Anda di halaman 1dari 11

Diktat Mata Kuliah

Mahasiswa Semester IV

PENDIDIKAN KEAGAMAAN KATOLIK


PAROKI

(Pendikkat Paroki)

disusun ulang dan diperbaharui


oleh
Drs. M. Sumarno Ds, S.J., M.A.

Program Studi Pendidikan Keagamaan Katolik


Jurusan Ilmu Pendidikan
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2021
Pendidikan Keagamaan Katolik Paroki__________________________________________________ 1

BAB I
PENGERTIAN DAN SEJARAH PAROKI

A. PENGERTIAN PAROKI1

1. Peristilahan Umum
Istilah ‘paroki’ sekarang ini menunjuk pada suatu bagian dari Gereja lokal, bagian dari
keuskupan. Konsili Vatikan II dalam Konstitusi tentang Liturgi mengatakan bahwa “Dalam Gerejanya
Uskup tidak dapat selalu atau di mana-mana memimpin sendiri segenap kawanannya. Maka haruslah
ia membentuk kelompok-kelompok orang beriman, di antaranya yang terpenting yakni paroki-
paroki, ...” (Sacrosanctum Concilium 42; bdk. Kitab Hukum Kanonik can. 515). Kutipan tersebut
secara tidak langsung menunjuk adanya pengelompokan umat atas dasar ‘wilayah’, baik wilayah
geografis untuk paroki teritorial maupun wilayah kategorial untuk paroki kategorial atau personal.
Pada umumnya paroki adalah teritorial, namun untuk alasan-alasan tertentu, misalnya atas dasar
bahasa, ritus, bangsa, status pekerjaan atau fungsi-fungsi pribadi sesuai dengan kebutuhan masing-
masing (KHK can. 518), uskup bisa mendirikan paroki kategorial atau personal tersebut. Dengan
demikian, sesuai dengan pengertian paroki menurut KHK can. 515, paroki pada prinsipnya terdiri dari
unsur-unsur dasar yang penting demi eksistensinya, yaitu: kumpulan jemaat kristiani tertentu, tempat
beribadat di mana dapat dikumpulkan atau diketemukan orang-orang kristiani; wilayah atau daerah
tertentu; dan ada pastor tertentu yang bertanggung jawab atas paroki tersebut.

2. Pengertian ‘Paroki’ dalam Kitab Suci


Istilah ‘paroki’ dalam pengertian sekarang ini tidak berasal dari Kitab Suci. Akar istilah
‘paroki’ dapat diketemukan dalam bahasa Yunani ‘ / paroikia’. Memang dalam Kitab Suci
bahasa Yunani kata ‘paroikia’ diketemukan. Namun kata ini dalam Kitab Suci digunakan dengan arti
yang lain dari arti sekarang. Kata tersebut berasal dari kata kerja Yunani ‘ / paroikeo’, yang
berarti: ‘tinggal dekat, bertetangga’, ‘hidup di antara atau bersama dengan’ dan khususnya ‘berdiam
dalam sebuah negara sebagai orang asing’ (KS bahasa Yunani LXX [Septuaginta], Kej 12:10; Luk
24:18; Flm 1.4-16). Sedangkan kata ‘paroikia’ berarti ‘suatu tempat tinggal atau pemukiman dalam
negera asing’ (bdk. KS LXX, Keb 19:10; Why 13:17), dan ‘’ / paroikos’ menunjuk pada
‘tetangga’, ‘orang asing’ (Kej 15:3dst.), khususnya mereka (orang asing) yang tinggal di suatu kota
atau negara (Im 22:10; Why 7;6;29; bdk. istilah jaman sekarang untuk menunjuk orang-orang imigran
atau transmigran).
Pertama-tama istilah itu digunakan untuk orang-orang Israel sewaktu mereka tinggal dalam
tanah asing, dalam pembuangan (Ul 23:8). Dalam Kis 13:17 kata itu masih digunakan untuk
menunjuk bangsa Israel yang tinggal di tanah Mesir sebagai orang asing (Kis 7:6.29). Orang-orang
Israel disebut ‘’ (bentuk jamaknya dari ‘paroikos’), karena mereka tinggal dalam sebuah
‘paroikia’, sebuah negara asing. Akhirnya, seluruh kehidupan bangsa Israel di tengah-tengah dunia ini
juga disebut dalam ‘paroikia’, dalam suatu negara asing. “Sebab kami adalah orang asing di hadapan-
Mu dan orang pendatang sama seperti semua nenek moyang kami; sebagai bayang-bayang hari-hari
kami di atas bumi dan tidak ada harapan” (1 Taw 29:15).
Pengertian ini juga diterapkan pada orang-orang kristiani dalam 1 Ptr 1:17: “... hendaknya
kamu hidup dalam ketakutan selama kamu menumpang di dunia ini” dan mereka adalah “...
pendatang dan perantau...” (1 Ptr 2:11). Dengan demikian, dalam dunialah Gereja dipandang sebagai
‘paroikia’. Tempat sejati bagi Gereja tidak ada di dunia ini, karena dalam tanah yang sejati itu, “kamu
bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang kudus dan anggota-
anggota keluarga Allah” (Ef 2:19). Tempat yang sejati bagi Gereja adalah di surga. Bilamana Gereja
disebut ‘paroikia’, Gereja dipandang sebagai peziarah, yang tidak mempunyai tempat asalnya dari
dunia ini. Dalam perkembangan ini, kita menyebut Gereja sebagai ‘paroikia’ dalam arti bahwa Gereja
sedang dalam peziarahannya di dunia ini menuju Bapa (GS 1; bdk. LG 6) . Demikian pula, umat dari
Gereja lokal juga disebut ‘paroikia’: umat parokial, karena pengertian yang mendasar dan penting
bagi paroki adalah paguyuban jemaat yang beriman kristiani.

1
Bagian ini mengambil dasar uraian dari karangan Tom Jacobs, SJ, ”Paroki” dalam Rohani XXXII, No. 12,
Desember 1986, hlm. 373-380.
Pendidikan Keagamaan Katolik Paroki__________________________________________________ 2

3. Dasar-dasar Pengertian Paroki2


Adanya (eksistensi) umat kristiani dimulai dan didasari dalam sejarah oleh seorang manusia
bernama Yesus. Umat itu pada awalnya merupakan suatu kumpulan pribadi-pribadi yang tertarik pada
Yesus dan membentuk suatu paguyuban dari umat (‘ecclesia’) di sekitar Yesus historis.3 Ikatan umat
itu semakin kuat setelah kebangkitan Yesus dan Pentekosta, terlebih dalam jemaat kristiani perdana.

a. Paguyuban jemaat sekitar Yesus historis

1). Paguyuban keluarga pribadi


Pada waktu Yesus hidup historis di dunia, paguyuban jemaat pertama-tama dibentuk oleh
karena ikatan akan pribadi-pribadi yang sama-sama tertarik pada Yesus historis dan membentuk
semacam suatu paguyuban keluarga yang berkumpul di sekitar pribadi Yesus. Mereka ini adalah
‘keluarga’ yang terdiri dari murid-murid Yesus dan wanita-wanita kudus yang melayani-Nya. Prinsip
keterikatan dan panggilan pribadi mereka dalam paguyuban tersebut adalah pribadi Yesus historis
yang sama. Yesus diterima sebagai seorang nabi baru: Musa baru (Mat 5:17-48), David definitif
dengan hukum raja dari Yang diurapi Yahwe (Mrk 2:23-28), Salomon baru (Mat 12:42). Mereka
berkumpul di sekitar Yesus, yang dengan penuh kuasa dan kebijaksanaan ilahi, mewartakan,
mengajarkan dan mewujudkan Kerajaan Allah (Luk 4:31-37; Mrk 1:21-28). Kemudian, paguyuban itu
berkembang dan disuburkan dengan pengajaran, mukjizat dan sabda Yesus sendiri.

