Anda di halaman 1dari 15

III.

PENGERTIAN-DIRI GEREJA
Perkembangan yang kompleks dari pengertian dan faham Gereja tentang
dirinya sendiri dari abad ke abad dapat dikatakan mendapatkan puncak artikula-
sinya pada abad ke-20, “abad Gereja” (0. Dibelius), khususnya pada Konsili
Ekumenis Vatikan II (1962-1965). Hal ini tidak berarti bahwa dengan Konsili
ini Gereja sudah berhasil merumuskan diri dengan sempurna, melainkan bahwa
segenap unsur yang sepanjang sejarah telah menandai kesadaran diri Gereja, entah
secara dominan atau tidak, mendapatkan kesempatan untuk dibawa ke kesadaran
bersama dan dicarikan integrasinya satu sama lain. Konsili Vatikan II sendiri
merupakan satu rantai dari hidup gerejani maupun pengertian dirinya.

1. Konsili Tentang Gereja 1


Sebetulnya Paus Yohanes XXIII sendiri hanya secara tidak langsung
memaksudkan suatu Konsili tentang Gereja. Ia tidak pertama-tama menyodorkan
“Gereja” sebagai tema yang harus menjadi “objek” pembicaraan Konsili. Bila toh
beliau memikirkan Gereja sehubungan dengan Konsili yang akan berlangsung,
Gereja bukan sebagai objek tematis, melainkan lebih sebagai subjek yang harus
memperbarui diri lewat Konsili itu, agar lebih mampu mewartakan Injil di zaman
sekarang dalam dialog dengan dunia modern. Tentu saja pembaruan diri itu
akhirnya juga akan menuntut refleksi tentang apa itu Gereja dan apa tugasnya.
Dari pidato para bapa Konsili pada awal masa persidangan pertama tampak-
lah bahwa Konsili Vatikan II menjadi Konsili ‘tentang Gereja’ dan hendaknya
menanggapi dua pokok ini: ‘Gereja ke dalam’ dan ‘Gereja ke luar’ (kardinal
Suenens, 4 Desember 1962). Hal ini juga didukung antara lain oleh Kardinal G.B.
Montini, Uskup Agung Milan (kelak Paus Paulus VI).
Memang dua pokok itulah yang menjadi isi dari dua dokumen inti Konsili,
yaitu Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, Lumen Gentium, dan Konstitusi
Pastoral tentang Gereja Dalam Dunia Dewasa ini, Gaudium et Spes. Dokumen-
dokumen lainnya merupakan rincian atau eksplisitasi pokok-pokok dari dua
dokumen pokok ini, meskipun tidak selalu dengan cara yang mulus. Konstitusi
Sacrosanctum Concilium berbicara tentang liturgi dalam Gereja, sedangkan
Konstitusi Dogmatis Dei Verbum menguraikan faham iman dan wahyu yang
menjadi dasar faham yang baru tentang Gereja.
Konsili Vatikan II tidak hanya suatu Konsili “tentang” Gereja, tetapi pada
dirinya juga merupakan suatu peristiwa gerejani, suatu pengalaman menggereja
yang unik. Orang mengalami pergumulan untuk mempertemukan dan memper-
satukan pengalaman dan pandangan yang berbeda-beda di bawah bimbingan Roh
Kudus; orang diajak untuk merubah diri dalam terang sabda Allah, orang diajak
untuk mendengarkan suara zaman. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Gereja
para Uskup datang mewakili Gereja yang sudah meluas ke seluruh dunia bukan

1
Lih. Dr. T. Jacobs S.J., Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium mengenai Gereja: Terjemahan,
Introduksi, Komentar, Jilid I (Yogyakarta: Kanisius, 1970), hlm. 27-82. Juga Mgr. Philips,
L’Eglise et Son Mystère au Deuxième Concile du Vatican: Histoire, texte et commentaire de la
Constitution Lumen Gentium, tome I (Paris: Desclee, 1967), hlm. 13-68.

46
hanya secara geografis, tetapi juga secara kultural sudah mulai lebih daripada
sekedar “Gereja Barat” yang ditanamkan di mana-mana. Di samping itu, Konsili
sendiri ditandai oleh kehadiran saudara-saudara Kristiani bukan Katolik, kendati
hanya sebagai peninjau. Sebagai Konsili yang berlangsung pada abad keduapuluh
ini, proses jalannya Konsili diikuti dan disiarkan ke seluruh dunia lewat media
massa, sehingga Konsili bukan hanya merupakan urusan para bapak Uskup yang
kebetulan turut serta di situ. Akhirnya, Konsili ini dihimpun tidak untuk meme-
rangi suatu ajaran sesat tertentu, melainkan untuk memperbarui Gereja dalam
tugasnya menjadi ragi persatuan umat manusia. Tidaklah salah kalau Konsili
Vatikan II dikatakan sebagai Konsili pertama yang sungguh-sungguh ekumenis.

2. Perubahan ke Faham Baru tentang Gereja


Terjadinya Lumen Gentium (dan juga Gaudium et Spes) merupakan proses
yang tidak lancar, dan dapat dikatakan sebagai proses yang menunjukkan
berubahnya faham tentang Gereja sendiri sejauh dialami oleh para bapa Konsili.
Dari proses yang meliputi empat “skema,” kiranya peralihan dari Skema I ke
Skema II bisa disebutkan sebagai titik balik. Skema I yang disiapkan oleh panitia
persiapan masih mencerminkan ekklesiologi “manual” yang perkembangannya
telah diuraikan di atas. Skema itu bertolak dari “kodrat Gereja yang sedang
berjuang” (“de natura Ecclesiae militantis”) dan disusul bab tentang anggota-
anggota Gereja serta bab-bab tentang kekuasaan dalam Gereja, dan diakhiri
dengan ekumenisme.
Setelah dibicarakan satu minggu lamanya, (1-7 Desember 1962), Skema I
ditolak oleh Konsili sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan maksud dan pikiran
Paus Yohanes XXIII, karena terlalu apologetis. Dikehendaki oleh para bapa
Konsili suatu dokumen tentang Gereja yang memang bercorak dogmatis, tetapi
sekaligus menyapa umat ke arah suatu semangat yang baru, tidak hanya meng-
ulangi pernyataan-pernyataan yang sudah lama dikenal.
Atas dasar saran dan kritik para bapa Konsili maka panitia (atau lebih tepat
sub-panitia) tentang Gereja menyusun suatu skema baru, Skema II. Ini bukan
hanya revisi atas Skema I saja, melainkan suatu pemikiran kembali secara menye-
luruh. Skema II berbentuk jauh lebih sederhana, terdiri dari empat bab: 1) menge-
nai misteri Gereja; 2) susunan hirarkisnya, khususnya episkopat; 3) mengenai
umat Allah, khususnya kaum awam, dan 4) tentang panggilan terhadap kesucian
dalam Gereja. Kendati dalam panitia koordinasi sudah dirasakan keberatan-
keberatan tertentu terhadap skema ini, namun sessi kedua Konsili (mulai 29
September 1963) menyetujuinya sebagai basis pembicaraan dan diskusi lebih
lanjut. Bahwasanya pembicaraan tentang Gereja bertolak dari misterinya sudah
merupakan pembaruan yang menentukan. Namun pengertian “misteri” itu bila
diterapkan pada Gereja tidak dengan sendirinya jelas.
Lebih hangat lagi diskusi tentang hirarki dan episkopat. Seperti dikatakan
dalam uraian yang terdahulu, episkopat merupakan suatu masalah yang terbuka
justru setelah primat Paus ditegaskan oleh Konsili Vatikan I. Maka dalam diskusi
Konsili Vatikan II khususnya kolegialitas merupakan topik hangat. Juga masalah
diakonat (khususnya sehubungan dengan selibat) diperdebatkan dengan hangat.
Perdebatan-perdebatan ini menemui jalan buntu, sehingga akhirnya kepada para

