1
MENUJU KEMATANGAN MISIONER:
BERAKAR KE DALAM DAN BERANI KELUAR
(Kertas Kerja Assembly Delegasi Independen Indonesia-
Timor Leste 2020)
2
b. Mimpi Budaya..............................................................19
c. Mimpi Ekologis............................................................20
d. Mimpi Gerejawi...........................................................20
3.2 Delegasi Independen Indonesia-Timor Leste dalam
tatapan mistik-profetik seorang misionaris.....................21
3.2.1 Komunitas yang lahir dari Roh.......................................21
3.2.2 Komunitas Saksi dan Pewarta Sukacita Injil.................22
3.2.3 Komunitas yang setia menghidupi karisma dan terbuka
terhadap realitas-realitas baru (creative in fidelity)...............23
IV. LADANG PELAYANAN MISIONER DALAM
DELEGASI.................................................................................25
4.1 KERASULAN........................................................................25
4.1.1 Realitas dan Tantangan...................................................25
4.1.2 Landasan Refleksi-Inspirasi............................................28
4.1.2.1 Bercermin pada “Roh Kerasulan Gereja”........................29
4.1.2.2 Bercermin pada “Roh Kerasulan Claret”........................30
4.1.2.3 Bercermin pada “Roh Kerasulan Kongregasi”..............32
4.1.3 Sasaran-Prioritas..............................................................33
4.1.4 Pertanyaan Refleksi.........................................................36
4.2 KOMUNITAS.............................................................................36
4.2.1. Realitas dan Tantangan…....................................................36
4.2.1.1 Sebagai komunitas misionaris….....................................36
4.2.1.2 Komunitas Formasi...........................................................37
4.2.1.3 Komunitas multicultural…..............................................38
4.2.2 Landasan Refleksi – Inspirasi..............................................38
4.2.3 Sasaran – Prioritas..................................................................39
4.2.4 Pertanyaan Refleksi..............................................................41
4.3 EKONOMI…................................................................................42
4.3.1 Realitas dan Tantangan…....................................................42
4.3.1.1 Sistem ekonomi yang bergantung…..............................42
4.3.1.2 Ekonomi yang berugahari................................................43
3
4.3.1.3 Sistem ekonomi yang bersolider…...................................43
4.3.2 Landasan Refleksi - Inspirasi...........................................43
4.3.3 Sasaran – Prioritas…..........................................................44
4.3.4 Pertanyaan Refleksi..............................................................46
4.4 KEPEMIMPINAN................................................................47
4.4.1 Realitas dan Tantangan..................................................47
4.4.1.1 Kepemimpinan yang “Berjalan.”....................................47
4.4.1.2 Kepemimpinan yang “Menemani.”................................47
4.4.1.3 Kepemimpinan yang “Menyembah.”..............................48
4.4.2 Landasan Refleksi – Inspirasi.....................................49
4.4.3 Sasaran – Prioritas.......................................................49
4.4.4 Pertanyaan Refleksi.......................................................50
4.5 SPIRITUALITAS.................................................................51
4.5.1 Realitas dan Tantangan...................................................51
4.5.2 Landasan Refleksi - Inspirasi.........................................57
4.5.3 Sasaran – Prioritas...........................................................61
4.5.4 Pertanyaan Refleksi..............................................................62
4.6 FORMASI............................................................................63
4.6.1 Realitas dan Tantangan...................................................63
4.6.2 Landasan Refleksi – Inspirasi........................................68
4.6.3 Sasaran – Prioritas..........................................................69
4.6.4 Pertanyaan Refleksi........................................................71
V. TEMA ASSEMBLY DELEGASI 2020......................................72
VI. PROSES DAN AGENDA PERSIAPAN MENUJU
ASSEMBLY................................................................................73
6.1 Petunjuk-Pedoman Dasar…................................................73
6.2 Pertanyaan Refleksi Komunitas….....................................74
6.3 Agenda Persiapan Assembly.............................................76
VII. PENUTUP: Pengalaman dan komitmen misioner yang
dibawa ke ruang Assembly......................................................76
4
MENUJU KEMATANGAN MISIONER:
BERAKAR KE DALAM DAN BERANI KELUAR
(Kertas Kerja Assembly Delegasi Independen Indonesia-
Timor Leste 2020)
5
kita memiliki 23 komunitas yang tersebar di dua negara: Timor
Leste dan negara kepulauan Republik Indonesia; hadir dan
berkarya di 11 keuskupan dan 11 paroki serta 2 quasi paroki serta 2
misi kategorial.
Delegasi kita juga menjadi salah satu mesin penggerak roda
panggilan dan misi bersama Kongregasi. Dalam kurun waktu tiga
puluh tahun ini, kita memiliki 86 misionaris berkaul kekal: 69
diataranya adalah misionaris imam yang berkarya di dalam
delegasi dan yang melayani organisme lain; ada 3 misionaris
bruder berkaul kekal; ada 6 diakon dan 8 frater berkaul kekal. Kita
juga tentu bersyukur atas panggilan-panggilan baru dalam
Kongregasi kita. Saat ini ada 94 misionaris dalam formasi berkaul
sementara dan 18 novis serta 54 calon di pra novisiat (aspiran dan
postulan). Mereka semua tersebar di 7 rumah formasi di dalam
Delegasi dan beberapa rumah formasi internasional Kongregasi.
Rasanya catatan kita belum lengkap, jika tidak menyebut
sumbangsi Delegasi kita untuk misi universal Gereja dan
Kongregasi. Dalam bentangan waktu tiga puluh tahun ini,
Delegasi kita telah mempersembahkan 15 misionaris yang sudah
diinkardinasi ke dalam organisme-organisme lain di dalam
Kongregasi. Jumlah ini tentu akan bertambah dengan adanya
perutusan-perutusan baru bagi mereka yang sedang
mempersiapkan diri untuk misi universal ini.
Di ujung kisah misioner-kemuridan sepanjang tiga puluh tahun
ini, ada letupan rasa syukur menyadari “betapa lebarnya dan
panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus” (Ef 3:18)
menyertai perjalanan Delegasi kita. Kita pun insyaf bahwa hidup
memang dimengerti dengan melihat ke belakang, tetapi ia harus
tetap dihidupi dengan menatap ke depan, pada ikhtiar untuk
semakin matang dan berakar pada karisma serta berani keluar
menanggapi tantangan-tantangan baru yang muncul dari
6
panggilan kita di dalam Gereja dan dunia. Assemby adalah momen
jeda untuk memandang kembali ke belakang, tetapi juga untuk
menatap lagi ke depan agar kesaksian hidup kita semakin matang
dan berakar pada karisma serta menjawab tantangan tanda-tanda
zaman.
