Ensiklik Rerum Novarum (1891), Paus Leo XIII (1878-1903) menunjukkan tanda bahwa Gereja
mulai terbuka pada situasi dunia. Ensiklik ini terkait dengan penderitaan kaum buruh yang
diakibatkan oleh revolusi industri di Inggris dan Eropa (1760-1850). Melalui Ensiklik Satis
Cognitum (1896), Paus Leo XIII memandang kesatuan Gereja sebagai kesatuan pada komunitas
Gereja di bawah Uskup dalam persekutuan dengan pengganti Petrus. Namun ia tidak menyebut
Gereja-Gereja lain sebagai bidaah atau skisma.
Paus Benediktus XV (1914-1922) menunjukkan keterbukaannya yaitu mencoba
membangun relasi dengan Gereja Ortodoks dan Anglikan. Namun gerakan ekumenis yang bersifat
sistematis dan organisasional ditolak. Paus Benediktus XV yang menerima undangan untuk
terlibat di dalam konferensi internasional pertama Faith and Order menjawab demikian: “Vatikan
berpendapat bahwa semua denominasi yang lain memisahkan diri dari Gereja Roma yang langsung
berasal dari Kristus. Maka Roma tidak bisa pergi kepada mereka. Merekalah yang harus pulang
ke dalam pangkuan Gereja Roma”2. Umat Katolik dilarang terlibat dalam konferensi di Lausanne
1927 tersebut. Sebenarnya paus sangat tertarik pada gerakan itu, tetapi merasa bahwa tidak dapat
ikut serta karena pandangan ekklesiologis Gereja Katolik tidak memungkinkannya. Dalam pikiran
eklesiologis Paus, kesatuan umat Kristiani tetaplah kembalinya jemaat-jemaat terpisah ke Gereja
Katolik. Namun demikian, Paus Benediktus XV menunjukkan keterbukaannya pada dunia.
Melalui Ensiklik Maximum Illud (1919), ia memperlihatkan dampak dari Perang Dunia I (1914 –
1918) yang begitu luas.
Paus Pius XI (1922-1939) menunjukkan sikap yang sama terkait ekumenisme. Hal ini
tampak dalam Ensiklik Mortalium Animos (1928). Terkait berdirinya gerakan Faith and Order
(Lausanne, 1927), Paus menegaskan bahwa kesatuan yang dibangun atas beberapa ajaran yang
disepakati bersama tidaklah cukup, sebab ajaran itu berkait erat dengan Sabda yang diwahyukan,
dan bukan wewenang umat beriman untuk memilih ajaran mana yang mau diterima. Di sini
nampaklah kekhawatiran Gereja Katolik terhadap ekumenisme sebagai kompromi ajaran yang
diwahyukan.
Sementara itu, Paus Pius XII (1939-1958), dengan Ensiklik Summi Pontificatus (1939)
mulai menunjukkan penghargaan terhadap gerakan ekumenisme di kalangan Protestan, meski
masih memandang tujuan dialog ekumenis sebagai kembali ke Gereja Katolik. Pada tahun 1949,
Kongregasi Ajaran Iman mengeluarkan dokumen yang mengijinkan para teolog berdialog dengan
teolog dari Gereja lain, tetapi tidak boleh bicara soal iman dan moral, tetapi lebih mengenai
bagaimana membela prinsip-prinsip hukum kodrat atau iman Kristen di tengah agama-agama lain.
Kendati perubahan sikap terhadap gerakan ekumenisme nantinya baru terjadi pada Konsili
Vatikan II, tetapi gerakan untuk membangun ekumenisme mulai beberapa tahun sebelumnya. Pada
tahun 1908, Pastur Paul Wattson, seorang pastor Anglikan yang kemudian masuk menjadi anggota
Gereja Katolik, di New York sudah membangun suatu kelompok yang berusaha memajukan
gerakan ekumenisme, dengan mengupayakan delapan hari doa untuk kesatuan umat Kristiani.
Inisiatif ini diterima juga di kalangan Gereja Katolik. Ekumenisme secara spiritual ini diharapkan
dapat mengembangkan ekumenisme dalam taraf yang lebih kelihatan. Sementara itu, pada tahun
1933, di Lyon Abbé Paul-Iréné Couturier menyelenggarakan tiga hari (triduum) doa untuk
kesatuan umat Kristiani, yang sekarang ini tetap diteruskan menjadi pekan doa bagi kesatuan umat
Kristiani yang diselenggarakan pada bulan Januari, menjelang Hari Raya bertobatnya St. Paulus,
yang dalam tradisi Gereja Katolik dirayakan pada tanggal 25 Januari.
