Anda di halaman 1dari 15

Bab IX

Oikoumene
Tujuan Instruksional Umum:
Jemaat dapat mengenal keberanekaragaman (denominasi) gereja, sebab-
sebab timbulnya berbagai aliran, dan ikut melaksanakan tugas untuk
mewujudkan gereja yang esa dengan terlibat dalam gerakan oikoumene.

Tujuan Instruksional Khusus:


Jemaat dapat menjelaskan latar-belakang pokok-pokok bahasan: sejarah
sekilas munculnya denominasi, gerakan oikoumene, misi oikoumene,
peranan PGI, ciri-ciri oikoumene, tantangan dan perjuangan.

1. Pendahuluan

Masyarakat Kristen yang tersebar di berbagai tempat dan negara


adalah masyarakat yang hidup berdasarkan azas-azas iman Kristen
baik menurut Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Dan ciri hakiki
masyarakat Kristen adalah iman kepada Allah di dalam Yesus Kristus
selaku Tuhan dan Juru-selamat manusia. Masyarakat kristiani
tersebut dikumpulkan dan dipersekutukan Allah di dalam persekutuan
jemaat (gereja). Menurut firman Allah, jemaat adalah Tubuh Kristus.
Efesus 1:23 berkata: "Jemaat yang adalah tubuhNya, yaitu kepenuhan
Dia yang memenuhi semua dan segala sesuatu". Sebab itu yapg
menjadi Kepala Jemaat adalah Tuhan Yesus Kristus (Efesus 1:22;
4:15). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemimpin (kepala)
masyarakat Kristen di segala tempat dan abad adalah Yesus Kristus,
dan para anggota masyarakat itu berfungsi sebagai anggota tubuh
Kristus, yaitu anggota jemaa sebab mereka menempatkan iman
kepada Allah di dalam Yesus Kristus saja.

Seharusnya umat Kristen mewujudkan satu-kesatuan dalam


persekutuan gereja yang esa. Namun harapan itu diperhadapkan
dengan rintangan-rintangan yang tidak kecil. Faktor-faktor manusiawi,
latarbelakang sejarah, budaya dan adat-istiadat ikut mempengaruhi
keutuhan persekutuan gereja yang esa itu. Sehingga gereja Yesus
Kristus yang esa itu terpecah-belah dalam berbagai denominasi
(berbagai aliran dan ajaran gereja), bahkan beberapa di antaranya
menjadi berbagai sekte atau bidat (ajaran yang sesat).

Di tengah-tengah perpecahan dan pluralisme gereja itu, kita


terpanggil oleh Yesus Kristus untuk mewujudkan gereja yang esa.
Muncullah gerakan oikoumene di seluruh muka bumi termasuk
Indonesia yaitu melalui wadah PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di
Indonesia)

2. Sejarah Sekilas Munculnya Denominasi

Denominasi gereja yaitu aliran-aliran dan ajaran gereja yang


beranekaragam terjadi disebabkan oleh keretakan-keretakan yang
muncul dalam sejarah kehidupan gereja. Sebenarnya terdapat 4
keretakan besar dalam sejarah gereja. Keretakan-keretakan itu
adalah sebagai berikut:

