Anda di halaman 1dari 7

1

Dokumen Gereja Katolik Roma mengenai Ekumenisme

Dekrit Unitatis Redintegratio

Pandangan resmi Gereja Katolik mengenai ekumenisme mulai nampak dalam dokumen
Konsili Vatikan II, terutama pada Dekrit Unitatis Redintegratio yang dikeluarkan pada tanggal
21 November 1964, bersamaan dengan Konstitusi Dogmatis mengenai Gereja, Lumen
Gentium, dan Dekrit mengenai Gereja Timur Katolik, Orientalium Ecclesiarum. Dokumen ini
tidak dapat dilepaskan dari dokumen lainnya, seperti Lumen Gentium, Konstitusi Pastoral
tentang Gereja di Dunia dewasa ini, Gaudium et Spes, Konstitusi Dogmatik tentang Wahyu
Ilahi, Dei verbum dan Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama bukan
Kristani, Nostra Aetate.
Perubahan pandangan mengenai wahyu mempengaruhi pandangan mengenai Gereja.
Gereja tidak lagi memandang dirinya sebagai satu-satunya jalan keselamatan, maka Gereja
berdialog dengan agama-agama lain. Sementara itu Gereja Katolik juga tidak memandang
dirinya satu-satunya wujud Gereja Kristus yang benar. Lumen Gentium berbicara mengenai
Gereja Kristus ada dalam (subsistit in) Gereja Katolik, “Gereja itu, yang di dunia ini disusun
dan diatur sebatai serikat, berada dalam (susbsistit in) Gereja Katolik, yang dipimpin oleh
pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya, walaupun di luar itupun
terdapat banyak unsur pengudusan dan kebenaran yang merupakan karunia-karunia khas bagi
Gereja Kristus dan mendorong ke arah kesatuan” (LG 8). Artinya ada Gereja Kristus di luar
Gereja Katolik, meski tidak ada dalam kesatuan dengan Gereja Katolik Roma.1 Roh yang sama
diterima oleh semua orang beriman melalui baptisan. Tetapi baptisan mengantar orang pada
kepenuhan communio dalam ekaristi (LG 11). Meski demikian Lumen Gentium masih
menempatkan Gereja Katolik Roma sebagai kepenuhan kesatuan Gereja Kristus, ketika
menyatakan: “Dimasukkan sepenuhnya dalam serikat Gereja mereka,yang mempunyai Roh
Kristus, menerima baik seluruh tatasusunan Gereja serta semua upaya keselamatan yang
diadakan di dalamnya, dan dalam himpunannya yang kelihatan digabungkan dengan Krustus
yang membimbingnya melalui Imam Agung dan para Uskup, dengan ikatan-ikatan ini, yakni:
pengakuan iman, sakramen-sakramen dan kepemimpnan gerejani serta persekutuan” (LG 14).
Kemudian baru disadari ada orang-orang yang menyandang nama Kristen, tetapi tidak bersatu
sepenuhnya. Sementara itu, Gaudium et Spes menegaskan perlunya membangun dialog dengan
Gereja-Gereja yang tidak dalam kesatuan dengan Gereja Katolik Roma: “Tetapi hati ini
sekaligus merangkul saudara-saudari, yang belum hidup dalam persekutuan sepenuhnya
bersama kita, beserta jemaat-jemaat mereka, sedangkan kita sudah bersau dengan mereka
karena pengakuan iman kita akan Bapa dan Putera dan Roh Kudus, dan karena ikatan cinta
kasih, sementara kita mengingat juga bahwa kesatuan umat kristen sekarang ini juga
diharapkan dan diinginkan oleh umat beriman yang tidak beriman akan Kristus. Sebab semakin
kesatuan itu, berkat besarnya kekuatan Roh Kudus, akan bertumbuh dalam kebenaran dan cinta
kasih, semakin akan menjadi pralambang pula bagi kesatuan dan perdamaian seluruh dunia”
(GS 92”.
Dekrit Unitatis Redintegratio menampilkan sikap Gereja Katolik mengenai
ekumenisme. Bab I dekrit ini diberi judul “Prinsip-Prinsip Katolik untuk Ekumenisme”,
berbeda dengan usulan pada skema, “Prinsip-Prinsip Ekumenisme Katolik”. Dengan judul
“Prinsip-Prinsip Katolik untuk Ekumenisme”, Konsili menegaskan bahwa gerakan
ekumenisme itu merupakan gerakan bersama semua Gereja, dan Gereja Katolik mau

