Anda di halaman 1dari 10

SOSOK GURU PAK: BELAJAR DARI PEMIKIRAN PARKER PALMER

Oleh: FX. Heryatno WW., SJ.

Pendahuluan

“We teach who we are” (Kita mengajar menurut siapa diri kita), demikian penegasan
Palmer di dalam bukunya The Courage To Teach (1998). Kualitas pengajaran seorang guru
bukan dari tehnik mengajarnya melainkan mengalir dari kedalaman hidupnya atau hatinya.
Pengajaran merupakan cerminan jiwa seorang guru. Ia berpendapat bahwa seorang guru yang
sungguh mengenal diri sendiri merupakan hal mendasar untuk mengelola proses
pembelelajaran yang baik. Mengenal diri sendiri juga merupakan kondisi pokok bagi guru
untuk mengenal para peserta didiknya dan subjek ilmu yang diampunya. Kalau seorang guru
tidak sungguh mengenal dirinya, ia juga tidak akan mengenal dengan baik para siswa-
siswinya dan bidang studi yang menjadi tanggungjawabnya. Padahal, kalau guru tidak
mengenal dengan baik peserta didiknya, ia juga tidak dapat menyelenggarakan proses
pembelajaran yang relevan dengan keadaan dan kebutuhan mereka. Demikian pula, kalau
seorang guru tidak mengenal dirinya, ia juga tidak sungguh mencintai ilmunya. Seorang guru
juga menyadari bahwa ilmu yang ia gulati itu bersifat kompleks dan luas seluas kenyataan
hidup dan keadaan hidup peserta didik lebih luas dan lebih kompleks lagi. Karena itu, Palmer
menegaskan lagi, pembelajaran yang baik menuntut seorang guru supaya sungguh mengenal,
menghargai, dan mencintai dirinya sendiri.

Tulisan berikut membahas sosok guru PAK menurut pemikiran Palmer, yang
diperkaya oleh pemikiran Maria Harris (1991) seorang ahli PAK. Di dalam bukunya The
Courage To Teach secara panjang lebar Palmer menguraikan sosok seorang guru yang ia
harapkan memiliki kedalaman hidup. Ia berpendapat bahwa hati seorang guru merupakan
salah satu sumber pokok bagi guru untuk menyelenggarakan pembelajaran yang bermutu.
Makalah ini mengemukakan empat topik pembicaraan. Topik pertama membahas sosok guru.
Topik ini menjawab pertanyaan siapa sesungguhnya guru itu? Saya pandang topik pertama
ini memiliki peran yang amat strategis. Berkaitan erat dengan yang pertama, topik kedua
menampilkan cara pandang guru terhadap siswa. Para guru, yang memandang semua siswa
sungguh baik, antara lain dengan mempercayai, menghormati, dan tetap yakin serta penuh
harap kepada mereka akan memperoleh banyak hal. Kesalingterkaitan antara topik pertama
dengan kedua melahirkan topik ketiga yaitu guru di dalam proses pembelajaran. Parker
(1998) menegaskan bahwa pembelajaran yang baik datang dari guru yang baik, yaitu dari
identias dan integritas seorang guru. Harris (1991) mengusulkan supaya proses pembelajaran
tidak disamakan dengan penyampaian materi, juga tidak melulu tergantung pada penguasaan
guru terhadap berbagai metode pembelajaran, melainkan perlu dipahami sebagai suatu proses
penciptaan bersama. Topik terakhir atau keempat membicarakan langkah-langkah konkret
yang perlu dilakukan guru. Semua topik berfokus pada guru, tetapi tetap di dalam relasinya
dengan peserta didik, dan dengan ilmu yang PAK digelutinya.