47
bapa Konsili ditanyakan persetujuan mereka tentang lima hal yang akan ditentu-
kan dalam skema:
1) bahwa tahbisan Uskup adalah tingkat tertinggi sakramen tahbisan;
2) bahwa setiap Uskup yang ditahbiskan dengan sah dan bersatu dengan Paus
serta para Uskup lain adalah anggota dewan para Uskup;
3) bahwa dewan para Uskup itu adalah pengganti dewan para Rasul, yang dalam
kesatuan dengan Paus mempunyai kuasa penuh dan tertinggi atas seluruh
Gereja;
4) bahwa kewibawaan itu berdasarkan “hukum ilahi”; dan
5) bahwa diakonat diadakan lagi di dalam Gereja sebagai martabat dan fungsi
tersendiri. Hasil pemungutan suara tentang diakonat, yang dipisahkan dari soal
selibat.
Bab tentang Umat Allah (dari skema II) diusulkan untuk dibagi menjadi
dua, satu bab mengenai Umat Allah pada umumnya, satu bab lagi khusus tentang
kaum awam. Sudah dalam diskusi tentang misteri Gereja diusulkan oleh Kardinal
Silva (Chili) agar supaya di belakang bab tentang misteri Gereja langsung
ditempatkan suatu bab tentang umat Allah. Dengan pemisahan ini menjadi jelas
bahwa refleksi yang sungguh teologis tentang kaum awam, tentang identitas serta
kekhasannya dalam Gereja masih sangat miskin. Orang masih terlalu biasa
memikirkan kaum awam dari sudut pandang hirarkis dan klerikal; dan hal ini
masih akan terasa dalam membicarakan nisbah Gereja terhadap dunia dalam
mempersiapkan Konstitusi pastoral Gaudium et Spes.
Begitu pula, diskusi tentang panggilan ke kesucian, khususnya tentang
hidup membiara, dirasakan kurang matang. Hidup membiara dilihat sebagai
“status” kehidupan tertentu di samping hirarki dan awam. Kekhasan kaum
biarawan/wati memang tidak dilihat pada kesuciannya, namun belum ditemukan
tempatnya dalam keseluruhan faham tentang Gereja dan tentang kesucian sendiri.
Dalam diskusi lambat laun muncul kesadaran tentang corak “tanda” dari kehi-
dupan membiara khususnya dalam perspektif eskatologis.
Dalam sessi kedua ini dibicarakan juga tentang bab mengenai Santa
Perawan Maria: apakah ini akan dijadikan satu bab dalam rangka pembicaraan
mengenai Gereja atau dibuat dokumen tersendiri. Dukungan terhadap dua posisi
ini hampir sama kuat, namun akhirnya dengan selisih suara tipis diputuskan untuk
memasukkan skema tentang Maria ke dalam skema tentang Gereja (yang kelak
menjadi bab 8 dari Lumen Gentium).
Setelah hasil diskusi tentang skema II dikumpulkan, dibuatlah atas dasar itu
skema III, yang pada kenyataannya terdiri dari 8 bab: 1) tentang misteri Gereja; 2)
tentang umat Allah (separuh dari bab tentang umat Allah dari Skema II); 3)
hirarki; 4) kaum awam; 5) kesucian pada umumnya; 6) hidup membiara; 7) sifat
eskatologis panggilan kita dan hubungan kita dengan Gereja surgawi, dan 8) Santa
Perawan Maria Bunda Allah. Tentang Maria menimbulkan kesulitan tentang cara
penyajian peranan Maria secara sederhana, namun kokoh dan proporsional secara
teologis, dari lain fihak tidak menumpas begitu saja devosi umat Katolik yang
hidup kepadanya.

48
Skema IV akhirnya merupakan hasil perbaikan terinci dari Skema III.
Pemungutan suara atas bab demi bab berlangsung dalam kurun waktu antara 30
Oktober 1964 sampai 18 November 1964. Setelah muncul ketegangan akibat
disodorkannya apa yang disebut “nota explicativa praevia” (= “catatan keterangan
yang mendahului”) untuk memberi persetujuan atas bab III (tentang hirarki,
khususnya episkopat), 25 akhirnya Konstitusi Lumen Gentium diproklamasikan
pada 21 November 1964 untuk menutup sessi III Konsili.
Dengan demikian perubahan dasariah yang terjadi dalam proses terbentuk-
nya Konstitusi dogmatis Lumen Gentium adalah peralihan dari pola berpikir
institusional tentang Gereja ke pola berpikir sakramental tentang Gereja (peralihan
dari Skema I ke Skema II). Di samping itu, dalam perubahan susunan bab dari
satu Skema ke skema berikutnya menunjukkan cara memandang yang mendahu-
lukan apa yang menyeluruh dan dimiliki bersama oleh seluruh Gereja sebelum
membicarakan kekhasan masing-masing: hirarki tidak dibicarakan di luar (atau di
atas) umat Allah, melainkan di dalamnya; begitu pula hidup membiara tidak
dibicarakan sebagai status tersendiri, melainkan diletakkan dalam kerangka
panggilan seluruh Gereja kepada kesucian.

3. Gereja sebagai Sakramen


Dengan judul ini dimaksudkan cara memandang Gereja dalam kerangka
seluruh karya dan sejarah keselamatan Allah. Gereja tidak dipandang dalam
dirinya sendiri lepas dari semua tahap dan unsur karya keselamatan tersebut.
Dengan demikian, sementara Gereja sendiri menjadi fokus refleksi Konsili
Vatikan II, Gereja dilihat sebagai sesuatu yang relatif dan fungsional dalam
hubungannya dengan Allah dan dengan “dunia” yang menjadi alamat karya Allah
itu.
Dengan kata lain, Konsili Vatikan II melihat Gereja pertama-tama dalam
misterinya. Tidak dipakai lagi istilah “kodrat” atau “hakikat.” Dengan “misteri”
tidak semata-mata dimaksudkan “sesuatu yang penuh teka-teki,” melainkan
sesuatu yang berkaitan dengan rencana Allah, atau lebih tepatnya rencana Allah
terhadap manusia. Tentu saja “Allah” dan “manusia” adalah dua kenyataan yang
mengandung banyak hal yang tidak bisa dimengerti; namun bukan aspek negatif
inilah yang menjadi titik berat pengertian Konsili Vatikan II, melainkan aspek
positifnya, yaitu bahwa Allah ingin membangun relasi dengan manusia dalam
dunianya, dalam dinamika ke arah persatuan yang seerat mungkin.
Bila judul bab I dari Lumen Gentium (meliputi art. 1-8) adalah “Misteri
Gereja,” hal ini dimaksudkan para bapa Konsili sebagai sesuatu yang mencermin-
kan pandangan alkitabiah. Kata Yunani mysterion memang berarti “rahasia,”
namun isi pengertian tersebut dalam penggunaan alkitabiah harus digali pula dari
kata Ibrani “sod” dan kata Aram “raz,” sejauh mysterion menterjemahkan dua
kata tersebut. 26 “Sod” adalah rahasia, dalam arti suatu keputusan yang diambil
oleh kalangan orang yang akrab sekali hubungannya. Maka “rahasia” ini berarti
yang diungkapkan Allah kepada orang-orang yang dekat pada-Nya. “Raz” adalah
25
Untuk memahmi hal ini dengan baik, lih. T. Jacobs, Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium.....I,
hlm. 54-56.
26
Lih. Ibid., hlm. 86-99; 101-103