1
F.M.Bliss, Catholic and Ecumenical, p.41.
2

menawarkan prinsip-prinsip bagi umatnya untuk terlibat dalam gerakan ekumenisme itu.2
Meneruskan gagasan Lumen Gentium dekrit ini memandang communio ekaristi sebagai tanda
kepenuhan kesatuan Gereja. Sebelum wafatNya, Yesus berdoa: “Semoga semua bersatu,
seperti Engkau, ya Bapa, dalam Aku, dan Aku dalam Dikau, supaya mereka pun bersatu dalam
Kita: supaya percayalah dunia, bahwa Engkau yang mengutus Aku” (Yoh 17:21). Dan Tuhan
yang bangkit melalui Roh Kudus “memanggil dan menghimpun umat Perjanjian Baru, yakni
Gereja, dalam kesatuan iman, harapan dan cinta kasih”. Persatuan itu kemudian ditampilkan
dalam satu baptisan, tetapi prinsip kesatuan tetaplah Yesus Kristus sendiri (UR 2). Perpecahan
disadari sebagai realitas, dan bahkan tidak perlu saling menyalahkan diri, namun tetap diyakini
bahwa “mereka yang beriman akan Kristus dan dibaptis dengan sah, berada dalam persekutuan
dengan Gereja Katolik, sungguhpun tidak secara sempurna” (UR 3).
Dekrit ini mendefinisikan “Gerakan Ekumenisme”, sebagai “kegiatan-kegiatan dan
usaha-usaha, yang – menanggapi bermacam-macam kebutuhan Gereja dan pelbagai situasi –
diadakan dan ditujukan untuk mendukung kesatuan umat kristen”. Dekrit ini memberikan
beberapa contoh: pertama, “semua daya upaya untuk menghindari kata-kata, pernilaian-
pernilaian serta tindakan-tindakan, yang ditinjau dari sudut keadilan dan kebenaran tidak cocok
dengan situasi saudara-saudari yang terpisah, dan karena itu mempersukar hubungan-
hubungan dengan mereka”; kedua, “dialog”yang diselenggarakan dalam suasana religius
“antar para pakar yang kaya informasi, yang memberi ruang kepada masing-masing peserta
untuk secara lebih mendalam menguraikan ajaran persekutuannya, dan dengan jelas
menyajikan corak-cirinya”. Dialog semacam ini diharapkan akan semakin memahami ajaran
dan perihidup kedua persekutuan dan saling mengharagai satu sama lain; ketiga,“menggalang
kerjasama yag lebih luas lingkupnya dalam aneka usaha demi kesejahteraan umum”; keempat,
bila mungkin bertemu dalam doa sehati sejiwa; dan kelima, “mengadakan permeriksaan batin
tentang kesetiaan mereka terhadap kehendak Kristus mengenai Gereja, dan sebagaimana harus
menjalankan dengan tekun usaha pembaruan dan perombakan” (UR 4).
Bab II dekrit ini berbicara mengenai pelaksanaan ekumenisme. Ada enam hal yang
disampaikan untuk melaksanaan gerakan ekumenisme. Pertama, pembaruan Gereja sebagai
alasan ekumenisme. Pembaruan ini disadari atas pandangan bahwa harus dibedakan antara
perumusan iman dan perbendaharaan iman sendiri. Pembaruan seperti gerakan liturgy dan
Kitab Suci, pewartaan sabda Allah dan katekese, dll, menjadi pratanda berkembanganya
gerakan ekumenis di masa mendatang (UR 6). Kedua, upaya mendukung kesatuan umat
Kristiani memerlukan pertobatan dari masing-masing pihak, bahkan ditegaskan “tidak ada
ekumenisme yang sejati tanpa pertobatan batin”. Pertobatan batin ini berarti mengakui
kesalahan masa lalu, dan “dalam doa penuh kerendahan hati kita memohon pengampunan dari
Allah dan dari saudara-saudari yang terpisah, seperti kitapun mengampuni mereka yang
bersalah terhadap kita” (UR 7). Ketiga, pertobatan batin dan kesucian hidup disertai doa untuk
kesatuan umat Kristiani merupakan jiwa ekumenisme, “dan memang tepat disebut sebagai
ekumenisme rohani”. Oleh karena itu, sangat dianjurkan keterlibatan umat katolik dalam doa
bersama dengan anggota Gereja yang lain. Namun demikian mengenai kebersamaan
merayakan sakramen-sakramen (communio in sacris) dinyatakan agar tidak digunakan secara
acak, tetapi mempertimbangkan dua hal, yaitu “mengungkapkan kesatuan Gereja, dan
mengikutsertakan pihak lain dalam upaya-upaya rahmat” (UR 8). Dalam hal ini sikap yang
diambil Gereja Katolik berbeda dalam berhubungan dengan Gereja-Gereja Timur, yang
terpisah, dan terhadap Gereja-Gereja Protestan. Gereja-gereja Timur dipandang mempunyai
sakramen-sakramen yang sejati, terutama imamat dan ekaristi. Oleh karena itu, kebersamaan
dalam sakramen-sakramen, "bukan hanya mungkin, melainkan juga dianjurkan" (UR 15). Pada