1
SOSOK GURU

Sosok guru yang memiliki hati, yang mengenal, menghormati, dan mencintai
keunikan pribadinya sendiri dibutuhkan oleh semua siswa pada setiap tingkatan pendidikan.
Karena itu, guru perlu mengenal diri, mengetahui kedalaman hidupnya, dan mendengarkan
kerinduan hatinya agar ia di tengah-tengah siswa-siswinya, di dalam perjumpaannya dengan
para koleganya, juga di dalam komunikasinya dengan mata pelajaran yang digelutinya, dan
melalui pelaksanaan tugas-tugas keguruannya, dapat menjadi dirinya yang otentik. Menjadi
diri yang otentik merupakan proses perjalan yang memakan waktu. Menurut Palmer (1998)
menjadi guru yang sejati merupakan perjalanan inlektual, emosional, dan spiritual yang
panjang. Yang ia maksud dengan guru sejati adalah guru yang memiliki identitas dan
integritas yang kokoh.

Identitas merupakan semua daya yang dimiliki oleh seseorang yang membentuk
dirinya menjadi pribadi yang otentik atau diri yang sejati. Daya-daya tersebut menyatukan
kekuatan batiniah dengan lahiriah, sehingga apa yang nampak di luar seperti tindakan konkret
sehari-hari merupakan pancaran kekayaan rohani yang berada di dalam ruang batinnya.
Karena itu, identitas sering dipahami sebagai jati diri yang berhubungan erat dengan
kepribadian seseorang. Harris (1997) memahami kepribadian sebagai kemampuan seseorang
mendengarkan kedalaman hidup yang berisi kerinduan hatinya dan sekaligus menanggapi
dengan tindakan lahirah yang konkret. Integritas juga merupakan daya yang dimiliki
seseorang yang membuatnya terus berkembang sehingga menjadi seorang pribadi yang utuh.
Daya tersebut dapat berupa prinsip hidup yang ia pegang kuat-kuat dan ia laksanakan dengan
sepenuh hati. Daya itu dapat pula berupa keterbukaan hati terhadap hal-hal yang
memperbarui dan menyemangati serta membuatnya merasa bahagia yang mengantarkannya
kepada kepenuhan hidup seperti yang ia rindukan.

Menurut Palmer para guru dapat memperkembangkan integritasnya melalui keramahan,


kepedulian, keterbukaan untuk menjalin perjumpaan dan kesalingterkaitannya dengan para
siswa dan subjek mata pelajaran yang diampunya. Senada dengan Palmer, Harris berpendapat
jati diri dan integritas para guru dapat diperkembangkan melalui 3 langkah yaitu hening,
mendengarkan, dan melalukan Sabat. Melalui keheningan para guru dapat berjumpa dengan
diri mereka yang sejati. Mendengarkan merupakan jalan agar mereka betul-betul menangkap
kerinduan hatinya sendiri, mengenali kebijaksanaan hidup yang ditawarkan kepadanya dan
menciptakan peluang untuk maju menjadi lebih baik. Sedang Sabat berarti ketersediaan hati
para guru untuk mengenangkan kebaikan yang ilahi yang telah mereka alami agar diri mereka
menjadi pribadi yang otentik dan utuh. Identitas dan integritas para guru (PAK) akan terus
berkembang apabila dengan tekun dan setia mereka memperkaya diri dengan bacaaan rohani
dan studi mengenai kehidupan beriman mereka. Yang tidak dapat dilupakan adalah kesediaan
para guru untuk peduli pada kesulitan hidup para siswanya lebih-lebih mereka yang tergolong
lemah. Palmer menegaskan semakin mendalam para guru mengenal identitas dan
integritasnya semakin mendalam ia mengenal kehidupan siswa-siswinya. Bahkan para guru
juga akan semakin mudah menemukan metode yang tepat untuk menyelenggarakan proses
pembelajarannya. Proses pembelajaran yang baik datang dari hati seorang guru yang tertuju
kepada para siswanya.

2
Sosok guru yang memiliki hati, mengenal, dan menghormati dirinya sendiri, menjadi
jalan untuk semakin mengenal dan mencintai peserta didik dan bidang studi yang diampunya.
Proses belajar dan mengajar yang baik tidak dapat dipersempit hanya pada penguasaan tehnik
melainkan mengalir dari identitas dan integritas seorang guru yang mampu menjalin
perjumpaan dan kesalingterkaitan dengan peserta didik dan dengan mata pelajarannya.
Perjumpaan tidak terwujud dengan tehnik melainkan dengan hati. Di samping itu,
kepribadian mereka juga akan semakin stabil dan dinamis sehingga mereka menjadi guru
yang dapat dipercaya dan diteladani. Dengan tulus hati para guru dapat mendengarkan
aspirasi, kerinduan, keluh kesah peserta didiknya.