2). Paguyuban di sekitar sabda Yesus


Paguyuban ini dibentuk oleh karena pengajaran Yesus yang khas. Dia mengajar dengan cara
hidupnya sendiri dan lewat suatu bentuk hidup baru. Paguyuban ini dibangun lewat sabda-sabda dan
mukjizat-mukjizat-Nya yang mengagumkan. Di sini nampak suatu jejak nyata dari timbulnya suatu
paguyuban apostolis, yang dibentuk oleh Yesus, berkat katekese-Nya dan lewat cara hidup bersama
mereka dengan Yesus. Mereka tidak punya tempat tinggal tetap. Mereka membentuk suatu paguyuban
pengembara yang terdiri dari bermacam-macam orang: yang kaya dan yang miskin; yang
‘kecil’/sederhana dan yang terdidik; yang ahli dan yang bodoh; para wanita, anak, budak, pendosa, dll.
Mereka adalah ‘suatu sisa-sisa Israel’, karena sebagian besar penguasa Israel saat itu menolak Yesus
sebagai Mesias. Dalam paguyuban ini para murid, ke-72 murid dan ke-12 rasul mendapat tempatnya.

3). Paguyuban kedua belas rasul Yesus


Mereka ini adalah paguyuban ‘inti’ yang terdiri dari tokoh-tokoh pemimpin jemaat yang ada
di sekitar sabda Yesus. Mereka ini diangkat (Mrk 3:14) dan diutus untuk mewartakan Kerajaan Allah
(Mat 10:1-12). Sehubungan dengan kedudukan mereka dalam keseluruhan umat Israel, paguyuban
kedua belas rasul ini dipandang sebagai unsur pembentuk utama dari paguyuban Gereja miniatur.
Mereka membentuk sebuah paguyuban Gereja kecil, benih dari paguyuban Gereja mendatang.
Paguyuban ini merupakan simbol eskatologis dari kebangkitan kembali dari kedua belas suku Israel
(Mat 19:28; Luk 22:29). Tanda simbolis dari kedua belas rasul itu, yang merupakan pewartaan dari
kumpulan definitif dari umat Tuhan, meliputi gagasan tentang umat Allah dan Perjanjian Ilahi.
Mereka menjadi tanda dari gagasan tentang umat Allah, karena kedua belas rasul menjadi tanda
bahwa Kerajaan Allah sedang terwujud untuk seluruh umat Israel. Mereka ini berada bersama Yesus
dan berpartisipasi dalam tugas perutusan-Nya. Mereka menjadi tanda Perjanjian Ilahi, karena mereka
ini berada dalam garis sejarah keselamatan yang dimulai sejak perjanjian Yahwe dengan Abraham,
2
Uraian ini berdasarkan thesis M. Sumarno Darmasuwarna Ds SJ, “La catéchèse paroissiale permanente
des adultes dans l’archidiocèse de Semarang, Indonesia,” Bruxelles: Lumen Vitae, 1993, hlm. 45-52.
3 Kata ‘ecclesia’ adalah suatu kata terjemahan dari Kitab Suci LXX untuk istilah Ibrani ‘qahal’, yang berarti
suatu paguyuban nasional dari bangsa Ibrani, umat Tuhan, Israel. Dalam Perjanjian Baru, bila yang
dibicarakan tentang umat di sekitar Yesus, kata yang dipakai adalah dalam bentuk tunggal (‘ecclesia tou
theou’: satu paguyuban umat Allah) dalam arti yang sama seperti kata ‘qahal’ dalam LXX.
Tetapi, apabila yang dibicarakan adalah sebuah bangsa yang berkumpul, dalam konsep politis,
dari suatu paguyuban lokal, dari suatu kewarganegaraan, maka kata yang diambil menggunakan
bentuk jamak (‘ecclesiai’: paguyuban-paguyuban).
3
Pendidikan Keagamaan Katolik Paroki__________________________________________________ 3

melalui Ishak-Yakub, dan kedua belas suku bangsa Israel dari perjanjian Sinai sampai pada
kepenuhannya yang sempurna. Yesus sendiri, lewat pribadi, pewartaan dan tindakan-Nya adalah
Kerajaan Allah yang sedang hadir. Kerajaan Allah sungguh di tengah manusia (Luk 17:21), karena
“jika Aku mengusir setan dengan kuasa Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang
kepadamu” (Luk 11:20). Lewat sabda-Nya, orang-orang sakit disembuhkan (Mat 8:16-17); angin
badai ditenangkan (Mat 8:27); orang mati dibangkitkan (Mat 5:39) dan setan diusir (Mat 13:26; Luk
10:23). Berbahagialah mereka yang melihat saat keselamatan dalam Kristus (Mat 13:16; Luk 10:26).

4). Paguyuban sekitar meja makan


Dengan ikut ambil bagian dalam makan bersama para murid, kedua-belas rasul, dan terutama
bersama dengan orang-orang yang terbuang, tersingkir, terlupakan dan para pendosa, Yesus ingin
memberikan suatu tanda kebaikan keselamatan Allah yang terbuka untuk semua orang. Dalam
perspektif perjanjian Tuhan, paguyuban sekitar meja makan bersama Yesus ini nampaknya menjadi
tanda akan kebaikan Allah yang tak terbatas. Semua penginjil mengingat tindakan sentral dari
paguyuban ini dalam peristiwa pergandaan roti yang merupakan pembaharuan dari mukjizat roti
manna dalam konteks Perjanjian Baru antara Tuhan dan manusia. Dan paguyuban umat secara khusus
di sekitar meja makan perjamuan malam terakhir merupakan tanda dan sekaligus paguyuban awal dari
Perjanjian kekal. Perjamuan ini merupakan kesimpulan dari seluruh Perjanjian Tuhan dengan manusia
dan yang mengambil bentuknya yang baru: Perjanjian Baru dan Kekal. Tetapi, kematian Yesus
merupakan titik balik dari komunitas di sekitar Yesus. Dalam arti tertentu, Yesus ‘gagal’ dalam
rencana membentuk paguyuban selama hidupnya di dunia ini. Para orang Yahudi, bahkan para tokoh
umat, ternyata tidak bertobat, bahkan mereka menyalib-Nya. Murid-murid-Nya tercerai berai, para
rasul melarikan diri, bahkan Petruspun mengkhianati-Nya. Dalam puncak ‘kegagalan’ (Mat 15:34),
Yesus tidak putus harapan. Ia menyerahkan diri sampai mati demi keselamatan semua manusia dan
taat pada Bapa. Dan berkat kebangkitan-Nya dari antara orang mati, paguyuban jemaat kristiani
perdana mendapatkan dasar eksistensinya.

