Anda di halaman 1dari 7

1

Keterlibatan Gereja Katolik dalam Gerakan Ekumenis

Sikap Gereja Katolik sebelum Konsili Vatikan II


Sebelum KV II, Gereja Katolik Roma menganggap diri sebagai societas perfecta et vera
(kelompok atau masyarakat yang sempurna dan benar). Konsep diri ini sudah berkembang jauh
sebelum adanya gerakan-gerakan ekumenis dan bahkan sebelum diadakannya Konsili Vatikan I
(1869-1870). Gereja berusaha mempertahankan pengaruhnya di tengah perkembangan dan
perubahan sosial, politik, tehnik dan ilmu pengetahuan yang dianggap sebagai ancaman. Beberapa
peristiwa penting dapat disebut di sini untuk menunjukkan hal ini. Ahli matematika dan astronomi
Nicolaus Copernicus (1473-1543) mengemukakan teori heliosentris yaitu matahari menjadi pusat
alam semesta. Galileo Galilei (1564-1642) yang merupakan ahli fisika, matematika dan astronomi
mendukung pendapat dari Copernicus tadi dengan mengatakan bahwa bumi mengitari matahari
dan bukan sebaliknya. Selama ini, konsep yang dipegang oleh Gereja adalah bumi yang menjadi
pusat. Sebagai tanggapan, Gereja mengatakan bahwa ajaran Galileo Galilei tersebut sesat. Galileo
Galilei lalu dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Namun senjata ekskomunikasi Gereja
semakin tumpul. Paham rasionalisme semakin kuat di masyarakat. Descartes (1596-1650)
mengatakan: cogito ergo sum. Peristiwa selanjutnya yang penting adalah munculnya para
reformator di dalam Gereja pada Abad XVI seperti Luther, Zwingli dan Calvin. Menghadapi para
reformator tersebut, Gereja Katolik Roma semakin berupaya menunjukkan diri sebagai societas
perfecta et vera. Pada kurun waktu selanjutnya, Revolusi Perancis (1789-1799) yang memiliki
semboyan liberté, egalite, fraternité (kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan) memunculkan
perubahan tatanan masyarakat dan politis di Eropa. Revolusi ini juga menjadi pendorong
pemisahan antara negara dan institusi agama. Dapat dikatakan bahwa Gereja Katolik
terpinggirkan. Namun Gereja semakin menegaskan konsep diri sebagai societas perfecta et vera
untuk mempertahankan keberadaan dan pengaruh selama ini. Gereja mengutuk modernitas tetapi
pada kenyataannya justru semakin terasing. KV I dalam Pastor Aeternus mengatakan: “And since
the gates of Hell, with greater hatred each day, are rising up on every side, to overthrow, if it is
possible, the Church and Her divinely-established foundation...”.
Dengan latar belakang seperti ini, dapat dipahami apabila Gereja Katolik Roma menolak
untuk terlibat dalam gerakan-gerakan ekumenis. Baginya, Gereja-Gereja lainnya harus bergabung,
bertobat atau kembali ke pangkuan Gereja Katolik Roma. Yang diinginkan adalah uniatisme. Hal
ini pernah terjadi dengan bergabungnya beberapa Gereja Timur ke Gereja Katolik. Kelompok ini
kemudian dikenal dengan sebutan Gereja Katolik Ritus Timur. Mereka ini bersatu dengan Gereja
Katolik Roma, dengan tetap mempertahankan hukum dan liturginya. Gereja Kristus diidentikkan
dengan Gereja Katolik. Ecclesia Christi est Ecclesia Catholica.1 Gereja-Gereja lainnya bukanlah
bagian dari Gereja Kristus. Ciri “satu” bagi Gereja Kristus sudah tercapai di dalam Gereja Katolik
Roma. Dengan kata lain, kesatuan Gereja sebenarnya sudah ada atau terealisasi di dalam Gereja
Katolik Roma dan tidak perlu lagi mencari bentuk kesatuan lainnya. Paus adalah penjamin
kesatuan tersebut. Konsep kesatuan ini juga tampak dan terlaksana dalam konsili ekumenis.
Konsili yang dihadiri oleh semua uskup dari seluruh dunia dan dipimpin oleh paus dinamakan
ekumenis karena menyangkut seluruh Gereja. Maka ajaran dan ketentuan-ketentuan yang
dihasilkan dipandang berlaku untuk semua orang Kristen.
Walaupun Gereja Katolik Roma sebagai institusi tidak mendukung gerakan-gerakan
ekumenis yang berkembang di Gereja-Gereja lainnya, namun ada pemimpin-pemimpin yang
secara pribadi secara tidak langsung mendukung upaya-upaya mewujudkan kesatuan ini. Lewat
1
Bandingkan dengan LG 8 yang mengatakan bahwa Gereja Kristus berada di dalam (subsistit in) Gereja Katolik.
2