49
rahasia yang mempunyai corak ilahi, yang kadang-kadang menyangkut sesuatu
pada akhir zaman. Tulisan-tulisan Perjanjian Lama yang berbahasa Yunani
memakai mysterion dalam arti sesuatu yang ada dalam pikiran dan hati Allah,
tersembunyi bagi manusia. Rahasia pokok Allah adalah rencana-Nya untuk
menyelamatkan manusia, dan hal ini oleh Perjanjian Baru, khususnya Paulus,
dikatakan sebagai yang telah terungkap dan tersingkap dalam Yesus Kristus dan
sedang terlaksana dalam sejarah.
Dalam pemakaian kemudian (misalnya dalam Vulgata), mysterion diterje-
mahkan ke dalam bahasa Latin dengan sacramentum, meskipun asal-usul dari
istilah Latin ini serba berbeda. Kata ini dipakai untuk sumpah keprajuritan sebagai
inisiasi dalam dinas, yang dihayati kurang lebih sebagai suatu inisiasi religius.
Arti pokok “upacara inisiasi” ini dipakai dalam lingkungan Kristiani untuk
mengistilahkan inisiasi Kristen dengan “sacramentum.” Oleh karena mysterion
pun di kalangan Gereja-Gereja Yunani dipakai untuk permandian, maka lama-
kelamaan dua kata itu menunjuk arti yang sama dan pemakaiannya pun diper-
tukar-tukarkan.
Oleh karena itu, tidak terlalu aneh bila dalam judul bab I Lumen Gentium
dikatakan “Misteri Gereja,” dalam teksnya Gereja lebih sering disebut sebagai
“Sakramen.” Di beberapa tempat dalam dokumen-dokumennya, Konsili Vatikan
II memang menyebut Gereja dengan istilah “Sakramen” (lih. LG 1; 9: 48: 59; SC
5; 26; GS 42; 45; AG 1; 5), namun tidak selalu dalam arti yang tepat sama satu
sama lain, karena konteks pembicaraannya pun berbeda. Secara spontan orang
menangkap istilah itu dari lingkup ibadat, yakni upacara-upacara sakramental
dalam ibadat dengan pengertian Gereja sebagai sakramen. Namun tidak dapat
dikatakan bahwa pengertian Gereja sebagai sakramen diturunkan (dijabarkan) dari
pengertian tentang ketujuh sakramen. Sebaliknyalah, pemahaman tentang ketujuh
(atau lebih) sakramen itulah yang harus diturunkan dari pengertian tentang
sakramentalitas Gereja seluruhnya. Sakramentalitas Gereja hanya bisa dimengerti
dalam hubungannya dengan Kristus seperti diungkapkan oleh Lumen Gentium:

Terang bangsa-bangsalah Kristus itu. Maka Konsili tersuci ini, yang berhim-
pun dalam Roh Kudus, ingin sekali menerangi semua orang dengan cahaya
Kristus yang bersinar pada wajah Gereja, dengan mewartakan Injil kepada
segala makhluk (lih. Mrk 16:15). Gereja adalah di dalam Kristus bagaikan
sakramen, yaitu tanda dan sarana kesatuan mesra umat manusia dengan
Allah dan persatuan seluruh umat manusia (LG 1).

Yang disebut “Terang bangsa-bangsa” bukan Gereja (seperti dikesankan sepintas


tentang Konstitusi dogmatis “tentang Gereja” ini), melainkan Kristus. Gereja
hanya difahami sebagai misteri dalam kaitannya dengan misteri Kristus. Kalimat
pertama Konstitusi mengingatkan orang akan salah satu gambaran Patristik
tentang Gereja sebagai “mysterium lunae” (misteri bulan). Sedangkan arti
sakramentalitas Gereja yang terkandung dalam kalimat terakhir kutipan di atas
harus sungguh-sungguh digali dari frase “di dalam Kristus.” Kesatuan mesra umat
manusia dengan Allah dan persatuan umat manusia pertama-tama terlaksana
dalam Kristus; dan dalam Dialah Gereja bisa dikatakan (“veluti”) sakramen.
Pertama-tama harus dikatakan bahwa Kristuslah “Sakramen Utama.” Dalam
pribadi-Nya, hidup-Nya, sabda, perbuatan dan nasib-Nya, Allah mewahyukan

50
Diri-Nya secara menyelamatkan dalam cara yang paling manusiawi dan pribadi.
Identitas Yesus dari Nazaret adalah Putera Allah (lih. Yoh. 5:18). Setiap perjum-
paan dengan Yesus Kristus merupakan tawaran keselamatan yang efektif bila
orang menyambutnya dalam iman. Justru dalam kemanusiaan-Nyalah Yesus
menjadi perantara keselamatan (lih. 1Tim. 2:5), bukan dalam arti “ada di antara”
(= menciptakan jarak) Allah dengan manusia, melainkan justru mendekatkan dan
menghadirkan Allah bagi manusia, sesuatu yang menuntut pertobatan dan penye-
rahan total dari manusia. Hidup-Nya sekaligus mengejawantahkan jawaban
seorang manusia yang sepenuhnya terbuka untuk diisi oleh Allah dalam ketaatan
mutlak kepada kehendak Bapa-Nya. Kristus adalah pewahyuan cinta Bapa dan
tindakan penyelamatan-Nya; sekaligus Ia merupakan “wakil” umat manusia dalam
jawaban keputeraan terhadap cinta Bapa ini. Fungsi keperantaraan ini bukan
sesuatu yang sampingan dalam kemanusiaan Yesus, melainkan yang hakiki (lih.
Yoh. 14:9). Dalam Yesus kesatuan mesra Allah dengan manusia terlaksana dalam
bidang “dialog keselamatan” di mana tawaran keselamatan Allah ditanggapi
sepenuhnya oleh manusia, dan Allah menerima seluruh umat manusia (lih. 2Kor.
5:18). “Tidak ada sakramen Allah selain Kristus” (St. Agustinus). 27
Saat terpenting dari keperantaraan Yesus dalam keselamatan manusia adalah
peristiwa Paskah; Yesus memberikan Diri-Nya kepada Bapa sebagai ungkapan
ketaatan-Nya sebagai putera di tengah dunia manusia yang dalam semua segi
kehidupannya menolak Allah. Allah menerima pemberian diri ini dengan
membangkitkan-Nya dari maut dan memuliakan-Nya sebagai Tuhan (Kyrios).
Peninggian Yesus ini merupakan proklamasi kedudukan-Nya sebagai pengantara
keselamatan untuk semua manusia. Mulai saat itu kodrat kemanusiaan-Nya
disertakan ke dalam status kemuliaan-Nya sebagai Putera Allah dari kekal, dan
dalam kodrat kemanusiaan yang dimuliakan itulah Roh Kudus dilimpahkan
kepada sesama dan saudara-saudara-Nya, dan keselamatan ditawarkan bagi semua
manusia dari awal sampai akhir zaman. Karenanya, perlulah bahwa Kristus
dimuliakan, juga dalam kemanusiaan-Nya, agar dapat membagikan Roh Kudus
kepada manusia. Oleh karena itu LG 59 mengatakan: “...telah berkenan pada
Allah untuk tidak memaklumkan sakramen (misteri) keselamatan umat manusia
sebelum Dia mencurahkan Roh yang dijanjikan Kristus ....”
Pewartaan dan perwujudan keselamatan Allah yang telah terlaksana dalam
kepenuhan peristiwa Yesus itu dilanjutkan sampai akhir zaman lewat dan dalam
suatu persekutuan yang melangsungkan struktur sakramental dari keperantaraan
Yesus yang telah disebut di atas: persekutuan dibentuk oleh pencurahan Roh
Kudus oleh Kristus mulia. Inilah Gereja. Sebagai persekutuan yang demikian itu
Gereja mengandung dua momen secara bersamaan. Pertama, Gereja adalah
persekutuan orang beriman yaitu mereka yang menyambut dan sudah mulai
menikmati keselamatan Allah yang masih menantikan penyempurnaannya.
Kedua, untuk terus mewartakan dan mewujudkan keselamatan Kristus serta untuk
terus mewartakan dan mewujudkan keselamatan bagi orang-orang lain. Jadi
sakramentalitas Gereja dalam keselamatan Allah mencakup unsur “pasif” (yang
diselamatkan) dan pada waktu yang sama juga unsur “aktif” (turut menyelamat-
kan).