Panggilan untuk semakin berakar pada karisma kita di dalam
Gereja adalah juga tujuan perayaan Tahun Claretian kali ini.
Delegasi kita mengadakan Assembly sebagai momen untuk
discernment bersama tepat pada tahun yang istimewa ini, saat
Kongregasi memanggil kita semua untuk “minum setiap hari dari
sumur karismatis kita.” “Hidup misioner yang otentik hanya dapat
menjadi mungkin ketika kita menimba dari sumur karismatis kita
apa yang telah menjadi sumber bagi semangat apostolik Bapa
Pendiri kita dan berbagai generasi Claretian.” Dalam cara seperti
itulah kita ada dalam gerakan “creative in fidelity” menuju
kematangan misioner yang semakin berakar pada karisma
sekaligus juga berani keluar untuk menjawab panggilan Allah
melalui tanda-tanda zaman yang menggugah, menggairahkan dan
menggerakkan kita untuk bersikap dan mengambil langkah-
langkah politis-profetik agar wajah dunia semakin kelihatan ilahi.
Mari kita berkemas dan meneruskan petualangan misioner-
kemuridan kita untuk terus, “Berjalan, Menemani, Menyembah;”
dengan pengalaman yang lebih dalam dan matang sambil terus
bertanya diri, bagaimana aku dan komunitasku terlibat dalam
proses discernment yang retrospektif, introspektif dan prospektif
menuju kematangan dan kemandirian misioner yang semakin
berakar pada karisma serta berani keluar untuk menjawab
tantangan dunia?
7
II. HAKEKAT DAN TUJUAN ASSEMBLY
2.1 Prinsip Umum
Dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, norma tentang tata
kelola kepemimpinan tarekat diatur dalam tiga judul artikel.
Pertama soal, Pemimpin dan Dewannya (kan. 617-630). Kedua
tentang Kapitel Umum (Kan. 631-633). Dan ketiga tentang, Harta
Benda dan Pengelolaannya (kan. 634-640). Ada perbedaan khas
dari dua artikel yang pertama, yakni artikel pertama,
didedikasikan untuk Pemimpin, sebagai wujud ekspresi otoritas
pribadi (personale), sedangkan artikel kedua, didedikasikan untuk
Kapitel Umum, sebagai wujud ekspresi otoritas kolegial
(collegiale). Kodeks 1983, memang hanya berbicara tentang
Kapitel Umum dan tidak memberikan informasi yang memadai
tentang "Kapitel Propinsi" atau “Assembly”. Sebab kedua istilah ini
sulit ditemukan dalam Hukum Universal, karena figur yuridis
Kapitel propinsi atau Assembly sangat bervariasi diantara
Institusi-institusi Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan.
Kedua istilah ini lebih biasanya diatur dan ditemukan dalam
Hukum Partikular masing-masing Tarekat/Kongregasi (Konstitusi
dan Direktori).
Tentang assembly, satu sumber normatif yang
menyebutkannya adalah Kan. 632: “Hukum tarekat itu sendiri
hendaknya menetapkan dengan teliti hal-hal yang termasuk dalam
kapitel-kapitel lain dari tarekat dan dalam pertemuan-pertemuan
lain semacam itu, yakni hakikat, otoritas, susunan, prosedur dan
waktu penyelenggaraannya”. Assembly umum dalam bentuk
apapun sama sekali tidak sama dengan Kapitel Umum atau
Kapitel Propinsi meski bisa disebut sebagai dua realitas yang
saling melengkapi. Assembly adalah organ yang berfungsi untuk
mengembangkan prinsip subsidiaritas dan komunio di dalam
8
kongregasi. Assembly tidak memiliki sifat mengikat. Assembly
tidak
9
memiliki karakter decisonal dan deliberatif tapi lebih sebagai
sarana untuk dialog bersama sebagai saudara se-delegasi. Karena
itulah, kodeks 1983 menganjurkan tata cara assembly sebaiknya
diatur dalam hukum partikular masing-masing kongregasi.
Hukum partikular masing-masing kongregasi juga
menganjurkan agar assembly tetap harus dipersiapkan dengan
baik dan matang. Dan satu fase persiapan yang penting adalah
fasepre- assembly. Dalam fase ini, bentuk-bentuk aktivitas yang
tepat adalah adanya pertemuan bersama dalam komunitas atau
quesioner tertentu untuk bisa mendapatkan sebuah “sensus”
situasi dan discernment situasi aktual delegasi. Semua hasil diskusi
dan dialog bersama ini kemudian dikumpulkan dan disintesiskan
dalam sebuah kertas kerja (instrumentum laboris). Instrumentum
laboris ini menjadi panduan yang berisikan agenda assembly,
materi yang perlu dibahas dan dipelajari dan situasi yang perlu
dievaluasi untuk kemudian mengajukan kesimpulan-kesimpulan
yang tepat sasar bagi kehidupan dan perjalanan sebuah delegasi.
2.2 Prinsip Khusus (Claretian): Hakekat dan tujuan Assembly
Sebagaimana dipaparkan dalam prinsip Umum (Hukum
Kanonik) bahwa Assembly Delegasi tidak diatur dalam hukum
kanonik, melainkan diatur pelaksanaannya oleh hukum
partikular, yakni Konstitusi dan Direktori masing-masing tarekat.
Dalam struktur organisasi tarekat kita, Delegasi Indpependen
didefinisikan sebagai “persatuan yang sama antara komunitas-
komunitas lokal, di bawah satu pemimpin yang memimpinnya
dengan kuasa yang didelegasikan oleh Pemimpin Tertinggi” (Kons.
88). Memang dalam Konstitusi dan Direktori kita pun juga tidak
tercantum secara eksplisit tentang hakekat dan tujuan assembly.
Namun, secara implisit, kita dapat menemukan kemiripan,
meskipun tidak persis
10
sama, hakekat dan tujuan “Assembly delegasi” dengan hakekat dan
tujuan “kapitel Propinsi”, yakni (cf. Konst. 125):
1. Assembly Delegasi Independen biasanya dilaksanakan
setiap tiga tahun, yang ditentukan, diatur dan dipimpin
langsung oleh Pemimpin Tertinggi atau Dewannya. Dan
peserta assembly adalah semua anggota delegasi yang
sudah berprofesi kekal.
2. Assembly tidak memiliki karakter decisonal dan deliberatif
tapi lebih sebagai sarana untuk dialog bersama sebagai
saudara se-delegasi.