Ensiklik Rerum Novarum (1891), Paus Leo XIII (1878-1903) menunjukkan tanda bahwa Gereja
mulai terbuka pada situasi dunia. Ensiklik ini terkait dengan penderitaan kaum buruh yang
diakibatkan oleh revolusi industri di Inggris dan Eropa (1760-1850). Melalui Ensiklik Satis
Cognitum (1896), Paus Leo XIII memandang kesatuan Gereja sebagai kesatuan pada komunitas
Gereja di bawah Uskup dalam persekutuan dengan pengganti Petrus. Namun ia tidak menyebut
Gereja-Gereja lain sebagai bidaah atau skisma.
Paus Benediktus XV (1914-1922) menunjukkan keterbukaannya yaitu mencoba
membangun relasi dengan Gereja Ortodoks dan Anglikan. Namun gerakan ekumenis yang bersifat
sistematis dan organisasional ditolak. Paus Benediktus XV yang menerima undangan untuk
terlibat di dalam konferensi internasional pertama Faith and Order menjawab demikian: “Vatikan
berpendapat bahwa semua denominasi yang lain memisahkan diri dari Gereja Roma yang langsung
berasal dari Kristus. Maka Roma tidak bisa pergi kepada mereka. Merekalah yang harus pulang
ke dalam pangkuan Gereja Roma”2. Umat Katolik dilarang terlibat dalam konferensi di Lausanne
1927 tersebut. Sebenarnya paus sangat tertarik pada gerakan itu, tetapi merasa bahwa tidak dapat
ikut serta karena pandangan ekklesiologis Gereja Katolik tidak memungkinkannya. Dalam pikiran
eklesiologis Paus, kesatuan umat Kristiani tetaplah kembalinya jemaat-jemaat terpisah ke Gereja
Katolik. Namun demikian, Paus Benediktus XV menunjukkan keterbukaannya pada dunia.
Melalui Ensiklik Maximum Illud (1919), ia memperlihatkan dampak dari Perang Dunia I (1914 –
1918) yang begitu luas.
Paus Pius XI (1922-1939) menunjukkan sikap yang sama terkait ekumenisme. Hal ini
tampak dalam Ensiklik Mortalium Animos (1928). Terkait berdirinya gerakan Faith and Order
(Lausanne, 1927), Paus menegaskan bahwa kesatuan yang dibangun atas beberapa ajaran yang
disepakati bersama tidaklah cukup, sebab ajaran itu berkait erat dengan Sabda yang diwahyukan,
dan bukan wewenang umat beriman untuk memilih ajaran mana yang mau diterima. Di sini
nampaklah kekhawatiran Gereja Katolik terhadap ekumenisme sebagai kompromi ajaran yang
diwahyukan.
Sementara itu, Paus Pius XII (1939-1958), dengan Ensiklik Summi Pontificatus (1939)
mulai menunjukkan penghargaan terhadap gerakan ekumenisme di kalangan Protestan, meski
masih memandang tujuan dialog ekumenis sebagai kembali ke Gereja Katolik. Pada tahun 1949,
Kongregasi Ajaran Iman mengeluarkan dokumen yang mengijinkan para teolog berdialog dengan
teolog dari Gereja lain, tetapi tidak boleh bicara soal iman dan moral, tetapi lebih mengenai
bagaimana membela prinsip-prinsip hukum kodrat atau iman Kristen di tengah agama-agama lain.
Kendati perubahan sikap terhadap gerakan ekumenisme nantinya baru terjadi pada Konsili
Vatikan II, tetapi gerakan untuk membangun ekumenisme mulai beberapa tahun sebelumnya. Pada
tahun 1908, Pastur Paul Wattson, seorang pastor Anglikan yang kemudian masuk menjadi anggota
Gereja Katolik, di New York sudah membangun suatu kelompok yang berusaha memajukan
gerakan ekumenisme, dengan mengupayakan delapan hari doa untuk kesatuan umat Kristiani.
Inisiatif ini diterima juga di kalangan Gereja Katolik. Ekumenisme secara spiritual ini diharapkan
dapat mengembangkan ekumenisme dalam taraf yang lebih kelihatan. Sementara itu, pada tahun
1933, di Lyon Abbé Paul-Iréné Couturier menyelenggarakan tiga hari (triduum) doa untuk
kesatuan umat Kristiani, yang sekarang ini tetap diteruskan menjadi pekan doa bagi kesatuan umat
Kristiani yang diselenggarakan pada bulan Januari, menjelang Hari Raya bertobatnya St. Paulus,
yang dalam tradisi Gereja Katolik dirayakan pada tanggal 25 Januari.
Tumbuhnya gerakan ekumenisme secara khusus dapat dikatikan dengan suatu usaha yang
diselenggarakan oleh para teolog dengan dukungan dari beberapa Uskup. Pada tanggal 11 Agustus
2
Georg Kirchberger, hlm. 62.
3