(1). Keretakan sesudah konsili Chalcedon (451): Nestorius


mengajarkan hubungan kemanusiaan dan keilahian Kristus tidak
begitu erat; seperti minyak dengan air, zat-zat itu tidak bercampur
tapi masing-masing mempertahankan sifatnya sendiri. Sedang
Cyrillus mengajarkan hubungan kemanusiaan dan keilahian
Kristus itu seperti air dengan susu: sifat-sifat air itu tidak nampak
lagi ketika dicampur dengan susu. Ajaran Cyrillus ini disebut
dengan ajaran monofisit. Keputusan konsili Chalcedon: Tabiat
Kristus adalah "tak terbagi, tak terpisah" (melawan Nestorius),
tetapi juga "tak bercampur, tak berubah" (melawan kaum
monofisit). Akibatnya para pengikut Nestorius dan Cyrillus
memisahkan diri dari gereja resmi dan membentuk gereja baru.
Kaum Nestorian melarikan diri ke Persia dan mendirikan gereja
Nestorian. Dan penganut Cyrillus (kaum monofisit) mendirikan
gereja Koptis di Mesir dan Syria.
(2). Skisma antara tahun 1054-1204: Gereja Katolik pecah menjadi
dua yaitu Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Katolik Roma. Kepala
Gereja Ortodoks Timur adalah Patriarkh Konstantinopel yang
masih tetap memelihara suasana Gereja Purba dalam hal Tata
Gereja. Sedang Gereja Katolik Roma dipimpin oleh seorang Paus
dan para Uskup.
(3). Reformasi sesudah tahun 1517: reformasi yang dicetuskan oleh
Martin Luther dan dikembangkan lebih lanjut oleh Calvin dan
Zwingli. Melalui reformasi ini gereja Protestan lahir yang
memisahkan diri dari Gereja Katolik Roma.
(4). Keretakan lebih lanjut: gereja-gereja reformasi (Protestan) belum
matang dalam menggalang kebersatuan gereja, sehingga pada
periode berikutnya mengalami perpecahan-perpecahan dalam
berbagai denominasi. Denominasi-denominasi yang masih seazas
dapat disebut: gereja Lutheran, Calvinis, Metodis, Anglikan,
Baptis.

Sikap gereja pada jaman konsili Chalcedon dan abad pertengahan


dalam menghadapi perpecahan atau keretakan gereja sering
mengabaikan sikap Injil sendiri. Bila jiwa Injil menolak cara-cara
duniawi, maka gereja-gereja pada jaman itu menerapkan cara-cara
duniawi. Sebagai contoh:
a. Kaisar-kaisar Romawi Timur memakai tentara-tentaranya untuk
menangkap dan membunuh orang-orang yang menolak keputusan-
keputusan konsili Chalcedon (tahun 451).
b. Para Paus abad pertengahan melakukan penindasan kepada setiap
kelompok Kristen yang tidak mau tunduk kepada mereka.

Ternyata cara-cara duniawi itu tidak dapat menyelesaikan


perpecahan di dalam gereja, sebaliknya keretakan gereja makin
bertambah parah. Perhatikan ungkapan pengikut seorang Nestorian:
"Hati orang-orang Kristen gembira karena pemerintahan orang Arab,
semoga Allah memperkokohnya dan memberkatinya". Ungkapan
pengikut seorang monofisit dari Syria: "Allah yang satu-satunya Maha
Kuasa itu membalas dendam dengan membangkitkan anakanak
Ismael dari Selatan untuk menyelamatkan kami dari tangan orang-
orang Romawi (= Orthodoks Timur).
Calvin mengusulkan cara agar gereja-gereja yang terpecah belah
itu dalam berbagai denominasi dapat pulih kembali menjadi gereja
yang esa. Menurut Calvin keesaan atau kesatuan gereja akan terjadi
bila semua gereja mau takluk kepada kuasa Alkitab; dan
masingmasing bersedia untuk menilai seluruh ajarannya berdasarkan
berita Alkitab. Jalan keluar yang disodorkan Calvin masih menghadapi
kesulitan, karena masing-masing gereja telah memiliki tafsirannya
sendiri mengenai Alkitab. Namun bagaimanapun jalan keluar melalui
tafsiran Alkitab yang dapat dipertanggungjawabkan adalah cara yang
paling bijaksana. Apalagi penafsiran Alkitab itu dilakukan dengan
mempergunakan metode yang dapat diterima oleh semua gereja. Saat
ini metode penafsiran Alkitab yang kontekstual diperjuangkan untuk
menafsirkan Alkitab secara tepat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Usaha mempersatukan denominasi-denominasi gereja menjadi


gereja yang esa, sebenarnya terbentur bukan pada segi "Alkitabiah-
nya". Usaha kesatuan gereja itu lebih banyak terbentur oleh watak
dan sifat subyektif manusia yang lebih mengutamakan kepentingan
kelompok dan alirannya sendiri.