3. Memeriksa dan mengevaluasi keadaan “delegasi”
(kepemimpinan, hidup komunitas, kerasulan, ekonomi,
spiritualitas dan formasi) untuk menentukan perencanaan
kegiatan di masa depan.
4. Menerapkan norma-norma dan petunjuk Kapitel Umum
mengenai hidup misioner, sesuai dengan keadaan
istimewa tempat dan pribadi, sambil memperhitungkan
kegiatan pastoral bersama dengan klerus dan religius.
5. Merupakan kesempatan dimana Pemimpin Tertinggi (dan
Dewannya) mengumumkan siapa yang menjadi superior
delegasi dan dewannya.
6. Dalam terang tema Dokumen Assembly Delegasi 2017,
Misionaris: Berjalan, Menemani dan Menyembah Menuju
Delegasi Yang Transformatif, Assembly kali ini merupakan
kesempatan berahmat untuk melihat sejauh mana
“Delegasi berjalan, menemani dan menyembah” atau
“bertransformasi” selama tiga tahun terahkir, dan sekaligus
menentukan langkah-langkah, arah dan perencanaan
Delegasi untuk tiga tahun ke depan. Demikianpun sejalan
dengan Deklarasi Kapitul Umum XXV, 2015, Missionarii
Sumus, Assembly Delegasi 2020 merupakan moment uttuk
melihat kembali, mengevaluasi, membaharui dan
11
menyelaraskan komitmen Delegasi untuk menjadi “Saksi-
saksi dan pembawa pesan kegembiaraa Injil”.
7. Dalam konteks khusus Delegasi Indnesia-Timor Leste,
yang pada tahun 2020 merayakan anniversari 30 tahun
kehadirannya di bumi Indonesia-Timor Leste, Assembly
kali ini merupakan sebuah moment yang tepat, “ a
constitucional step” untuk merefleksikan, merencanakan
dan mempersiapkan langkah-langkah yang penting
menuju sebuah Delegasi yang lebih matang-dewasa-
mandiri.
12
tindakan seorang beriman untuk membuka diri di
13
hadapan misteri serta mengakui bahwa “Roh Allah telah
mengisi alam semesta dengan potensi-potensi yang
memungkinkan bahwa dari dalam makhluk itu sendiri
sesuatu yang baru selalu dapat timbul: “Alam tidak lain
adalah paham seni tertentu, yakni seni Allah yang
dituliskan dalam makhluk-makhluk dan yang
menyebabkan mereka sendiri bergerak menuju tujuan
tertentu” (LS 80).
Dalam tatapan mistik-profetik seorang misionaris, dunia
tidak hanya terdiri dari kerapuhan dan keterbatasan,
fragmentaris dan redupnya kerinduan pencarian akan
Allah (longing for God), bahkan hingga godaan untuk
memungkiri kehadiran-Nya; tetapi juga adalah dunia yang
diselimuti oleh kerahiman dan belas kasih Tuhan. Dunia
yang sudah direkonsiliasi dalam dan melalui Yesus Kristus,
“Sebab Allah mengutus anak-Nya ke dalam dunia bukan
untuk menghakimi dunia, melainkan untuk
menyelamatkannya oleh Dia” (Yoh 3:17). Bagaimana mata
mistik-profetikku ditantang untuk “melihat” dunia lebih
dalam saat ini?
14
yang telah melumpuhkan aktivitas sosial dan religius
hampir di seluruh dunia. Ribuan orang telah meninggal
akhibat virus ini dan meninggalkan jutaan orang lain yang
terinfeksi virus menakutkan ini.
Keadaan genting-darurat ini tidak harus mematahkan
semangat dan pengharapan kita sebagai misionaris yang
siap di hadapan kesulitan dan tantangan (cf. Konst 9).
Kecuali itu, situasi emergency ini telah melahirkan
solidaritas global dengan negara dan mereka yang
menderita serta usaha-usaha kemanusiaan untuk
meringankan penderitaan sesama saudara kita.
Bagi kita, Gereja dan misionaris yang sedang berziarah,
wabah global ini tidak hanya mengetuk pintu kepedulian
karitatif, tetapi terutama juga mendorong kita untuk
memikirkan kemungkinan-kemungkinan baru dalam
pewartaan, untuk mendalami sambil melihat kembali
refleksi teologis yang selaras zaman, sebagai misal teologi
kerinduan untuk menjawab kesangsian sekaligus
kerinduan umat akan kisah perjumpaanya dengan Allah
dalam situasi sulit seperti ini. Di tengah tantangan dunia
yang kadang sulit dijawab, bagaimana aku merumuskan
kisah imanku dan kisah iman sesama saudaraku?
b. Tangisan Ibunda Bumi. Panggilan kita di dalam dunia
dan Gereja adalah mewartakan kesatuan serta kesaling-
hubungan (interconnectedness) antara lingkungan
manusia dan lingkungan alam. Manusia pada umumnya
kurang menyadari akan relasi timbal balik ini,
bahwasanya, “kita tidak dapat secara memadai menangani
kemerosotan lingkungan alam jika kita tidak
memperhatikan sebab-sebab yang berkaitan dengan
kemerosotan manusia dan masyarakat” (LS 48).
15
Di hadapan tantangan ini, Gereja tentu tidak berdiam diri.
Gereja, yang dalam sifat keibuannya tanggap terhadap
situasi zamannya bahkan menempati garda terdepan
untuk “mempromosikan satu bentuk ekologi yang
sungguh-sungguh integral di mana semua ciptaan
dihormati, dilindungi dan diperlakukan secara pantas,
sementara manusia menempati posisi sesuai dengan
martabat yang diberikan oleh Allah” (MS 7).
Dalam konteks Indonesia-Timor Leste, panggilan kita
sejalan dengan panggilan Gereja Universal untuk
“memulai suatu proses pertobatan ekologis yang dapat
mendefenisikan kembali misi dan gaya hidup kita” (MS 8;
cf LS 216-232). Pertobatan ekologis ini terutama
membangun kesadaran ekologis akan hubungan timbal
balik yang inheren antara lingkungan manusia dan
lingkungan alam. “Tantangan terbesar bagi kita dewasa ini
adalah bagaimana kita bisa hidup bersaudara dan
memelihara alam yang kita diami” (MFL 1). Di hadapan
situasi ini, bagaimana usaha dan tanggung jawabku dan
komunitasku dalam mewartakan komunio antara manusia
dan seluruh ciptaan saat ini?
c. Kerinduan kaum miskin dan cita-cita akan keadilan.
Salah satu pilihan dan komitmen misioner-kemuridan kita
dalam “Berjalan, Menemani dan Menyembah Allah dalam
Roh dan Kebenaran” adalah mendengar (dan terutama
melakukan sesuatu) jeritan kaum miskin dan mereka yang
membutuhkan, yang hadir di hadapan kita dalam berbagai
bentuk. (cf. MS 9).
