dan dari Gereja terhadap anggota-anggotanya. Can. 515
menggarisbawahi prinsip kesatuan pemerintahan Gereja. Gereja lokal keuskupan adalah hirarkis,
maka parokipun hirarkis, tetapi prinsip hirarki sebagai kesatuan pastoral erat hubungannya dengan
prinsip kerja sama dalam paroki.
Kedua prinsip ini terwujud dalam suatu dewan pastoral dalam paroki. Dewan ini bisa berupa
Dewan Paroki, bukan hanya memberi nasehat saja, tetapi parokilah yang sebetulnya memberi nasehat.
Dewan ini mengurusi seluruh aktivitas pastoral Gereja dalam paroki. Secara singkat, di sini hanya
dapat dikatakan bahwa ada 3 (tiga) kategori keanggotaan Dewan Paroki menurut can. 536:
Kategori pertama adalah pastor kepala (can. 536), gembala dari jemaat parokial (can. 519)
atau bila tidak ada pastor kepala, paroki dapat dipimpin oleh moderator dari suatu kelompok pastoral,
yang memimpin aktivitas bersama. Kelompok ini bukan kelompok pastoral dalam arti umum, tetapi
dapat dimengerti sebagai kelompok pastoral yang terbentuk, baik kalau ada pastor paroki maupun
tidak (bdk can. 517 dan can 151). Dalam hal ini, maka dewan pastoral paroki dapat berwujud suatu
kelompok pastoral, selain bentuk yang biasa dalam Dewan Paroki. Kelompok ini adalah suatu
kelompok animasi pastoral: kelompok yang menjadi penggerak segala kegiatan pastoral dalam paroki.
Kelompok animasi pastoral ini bisa menjadi suatu unsur eksekutif dan direktif dalam paroki, yang
tidak hanya bersifat konsultatif tetapi juga deliberatif.
Kategori kedua terdiri dari mereka yang berpartisipasi dengan alasan pengangkatan sebagai
petugas pastoral dalam paroki (can. 536), misalnya: para pastor pembantu, para diakon, prodiakon, dll.
Kategori ketiga meliputi seluruh umat beriman yang dipilih dan dipercaya oleh umat serta
yang terlibat dalam seluruh aktivitas pastoral dengan alasan perwakilan, pembagian demografis
(orang/umat), geografis sesuai kebutuhan hidup paroki.
sabda Tuhan dan merayakan Ekaristi. Maka harus ada kesempatan untuk berkumpul bersama dan
menghayati hidup kegerejaan dalam kelompok kecil.
Di sini Gereja berhadapan dengan sebuah dilema: dari satu pihak keuskupan tidak boleh
terlalu kecil, supaya dapat menghadapi dan menangani permasalahan pastoral yang semakin rumit dan
majemuk; dari lain pihak kelompok juga tidak boleh terlalu besar untuk dapat merayakan Ekaristi
bersama dan memberi pelayanan pastoral yang memadai. Jawaban atas persoalan ini adalah paroki
sebagai bagian dalam keuskupan. Namun, harus diingat bahwa pastor paroki bukan seorang "uskup
kecil", melainkan seorang pembantu uskup. Yang bertanggung jawab atas suatu paroki adalah tetap
uskup, tetapi dibantu oleh imam-imam. Dan semua imam bersama adalah pembantu uskup. Maka
juga semua paroki bersama merupakan satu keuskupan. Setiap paroki tetap merupakan bagian integral
dari keuskupan, dan tidak berdiri sendiri.
B. SEJARAH PAROKI4
Paroki dari jaman ini adalah hasil dari perkembangan sejarah yang panjang dan rumit. Dalam
garis-besar yang dasariah, pertama-tama paroki dibentuk oleh iman jemaat yang menanggapi
panggilan Allah, dan kedua oleh kondisi-kondisi budaya dan sejarah di mana kaum beriman hidup.
Sejarah singkat perkembangan paroki di bawah ini mungkin dapat sungguh berguna untuk mendalami
paroki.
