Anda di halaman 1dari 7

EKLESIOLOGI KATOLIK DARI KONSILI TRENTE SAMPAI KONSILI VATIKAN II 61

EKLESIOLOGI KONSILI VATIKAN II (11 OKT. 1962 – 8 DES. 1965)

Sudah barang tentu dorongan yang terkuat dan paling menentukan untuk
memperbaharui eklesiologi datangnya dari Konsili Vatikan II, karena ciri khasnya adalah
eklesiologinya. Satu-satunya tujuan Konsili ini adalah menyelami misteri Gereja baik dari segi
kodratnya yang hakiki, maupun dari segi hubungannya dengan dunia. Konsili Vatikan II
melukiskan misteri Gereja yang besar itu terutama dalam Konstitusi dogmatik “Lumen
Gentium”.

1.1. Eklesiologi “Lumen Gentium”

a. Konsili Vatikan II mulai membicarakan tema eklesiologi pada minggu pertama bulan
Desember tahun 1962, dengan menggunakan skema “Aeterni Unigeniti Patris”, yang
sudah disiapkan sebelumnya oleh komisi khusus. Skema tersebut dikritik oleh para
Uskup, sehingga ditarik kembali.
Sementara itu (Desember 1962 – Januari 1963) ada skema-skema lain tentang Gereja
yang sedang beredar di tangan para Bapa Konsili: asalnya dari Jerman, Cile, dan
Perancis. Ada satu skema lain (“Concilium duce Spiritu”) yang mulai beredar sejak
Oktober 1962, dan skema tersebut rupanya dikarang oleh seorang teolog dari Louvain
(Belgia), yaitu Gérard Philips. Skema inilah yang diterima oleh sub-komisi “De Eklesia”
dan yang diperbaharui menjadi teks untuk pembahasan para Bapa Konsili tentang
misteri Gereja.

b. Teks yang baru ini terdiri dari 4 bab: I. Misteri Gereja, II. Susunan hierarkis Gereja dan
khususnya jabatan uskup, III. Umat Allah dan khususnya kaum awam, IV. Panggilan
kepada kekudusan di dalam Gereja.
Teks ini mulai dengan kata-kata berikut ini: “Lumen gentium cum sit Christus” (“Karena
terang bangsa-bangsa adalah Kristus” atau “Kristus adalah terang seluruh umat
manusia”). Perkembangan selanjutnya dan definitifnya skema tersebut dapat dilihat dari
susunan Konstitusi dogmatik “Lumen Gentium” yang disahkan oleh Konsili pada tanggal
21 November 1964.

I. MISTERI GEREJA. Gereja dilihat di bawah terang Kristus serta di bawah terang misterinya,
sebagai pelaksanaan penuh rencana keselamatan Tritunggal Mahakudus, sebagai Perjanjian
definitif dengan umat manusia, sebagai benih serta awal Kerajaan Allah, dan sebagai tubuh
Kristus.

II. UMAT ALLAH. Gereja itu adalah umat Allah yang baru, yang mencakupi semua kategori
orang beriman: Paus, para uskup, para imam dan kaum awam. Kepada umatNya, Putera Allah
memberi tugas-tugasNya sebagai Imam (imamat umum para beriman), Nabi dan Raja; memberi
Roh Kudus yang menyertai dengan kharisma-kharisma khusus, baik “ministerial” maupun
bebas. Gereja itu “sakramen universal keselamatan”, makanya panggilan misionernya sangat
kuat serta tidak terputus.

III. SUSUNAN HIERARKI GEREJA, KHUSUSNYA JABATAN USKUP. Sebagai umat Allah, Gereja itu
menerima struktur-struktur yang esensial dari Pendirinya. Yesus Kristus sudah menyerahkan
EKLESIOLOGI KATOLIK DARI KONSILI TRENTE SAMPAI KONSILI VATIKAN II 62

tugas memimpin Gereja kepada rasul-rasul dan para penggantinya. Di dalam Gereja ada dua
otoritas yang tertinggi, yaitu: Sri Paus dan Dewan para Uskup (collegium episcopale). Uskup
masing-masing memiliki tugas mengajar (Guru), memimpin (Gembala) dan menyucikan (Imam
Agung) dalam Gereja lokal, dan dibantu oleh para imam dan diakon.