2
Lih. Johanes Freiner, ““Commentary of the Decree”, dalam Herbert Vorgrimler (Ed.), Commentary of the
Documents of Vatican II, London: Burn & Oates; New York: Herder and Herder, 1968, p. 63.
3

kenyataannya hubungan Gereja Katolik dengan Gereja-Gereja Timur juga tidak sangat mulus,
meski ada saling penghargaan antara mereka. Mengenai jemaat-jemaat yang terpisah di dunia
barat, masih ada perbedaan "terutama yang menyangkut cara menafsirkan kebenaran yang
diwahyukan" (UR19). Dengan demikian, soal doktrin merupakan ganjalan terbesar hubungan
Gereja Katolik dan Gereja-Gereja Reformasi, dan berpangkal dari perbedaan doktrin inilah
kemudian muncul perbedaan-perbedaan struktur dll. Baptisan memang dipandang menyatukan
semua jemaat Kristen, tetapi masih ada persoalan mengenai ekaristi dan imamat (UR 22).
Disini, sekali lagi soal imamat dipersoalkan. Maka tentu akan menarik kalau memperhatikan
bagaimana sikap Gereja Katolik terhadap dokumen Baptism, Eucharist dan Ministry, yang
akan dibahas kemudian. Tentu di sinipun ada perbedaan dalam masing-masing Gereja
Protestan sendiri. Gereja Presbyterian di Inggris nampak mempunyai kedekatan ajaran dengan
Gereja Katolik. Dari kenyataan sejarah, hubungan dengan Gereja Presbyterian memang lebih
dekat, tetapi ada hambatan misalnya soal tahbisan imam, bahkan Uskup perempuan. Keempat,
saling mengenal “ajaran dan sejarah, hidup rohani dan peribadatan, psikologi agama dan
kebudayaan” antar Gereja. Di sini dapat terjadi dialog yang sederajat antara para pakar (UR 9).
Untuk dialog ini, seuruh ajaran haus diuraikan dengan jelas, dan harus diperhatikan juga
“hirarki” kebenaran (UR 11). Keenam, pembinaan teologi harus berperspektif ekumenis, dan
bukan dengan cara polemis, supaya lebih cermat mengungkapkan kebenaran iman (UR 10).
Ketujuh, kerjasama macam- macam bidang seperti di bidang sosial (UR 12).
Pandangan Dekrit Unitatis Redintegratio nampak dibangun atas dasar pandangan
mengenai communio. Communio ini membantu untuk memahami adanya macam-macam
wujud Gereja. Oleh karena itu, Gereja yang satu dapat nampak dalam communio Gereja-
Gereja, Gereja dari Gereja-Gereja (Church of Churches), sebagimana ditulis oleh Tillard.3
Kendati masih ada sikap kehati-hatian, dekrit Unitatis Redintegratio mendorong usaha-usaha
membangun gerakan ekumenisme dalam Gereja. Hal ini kemudian diikuti dengan aneka
macam dialog bilateral dengan kelompok-kelompok denominasi tertentu, misalnya dengan
Gereja Methodis, Luteran, dll., ataupun mendorong kerjasama dengan WCC dan gerakan Faith
and Order.