1952, terjadi pertemuan 24 teolog di kediaman Uskup Lausanne, Geneva dan Fribourg. Para teolog
ini mendirikan “Catholic Conference for Ecumenical Questions”. Tujuannya ialah untuk
mengembangkan kerjasama yang baik antara Uskup-Uskup dan para teolog dalam bidang
ekumenisme antara Gereja Katolik dan Gereja-Gereja lain. Gagasan yang dikembangkan di
Fribourg ini sudah mempunyai embrionya di masing-masing negara, misalnya di Italia, gerakan
ini dikembangkan oleh para profesor Yesuit yang punya pengaruh di Vatikan, yaitu R. Leiber, A.
Bea dan S. Tromp. Sedangkan dari Belanda, Prof Johanes Willebrands, yang nantinya ditunjuk
menjadi ketua Sekretariat untuk memajukan kesatuan Kristiani, dan Frans Thijssen. Dalam
pertemuan Fribourg ini Willebrands mengajak untuk mengadakan kontak dan kerjasama dengan
semua orang yang punya hati untuk gerakan ekumenisme. Bagi Willebrands, ekumenisme tidak
hanya sekedar persoalan mengenai dogma, tetapi sungguh persekutuan yang hidup. Gerakan ini
kemudian membentuk sekretariat, dengan Willebrands sebagai ketuanya, sedangkan para peserta
mengembangkan gerakan ini di negara masing-masing. Di Austria misalnya, gerakan ini dipimpin
oleh Karl Rahner. Sedangkan di Vatikan, gerakan ini didukung oleh Kardinal Ottaviani.
Dalam pertemuan pertama itu pula diputuskan apa-apa yang akan menjadi tema-tema studi
mengenai ekumenisme. Di sini, peran Yves Congar OP yang mengajak untuk mendalami unsur-
unsur Gereja yang melampaui batas-batas Gereja Katolik yang nampak. Yves Congar misalnya
menunjuk konsep votum ecclesiae yang mungkin dapat diterapkan pada Gereja-Gereja di luar
Gereja Katolik. Pada perkembangannya, Gerakan ini selalu menjalin hubungan dengan World
Council of Churches. Mereka kerapkali memilih tema- tema yang sedang didiskusikan oleh WCC,
misalnya pada tahun 1954, pokok yang dipilih ialah tema dari Sidang WCC di Evanston, “Jesus
Christ, Hope of the World”.
Gerakan ini nantinya juga ikut memberikan masukan pada pemikiran-pemikiran pada
bidang ekumenisme pada Konsili Vatikan II. Salah satu hal yang diusulkan ialah agar dalam
pembicaraan ekumenisme, dihindarkan kata-kata yang secara psikologis kurang enak bagi
anggota-anggota Gereja yang lain, seperti kata “kembali”. Demikian pula perlulah memahami
“katolisitas” bukan sebagai uniformitas.