IV. KAUM AWAM. “Walaupun semua yang dikatakan tentang umat Allah, dialamatkan sama,
baik kepada awam maupun kepada biarawan-biarawati dan klerus, namun ada beberapa hal
yang secara khusus menyangkut para awam, pria dan wanita, berdasarkan situasi dan
perutusan mereka” (LG 30), yaitu tugas di dunia dan hubungan dengan hierarki.
Semua umat beriman berdasarkan martabat dan rahmat pada hakekatnya sama, namun
kaum awam mempunyai fungsi khusus, yang juga berdasarkan tri tugas mesianis (imam, raja
dan nabi). Tri tugas ini bukan hanya monopoli para uskup dan imam. Kaum awam sebagai umat
Allah mempunyai tugas di dunia, yaitu menguduskan, memerintah dan mengembangkan
budaya dunia, baik dengan kesaksian hidup maupun dengan perkataan (fungsi profetis).
Hubungan kaum awam dengan hierarki hendaknya diinspirasikan oleh kerendahan hati dan
keterbukaan. Dari kaum awam, para gembala dapat menerima nasihat-nasihat berguna dan
pengetahuan untuk mengambil keputusan menyangkut persoalan dunia. Keduanya perlu
memiliki pemahaman yang baik tentang ketaatan dan penghargaan, tetapi lebih-lebih cinta
kasih.

V. PANGGILAN UMUM KEPADA KEKUDUSAN DI DALAM GEREJA. Panggilan kepada kekudusan


diperuntukkan bagi umat Allah secara menyeluruh dan juga kepada semua anggota masing-
masing. “Di dalam berbagai ragam hidup dan jabatan, kekudusan yang satu diusahakan oleh
semua, yang digerakkan oleh Roh Allah…Tiap orang, sesuai dengan karunia dan tugas khasnya,
harus menempuh tanpa ragu jalan iman yang hidup, yang menggairahkan harapan dan yang
berkarya melalui cinta kasih” (LG 41).
Keharusan untuk menguduskan diri, menurut ungkapan kehendak Allah, adalah
keharusan umum bagi semua kaum beriman, bagi Sri Paus hingga para uskup, para imam, para
pelayan umat, semua kaum awam dari berbagai status dan tugas-tugas sosial. Kekudusan atau
kesucian itu mungkin bagi semua karena Allah mengaruniakan jalan dan rahmat. Suami isteri
dapat saling menguduskan dengan hidup perkawinan dalam terang misteri Kristus yang bersatu
dengan Mempelai-Nya, yakni Gereja. Para selibater dapat menghidupi keperawanan integral
dan dalam cinta kasih yang universal. Semua kaum beriman yang tinggal dalam Tubuh Mistik
menuju kepada kesempurnaan.

VI. PARA BIARAWAN-BIARAWATI. Semua anggota Gereja dipanggil oleh Allah kepada
kekudusan (seperti dikatakan dalam Bab V), namun ini semua dapat diungkapkan dalam
berbagai cara dan berbagai jalan. Para religius (biarawan-biarawati) memilih jalan yang biasa
disebut nasihat-nasihat injili (kemiskinan, kemurnian dan ketaatan), yang wajib dipraktekkan
dengan kaul-kaul. “Nasihat-nasihat Injil: kemurnian yang diabdikan kepada Allah, kemiskian
dan ketaatan, yang berlandaskan Sabda dan teladan Tuhan, dan dianjurkan oleh para Rasul,
para Bapa dan Doktor Gereja serta para Gembala, adalah anugerah ilahi”. Akan tetapi status ini
“bukannya status-tengah antara klerus dan awam. Dari kedua belah pihak sejumlah orang
beriman dipanggil Allah, supaya menikmati anugerah khusus dalam hidup Gereja” (LG 43).
EKLESIOLOGI KATOLIK DARI KONSILI TRENTE SAMPAI KONSILI VATIKAN II 63