Identitas dan integritas para guru PAK memungkinkan mereka menyapa tiap pribadi
peserta didik, menyentuh hati, dan menjalin relasi personal dengan mereka. Inilah sosok guru
yang berspiritual, punya hati dan sungguh berjiwa pendidik. Palmer menyebutnya sebagai the
teacher within. Guru yang demikian ini adalah guru yang menghayati profesinya sebagai
panggilan jiwanya. Ia menunjuk panggilan sebagai tempat di mana kebahagiaan guru bertemu
secara mendalam dengan kebutuhan mendasar dari perjalanan studi para siswanya. Panggilan
membuat guru menjadi antusias, bahagia, dan merasa mantab dengan semua tugas-tugas
keguruannya. Kesulitan dan penderitaan yang dihadapi tidak mengendorkan dirinya,
melainkan justru meneguhkan kemantaban hatinya. Para guru akan semakin menemukan
panggilan hatinya apabila mereka dengan terbuka mengolah apa yang paling mereka
rindukan dan menjawab dengan sepenuh hati apa yang dibutuhkan oleh para siswanya.

Seperti pada identitas dan integritas, para guru dapat merawat, memberi makan, dan
memperkembangkan the teacher within dengan olah rohani seperti doa, bacaan rohani,
menyusun jurnal harian, penelitian gerakan batin, konsultassi rohani, retret, dll. Yang jelas
para guru, lebih-lebih guru PAK harus sesering mungkin mendengarkannya. Apabila para
guru lalai dan tidak memperhatikannya, the teacher within juga makin melemah, sehingga
suaranya makin tidak terdengar. Sebagai akibatnya, para guru merasa stress, cemas, mudah
takut dan kehilangan semangat. Sebaliknya apabila rajin mendengarkannya, para guru akan
menjadi lebih mantab, berpikiran jernih, berwawasan luas, makin peka, peduli dan punya hati
kepada semua peserta didiknya. Guru yang tidak mendengarkan suara the teacher within juga
tidak bisa mendengarkan peserta didiknya.

Perlu diingat, baik guru maupun siswa, keduanya sama-sama memilki the teacher within.
Ini berarti seorang guru sejati dipanggil untuk membebaskan peserta didik bukan hanya dari
ketidaktahuan, juga dari ketergantungan kepada para guru. Para guru dipanggil untuk
menuntun keluar para peserta didiknya menuju kepada kesadaran bahwa mereka semua
memiliki guru sendiri, yakni jiwa, suara hatinya yang terus membimbing dan memimpin
mereka sepanjang hidup.

Secara khusus berkaitan dengan sosok guru PAK, Groome (1980) menyatakan bahwa
menurut tradisi Katolik guru merupakan didaskaloi atau pengajar yaitu sebagai salah satu
pelayan di antara pelbagai jabatan di dalam Gereja (bdk. Ikor 12:28 & Ef 4:11). Karena
seluruh Gereja mendidik, maka mengajar bukan merupakan monopoli para guru. Supaya
menjadi guru yang sejati, para pengajar perlu memiliki Roh Yesus Kristus di dalam hatinya.

3
Melalui proses belajar mengajarnya di kelas, para guru dapat merepresentasikan diri Yesus.
Representasi berarti menghadirkan, tidak mengganti. Para guru PAK mengajar atas nama
Yesus. Di dalam pengajarannya, para guru tidak mewartakan dirinya sendiri melainkan
Yesus Kristus. Peran ini akan berhasil apabila para guru sungguh mengenal, mencintai, dan
dengan setia mengikutiNya. Menjadi representasi Yesus berarti para guru menjadi saksi-saksi
cinta kasihNya. Di dalam PAK baik guru maupun para peserta didik dapat berperan sebagai
representasi Yesus Kristus. Para siswa dapat menjadi representasi diri Yesus Kristus bagi
para guru. Iman, pergulatan, dan pengharapan siswa dapat menjadi sumber inspirasi dan
menjadi terang hidup bagi para guru. Dengan demikian siswa dan guru dapat saling memberi
inspirasi rohani dan saling melayani.