b. Paguyuban jemaat kristiani perdana


Kebangkitan Yesus meneguhkan paguyuban umat di sekitar Yesus historis: sahabat-sahabat
lama dari Yesus berkumpul lagi untuk membentuk suatu paguyuban bersama dari orang beriman (Kis
1:15; 2:1; 2:44.47). Semua orang beriman sehati sejiwa (Kis 1:14): mereka berkumpul di sekitar ke-
sebelas rasul bersama wanita-wanita dan Maria untuk bersatu dalam doa. Namun perlulah bagi
mereka untuk mempertahankan angka 12 sebagai tanda penting untuk mengungkapkan
keberlangsungan rencana Tuhan yang tetap setia untuk memenuhi janji-Nya kepada umat (Kis 1:15-
26). Nampaknya dalam Kis terdapat suatu gambaran paguyuban yang terstruktur dengan baik di mana
umat mempunyai tempat dan tugas masing-masing dalam paguyuban. Peristiwa Pentekosta
mengungkapkan banyak hal yang mengherankan sehubungan dengan Yesus. Menurut Petrus, Yesus
adalah seorang nabi yang diserahkan oleh Allah, Ia dihukum mati di salib dan setelah dikuburkan
selama 3 hari, Ia dibangkitkan oleh Bapa-Nya. Dan barangsiapa yang percaya pada Yesus yang
bangkit dari antara orang mati dan menerima pewartaan mereka, membentuk suatu paguyuban dan
memberikan kesaksian dengan memberikan diri dibaptis dalam nama Yesus itu. Bahkan saat itu ada
sekitar 3.000 pendengar (Kis 2:41) yang minta dibaptis setelah menerima katekese Petrus. Mereka
bergabung dalam suatu paguyuban kecil dari sahabat-sahabat lama Yesus. Akhirnya terbentuk di
Yerusalem suatu paguyuban yang baru yang menyatakan diri mereka sebagai paguyuban pengikut
sekte Yesus Nasareth. Di sanalah terdapat sumber dasar dari adanya jemaat kristiani yang pertama.
Setelah Pentekosta, paguyuban jemaat kristiani perdana menjadi suatu paguyuban yang penuh
kesatuan berkat rahmat Roh Kudus. Kisah para Rasul menggambarkan paguyuban tersebut hidup dan
bersatu hati di Yerusalem (Kis 4). Ciri-ciri khas yang essensial dari paguyuban ini adalah tekun dalam
pengajaran para rasul, antusiasme dalam pemecahan roti (Ekaristi) dan doa serta dalam milik bersama.

1). Tekun dalam ajaran para rasul (Kis 2:42) adalah suatu kesaksian yang baik bagi mereka di antara
praktek hidup bersama dan katekese tradisional sebagai paguyuban jemaat perdana. Istilah ‘rasul’
menunjuk pada kedua-belas yang ternyata mampu untuk menjadi sumber hidup baru bagi paguyuban
tersebut. Karena mereka erat dengan Yesus selama hidup-Nya di dunia ini, maka mereka menjadi
saksi khusus, karena merekalah yang telah secara langsung mengalami hidup bersama Yesus dan yang
Pendidikan Keagamaan Katolik Paroki__________________________________________________ 4

mengalami katekese Yesus. Kesaksian iman mereka inilah yang membuat orang-orang mampu juga
untuk percaya kepada Yesus dan kepada pewartaan mereka. Para rasul dapat menjadi suatu tanda
untuk kesatuan dan keutuhan serta keaslian ajaran yang diyakini berasal dari Yesus sehingga mereka
bisa menyelesaikan penyelewengan ajaran sesat yang mungkin timbul di tengah-tengah paguyuban
jemaat perdana. Dengan demikian, Tradisi para rasul bukannya ditemukan tetapi diterima dari Yesus.

2). Antusiasme dalam pemecahan roti diungkapkan dalam Kis 2:42-47; 20:7-12; 27:35. Hanya teks
terakhir saja yang berhubungan dengan pemecahan roti profan. Sedangkan kedua teks yang lain
diyakini oleh para ekseget sebagai pemecahan roti dalam Ekaristi. Pemecahan ini terjadi dalam
rumah-rumah pribadi, dalam suatu kerangka perjamuan makan (1 Kor 11:17-22) di mana bisa
berlangsung sampai larut malam (Kis 20:9-11). Pemecahan ini dirayakan untuk melaksanakan dari
apa yang diminta Yesus dalam Perjamuan Terakhir: “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (1
Kor 11:24). Kemudian, nampaknya setelah itu, pemecahan itu berlangsung setiap awal hari dalam satu
minggu (Kis 20:7; Luk 24:1): hari Minggu, hari perayaan kebangkitan Yesus (Luk 24:1.13).

3). Kehidupan doa dari paguyuban jemaat perdana sungguh sangat mengesankan: menanti kedatangan
Roh (Kis 1:14); setiap hari mereka berdoa di kenisah atau sinagoga (Kis 2:46); setelah pembebasan
Petrus dan Yohanes dari penjara (Kis 4:24), sebelum membangkitkan Tabita (Kis 9:40); berdoa di
teras suatu rumah (Kis 10:9), dll. Jadi dalam kehidupan konkrit dan dalam situasi eksistensial mereka
bersatu dan tekun dalam doa. Dengan teladan Yesus serta mengikuti petunjuk-Nya, paguyuban jemaat
perdana berani berdoa pada Allah, Bapa, “Abba”: suatu panggilan dalam bahasa Aram yang
menggaris-bawahi suatu keakraban yang mesra antara anak dan bapak (Mrk 14:36; Rm 8:15; Gal 4:6).