Tumbuhnya gerakan ekumenisme secara khusus dapat dikatikan dengan suatu usaha yang
diselenggarakan oleh para teolog dengan dukungan dari beberapa Uskup. Pada tanggal 11 Agustus
2
Georg Kirchberger, hlm. 62.
3
1952, terjadi pertemuan 24 teolog di kediaman Uskup Lausanne, Geneva dan Fribourg. Para teolog
ini mendirikan “Catholic Conference for Ecumenical Questions”. Tujuannya ialah untuk
mengembangkan kerjasama yang baik antara Uskup-Uskup dan para teolog dalam bidang
ekumenisme antara Gereja Katolik dan Gereja-Gereja lain. Gagasan yang dikembangkan di
Fribourg ini sudah mempunyai embrionya di masing-masing negara, misalnya di Italia, gerakan
ini dikembangkan oleh para profesor Yesuit yang punya pengaruh di Vatikan, yaitu R. Leiber, A.
Bea dan S. Tromp. Sedangkan dari Belanda, Prof Johanes Willebrands, yang nantinya ditunjuk
menjadi ketua Sekretariat untuk memajukan kesatuan Kristiani, dan Frans Thijssen. Dalam
pertemuan Fribourg ini Willebrands mengajak untuk mengadakan kontak dan kerjasama dengan
semua orang yang punya hati untuk gerakan ekumenisme. Bagi Willebrands, ekumenisme tidak
hanya sekedar persoalan mengenai dogma, tetapi sungguh persekutuan yang hidup. Gerakan ini
kemudian membentuk sekretariat, dengan Willebrands sebagai ketuanya, sedangkan para peserta
mengembangkan gerakan ini di negara masing-masing. Di Austria misalnya, gerakan ini dipimpin
oleh Karl Rahner. Sedangkan di Vatikan, gerakan ini didukung oleh Kardinal Ottaviani.
Dalam pertemuan pertama itu pula diputuskan apa-apa yang akan menjadi tema-tema studi
mengenai ekumenisme. Di sini, peran Yves Congar OP yang mengajak untuk mendalami unsur-
unsur Gereja yang melampaui batas-batas Gereja Katolik yang nampak. Yves Congar misalnya
menunjuk konsep votum ecclesiae yang mungkin dapat diterapkan pada Gereja-Gereja di luar
Gereja Katolik. Pada perkembangannya, Gerakan ini selalu menjalin hubungan dengan World
Council of Churches. Mereka kerapkali memilih tema- tema yang sedang didiskusikan oleh WCC,
misalnya pada tahun 1954, pokok yang dipilih ialah tema dari Sidang WCC di Evanston, “Jesus
Christ, Hope of the World”.
Gerakan ini nantinya juga ikut memberikan masukan pada pemikiran-pemikiran pada
bidang ekumenisme pada Konsili Vatikan II. Salah satu hal yang diusulkan ialah agar dalam
pembicaraan ekumenisme, dihindarkan kata-kata yang secara psikologis kurang enak bagi
anggota-anggota Gereja yang lain, seperti kata “kembali”. Demikian pula perlulah memahami
“katolisitas” bukan sebagai uniformitas.
(1963-1978) menegaskan bahwa gerakan ekumenis merupakan buah tuntunan Roh Kudus, dan
Gereja Katolik siap untuk masuk pada dialog ekumenis: “We readily accept the principle of
stressing what we all have in common rather than what divides us. This provides a good and
fruitful basis for our dialogue, and we are prepared to engage upon it with a will. We would even
go further and declare our readiness to examine how we can meet the legitimate desires of our
separated Christian brothers on many points of difference concerning tradition, spirituality, canon
law, and worship, for it is Our dearest wish to embrace them in a perfect union of faith and
charity”.
antara yang terumus dalam BEM dan Gereja Katolik dalam tiga hal, yaitu rumus trinitaris dari
baptisan, peran baptis dalam rencana keselamatan Allah, dan ciri sakramental dari baptisan. Gereja
Katolik juga menyambut baik pandangan mengenai ekaristi yang dinyatakan pada dokumen BEM,
terutama mengenai mengenai penggunaan Kitab Suci, Tradisi, liturgi kuno dan teologi patristik,
sehingga Gereja Katolik merasa rumus itu sesuai dengan tradisi apostolik. Sementara mengenai
pelayanan, Gereja Katolik merasa bahwa di sinilah letak kesulitan. Namun Gereja Katolik
menghargai usaha dari Dokumen BEM.