Selain itu ada 3 masalah pokok yang bersifat teologis yang


menjadi halangan kesatuan gereja, yaitu:

1. Masalah baptisan, terutama mengenai "baptisan anak", yaitu:


"bolehkah anak-anak dibaptis?" Masalah ini yang membedakan
gereja Baptis dengan banyak aliran gereja yang lain.
2. Masalah jabatan gereja, yaitu apakah benar kita menganut sistem
"suksesi rasuli" (pewarisan jabatan). Jadi persoalannya adalah,
mutlakkah gereja mempunyai USKUP. Masalah ini membedakan
Galegereja Anglikan, Orthodoks Timur dan Katolik Roma dengan
gereja-gereja Reformasi. Sebab gereja-gereja Reformasi pada
umumnya tidak mengenal sistem suksesi rasuli.
3. Masalah sakramen Perjamuan Kudus: "hadirkah tubuh dan darah
Kristus dalam sakramen Perjamuan Kudus?" Sebab menurut gereja
Katolik Roma dan Orthodoks Timur dalam sakramen Perjamuan
Kudus terjadi transsubstansiasi. Maksudnya, dalam korban Misa,
zat (substansi) roti dan anggur mengalami perubahan menjadi
tubuh dan darah Tuhan Yesus Kristus. Sedangkan meDEnurut
gereja-gereja Reformasi, hakikat roti dan anggur dalam Perjamuan
Kudus hanya sebagai lambang (simbol) tubuh dan darah Kristus
yang telah dikorbankan satu kali pada kayu salib.

3. Gerakan Oikoumene

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa gerakan oikoumene


merupakan usaha-usaha untuk mempersatukan kembali gereja-gereja
dan seluruh denominasinya untuk menjadi Gereja Yesus Kristus yang
esa.

Usaha-usaha oikoumenis sebenarnya berpangkal pada gerakan


revival dan pietisme pada abad ke-18 dan berhubungan erat dengan
usaha pekabaran Injil abad ke-19. Mereka digerakkan oleh semangat
revival (kebangunan rohani) yang berkobar-kobar (berapi-api) untuk
menyampaikan kabar Injil Kristus ke mana-mana. Namun sayang,
gereja-gereja resmi mereka masing-masing bersikap dingin (acuh tak
acuh). Oleh karena itu kira-kira tahun 1800 mereka mendirikan
lembaga-lembaga PI yang di dalamnya terhimpun orang-orang dari
berbagai denominasi gereja. Beberapa orang yang bersemangat
oikoumenis merasa bahwa usaha-usaha tak langsung ini masih belum
cukup. Oleh karena itu mereka mendirikan perserikatan-perserikatan
yang secara khusus bermaksud memajukan persaudaraan Kristen.
Misalnya mereka mendirikan Young Men's Christian Association
(Perserikatan Pemuda-Pemuda Kristen), dan Young Women's Christian
Association (Perserikatan Wanita-Wanita Kristen), yang didirikan pada
tahun 1844/1854. Salah seorang tokohnya yang terkenal adalah JOHN
MOTT (1865-1955). Tetapi gereja-gereja resmi masih belum juga
mendukung usaha-usaha oikoumenis ini.

Puncak segala usaha oikoumenis baru terjadi pada abad ke 20,


yaitu melalui Konperensi Pekabaran Injil se-Dunia di Edinburgh pada
tahun 1910. Konperensi PI ini begitu penting, sebab melalui
konperensi PI ini menjadi titik-tolak untuk mewujudkan gerakan
oikoumenis pada jaman kita. Kemudian setelah konperensi di
Edinburgh, gereja-gereja mulai terlibat dalam usaha-usaha
oikoumenis. Sehingga pada tahun 1948 disepakati untuk mendirikan
WORLD COUNCIL OF CHURCHES (Dewan Gereja-Gereja se-Dunia),
yang berpusat di Jenewa.
4. Misi Oikoumene

Pengertian "oikoumene" berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari


kata oikos (yang artinya: rumah atau tempat tinggal) dan menein
(yang artinya: tinggal atau berdiam). Semula kata "oikoumene"
bersifat politis. Misalnya di Lukas 2:1, kata oikoumene menunjuk pada
seluruh wilayah kekuasaan kekaisaran Romawi. Sedangkan di Ibrani
2:5, kata oikoumene mempunyai arti teologis, yaitu seluruh dunia yang
akan ditaklukkan di bawah pemerintahan Yesus Kristus. Dan pada
jaman gereja diresmikan menjadi gereja-negara (corpus christianum)
dalam kerajaan Romawi, oikoumene dalam arti politis dan teologis
dipersatukan. Sehingga pada jaman itu oikoumene berarti: seluruh
wilayah kekaisaran (imperium) sebagai wilayah Kristen, dan kaisar
sebagai pemimpin tertinggi, baik sebagai penguasa politis maupun
sebagai pelindung gereja.