Kecuali sebagai didaskaloi, Groome juga menyebut sosok guru sebagai pelayan sabda
Allah. Peranan ini mirip dengan tugas para pemberita Injil dan nabi-nabi. Supaya dapat
menjadi pelayan sabda yang sejati, para guru diharapkan terlebih dahulu menjadi pelaksana
sabda itu di dalam dirinya. Melalui sabda Allah yang hidup itu, para guru menempa
hidupnya, memperkembangkan kerohaniannya, dan menghayati panggilannya sebagai guru-
guru PAK. Para guru diharapkan sungguh menseponsori perwujudan sabda itu di dalam
hidup mereka sehari-hari sehingga sabda Allah sungguh meneguhkan dan
memperkembangakn hidup para siswa dan diri mereka sendiri.

PANDANGAN GURU TERHADAP SISWA

Sebagai para guru, kita sering mendapat pertanyaan: “Apakah Anda mengajar PAK
atau Anda mengajar siswa-siswi?” Tanpa banyak berpikir kita menjawab: “Saya mengajar
keduanya”. Menurut Anita Lie, jawaban yang spontan ini memang benar, tetapi di dalam
prakteknya para guru tidak selalu dapat melaksanakannya. Para guru di jenjang yang lebih
tinggi, misalnya SMA/SMK, lebih cenderung mengajar bidang studinya daripada peserta
didiknya. Para guru yang demikian ini berpandangan bahwa apa yang diajarkan lebih penting
daripada siapa yang diajar. Sebagai akibatnya, para guru juga lebih cenderung
menitikberatkan pada materi daripada mengusahakan perjumpaan dengan peserta didiknya.
Guru yang berpandangan demikian melihat tugas pokoknya adalah mengajar atau
menyampaikan materi kepada siswanya. Pandangan ini semakin sempit, ketika para guru
memperlakukan siswanya tidak lebih sebagai pihak yang diajar, atau yang menerima materi
semata-mata dari guru.

Cara pengajaran yang demikian inilah yang membuat para guru mengambil jarak dari
pergulatan hidup siswanya. Para guru hidup terpisah dan bersembunyi di dalam otoritas yang
tidak sejati. Karena itu, Palmer kembali menegaskan bahwa pembelajaran yang baik
merupakan perjumpaan yang terus menerus antara para guru dengan peserta didiknya dan
juga dengan subjek yang mereka gulati bersama. Perjumpaan ini tidak terwujud di dalam
proses pembelajaran yang kaku, juga tidak terjadi melalui penekanan pada metode,
melainkan dengan hati, yaitu hubungan dari hati ke hati. Hati merupakan tempat bersatunya
segi kognitif, emosi, dan spiritual. Hati itulah yang mendorong para guru untuk mengasihi,
menghormati, dan menerima peserta didiknya.

4
Kesadaran bahwa proses belajar mengajar PAK merupakan perjumpaan akan
membuat para guru memandang siswa-siswinya sebagai pribadi. Para guru memandang
peserta didik sebagai partner atau mitra di dalam peziarahan menggulati subtansi PAK dan
pokok-pokok pesannya yang mencerahi dan memberi inspirasi rohani. Dengan cara pandang
yang demikian para guru semakin mantab menghormati martabat mulia setiap peserta
didiknya. Pada umumnya terjadi, ketika para guru sungguh mengasihi dan menghormati
setiap siswanya, para siswa juga akan selamanya mengasihi para gurunya. Para tokoh
pendidikan sudah lama menegaskan pandangannya supaya para guru memperlakukan peserta
didik sebagai subjek. Para guru dan para siswa sama-sama sebagai subjek yang belajar.