27
Epist. 187, 11, 34., PL 33, 845.

51
Dengan kata lain, Gereja adalah persekutuan dari mereka yang dikuduskan
sekaligus persekutuan yang menguduskan. Dalam seluruh hidupnya, Gereja
melanjutkan dialog keselamatan yang dipersonifikasikan oleh Yesus Kristus.
Dalam Gereja menyatulah tindakan Allah yang menawarkan keselamatan dalam
Kristus dengan tanggapan manusia dalam iman kepada-Nya. Kristus adalah dialog
antara Allah dengan manusia yang berlangsung dalam pribadi-Nya; Gereja adalah
dialog antara Allah Penyelamat dengan manusia dalam partisipasi pada Kristus,
berkat kekuatan Roh Kudus (lih. LG 8a).
Keselamatan manusia, yang dalam LG 1 dirumuskan sebagai “kesatuan
mesra umat manusia dengan Allah dan persatuan seluruh umat manusia,” direnca-
nakan dan dikehendaki Allah agar terlaksana bagi semua manusia tanpa kecuali.
Persatuan merupakan warna kuat dalam pandangan Konsili Vatikan II tentang
keselamatan yang ditandakan dan diwujudkan oleh Gereja. LG 2–4 berbicara
tentang rencana Allah untuk mengumpulkan dan mempersatukan manusia “di
hadapan Bapa” (LG 2), “dengan Kristus” (LG 3), “dalam Roh Kudus” (LG 4),
sehingga terciptalah di antara manusia persatuan yang polanya adalah Tritunggal
mahakudus sendiri: “Umat yang dipersatukan karena kesatuan Bapa, Putera dan
Roh Kudus” (LG 4, mengutip St. Cyprianus).
Corak khas (Kristiani) dari persatuan tersebut sering dirumuskan dengan
istilah communio. Ini merupakan istilah alkitabiah (dalam bahasa Yunani:
koinonia) untuk menggambarkan situasi baru yang dialami manusia yang diper-
barui oleh Kristus dan dalam Dia. Gagasan ini sendiri sangat digemari oleh para
Bapa Gereja (Tertillianus, Cyprianus). Pertama-tama istilah ini menunjuk pada
kesatuan hidup, partisipasi timbal balik (“sharing”) kehidupan antara manusia
dengan Allah: Allah masuk dalam dunia manusia dan manusia ambil bagian
dalam hidup ilahi. Kedua, persatuan ini tidak hanya suatu “simbiosis,” melainkan
hubungan pribadi, yang membawa suatu ikatan batiniah dan kepekaan satu sama
lain. Ketiga, kesatuan hidup dengan Allah ini mendasari persatuan baru antara
manusia (lih. 1Yoh. 1:3.6).
Komunio tersebut mencapai wujud yang unik dalam taraf yang tertinggi
dalam Yesus Kristus, sungguh Allah dan sungguh manusia. Namun komunio itu
ditawarkan bagi semua manusia pula, karena Roh Kudus yang menaungi Maria
dalam mewujudkan kesatuan hipostatik itu (lih. Luk. 1:26-38) juga dilimpahkan
atas mereka yang berkumpul di Yerusalem pada hari Pentakosta untuk memben-
tuk dari mereka ini persekutuan baru dalam Kristus (lih. Kis. 2). Sesuai dengan
dinamika inkarnasi Sabda, persekutuan itu terarah secara dinamis kepada
pengungkapan yang semakin eksplisit dan perwujudan yang kelihatan.
Persekutuan umat manusia yang baru ini terwujud oleh Roh Kudus (lih.
2Kor. 13:13) sebagai prinsip kesatuan maupun keragamannya. Dalam komunio,
kesatuan tidak menyeragamkan, dan keragaman tidak mengacaubalaukan.
Keunikan masing-masing tidak menjadi ketertutupan terhadap yang lain, dan
kebersamaan tidak menjadi kolektivisme. Roh Kudus adalah prinsip kreatif dari
keaslian (orisinalitas) sekaligus prinsip keterbukaan dan relasi. Inilah coraknya
bila komunio Tritunggal mahakudus diwujudkan dalam dunia manusia. Maka
komunio bisa disebut juga “damai,” “shalom,” dan “rekonsiliasi” (lih. Ef. 2:13-
18).