Misi oikoumene bukan sebagaimana yang dihayati oleh "corpus


christianum". Misi oikoumene tidak mempunyai tujuan politis agar
seluruh wilayah Kristen dipimpin oleh seorang penguasa. Misi
oikoumene beralaskan pada doa Yesus Kristus sendiri. Di Yohanes
17:21, Yesus berdoa: "SUPAYA MEREKA SEMUA MENJADI SATU,
SAMA SEPERTI ENGKAU YA BAPA DI DALAM AKU DAN AKU DI DALAM
ENGKAU, AGAR MEREKA JUGA DI DALAM KITA, SUPAYA DUNIA
PERCAYA BAHWA ENGKAULAH YANG TELAH MENGUTUS AKU". Jadi
misi oikoumene yang utama adalah keesaan gereja di dalam Yesus
Kristus di seluruh muka bumi.

Untuk merealisasikan tugas keesaan gereja tersebut, misi


gerakan oikoumene berkaitan erat dengan:

A. Gerakan oikoumene yang terlembaga dalam DGD (Dewan Gereja-


Gereja se-Dunia) berkaitan erat dengan tugas panggilan gereja
dalam 3 bidang pelayanan (trilogi gereja), yaitu:
1. Persekutuan (koinonia)
2. Kesaksian (marturia)
3. Pelayanan (diakonia)
Jadi keesaan gereja harus diwujudkan dalam kesatuan misi,
yaitu keesaan dalam iman dan ajaran sebagai dasar keesaan
persekutuan, keesaan dalam kesaksian, dan keesaan dalam
tindakan serta perbuatan pelayanan bagi dunia. Misalnya untuk
bidang keesaan dalam apostolat (marturia) oleh IMC (International
Missionary Council Dewan Pekabaran Injil Internasional). Bidang
keesaan melalui diakonat (pelayanan) oleh wadah Life and Work
(Hidup dan Pelayanan). Bidang keesaan dalam iman dan tatagereja
oleh wadah Faith and Order.

B. Keesaan gereja bukan suatu konsolidasi kekuatan gereja untuk


mempertahankan hak hidupnya dalam menghadapi tantangan-
tantangan dunia. Sehingga keesaan gereja bukan untuk menjadi
wadah yang memuat pengumpulan kekuatan untuk menyaingi
lembaga-lembaga keagamaan atau politik. Melainkan keesaan
gereja harus diwujudkan agar gereja secara bersama-sama dalam
iman kepada Yesus Kristus ikut terlibat dalam karya penyelamatan
Allah di dunia.

Sebab itu lambang gerakan oikoumene terdiri dari: sebuah


lingkaran dengan kapal bertiang salib yang sedang mengarungi
lautan bergejolak. Artinya, kapal bertiang salib adalah perjalanan
hidup gereja Tuhan. Sedang kapal itu menyatu dengan laut di
bawahnya menunjukkan gereja Tuhan adalah gereja yang
berhubungan dengan dunia. Laut menggambarkan sejarah hidup,
dan gelombangnya melukiskan keadaan sejarah yang terus-
menerus bergejolak. Sehingga secara keseluruhan, lambang
oikoumene tersebut menyatakan bahwa Gereja Yesus Kristus
adalah gereja yang berlayar di dalam sejarah hidup manusia yang
penuh gejolak, Namun yang mengemudikan hidup gereja adalah
Kristus sendiri, bukan keadaan ombak (gejolak dunia). Ini berarti
gereja-gereja Tuhan dalam tugas keesaannya terpanggil untuk
dipimpin oleh Kristus untuk menjawab permasalahan dan
tantangan-tantangan dari dunia. Untuk lebih jelasnya, perhatikan
lambang gerakan oikoumene ini:

Agar dapat mewujudkan misi oikoumene dari Dewan Gereja-


Gereja se-Dunia, yaitu tugas gereja di dunia ini, maka perlu
dibentuk lembaga-lembaga keesaan yang sifatnya nasional.
Sehingga keesaan gereja juga dapat terwujud dalam tiap-tiap
negara. Di Indonesia, kita mengenal lembaga PGI (Persekutuan
Gereja-Gereja di Indonesia), dahulu bernama DGI (Dewan Gereja-
Gereja Indonesia).