Dengan memperlakukan mereka sebagai subjek atau pelaku utama, para guru
mewujudkan relasi antara pendidik dengan peserta didik bukan relasi subjek dengan objek
melainkan subjek dengan subjek. Relasi ini juga disebut relasi intersubjektivitas, yaitu relasi
antara aku dan engkau. Inilah relasi personal antar pribadi, relasi mendalam yang
membebaskan dan memperkembangkan. Setiap pendidik perlu menyadari bahwa setiap
peserta didik memiliki panggilan ontologis untuk menjadi subjek. Kesadaran ini membuat
para guru tidak memperlakukan peserta didik sebagai benda atau objek melainkan sebagai
pribadi yang kita percayai, harapkan dan kasihi. Di dalam relasi antar subjek, peserta didik
tidak hanya mengharapkan mendapat informasi tentang isi mata pelajaran tetapi ilham,
inspirasi, teladan. Relasi subjek dengan subjek juga diwujudkan antar para peserta didik
sendiri, bahkan termasuk dengan isi bidang studi yang digeluti.
Dengan memperlakukan peserta didik sebagai subjek, para guru juga memberdayakan
mereka sebagai pelaku pendidikan yang aktif dan kreatif. Kita tidak mencekoki dan tidak
memperlakukan mereka seolah-olah sebagai tong kosong yang perlu diisi dengan sebongkah
informasi. Para guru tidak menjadi penentu segalanya dan memandang diri sebagai satu-
satunya narasumber. Tetapi para guru selalu mengajak berdialog, mendorong peserta didik
untuk mencari dan menemukan sendiri, serta mempercayai kemampuan mereka. Bersama
mereka kita menciptakan suasana yang kondusif yaitu suasana akrab, saling menerima dan
menghargai serta suasana demokratis yang sungguh menghormati inspirasi, aspirasi dan
gagasan mereka. Dengan suasana semacam itu para guru berharap peserta didik dapat mem-
perkembangkan dirinya secara utuh, bukan hanya otaknya tetapi juga perasaan, emosi, hati
dan perilaku mereka.
GURU DI DALAM PROSES PEMBELAJARAN
Harris (1991) melihat bahwa sebagian guru pemula memahami proses pembelajaran
sebagai ketrampilan tehnis yang dapat dilatih seperti orang kalau melatih diri supaya trampil
dalam mengenadari mobil. Cara untuk trampil adalah dengan melatihnya setiap hari. Semakin
banyak latihan semakin cepat menguasai. Sebagai akibatnya guru baru tersebut akan
memusatkan seluruh perhatiannya kepada penguasaan tehnik, langkah-langkah pembelajaran,
cara atau metode. Tetapi menuru Harris ada pula yang berpikir sangat lain, yaitu mereka yang
memahami pengajaran sebagai penyampaian isi tanpa harus memusingkan diri dengan
metode. Yang satu melihat proses pembelajaran sebagai kerampailan tehnis atau penguasaan
metode dan yang lain sebagai penyampaian isi. Karena itu, Harris berpendapat bahawa para
guru seharusnya tidak perlu jatuh pada ekstrem pertama yang menekankan metode ataupun

5
ekstrem ledua yang sangat menekankan isi. Sebaliknya, ia mengundang para guru untuk
memahami hakikat pembelajaran sebagai suatu misteri yang perlu diperlakukan seperti karya
seni. Ia menganalogkan pembelajaran dengan karya penciptaan.

Telah disebut pada uraian di atas, Palmer memahami pembelajaran yang baik
merupakan kesalingterkaitan antara guru dengan siswa-siswinya dan dengan subjek mata
pelajaran yang digeluti bersama. Pembelajaran merupakan perjumpaan yang tidak pernah
berhenti antara guru, siswa, dan subjek ilmunya. Palmer (1998:95) menegaskan bahwa “to
teach is to create space in which community of truth is practiced”. Karena itu, Palmer dengan
tajam mengritik mitos objektivisme yang ia gambarkan sebagai berikut:

Objek

Pakar

Amatir
Amatir
Amatir Amatir Amatir

Dari mitos objektivisme ini tampak objek berada jauh di paling atas, tak tersentuh sehinga
tetap murni adanya. Hanya sedikit pakar yang menguasai objek ilmu dan menjaganya dengan
keras objektivitasnya. Di bawah pakar ada para amatir, yang juga memiliki jarak yang jauh
dari pakar. Pendidikan dipahami sebagai tindakan pakar yang secara searah yaitu dari atas
menyampaikan informasi kepada para amatir. Model kebenaran yang demikian ini sifatnya
hirarkis dan linier, semata-mata dari atas. Hal ini berbeda dengan kebenaran yang bersifat
komunal. Menurut Palmer gambarnya sebagai berikut:

6
Pembe-lajar

Pembe-lajar
Pembel-
lajar

Pembe-
SU-BYEK Pembe-
lajar lajar

Pembe-lajar
Pembe-lajar

Pembe-lajar

Di dalam kebenaran yang bersifat komunal ini, cara mengetahui merupakan jaringan
perjumpaan antara para pembelajar sendiri, para pembelajar dengan subjek, dan subjek
dengan para pembelajar. Pusat belajar mengajar bukan pakar atau guru, juga bukan amatir
atau siswa melainkan subjek yang terbuka untuk relasi. Para pembelajar di sini adalah guru
dan siswa. Karena kebenaran di dalam model ini berbentuk lingkaran yang cirinya dinamis
dan interaktif, maka cara mengetahui subjek juga melalui relasi. Palmer menyebut subjek
yang seperti ini sebagai Great Thing. Sebagai Great Thing subjek ini memiliki identitas dan
integritasnya sendiri yang juga harus kita hormati. Apalagi bila subjek itu diposisikan sebagai
Sabda Allah sendiri atau iman kita kepada Yesus Kristus. Subjek ini menyapa kita, berbicara
kepada kita, dan memperdengarkan suaranya kepada kita. Kekayaan Great Thing dapat kita
terima apabila kita dengan rendah hati masuk ke dalam dirinya dan menjadi bagian hidupnya.
Karena itu, para guru dan siswa perlu memahami bahwa Great Thing sebagai yang riil dan
penting bagi pertumbuhan mereka. Sebagai pihak yang sama-sama belajar guru dan siswa
dapat memiliki akses langsung tanpa diperantarai kepada Great Thing. Para guru dan siswa

7
bersama-sama membuka diri terhadap Great Thing, menjalin relasi yang mendalam
dengannya bahkan sampai jatuh cinta kepadanya. Keduanya berjumpa dengan Great Thing
dan memiliki passion yang akan memperkembangkan keduanya. Antara para pembelajar yaitu
guru dan siswa juga terjadi relasi, yang saling mengisi, membutuhkan, dan memperkaya.

Model kebenaran yang bersifat relasional dan komunal ini, apabila kita terapkan di
dalam pembelajaran PAK juga akan sangat menarik. Substansi PAK yang tidak lain sabda
Allah atau iman kita kepada Yesus Kristus kita pandang sebagai subjek. Pusat PAK tidak lagi
guru, juga bukan siswa melainkan Great Thing yang kita pahami sebagai Sabda Allah. Di satu
sisi Sabda Allah dengan suaranya yang lembut mengundang para pembelajar yaitu guru dan
siswa untuk menjalin relasi dan mendekat kepadanya agar dapat mengisi hati mereka dengan
inspirasi kehidupan yang mencerahi dan menumbuhkan. Para pembelajar dapat sungguh
memahami kekayaan Great Thing dengan jalan mendengarkannya, merasakan getaran
dayanya, dan menanggapi tawaran dirinya. Masuk ke dalam diri Great Thing dan menjadi
bagian hidupnya merupakan jalan yang paling tepat untuk menimba kekayaannya. Semakin
para pembelajar membuka diri kepada Great Thing, mengolah kekayaan nilai hidup yang
ditawarkan, dan menginternalisasikan ilhamnya, para pembelajar juga semakin mengalami
Great Thing sebagai subjek yang transenden, sumber kehidupan dan pengembangan. Karena
itu dapat ditegaskan bahwa pembelajaran PAK bersifat komunal dan relasional.