VII. CIRI ESKATOLOGIS GEREJA MUSAFIR DAN KESATUANNYA DENGAN GEREJA SURGAWI. Ada
dua hal yang diterangkan dalam bab ini: hubungan Gereja dengan Kerajaan Allah dan dengan
Gereja surgawi. Gereja musafir berbeda dari Kerajaan Allah dan dari Gereja surgawi, walaupun
yang satu tidak terpisah dari yang lain. Di satu pihak, Gereja itu adalah Kerajaan Allah yang
sedang berkembang dan kepenuhan Kerajaan Allah akan terealisasi di akhir zaman. Di lain
pihak, Gereja musafir dan Gereja surgawi itu berbeda, namun tidak terpisah sebagai dua
realitas. Gereja musafir dan Gereja surgawi merupakan dua tahap (fase), dua peristiwa dari
realitas yang sama. Persekutuan para kudus berdasarkan kesatuan hidup antara kedua Gereja
dalam Kristus (totalitas tubuh mistik Kristus). Gereja musafir (di dunia) melanjutkan hidup dan
penderitaan Kristus Penebus, Gereja surgawi jaya dengan Kristus yang mulia.

VIII. SANTA MARIA, PERAWAN DAN BUNDA ALLAH, DALAM MISTERI KRISTUS DAN GEREJA.
“Konsili…melukiskan baik tugas Perawan Suci dalam misteri Sabda yang menjadi daging dan
dalam misteri Tubuh Mistik, maupun tugas manusia yang tertebus terhadap Bunda Allah, Bunda
Kristus dan Bunda manusia, terutama umat beriman…” (LG 54).
Konsili melukiskan tempat dan fungsi Maria dalam ekonomi keselamatan bagi umat
Allah yang baru. Tempat pertama digarisbawahi kaitan atau hubungan Maria dengan inkarnasi
Sabda bagi keselamatan manusia. Lantas menegaskan konsekuensi hubungan Maria dengan
Gereja, di mana Maria merupakan figur mengagumkan, karena sebagaimana Maria
bekerjasama dengan kemahakuasaan yang Ilahi dengan mengandung dan melahirkan Kristus,
demikian pula Gereja bekerjasama dengan Kristus dalam “melahirkan” kaum beriman yang
membangun Tubuh MistikNya. Tentu saja karya penebusan seluruhnya dikerjakan dalam
Kristus, satu-satunya Pengantara antara Allah dan manusia; namun Perawan Maria yang telah
meberikan Kristus kepada dunia dan membagikan hidup, tidak bisa ditinggalkan. Maria benar-
benar telah bekerjasama (kooperator) dengan Puteranya demi keselamatan kita.
Maria juga merupakan model Gereja karena telah merealisasikan kesempurnaan, yang
merupakan tujuan semua orang beriman. Pada akhirnya, Konsili menegaskan legitimitas
(kesahan) dan utilitas (perlunya) devosi atau kultus kepada Maria, yang tentu tidak sama
dengan dengan pemuliaan kita kepada Allah.

c. Gérard Philips, salah seorang pelopor Konstitusi dogmatik “Lumen Gentium”,


mengikhtisarkan atau merangkum ciri-ciri khas eklesiologi Konsili Vatikan II dalam
tujuh point:

1. “Communio” (persekutuan atau komunitas).


2. Terbuka terhadap yang lain (universalitas, kekatolikan).
3. Kembali kepada sumber-sumber biblis dan patristis.
4. “Personalisme”, baik dalam memahami Gereja (tidak lagi seakan-akan suatu “barang”),
maupun dalam memperhatikan semua anggota Gereja, termasuk yang hina dina.
5. Sikap dinamis: Gereja itu tidak mungkin menjadi Gereja yang statis (mandeg).
6. Dimensi historis: misteri Gereja dilihat dalam dimensi historisnya. Allah yang hidup ikut
campur tangan dalam sejarah hidup umat manusia.
7. Sintesis yang dipusatkan pada misteri keselamatan yang dilaksanakan oleh Kristus dan
yang ditujukan oleh Allah kepada semua orang percaya.
EKLESIOLOGI KATOLIK DARI KONSILI TRENTE SAMPAI KONSILI VATIKAN II 64

