Anda di halaman 1dari 9

Sabtu, 21 Februari 2009

AJARAN GEREJA KATOLIK TENTANG PERKAWINAN

Arti, Hakikat, Tujuan, dan Sifat-Sifat Perkawinan


Arti dan hakikat perkawinan secara umum
Tujuan hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan. Untuk mencapainya,
manusia menempuh beberapa cara: pertama, dengan hidup selibat-membiara (sebagai biarawan-
biarawati); kedua, memenuhi panggilan hidup sebagai awam yang menikah atau awam yang
hidup selibat secara sukarela. Sebagai pilihan hidup, perkawinan dilindungi oleh hukum.
Dalam arti umum, perkawinan pada hakikatnya adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita,
atau dasar saling mencintai untuk membentuk hidup bersama secara tetap dan memiliki tujuan
yang sama, yaitu saling membahagiakan. Tujuan mereka membentuk persekutuan hidup ini
adalah untuk mencapai kebahagiaan dan melanjutkan keturunan. Oleh karena itu, dalam agama
atau kultur tertentu, apabila perkawinan tidak dapat mendatangkan keturunan, seorang suami
dapat mengambil wanita lain dan menjadikan dia sebagai istri agar dapat memberi keturunan.

Tujuan dan sifat dasar perkawinan


~*~ Saling membahagiakan dan mencapai kesejahteraan suami-istri (segi unitij). Kedua pihak
memiliki tanggung jawab dan memberi kontribusi untuk mewujudkan kesejahteraan dan
kebahagiaan suami-istri.
~*~Terarah pada keturunan (segi prokreatij). Kesatuan sebagai pasutri dianugerahi rahmat
kesuburan untuk memperoleh buah cinta berupa keturunan manusia-manusia baru yang akan
menjadi mahkota perkawinan. Anak yang dipercayakan Tuhan harus dicintai, dirawat, dipelihara,
dilindungi, dididik secara Katolik. Ini semua merupakan tugas dan kewajiban pasutri yang secara
kodrati keluar dari hakikat perkawinan.
~*~ Menghindari perzinaan dan penyimpangan seksual. Perkawinan dimaksudkan juga sebagai
sarana mengekspresikan cinta kasih dan hasrat seksual kodrati manusia. Dengan perkawinan,
dapat dicegah kedosaan karena perzinaan atau penyimpangan hidup seksual. Dengan
perkawinan, setiap manusia diarahkan pada pasangan sah yang dipilih dan dicintai dengan bebas
sebagai teman hidup. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Paulus, "Tetapi, kalau
mereka tidak dapat menguasai diri, baiklah mereka kawin. Sebab lebih baik kawin daripada
hangus karena nafsu" (lKor 7:9).
~*~ Catatan penting: dalam perkawinan Katolik, kemandulan, baik salah satu maupun kedua
pasangan, tidak membatalkan perkawinan, dan tidak menjadi alasan untuk meninggalkan
pasangan kemudian mencari wanita lain sebagai penggantinya. Anak adalah buah kasih dan
rahmat Allah melulu.

Kekhasan Perkawinan Katolik


~*~ Dalam kanon 1055 KHK 1983, dapat dilihat pengertian dasar mengenai perkawinan Katolik.
"Dengan perjanjian, pria dan wanita membentuk kebersamaan seluruh hidup; dari sifat
kodratinya, perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami istri serta kelahiran anak; oleh
Kristus Tuhan, perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat
sakramen.
~*~ Cinta Kristus menjadi dasar perkawinan Katolik (bdk. Yoh 15:9-17; Ef 5:22-33). Yang
menjadi dasar dalam membangun hidup berkeluarga adalah cinta Yesus Kristus kepada Gereja-
Nya. Suami dan istri dipanggil untuk saling mencintai secara timbal balik, total dan menyeluruh,
saling memberi dan menerima yang diungkapkan dalam persetubuhan. Persetubuhan dilakukan
secara manusiawi dengan memperhatikan kondisi dan situasi pasangannya, penuh pengertian,
dilakukan secara sukarela, tanpa ada paksaan. Persetubuhan bukan hanya menunjukkan kesatuan
fisik biologis, tetapi juga kesatuan hati, kehendak, perasaan, dan visi, yakni mengusahakan
kebahagaiaan dan kesejahteraan bersama. Dengan persetubuhan, sebuah perkawinan
disempurnakan.