Pedoman Pelaksanaan Prinsip-Prinsip dan Norma-Norma Ekumenisme

Pedoman ini dikeluarkan oleh Dewan Kepausan untuk Persatuan Kristiani pada tanggal
25 Maret 1993, sebagai pembaharuan terhadap pedoman yang diterbitkan tahun 1967 dan 1970.
Pembaharuan pedoman berkait erat dengan diundangkannya Kitab Hukum Kanonik tahun
1983, dan Kitab Hukum Kanonik Gereja-Gereja Timur, 1990. Pedoman ini dimaksudkan
sebagai “sarana untuk membantu seluruh Gereja dan lebih-lebih mereka yang secara langsung
terlibat dalam kegiatan ekumenis di dalam Gereja Katolik” dan “ untuk memberikan motivasi
menerangi dan membimbing kegiatan ekumenis ini, dan dalam beberapa kasus khusus juga
untuk memberikanpetunjuk-petunjuk yang mengikat, sesuai dengan kewenangan yang khas
yang dimiliki oleh Dewan Kepausan untuk Persatuan Kristiani” (no. 6).
Dokumen ini mendasarkan gagasannya pada apa yang sudah diuraikan oleh Konsili
Vatikan II. Pertama-tama, “Konsili menggambarkan Gereja sebagai Umat Allah yang Baru,
yang mempersatukan dalam dirinya, di dalam segala kekayaannya krena kebhinekaannya, para
pria dan wantia dari segala bangsa segala kebudayaan, yang mempunyai macam-macam kurnia
yang berasal dari kodrat dan rahmat” (no. 11). Kesatuan umat Allah itu ditandai dengan “ikatan
rangkap tiga, karena iman, kehidupan sakramental dan pelyanan hirarkis” (no. 12). Persekutuan
itu “dilaksanakan secara konkret dalam Gereja-Gereja khusus, yang berkumpul di seputuar

3
J.M.Tillard, Church of Churches: The Ecclesiology of Communion, MN: Liturgical Press, 1992. Buku ini
menggambarkan Gereja yang lahir dari peristiwa pentekosta sebagai persekutuan Gereja-Gereja.
4

Uskup mereka” (no. 13); dalam “persatuan di antara Uskup-Uskup mereka” (no. 14); dan
dalam persekutuan antar Gereja-Gereja khusus (no. 16). Meski Gereja sejak awal ditandai
dengan keterpecahan, tetapi usaha ke arah kesatuan itu selalu ada. Usaha ke arah kesatuan
Kristiani dipandang sebagai panggilan semua orang Kristiani berkat baptisan. “Persatuan
berdasar baptisan mendorong orang ke persatuan yang penuh secara gerejani. Menghayati
pembaptisan kita berarti terlibat dalam perutusan Kristus untuk mempersatukan semua hal” (n.
22). Ada beberapa pokok yang pantas diperhatikan.
Yang pertama ialah perlunya organisasi-organisasi Gerejawi untuk mengembangkan
gerakan ekumenisme (bab II). Sesuai amamant Konsili Vatikan II Para Uskup diberi tugas agar
mendukung secara intensif, membimbing dengan bijaksana gerakan ekumenisme ini (no. 39)
Dianjurkan dalam segala tingkat Gereja ada struktur yang memajukan gerakan ekumenisme.
Yang kedua, ialah pembinaan ekumenis (bab III). Pembinaan ekumenis diusulkan
menyangkut pembinaan semua umat beriman, melalui mendengar Sabda, kotbah, serta
katekese, liturgi dan hidup rohani. Untuk mendukung pembinaan itu, keluarga, paroki,
kelompok dipandang sebagai tempat pembinaan. Secara khusus perlu mendapat perhatian ialah
pembinaan para petugas pastoral baik tertahbis maupun tak tertahbis. Pembinaan ekumenis
bagi para pelayan tertahbis dilaksanakan baik melalui perkuliahan teologi yang harus
berperspektif ekumenis (no. 73-78), maupun dengan adanya kuliah ekumenisme dalam
Fakultas Teologi (no. 79-81). Secara khusus disebut pula pengalaman ekumenis: “Dalam masa
pendidikan, supaya pendekatan kepada ekumenisme tidak terputus dari kehidupan tapi berakar
secara mendalam dalam pengalaman hidup jemaat-jemaat, maka perjumpaan dan diskusi, dapat
secara bermanfaat diorganisir bersama dengan orang-orang kristen lain, baik dalam tingkat
universal maupun lokal, namun dengan tetap memperhatikan norma-norma yang berkaitan
dengan Gereja Katolik”(no. 82). Sementara itu para pelayan pastoral yang tak tertahbis juga
harus mendapatkan pembinaan berdimensi ekumenis (no. 83-84) dan memberi kesempatan
untuk mendapatkan pengalaman ekumenis (no. 85-86).
Yang ketiga, soal persatuan dalam kehidupan dan kegiatan rohani (bab IV). Tiga hal
disebutkan di sini, yaitu baptisan, saling berbagi dalam hal-hal rohani, dan kawin campur.
Mengenai saling berbagi dalam hal-hal rohani disebutkan macam-macam kemungkinan,
misalnya doa bersama, saling berbagi dalam ibadat liturgis yang bukan sakramen, dan saling
berbagai dalam hidup sakramental, lebih-lebih ekaristi, serta saling berbagai sumber-sumber
lainnya untuk kehidupan dan kegiatan rohani.
Yang keempat, ialah dialog dan kesaksian (bab V). Aneka macam kerjasama
disebutkan, a.l. karya bersama dalam Kitab Suci, teks-teks liturgi, katekese, kerjasama dalam
pendidikan teologi, dalam pastoral, dalam kegiatan missioner, dalam dialog antar agama, serta
dalam kehidupan sosial budaya. Pendek kata, gerakan ekumenisme dapat terjadi dalam tingkat
hidup yang kongkret.

