Sakramentalitas Perkawinan
Sakramentalitas perkawinan hanya terjadi pada perkawinan orang-orang yang dibaptis (keduanya
dibaptis). Kanon 1055 menyebutkan bahwa Kristus telah mengangkat perkawinan menjadi
sakramen (§1) sehingga sifat perkawinan antara orang-orang yang telah dibaptis adalah
sakramen (§2). Kanon ini menandaskan adanya identitas antara perjanjian perkawinan orang-
orang dibaptis dengan sakramen. Identifikasi ini membawa konsekuensi:
Semua perkawinan sah yang diselenggarakan antara orang-orang yang dibaptis, dengan
sendirinya merupakan sakramen (§2). Dalam hal ini, tidak dituntut maksud khusus dari
mempelai untuk menerimanya sebagai sakramen. Artinya, perkawinan dua orang dibaptis non-
Katolik, misalnya, Protestan, dianggap sebagai sakramen meskipun mereka tidak
menganggapnya demikian.
Sakramentalitas perkawinan tidak terletak pada pemberkatan pastor karena yang menjadi pelayan
sakramen perkawinan adalah kedua mempelai sendiri yang berjanji.
Orang-orang yang dibaptis tidak bisa menikah dengan sah jika dengan maksud positif dan jelas
mengecualikan sakramentalitas perkawinan.
Perkawinan antara orang yang dibaptis, dengan sendirinya akan diangkat ke dalam martabat
sakramen jika keduanya dipermandikan. Mereka tidak dituntut untuk mengadakan perjanjian
nikah baru, namun dapat meminta berkat pastor.
Perkawinan sakramental ini disempurnakan melalui persetubuhan yang dilakukan secara
manusiawi. Dengan demikian, perkawinan disebut ratum, sacramentum et consummatum.
Perkawinan demikian bersifat tidak dapat diceraikan secara absolut (indissolubilitas absolut).
Spiritualitas Perkawinan
Dalam membangun hidup berkeluarga, pasutri harus bersungguh-sungguh memberi kesaksian
hidup, menjadi sakramen, tanda keselamatan dan menghadirkan Kerajaan Allah. Dalam
keluarga, diciptakan damai, sukacita, pengampunan, cinta kasih, kerelaan berkurban. "Sakramen
Perkawinan menyalurkan kepada pasangan pasangan Kristen kemampuan serta kesanggupan
untuk menghayati panggilan mereka sebagai awam dan karena itu, untuk mencari Kerajaan Allah
dengan mengurusi hal-hal yang fana dan mengaturnya seturut kehendak Allah (FC 47). Berkat
sakramen perkawinan, suami dan istri menunaikan kewajiban-kewajiban mereka sebagai suami-
istri dalam keluarga, mereka diresapi oleh Roh Kristus yang memenuhi mereka dengan iman,
harapan, dan cinta kasih. Demikianlah mereka semakin maju menuju kesempurnaan mereka
sendiri dan saling menguduskan dan karena itu, bersama-sama berperan serta demi kemuliaan
Allah Bapa (lih. FC 56// GS 48).
Orang yang diperbolehkan oleh hukum untuk menikah. Setiap orang yang tidak dilarang oleh
hukum dapat menikah (kanon 1058). Menikah adalah hak asasi dan fundamental manusia. Hak
ini meliputi juga hak untuk melangsungkan pernikahan dan memilih calon partner hidupnya
secara bebas. Jadi, hanya orang yang bebas dan tidak dilarang oleh hukum saja yang dapat
menikah dalam Gereja Katolik.