52
Atas kenyataan dinamis yang digambarkan di atas itulah Gereja dikatakan
laksana “Sakramen,” yaitu tanda dan sarananya. Berkat kesatuan intim dengan
Kristus mulia yang dikerjakan oleh Roh Kudus, Gereja menghadirkan secara
kelihatan dan efektif keselamatan bagi dunia ini. Dua aspek ini tidak bisa
dipisahkan dalam pengertian sakramentalitas: tanda yang efektif dan sarana yang
kelihatan (signum efficax et instrumentum visibile). Segala yang dikerjakan oleh
Gereja secara formal sebagai Gereja, atas nama Kristus, adalah tindakan Kristus
sendiri yang secara aktual menyelamatkan manusia. Keperantaraan Kristus dalam
keselamatan manusia yang telah disebut di atas justru berarti bahwa keselamatan
dari Allah itu sekarang dan di sini hadir, mewujudkan diri secara kelihatan. Itulah
yang dilangsungkan dalam dan oleh Gereja.
Sebagai tanda, Gereja memperlihatkan keselamatan yang sedang berlang-
sung itu. Tanda itu mempunyai keselarasan dengan kenyataan yang ditandakan-
nya, sekaligus tidak pernah secara tuntas memperlihatkan dan mengungkapkan
realitas tersebut, apalagi bila realitas itu ilahi sifatnya. Tegangan ini melekat pada
fungsi tanda. Fungsi Gereja sebagai tanda keselamatan terlaksana dalam suatu
spektrum realisasi, mulai dari yang implisit dan mendua, sampai ke realisasi yang
formal dan eksplisit. Oleh karena itu, Gereja dari satu fihak adalah tanda
keselamatan dan dari lain fihak juga harus menjadi tanda keselamatan. Sekaligus
tanda itu menyiratkan korespondensi tertentu dengan alamatnya, yang sementara
ini bisa diistilahkan dengan “dunia.” Bila tidak demikian, tanda itu tidak komuni-
katif, dan berhenti fungsinya sebagai tanda .
Sebagai sarana, Gereja turut mengerjakan keselamatan dari Allah. Ini meru-
pakan konsekuensi dari pola inkarnasi, yaitu bahwa Allah mengerjakan kesela-
matan manusia lewat perantaraan dan dengan partisipasi aktif manusia juga. Bila
diingat corak dinamis dari realitas keselamatan, maka keselamatan yang dari saat
ke saat turut dikerjakan dan diusahakan oleh Gereja adalah sungguh shalom dalam
realisasi awalnya, tidak pura-pura atau janji saja, meskipun terbuka ke arah
kepenuhan yang dari Allah datangnya.
Sakramentalitas ini dengan demikian berarti bahwa Gereja mengandung baik
unsur ilahi maupun insani sekaligus dalam dirinya, suatu kesatuan yang dikerja-
kan oleh Roh Kudus sendiri. Dalam Gereja komunio ilahi dibagikan dan dikomu-
nikasikan untuk dihayati dalam cara yang manusiawi, oleh manusia; dan lewat
Gereja hal ini ditawarkan serta dibagikan lebih lanjut secara lebih meluas dan
mendalam. Namun justru pengertian sakramentalitas semacam ini menyiratkan
bahwa perwujudan keselamatan yang dari Allah itu sendiri jauh lebih dalam dan
luas daripada apa yang kelihatan, apalagi yang kelihatan secara institusional. Dari
lain fihak, hanya lewat tanda inilah bahwa keselamatan sebagai sesuatu yang
dimulai atas inisiatif Allah dalam Kristus dan yang dalam pelbagai cara sedang
dilaksanakan Allah untuk seluruh umat manusia mendapatkan bentuknya yang
kelihatan. Bila dalam LG 48 Gereja disebut “Sakramen keselamatan universal,”
universalitas ini berarti bahwa keselamatan itu tidak hanya ditawarkan bagi semua
orang, tetapi juga sedang diwujudkan dalam pelbagai cara bagi semua orang
dalam situasinya yang konkret. Corak rahmat serta struktur keperantaraan dari
setiap realitas keselamatan, apapun perwujudannya, mendapatkan tandanya dalam
segala aspek hidup Gereja, terutama yang bisa disebut puncak pengungkapan
formal Gereja, yaitu ibadat-ibadat sakramen. Universalitas de facto dari kesela-

53
matan Allah ini harus mendapatkan ungkapannya dalam keterbukaan Gereja
sendiri terhadap semua orang dengan segala kekhasannya.
Karya keselamatan Allah selalu mempunyai struktur di mana yang ilahi dan
yang insani bersatu tanpa tercampur, di mana yang insani memanifestasikan
(sekaligus menyembunyikan) yang ilahi. Struktur sakramental ini menjadi nyata
dalam diri Kristus, dan juga dalam Gereja, karena dalam keduanya karya ilahi
diwujudkan secara manusiawi. Akan tetapi ada perbedaan lebih besar antara
keduanya dalam caranya kesatuan ilahi-insani itu terwujud. Dalam hubungannya
dengan Kristus, pengenaan sakramentalitas pada Gereja hanyalah secara analogis.
Hal ini khusus dinyatakan dalam LG 8, artikel yang menutup bab tentang misteri
Gereja:

Gereja kudus, persekutuan iman, harapan dan cinta kasih, oleh Kristus satu-
satunya Pengantara dibentuk dan terus-menerus dipelihara di dunia sini,
sebagai himpunan yang kelihatan dan melalui Gereja itu Ia menyebarkan
kebenaran dan rahmat kepada semua orang. Serikat yang disusun dengan
jabatan hirarkis dan Tubuh mistik Kristus, perkumpulan yang tampak dan
persekutuan rohani, Gereja duniawi dan Gereja yang diperkaya dengan
anugerah-anugerah surgawi, janganlah itu dipandang sebagai dua hal; semua
itu merupakan satu realitas yang kompleks, dimana dipersatukan unsur
insani dan ilahi. Maka berdasar analogi yang cukup tepat Gereja dibanding-
kan dengan misteri Sabda yang menjelma. Sebab seperti kodrat yang
diterima oleh Sabda ilahi dipakai oleh-Nya sebagai alat keselamatan yang
hidup yang dipersatukan erat-erat dengan-Nya, begitu juga badan sosial
Gereja dipakai oleh Roh Kristus, yang menghidupkannya, guna pertumbuh-
an tubuh-Nya (lih. Ef 4:16). 2

Dalam bagian sejarah faham Gereja di atas telah dipaparkan bagaimana


semenjak abad yang lalu orang berusaha menemukan dan merumuskan kembali
kesatuan antara aspek kelihatan dan aspek tak kelihatan dari Gereja, aspek
batiniahnya dengan aspek lahiriah, antara misteri dengan institusi. Dalam bagian
pertama kutipan di atas Konsili Vatikan II menegaskan dengan beberapa frase
kesatuan kompleks unsur ilahi-insani yang melengkapi aspek-aspek Gereja terse-
but. Setelah menguraikan misteri Gereja dalam rencana keselamatan, sekarang
Konsili Vatikan II mengarahkan pandangan pada perwujudan konkret-historis dari
misteri tersebut, karena bab II yang segera menyusul (mulai dengan LG 9) akan
membicarakan “Umat Allah.”
Untuk menunjukkan sakramentalitas tersebut diambil analogi dengan
misteri penjelmaan Sabda. Tidak dimaksudkan di sini bahwa Gereja “melanjut-
kan” atau “melangsungkan” penjelmaan Sabda, karena peristiwa penjelmaan itu
adalah sesuatu yang unik dan tak terulang. 3 Tujuan Konsili Vatikan II adalah

2
Kami pakai terjemahan T. Jacobs, Kontitusi Dogmatis Lumen Gentium..., I, hlm. 195.
3
Gagasan tentang Gereja sebagai “lanjutan penjelmaan Putera Allah” laku pada abad yang lalu (K.
Pelz, J.A. Möhler), khususnya karena pengaruh aliran Tübingen. Para ahli tersebut cukup cermat
untuk menghormati keunikan peristiwa penjelmaan dan membedakan Gereja dari padanya,
namun dalam menerangkan kesinambungan suatu karya keselamatan Allah dalam Kristus dan
dalam Gereja, mereka tidak bisa menghindarkan risiko disalahtafsirkan, seakan-akan kesatuan
yang begitu intim antara Kristus dengan Gereja-Nya berarti bahwa Gereja menikmati segala