Sifat-sifat perkawinan Katolik


 Unitas, artinya kesatuan antara seorang pria dan seorang wanita menurut relasi cinta yang
eksklusif. Dengan kata lain, tidak ada hubungan khusus di luar pasutri. Sifat unitas
mengecualikan relasi di luar perkawinan, poligami, PIL, WIL.
 lndissolubilitas, tak terceraikan, artinya ikatan perkawinan hanya diputuskan oleh
kematian salah satu pasangan atau keduanya. "Apa yang sudah disatukan Allah, tidak
boleh diceraikan manusia" (bdk. Mat 19:6; Mrk 10:9). Untuk itu, dituntut adanya
kesetiaan dalam untung dan malang, dalam suka dan duka. Dalam hal inilah saling
pengertian, pengampunan sangat dituntut.
 Sakramental, artinya sakramentalitas perkawinan dimulai sejak terjadinya
konsensus/perjanjian antara dua orang dibaptis yang melangsungkan perkawinan.
Perkawinan disebut sakramental, artinya menjadi tanda kehadiran Allah yang
menyelamatkan. Untuk itu, dari pasangan suami-istri dituntut adanya cinta yang utuh,
total, radikal, tak terbagi sebagaimana cinta Yesus kepada Gereja-Nya (bdk. Ef 5:22-33).

Sakramentalitas Perkawinan
Sakramentalitas perkawinan hanya terjadi pada perkawinan orang-orang yang dibaptis (keduanya
dibaptis). Kanon 1055 menyebutkan bahwa Kristus telah mengangkat perkawinan menjadi
sakramen (§1) sehingga sifat perkawinan antara orang-orang yang telah dibaptis adalah
sakramen (§2). Kanon ini menandaskan adanya identitas antara perjanjian perkawinan orang-
orang dibaptis dengan sakramen. Identifikasi ini membawa konsekuensi:

Semua perkawinan sah yang diselenggarakan antara orang-orang yang dibaptis, dengan
sendirinya merupakan sakramen (§2). Dalam hal ini, tidak dituntut maksud khusus dari
mempelai untuk menerimanya sebagai sakramen. Artinya, perkawinan dua orang dibaptis non-
Katolik, misalnya, Protestan, dianggap sebagai sakramen meskipun mereka tidak
menganggapnya demikian.

Sakramentalitas perkawinan tidak terletak pada pemberkatan pastor karena yang menjadi pelayan
sakramen perkawinan adalah kedua mempelai sendiri yang berjanji.
Orang-orang yang dibaptis tidak bisa menikah dengan sah jika dengan maksud positif dan jelas
mengecualikan sakramentalitas perkawinan.

Perkawinan antara orang yang dibaptis, dengan sendirinya akan diangkat ke dalam martabat
sakramen jika keduanya dipermandikan. Mereka tidak dituntut untuk mengadakan perjanjian
nikah baru, namun dapat meminta berkat pastor.
Perkawinan sakramental ini disempurnakan melalui persetubuhan yang dilakukan secara
manusiawi. Dengan demikian, perkawinan disebut ratum, sacramentum et consummatum.
Perkawinan demikian bersifat tidak dapat diceraikan secara absolut (indissolubilitas absolut).

Spiritualitas Perkawinan
Dalam membangun hidup berkeluarga, pasutri harus bersungguh-sungguh memberi kesaksian
hidup, menjadi sakramen, tanda keselamatan dan menghadirkan Kerajaan Allah. Dalam
keluarga, diciptakan damai, sukacita, pengampunan, cinta kasih, kerelaan berkurban. "Sakramen
Perkawinan menyalurkan kepada pasangan pasangan Kristen kemampuan serta kesanggupan
untuk menghayati panggilan mereka sebagai awam dan karena itu, untuk mencari Kerajaan Allah
dengan mengurusi hal-hal yang fana dan mengaturnya seturut kehendak Allah (FC 47). Berkat
sakramen perkawinan, suami dan istri menunaikan kewajiban-kewajiban mereka sebagai suami-
istri dalam keluarga, mereka diresapi oleh Roh Kristus yang memenuhi mereka dengan iman,
harapan, dan cinta kasih. Demikianlah mereka semakin maju menuju kesempurnaan mereka
sendiri dan saling menguduskan dan karena itu, bersama-sama berperan serta demi kemuliaan
Allah Bapa (lih. FC 56// GS 48).