4). Hidup bersama dengan hak milik bersama menjadi suatu ungkapan dari kesatuan persaudaraan
(‘koinonia’: Kis 2:42) yang hidup di antara para jemaat perdana. Milik bersama dalam paguyuban itu
bukanlah suatu komunisme yang ditempatkan di luar atau demi ideologi manusia saja. Milik bersama
ini merupakan suatu ungkapan kesatuan dari ke-berada-an paguyuban jemaat perdana dalam cinta
kasih. Kesatuan persaudaraan mengungkapkan kesatuan hati dan budi serta bahkan menunjukkan
perhatian mereka pada orang-orang yang miskin. Mereka mengumpulkan harta bersama untuk
mencukupi kebutuhan masing-masing. Dan “selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu
membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing” (Kis 2:45) atau
“mereka meletakkan di depan kaki rasul-rasul; lalu dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan
keperluannya” (Kis 4:35). Inti pokok yang terkandung dalam hidup bersama dengan milik bersama
adalah “orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa” (Kis 4:32). Kehendak untuk bersatu
membantu paguyuban untuk bersama mengambil keputusan dalam kesatuan hati dan budi (Kis 15:25).
Dalam semangat untuk mewujudkan kesatuan tersebut, Paulus mengadakan kolekte dari paguyuban-
paguyuban yang dibentuknya di tanah ‘kafir’ (2 Kor 8:1-15). Hal ini menandakan kesatuan paguyuban
jemaat ‘lokal’ Paulus dengan jemaat di Yerusalem.
Sebetulnya paguyuban jemaat kristiani perdana itu merupakan satu dari bermacam-macam
kelompok yang ada dalam agama Yudaisme: satu komunitas dalam komunitas. Paguyuban itu
merupakan suatu ‘sekte’ di antara sekte-sekte yang lain (misalnya: orang-orang Farisi, orang-orang
Essen, gerakan-gerakan baptis, dsb.), meskipun harus dimengerti bahwa arti ‘sekte’ bukanlah seperti
diartikan sekarang dalam arti yang jelek. Paguyuban jemaat kristiani perdana ini merupakan satu sekte
Nasrani (Kis 2:22; 3:6 dan bahkan dalam Kis 24:5 Paulus dikenal sebagai pimpinan dari suatu aliran
dari sekte Nasrani itu) yang terbentuk oleh karena iman pada pribadi Yesus Nasareth, Mesias, Yang
bangkit dari antara orang mati. Baru kelak di Antiokia, untuk pertama kalinya perkumpulan murid-
murid disebut ‘paguyuban kristiani’ (Kis 11:26), yang artinya: ‘pengikut’, ‘komplotan’ Kristus.
Prinsip kesatuan mereka yang mendasar adalah pada kesatuan iman akan pribadi Yesus Kristus yang
bangkit dari antara orang mati dan pada pengajaran para rasul. Namun dalam sejarah Gereja, prinsip
dasar dari paguyuban jemaat kristiani berkembang dalam bentuk yang berbeda-beda.

4. Pengertian ‘Paroki’ dalam Hukum Gereja Sekarang


Dalam hukum Gereja, paroki dimengerti sebagai bagian yang terpisah dari Gereja partikular
keuskupan (KHK, can. 374). Paroki merupakan suatu institusi yang wajib ada dari keuskupan. Paroki
menjadi realitas konstitutif dari keuskupan, yang pada prinsipnya bersifat teritorial geografis: terdiri
Pendidikan Keagamaan Katolik Paroki__________________________________________________ 5

dari seluruh umat kristiani dari suatu daerah tertentu. Maka perlulah suatu paroki dibatasi oleh daerah
jangkauan masing-masing. Dan sebagai suatu paguyuban kristiani dalam keuskupan, paroki
merupakan suatu bagian yang lebih berkembang, lebih tetap dan lebih luas. Paroki ialah “jemaat
tertentu kaum beriman kristiani yang dibentuk secara tetap dalam Gereja partikular dan yang reksa
pastoralnya, di bawah otoritas Uskup diosesan, dipercayakan kepada pastor paroki sebagai
gembalanya sendiri” (can. 515). Ditempatkan dalam konteks paguyuban jemaat kristiani, paroki
adalah suatu Gereja kecil, suatu komunitas orang beriman sebagai suatu bagian dari umat Tuhan (can.
369). Paroki adalah suatu bagian kecil dari umat Tuhan dalam keuskupan. Maka dari akarnya yang
mendasar, keuskupan dan paroki terjadi untuk melayani umat Tuhan. Paroki menjadi tempat
keterlibatan pertama dari umat dalam Gereja dan dari Gereja terhadap anggota-anggotanya. Can. 515
menggarisbawahi prinsip kesatuan pemerintahan Gereja. Gereja lokal keuskupan adalah hirarkis,
maka parokipun hirarkis, tetapi prinsip hirarki sebagai kesatuan pastoral erat hubungannya dengan
prinsip kerja sama dalam paroki.
Kedua prinsip ini terwujud dalam suatu dewan pastoral dalam paroki. Dewan ini bisa berupa
Dewan Paroki, bukan hanya memberi nasehat saja, tetapi parokilah yang sebetulnya memberi nasehat.
Dewan ini mengurusi seluruh aktivitas pastoral Gereja dalam paroki. Secara singkat, di sini hanya
dapat dikatakan bahwa ada 3 (tiga) kategori keanggotaan Dewan Paroki menurut can. 536:
Kategori pertama adalah pastor kepala (can. 536), gembala dari jemaat parokial (can. 519)
atau bila tidak ada pastor kepala, paroki dapat dipimpin oleh moderator dari suatu kelompok pastoral,
yang memimpin aktivitas bersama. Kelompok ini bukan kelompok pastoral dalam arti umum, tetapi
dapat dimengerti sebagai kelompok pastoral yang terbentuk, baik kalau ada pastor paroki maupun
tidak (bdk can. 517 dan can 151). Dalam hal ini, maka dewan pastoral paroki dapat berwujud suatu
kelompok pastoral, selain bentuk yang biasa dalam Dewan Paroki. Kelompok ini adalah suatu
kelompok animasi pastoral: kelompok yang menjadi penggerak segala kegiatan pastoral dalam paroki.
Kelompok animasi pastoral ini bisa menjadi suatu unsur eksekutif dan direktif dalam paroki, yang
tidak hanya bersifat konsultatif tetapi juga deliberatif.
Kategori kedua terdiri dari mereka yang berpartisipasi dengan alasan pengangkatan sebagai
petugas pastoral dalam paroki (can. 536), misalnya: para pastor pembantu, para diakon, prodiakon, dll.
Kategori ketiga meliputi seluruh umat beriman yang dipilih dan dipercaya oleh umat serta
yang terlibat dalam seluruh aktivitas pastoral dengan alasan perwakilan, pembagian demografis
(orang/umat), geografis sesuai kebutuhan hidup paroki.