5. Peranan PGI

Gerakan oikoumene di Indonesia terwujud secara resmi pada


tanggal 25 Mei 1950. Pada saat itu beberapa gereja di Indonesia
secara sadar dan sengaja bersama-sama memutuskan untuk
membentuk DEWAN GEREJA GEREJA INDONESIA. Tujuan utamanya
adalah pembentukan gereja yang esa di Indonesia.

Pada waktu pembentukan wadah DGI, gereja-gereja yang


bersepakat menjadi anggotanya menyatakan suatu "manifest
pembentukan DGI". Bunyi manifest pembentukan DGI adalah sebagai
berikut:

"Kami, anggota-anggota konperensi pembentukan Dewan Gereja-


Gereja di Indonesia, mengumumkan dengan ini bahwa: sekarang,
25 bari bulan Mei 1950, Dewan Gereja-Gereja di Indonesia telah
diperdirikan sebagai tempat permusyawaratan dan usaha
bersama Gereja-gereja di Indonesia, seperti termaktub di dalam
Anggaran Dasar Dewan Gereja-Gereja di Indonesia, yang sudah
ditetapkan oleh Sidang pada tanggal 25 Mei 1950'.

Kemudian pada tahun 1984 dalam Sidang Raya X di Ambon,


nama DGI (Dewan Gereja-Gereja di Indonesia) diubah menjadi PGI
(Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia). Alasan perubahan nama itu
adalah, perkataan persekutuan lebih bersifat gerejawi dibandingkan
dengan perkataan dewan. Perkataan dewan lebih mengesankan
kepelbagaian dalam kebersamaan antara gereja-gereja anggota.
Sedangkan perkataan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia lebih
menunjukkan keterikatan lahir-batin antara gereja-gereja anggota
dalam proses keesaan gereja di bumi Indonesia.

Saat ini keanggotaan PGI berjumlah sekitar 61 sinode gereja dari


seluruh gereja-gereja di Indonesia. Maksud pengertian sinode gereja
di sini adalah dewan pimpinan gereja-gereja daerah yang terdiri dari
klasis-klasis dan jemaat-jemaat anggotanya. Misalnya terdapat Sinode
HKBP Pearaja, BNKP Nias, GBKP Kabanjahe, GMI Medan, GKE
Banjarmasin, GMIST Tahuna, GKI Irja, GMIT Kupang, GKI Jatim, GKI
Jateng, GKI Jabar, GPPS Surabaya, GKT Malang, GKJ Salatiga, GKA
Jakarta, GKSBS Lampung, dan sebagainya.

Jadi pengertian 61 sinode gereja di sini bukan berarti 61 gereja,


tapi 61 denominasi gereja-gereja yang tersebar dari Sabang sampai
Merauke. Ini berarti masyarakat kristiani yang beraneka-ragam dalam
kepelbagaian denominasi yang dahulu hidup terpisah-pisah, sekarang
melalui wadah PGI disatukan dalam persekutuan gereja yang esa di
Indonesia. Sehingga dapat dikatakan wadah PGI adalah perwujudan
doa Yesus Kristus di Yohanes 17:21, yaitu: "Supaya mereka semua
menjadi satu" (UT OMNES UNUM SINT). Walaupun demikian, bukan
berarti tugas PGI untuk mewujudkan keesaan gereja-gereja di
Indonesia ini telah selesai. Tugas keesaan gereja kita masih belum
selesai.