54
menunjukkan kesatuan unsur insani dan ilahi juga dalam Gereja: sebagaimana
kemanusiaan Yesus telah menjadi sarana keselamatan berkat persatuannya (yang
bersifat hipostatis) dengan Sabda ilahi, begitu pula unsur manusiawi/institusional
dalam Gereja dipergunakan oleh Roh Kudus untuk mengerjakan karya kesela-
matan. Dalam analogi ini, kesamaan antara peristiwa penjelmaan Sabda dengan
Gereja adalah: pertama, kesatuan antara unsur ilahi dan insani dalam satu atau
lain cara; kedua, bahwa dua-duanya ada dalam satu karya keselamatan. Perbeda-
an antara keduanya lebih besar lagi, bila diingat pertama-tama bahwa penjelmaan
Sabda adalah dasar yang memungkinkan adanya Gereja (dan intelligibilitas
Gereja), dan bahwa dalam penjelmaan Sabda, kodrat kemanusiaan Kristus dicipta-
kan bersama dengan pengangkatannya menjadi milik Sabda (“ipsa assumptione
creatur”), sedangkan dalam Gereja Roh Kudus bersemayam dalam pribadi-pribadi
manusia yang sudah ada sebelumnya. Jadi Gereja tidak melanjutkan peristiwa
penjelmaan, melainkan melangsungkan misteri keselamatan yang telah menyata-
kan diri dalam penjelmaan Sabda.

4. Umat Allah dalam Kristus


Dalam rangka pemahaman Gereja sebagai misteri (dalam arti yang telah
diuraikan di atas), Konsili Vatikan II memakai salah satu pengertian diri Gereja
yang dipakai dalam tradisi Kristiani, yakni “Umat Allah,” sebagai suatu pola
pemahaman atas perwujudan historis dari misteri tersebut. Pengertian diri ini
mengandung kekayaan arti yang mencakup baik asal usul Gereja, Relasi dengan
Allah, segi sosial dan menyejarah, serta segi misioner Gereja.
Gagasan umat Allah berakar pada Perjanjian Lama, di mana Israel adalah
umat kesayangan Yahwe. Ini diterapkan oleh Perjanjian Baru kepada Gereja (lih.
Rom. 9:23-26; Ibr. 8:10; Yak. 1:1; 1Ptr. 2:9 dll.), namun sekarang dalam arti
Umat Allah yang baru, dihimpun dalam Yesus Kristus. Lama sekali dalam sejarah
ekklesiologi pengertian dari Gereja sebagai Umat Allah ini terpendam di bawah
faham Gereja sebagai institusi/lembaga (lih. atas, sejarah perkembangan faham
tentang Gereja). Baru pada Konsili Vatikan II secara resmi gagasan Umat Allah
ini mendapat tempat terhormat dengan menjadi kerangka pokok pemahaman
modern tentang Gereja; Dokumen Konsili Lumen Gentium dengan menjadikannya
pokok pembicaraan bab II mengkaitkan pengertian umat Allah dengan pengertian
Gereja sebagai misteri (bab I).
Faham tentang Gereja sebagai Umat Allah mengingatkan orang akan (1)
corak Gereja sebagai suatu persekutuan konkret; (2) konteks sejarah keselamatan
dari eksistensi Gereja, dan (3) solidaritas mendalam dengan seluruh umat manu-
sia.
4.1 Gereja sebagai Persekutuan
Bila corak Gereja sebagai persekutuan dirumuskan dengan faham Umat
Allah, yang pertama-tama ditonjolkan bukanlah segi konkret yang hidup di
dalamnya. Gereja bukanlah suatu institut yang seakan-akan bisa hidup tanpa
orang-orangnya. Gereja “terjadi” dari orang-orang yang saling berbagi imannya,

keistimewaan yang hanya dimiliki oleh Sabda yang menjelma, seperti misalnya ketidak-
berdosaan (impeccabilitas).

55
guru yang menjalankan fungsinya dengan dedikasi, biarawan dan biarawati yang
kendati kelemahannya tetap setia mempersembahkan seluruh hidupnya kepada
Tuhan, orang sakit yang menanggung penderitaannya dengan sabar, dan sebagai-
nya. Para bapa Gereja menyaksikan realitas Gereja dalam kisah Abraham, Rahab,
Maria, Zakheus, Petrus, Yohanes. Pengalaman beriman konkret dari orang-orang
berimanlah yang membentuk hidup Gereja. Karya keselamatan Allah menjelma
dan terjalin erat dalam perjuangan hidup orang-orang beriman, tidak di luarnya.
Namun hal itu tidak berarti bahwa hidup Gereja adalah “penjumlahan”
hidup iman induvidual para anggotanya, karena: “Allah berkenan menguduskan
dan menyelamatkan manusia, bukan orang demi orang, tanpa hubungan apapun
satu sama lain, melainkan Ia menghimpun mereka menjadi umat, yang mengakui
Dia dalam kebenaran dan mengabdi kepadaNya dengan suci” (LG 9a).
Bila keselamatan itu bukanlah suatu “barang” atau bahkan “keadaan”
semata-mata, melainkan persekutuan (komunio), realisasinya pun lewat perantara-
an orang-orang, lewat wujud sosial. Allah menyelamatkan manusia lewat dan
dalam pembentukan suatu umat bagi-Nya. Ini tidak berarti bahwa keselamatan
merupakan soal kolektif semata-mata tanpa tanggung jawab masing-masing
pribadi, melainkan bahwa masing-masing menempuh jalan keselamatannya lewat
kedudukannya sebagai anggota umat, melalui hak dan kewajibannya di dalamnya,
dalam peranan yang disumbangkannya bagi keseluruhan umat.
Dalam rangka ini orang berbicara tentang karisma (charisma). Karisma
adalah anugerah Roh Kudus kepada orang perorangan atau suatu kelompok untuk
melayani jemaat, yang disertai dengan kemampuan untuk mewujudkan pelayanan
tersebut. 4 Dalam Perjanjian Baru, Pauluslah yang berbicara tentang hal itu (lih.
Rom. 12: 3s; 1Kor. 12:4-30; Ef. 4:10-13). Baginya, hidup Gereja sebagai kancah
karya dan anugerah Roh Kudus ditandai oleh keragaman anugerah dari satu fihak
dan kesatuan asal serta tujuan dari lain fihak: semua berasal dari satu Roh dan
ditujukan untuk pembangunan Tubuh Kristus.
Corak karismatik umat Allah tidak lain berarti bahwa masing-masing hidup
bagi yang lain, seperti Kristus. Semua saling membutuhkan dan saling menyum-
bang, (tidak ada orang yang bisa membaptis dirinya sendiri, atau mengampuni
dosanya sendiri), dan dalam cara ini keseluruhan umat menjadi perantara
keselamatan bagi dunia. Seperti dikatakan oleh Dektrit tentang Kerasulan Awam,
Apostolicam Actuositatem (AA), mengacu pada LG 12 di atas:

Dengan menerima karisma-karisma ini, juga yang sederhana, muncullah hak


dan kewajiban tiap orang beriman untuk memanfaatkannya demi kepenting-
an manusia dan pengembangan Gereja, di dalam Gereja dan di dalam dunia,
dalam kemerdekaan Roh Kudus, yang ‘bertiup ke mana Ia mau’ (Yoh. 3:8)
dan serentak dalam persekutuan dengan saudara-saudari di dalam Kristus
terutama dengan para gembala mereka (AA 3).5

Dengan demikian dalam faham Umat Allah yang sebagai umat bercorak
karismatis itu tersirat jugalah kesederajatan dasariah antarsemua anggotanya.