5. Paroki adalah Bagian dari Keuskupan


Kalau paroki sudah menjadi Gereja sendiri, untuk apa keuskupan? Di sini harus diberi
jawaban bahwa secara hakiki, menurut inti pokoknya, Gereja memang terlaksana dalam setiap paroki.
Tetapi itu tidak berarti bahwa segala sesuatu bisa ditanggung oleh paroki. Pertama-tama harus
dikatakan bahwa ada banyak kegiatan Gereja yang bukan kompetensi pastor paroki. Tidak semua
sekolah Katolik adalah sekolah paroki. Begitu juga dengan rumah sakit, rumah yatim-piatu dan
banyak instansi yang lain. Juga biara-biara tidak selalu ada di bawah pimpinan pastor setempat. Juga
hubungan dengan pemerintah atau dengan agama dan instansi yang lain, bukanlah urusan paroki.
Kegiatan Gereja di bidang-bidang seperti pendidikan, sosial ekonomi, kebudayaan, pers, mass media
dst. sering mempunyai jangkauan yang jauh lebih luas daripada batas-batas paroki. Singkatnya,
seluruh kehidupan dan kegiatan Gereja tidak mungkin dilaksanakan dalam kerangka paroki saja. Ada
banyak kegiatan dan karya yang melampaui batas-batas paroki. Karya-karya semacam itu biasanya
juga tidak berasal dari paroki, melainkan dari instansi sendiri atau dari keuskupan.
Hal itu tidak berarti bahwa keuskupan hanyalah instansi administratif yang lebih besar dan
yang lebih tinggi daripada paroki. Dalam jaman kuno setiap kelompok orang beriman dikepalai oleh
seorang uskup. Apa yang sekarang disebut "pastor kepala" (parochus) pada jaman dahulu adalah
seorang uskup. Tetapi dalam sejarah selanjutnya umat berkembang baik secara kuantitatif maupun
secara kualitatif, artinya tidak hanya jumlah anggota bertambah banyak, tetapi juga kegiatan dan
organisasi Gereja semakin rumit dan besar. Banyak hal sudah tidak lagi dapat ditanggung oleh
kelompok kecil, entah karena kesulitan finansial material, entah karena kekurangan tenaga. Dengan
demikian uskup tidak menjadi seorang manager atau administrator. Pekerjaannya memang semakin
majemuk, dan makin hari makin dibutuhkan aneka macam pembantu. Tetapi kehidupan Gereja yang
"normal" harus berjalan terus. Artinya, umat beriman harus dapat berkumpul untuk mendengarkan
Pendidikan Keagamaan Katolik Paroki__________________________________________________ 6

sabda Tuhan dan merayakan Ekaristi. Maka harus ada kesempatan untuk berkumpul bersama dan
menghayati hidup kegerejaan dalam kelompok kecil.
Di sini Gereja berhadapan dengan sebuah dilema: dari satu pihak keuskupan tidak boleh
terlalu kecil, supaya dapat menghadapi dan menangani permasalahan pastoral yang semakin rumit dan
majemuk; dari lain pihak kelompok juga tidak boleh terlalu besar untuk dapat merayakan Ekaristi
bersama dan memberi pelayanan pastoral yang memadai. Jawaban atas persoalan ini adalah paroki
sebagai bagian dalam keuskupan. Namun, harus diingat bahwa pastor paroki bukan seorang "uskup
kecil", melainkan seorang pembantu uskup. Yang bertanggung jawab atas suatu paroki adalah tetap
uskup, tetapi dibantu oleh imam-imam. Dan semua imam bersama adalah pembantu uskup. Maka
juga semua paroki bersama merupakan satu keuskupan. Setiap paroki tetap merupakan bagian integral
dari keuskupan, dan tidak berdiri sendiri.

6. Paroki terdiri dari Imam dan Awam


Dari uraian di atas ini kiranya dengan sendirinya jelas bahwa paroki tidak dapat dijalankan
oleh pastor paroki sendiri. Tetapi terang juga kiranya bahwa kaum awam tidak boleh dipandang
sebagai pembantu imam melulu. Imam dan awam adalah sama-sama umat beriman kristiani. Mereka
dengan baptis dijadikan anggota-anggota tubuh Kristus, dijadikan umat Allah dan dengan caranya
sendiri mengambil bagian dalam tugas Kristus sebagai imam, nabi, dan raja, dan oleh karena itu
sesuai dengan kedudukan mereka masing-masing dipanggil untuk menjalankan pengutusan yang
dipercayakan Allah kepada Gereja untuk dilaksanakan di dunia ini (KHK can. 204). Oleh penetapan
ilahi, di antara orang-orang beriman kristiani dalam Gereja ada pelayan-pelayan rohani tertahbis, yang
dalam hukum Gereja disebut para klerikus; sedangkan lain-lainnya disebut awam (KHK can. 207).
Paroki memang merupakan kelompok Gereja yang terkecil. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa urusan
paroki adalah urusan gerejani melulu, sesuai dengan tugas dan kegiatan khusus seorang imam. Ciri
khas paroki justru keterlibatannya di dalam kehidupan yang nyata. Maka jelaslah bahwa kaum awam
khusus terlibat di bidang profan (seperti yang dikatakan oleh Lumen Gentium 31). Justru dalam kerja
sama antara imam (pastor) dan awam (umat) di paroki perlu diingat bahwa tujuannya bukan
kelancaran organisasi, melainkan penghayatan iman sesuai dengan tuntutan hidup yang nyata. Awam
harus membawa dunia masuk ke dalam Gereja.
Tetapi itu sama sekali tidak berarti bahwa tugas imam dan awam dibagikan sedemikian rupa,
seolah-olah Gereja tanggungan imam dan awam berurusan dengan dunia. Kedua-duanya bertanggung
jawab bersama untuk kehidupan Gereja di dalam dunia. Sebagai pemimpin jemaat, imam memang
mempunyai tanggung jawab dan tugas khusus untuk memperhatikan hal-hal yang lebih khusus
bersifat gerejani, yakni pewartaan sabda dan perayaan Ekaristi. Tetapi juga kegiatan ini, yang khas
gerejani, harus diarahkan kepada kehidupan yang nyata. Juga imam bertanggung jawab untuk peranan
dan tempat Gereja di tengah-tengah masyarakat dengan cara lain daripada awam. Imam secara khusus
dengan memperhatikan kebutuhan umat dalam kesatuan iman. Awam lebih-lebih dengan
mengusahakan perwujudan konkrit dari iman itu dalam kesatuan hidup masyarakat. Dalam kedua
kegiatan ini juga terdapat kekhasan kerja sama antara imam dan awam. Imam tidak berdiri di atas
jemaat. Oleh tahbisannya ia ditempatkan pada pimpinan jemaat. Dan bersama dengan seluruh umat ia
bergerak, maju terus menuju tujuan surgawi. Sebab baik imam maupun awam insaf betul bahwa
paroki adalah ‘paroikia’, yang tempat tinggalnya tidak di dunia ini melainkan pada Bapa di sorga.
"Kewargaan kita adalah di dalam sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus
sebagai Juru Selamat" (Flp 3:20).