Ensiklik Ut Unum Sint

Apa yang dirumuskan Konsili ditegaskan pula oleh Paus Yohanes Paulus II melalui
ensiklik Ut Unum Sint (25 Mei 1995), yang mendorong gerakan ekumenisme. Pada dasarnya
Paus menegaskan apa yang sudah dirumuskan oleh Konsili Vatikan II, mengenai kesatuan
sebagai kehendak Allah, dan paham communio. Kesatuan Gereja dipahai sebagai dikehendaki
Tuhan, dan merupakan hakikat Gereja sendiri.”Kesatuan yang oleh Tuhan dianugerahkan
kepada Gereja, dan yang dikehendakiNya untuk merangkul semua orang, bkan suatu tamahan,
melainkan termasuk intipati misi Kristus. Kesatuan juga bukan sifat sekunder pada jemaat para
murid-Nya. Melainkan termasuk hakekat jemaat itu sendiri. Allah menghendaki Gereja, karena
Ia menghendaki kesatuan,dan kesatuan mengungkapkan seluruh kedalaman “agape” atau cinta
5

kasihNya”. Lebih lanjut, “diwujudkan berdasarkan ikatan-ikatan pengikraran iman, Sakramen-


sakramen dan persekutuan hirarkis” (UUS 9).
Dengan menghargai perbedaan yang ada, Paus mengajak untuk memajukan dialog
dengan Gereja-gereja lain, mengarah kepada kesatuan ajaran yang lebih kelihatan. Dalam hal
ini, didorong untuk berdialog mengenai ajaran, supaya semakin memahami apa yang menjadi
ajaran iman Kristiani. Mengenai hal ini ada dua hal yang digarisbawahi. Yang pertama,
menegaskan lagi perlunya memperhatikan hirarki kebenaran. Yang kedua, perbedaan yang ada
seringkali karena akibat dari cara pandang berbeda terhadap realitas yang sama (bdk UUS 30).
Oleh karena itu, perbedaan ajaran itu seringkali saling melengkapi. Mengutip Yohanes XXIII,
Paus Yohanes Paulus II menegaskan perbedaan antara “harta iman” dan “bagaimana
mengungkapkannya” (UUS 81). Di sinilah perlunya usaha mengenal ajaran-ajaran Gereja lain,
untuk kemudian dapat menafsirkan kembali ajaran Gereja sendiri. Sebagai contoh dapat dilihat
dalam Deklarasi bersama antara Gereja Katolik dan Federasi Gereja-Gereja Lutheran se dunia,
tentang Justificatio. Nampak ada perbedaan titik pandang dalam memahami justificatio, meski
masing-masing mencoba menafsirkan ulang ajaran-ajaran yang lalu.
Salah satu hal yang krusial dalam usaha ke arah kesatuan Gereja ialah soal kedudukan
Paus, Uskup Roma. Paus seharusnya berfungsi mejaga kesatuan tetapi sering malah jadi
penghambat. Dikatakan demikian: “Di lain pihak, seperti kami akui pada kesempatan penting
kunjungan kepada Dewan Gereja-Gereja Sedunia di Jenewa pada tanggal 12 Juni 1984,
keyakinan Gereja Katolik, bahwa dalam pelayanan Uskup Roma Gereja – setia pada Tradisi
Rasuli dan iman para Bapa – telah mempertahankan tanda yang tampak dan jaminan bagi
kesatuan, merupakan kesukaran bagi kebanyakan mat Kristiani lainnya, yang ingatannya
diwarnai kenangan-kenangan tertentu yang menyakitkan. Sejauh kami bertanggungjawab atas
semuanya, itu, kami bergabung dengan Pendahulu Kami Paus Paulus VI dalam memohon
maaf” (UUS 88). Nampak perlu dirumuskan kembali peran primat Uskup Roma, sebagai
penjaga kesatuan Gereja (bdk. UUS 94). Disini nampak bahwa peran Uskup Roma harus
dipahami dalam rangka communio dan tindakannya juga dalam rangka communio. Wujud
kongkretnya masih perlu pengembangan lebih lanjut.