Saat ini wajah kemiskinan dunia hadir bukan saja dalam
bentuk kekurangan secara ekonomis: ketiadaan sandang,
16
pangan dan papan, melainkan juga melalui aneka bentuk
kesenjangan sosial dan perendahan martabat kehidupan
manusia, seperti human trafficking, dll (cf. MS 9). Lebih
daripada itu, ada kerinduan dan cita-cita akan keadilan
yang sulit diungkapkan dan diwujudnyatakan, lantaran
tidak menemukan sandaran untuk sekadar berharap.
Di tengah jeritan aneka bentuk kemiskinan itu, kita
dipanggil – seperti Yahweh yang mendengar jeritan dan
tangisan orang-orang Israel di Mesir (cf. Kel 3: 1-12) - untuk
terlibat dan mengusahakan langkah-langkah konkrit demi
terciptanya peradaban kehidupan yang lebih manusiawi.
Komitmen ini merupakan bentuk kesaksian “untuk
menolak pemujaan terhadap uang dan pasar dan
mempromosikan inklusi sosial kaum miskin, dialog,
perdamaian, keadilan dan pemeliharaan keutuhan ciptaan
(JPIC)” (MS 10).
Dalam konteks Indonesia-Timor Leste, sejauh mana
jeritan dan kerinduan kaum miskin serta cita-cita akan
keadilan tersebut terwujud dalam misi dan pelayanan kita
sehari-hari? Sesudah pengalaman “Berjalan, Menemani
dan Menyembah” sepanjang tiga tahun ini, bagaimana aku
dan komunitasku ditantang untuk semakin terlibat dalam
usaha untuk mewujudkan tata kehidupan yang lebih
manusiawi dan berkeadilan?
d. Pengalaman fragmentasi dan kerinduan akan
perdamaian dan rekonsiliasi. Ada banyak orang dewasa
ini yang mengalami fragmentasi. Fragmentasi ini terjadi
hampir pada semua lapisan masyarakat dan tingkatan
bidang kehidupan kita. Kita sendiri melihat dan
mengalami fragmentasi aktual dalam kehidupan politik.
17
Banyak orang tercabik-cabik dan terlempar dalam macam-
macam kelompok sesuai dengan interese mereka masing-
masing/kelompoknya sendiri (cf. MS 11).
Selain itu globalisasi dan neo-liberalisme, menyumbang
pada lahirnya eksklusivisme, diskriminasi dan
ketidaksetaraan. Di berbagai negara, hal ini telah
menyebabkan proses marginalisasi terhadap kaum miskin,
wanita dan anak-anak, perusakan lingkungan hidup,
rusaknya nilai-nilai budaya serta kebajikan-kebajikan
manusiawi, yang berimbas pada terjadinya pengalaman
keterpecahan yang semakin besar dan mendalam.
Pengalaman fragmentaris tersebut bukan hanya sebuah
pengalaman komunal, tetapi juga personal. Ada banyak
orang yang tinggal dalam pengalaman keterpecahan dalam
dirinya sendiri.
Berhadapan dengan itu, tumbuhnya rasa solidaritas
menjadi sesuatu yang sangat penting. Solidaritas ini
sesungguhnya merupakan sebuah caunter balik terhadap
eksklusivisme, marginalisasi dan ketidaksetaraan yang
dilahirkan oleh budaya fragementaris di atas (cf. MS 11).
Selain itu tumbuhnya semangat ekologis (lebih-lebih
sesudah Ensiklik Paus Fransiskus, Laudato Si), bahwa
sesungguhnya di antara semua makhluk ciptaan terdapat
jalinan keterkaitan sekaligus keterikatan satu sama lain
(interconnectedness). Pengrusakan terhadap salah satu
rantai kehidupan akan menimbulkan dampak yang
sifatnya vital terhadap makhluk-makhluk lain.
Di belakang macam-macam pengalaman fragmentasi ini
tersembunyi suatu kerinduan mendalam akan
18
persekutuan/communion. Kerinduan terdalam ini
mencakup segala tingkatan dan semua aspek kehidupan:
persekutuan yang bersifat antarspesies, antarras,
antaretnis, antarbangsa, antarkomunitas, baik tingkat
antar-pribadi maupun intra-pribadi. Berhadapan dengan
pengalaman fragmentasi dan kerinduan akan perdamaian
dan rekonsiliasi, bagaimana aku dan komunitasku
ditantang untuk semakin terlibat dan menemukan cara-
cara baru dalam pewartaan untuk mengatasi krisis ini?
e. Pengalaman kemerosotan nilai hidup. Dalam tatapan
mistik-profetik seorang misionaris, hidup adalah anugerah
Allah (cf. Yoh 10:10). Sebagai pelayan Sabda, panggilan
pertama dan utama kita adalah “membela dan memupuk
kehidupan” (MFL 2), sehingga tidak terciptanya
“kecenderungan kontradiktif: pertentangan antara budaya-
budaya yang peduli akan kehidupan dan budaya-budaya
yang menghancurkan kehidupan” (MS 14).
Selain kecenderungan kontradiktif tersebut, dewasa ini
pemerosotan terhadap nilai hidup manusia tampil macam-
macam bentuk seperti: kekerasan baik di sekolah maupun
di dalam keluarga, kebiasaan aborsi, euthanasia,
perdagangan manusia, terorisme, dll (cf. MLF 2).
Di hadapan pengalaman kelam ini, bagaimana ikhtiarku
dan komunitasku untuk semakin mengusahakan dan
memajukan cita-cita luhur kehidupan manusia yang
bermartabat?
f. Globalisasi dan Digitalisasi. Globalisasi dan digitalisasi
telah mengubah paradigma kita tentang dunia. Kita tentu
bersyukur atas kemajuan ini dimana sebagian pekerjaan
dan kerasulan kita dapat berjalan dengan baik berkat
19
kemajuan ini. Dalam situasi-situasi sulit seperti saat ini,
teknologi melahirkan solidaritas global dan
memungkinkan bentuk-bentuk baru kerasulan dan
pewartaan. Di pihak lain, penggunaan yang kurang
bijaksana alat-alat tekhnologi, terutama teknologi
komunikasi bisa memperbudak manusia sendiri.
Saai ini Gereja sedang berada dalam perkembangan
dahsyat akan teknologi digital yang karena kurang
pemahaman dalam penggunaan bisa menimbulkan kasus-
kasus; menciptakan kemalasan dan etos kerja yang rendah.