B. SEJARAH PAROKI4
Paroki dari jaman ini adalah hasil dari perkembangan sejarah yang panjang dan rumit. Dalam
garis-besar yang dasariah, pertama-tama paroki dibentuk oleh iman jemaat yang menanggapi
panggilan Allah, dan kedua oleh kondisi-kondisi budaya dan sejarah di mana kaum beriman hidup.
Sejarah singkat perkembangan paroki di bawah ini mungkin dapat sungguh berguna untuk mendalami
paroki.
1. Gereja Kristen Perdana
4
Uraian ini mendasarkan pada diktat matakuliah “Kateketik Paroki I” untuk mahasiswa STFK
Pradnyawidya, Yogyakarta, 1993 yang dikumpulkan oleh Lembaga Pengembangan Kateketik
Pusat Kateketik, Yogyakarta: 1993, hlm. 2-11 dengan perubahan sesuai dengan kebutuhan.
Pendidikan Keagamaan Katolik Paroki__________________________________________________ 7

Di dalam kristianitas awal tidak ada pola tetap dari organisasi Gereja. Jemaat kristiani
pertama dibentuk dalam kota-kota besar (Yerusalem, Antiokia, Korintus, Efesus). Mula-mula sebuah
persekutuan kecil dari keluarga-keluarga berkumpul bersama di sebuah rumah untuk pelayanan-
pelayanan Sabda dan doa. "Gereja-gereja rumah" ini, yakni: rumah-rumah keluarga yang dipakai atau
difungsikan sebagai gereja, tempat pelayanan Sabda, doa, dan Ekaristi, masih ada hingga pertengahan
abad ketiga. Bahkan dalam surat-surat pastoralnya, Paulus sudah mengingatkan bahwa para pemimpin
jemaat dibedakan karena keutamaan mereka dalam memberi tumpangan (1 Tim 3:2; Tit 1:7-9). Tidak
dapat diragukan kalau mereka diharapkan untuk merelakan rumah-rumah mereka sebagai tempat
untuk ibadat kristiani bagi jemaat kristiani perdana.
Dalam hal organisasi Gereja, Jean Colson membedakan dua garis pokok perkembangan.
Yang pertama adalah garis Paulus yang memiliki kebersamaan para imam (kolegialitas), tetapi tanpa
uskup. Kesatuan Gereja didasarkan tidak pada pemimpin tunggal, tetapi pada teologi Tubuh Kristus
dengan banyak anggota dan banyak fungsi yang berbeda-beda. Kebersamaan para imam tanpa uskup
ini bertahan lama sampai masa-masa sesudah jaman para rasul, khususnya di Aleksandria, Mesir.
Bentuk kedua dari organisasi jemaat bercirikan seorang pemimpin tunggal, seorang uskup monarkis,
yang tinggal di dalam jemaat. Pemimpin ini menjadi gambaran kesatuan yang hidup dari jemaat. Dia
adalah orang yang dapat dilihat dan disentuh.
Sesudah jaman para rasul, persekutuan monarkis (dengan satu uskup) muncul sebagai bentuk
yang dominan dari organisasi Gereja. Ignatius Antiokia (107), sangat condong pada model monarkis
ini untuk melindungi kawanannya dari tiga macam pencobaan dari para pengikut gnostik, doketisme,
dan orang-orang Yahudi. Dan bentuk organisasi Gereja macam ini dapat berjalan pada saat itu. Model
ini menyelamatkan kawanan dari "bidaah" (ajaran sesat). Tetapi, sebagaimana terjadi di Antiokia,
dominasi bertahap dari persekutuan-persekutuan monastik atau episkopalis merupakan hasil akhir dari
tanggapan Gereja terhadap situasi-situasi historis yang khas.

2. Zaman Konstantinus Agung


Sejak Ignatius dari Antiokia sampai Konsili Nicea (325), zaman kaisar Konstantinus Agung,
Gereja lokal dibentuk oleh dinamika ganda dari pelayanan dan tata-wilayah. Di kota-kota, mula-mula
uskup adalah pastor biasa dari jemaat. Dia memimpin Ekaristi dan melayani sakramen-sakramen.
Pastor-pastor paroki belum muncul. Tetapi uskup kota mempunyai imam-imam, diakon-diakon pria
dan wanita di sekitarnya untuk membantu dia dalam karya pastoral dan amal kasih. Pada abad-abad
kedua dan ketiga, kota dibagi dalam daerah-daerah di mana ditempatkan seorang diakon atau imam
yang tetap di bawah uskup. Daerah-daerah ini bukanlah paroki, karena uskup kota masih memimpin
seluruh wilayah secara langsung.
Sampai pada Konsili Nicea, tidak ada bukti bahwa teritori (wilayah) menjadi suatu prinsip
suatu organisasi Gereja. Di kota-kota model organisasi Gereja yang dominan berasal dari seorang
uskup yang menjadi gembala (uskup-pastor) yang dikelilingi oleh para diakon dan imam yang pergi
ke luar altar uskup untuk melayani daerah-daerah luar kota.
Ketika Gereja tersebar dari kota keluar kota, imam-imam dikirim ke desa-desa sekitar. Tetapi
dengan sangat cepat desa-desa inipun dikelola oleh uskup-uskup desa (chorepiscopoi). Mula-mula
uskup-uskup desa ini sejajar dengan uskup-uskup kota. Namun, lambat laun uskup desa berada di
bawah uskup kota. Mereka tidak boleh mentahbiskan imam-imam tanpa izin dari uskup kota. Uskup-
uskup desa menjadi sangat banyak.

3. Zaman sesudah Konstantinus Agung s/d Trente


Sebetulnya sejak 294 kaisar Diokletianus telah membagi kekaisaran Roma ke dalam distrik-
distrik (wilayah-wilayah) regional yang disebut keuskupan (dioses). Namun sesudah Konstantinus,
Gereja mengambil alih sistem Romawi dan mengorganisir menurut garis-garis keuskupan Romawi.
Dengan demikian, wilayah yang diperintah dengan kuasa sipil Romawi juga diperintah dengan suatu
kuasa gerejani seperti uskup. Tetapi uskup adalah pemberi hukum satu-satunya dan penguasa semua
kekayaan Gereja. Klerus berada di bawah uskup dalam segi pastoral, personal, dan ekonomis.
Sesudah jaman Konstantinus (337), uskup-uskup desa yang banyak itu mulai menghasilkan
uskup-uskup keliling yang mewakili uskup-uskup kota. Uskup-uskup desa ini sangat rendah
pendidikannya dan oleh karena itu mudah terkena bidaah (ajaran sesat) dan perpecahan (skisma).
Lama-lama uskup-uskup desa ini mulai menghilang. Imam-imam mulai mengganti uskup-uskup itu
Pendidikan Keagamaan Katolik Paroki__________________________________________________ 8