Sikap Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan II


Sikap Gereja Katolik Roma terhadap agama-agama lain dan orang Kristen bukan Katolik
berubah secara resmi dengan adanya KV II (1962-1965). Hal ini tidak terlepas dari pandangan dan
upaya-upaya dari Paus Yohanes XXIII (1958-1963). Situasi dunia yang diwarnai dengan
penderitaan, krisis kemanusiaan dan kemiskinan akibat Perang Dunia II (1939-1945) dan
holocaust di Jerman (1941-1945) begitu menyentuh Yohanes XXIII. Sewaktu menjadi diplomat
atau nuntius, ia bersentuhan dengan krisis ini. Maka ia ingin membuka pintu-pintu Gereja agar
tidak terasing dari dunia.
Sebagai persiapan konsili, Paus Yohanes XXIII antara lain pada tahun 1960 membentuk
sekretariat untuk pengembangan kesatuan kristiani yang dikepalai oleh Agustinus Kardinal Bea
dan didukung oleh Yohanes Willebrands sebagai sekretaris. Sekretariat ini berperan penting untuk
memperhatikan aspek ekumenis dari dokumen-dokumen yang nantinya dihasilkan oleh konsili.
Maka dapat dikatakan bahwa Konsili Vatikan II benar-benar bersifat ekumenis. Secara khusus,
sekretariat ini turut menyusun tiga dokumen yang terkait erat dengan ekumenisme yaitu Dekrit
tentang Ekumenisme (Unitatis Redintegratio), Deklarasi mengenai relasi dengan agama-agama
bukan Kristen dan Deklarasi tentang kebebasan beragama.
Selama Konsili Vatikan II utusan-utusan dari Gereja-Gereja lain diundang untuk hadir
dalam konsili. Sementara itu, pada tahun 1964, dengan Ensiklik Ecclesiam Suam, Paus Paulus VI
4

(1963-1978) menegaskan bahwa gerakan ekumenis merupakan buah tuntunan Roh Kudus, dan
Gereja Katolik siap untuk masuk pada dialog ekumenis: “We readily accept the principle of
stressing what we all have in common rather than what divides us. This provides a good and
fruitful basis for our dialogue, and we are prepared to engage upon it with a will. We would even
go further and declare our readiness to examine how we can meet the legitimate desires of our
separated Christian brothers on many points of difference concerning tradition, spirituality, canon
law, and worship, for it is Our dearest wish to embrace them in a perfect union of faith and
charity”.

Dialog dan kerjasama ekumenis oleh Gereja Katolik post KV II


Setelah terbentuknya Sekretariat untuk Pengembangan Kesatuan Kristiani, yang kemudian
akan diubah menjadi Dewan Kepausan untuk Persatuan Umat Kristiani, Gereja Katolik semakin
terlibat dalam gerakan-gerakan ekumenisme. Usaha-usaha itu ditampilkan dengan keterlibatan
dalam dialog dengan persekutuan Gereja-Gereja dunia, maupun dengan persekutuan denominasi
tertentu. Berikut sekilas usaha yang dibuat oleh Gereja Katolik dalam mengembangkan gerakan
ekumenisme.