4
Lih. LG 12b.
5
Lih. juga AA 2; 6; 13. AG 15; 21.

56
Kesederajatan ini mendahului pembedaan fungsional yang ada dalam Gereja.
Setiap orang beriman lewat baptis memiliki martabat yang sama dengan ambil
bagian dalam imamat Kristus (LG 10). Imamat ini dijalankan kaum beriman lewat
macam-macam fungsi dalam Gereja termasuk di dalamnya apa yang dikenal
dengan imamat jabatan (pelayanan). Oleh karena itu, LG 10 mengatakan:
“Imamat umum kaum beriman dan imamat jabatan atau hirarkis, kendati berbeda
hakikat dan bukan tingkatnya saja, saling terarahkan; sebab kedua-duanya
dengan caranya sendiri-sendiri mengambil bagian dalam satu imamat Kristus.” 6

4.2 Konteks Sejarah Keselamatan dari Eksistensi Gereja


Bila Gereja dilihat oleh Konsili Vatikan II sebagai Umat Allah, semakin
digarisbawahi corak misteri yang telah diuraikan dalam bab I Lumen Gentium,
yaitu bahwa Gereja adalah manifestasi aktual dari sejarah keselamatan yang
sedang berlangsung. Orang diingatkan akan umat Israel, yang juga disebut Umat
Allah. Kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang melekat pada sebutan Israel sebagai
umat Allah juga berlaku bagi Gereja (“Israel dari Allah”, Gal. 6:16), dengan tetap
memperhatikan kekhasan yang ada pada Gereja.
Dalam hubungan ini Umat Allah berarti suatu umat yang tidak berhimpun
atas inisiatif dalam bentuk apapun dari manusia atau atas hubungan darah, ras,
kepentingan, dan lain-lainnya, melainkan atas inisiatif Allah. Umat Allah adalah
umat yang berasal dari Allah, direncanakan dari dalam lubuk hati-Nya dan
diwujudkan dalam sejarah sejak awal zaman. Tepat juga bila dikatakan bahwa
perwujudan umat Allah itu tidak hanya dalam sejarah, tetapi juga berupa sejarah,
sejarah keselamatan. Inisiatif Allah yang bebas dan gratis untuk menghimpun
suatu umat itu diawali lewat panggilan seseorang, Abraham (Kej. 12:1-2), Yesus
Kristus (Rom. 8:29-30). Pilihan Allah inilah yang mendasari keberadaan serta
kesatuan umat-Nya.
Hubungan dengan Allah ini tidak hanya menandai awal keberadaan umat
itu, tetapi juga merupakan sesuatu yang memberi identifikasi padanya: Israel
hidup sebagai milik, bahkan milik kesayangan Yahwe sendiri. Antara Allah dan
Israel ada relasi timbal balik baik yang khas mapun intim, sehingga identitas Israel
adalah umat Yahwe dan identifikasi Allah adalah Allah Israel. 7 Hal ini dicetuskan
dalam bentuk perjanjian:

Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan


berpegang pada perjanjian, maka kamu akan menjadi harta kesayangan
sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi.
Kamu akan menjadi bagiku kerajaan imam dan bangsa yang kudus (Kel.
19:5-6).

Begitu pula halnya Gereja: “... kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang
rajawi, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri....” (1Ptr. 2:9). Hubung-
an saling memiliki ini dilukiskan dalam Kitab Suci dengan gambaran mempelai

6
Kami pakai terjemahan T. Jacobs, Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium....., I, hlm. 238.
7
“Mereka akan menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allah mereka” (lih. Im. 26:12; Yer. 7:23.
Bdk. Why. 21:3).

57
(lih. Hos. 2:20; bdk. Ef. 5:25-32). Ini menyiratkan keterlibatan hidup satu sama
lain (komunio!) dalam kesetiaan timbal balik.
Dalam hal ini kekhasan Gereja, dibandingkan dengan Israel terletak pada
Yesus Kristus yang menjadi pokok Perjanjian Baru, kesatuan hidup yang secara
radikal lebih intim antara Allah dan manusia. Dengan wafat dan kebangkitan
Kristus, sejarah terbentuknya umat terpilih menginjak tahap yang sama sekali
baru: mulai saat itu iman terhadap Kristuslah yang menentukan keselamatan dan
keanggotaan dalam umat Allah eskatologis, bukan pertama-tama kaitan darah
dengan Abraham, atau hukum Taurat (lih. Rom. 4; Gal. 3). Mereka yang percaya
kepada Kristus adalah keturunan Abraham yang sejati, umat Allah yang sejati (lih.
Rom. 4:12; Gal. 3:29; 4:28). Ini berarti bahwa Umat Allah yang baru akan terdiri
dari bermacam-macam bangsa, bukan hanya orang Israel saja. Di sini berlaku pula
bahwa Kristus bukan hanya awal Gereja; melainkan darahnya. Gereja adalah
Umat Allah yang terbentuk sebagai konsekuensi penjelmaan Sabda Allah dan
pencurahan Roh Kudus: umat yang hidup dalam kondisi sebagai Tubuh Kristus.
Maka anggota Umat Allah yang baru ini adalah anggota Tubuh Kristus (lih. 1Kor.
12:13; Gal. 3:26s).
Sebagaimana Abraham dipanggil oleh Allah untuk menjalin persahabatan
dengan-Nya demi kepentingan umat yang akan lahir dari dirinya, begitu pula
Israel menikmati hubungan dengan Yahwe bukan sebagai monopoli, melainkan
demi segala bangsa, agar semua bangsa bisa bersahabat dengan Yahwe. Pilihan
Allah menyiratkan suatu keakraban hubungan yang hampir eksklusif, namun
selalu dalam fungsi dan perspektif universal. Seluruh segi kehidupan umat Allah
diabdikan untuk terlaksananya rencana Allah bagi segala bangsa; dengan kata
lain, sejarah umat Allah mempunyai perspektif eskatologis. Dengan demikian
faham Umat Allah mengandung pula segi misioner. Bila Gereja disebut Umat
Allah, tersirat pulalah perspektif ini, namun perspektif ini ditandaskan secara lebih
kuat oleh segi kristologis Gereja sebagai Tubuh Kristus. Kristus adalah Dia yang
menyerahkan diri sebagai “roti yang dipecah-pecah” untuk disantap, begitu pula
Gereja sebagai Tubuh-Nya tidak mempunyai arti lain selain untuk menyerahkan
diri bagi pelayanan kepada dunia.
Kalau Gereja disebut umat Allah, (yang asal usulnya pada inisiatif Allah,
keberadaan dan identitasnya didukung oleh relasi dengan Allah, dan yang
perspektifnya adalah terlaksananya rencana Allah), hal ini menyiratkan suatu
struktur tertentu. Umat Allah bukanlah suatu gerombolan anarkis. (lih. 1 Kor.
14:33). Struktur itu berfungsi untuk menjamin dan menopang segi-segi yang telah
disebut di atas. Umat Allah adalah umat yang mempunyai pimpinan yang menter-
jemahkan secara organisatoris kepemimpinan Allah sendiri, mempunyai tradisi
doktriner yang melangsungkan pengalaman asli dari generasi ke generasi, dari
situasi ke situasi, tradisi ritual-liturgis yang mengaktualisasikan pengalaman asli
itu setiap saat dalam perspektif eskatologis. “Tertentu” di sini belum tentu berarti
“satu saja” melainkan menunjuk pada segi institusional umat Allah, di mana iman
itu bukan semata-mata subjektif, melainkan juga objektif, sesuatu yang dihadapi
oleh setiap orang beriman sebagai yang “bukan dari dirinya,” sebagai yang
“berwenang.” Dengan demikian dalam Gereja ada keragaman fungsi dan peranan
yang menterjemahkan fakta bahwa Gereja itu umat yang dihimpun “oleh Allah”