1. Gereja Kristen Perdana
4
Uraian ini mendasarkan pada diktat matakuliah “Kateketik Paroki I” untuk mahasiswa STFK
Pradnyawidya, Yogyakarta, 1993 yang dikumpulkan oleh Lembaga Pengembangan Kateketik
Pusat Kateketik, Yogyakarta: 1993, hlm. 2-11 dengan perubahan sesuai dengan kebutuhan.
Pendidikan Keagamaan Katolik Paroki__________________________________________________ 7
Di dalam kristianitas awal tidak ada pola tetap dari organisasi Gereja. Jemaat kristiani
pertama dibentuk dalam kota-kota besar (Yerusalem, Antiokia, Korintus, Efesus). Mula-mula sebuah
persekutuan kecil dari keluarga-keluarga berkumpul bersama di sebuah rumah untuk pelayanan-
pelayanan Sabda dan doa. "Gereja-gereja rumah" ini, yakni: rumah-rumah keluarga yang dipakai atau
difungsikan sebagai gereja, tempat pelayanan Sabda, doa, dan Ekaristi, masih ada hingga pertengahan
abad ketiga. Bahkan dalam surat-surat pastoralnya, Paulus sudah mengingatkan bahwa para pemimpin
jemaat dibedakan karena keutamaan mereka dalam memberi tumpangan (1 Tim 3:2; Tit 1:7-9). Tidak
dapat diragukan kalau mereka diharapkan untuk merelakan rumah-rumah mereka sebagai tempat
untuk ibadat kristiani bagi jemaat kristiani perdana.
Dalam hal organisasi Gereja, Jean Colson membedakan dua garis pokok perkembangan.
Yang pertama adalah garis Paulus yang memiliki kebersamaan para imam (kolegialitas), tetapi tanpa
uskup. Kesatuan Gereja didasarkan tidak pada pemimpin tunggal, tetapi pada teologi Tubuh Kristus
dengan banyak anggota dan banyak fungsi yang berbeda-beda. Kebersamaan para imam tanpa uskup
ini bertahan lama sampai masa-masa sesudah jaman para rasul, khususnya di Aleksandria, Mesir.
Bentuk kedua dari organisasi jemaat bercirikan seorang pemimpin tunggal, seorang uskup monarkis,
yang tinggal di dalam jemaat. Pemimpin ini menjadi gambaran kesatuan yang hidup dari jemaat. Dia
adalah orang yang dapat dilihat dan disentuh.
Sesudah jaman para rasul, persekutuan monarkis (dengan satu uskup) muncul sebagai bentuk
yang dominan dari organisasi Gereja. Ignatius Antiokia (107), sangat condong pada model monarkis
ini untuk melindungi kawanannya dari tiga macam pencobaan dari para pengikut gnostik, doketisme,
dan orang-orang Yahudi. Dan bentuk organisasi Gereja macam ini dapat berjalan pada saat itu. Model
ini menyelamatkan kawanan dari "bidaah" (ajaran sesat). Tetapi, sebagaimana terjadi di Antiokia,
dominasi bertahap dari persekutuan-persekutuan monastik atau episkopalis merupakan hasil akhir dari
tanggapan Gereja terhadap situasi-situasi historis yang khas.
dalam reksa karya pastoral. Imam-imam juga bertanggung jawab atas gereja-gereja tituler yang mula-
mula adalah gereja rumah dengan para pemilik sekuler dan pribadi. Lama-lama Gereja mendapatkan
gereja-gereja rumah dan melengkapinya dengan tempat-tempat permandian. Dalam organisasi Gereja
itu, hanya tiga prinsip muncul secara tetap. Pertama, batas-batas wilayah atau kekayaan tidak
menjadi faktor penentu dalam menentukan Gereja lokal. Kedua, imam luar kota selalu tetap sebagai
wakil uskup kota. Ketiga, imam tidak mentahbiskan imam-imam yang lain.
Sesudah Konstantinus, Gereja juga mulai memiliki kekayaan atas namanya sendiri.