a. Gereja Katolik dan World Council of Churches


Gereja Katolik Roma tidak menjadi anggota World Council of Churches, tetapi
membangun hubungan baik dengan World Council of Churches. Hubungan Gereja Katolik dengan
World Council of Churches dimulai sejak tahun 1965, dengan diadakannya “Joint Working Group
of the WCC and the Roman Catholic Churh”. Kelompok ini mencoba memahami kesatuan Gereja
bukan dalam kesatuan monolitis tetapi dalam keragaman. Masalah model kesatuan inilah yang
menjadi pergulatan bersama Joint Working Group ini. Memang, kelompok ini berpandangan
bahwa terlalu dini untuk mengharapkan Gereja Katolik Roma menjadi anggota World Council of
Churches, namun demikian kerjasama dalam mendalami masalah-masalah kesatuan Gereja mulai
terbentuk. Selanjutnya, Joint Working Group ini menjadi sarana perjumpaan dan sharing
keterlibatan dalam gerakan ekumenisme. Dalam Summary of the Ninth Report, 2007-2012, Joint
Working ini menyatakan perlunya membarui komitmen terhadap ekumenisme serta keterlibatan
Gereja Katolik Roma dan WCC dalam dialog dengan Gereja-Gereja Pentekostal, Karismatik dan
Injili.
Kerjasama antara Gereja Katolik dengan World Council of Churches nampak terutama
dalam komisi “Faith and Order” dan “World Mission and Evangelism”. Dalam konteks ini dapat
disebut dokumen dari Komisi Faith and Order, mengenani “Baptism, Eucharist and Ministry”,
yang dikeluarkan di Lima pada tahun 1982. Dokumen ini dihasilkan oleh suatu studi yang lama
yang melibatkan hampir semua Gereja, termasuk Gereja Katolik Roma. Dokumen ini mencoba
menegaskan iman yang sama dari semua Gereja mengenai Baptis, Ekaristi dan Pelayanan. Dalam
ajaran mengenai Baptisan dan Ekaristi, praktis ada titik temu, tetapi mengenai pelayanan, masih
ada pluralisme pendapat. Memang pelayanan merupakan masalah yang krusial. Dokumen ini
menghimbau Gereja-Gereja untuk menerima tiga macam pelayanan, Uskup, Imam dan diakon,
sebagai model yang berlaku bagi semua Gereja sampai Reformasi. Namun ajaran mengenai
succesio apostolica, mengenai ciri sakramental dari pentahbisan, arti pelayanan uskup dan paus,
masih harus dipelajari lebih lanjut.
Dokumen ini memperoleh tanggapan dari Gereja-Gereja. Gereja Katolik menanggapi
positif dokumen ini, meski dengan beberapa catatan untuk menempatkan masalahnya secara lebih
luas, misalnya dalam konteks pemahaman mengenai sakramen dan sakramentalitas, tradisi
apostolik, serta otoritas dalam Gereja. Secara khusus mengenai baptisan, ada kesesuaian mendasar
5

antara yang terumus dalam BEM dan Gereja Katolik dalam tiga hal, yaitu rumus trinitaris dari
baptisan, peran baptis dalam rencana keselamatan Allah, dan ciri sakramental dari baptisan. Gereja
Katolik juga menyambut baik pandangan mengenai ekaristi yang dinyatakan pada dokumen BEM,
terutama mengenai mengenai penggunaan Kitab Suci, Tradisi, liturgi kuno dan teologi patristik,
sehingga Gereja Katolik merasa rumus itu sesuai dengan tradisi apostolik. Sementara mengenai
pelayanan, Gereja Katolik merasa bahwa di sinilah letak kesulitan. Namun Gereja Katolik
menghargai usaha dari Dokumen BEM.
Kerjasama antara Gereja Katolik dengan Dewan Gereja-Gereja juga nampak dalam taraf
regional, misalnya kerjasama antara Federation of Asian Bishops’ Conferences (FABC) dengan
Christian Conference of Asia (CCA), ataupun pada tingkat nasional, seperti antara Konferensi
Waligereja Indonesia (K.W.I.), dan Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (P.G.I). Hanya saja,
kerjasama pada tingkat regional dan nasional mungkin lebih bersifat praktis, daripada
mengusahakan dialog mengenai ajaran-ajaran iman. Pantas dicatat salah satu buah istimewa antara
KWI dan PGI ialah diterbitkannya Alkitab yang dipakai secara bersama baik oleh Gereja Katolik
Roma maupun Gereja-Gereja Protestan di Indonesia.