58
dan “dari Allah” dan bukan dari manusia, sekaligus memberi bentuk konkret
terhadap keterarahan misionernya kepada dunia.
Perspektif sejarah keselamatan ini berarti bahwa Gereja, sebagaimana Israel
dulu, merupakan pemangku dan pengemban janji Allah bagi seluruh umat
manusia, dalam pengembaraan sejarah sampai akhir zaman (lih. LG 9). Ini menyi-
ratkan pewartaan pengalaman asli yang mengandung janji keselamatan universal
sekaligus menyiratkan kewajiban untuk mengadakan keputusan-keputusan bebas
sebagai tanggapan terhadap bimbingan Allah sendiri. Umat Allah tidak hanya
berjalan sebagai pelaku sejarah. Oleh karena itu, dalam faham Umat Allah terkan-
dung pula kesadaran akan “kairos,” yaitu saat Yahwe, di mana manusia harus
mengambil keputusan yang mempunyai bobot eskatologis. Pendek kata, faham
umat Allah menyiratkan “Tradisi,” sekaligus “tanda-tanda zaman.”

4.3 Solidaritas Mendalam dengan Seluruh Umat Manusia


Pemahaman diri sebagai umat Allah, di samping mengandung makna
“pilihan,” juga tetap mengandung kesadaran akan solidaritas mendalam dengan
umat manusia seluruhnya. Khususnya Perjanjian Baru memberikan suatu warna
baru terhadap faham umat Allah, yakni bahwa kini umat itu dihimpun tidak atas
dasar ras atau hubungan darah melainkan dihimpun dari apapun juga yang percaya
kepada Kristus. Ikatan-ikatan lama tidak dirusakkan, melainkan diatasi (“ditran-
sendentasikan”), sehingga Gereja bukanlah suatu “club,” melainkan persekutuan
yang meliputi orang kaya dan miskin, tua dan muda, macam-macam bangsa dan
kebudayaan, aliran politik, dan profesi. Persekutuan ini dipimpin oleh Kristus,
merupakan persemayaman Roh Kudus, berhukumkan cinta kasih, dan bertujuan
kerajaan Allah (lih. LG 9).
Di atas telah dikatakan bahwa umat Allah menyandang perutusan untuk
mengusahakan terwujudnya rencana keselamatan Allah bagi seluruh umat
manusia. Rencana itu bukanlah sesuatu yang di luar atau di atas situasi konkret
umat manusia, melainkan sesuatu yang mengubah situasi tersebut dari dalam. Ini
berarti bahwa peziarahan Gereja sebagai umat Allah dalam sejarah tidak hanya
“menjalani waktu,” melainkan masuk ke dalam “lubuk hati” bangsa-bangsa dan
dalam kebersamaan mendalam dengan mereka ini berjalan menuju eschaton.
Gereja menjalani sejarah keselamatan dari dalam sejarah dan perjuangan para
bangsa. Sebagai umat messianis (dalam LG 9 disebut dua kali), Gereja membawa-
kan harapan akan keselamatan yang dari Allah dari dalam keprihatinan para
bangsa akan suatu shalom, akan suatu masa depan yang lebih baik.
Di sini pada tempatnya untuk menyinggung sejenak tentang apa yang
disebut ”ciri-ciri Gereja” (notae ecclesiae), yaitu empat ciri yang disebut dalam
Syahadat Panjang (Nikea-Konstantinopel): satu, kudus, katolik, dan apostolik.
Satu: Asal dan sumber Gereja hanya satu, yaitu Allah sendiri, Tritunggal
mahakudus. Satu juga Kepala dan Pemimpinnya, yaitu Tuhan Yesus Kristus. Roh
Kudus mempersatukan semua warganya pada Kristus dalam satu kesatuan Tubuh
Kristus. Bapa surgawi adalah pemrakarsa dan sumber satu karya keselamatan, di
mana Gereja merupakan salah satu manifestasinya. Gereja juga hanya mempunyai
satu iman, satu pengharapan, dan satu cinta kasih yang bersumber pada hidup
Tritunggal. Kesatuan Gereja dengan demikian merupakan ciri yang paling dasar;

59
tidak mengherankan bahwa Syahadat Nikea-Konstantinopel menyebutnya sebagai
ciri pertama.
Kudus: Allah yang mahakudus itulah dasar dan sumber keberadaan Gereja.
Ia menguduskan Gereja dari saat ke saat. Para warga Gereja diurapi dengan Roh
Allah sendiri, yaitu Roh Kudus, yang membimbing dan mendorong mereka
menuju kekudusan sejati yang diperuntukkan bagi semua warga Gereja, seperti
diteladankan oleh Perawan Maria. Maka dalam arti ini para warga Gereja juga
disebut ”para kudus” yang berpartisipasi dalam ”hal-hal kudus,” yaitu sabda dan
sakramen-sakramen pemberian Allah.
Katolik, ”kath-holos,” artinya menyeluruh, merangkum keseluruhan dan
keutuhan. Siapa keutuhan dan kepenuhan sejati? Kristus. Secara kongkret, Gereja
terbuka untuk semua bangsa dan budayanya, tidak ada yang dikecualikan.
Kekayaan yang beragam dari bangsa manusia tidak ada yang dikecualikan untuk
mendapatkan kepenuhan dan maknanya dalam Kristus. Inilah dasar inkulturasi. Di
dalam Gereja sendiri ada keragaman yang sangat besar, yang disatukan dalam
komunio sejati.
Apostolik: Gereja yang apostolik artinya, Gereja yang sekarang ini memang
benar-benar Gereja yang didasarkan pada ajaran para rasul Yesus (Ef. 2:20),
bukan suatu Gereja yang lain. Ajaran Gereja tidak lain adalah ajaran para rasul;
struktur dasar Gereja adalah struktur yang mencerminkan kepemimpinan Kristus
yang dilaksanakan oleh para rasul (secara bersama-sama) dan para penggantinya,
yaitu dewan para uskup dengan Paus sebagai ketuanya.

60

Anda mungkin juga menyukai