Hidup tanpa komitmen, relasi tanpa komitmen; kerasulan
tanpa komitmen, dll.
Panggilan kita sebagai pelayan Sabda di tengah arus
globalisasi dan digitalisasi ini adalah “menyadari tanda-
tanda kehadiran Allah dalam dunia digital, untuk
membagi pengalaman kita akan Injil dengan hukum
komunikasi baru dan melawan virus-virus manipulasi,
superfisialitas atau penurunan martabat pribadi” (MS 18).
Di tengah arus globalisasi dan digitalisasi ini, bagaimana
aku dan komunitasku ditantang untuk semakin
mengalami Allah dan menemukan metode serta keahlian
baru dalam mewartakan Sabda Allah?
3.1.3 Dunia dalam mimpi dan cita-cita mistik-profetik
seorang misionaris (cf. QA)
a. Mimpi Sosial
Sebagai pelayan Sabda kita dipanggil untuk menghidupi
kekhasan spiritualitas cordimarian dengan menunjukkan
“sikap-sikap saling menghargai dan mencintai satu sama
lain, memperlihatkan interes kita pada orang lain dan apa
yang dia lakukan” (MS 70-1). Kita berusaha untuk
2
0
mewujudkan “Gereja sebagai rekan seperjalanan” dengan
sesama saudara baik di dalam komunitas maupun dengan
orang-orang kecil, lemah, miskin, tersingkir, tergusur,
terlupakan serta dengan orang-orang yang sedang tinggal
dalam kerinduan untuk berjumpa dengan Allah. Kita juga
dipanggil untuk mewujudkan Gereja yang inklusif dan
“Gereja yang minum bersama” merayakan sukacita
keselamatan.
Apa dan bagaimana caraku dan komunitasku meretas
mimpi sosial ini di hadapan tantangan dunia saat ini?
b. Mimpi Budaya
Sebagai pelayan Sabda, kita dipanggil untuk terlibat “dan
mendorong agar setiap komunitas dalam Gereja lokal
terbuka untuk bekerjasama dalam proyek-proyek yang
melampaui batas-batas dioses-dioses lokal dan
terinkardinasi dalam media sosial dan dalam konteks
budaya masyarakat di mana komunitas tersebut berada
guna mentransformasikan realitas sesuai dengan
rancangan Allah, dan menawarkan kerjasama yang murah
hati, solidaritas dan bantuan kita.” (MS 70-2).
Dalam kemajemukan Indonesia dan Timor Leste,
bagaimana kisah iman menjadi medan perjumpaan antar
sesama rekan seperjalanan? Sesudah pengalaman Berjalan,
Menemani dan Menyembah, apa “mimpi budaya” bagiku
dan bagi komunitasku di hadapan kemajemukan yang ada?
21
c. Mimpi Ekologis
Mimpi ekologis ini sesungguhnya berangkat dari
keprihatinan ini, bahwa, kemerosotan lingkungan alam
kita hadapi saat ini tidak pernah terlepas dari sebab-sebab
yang berkaitan dengan kemerosotan manusia (cf. LS 48).
Di hadapan krisis yang menimpa ibunda bumi saat ini, kita
dipanggil untuk mewartakan pertobatan ekologis hingga
melahirkan kesadaran ekologis akan kesatuan dan
keutuhan manusia dengan alam semesta. Kesadaran akan
kesatuan inheren ini akan melahirkan harmonisasi
kehidupan. Sesudah Berjalan, Menemani dan Menyembah,
apa ‘mimpi ekologis’ bagiku dan bagi komunitasku dalam
ikhtiar merawat ibunda bumi, rumah kita bersama?
d. Mimpi Gerejawi
Kita, sebagai pelayan Sabda dipanggil untuk terus
mewartakan Kritus sebagai pusat seluruh sekolah
kemuridan kita (sequela Christi). Dia adalah wajah
kerahiman Bapa (cf. MV 2), yang berjalan dan menemani
seluruh petualangan missioner-kemuridan kita sehari-hari.
Kita juga dipanggil untuk “mendorong dialog ekumenis,
intercultural, intereligius dan sosial sambil memupuk
rekonsiliasi, pengampunan dan kedamaian” (MS 63-3).
Di hadapan tantangan gerejawi saat ini, apa dan
bagaimana caraku dan komunitasku meretas mimpi
gerejawi ini?
22
3.2 Delegasi Independen Indonesia-Timor Leste dalam
tatapan mistik-profetik seorang misionaris
3.2.1 Komunitas yang lahir dari Roh
Panggilan hidup bersama (convocation) menciptakan
komunitas. Ini sesungguhnya pendasaran teologis yang
paling dalam dari komunitas yang kita hidupi. Panggilan
menjadikan kita “sebuah keluarga baru dalam Roh yang tidak
didasarkan atas daging dan darah melainkan atas dasar cinta
dan pendengaran, penerimaan dan pewartaan Sabda Allah”
(MFL 38). Komunitas pertama-tama bukanlah buah usaha
dan kemampuan kita untuk berorganisasi melainkan
perjumpaan orang-orang yang disentuh oleh rahmat dan
panggilan yang sama.
Doa bersama dan terutama Ekaristi merupakan puncak
pengungkapan komunitas yang lahir dari Roh (cf. MS 26). Di
dalamnya kita menjadi saudara karena menerima hidup dari
nadi karismatis yang sama, pelayan Sabda Allah. Karisma
inilah yang menyatukan dan membentuk kita sebagai satu
keluarga. Di luar relasi karismatis ini kita hanyalah
segerombolan orang yang kebetulan berjumpa pada sebuah
ruang dan waktu tertentu.
Oleh karena itu, pemahaman dan terutama pengalaman
mistik-teologis akan komunitas yang lahir dari Roh
membantu kita untuk keluar dari “sikap acuh tak acuh,
keberadaan orang-orang yang tidak memedulikan orang lain
dan memisahkan diri dari mereka, berkelompok tanpa
berkomunitas dan individualisme apostolik” (MS 27).
Pengalaman convocation membantu kita untuk menyeberang
dari paradigma berpikir yang melihat komunitas hanya
sebagai tempat tinggal hingga durasi Surat Keputusan usai,
23
menuju komunitas yang matang dan inklusif yang dibangun
di atas dasar Injil dan warisan karimatis kongregasi. Satu
pertanyaan kecil untuk kita telisik lebih jauh dan dalam,
bagaimana aku dan komunitasku semakin memahami serta
mengalami komunitas sebagai satu organ hidup yang lahir
dari Roh?