"Kesepakatan antara orang-orang yang menurut hukum mampu dan yang dinyatakan secara
legitim, membuat perkawinan; kesepakatan itu tidak dapat diganti oleh kuasa manusiawi
manapun" (kanon 1057 §1). "Kesepakatan ini menjadi syarat mutlak diadakannya suatu
perkawinan yang sah. Kesepakatan perkawinan adalah perbuatan kemauan dengan mana pria dan
wanita saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan
perjanjian yang tak dapat ditarik kembali (kanon 1057 §2)':
Kesepakatan tersebut harus dibuat secara bebas, artinya tidak ada paksaan atau desakan dari luar
dan atas kemauan sendiri, tidak ada paksaan dari pihak manapun (lih. kanon 1103). Kesepakatan
ini dilakukan secara sadar, artinya tahu apa yang ia sepakati; perkawinan adalah suatu
persekutuan tetap antara seorang pria dengan seorang wanita, terarah pada kelahiran anak,
dengan suatu kerja sarna seksual (lih. kanon 1096).
Kesepakatan nikah harus dinyatakan secara lisan, atau jika mereka tidak dapat berbicara,
dinyatakan dengan isyarat-isyarat yang senilai. Dan, kedua mempelai harus hadir pada saat
upacara pernikahan dilangsungkan (lih. kanon 1104). Dalam keadaan khusus, kesepakatan ini
juga dapat didelegasikan kepada orang lain.
Halangan-halangan perkawinan
Halangan-halangan yang berkaitan dengan hukum Gereja dapat diberi dispensasi, sedangkan
halangan yang berkaitan dengan hukum ilahi tidak dapat diberi dispensasi oleh Ordinaris
Wilayah.
Halangan nikah dari hukum ilahi
Halangan nikah dikatakan berasal dari hukum ilahi jika halangan itu bersumber dari hukum
kodrat yang dibuat dan diatur oleh Allah sendiri dalam tata ciptaan, khususnya dalam hakikat
dan martabat manusia (hukum ilahi-kodrati), atau ditetapkan oleh Allah melalui pewahyuan
(hukum ilahi positif). Meskipun halangan ini bersumber dari hukum ilahi, namun yang
mendeklarasikan secara eksplisit dan memasukkannya ke dalam KHK adalah kuasa legislatif
tertinggi Gereja (bdk. kanon 1075). Menurut doktrin umum, halangan ini adalah:
Halangan nikah dikatakan bersifat gerejawi karena diciptakan oleh otoritas Gereja. Gereja yang
tampil di dunia ini dengan struktur dan ciri masyarakat yang kelihatan memiliki undang-
undangnya sendiri yang dibuat oleh otoritas gerejawi yang berwenang untuk mencapai tujuan-
tujuan khasnya secara lebih efektif, yakni menegakkan dan mempromosikan kesejahteraan
umum komunitas gerejawi yang bersangkutan. Kesejahteraan umum ini harus sesuai dengan misi
yang diterimanya sendiri dari Kristus, misi yang mengatasi dan melampaui kesejahteraan
masing-masing anggota (kanon 114 §1). Selain kesejahteraan umum, hukum Gereja dibuat untuk
membantu setiap orang mencapai keselamatan jiwanya karena keselamatan jiwa-jiw'a adalah
norma hukum tertinggi (kanon 1752).
Pembedaan kedua jenis halangan ini membawa konsekuensi hukum yang sangat besar.
Halangan-halangan yang bersifat ilahi mengikat semua orang, baik yang dibaptis maupun yang
tidak dibaptis, sedangkan halangan yang bersumber dari hukum gerejawi mengikat mereka yang
dibaptis dalam Gereja Katolik atau yang diterima di dalamnya (kanon 1059). Halangan yang
bersumber dari hukum ilahi tidak bisa didispensasi, sedangkan dari hukum gerejawi dapat
didispensasi oleh otoritas Gereja yang berwenang sesuai ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan kodratnya, perkawinan terarah pada kelahiran anak. Anak yang telah
dikonsepsi harus dipelihara dan dirawat dengan penuh cinta sehingga anak yang
merupakan mahkota perkawinan dan buah cinta sungguh dapat tumbuh menjadi manusia
yang utuh. Melalui hal ini, suami-istri menjadi mitra Allah dalam menurunkan kehidupan
baru.