b. Gereja Katolik dengan Gereja Ortodoks


Hubungan baik antara Gereja Katolik Roma dan Gereja Ortodoks dimulai dengan saling
menyapa dan memandang sebagai saudara Gereja. Pada tahun 1964, Paus Paulus VI dan Patriarkh
Athenagoras mengadakan pertemuan di Yerusalem. Hubungan yang pertama- tama ditandai
sebagai hubungan dalam ikatan kasih, akhirnya dilanjutkan dalam usaha bersama mendalami
ajaran-ajaran Gereja. Pada tahun 1975-1976, sepuluh tahun setelah masing-masing Gereja menarik
kutukan yang diberikan satu terhadap yang lain pada abad ke 11, disiapkan pada masing-masing
pihak usaha untuk mendalami ajaran bersama. Kemudian dibentuklah Joint International
Commission for Thelogical Dialogue yang diproklamirkan oleh Yohanes Paulus II dan Dimitrios
I, di Istambul pada tanggal 30 November 1978. Ada empat hal yang dihasilkan oleh kerjasama ini.
Pertama, hasil pertemuan di Munchen tahun 1982, yaitu saling penghargaan terhadap ekaristi
sebagai dasar pemahaman atas ajaran-ajaran yang lainnya. Kedua, kesepakatan Bari tahun 1987,
mengenai iman, sakramen dan kesatuan. Ketiga, pernyataan Valamo tahun 1988, mengenai
Sakramen Tahbisan dalam Struktur Sakramental Gereja terutama mengenai pentingnya succesio
apostolica bagi pengudusan dan kesatuan Gereja. Dan keempat, tahun 1993, dokumen Balamand
yang berbicara mengenai kesatuan Gereja.
Dialog tetap berlanjut. Pada tahun 1995, Paus Yohanes Paulus II dan Patriak Ekumenis
Bartholomeus I membuat pernyataan bersama: “In this perspective we urge our faithful, Catholics
and Orthodox, to reinforce the spirit of brotherhood which stems from the one Baptism and from
participation in the sacramental life. ... Such a spirit should encourage both Catholics and
Orthodox, especially where they live side by side, to a more intense collaboration in the cultural,
spiritual, pastoral, educational and social fields, avoiding any temptation to undue zeal for their
own community to the disadvantage of the other. May the good of Christ's Church always
prevail!”3 Pada tahun 2004, Paus Yohanes Paulus II dan Patriak Bartolomeus membuat pernyataan
bersama lagi untuk meneruskan dialog.

c. Gereja Katolik dan Federasi Gereja-Gereja Lutheran se dunia

3
Common Declaration Signed in the Vatican by Pope John Paul II and Ecumenical Patriarch Bartholomew (29
June, 1995), no. 4
6