Syarat-Syarat dan Halangan Perkawinan


Syarat-syarat perkawinan

Orang yang diperbolehkan oleh hukum untuk menikah. Setiap orang yang tidak dilarang oleh
hukum dapat menikah (kanon 1058). Menikah adalah hak asasi dan fundamental manusia. Hak
ini meliputi juga hak untuk melangsungkan pernikahan dan memilih calon partner hidupnya
secara bebas. Jadi, hanya orang yang bebas dan tidak dilarang oleh hukum saja yang dapat
menikah dalam Gereja Katolik.

Kesepakatan perkawinan sebagai unsur esensial dan mutlak

"Kesepakatan antara orang-orang yang menurut hukum mampu dan yang dinyatakan secara
legitim, membuat perkawinan; kesepakatan itu tidak dapat diganti oleh kuasa manusiawi
manapun" (kanon 1057 §1). "Kesepakatan ini menjadi syarat mutlak diadakannya suatu
perkawinan yang sah. Kesepakatan perkawinan adalah perbuatan kemauan dengan mana pria dan
wanita saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan
perjanjian yang tak dapat ditarik kembali (kanon 1057 §2)':
Kesepakatan tersebut harus dibuat secara bebas, artinya tidak ada paksaan atau desakan dari luar
dan atas kemauan sendiri, tidak ada paksaan dari pihak manapun (lih. kanon 1103). Kesepakatan
ini dilakukan secara sadar, artinya tahu apa yang ia sepakati; perkawinan adalah suatu
persekutuan tetap antara seorang pria dengan seorang wanita, terarah pada kelahiran anak,
dengan suatu kerja sarna seksual (lih. kanon 1096).
Kesepakatan nikah harus dinyatakan secara lisan, atau jika mereka tidak dapat berbicara,
dinyatakan dengan isyarat-isyarat yang senilai. Dan, kedua mempelai harus hadir pada saat
upacara pernikahan dilangsungkan (lih. kanon 1104). Dalam keadaan khusus, kesepakatan ini
juga dapat didelegasikan kepada orang lain.

Halangan-halangan perkawinan

Halangan-halangan yang berkaitan dengan hukum Gereja dapat diberi dispensasi, sedangkan
halangan yang berkaitan dengan hukum ilahi tidak dapat diberi dispensasi oleh Ordinaris
Wilayah.
Halangan nikah dari hukum ilahi
Halangan nikah dikatakan berasal dari hukum ilahi jika halangan itu bersumber dari hukum
kodrat yang dibuat dan diatur oleh Allah sendiri dalam tata ciptaan, khususnya dalam hakikat
dan martabat manusia (hukum ilahi-kodrati), atau ditetapkan oleh Allah melalui pewahyuan
(hukum ilahi positif). Meskipun halangan ini bersumber dari hukum ilahi, namun yang
mendeklarasikan secara eksplisit dan memasukkannya ke dalam KHK adalah kuasa legislatif
tertinggi Gereja (bdk. kanon 1075). Menurut doktrin umum, halangan ini adalah:

1. impotensi seksual yang bersifat tetap (kanon 1084)


2. ikatan perkawinan sebelumnya (kanon 1085)
3. hubungan darah dalam garis lurus, baik ke atas maupun ke bawah (kanon 1091 §1)

Halangan nikah dari hukum gerejawi

Halangan nikah dikatakan bersifat gerejawi karena diciptakan oleh otoritas Gereja. Gereja yang
tampil di dunia ini dengan struktur dan ciri masyarakat yang kelihatan memiliki undang-
undangnya sendiri yang dibuat oleh otoritas gerejawi yang berwenang untuk mencapai tujuan-
tujuan khasnya secara lebih efektif, yakni menegakkan dan mempromosikan kesejahteraan
umum komunitas gerejawi yang bersangkutan. Kesejahteraan umum ini harus sesuai dengan misi
yang diterimanya sendiri dari Kristus, misi yang mengatasi dan melampaui kesejahteraan
masing-masing anggota (kanon 114 §1). Selain kesejahteraan umum, hukum Gereja dibuat untuk
membantu setiap orang mencapai keselamatan jiwanya karena keselamatan jiwa-jiw'a adalah
norma hukum tertinggi (kanon 1752).