3.2.2 Komunitas Saksi dan Pewarta Sukacita Injil
Warisan karismatis yang kita terima dari Bapa Pendiri kita
sekaligus yang membentuk identitas kita di dalam Gereja
adalah “pelayanan Sabda, yang lewatnya kita menyampaikan
seluruh Misteri Kristus kepada manusia” (Konst. 46).
Identitas karismatis ini adalah wajah yang kita tampilkan
kepada dunia baik sebagai pribadi, delegasi maupun
kongregasi. Ini adalah esensi panggilan sekaligus
menentukan cara berada kita sebagai Claretian.
Identitas karismatis kita di dalam Gereja ini sesungguhnya
satu dan sama. Identitas ini lahir sejak kongregasi menerima
karisma Pendiri (Founder’s charism) dan karisma pendirian
(founding charism). Akan tetapi karisma tersebut memiliki
bentuk pengungkapan yang berbeda-beda dari masa ke masa.
Dalam setiap discernment bersama kita berusaha untuk
menemukan apa “yang paling mendesak, tepat waktu dan
efektif” (Konst. 48), serta sesuai dengan konteks ruang dan
waktu agar cara kita berada menjawab tantangan tanda-tanda
zaman (cf. Konst. 48).
Pada zaman ini kita mengungkapkan identitas karismatis kita
sebagai “saksi dan pewarta sukacita Injil.” Melalui
discernment yang selanjutnya tertuang dalam proyek
komunitas, kita berusaha untuk “mengenal periferi-periferi
kemanusiaan yang terus menggugat kita di setiap tempat dan
24
untuk merangsang suatu perjalanan missioner” (MS 47).
Namun bagaimana hal ini bisa terjadi, apabila Action Plan
Delegasi yang merupakan pembacaan lebih lanjut dari Action
Plan Kongregasi tidak sepenuhnya terintegrasi dengan dan
dalam proyek komunitas? Bahkan jauh lebih buruk dari itu
ada komunitas yang tidak memiliki proyek komunitas (cf.
Open Letter General Visitor, 2018), bagaimana kita bisa
menjadi komunitas saksi dan pewarta sukacita Injil?
Kita semua ditantang untuk menggali lebih dalam akan
otentisitas identitas karismatis kita di dalam Gereja dan
berani keluar untuk menemukan bentuk-bentuk baru
pengungkapan identitas kita di tengah dunia yang diliputi
kecemasan dan ketakutan ini. Bagaimana usahaku dan
komunitasku untuk semakin memahami identitas
karismatis(ku/kita) di tengah Gereja dan dunia saat ini?
3.2.3 Komunitas yang setia menghidupi karisma dan terbuka
terhadap realitas-realitas baru (creative in fidelity)
Kita, misionaris yang lahir dari Roh dan yang dipanggil untuk
menjadi saksi dan pewarta sukacita Injil adalah organisme
hidup yang dipanggil dan diutus untuk menjadi protagonist
delegasi dan komunitas yang Berjalan, Menemani dan
Menyembah (cf. Surat Edaran Delegatus, 2019) melalui
karisma kita di dalam Gereja. Dengan demikian, “menjadi
komunitas adalah sebuah kata kerja dan bukan sekedar
nama. Menjadi komunitas merupakan suatu tindakan,
sebuah proses” (MS 69). Komunitas adalah tanda hidup dari
karisma yang memperkaya kehidupan Gereja karena di
dalamnya Roh yang dicurahkan ke atas Bapa Pendiri dihidupi
dan diteruskan dalam sejarah hidup.
25
“Claret berbicara mengenai rekan-rekannnya sebagai orang-
orang yang telah menerima roh yang sama yang telah
mendorong dia (bdk. Aut. 489). Kita adalah Claretian karena
kita juga telah menerima roh yang sama itu untuk
mewartakan Injil saat ini” (Pengantar Tahun Claretian). Roh
yang sama itu pulalah yang mendorong kita untuk selalu
kembali semangat awal dan menemukan cara-cara baru
dalam menghidupi karisma itu selaras dengan tuntutan
zaman. Di sinilah letak kesetiaan yang kreatif dalam
membaca tanda-tanda zaman yang memanggil kita untuk
bertindak dan mengambil sikap.
Kesetiaan kita kepada karisma ditunjukkan dengan
keterbukaan kita kepada karya Roh yang memanggil kita
pada konteks sosial-gerejawi tertentu. Namun bagaimana kita
bisa mendengar bisikan Roh yang menyapa kita untuk
terlibat dengan lebih efektif dan kontekstual (cf. Konst. 48),
jika keheningan dan doa baik pribadi maupun komunitas
kurang kita prioritaskan. Bagaimana kita bisa menjadi saksi
penerusan karisma melalui hidup dan kerasulan kita, jika
waktu untuk discernment bersama jarang kita adakan? (cf.
Surat Edaran Delegatus, 2019). Realitas kemiskinan, human
trafficking, ancaman fundamentalisme dan fanatisme sempit,
kemajukan yang berpontensi rasis, persekutuan dalam
ancaman fragmentasi sebagai satu keluarga (manusia dan
segenap citptaan) dll, adalah tantangan-tantangan baru yang
menuntut kita untuk menemukan bentuk dan ungkapan baru
akan karisma yang kita hidupi.
Kita dipanggil untuk menjadi sarana agar karisma itu
menemui kodrat penerusannya melalui hidup dan tindakan
kita. Yang Roh (karisma) butuhkan dari kita adalah
keterbukaan dan kecakapan rohani untuk dengan kreatif
2
6
menemukan bentuk-bentuk baru pengungkapan yang
menjawab kerinduan Gereja dan umat yang kita layani.
Dalam konteks delegasi Indonesia-Timor Leste, apa
panggilan yang paling urgen dan relevan untukku dan
komunitasku bila dibaca dari sudut pandang mandat Kapitel
General XXV dan Assembly Delegasi 2017? Bagaimana
usahaku dan komunitasku untuk semakin masuk dalam
gerakan ‘creative in fidelity,’ semakin berakar ke dalam dan
berani keluar untuk menjawab panggilan Allah dalam konteks
dunia saat ini?