Di dalam PAK guru tidak memenuhi ruang belajar mengajar dengan pemikiran dan
data ilmu yang dimilikinya. Tugas guru di sini bukan memberi informasi melainkan
mengantar siswa kepada perjumpaan secara personal dan komunal dengan Great Thing atau
subjek yang transenden. Para guru diharapkan membuatkan peta, menghilangkan hambatan,
dan menjadi representasi Great Thing. Untuk dapat membantu siswa dan supaya dapat
mendengarkan suara Great Thing para guru perlu terlebih mendengarakan suara hatinya
sendiri, menemukan jati dirinya yang otentik. Dengan telah mengenal dan mengalami Great
Thing, para guru dapat berbagi pengalaman perjumpaannya kepada siswa. Para guru PAK
dapat mengemukakan contoh refleksi pengalaman hidupnya mendengarkan dan menanggapi
tawaran subjek yang transenden. Para guru juga mempercayai siswa dapat menjalin
perjumpaan yang mendalam dengan Great Thing. Para siswa bahkan dapat lebih cepat
memahami Great Thing dan secara mendalam berkomunikasi dengannya. Apabila Great
Thing atau subjek transenden betul-betul menjadi pusat PAK dan cara mengetahui subtansi
PAK melalui jaringan komunikasi maka para pembelajar juga semakin peduli, meneguhkan,
dan memperkaya sehingga semua berkembang sampai mengarah kepada kepenuhan dan
kelimpahan hidup (bdk Yoh 10:10b). Para siswa tidak hanya belajar tentang bagaimana hidup
beriman, tetapi secara serius mereka sungguh menghayati imannya di dalam lingkungan
sekolah dan juga di dalam hidupnya sehari-hari.

8
LANGKAH-LANGKAH KONKRET YANG PERLU DILAKUKAN OLEH GURU
UNTUK UNTUK MENYELENGGARAKAN PROSES PEMBELAJARAN YANG
BERKUALITAS

1. Para guru PAK perlu sesering mungkin masuk ke dalam ruang batinnya untuk
mendengarkan kerinduan hatinya dan mengenal dirinya yang sejati agar semkain dapat
meneguhkan identitas dan integritas mereka sebagai guru. Inti sosok guru PAK adalah
hatinya. Hati merupakan lambang cinta, kesabaran, kemurahan, sekaligus merupakan
pusat hidup manusia. Dengan jalan ini, para guru semakin mengenal dirinya,
menghormati keunikan pribadinya, dan juga mampu menanggapi cita-cita hatinya.
Semakin mendalam para guru mengenal dirinya, semakin mudah mereka mengenal
siswa-siswinya, dan semakin masuk ke dalam substansi PAK yang mereka geluti.
Sebaliknya, para guru yang tidak memperhatikan jati dirinya, mereka juga tidak
mengenal dengan baik siswanya, demikian juga tidak sungguh peduli pada ilmu PAK. Di
samping itu, para guru juga perlu sekali memperhatikan the teacher within agar mereka
makin bersyukur pada panggilannya sehingga mereka benar-benar menjadi guru yang
sejati.
2. Dengan sungguh meneguhkan identitas dan integritasnya, para guru dapat menjalin relasi
dari hati ke hati dengan siswanya. Dengan hatinya, para guru dapat meneguhkan jati diri
para siswanya, menumbuhkan pengharapan, meyakikan, dan yang lebih pokok mengasihi
mereka. Harris (1991) menasihati para guru agar kerap mengkontemplasikan hidup
peserta didiknya. Melalui kontemplasi, para guru akan menempatkan peserta didiknya
sebagai pribadi yang pantas dihormati dan dipandang sebagai salah satu pusat
perhatiannya. Kontemplasi juga membuat para guru bersedia lebih mengutamakan
kepentingan peserta didiknya dan membuat hubungan mereka menjadi lebih personal dan
mendalam. Relasi yang dekat semacam ini, yang mengalir dari identitas dan integritas
guru merupakan kondisi yang amat penting agar para guru dapat memberdayakan dan
membantu siswa untuk menemukan jalan yang memperkembangkan hidup mereka. Yang
penting pula diperhatikan, agar para guru betul-betul memperhatikan the teacher within
yang juga dimiliki oleh semua siswa. Dengan jalan ini para guru dapat memimpin
peserta didik untuk memukan guru mereka sendiri sehingga dapat mandiri dan kreatif,
tidak tergantung pada para gurunya. Buahnya para siswa semakin percaya kepada
kemampuannya sendiri, secara mandiri dapat memanfaatkan sumber-sumber belajar
PAK di dalam proses studinya.
3. Para guru perlu juga meyakini bahwa pembelajaran yang baik datang dari guru yang baik
dan sekaligus merupakan jaringan perjumpaan terus-menerus antara guru dengan peserta
didik, perjumpaan antar peserta didik sendiri, dan perjumpaan guru dan peserta didik
dengan substansi PAK yang tidak lain adalah Sabda Allah. Hati guru yang baik membuat
PBM lebih menyentuh hati peserta didik. Sebagai perjumpaan PBM bukan hanya
penyampaian materi dan juga bukan hanya penguasaan metode. Perjumpaan inilah yang
membuat guru dan peserta didik bahagia dan antusias untuk menggali dan menemukan
inspirasi yang ilmu PAK dan substansinya.
4. Para guru bersama peserta didik perlu memperlakukan substansi PAK sebagai pusat atau
bahkan sebagai Great Thing. Sikap semacam ini perlu ditekankan agar guru bersama