d. Akhirnya, perlu kita camkan bahwa eklesiologi Konsili Vatikan II sama sekali tidak
hanya tercantum dalam Konstitusi dogmatik “Lumen Gentium”. Banyak aspek
penting misteri Gereja dibahas dan diselami dalam dokumen-dokumen lain, khususnya
dalam Dekrit tentang kegiatan misioner Gereja (Ad Gentes), dalam Konstitusi pastoral
tentang Gereja di dalam dunia modern (Gaudium et Spes) dan dalam Dekrit tentang
ekumenisme (Unitatis Redintegratio). Dokumen-dokumen ini juga perlu kita perhatikan
dalam mempelajari bagian sistematis eklesiologi nanti.

1.2. Gereja sebagai “tubuh mistik Kristus”

Konstitusi dogmatik Lumen Gentium no. 7 membicarakan Gereja sebagai “Tubuh Mistik
Kristus”. Teks ini dapat dikatakan sebagai perkembangan dari Surat ensiklik “Mystici Corporis”
(1943) yang memiliki beberapa hal yang sejajar tetapi juga berbeda.
Surat ensiklik “Mystici Corporis” mengatakan bahwa yang sungguh-sungguh menjadi
anggota Tubuh Mistik Kristus hanyalah mereka yang telah menerima Baptis, mengakui iman
yang benar, tidak memisahkan diri dari heresis (ikut Gereja Reformasi) atau skisma (ikut Gereja
Timur) atau karena dikucilkan (apostasi). Ensiklik menyebut orang Kristen “non-Katolik” sebagai
yang “mempunyai hubungan dengan Tubuh Mistik Kristus sejauh secara tidak sadar
merindukannya”. “Mystici Corporis” juga menyamakan Gereja Katolik Roma dengan Tubuh
Mistik Kristus (no. 68). Istilah “Katolik Roma” hendak menekankan kekhasan Gereja ini
dibandingkan dengan Gereja-gereja lain, sejauh menerima prinsip hierarkis, seperti dirumuskan
Konsili Vatikan I mengenai Primat dan kuasa mengajar Paus. Lantas Kontitusi Lumen Gentium,
no. 8 merumuskan dengan cara lebih elegan dan simpatik: “Gereja Kristus dalam dunia
dibentuk dan ditata sebagai perhimpunan. Gereja ini berada dalam Gereja Katolik, yang
dipimpin oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya, walaupun di
luar persekutuan itu pun terdapat banyak unsur pengudusan dan kebenaran”. (LG 8).
Dalam artikel no. 7, hendak dipaparkan gambaran Gereja “Tubuh Kristus” dengan
merujuk baik kepada bahasa yang dipakai Rasul Paulus dalam Surat kepada jemaat Korintus (1
Kor 12: 13; 10, 17; 12: 27; 2 Kor 5: 7), Surat kepada jemaat Roma (Rm 6: 4-5; 8: 17), Surat
kepada jemaat di Kolose (Kol 1: 18-24) dan Surat kepada jemaat di Efesus (Ef 1: 18-23; 3: 19);
maupun kepada pemikiran para Bapa Gereja dan para teolog, yang membahas Tubuh Kristus
dalam Ekaristi maupun Gereja.
Fakta bahwa Konstitusi Lumen Gentium memulai bab pertama dengan judul “De
Ecclesiae Mysterio” (“Misteri Gereja”) dan dalam konteks ini menyatakan Gereja sebagai Tubuh
Mistik, menunjukkan suatu kehendak untuk menggambarkan eklesiologi dalam dimensi
teologis-ekaristis, di mana juga aspek institusional mengatasi konsep melulu yuridis, untuk
memberi tempat pada karya Roh yang didengarkan, Roh yang memberi hidup kepada kharisma
dan ministerium (pelayanan) dan Roh yang memberi hal-hal yang berguna demi pembangunan
dan karya Gereja dalam sejarah umat manusia.