Menurut Kitab Hukum Kanonik, halangan-halangan itu adalah:

1. halangan umur (kanon 1083)


2. halangan beda agama (kanon 1086)
3. halangan tahbisan suci (kanon 1087)
4. halangan kaul kemurnian yang bersifat publik dan kekal dalam tarekat religius (kanon
1088)
5. halangan penculikan (kanon 1089)
6. halangan kriminal (kanon 1090)
7. halangan hubungan darah garis menyamping (kanon 1091 §2)
8. halangan hubungan semenda (kanon 1092)
9. halangan kelayakan publik (kanon 1093)
10. halangan pertalian hukum (kanon 1094)

Pembedaan kedua jenis halangan ini membawa konsekuensi hukum yang sangat besar.
Halangan-halangan yang bersifat ilahi mengikat semua orang, baik yang dibaptis maupun yang
tidak dibaptis, sedangkan halangan yang bersumber dari hukum gerejawi mengikat mereka yang
dibaptis dalam Gereja Katolik atau yang diterima di dalamnya (kanon 1059). Halangan yang
bersumber dari hukum ilahi tidak bisa didispensasi, sedangkan dari hukum gerejawi dapat
didispensasi oleh otoritas Gereja yang berwenang sesuai ketentuan yang berlaku.

Panggilan Dasar Keluarga Katolik


Menyambut clan mencintai kehiclupan

 Berdasarkan kodratnya, perkawinan terarah pada kelahiran anak. Anak yang telah
dikonsepsi harus dipelihara dan dirawat dengan penuh cinta sehingga anak yang
merupakan mahkota perkawinan dan buah cinta sungguh dapat tumbuh menjadi manusia
yang utuh. Melalui hal ini, suami-istri menjadi mitra Allah dalam menurunkan kehidupan
baru.
 Dalam konteks inilah keluarga menjadi temp at persemaian dan perlindungan hidup
manusia. Di tengah situasi dunia yang ditandai oleh kultur kematian, keluar ga kristiani
dipanggil untuk menjadi pencinta, perawat, penjaga, dan pembela kehidupan, mulai dari
konsepsi sampai pada kematian alamiah. Keluarga dipanggil untuk menjadi pewarta Injil
kehidupan, siap me'nerima kehadiran manusia baru dalam kondisi apa pun. Hal ini
penting direnungkan sebab dalam masyarakat yang ditandai oleh kultur kematian, hidup
manusia diukur dan dinilai berdasarkan kualitas dan prestasi, sementara hidup orang-
orang yang menderita cacat bawaan, penderita sakit tak tersembuhkan, usia lanjut,
dianggap hanya sebagai beban keluarga dan layak diakhiri. Maka, keluarga Katolik
dipanggil untuk menjadi pendukung Injil kehidupan (Evangelium Vitae) dengan gerakan
Pro Life.
 Berkaitan dengan tugas dan misi keluarga untuk menjadi pembela kehidupan sejak dini,
pasangan suami-istri dalam mengusahakan kesejahteraan hidup bersama harus tetap
memperhatikan nilai-nilai moral sebagaimana diajarkan oleh Gereja selaku guru iman
dan moral sejati. Dalam hal ini, segala macam paksaan dan intimidasi yang diarahkan
kepada pasangan suami-istri Katolik untuk menggunakan alat-alat kontrasepsi artifisial,
baik yang sifatnya kontrakonsepsi maupun yang bersifat abortif, dinilai melanggar
kebebasan suara hati dan melanggar nilai-nilai moral.
 Panggilan pada kebapaan dan keibuan yang bertanggung jawab menuntut pasangan
suami-istri Katolik untuk mengikuti ajaran moral yang benar. Hal ini semakin relevan
untuk dunia saat ini, tempat kita hidup dalam dunia yang ditandai oleh mentalitas hedonis
sehingga seksualitas dan hubungan mesra suami-istri (persetubuhan) dipisahkan dari
dimensi spiritual dan:makna yang sesungguhnya, yakni sebagai ungkapan saling
pemberian diri secara timbal balik. Dunia saat ini juga ditandai oleh adanya pemisahan
antara, kebebasan dengan kebenaran dan tanggung jawab. Orang sekarang menuntut
kebebasan mutlak: bebas untuk melakukan apa saja, bebas dari norma moral, ,dan bebas
dari tanggung jawab. Hal ini sudah meresap dalam mentalitas sebagian besar orang,
termasuk orang Katolik. Hubungan seksual semata-mata hanya dilakukan untuk mencari
kenikmatan, tanpa memahami hakikat dan maknanya. Dalam situasi demikian, tidak
jarang orang menganggap pasangan hidupnya tidak lebih hanya sebagai objek pemuas
nafsu seksnya. Dengan demikian, manusia direduksi pada objek dan tidak diperlakukan
sebagai subjek yang bermartabat.