Surat Apostolik Orientale Lumen

Surat Apostolik Orientale Lumen dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada
tanggal 2 Mei 1995, mengenangkan seratus tahun penghargaan Surat Apostolik Orientalium
Dignitas yang dikeluarkan oleh Paus Leo XIII yang menyatakan penghargaan Paus terhadap
tradisi Timur dan kesediaan untuk menjamin kekhasannya. Melalui Orientale Lumen Paus
Yohanes Paulus II menegaskan kembali penghargaan dan jaminan itu, "Para anggota Gereja
Katolik tradisi Latin hendaknya mengenal harta kekayaan itu sepenuhnya juga dan dengan
demikian merasa, bersama Paus, kerinduan yang menggebu-gebu, semoga penampakan
paripurna katolisitas Gereja dipulihkan kepada Gereja dan dunia, dungkapkan bukan oleh
hanya satu tradisi, apalagi hanya oleh satu jemaat berlawanan terhadap jemaat lain dan semoga
kitapun semua dikurniai citaras penuh akan pusaka Gereja semesta yang diwahyukan oleh
Allah dan tidak terbagi, yang tetap lestari dan bertumbuh dalam hidup Gereja-Gereja Timur
maupun Barat” (no. 1).
Setelah diuraikan apa-apa yang khas dari Gereja Timur, disampaikan bahwa
“persekutuan yang sejati hanya mungkin bila didukung oleh sikap hormat sepenuhnya terhadap
martabat pihak lain, tanpa mengklaim seakan-akan seluruh perangkat adat kebiasaan dalam
Gereja Latin lebih lengkap atau lebih cocok untuk menampilkan kepenuhan ajaran yang tepat”
(no. 20). Gereja-Gereja Timur yang bersatu dengan Gereja Katolik Roma diharapkan tidak
meninggalkan warisan tradisi mereka, sementara itu terhadap segala pertikaian di masa lalu,
6

Paus memohon maaf (no. 21). Oleh karena itu ditegaskan kemauan bekerjasama antara Gereja
Barat dan Gereja Timur.
Dari gagasan-gagasan yang tercantum pada dokumen-dokumen resmi Gereja Katolik
tersebut, nampaklah bahwa persoalan ekumenisme diletakkan dalam rangka memahami Gereja
sebagai communio. Paham communio ini menjamin adanya aneka macam wujud Gereja,
sehingga Gereja dapat digambarkan sebagai persekutuan Gereja-Gereja. Namun demikian,
pertanyaannya ialah apakah yang menjadi dasar seluruh communio itu? Tentu iman akan Yesus
Kristus dapat dipandang sebagai pemersatu dari Gereja-Gereja Kristiani. Demikian pula Kitab
Suci yang sama, merupakan dasar dari persekutuan. Namun demikian, ketika iman itu perlu
diungkapkan dalam hal-hal kongkret, persoalannya tidak begitu mudah. Kalaupun dicari dasar
persekutuan yang paling dasar ialah persekutuan dalam baptisan, kendati dalam hal ini masih
ada beberapa Gereja yang oleh Gereja Katolik dipandang baptisannya tidak sah. Lebih rumit
lagi, ketika berbicara mengenai keutuhan persekutuan itu dalam persekutuan ekaristi.
Persoalannya tidak hanya berkait dengan paham mengenai perjamuan ekaristi sendiri, tetapi
juga dengan pelayan perjamuan itu sendiri. Perbedaan paham mengenai imamat ministerial
membawa dampak bagi perbedaan paham mengenai perjamuan ekaristi. Kemudian bagaimana
dengan wujud-wujud ibadah yang lain. Soal-soal kongkret seringkali dapat menjadi hambatan
kesatuan, misalnya soal perkawinan, dll. Bagaimanapun juga usaha-usaha ke arah ekumenisme
sungguh membutuhkan pertobatan dari dalam Gereja sendiri.