Gereja sebagai umat Allah yang berziarah


Bab II dalam Lumen Gentium berjudul “De populo Dei” (“Umat Allah”). Judul ini
dipilih untuk mengintegrasikan ide Gereja sebagai Tubuh Mistik yang merupakan pembahasan
dalam Bab I.
EKLESIOLOGI KATOLIK DARI KONSILI TRENTE SAMPAI KONSILI VATIKAN II 65

Konsili Vatikan II menghendaki suatu pertumbuhan dalam eklesiologi, yang harus secara
jelas menyadari tidak hanya perlunya mengerti konsep Tubuh Mistik, tetapi juga menghindari
interpretasi metaforik, yang kiranya cenderung melihat Gereja hanya sebagai suatu realitas dalam
waktu dan terdiri dari manusia. Rumusan “Umat Allah” berguna untuk menggarisbawahi aspek-
aspek esensial Gereja dan untuk mengadakan penilaian bersama terhadap adanya Gereja.
Salah satu aspek esensial yang harus dimengerti secara jelas, tanpa melepaskan atau
meninggalkan inisiatif ilahi – adalah fakta yang secara teologis digarisbawahi bahwa Gereja
tidak akan ada tanpa manusia-manusia,1 Gereja sebagai “sarana” penting bagi keselamatan
manusia. Ide “umat Allah yang berziarah” menjamin penilaian yang benar terhadap dimensi
esensial ini, dengan memberi perhatian yang sesuai dan bernilai kepada dua aspek Gereja: yang
kelihatan (visibilis) dan yang tidak kelihatan (invisibilis). Penegasan Konsili adalah juga bersifat
biblis dan dihadirkan dengan kategori-kategori Kitab Suci. Konsili membicarakan umat spiritual
(rohani) dari Perjanjian Baru yang menyempurnakan Israel lama menurut daging dan yang
merupakan pewarta keselamatan bagi semua bangsa. (Bdk. LG 9).
Di sini Konsili, seperti telah dikatakan Henri De Lubac, dengan membawa teologi Gereja
menuju eklesiologi ekaristik dan dengan melihat lebih efektif aspek kelihatan Gereja tanpa
membuang ide “Tubuh Kristus”, mampu menggunakan gambaran Umat Allah untuk
menjembatani aspek teologis dengan kategori sosiologis yuridis, tanpa mengabaikan aspek
teologis yang benar.
Konsili menyatakan Gereja sebagai umat Allah yang berziarah atau Gereja musafir mau
menunjukkan “universalitas” sebagai karakter atau ciri Gereja, yang juga merupakan umat Allah.
Sesuatu yang tidak berasal “dari luar”, melainkan sesuatu “dari dalam”, intrinsik, artinya secara
ontologis berkaitan dengan identitas umat Allah yang merupakan “pemberian Tuhan”, karena
“Gereja yang katolik secara tepat guna dan tiada hentinya berusaha merangkum segenap umat
manusia beserta segala harta kekayaannya di bawah Kristus Kepala, dalam kesatuan Roh-Nya”.
(LG 13).
Kita coba membuat sintesis unsur-unsur yang relevan dari konsep Gereja sebagai Umat
Allah.
a. Karakter historis Gereja, tanpa menanggalkan hubungan communio dengan mereka yang
telah mengakhiri fase “viatoria” (perjalanan, peziarahan), artinya mereka yang telah berada
dalam sukacita Allah.
b. Kesatuan internal umat Allah tak berarti sebagai suatu faktor sosiologis atau yuridis, tetapi
sebagai karunia Roh2 yang dimohon dan diterima oleh semua kaum beriman dalam Kristus
karena dikehendaki olehNya, sebagai conditio sine qua non “agar dunia percaya” (Yoh 17:
21). Dalam konteks ini kita dapat melihat kharisma Petrus dan pelayanan kepetrusan dalam
aspek tanggungjawab komunal yang oleh Konsili digarisbawahi dalam doktrin kolegialitas
para Uskup cum et sub petro (dengan atau bersama dan di bawah Petrus).
c. Sifat kesementaraan dan kerapuhan Gereja yang senantiasa memerlukan pembaharuan.
Karena meskipun Gereja dihimpun oleh Roh Kudus tetapi dibangun atau terdiri dari
manusia-manusia yang meskipun telah menjawab panggilan untuk menjadi “himpunan”
dalam nama Kristus sebagai umat Allah secara sukarela, tetapi mereka juga membawa sifat-
1
R. Latourelle, Cristo e la Chiesa segni di salvezza, Assisi 1971, hlm. 185.
2
Dekrit Unitatis redintegratio tentang ekumenisme, no. 2: “Melalui Roh itulah Ia memanggil dan menghimpun
umat Perjanjian Baru, yakni Gereja, dalam kesatuan iman, harapan dan cinta kasih, menurut ajaran Rasul:..”.
EKLESIOLOGI KATOLIK DARI KONSILI TRENTE SAMPAI KONSILI VATIKAN II 66