27
yang positif dari karya kerasulan Delegasi kita, baik kerasulan
parokial maupun kategorial.
a) Kerasulan Parokial: makro kerasulan Delegasi umumnya
berpusat pada paroki. Kita telah membuka beberapa misi baru
seperti di pulau Kalimantan (Paroki St. Maria Immaculata
Palurejo- Keuskupan Palangkaraya, Paroki St. Mikhael Tanjung
Balai dan Kuasi Paroki Deski- Keuskupan Medan; meski terpaksa
melepaskan dua paroki: Tomok dan Onan Runggu). Selain itu
patut diapresiasi atas semangat, roh misionaris dan kesiapsediaan
para misionaris kita dalam melayani umat di berbagai tempat
misi. Kendatipun semangat “paroki yang keluar” bisa dilihat
melalui pelayanan ke kapela-kapela, pelayanan sakramen,
katekese, namun pertanyaan mendasar yang menggugat kita
sebagai misionaris adalah “how to be missionary parish”. Pelayanan
administrasi paroki, jadwal misa serta pelayanan sakramen tentu
saja tidak bisa kita hindari; ini tugas rutin parokial. Bagaimana
menerjemahkan “paroki yang berjalan” dalam semangat
“missionary parish” tentunya menuntut dinamika dan kreativitas
setiap anggota?
b) Kerasulan Komisi-Komisi: kerasulan pada tingkat komisi
mulai menunjukkan geliat yang cukup baik dan terprogram.
Komisi-komisi telah berusaha untuk mencari cara dan bentuk
kerasulan yang semakin efektif dan menjawab kebutuhan umat.
Tim-komisi diisi oleh orang-orang yang cukup kompeten dalam
bidangnya; adanya kursus-sekolah-animasi Kitab Suci oleh Tim di
beberapa Paroki Claretian, sebuah langkah konkret untuk
“mendaratkan” Kitab Suci; Kerasulan JPIC juga mulai membuka
jaringan kerjasama dengan jaringan-jaringan yang membela
kemanusian, khususnya berkaitan dengan human tracfking dan
kaum miskin (bergerak dalam bidang advokasi, karitatif sosial dan
animasi); Terselenggaranya Pekan Hidup Bakti tahunan di setiap
regio/keuskupan; Procura Misi mulai mengambil inisiatif untuk
2
8
menganimasi, mensosialisasi dan memfasilitasi misi-misi
2
9
Kongregasi. Namun, ada beberapa tantangan dan hal-hal yang
kurang diperhatikan selama ini adalah: kerasulan keluarga belum
diperhatikan secara serius, konsentrasi kerasulan kita masih
cendrung mengutamakan kerasulan parokial, masih minimnya
kreativitas, komitmen dan spirit of teamwork dari komisi-komisi,
serta belum maksimal mengembangkan dan membuka kerasulan
kategorial lainnya seperti evangelisasi melalui dunia digital-media
komunikasi sosial.
c) Kerasulan Kaum Muda dan Promosi Panggilan: Dalam satu
dekade terakhir pelayanan kaum muda dan promosi panggilan
sangat menggembirakan. Ada program, dinamika dan aktivitas
kaum muda dan panggilan baik di tingkat komunitas, regio,
Delegasi, dan Kongregasi seperti zona ASCLA East dan program
Kongregasi di tingkat pusat. Roh “Delegasi yang keluar” ikut
menyentuh dan merasuki kaum muda. Namun kesulitan dan
tantangan yang perlu diperhatikan ke depan adalah berkaitan
dengan realisasi atau follow up dari dinamika kaum muda ini.
Tentunya kita juga berharap agar misi ini tidak hanya berhenti
pada tataran “gathering and celebration”, tetapi ikut membawa
kaum muda untuk “berjalan-keluar” menyentuh realitas
kemanusiaan lainnya. Berkaitan dengan Komisi Promosi
Panggilan, pertama- tama kita patut bersyukur pada Tuhan atas
rahmat panggilan yang diberikan kepada Delegasi. Kita salut atas
kerja keras tim ini. “Delegasi yang keluar” perlahan diperlihatkan
juga oleh tim ini dengan kunjungan aksi panggilan ke pulau-
pulau. Kita tetap menaruh harapan besar kepada tim ini dan
semua anggota dalam komunitas untuk semakin menebarkan duc
in altum “jala panggilan” dan selalu mencari metode-metode baru
yang efektif. Orientasi panggilan kita bukan semata-mata
kuantitas; hendaknya sejak dini kita memberi perhatian pada
aspek kualitas. “Mass formation” itu bisa menjadi bom waktu yang
meledak dahsyat untuk hari esok Delegasi (Cf. Hasil Pertemuan
30
Mini-Assembly
31
Desember 2019 & Catatan Ahkir dari Pater Delegatus Indonesia-
Timor Leste).
Ahkirnya, secara ringkas, ada beberapa tantangan umum
yang mewarnai “gerak keluar” atau kerasulan Delegasi dalam tiga
tahun terakhir, sekaligus menjadi hal yang perlu diperhatikan
dengan baik di masa depan: 1) menumbuhkan dan meningkatkan
roh-gaya kemisionarisan-kekhasan Claretian dalam berbagai
aspek kerasulan; 2) menampakkan secara jelas karisma kita, yakni
pelayanan Sabda, dalam setiap dinamika misi kita; 3) menciptakan
gaya kerasulan yang kreatif, efektif dan berkualitas yang lebih
menjawabi kebutuhan dan tuntutan zaman; 4) meningkatkan roh
teamwork-aspek komunitas, dialog dan kerjasama (bukan single
fighter) dalam menjalankan setiap kerasulan; 5) meningkatkan
konsentrasi, keseriusan, kinerja, komitmen serta tanggungjawab
dalam bermisi; 6) menciptakan sebuah kerasulan yang lebih
terencana, terprogram, evaluatif dan berkesinambungan; 7)
menumbuhkan gaya-model kerasulan yang memberi ruang dan
peran bagi kaum awam, memberdayakan serta membentuk umat
menjadi agen-protagonist atau rekan dalam bermisi; 8)
meningkatkan harmonisasi, koordinasi dan kerjasama dengan
Gereja Lokal; sebuah kerasulan yang “sentire cum ecclesiae”; 9)
menciptakan dan membuka ruang kerasulan-kerasulan kategorial
yang menyentuh aspek kemanusiaan lainnya, bukan sebatas pada
kerasulan parokial; 10) meningkatkan kerasulan atau evangelisasi
dunia digital atau media komunikasi sosial.
32
kongregasional yang menjadi inspirasi bagi kita untuk mencapai
“Kedewasaan dan kematangan kerasulan yang berakar ke dalam
dan berani keluar” dalam Delegasi kita ke depan:
33
sebuah Gereja pewarta, terpanggil untuk mengkonfrontasi secara
konstan dengan kedalaman dan kekayaan
34
Injil; sebuah Gereja yang siapsedia keluar dari zona nyaman (EG
20); sebuah Gereja yang ber-duc in altum agar dapat menjala ikan
yang berlimpah. Demikianpun Paus Fransiskus tidak
menghendaki sebuah Gereja autorefensial, melainkan sebuah
Gereja yang membawa “sukacita injili” bagi seluruh dunia: “Saya
lebih menyukai Gereja yang memar, terluka dan kotor karena telah
keluar di jalan- jalan, daripada sebuah gereja yang sakit karena
menutup diri dan nyaman melekat pada rasa amannya sendiri.