dalam reksa karya pastoral. Imam-imam juga bertanggung jawab atas gereja-gereja tituler yang mula-
mula adalah gereja rumah dengan para pemilik sekuler dan pribadi. Lama-lama Gereja mendapatkan
gereja-gereja rumah dan melengkapinya dengan tempat-tempat permandian. Dalam organisasi Gereja
itu, hanya tiga prinsip muncul secara tetap. Pertama, batas-batas wilayah atau kekayaan tidak
menjadi faktor penentu dalam menentukan Gereja lokal. Kedua, imam luar kota selalu tetap sebagai
wakil uskup kota. Ketiga, imam tidak mentahbiskan imam-imam yang lain.
Sesudah Konstantinus, Gereja juga mulai memiliki kekayaan atas namanya sendiri.
Keuskupan menjadi sebuah badan hukum di bawah hukum Romawi. Lama-lama Gereja individual
juga menjadi badan-badan hukum, dan mereka mencari kekayaan atas nama mereka sendiri. Dengan
kebebasan baru yang dijamin oleh perjanjian Edikta Milano (313), orang kristiani membangun tempat
khotbah, gereja, dan biara dengan besar-besaran. Pada abad kelima, dua corak paroki berkembang,
terutama di Perancis dan Spanyol. Pertama, kepentingan bagi gereja-gereja pembaptisan, yakni
gereja yang memiliki sebuah kolam pembaptisan, dan baptisan dirayakan secara teratur di sana.
Corak kedua dari Gereja, yang berada di desa-desa yang kecil, tidak mempunyai kolam pembaptisan.
Pada abad kelima, uskup mulai menunjuk imam utama yang menetap pada gereja-gereja
pembaptisan. Pada abad keenam, dia memberikan hak untuk membaptis dan berkhotbah, yang
sebelumnya khusus untuk uskup-uskup, kepada imam utama. Pada abad kedelapan, lama-lama gereja-
gereja pembaptisan diganti dengan gereja-gereja yang dimiliki secara pribadi (eigen-kirchen). Gereja-
gereja semacam itu sering menjadi kekayaan awam secara individual atau keluarga-keluarga. Pada
tahun 826, dua sinode Roma memberikan persetujuan terhadap sistem gereja-gereja pribadi ini.
Kebiasaan imam mengharapkan semacam “iura stolae”: upah (wajib) jabatan untuk pelayanan
sakramen-sakramen (yang menggunakan stola).
Pada abad IX dan X, sistem “iura stolae” merosot sebagai akibat banyaknya penyalahgunaan
pengelolaan harta gereja yang menjadi perdagangan untuk mencari keuntungan. Pembaharuan
Gregorian, yang berpuncak dalam Konsili Lateran I dan II (1123 dan 1139), menetapkan bahwa hanya
uskup-uskup saja yang berhak menunjuk imam-imam untuk gereja-gereja. Kini para awam dilarang
memiliki gereja-gereja. Sejak abad X sampai Konsili Trente (1545-1563), paroki dibentuk dengan
penerimaan sistem derma, penerapan sistem zakat persepuluhan (yang berasal dari hukum Musa
dalam Perjanjian Lama, Ul 14:22).
Sebetulnya sistem derma sudah mulai berkembang sejak abad VI, tetapi sistem ini tidak
diadopsi oleh Gereja universal sampai abad XI. Sebuah derma dalam perkembangannya dapat
didefinisikan sebagai ‘suatu keseluruhan hasil yang sah yang ditentukan secara tetap atau ditegakkan
oleh kuasa gerejawi yang cakap dan yang terdiri dari suatu jabatan suci dan hak untuk menerima
penghasilan yang bertambah dari sumbangan karena jabatan itu’. Maka derma memiliki empat ciri
utama: (1) kekekalan; (2) hak akan penghasilan dari hak milik Gereja; (3) atas dasar suatu dekrit resmi
dari kuasa gerejawi yang memberi ciri atau titel sebuah dana-dana atau kekayaan tertentu; (4) terikat
jabatan dari tugas-tugas spiritual seperti pemeliharaan jiwa-jiwa atau pelaksanaan yurisdiksi.
Sebetulnya sudah sejak awal tahun 585, persepuluhan menjadi kewajiban baik secara sipil
maupun gerejawi (di bawah ancaman ekskomunikasi). Efek praktis dari persepuluhan ini adalah untuk
mengikat para anggota paroki lebih dekat dengan paroki. Mereka memiliki hak untuk mengharapkan
pelayanan sakramental dari paroki yang menerima persepuluhan mereka.
Selama abad-abad pertengahan pada dasarnya persekutuan paroki dan sipil adalah satu dan
sama. Pada saat yang sama pelayanan terhadap baik kepentingan duniawi dan gerejawi adalah
sekaligus pelayanan pada persekutuan sipil dan Gereja.

4. Konsili Trente (1545-1563)


Paroki, yang sekarang kita kenali, pada dasarnya dibentuk selama dan setelah Konsili Trente.
Kini pastor paroki bertanggung jawab atas pemeliharaan jiwa-jiwa. Umat keuskupan dibagi ke dalam
paroki-paroki yang dibatasi secara jelas, yang masing-masing dilayani oleh pastor parokinya sendiri.
Konsili membicarakan masalah paroki dalam sessi ke XXIV. Konsili Suci memerintahkan para uskup,
demi makin menjaga keselamatan jiwa-jiwa yang menjadi tanggung jawab mereka, supaya mereka
membagi umat ke dalam paroki-paroki yang jelas dan tertentu dan menugaskan imam paroki
permanen untuk masing-masing paroki tersebut, yaitu pastor paroki yang dapat mengetahui umatnya
dan yang hanya bisa menerima sakramen secara layak dari pastor parokinya. Setelah Trente, prinsip
teritorial dengan batas-batas yang dibuat dengan jelas menjadi norma untuk membangun paroki-
Pendidikan Keagamaan Katolik Paroki__________________________________________________ 9

paroki. Ada beberapa kekecualian; prinsip personal digunakan untuk membangun paroki-paroki
khusus bagi mereka yang termasuk ritus atau tatacara-tatacara yang berbeda dan bagi mereka yang
termasuk minoritas bangsa seperti orang Polandia atau Slovakia.
Memang, terutama hanya umat paroki yang hidup dalam batas-batas yang ditentukan dengan
jelas oleh pengertian paroki pada umumnya. Meskipun demikian, pada prinsipnya, setiap paroki
diharapkan memiliki gerejanya sendiri, dengan pengecualian, Roma mengijinkan beberapa paroki
untuk menggunakan gereja yang sama. Dengan Konsili Trente, pembagian dan pembentukan paroki
yang baru diserahkan pada kuasa uskup. Setelah uskup, pastor paroki mempunyai kuasa utama atas
umat paroki. Mulai saat itu, pastor kepala paroki (“parochus”) harus menjaga daftar semua yang
dibaptis dan nikah. Setelah Trente, kekuasaan semakin dipusatkan para uskup dan wakilnya, yaitu
pastor. Kalau terdapat sekolah milik paroki, pastor bertanggung jawab menyelenggarakan sekolah itu.
Demikianlah, paroki-paroki tumbuh makin luas. Pada akhir abad XIX, di Paris, satu paroki
rata-rata mempunyai 36.000 jiwa. Di Jerman kondisinya sama saja. Di Amerika Selatan, paroki-paroki
lebih parah, yaitu masing-masing memiliki rata-rata 50.000 anggota. Pada pokoknya prinsip paroki
yang digunakan adalah prinsip teritorial untuk organisasi paroki. Memang, terdapat banyak
kekecualian bagi paroki-paroki kebangsaan dan personal bagi sejumlah imigran yang tumbuh dan
yang berbicara dengan bahasa umum.