Menjadi pendidik utama dan pertama


Orang tua memiliki tugas dan tanggung jawab pertama dan utama dalam mendidik anak, dalam
bidang keagamaan, kesusilaan, seksualitas, kemurnian, budaya, dan kemasyarakatan. Pendidikan
meliputi dimensi kognitif (intelektual), afektif (emosi dan perasaan), etika (nilai-nilai moral), dan
estetika (nilai-nilai keindahan)
Dalam rangka memenuhi tugas mendidik anak dalam bidang hidup keimanan, orang tua
pertama-tama dituntut memiliki pengalaman iman yang baik, menampilkan perilaku hidup yang
baik sebab anak akan lebih mudah mencontoh apa yang diperbuat orang tua. Alangkah baiknya,
setiap keluarga Katolik membiasakan diri untuk mengadakan doa bersama, membaca, dan
merenungkan Sabda Tuhan bersama. Oengan demikian, keluarga menjadi Gereja mini. Keluarga
menjadi kesatuan yang melambangkan kesatuan dari ketiga Pribadi Ilahi: Bapa, Putra, dan Roh
Kudus. Keluarga adalah Gereja mini, tempat kesatuan bapak-ibu dan anak-anak menjadi
komunitas iman "di mana ada dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di
tengah-tengah mereka" (Mat 18:20). Oalam keluarga, seorang anak sungguh dapat mengenal dan
mengalami Allah. Oleh karena itu dalamkeluarga kristiani, orang tua harus membiasakan diri
mengadakan doa bersama, ikut dalam perayaan ekaristi, menerima sakramen pengampunan
secara teratur.
Untuk menjaga kekudusan keluarga Katolik, rahmat sakramen perkawinan memberikan kekuatan
kepada pasangan suami-istri untuk saling menguduskan dan menyempurnakan. Di samping itu,
pasangan suami-istri Katolik dalam hidup sehari-hari hendaknya menanamkan kesadaran dalam
diri mereka dan dalam diri anak-anak untuk merindukan dan secara teratur menyambut Sakra-
men Pengampunan Dosa. Dengan demikian, kita tidak akan membiarkan kelemahan-kelemahan
manusiawi menjadikan kita budak dosa, tetapi dengan kerendahan hati, mau mendekatkan diri
kepada Allah Yang Maharahim. Kerahiman Allah ini mengatasi kedegilan dan ketidaksetiaan
manusia pada perjanjian yang telah dibuat dengan Allah.
Dalam keluarga, seorang anak seharusnya juga mendapat pendidikan mengenai nilai-nilai moral.
Orang tua mempunyai tugas sangat berat untuk membentuk anak-anak yang sungguh memiliki
integritas moral. Untuk itu dalam keluaga, anak-anak dibiasakan belajar membuat keputusan
sendiri dan bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Hal ini tentunya dilakukan secara
gradual sesuai dengan perkembangan pemikiran dan pemahaman anak sebagaimana
digambarkan dalam tingkat-tingkat perkembangan moral menurut Lowrence Kohlberg: tingkat
prakonvensional, tingkat konvensional, dan tingkat pasca konvensional. Berkaitan dengan
pendidikan moral dan kesusilaan, orang tua harus menanamkan nilai-nilai luhur, penghormatan
terhadap nilai-nilai kehidupan, penghargaan terhadap sesama manusia yang dimulai dalam
lingkup keluarga.
Keluarga juga menjadi tempat pertama dan utama dalam pendidikan kesetiakawanan dan
semangat sosial anak. Bagaimana orang tua menciptakan iklim yang kondusif yang
memungkinkan anak dapat saling berbagi dengan sesamanya, mau memperhatikan kebutuhan
orang lain, menumbuhkan semangat mau saling membantu dan melayani, semangat rela
berkorban, dan mau saling menghargai.
Orang tua juga memiliki tugas dan tanggung jawab utama dan pertama dalam menyelengarakan
pendidikan seksualitas, cinta, dan kemurnian. Pendidikan seksualitas tentunya harus diberikan
secara gradual dan proporsional. Sekarang, bukan zamannya lagi menganggap seks sebagai
barang tabu. Pendidikan seksualitas ini sangat penting untuk membantu pertumbuhan anak.
Bagaimana orang tua memberi penjelasan tentang perubahan-perubahan fisik dan psikologis
yang dial ami oleh putra-putrinya.