Dalam konteks inilah keluarga menjadi temp at persemaian dan perlindungan hidup
manusia. Di tengah situasi dunia yang ditandai oleh kultur kematian, keluar ga kristiani
dipanggil untuk menjadi pencinta, perawat, penjaga, dan pembela kehidupan, mulai dari
konsepsi sampai pada kematian alamiah. Keluarga dipanggil untuk menjadi pewarta Injil
kehidupan, siap me'nerima kehadiran manusia baru dalam kondisi apa pun. Hal ini
penting direnungkan sebab dalam masyarakat yang ditandai oleh kultur kematian, hidup
manusia diukur dan dinilai berdasarkan kualitas dan prestasi, sementara hidup orang-
orang yang menderita cacat bawaan, penderita sakit tak tersembuhkan, usia lanjut,
dianggap hanya sebagai beban keluarga dan layak diakhiri. Maka, keluarga Katolik
dipanggil untuk menjadi pendukung Injil kehidupan (Evangelium Vitae) dengan gerakan
Pro Life.
Berkaitan dengan tugas dan misi keluarga untuk menjadi pembela kehidupan sejak dini,
pasangan suami-istri dalam mengusahakan kesejahteraan hidup bersama harus tetap
memperhatikan nilai-nilai moral sebagaimana diajarkan oleh Gereja selaku guru iman
dan moral sejati. Dalam hal ini, segala macam paksaan dan intimidasi yang diarahkan
kepada pasangan suami-istri Katolik untuk menggunakan alat-alat kontrasepsi artifisial,
baik yang sifatnya kontrakonsepsi maupun yang bersifat abortif, dinilai melanggar
kebebasan suara hati dan melanggar nilai-nilai moral.
Panggilan pada kebapaan dan keibuan yang bertanggung jawab menuntut pasangan
suami-istri Katolik untuk mengikuti ajaran moral yang benar. Hal ini semakin relevan
untuk dunia saat ini, tempat kita hidup dalam dunia yang ditandai oleh mentalitas hedonis
sehingga seksualitas dan hubungan mesra suami-istri (persetubuhan) dipisahkan dari
dimensi spiritual dan:makna yang sesungguhnya, yakni sebagai ungkapan saling
pemberian diri secara timbal balik. Dunia saat ini juga ditandai oleh adanya pemisahan
antara, kebebasan dengan kebenaran dan tanggung jawab. Orang sekarang menuntut
kebebasan mutlak: bebas untuk melakukan apa saja, bebas dari norma moral, ,dan bebas
dari tanggung jawab. Hal ini sudah meresap dalam mentalitas sebagian besar orang,
termasuk orang Katolik. Hubungan seksual semata-mata hanya dilakukan untuk mencari
kenikmatan, tanpa memahami hakikat dan maknanya. Dalam situasi demikian, tidak
jarang orang menganggap pasangan hidupnya tidak lebih hanya sebagai objek pemuas
nafsu seksnya. Dengan demikian, manusia direduksi pada objek dan tidak diperlakukan
sebagai subjek yang bermartabat.
Dalam bidang kemasyarakatan, otang tua mempunyai kewajiban untuk mengajarkan kepada
anak-anak dimensi sosial manusia. Anak dididik untuk memiliki jiwa dan semangat solider, setia
kawan, semangat berkorban, dan sehatisejiwa dengan mereka yang berkekurangan. Pendidikan
dimulai dalam keluarga. Anak dididik dan dilatih untuk mau membagi apa yang dimiliki.
Keluarga Katolik dipanggil untuk terlibat aktif dalam membangun persaudaraan sejati (koinonia)
yang didasari cinta, keadilan, dan kebenaran.
Suami dan istri memiliki kewajiban dan hak yang sarna mengenai hal-hal yang menyangkut
persekutuan hidup pernikahan (lih. kanon 1135).
Sebagai orang tua, mereka berkewajiban berat, dengan sekuat tenaga mengusahakan pendidikan
anak, baik fisik, sosial, kultural, moral, maupun religius (lih.kanon 1136).