sifat kemanusiaan yang rapuh. Kemanusiaan ini berkat bantuan Roh Kudus dan Kristus
Kepalanya akan menuju kesempurnaan.
d. Dimensi ekumenis, artinya umat Allah meliputi Gereja-gereja lain, dengan demikian
“melampaui batas-batas Gereja Katolik”.

1.4. Gereja sebagai “mempelai Kristus”


Gambaran mempelai berguna untuk menampakkan inisiatif ilahi, yang secara dinamis
hadir dan berkarya dalam sejarah untuk mempersatukan “umat yang telah dipanggil”. Gereja,
sebagaimana telah kita lihat adalah umat Allah dan Tubuh Mistik Kristus; dengan demikian
hendak ditekankan karakter misteri dan umat yang dipanggil atau dihimpun. Ini untuk
mengingatkan dimensi teandrik Gereja di dunia, di mana insiatif Allah dan penerimaan manusia
memampukan secara historis kehendak penyelamatan Kristus sebagai rencana Bapa untuk
menyelamatkan semua manusia.
Konsili menghadirkan paradoks Gereja yang karena dimensinya yang ganda, yaitu dalam
waktu yang sama Gereja itu “kudus dan pendosa” dan lantas secara terus menerus
memerlukan “pertobatan”; tetapi bukan dalam keputusasaan, melainkan dalam pengharapan,
karena Kristus adalah “Mempelai-Penyelamat”.
Perlu ditekankan juga ide suatu Gereja yang memilih berada dalam kesadaran diri sebagai
yang “miskin” dan yang dengan keterbatasan manusiawinya, memperkenalkan diri kepada dunia
dalam suatu sikap peziarah, tetapi yang membawa sarana-sarana tepat guna, yaitu yang
diperlukan umat manusia: mengenal dan menerima Kristus.
Jiwa misioner Gereja juga harus dibaca dalam dimensi “mempelai” ini. Inisiatif atau
prakarsa ilahi dan penerimaan oleh umat beriman ini membangun dalam keutamaan Roh, Gereja,
yang di dunia sebagai mempelai Kristus tetapi juga Bunda, yang harus menampakkan suatu
“keprihatinan Bunda Gereja terhadap semua orang”.3 Dari sini mengalirlah tugas bukan hanya
karya evangelisasi, tetapi juga untuk membela dan mendukung pribadi manusia, sebagai misi
yang harus dilaksanakan.
Dalam gambaran “mempelai” juga hendak dicari kembali suatu kemungkinan konkret
untuk melihat kembali kesalahan-kesalahan dan perpecahan antara umat Kristen.