Beberapa persoalan yang perlu dipelajari dalam ekumenisme

Ada beberapa soal yang pantas dipikirkan bersama dalam kerangka gerakan
ekumenisme. Persoalan pertama ialah soal wujud persatuan. Banyak teolog membangun dasar
ekumenisme pada konsep koinonia, koinonia yang berdasar pada koinonia Allah
Tritunggal.Dialog antara Gereja Katolik dengan beberapa denominasi menegaskan persoalan
tersebut. Dalam pembicaraan bersama antara FABC can CCA, keutuhan koinonia ini juga
dipandang sebagai arah gerakan ekumenisme ke depan. Dalam perkembangan gerakan
ekumenisme ada macam-macam model yang diusulkan. Dua model tidak lagi diterima, yaitu
model kembali ke Gereja entah itu Gereja Katolik ataupun Gereja Ortodoks, atau model
uniatisme juga tidak cocok lagi. Pada saat sekarang ini ditawarkan tiga model koinonia. Yang
pertama, adalah model “Reconciled Diversity”. Gagasan ini mencoba menyatukan
keanekaragaman dengan makna “Gereja yang satu”. Gagasan ini mencoba memahami
keutuhan Gereja dengan mempetahankan kekhasan masing-masing, melawan kesatuan yang
seragam. Yang kedua, model “Conciliar Fellowship”, artinya Gereja yang satu merupakan
kesatuan organik dari Gereja-Gereja. Gereja-Gereja tetap mempertahankan identitasnya,
Gereja-Gereja mencoba mencari titik temu dari keberbedaan mereka. Ini terjadi melalui
pertemuan-pertemuan bersama. Yang ketiga ialah “model tipologi”. Ini merupakan pencarian
bersama, manakah tipos dari koinonia itu sendiri. Model ini ditawarkan oleh Unitatis
Redintegratio, dan ini juga diterima pada pertemuan WCC di Canberra tahun 1991. Wujud
kesatuan macam apa yang masih harus diperjuangkan.
Persoalan kedua yang berkait dengan kesatuan dalam ajaran ialah soal sakramen
kesatuan, yaitu Baptis, Ekaristi dan Pelayanan. Komisi Faith and Order menganjurkan agar
menerima kesepakatan sebagaimana dinyatakan dalam dokumen BEM. Kendati masih ada
perbedaan pandangan, terutama berkaitan dengan pelayanan, nampaknya gagasan yang
dikembangkan dalam dokumen ini perlu dipelajari lebih lanjut. Saling mengakui baptisan
merupakan langkah awal dalam kerjasama lebih lanjut. Namun demikian, kesatuan dalam
perjamuan bersama nampaknya masih merupakan sesuatu yang terbuka untuk didiskusikan.
Belum lagi soal model pelayanan dalam Gereja, serta hal-hal yang berkait dengannya seperti
7

succesio apostolica, maupun soal symbol persatuan yang dalam Gereja Katolik ditampilkan
dalam fungsi Paus, Uskup kota Roma.
Akhirnya ekumenisme antar Gereja tidak hanya terwujud dalam level teologi, tetapi
pertama-tama harus tampil pada praksis, bersama-sama menawarkan nilai-nilai injili dalam
dunia. Oleh karena itu, sangat didorong usaha-usaha bersama, kerjasama baik dalam level
jemaat maupun dalam level pendidikan iman, agar orang semakin mengalami dan merasakan
persatuan dalam Gereja, entah wujudnya apa.

Anda mungkin juga menyukai