Hak-hak dasar keluarga
Keluarga sebagai sel dasar masyarakat dan menjadi prasyarat adanya masyarakat. Oleh
karena itu, keluarga memiliki hak dasar untuk dilindungi keberadaannya oleh
masyarakat/negara. Setiap keluarga memiliki hak untuk mengembangkan diri dan
memajukan kesejahteraannya tanpa harus dihalangi oleh negara. Dalam hal-hal tertentu,
keluarga memiliki hak pribadi.
Keluarga memiliki hak untuk hidup dan berkembang sebagai keluarga, artinya hak setiap
orang betapa pun miskinnya, untuk membantu keluarga serta memiliki upaya-upaya yang
memadai untuk menggunakannya.
Keluarga memiliki hak untuk melaksanakan tanggung jawabnya berkenaan dengan
penyaluran kehidupan dan pendidikan anak-anak.
Keluarga memiliki hak untuk mendidik anak-anak sesuai dengan tradisi-tradisi keluarga
sendiri, dengan nilai-nilai religius dan budayanya, dengan perlengkapan upaya-upaya
serta lembaga-lembaga yang dibutuhkan.
Setiap keluarga yang miskin dan menderita memiliki hak untuk mendapat jaminan fisik,
sosial, politik, dan ekonomi.
Di samping itu, orang tua juga harus memperhatikan dan menghormati martabat dan hak-
hak anak. Sebenarnya sudah dengan sendirinya, martabat pribadi manusia dikenakan
pada anak yang adalah manusia. Tetapi dalam kenyataan, sering kali martabat anak
kurang diperhatikan, misalnya dalam sikap orang tua yang memperalat anak untuk
tujuan, impian, dan obsesinya sendiri. Contohnya, memaksakan anak untuk berprestasi
demi gengsi orang tua sehingga anak merasa tertekan.
Menghormati martabat anak dapat dikonkretkan dengan menghormati hak-hak asasi
anak.
Tantangan dalam membangun keluarga pada zaman sekarang dapat dikelompokkan ke dalam
dua jenis tantangan, yakni: tantangan internal dan eksternal. Yang dimaksud dengan tantangan
internal adalah apa yang berkaitan dengan pribadi-pribadi pasutri, yakni menyangkut
kedewasaan pasangan, baik secara intelektual, psikologis, emosional, spiritual, maupun moral.
Yang termasuk tantangan eksternal dapat berupa keadaan masyarakat dunia dan intervensi pihak
ketiga: mertua, saudara, PIL, dan WIL. Konkretnya, tantangan tersebut berupa:
Solusi
Dalam usaha memelihara hidup bersama dalam keluarga, lebih-Iebih dalam situasi sulit, mereka
dianjurkan terus-menerus membangun sikap saling mengampuni, bukan sebaliknya. Usaha
pemulihan hidup bersama harus terus diperjuangkan terlebih untuk mengatasi bahaya perceraian
dalam hidup perkawinan, kasus perpisahan dalam pernikahan (lih. kanon 1151-1153).
Untuk membangun satu kebersamaan hidup yang saling membahagiakan, perlu diperhatikan
adanya kejujuran dan keterbukaan satu sarna lain, menciptakan kom'unikasi yang mendalam,
komunikasi sampai ke tingkat perasaan, saling mempercayai, semangat berkorban, kesediaan
untuk mendengarkan satu sarna lain, pengosongan diri (bdk. Flp 2:5-11), kerendahan hati,
kesetiaan, saling mengampuni, saling melayani (lihat perbuatan simbolik Yesus mencuci kaki
para rasul) , saling meneguhkan, saling menjaga nama baik.
Diusahakan adanya correctio fraterna (saling. memberi masukan dalam sua sana persaudaraan)
antara suami-istri dan anak-anak, lalu ditutup doa bersama sebagai sarana untuk membina
hubungan antarpribadi dalam keluarga (bdk. Mat 18:1520).
Segala macam persoalan yang menyangkut kebijakan suami-istri dan keluarga harus dibicarakan
bersama .. ada perencanaan bersama dan risiko atau keberhasilan ditanggung bersama. Dalam hal
ini, tidak akan ada saling lempar tanggung jawab (jangan meniru Adam dan Hawa yang
melemparkan tanggung jawab).