Keuskupan menjadi sebuah badan hukum di bawah hukum Romawi. Lama-lama Gereja individual
juga menjadi badan-badan hukum, dan mereka mencari kekayaan atas nama mereka sendiri. Dengan
kebebasan baru yang dijamin oleh perjanjian Edikta Milano (313), orang kristiani membangun tempat
khotbah, gereja, dan biara dengan besar-besaran. Pada abad kelima, dua corak paroki berkembang,
terutama di Perancis dan Spanyol. Pertama, kepentingan bagi gereja-gereja pembaptisan, yakni
gereja yang memiliki sebuah kolam pembaptisan, dan baptisan dirayakan secara teratur di sana.
Corak kedua dari Gereja, yang berada di desa-desa yang kecil, tidak mempunyai kolam pembaptisan.
Pada abad kelima, uskup mulai menunjuk imam utama yang menetap pada gereja-gereja
pembaptisan. Pada abad keenam, dia memberikan hak untuk membaptis dan berkhotbah, yang
sebelumnya khusus untuk uskup-uskup, kepada imam utama. Pada abad kedelapan, lama-lama gereja-
gereja pembaptisan diganti dengan gereja-gereja yang dimiliki secara pribadi (eigen-kirchen). Gereja-
gereja semacam itu sering menjadi kekayaan awam secara individual atau keluarga-keluarga. Pada
tahun 826, dua sinode Roma memberikan persetujuan terhadap sistem gereja-gereja pribadi ini.
Kebiasaan imam mengharapkan semacam “iura stolae”: upah (wajib) jabatan untuk pelayanan
sakramen-sakramen (yang menggunakan stola).
Pada abad IX dan X, sistem “iura stolae” merosot sebagai akibat banyaknya penyalahgunaan
pengelolaan harta gereja yang menjadi perdagangan untuk mencari keuntungan. Pembaharuan
Gregorian, yang berpuncak dalam Konsili Lateran I dan II (1123 dan 1139), menetapkan bahwa hanya
uskup-uskup saja yang berhak menunjuk imam-imam untuk gereja-gereja. Kini para awam dilarang
memiliki gereja-gereja. Sejak abad X sampai Konsili Trente (1545-1563), paroki dibentuk dengan
penerimaan sistem derma, penerapan sistem zakat persepuluhan (yang berasal dari hukum Musa
dalam Perjanjian Lama, Ul 14:22).
Sebetulnya sistem derma sudah mulai berkembang sejak abad VI, tetapi sistem ini tidak
diadopsi oleh Gereja universal sampai abad XI. Sebuah derma dalam perkembangannya dapat
didefinisikan sebagai ‘suatu keseluruhan hasil yang sah yang ditentukan secara tetap atau ditegakkan
oleh kuasa gerejawi yang cakap dan yang terdiri dari suatu jabatan suci dan hak untuk menerima
penghasilan yang bertambah dari sumbangan karena jabatan itu’. Maka derma memiliki empat ciri
utama: (1) kekekalan; (2) hak akan penghasilan dari hak milik Gereja; (3) atas dasar suatu dekrit resmi
dari kuasa gerejawi yang memberi ciri atau titel sebuah dana-dana atau kekayaan tertentu; (4) terikat
jabatan dari tugas-tugas spiritual seperti pemeliharaan jiwa-jiwa atau pelaksanaan yurisdiksi.
Sebetulnya sudah sejak awal tahun 585, persepuluhan menjadi kewajiban baik secara sipil
maupun gerejawi (di bawah ancaman ekskomunikasi). Efek praktis dari persepuluhan ini adalah untuk
mengikat para anggota paroki lebih dekat dengan paroki. Mereka memiliki hak untuk mengharapkan
pelayanan sakramental dari paroki yang menerima persepuluhan mereka.
Selama abad-abad pertengahan pada dasarnya persekutuan paroki dan sipil adalah satu dan
sama. Pada saat yang sama pelayanan terhadap baik kepentingan duniawi dan gerejawi adalah
sekaligus pelayanan pada persekutuan sipil dan Gereja.
paroki. Ada beberapa kekecualian; prinsip personal digunakan untuk membangun paroki-paroki
khusus bagi mereka yang termasuk ritus atau tatacara-tatacara yang berbeda dan bagi mereka yang
termasuk minoritas bangsa seperti orang Polandia atau Slovakia.