1.5. Gereja sebagai komunio (persekutuan/paguyuban)


Salah satu karakter penting dari eklesiologi Konsili Vatikan II adalah dimensi koinonia,
baik secara vertikal maupun horisontal. Sejak bab I Lumen Gentium, ketika membahas Gereja
sebagai sakramen dalam Kristus, para Bapa Konsili mempersembahkan betapa kuatnya
“communio” di mana Gereja mewartakan bahwa hubungan antara Kristus dengan Gereja begitu
erat dan mesra. Demikian dikatakan dalam Lumen Gentium: “Gereja itu dalam Kristus bagaikan
sakramen, yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat
manusia” (LG 1).
Pada tahun 1985, Paus Yohanes Paulus II menyelenggarkan Sinode Uskup Luar biasa,
untuk melihat sejauh manakah ajaran dan semangat Konsili Vatikan II selama dua puluh tahun
(1965-1985) telah menghasilkan buah sebagai proses “aggiornamento” (“up-dating”) Gereja.
Dalam Sinode ini terlihat adanya perhatian istimewa terhadap pengertian tentang Gereja sebagai
“communio”, yakni sebagai persekutuan umat beriman yang percaya kepada Yesus
3
Konsili Vatikan II, Dekrit Christus Dominus tentang tugas pastoral para Uskup dalam Gereja, no. 13a.
EKLESIOLOGI KATOLIK DARI KONSILI TRENTE SAMPAI KONSILI VATIKAN II 67

Kristus sebagai Penyelamat. Dalam dokumen-dokumen Konsili Vatikan II, Gereja juga
digambarkan sebagai Tubuh Kristus, atau sebagai kediaman Roh Kudus, atau sebagai Umat
Allah. Dan semua gambaran itu masing-masing menunjukkan salah satu ciri khusus Gereja,
tetapi harus disadari belum utuh atau lengkap. Salah satu gambaran atau model Gereja sebagai
“communio” atau persekutuan, sudah terdapat juga dalam Konsili Vatikan II, namun pengertian
Gereja sebagai “communio” tersebut belum merupakan pusat perhatian umat, termasuk para ahli
teologi.
Sebagai “communio” atau persekutuan, paguyuban, Gereja mengandung dua unsur
penting, yakni kesatuan dan keanekaan. Di satu pihak, Gereja terdiri arong-orang yang
dibaptis, yang bebas dan berdiri sendiri dan ingin mengembangkan diri serta dihargai. di lain
pihak, mereka sebagai Gereja membentuk suatu kesatuan yang harmonis, bukan bersifat
individualistis dan bukan pula kolektivisme. Dengan demikian dalam gereja ada unsur-unsur
yangharus berada secara sintetis-harmonis: ada persekutuan dan lembaga, otoritas dan
kebebasan, kasih dan hukum, kebebasan dan pengaturan yuridis, struktur jabatan dan kharisma-
kharisma umat beriman. Dan yang satu tidak boleh lepas atau terpisah dengan yang lain.
Telah dikatakan bahwa Gereja (Ecclesia) adalah suatu persekutuan (communio)
orang-orang beriman yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Penyelamat. Atas dasar
kepercayaan ini, orang dibaptis dan berkat baptis itulah ia diberi kesempatan oleh Tuhan dalam
Gereja, baik secara perorangan maupun bersama orang-orang lain, untuk diselamatkan.
Menjadi anggota Gereja membawa serta kesadaran akan kebersamaan dalam ikut
bertanggung jawab atas keadaan dan perkembangan Gereja. Gereja tidak boleh dilihat hanya
sebagai lembaga, institut, organisasi sosial, di mana setiap anggotanya sudah dengan sendirinya
terjamin keselamatannya. Gereja harus dilihat sebagai suatu persekutaun umat Allah,
ibaratnya sebagai suatu lembaga yang organik, artinya hidup, bergerak, karena anggota-
anggotanya mengambil dan melaksanakan bagian dalam memenuhi kebutuhan Gereja. Karena
itu, Gereja dapat disebut sebagai persekutuan terpadu, bagaikan suatu tubuh yang hidup
dan berfungsi. Apa sebenarnya yang terpadu dalam Gereja yang satu itu? Dalam Gereja ada
bermacam-macam panggilan, ada berbagai kondisi kehidupan, ada berbagai bentuk pelayanan,
ada bermacam-macam kharisma dan tanggung jawab yang semuanya dapat saling melengkapi.
Di dalam Gereja sebagai satu tubuh ada kebhinekaan dan komplementaritas, sehingga setiap
anggota Gereja (awam, biarawan-biarawati, klerus) tanpa kecuali, berkat kebhinekaan dan
komplementaritas itu dapat memberikan sumbangannya masing-masing.4

4
Bdk. Christifideles laici, no. 20.

Anda mungkin juga menyukai