Tugas PGI yang masih harus diperjuangkan adalah:


memperbaharui dan membangun diri dalam keesaan, mengabarkan
Injil kepada segala mahluk, berpartisipasi dan melayani dalam
pembangunan nasional, pengembangan hubungan dan kerja sama
dengan pemerintah dan golongan-golongan lain, melaksanakan dan
mengembangkan hubungan oikoumene dengan Gereja dan Badan
Kristen baik di dalam maupun di luar negeri. Juga perlu membina
kerja sama dan hubungan dengan gereja Roma Katolik.

Untuk kerangka kerja mewujudkan keesaan gereja-gereja di


Indonesia, PGI membuat LIMA DOKUMEN KEESAAN. Lima Dokumen
Keesaan tersebut meliputi:

1. Pokok-Pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB).


2. Pernyataan Mengenai Pemahaman Bersama Iman Kristen di
Indonesia (PBIK).
3. Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima di Antara
GerejaGereja Anggota PGI (PSMSM).
4. Tata Dasar PGI. 5. Menuju Kemandirian Teologi, Daya dan Dana.

Agar tugas untuk mewujudkan keesaan dapat lebih merata dan


meluas dalam setiap kehidupan gereja bahkan sampai menyentuh
setiap anggota jemaat, PGI membuat PGIW. Maksud dari PGIW adalah
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Wilayah, sehingga di setiap
wilayah di Indonesia dapat ikut bersama-sama melaksanakan tugas
keesaan. Dan dalam lingkup yang lebih kecil dibentuk pula PGS, yaitu
Persekutuan Gereja-gereja Setempat. Kadang-kadang PGS ini disebut
BMGK (Badan Musyawarah Gereja-Gereja Kristen).

6. Ciri-Ciri Oikoumene

Tidak semua orang atau kelompok yang menyebut dirinya


"oikoumene" pasti tergolong oikoumene yang benar. Bahkan yang
sering terjadi kata "oikoumene" sering dimanipulasi untuk tujuan yang
kurang baik. Misalnya beberapa orang mendirikan persekutuan
dengan menarik banyak anggota gereja yang ada, dan persekutuan itu
mereka sebut "oikoumene". Alasannya adalah para anggotanya terdiri
dari berbagai macam gereja. Setelah itu mereka mendirikan suatu
"gereja', dan mereka merasa bahwa mereka telah mewujudkan
oikoumene sebagaimana yang telah didoakan Yesus Kristus. Jelas
tindakan ini kurang dapat dipertanggungjawabkan, justru
bertentangan dengan tujuan oikoumene yang sebenarnya. Tujuan
gerakan oikoumene tidak pernah merusak keutuhan dan identitas
gerejagereja yang ada.

Oleh karena itu kita perlu mencari dasar-dasar Alkitab yang


tepat tentang ciri-ciri oikoumene yang sebenarnya, sehingga kita
sekalian dapat mewujudkan keesaan gereja sebagaimana yang
sedang diperjuangkan oleh PGI. Ciri-ciri oikoumene yang benar adalah
sebagai berikut:

(1). Oikoumene bukan sekedar persekutuan kultus atau persekutuan


agamaniah belaka. Ini berarti persekutuan oikoumene bukan
identik dengan persekutuan gereja yang memiliki kesamaan
dalam struktur organisasi , kesamaan ritus liturgi dan kesatuan
dogma. Bila persekutuan oikoumene adalah persekutuan kultus,
berarti yang mempersatukan gereja adalah kesamaan cara dan
usaha manusia. Padahal yang mempersatukan kita sebagai gereja
adalah panggilan Kristus. Panggilan Kristus adalah agar kita
selaku gereja hidup sesuai (berpadanan) dengan kehendak
Kristus (Efesus 4:1). Jadi pusat persekutuan gereja adalah Yesus
Kristus, sebab Dialah yang memilih dan menetapkan kita.
Sebagaimana di Yohanes 15:16 Yesus Kristus berkata: "Bukan
kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan
Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan
menghasilkan buah dan buahmu itu tetap".