Sudah sejak Konsili Vatikan II, dimulailah dialog antara Gereja Katolik dan Gereja- Gereja
Lutheran. Selain dialog internasional antara Gereja Katolik yang diwakili oleh Dewan Kepausan
untuk Kesatuan Umat Kristiani dengan Federasi Gereja-Gereja Lutheran se Dunia (Lutheran
World Federation), di beberapa negara ada dialog tingkat nasional, misalnya di Jerman dan di
Amerika Serikat. Ada empat tahap dalam dialog antara Gereja Katolik dan Gereja-Gereja Lutheran
ini. Tahap pertama terjadi tahun 1967-1972, berbicara mengenai Injil dan Gereja. Dialog yang
menghasilkan Dokumen Malta (1972) ini mencoba mendalami persoalan-persoalan yang
menjadikan perpisahan antara Gereja Katolik dan Gereja-Gereja Lutheran, seperti ajaran mengenai
justificatio, peran Kitab Suci dan Tradisi, dll. Tahap kedua, tahun 1973-1984, mencoba mendalami
ekaristi (1978) dan pelayanan (1984). Tahap ketiga (tahun 1986-1993), mengenai Gereja dan
Pembenaran. Tahap keempat (1995-2006) menghasilkan Joint Declaration on the Doctrine of
Justification”, yang dipublikasikan pada tahun 1999. Dalam tahap ini juga dibicarakan mengenai
apostolisitas Gereja. Tahap ke enam (2006 – sekarang), salah satu hasilnya adalah publikasi
bersama : From Conflict to Communion: Lutheran-Catholic Common Commemoration of the
Reformation in 2017 - yang diterbitkan oleh The Lutheran-Roman Catholic Commission on Unity
tahun 2012, dalam rangka memperingati 500 tahun reformasi dan 50 tahun dialog Gereja Lutheran
dan Gereja Katolik Roma. Pada tanggal 31 Oktober 2016, dalam rangka peringatan 500 tahun
reformasi, Paus Fransiskus dan Bishop Munib A. Younan, Presiden dari Federasi Gereja-Gereja
Lutheran se dunia, menandatangani bersama Joint Declaration on the occasion of the Joint
Catholic-Lutheran Commemoration of the Reformation. Deklarasi bersama ini sangat istimewa
karena ditandatangani oleh Paus sendiri bersama dengan Presiden Federasi Gereja- Gereja se
dunia. Ini adalah tanda positif kemauan Gereja Katolik Roma untuk terlibat dalam gerakan
ekumenisme, dengan berdiri sejajar dengan gereja-gereja Kristen lainnya.

d. Gereja Katolik dan Gereja-Gereja “Reformed” – Presbiteran


Pada tahun 1970, Gereja-Gereja Kalvinis membentuk World Alliance of Reformed Church
(WARC), yang merupakan gabungan dari Aliansi Gereja-gereja di Seluruh Dunia Pemegang
Sistem Presbiterian (“The Alliance of the Reformed Churches throughout the World holding the
Presbyterian System“) dibentuk di London pada tahun 1875 dan Sidang Kongregasional
Internasional (International Congregational Council) yang dibentuk di London tahun 1891.
Sementara itu, pada tahun 1946, lahir Sidang Reform Ekumenis (Reformed Ecumenical
Council/REC) yang mau mendukung Gereja-Gereja yang tidak punya ikatan ekumenis dan saling
mendukung dalam kesatuan konfesi Reformasi. Kedua badan ini (WARC dan REC), bergabung
pada tahun 2010 Persekutuan Gereja-gereja Reform Sedunia (World Communion of Reformed
Churches/WCRC).
Kerjasama Gereja Katolik dengan WARC, terjadi melalui suatu “Roman Catholic-
Reformed Joint Study Commission”, yang bertujuan untuk menemukan dasar bersama,
menjelaskan perbedaan, dan mencari jalan untuk bekerjasama. Tahap pertama tahun 1970- 1977,
tema pembicaraan ialah Kehadiran Kristus dalam Gereja dan dalam Dunia. Dalam diskusi-diskusi
itu antara lain dibicarakan mengenai hubungan Kitab Suci dan tradisi, metafor dan model Gereja
dalam Perjanjian Baru, peran Gereja dalam karya keselamatan Allah. Tahap kedua terjadi tahun
1984-1990, menuju pemahaman bersama mengenai Gereja. Tahap ketiga terjadi tahun 1998-2005,
yang menghasilan dokumen berjudul The Church as Community of Common Witness. Dalam
dokumen itu dibicarakan titik temu pandangan Gereja Reformed mengenai Gereja sebagai
creatura verbi dan pandangan Gereja Katolik mengenai Gereja sebagai sakramen rahmat.
7