Kerjasama antara Gereja Katolik dengan Dewan Gereja-Gereja juga nampak dalam taraf
regional, misalnya kerjasama antara Federation of Asian Bishops’ Conferences (FABC) dengan
Christian Conference of Asia (CCA), ataupun pada tingkat nasional, seperti antara Konferensi
Waligereja Indonesia (K.W.I.), dan Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (P.G.I). Hanya saja,
kerjasama pada tingkat regional dan nasional mungkin lebih bersifat praktis, daripada
mengusahakan dialog mengenai ajaran-ajaran iman. Pantas dicatat salah satu buah istimewa antara
KWI dan PGI ialah diterbitkannya Alkitab yang dipakai secara bersama baik oleh Gereja Katolik
Roma maupun Gereja-Gereja Protestan di Indonesia.
3
Common Declaration Signed in the Vatican by Pope John Paul II and Ecumenical Patriarch Bartholomew (29
June, 1995), no. 4
6
Sudah sejak Konsili Vatikan II, dimulailah dialog antara Gereja Katolik dan Gereja- Gereja
Lutheran. Selain dialog internasional antara Gereja Katolik yang diwakili oleh Dewan Kepausan
untuk Kesatuan Umat Kristiani dengan Federasi Gereja-Gereja Lutheran se Dunia (Lutheran
World Federation), di beberapa negara ada dialog tingkat nasional, misalnya di Jerman dan di
Amerika Serikat. Ada empat tahap dalam dialog antara Gereja Katolik dan Gereja-Gereja Lutheran
ini. Tahap pertama terjadi tahun 1967-1972, berbicara mengenai Injil dan Gereja. Dialog yang
menghasilkan Dokumen Malta (1972) ini mencoba mendalami persoalan-persoalan yang
menjadikan perpisahan antara Gereja Katolik dan Gereja-Gereja Lutheran, seperti ajaran mengenai
justificatio, peran Kitab Suci dan Tradisi, dll. Tahap kedua, tahun 1973-1984, mencoba mendalami
ekaristi (1978) dan pelayanan (1984). Tahap ketiga (tahun 1986-1993), mengenai Gereja dan
Pembenaran. Tahap keempat (1995-2006) menghasilkan Joint Declaration on the Doctrine of
Justification”, yang dipublikasikan pada tahun 1999. Dalam tahap ini juga dibicarakan mengenai
apostolisitas Gereja. Tahap ke enam (2006 – sekarang), salah satu hasilnya adalah publikasi
bersama : From Conflict to Communion: Lutheran-Catholic Common Commemoration of the
Reformation in 2017 - yang diterbitkan oleh The Lutheran-Roman Catholic Commission on Unity
tahun 2012, dalam rangka memperingati 500 tahun reformasi dan 50 tahun dialog Gereja Lutheran
dan Gereja Katolik Roma. Pada tanggal 31 Oktober 2016, dalam rangka peringatan 500 tahun
reformasi, Paus Fransiskus dan Bishop Munib A. Younan, Presiden dari Federasi Gereja-Gereja
Lutheran se dunia, menandatangani bersama Joint Declaration on the occasion of the Joint
Catholic-Lutheran Commemoration of the Reformation. Deklarasi bersama ini sangat istimewa
karena ditandatangani oleh Paus sendiri bersama dengan Presiden Federasi Gereja- Gereja se
dunia. Ini adalah tanda positif kemauan Gereja Katolik Roma untuk terlibat dalam gerakan
ekumenisme, dengan berdiri sejajar dengan gereja-gereja Kristen lainnya.
Sementara itu pada tahun 1990-an terjadi tiga kali konsultasi yang melibatkan Gereja-Gereja
Reformed, Gereja-Gereja Lutheran dan Gereja Katolik Roma.4
4
F.M.Bliss, Catholic and Ecumenical: History and Hope. Why the Catholic Church Is Ecumenical and What She Is
Doing about It, Second Edition, Lanham, Maryland: Rowman & Littlefied Publishers, 2007, 106-107.