(2). Oikoumene tidak pernah merupakan persekutuan yang


individualistis. Sebab yang diselamatkan Allah di dalam Yesus
Kristus adalah seluruh dunia (Yohanes 3:16). Karena itu
oikoumene senantiasa hendak mewujudkan keselamatan Allah
secara universal. Di sini PGI bukan milik satu atau sekelompok
gereja, tapi milik gereja-gereja yang beriman kepada Yesus
Kristus. Sehingga gereja yang oikoumenis adalah gereja yang
bersifat inklusif (terbuka) untuk menjalin hubungan dan kerja
sama dengan gereja-gereja yang lain.
(3). Memiliki solidaritas yang tinggi dan nyata: gereja-gereja yang
oikoumenis memiliki keterikatan lahir dan batin dengan
gerejagereja Kristus di segala tempat. Karena itu masalah-
masalah yang terjadi dan sedang menimpa suatu gereja, gereja-
gereja lain wajib ikut membantu dan memberikan jalan
pemecahan. Misalnya gereja-gereja di Afrika mengalami
kesulitan, maka gereja-gereja di seluruh dunia termasuk
Indonesia wajib memberikan pertolongannya. Jadi gereja yang
tidak memiliki sikap solidaritas adalah bukan gereja yang
oikoumenis.

(4). Bersifat eskatologis, artinya: gereja-gereja yang bikoumenis perlu


mengarahkan hidup dan perjalanan gereja ke masa depan yaitu
kepada pemenuhan janji-janji Allah. Ini berarti mulai sekarang
gereja-gereja oikoumenis bekerja sama mewujudkan dalam
tindakan-tindakan nyata, agar harapan iman tersebut menjadi
suatu kenyataan. Jadi gereja-gereja oikoumenis tidak boleh
berpuas diri dengan keadaan atau kemapanan mereka dan juga
apa yang telah mereka miliki saat ini.

(5). Usaha-usaha oikoumenis lebih mengutamakan keberagaman,


bukan perpecahan. Sebab perpecahan melahirkan permusuhan,
sikap saling mencurigai, hidup terpisah, dan tidak memungkinkan
kerja sama. Sedangkan sifat keberagaman lebih mengutamakan
agar gereja-gereja dapat saling memperkaya kehidupan iman
masing-masing sesuai dengan keunikannya, saling menolong,
saling mengisi dan saling menyempurnakan. Melalui keberagaman
hidup yang bersumber dalam iman kepada Yesus Kristus, kita
dapat melihat bahwa kebenaran-kebenaran iman itu mempunyai
sisi-sisi dimensi yang sangat luas dan hidup. Sebab kebenaran
iman itu tidak merupakan kebenaran satu sisi saja. Kebenaran
iman yang hanya dilihat atau dipertahankan pada satu sisi saja,
hanya akan melahirkan sikap pandangan yang picik, naif dan
fanatik.

(6). Hidup saling menghormati kedaulatan dan pengaturan kehidupan


bergereja, serta tidak menarik anggota gereja ke dalam
gerejanya. Pelanggaran terhadap masalah ini akan
mengakibatkan ketegangan di antara gereja-gereja. Sebab akan
muncul sifat intervensi (campur-tangan) terhadap keadaan
"rumah-tangga" gereja orang lain. Untuk mewujudkan kehidupan
yang saling menghormati, maka tiap-tiap gereja tidak
diperbolehkan memakai mimbar dalam pemberitaan firman untuk
mencela kehidupan dan ajaran gereja lain.

(7). Persekutuan gereja-gereja yang oikoumenis tidak boleh bersikap


rasial. Artinya di dalam tubuh kehidupan gereja-gereja, masalah
warna kulit, kesukuan atau asal daerah tidak boleh dijadikan
patokan dalam mengambil keputusan gereja. Sebab Yesus Kristus
telah meniadakan perbedaan rasial dan kultural manusia. Galatia
3:28 berkata: "Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang
Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki
atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam
Kristus Yesus". Ini berarti gereja-gereja oikoumenis harus hidup
dalam kasih persaudaraan dengan semua suku bangsa dan
tingkat sosial serta berbagai kebudayaan, yaitu untuk
menghadirkan kasih Kristus yang memperdamaikan dan yang
mempersatukan.