Memang, terutama hanya umat paroki yang hidup dalam batas-batas yang ditentukan dengan
jelas oleh pengertian paroki pada umumnya. Meskipun demikian, pada prinsipnya, setiap paroki
diharapkan memiliki gerejanya sendiri, dengan pengecualian, Roma mengijinkan beberapa paroki
untuk menggunakan gereja yang sama. Dengan Konsili Trente, pembagian dan pembentukan paroki
yang baru diserahkan pada kuasa uskup. Setelah uskup, pastor paroki mempunyai kuasa utama atas
umat paroki. Mulai saat itu, pastor kepala paroki (“parochus”) harus menjaga daftar semua yang
dibaptis dan nikah. Setelah Trente, kekuasaan semakin dipusatkan para uskup dan wakilnya, yaitu
pastor. Kalau terdapat sekolah milik paroki, pastor bertanggung jawab menyelenggarakan sekolah itu.
Demikianlah, paroki-paroki tumbuh makin luas. Pada akhir abad XIX, di Paris, satu paroki
rata-rata mempunyai 36.000 jiwa. Di Jerman kondisinya sama saja. Di Amerika Selatan, paroki-paroki
lebih parah, yaitu masing-masing memiliki rata-rata 50.000 anggota. Pada pokoknya prinsip paroki
yang digunakan adalah prinsip teritorial untuk organisasi paroki. Memang, terdapat banyak
kekecualian bagi paroki-paroki kebangsaan dan personal bagi sejumlah imigran yang tumbuh dan
yang berbicara dengan bahasa umum.
hanyalah Uskup, setelah mendengarkan nasehat Dewan Imam, yang berhak mendirikan, meniadakan
atau mengubah paroki (can. 515). Setelah Vatikan II, perkembangan paroki tidak lagi menekankan
daerah teritorial tetapi lebih mementingkan paroki sebagai Gereja, Umat Allah. Paroki menghadapi
berbagai macam tantangan zaman modern sehingga muncul berbagai komunitas kristiani baru yang
mendasarkan pada kategori atau pribadi atau fungsi dalam kelompok Gereja.
Identitas paroki yang demikian itu mungkin dapat dihubungkan dengan paroki dua matra:
teritorial dan fungsional. Di dalam paroki tersebut terdapat dua prinsip organisasi yang berbeda:
subsistem teritorial dan subsistem fungsional. Subsistem teritorial berhubungan dengan lingkup
tempat tinggal di mana komunikasi antar keluarga dan tetangga lazim terjadi. Dalam subsistem
fungsional orang beraktivitas di luar batas tempat tinggal, yaitu dalam lingkup kerja di mana
komunikasi terjadi di tingkat profesi (kantor, toko, sekolah, universitas, instansi, perusahaan, pabrik,
tentara, bisnis, bidang sosial, pendidikan, agama, dll.). Oleh karena itu baiklah paroki mengambil alih
istilah matra teritorial dan matra fungsional dalam satu paroki. Memang ada dua pendekatan dalam
pastoral fungsional: sentralistis/formal (inisiatif dan pengangkatan personal dari atas) dan dari bawah
(inisiatif dari masing-masing paroki untuk mengembangkan identitasnya sendiri). Keduanya
mengandaikan sistem terbuka: ada perbatasan namun perbatasan itu terbuka.
Jadi paroki dua matra mengandaikan satu jemaat yang mempunyai dua dimensi yang saling
interdependen dan saling mempengaruhi, misalnya: kepemimpinan paroki yang berdimensi dua matra
berada dalam satu orang (satu tim), ada pelayanan dan kegiatan bersifat teritorial (pastoran terbuka,
peta pastoral, profil paroki tertentu, relasi dengan agama lain), ada bermatra fungsional (jaringan antar
orang, usaha, kegiatan yang kurang formal yang mau saling membantu), dan perlunya
mengembangkan formasio bagi para tenaga pastoral imam dan awam sehingga mampu bekerja sama
dengan baik di kelak kemudian hari.