Sementara itu pada tahun 1990-an terjadi tiga kali konsultasi yang melibatkan Gereja-Gereja
Reformed, Gereja-Gereja Lutheran dan Gereja Katolik Roma.4

e. Gereja Katolik dengan denominasi lainnya


Gereja Katolik juga membangun dialog dengan aliran-aliran baru, yaitu kelompok-
kelompok Protestan yang lebih radikal. Hubungan baik dengan kelompok Hutterite, Mennonites,
Amish, Qauakers, Gereja Baptis, Advent, Gereja Kristen atau Murid-Murid Yesus. Dengan
kelompok-kelompok ini taraf hubungannya variatif. Dengan kelompok Amish, praktis Gereja
Katolik tidak menjalin kontak. Dengan Hutterite juga tidak ada kontak resmi, tetapi Hutterite
menjalin kontak dengan beberapa orang Katolik. Dengan Gereja Baptis, dialog tahap pertama
terjadi antara tahun 1984-1990, menghasilkan dokumen Summon to Witness to Christ in Today’s
World. Dialog Tahap kedua baru mulai tahun 2006, dengan tema “The Word of God in the Life of
Church: Scripture, Tradition and Koinonia”. Dengan Gereja-Gereja Mennonites terjadi selama
tahun 1998 – 2003. Dialog dengan Gereja Methodis, sudah mulai tahun 1967. Tahun 2006, dialog
tersebut menghasilkan dokumen The Grace Given You in Christ: Catholics and Methodists Reflect
Further on the Church (Seoul Report, 2006). Bahkan dalam tahun yang sama, Gereja Methodist
dengan dokumen yang berjudul Statement of Associaton with the Joint Declaration on the Doctrine
of Justification, menerima Joint Declaration on the Doctrine of Justification yang disepakati
bersama antara Gereja Katolik Roma dan Federasi Gereja-Gereja Lutheran se dunia pada tahun
1999.

f. Gereja Katolik dengan Gereja Anglikan


Dialog antara Gereja Katolik dengan Gereja Anglikan paling nyata nampak dalam
dibentuknya Anglican Roman Catholic International Commission (ARCIC), yang mempelajari
tema-tema yang menyatukan antara Gereja Katolik dan Gereja Anglikan. Selama tahun 1970-
1981, ARCIC mengadakan 13 kali dialog, mengenai ekaristi, pelayanan dan tahbisan, serta otoritas
dalam Gereja. Dalam Final Report, yang dikeluarkan pada tahun 1981, mengenai koinonia
dikatakan demikian: “Kami menyampaikan bahwa ekaristi sebagai tanda efektif persekutuan,
uskup sebagai yang melayani persekutuan, dan primat sebagai penghubung yang kelihatan dan
pusat persekutuan”. Pada Konferensi Lambeth (1988) Gereja-Gereja Anglikan menerima final
report tersebut, sedangkan tanggapan dari Gereja Katolik muncul tahun 1991, masih menyadari
adanya perbedaaan. Pada ARCIC II (1987- 2005), sikap Gereja Katolik menjadi lebih nyata
menerima kesepakatan yang telah dirumuskan oleh ARCIC I, mengenai ekaristi dan pelayanan.
Sementara itu, juga dibicarakan soal keselamatan dan Gereja, Gereja sebagai persekutuan, Otoritas
dalam Gereja, Maria dalam Gereja. ARCIC III, mulai tahun 2011, membahas Gereja sebagai
persekutuan, Gereja Lokal dan Universal, serta bagaimana dalam gereja lokal dan universal itu
dapat membedakan ajaran etik yang benar.

4
F.M.Bliss, Catholic and Ecumenical: History and Hope. Why the Catholic Church Is Ecumenical and What She Is
Doing about It, Second Edition, Lanham, Maryland: Rowman & Littlefied Publishers, 2007, 106-107.

Anda mungkin juga menyukai