(8). Gereja-gereja oikoumenis ikut bertanggungjawab dan


berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya
gereja-gereja Kristen ikut memberikan sumbangan pemikiran
dalam proses pengambilan kebijaksanaan pemerintahan negara.
Karena itu perlu ada wakil-wakil dari PGI untuk mendampingi
pemerintah sesuai dengan tugas dan jabatannya. Sebaliknya
pemerintah juga memberi tempat dan kesempatan kepada setiap
lembaga keagamaan untuk mewujudkan sumbangsihnya kepada
negara secara adil dan merata.

(9). Azas persekutuan gereja-gereja yang oikoumenis dalam hal


bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah Pancasila. Oleh
karena itu gereja-gereja Yesus Kristus wajib mengembangkan,
mempertahankan, da mengamalkan Pancasila dalam
kehidupannya. Gereja-gereja oikoumenis yang terhimpun dalam
PGI adalah gereja yang Pancasilais. Di Tata-Dasar PGI Bab III
pasal 5 kita dapat menjumpai pernyataan: "Dalam terang
pengakuan seperti tercantum dalam Pasal 3 di atas, Persekutuan
Gereja-Gereja di Indonesia berazaskan Pancasila dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara". Dan
rumusan serupa kita temukan pula dalam Tata Dasar setiap
Gereja anggota PGI.

7. Tantangan dan Perjuangan

Masyarakat kristiani sebagai anggota-anggota jemaat yang


tergabung dalam wadah Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI)
tidak boleh menjadi masyarakat yang statis dan puas diri. Sebaliknya
masyarakat Kristen harus mampu menjawab tantangan-tantangan di
masa depan dengan perjuangan yang tidak pernah mengenal lelah.
Sebab masih banyak hal-hal yang harus dibenahi untuk mewujudkan
keesaan gereja. Salah satu tantangannya adalah soal mentalitas
beroikoumene.

Kini setelah PGI berhasil menjadi lembaga oikoumenis yang kuat


dan berpengaruh, banyak gereja yang berbondong-bondong untuk
menjadi anggotanya. Tentu sikap gereja-gereja ini perlu disambut
dengan hati yang penuh sukacita. Namun motivasinya masih harus
diluruskan. Sebab sering gereja-gereja itu ingin menjadi anggota PGI,
bukan untuk mendukung usaha-usaha oikoumenis; sebaliknya mereka
ingin memperoleh legalisasi (pengesahan) dari PGI supaya diterima
oleh masyarakat. Jika ini terjadi, keanggotaan sebagai PGI hanya
untuk kepentingan identitas gerejanya saja. Padahal keanggotaan
sebagai anggota PGI adalah supaya mereka bersama-sama
melaksanakan tugas oikoumenis untuk mewujudkan keesaan gereja di
Indonesia.

Tantangan yang lain adalah PGI harus mampu melepaskan diri


dari pengaruh gereja-gereja besar dalam melaksanakan tugas
oikoumenisnya. Artinya PGI didirikan bukan untuk melayani
kepentingan gereja-gereja tertentu, walaupun gereja-gereja tersebut
mempunyai andil yang begitu besar. PGI harus mampu bersikap netral
sehingga dapat memperhatikan semua gereja yang menjadi
anggotanya. Dan yang lebih penting, langkah-langkah kebijaksanaan
PGI tidak boleh hasil pendiktean dari gereja-gereja tertentu. PGI
didirikan untuk melayani Kristus dan mewujudkan keesaan gereja di
Indonesia.

Tantangan dan perjuangan dari kehidupan jemaat yang heterogen


pada saat ini adalah bagaimana dalam penghayatan iman kepada
Yesus Kristus dapat makin berkualitas dan lebih dapat dipertanggung-
jawabkan. Sebab tanpa kualitas dan tanggungjawab, mustahil iman
Kristen dapat lebih berakar secara mendalam dalam kehidupan
bangsa dan negara Indonesia. Demikian pula tanpa kualitas dan
tanggungjawab, tugas keesaan gereja menjadi dangkal dan semu.
Oleh karena itu pada masa-masa mendatang tugas pelayanan semua
gereja Kristus harus lebih ditangani secara profesional. Untuk itu
program kerja keesaan harus merentang jauh ke depan dalam
hitungan abad. Misalnya: apa yang harus terjadi pada abad XXI dalam
kehidupan gereja-gereja Kristen di Indonesia?

****

Anda mungkin juga menyukai