9
peserta didik dapat menghormati identitas dan integritas ilmu PAK. Mereka tidak
memperlakukannya semata-mata sebagai kumpulan ajaran yang kering atau objek
pengetahuan yang mati, melainkan sebagai sumber inspirasi. Baik guru maupun siswa
sama-sama memperlakukan PAK sebagai partner berelasi. Melalui relasi yang intensif
para guru dan peserta didik dapat masuk ke dalam intinya bahkan menjadi bagian utuh
darinya. Untuk itu, para guru dan peserta didik perlu bekerjasama, saling membutuhkan
dan memperkaya.
5. Kecuali meningkatkan perjumpaan antara guru dengan siswa-siswi dan guru dengan
ilmu PAK, para guru PAK dapat memperluas perjumpaan mereka dengan teman-teman
seprofesi yang tergabung di dalam MGMP (Musyawarh Guru Mata Pelajaran). Para guru
menggunakan wadah MGMP untuk bersama-sama saling mengkomunikasikan hasil
pengolahan dan perjumpaan mereka dengan para siswa dan dengan substansi PAK.
Komunikasi bersama ini sangat memperkaya para guru dengan bermacam-macam
inspirasi dan semangat baru.

PENUTUP

Untuk mewujudkan pembalajaran PAK yang berkualitas, para guru perlu sekali
meneguhkan identitas dan integritasnya sebagai guru PAK. Melalui kontemplasi para guru
memandang peserta didik sungguh baik. Para guru mempercayai peserta didiknya,
meneguhkan jati diri, menumbuhkan pengharapan, dan mengasihi mereka. Semakin para
guru mengenal dirinya, para guru semakin mengenal peserta didiknya, dan mencintai subjek
yang digelutinya. Bersama dan bekerjasama dengan peserta didiknya, para guru
memperlakukan proses pembelajaran PAK sebagai peziarahan mereka untuk
memperkembangkan diri, iman, dan komitmen mereka untuk ikut memperjuangkan
terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah. “Dan orang-orang bijaksana akan bercahaya seperti
cahaya cakrawala, dan yang telah menuntun banyak orang kepada kebenaran seperti bintang-
bintang, tetap untuk selama-lamanya” (Dan 12:3).

Daftar Bacaan

Groome, Thomas, 1980, Christian Relgious Education, Harper and Row: New York
------------, 1998, Educating For Life: A Spiritual Vision For Every Teacher And Parent,
Thomas More: Allen, Texas
Harris, Maria, 1991, Teaching And Religious Imagination: An Essay In the Theology of
Teaching, HarperCollins: New York
Lie, Anita, NA, Guru Mengajar Siapa Atau Apa, NA
Palmer, Parker, 1998, The Courage To Teach, Jossey-Bass: San Francisco

10

Anda mungkin juga menyukai