Terlibat dalam misi perwartaan


Keluarga Katolik juga mempunyai tugas untuk berpartisipasi dalam misi pewartaan Gereja yang
diterima dari Yesus Kristus, yaitu misi kenabian, keimanan, dan rajawi, melalui penghayatan
cinta kasih dalam seluruh perjalanan hidup mereka membangun keluarga yang dijiwai oleh
semangat pelayanan, pengorbanan, kesetiaan, pengabdian, membagikan kekayaan rohani yang
telah mereka terima dalam Sakramen Perkawinan sebagai cerminan dari cinta Yesus Kristus
kepada Gereja-Nya (lih. FC 50).

Terlibat aktif dalam hidup bermasyarakat.

Dalam bidang kemasyarakatan, otang tua mempunyai kewajiban untuk mengajarkan kepada
anak-anak dimensi sosial manusia. Anak dididik untuk memiliki jiwa dan semangat solider, setia
kawan, semangat berkorban, dan sehatisejiwa dengan mereka yang berkekurangan. Pendidikan
dimulai dalam keluarga. Anak dididik dan dilatih untuk mau membagi apa yang dimiliki.
Keluarga Katolik dipanggil untuk terlibat aktif dalam membangun persaudaraan sejati (koinonia)
yang didasari cinta, keadilan, dan kebenaran.

Hak dan Kewajiban Suami-Istri dan Orang Tua

Suami dan istri memiliki kewajiban dan hak yang sarna mengenai hal-hal yang menyangkut
persekutuan hidup pernikahan (lih. kanon 1135).
Sebagai orang tua, mereka berkewajiban berat, dengan sekuat tenaga mengusahakan pendidikan
anak, baik fisik, sosial, kultural, moral, maupun religius (lih.kanon 1136).
Hak-hak dasar keluarga

 Keluarga sebagai sel dasar masyarakat dan menjadi prasyarat adanya masyarakat. Oleh
karena itu, keluarga memiliki hak dasar untuk dilindungi keberadaannya oleh
masyarakat/negara. Setiap keluarga memiliki hak untuk mengembangkan diri dan
memajukan kesejahteraannya tanpa harus dihalangi oleh negara. Dalam hal-hal tertentu,
keluarga memiliki hak pribadi.
 Keluarga memiliki hak untuk hidup dan berkembang sebagai keluarga, artinya hak setiap
orang betapa pun miskinnya, untuk membantu keluarga serta memiliki upaya-upaya yang
memadai untuk menggunakannya.
 Keluarga memiliki hak untuk melaksanakan tanggung jawabnya berkenaan dengan
penyaluran kehidupan dan pendidikan anak-anak.
 Keluarga memiliki hak untuk mendidik anak-anak sesuai dengan tradisi-tradisi keluarga
sendiri, dengan nilai-nilai religius dan budayanya, dengan perlengkapan upaya-upaya
serta lembaga-lembaga yang dibutuhkan.
 Setiap keluarga yang miskin dan menderita memiliki hak untuk mendapat jaminan fisik,
sosial, politik, dan ekonomi.
 Di samping itu, orang tua juga harus memperhatikan dan menghormati martabat dan hak-
hak anak. Sebenarnya sudah dengan sendirinya, martabat pribadi manusia dikenakan
pada anak yang adalah manusia. Tetapi dalam kenyataan, sering kali martabat anak
kurang diperhatikan, misalnya dalam sikap orang tua yang memperalat anak untuk
tujuan, impian, dan obsesinya sendiri. Contohnya, memaksakan anak untuk berprestasi
demi gengsi orang tua sehingga anak merasa tertekan.
 Menghormati martabat anak dapat dikonkretkan dengan menghormati hak-hak asasi
anak.