5. Kitab Hukum Gereja 1917


Kanon-kanon Kitab Hukum Gereja Katolik 1917 yang berbicara tentang paroki pada dasarnya
mengulang prinsip paroki sebagaimana digariskan oleh Konsili Trente. Kanon 216, no. 1 menyatakan:
“Wilayah setiap keuskupan harus dibagi ke dalam bagian-bagian teritorial yang jelas; dalam setiap
bagian harus ditentukan gerejanya sendiri dengan bagian umat yang pasti, dan pemimpinnya sendiri
sebagai pastor wilayah itu harus ditugaskan untuk memelihara jiwa-jiwa di bawah kuasa uskupnya”.
Kanon 451 meletakkan prinsip bahwa pastor tetap tergantung pada uskup. Dia bertanggung
jawab "untuk memelihara jiwa-jiwa di bawah kuasa uskupnya". Semenjak Kitab Hukum Gereja ini
diterbitkan, sebuah paroki dimengerti sebagai "sebuah wilayah yang dibatasi dengan jelas dan
tertentu, dengan umat yang ditetapkan secara jelas dan tertentu, dan dengan gereja dan pastornya
sendiri".
Banyak komentator memberikan catatan bahwa hukum Gereja tidak memberi definisi tentang
paroki, tetapi hanya memberi gambaran tentang paroki. Para teolog mengatakan bahwa paroki dalam
hukum Gereja ini didasarkan pada sebuah eklesiologi yang tidak mencukupi, yang sangat legalistik
dan terlalu klerikal (berpusat pada hirarki para imam).

6. Konsili Vatikan II dan KHK 1983


Konsili Vatikan II (1962-1965) tidak secara khusus mengetengahkan teologi tentang paroki.
Vatikan II dalam Konstitusi Liturgi mengikuti Trente dalam menggambarkan paroki dalam hubungan
dengan ketergantungan antara pastor dan uskupnya. "Dalam Gerejanya Uskup tidak dapat selalu atau
di mana-mana memimpin sendiri segenap kawanannya. Maka haruslah ia membentuk kelompok-
kelompok orang beriman, di antaranya yang terpenting yakni paroki-paroki, yang di setiap tempat
dikelola di bawah seorang pastor yang mewakili Uskup. Sebab dalam arti tertentu paroki
menghadirkan Gereja semesta yang kelihatan" (Sacrosanctum Concilium 42).
Dalam Dekrit Kegembalaan Para Uskup dalam Gereja, Vatikan II meninggalkan definisi
teritorial Trente tentang keuskupan ketika menyatakan: “Diosis (keuskupan) merupakan sebagian
Umat Allah, yang dipercayakan kepada Uskup dalam kerja sama dengan ‘Dewan Imam’
(presbyterium) untuk digembalakan. Dengan demikian bagian Umat, yang patuh kepada gembalanya,
dan yang dihimpun olehnya dalam Roh Kudus melalui Injil dan Ekaristi itu, merupakan Gereja
khusus. Di situ sungguh hadir dan berkaryalah Gereja Kristus yang Satu, Kudus, Katolik …"
(Christus Dominus 11).
Berinspirasikan Konsili Vatikan II ini, KHK 1983 merumuskan paroki sebagai “jemaat
tertentu kaum beriman kristiani yang dibentuk secara tetap dalam gereja partikular dan yang reksa
pastoralnya, di bawah otoritas Uskup diosesan, dipercayakan kepada pastor paroki sebagai
gembalanya sendiri” (can. 515). Walaupun pada umumnya paroki hendaknya bersifat teritorial,
namun apabila dianggap bermanfaat, hendaknya didirikan paroki personal, yang ditentukan atas dasar
ritus, bahasa, bangsa kaum beriman kristiani wilayah tertentu dan juga atas dasar lain (can. 518). Dan
Pendidikan Keagamaan Katolik Paroki__________________________________________________ 10

hanyalah Uskup, setelah mendengarkan nasehat Dewan Imam, yang berhak mendirikan, meniadakan
atau mengubah paroki (can. 515). Setelah Vatikan II, perkembangan paroki tidak lagi menekankan
daerah teritorial tetapi lebih mementingkan paroki sebagai Gereja, Umat Allah. Paroki menghadapi
berbagai macam tantangan zaman modern sehingga muncul berbagai komunitas kristiani baru yang
mendasarkan pada kategori atau pribadi atau fungsi dalam kelompok Gereja.
Identitas paroki yang demikian itu mungkin dapat dihubungkan dengan paroki dua matra:
teritorial dan fungsional. Di dalam paroki tersebut terdapat dua prinsip organisasi yang berbeda:
subsistem teritorial dan subsistem fungsional. Subsistem teritorial berhubungan dengan lingkup
tempat tinggal di mana komunikasi antar keluarga dan tetangga lazim terjadi. Dalam subsistem
fungsional orang beraktivitas di luar batas tempat tinggal, yaitu dalam lingkup kerja di mana
komunikasi terjadi di tingkat profesi (kantor, toko, sekolah, universitas, instansi, perusahaan, pabrik,
tentara, bisnis, bidang sosial, pendidikan, agama, dll.). Oleh karena itu baiklah paroki mengambil alih
istilah matra teritorial dan matra fungsional dalam satu paroki. Memang ada dua pendekatan dalam
pastoral fungsional: sentralistis/formal (inisiatif dan pengangkatan personal dari atas) dan dari bawah
(inisiatif dari masing-masing paroki untuk mengembangkan identitasnya sendiri). Keduanya
mengandaikan sistem terbuka: ada perbatasan namun perbatasan itu terbuka.
Jadi paroki dua matra mengandaikan satu jemaat yang mempunyai dua dimensi yang saling
interdependen dan saling mempengaruhi, misalnya: kepemimpinan paroki yang berdimensi dua matra
berada dalam satu orang (satu tim), ada pelayanan dan kegiatan bersifat teritorial (pastoran terbuka,
peta pastoral, profil paroki tertentu, relasi dengan agama lain), ada bermatra fungsional (jaringan antar
orang, usaha, kegiatan yang kurang formal yang mau saling membantu), dan perlunya
mengembangkan formasio bagi para tenaga pastoral imam dan awam sehingga mampu bekerja sama
dengan baik di kelak kemudian hari.

Anda mungkin juga menyukai