Tantangan Hidup Berkeluarga dan Solusinya

Tantangan dalam membangun keluarga pada zaman sekarang dapat dikelompokkan ke dalam
dua jenis tantangan, yakni: tantangan internal dan eksternal. Yang dimaksud dengan tantangan
internal adalah apa yang berkaitan dengan pribadi-pribadi pasutri, yakni menyangkut
kedewasaan pasangan, baik secara intelektual, psikologis, emosional, spiritual, maupun moral.
Yang termasuk tantangan eksternal dapat berupa keadaan masyarakat dunia dan intervensi pihak
ketiga: mertua, saudara, PIL, dan WIL. Konkretnya, tantangan tersebut berupa:

 Mentalitas materialistis: kehausan dan kerinduan untuk menumpuk kekayaan, uang,


mengukur segalanya dengan materi, bahkan anak pun dianggap sebagai investasi, bukan
sebagai buah kasih sayang. Relasi antarpasutri pun terpengaruh. "Ada uang abang
kusayang, tidak ada uang abang kutendang!"
 Hedonisme .. menjadikan kenikmatan sebagai tujuan segalanya, hubungan seksual pun
hanya dipahami sebatas pemuas nafsu seks, menjadikan pasangan (suami istri) sebagai
objek pemuas insting dan dorongan seksual.
 Konsumerisme" keinginan untuk mengonsumsi dipicu oleh kecanggihan teknologi
periklanan yang begitu persuasif. Hal ini menjadi faktor pemicu masalah dalam hubungan
keluarga.
 Utilitarisme :menilai sesuatu hanya berdasarkan segi kegunaannya, bahayanya kalau
memperlakukan istri-suami hanya karena kegunaan dan fungsi.
 Individualisme : mementingkan kepentingan dan kesenangannya sendiri, tidak peduli
orang lain, tidak ada kerelaan untuk mengalah dan menyisihkan kepentingannya sendiri,
untuk mendahulukan kepentingan bersama. Akibatnya, setiap unsur dalam keluarga
diabaikan.
 Relativisme moral : tidak ada nilai yang diahut dan diterima secara universal, semuanya
serba relatif .. mengarah pada sikap permisif, semua serba boleh.
 Kesibukan mengejar karier .. tugas dan tanggung jawab utama dalam keluarga
diabaikan .. rumah hanya dijadikan losmen. Dalam hal ini, pandangan tradisional tentang
tugas dan panggilan luhur yang dimiliki setiap wanita sebagai ibu dan istri, tetap relevan,
tanpa mengecualikan mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi, sosial, dan
keagamaan.
 Kesibuka antara suami-istri .. membawa rlampak negatif dalam kehidupan keluarga.
Komunikasi antara pasutri renggang. Komunikasi antara orang tua-anak renggang
sehingga anak berbuat sesuatu yang aneh-aneh di luar rumah: sekolah, lingkungan;
menjadi pecandu narkoba.
 Ketidaksetiaan .. penyelewengan-perselingkuhan baik itu dilakukan oleh pihak suami
maupun oleh pihak istri (PIL dan WIL). Bagaimana sikap Anda dihadapkan pada
ketidaksetiaan dan pengkhianatan pasangan Anda?

Solusi
Dalam usaha memelihara hidup bersama dalam keluarga, lebih-Iebih dalam situasi sulit, mereka
dianjurkan terus-menerus membangun sikap saling mengampuni, bukan sebaliknya. Usaha
pemulihan hidup bersama harus terus diperjuangkan terlebih untuk mengatasi bahaya perceraian
dalam hidup perkawinan, kasus perpisahan dalam pernikahan (lih. kanon 1151-1153).
Untuk membangun satu kebersamaan hidup yang saling membahagiakan, perlu diperhatikan
adanya kejujuran dan keterbukaan satu sarna lain, menciptakan kom'unikasi yang mendalam,
komunikasi sampai ke tingkat perasaan, saling mempercayai, semangat berkorban, kesediaan
untuk mendengarkan satu sarna lain, pengosongan diri (bdk. Flp 2:5-11), kerendahan hati,
kesetiaan, saling mengampuni, saling melayani (lihat perbuatan simbolik Yesus mencuci kaki
para rasul) , saling meneguhkan, saling menjaga nama baik.
Diusahakan adanya correctio fraterna (saling. memberi masukan dalam sua sana persaudaraan)
antara suami-istri dan anak-anak, lalu ditutup doa bersama sebagai sarana untuk membina
hubungan antarpribadi dalam keluarga (bdk. Mat 18:1520).
Segala macam persoalan yang menyangkut kebijakan suami-istri dan keluarga harus dibicarakan
bersama .. ada perencanaan bersama dan risiko atau keberhasilan ditanggung bersama. Dalam hal
ini, tidak akan ada saling lempar tanggung jawab (jangan meniru Adam dan Hawa yang
melemparkan tanggung jawab).

Anda mungkin juga menyukai