Saya tidak menginginkan Gereja yang berambisi menjadi pusat dan
berakhir dengan terperangkap dalam jerat obsesi dan prosedur…;
(EG 49).
Gerak roh kerasulan Gereja dalam beberapa tahun terahkir
mendorong Gereja dan segenap pengikut Kristus untuk menjadi
saksi dan pembawa sukacita Injil (Evangelii Gaudium), menghayati
panggilan universal kepada kekudusan dalam dunia modern
(Gaudete et Exultate), dibaptis dan diutus menginjil dunia (Pesan
Minggu Misi Sedunia Oktober 2019), serta menumbuhkan “misión
consciousness” bagi setiap anggota Gereja (Yubelium 100 tahun
Maximum Illud). Selain itu, kerasulan Gereja dewasa ini memberi
perhatian yang serius-khusus bagi keluarga-keluarga kristiani
(Amoris Laetitia) dan kaum muda (Christus Vivit), serta
menelusuri jalan baru evangelisasi dan kepedulian terhadap
lingkungan, budaya, serta orang-orang miskin (Querida
Amazonia).
35
merasa nyaman dan puas dengan hanya memimpin misa dan
melayani sakramen; Claret menyadari bahwa Allah memanggil
dan
36
mengutusnya untuk menjadi pewarta Sabda yang meretas batas-
batas parokial, membawa sukacita Injil kepada semua orang dan
segala bangsa, khususnya pertobatan bagi para pendosa,
pembebasan bagi mereka yang tertindas dan kabar baik bagi
mereka yang sakit dan miskin (cf. Aut. 110, 111).
Claret memahami kata "Misionaris" sebagai karya
evangelisasi, mewartakan Sabda Allah, sebagaimana dihidupi oleh
para nabi, sembari mengesampingkan struktur-birokrasi pastoral
dan sakramental. Baginya, kata misionaris berkaitan erat dengan
Pribadi Kristus: Yang Diurap dan Diutus; Yesus Kristus adalah
"Cabeza de los misioneros" (Kepala dari para misionaris).
Kesadaran kristologis inilah yang terus menggerakan Claret untuk
menyerupai Kristus, menyatukan dirinya dengan-Nya, mengikuti
dan menderita bersama-Nya demi pewartaan Sabda Allah. Claret
merasa terpanggil untuk menyerupai seutuhnya Yesus yang
mewartakan Kabar Baik, berjalan dari satu tempat ke tempat yang
lain, dan bahkan berpuncak pada pengorbanan di Salib. Claret
mengidentifikasikan dirinya sebagai “misionaris apostolik”, yang
menjiwai seluruh gerak kerasulannya dengan passion-kegairahan
akan Sabda Allah, keterbukaan dan kesiapsedian untuk diutus,
kesaksian hidup injili dan keberpihakan terhadap mereka yang
lemah, miskin dan menderita.
Claret menyadari bahwa seorang misionaris hendaknya
berusaha menggunakan sarana-sarana yang kreatif dan efektif
agar kerasulan menghasilkan buah, misalnya: doa, katekese,
homili, latihan rohani St. Ignasius, buku dan gambar rohani,
pamflet, etc. (cf. Aut. 246-371). Selain itu, Claret menghayati
kebajikan- kebajikan yang diperlukan bagi seorang misionaris agar
kerasulannya menghasilkan sukacita injil bagi semua orang,
seperti kerendahan hati, kemiskinan, kelembutan hati, kesopanan,
matiraga, cinta kasih kepada Allah dan sesama (cf. Aut. 344-543).
37
4.1.2.3 Bercermin pada “Roh Kerasulan Kongregasi”
“Kita adalah Misionaris.” Misi merupakan inti identitas
dasariah kita. Kita telah menerima dari Roh Kudus karisma yang
menyatukan kita dengan Yesus dan menyatukan kita dengan Para
Rasul, dalam persatuan hidup, mengabdikan diri sepenuhnya
kepada Bapa dan Kerajaan-Nya (MS 1, cf. Konst. 3-4). Seperti
Claret, kita telah diurapi untuk mewartakan Kabar Baik kepada
kaum miskin. Kita ada untuk menghidupi misi di tengah umat
Allah. Karena itu, misi memiliki makna lebih dari sekadar
pelayanan yang kita jalankan: merupakan inti sari panggilan kita
(MS 2; cf. MFL 37). Seperti Gereja (cf. EN 14), arti hidup kita
bersumber pada misi: untuk mencari dan memastikan bahwa
Allah Bapa dikenal, dicintai, dilayani dan dimuliakan oleh semua
(Cf. Konst. 40, Aut. 233). Itulah sebabnya, setiap Claretian perlu
menumbuhkan “misión consciousness”: alasan utama keberadaan
kita dalam Gereja adalah Missio Dei (cf. Pertemuan Dewan Jendral
dan Para Superior Mayor, Chile 2020).
Panggilan khusus kita di tengah umat Allah adalah
pelayanan Sabda (Konst. 46). Untuk memenuhi misi ini, para
misionaris kita hendaknya menggunakan semua sarana yang
mungkin; dan terutama harus mengembangkan dalam diri sendiri:
rasa tergerak hati untuk menyadari akan hal yang paling
mendesak, tepat waktu dan efektif; rasa kesiapsediaan untuk
diutus dan rasa kekatolikan untuk pergi ke semua ujung bumi dan
terbuka terhadap semua ras, suku, budaya dan agama (Konst. 48).
Setiap misionaris dipanggil untuk "melupakan bangsa dan seisi
rumah ayahnya", keluar dari kenyamanan budaya sendiri, sembari
rendah hati mempelajari kekayaan budaya setempat. Bermisi
hendaknya membawa pelita Kristus melalui "pintu rumah mereka"
(budaya) sehingga dapat menerangi semua mereka yang di dalam
rumah. Misi berbasiskan budaya menjadikan seorang misionaris
"satu-
38
sejiwa" dengan mereka dan menjadi bagian dari kerabat mereka,
bukan lagi dianggap sebagai seorang asing (cf. MI 18; Konst. 49).
Ahkirnya, dalam terang Surat Edaran Pater Superior Jendral
P. Mathew Vattamattan,CMF, Claretian Missionaries Called to
Radiate the Joy of Gospel, kedewasaan dan kematangan kerasulan-
berjalan, menemani dan menyembah akan dicapai jika mampu
mengatasi virus-virus yang menggerogoti para misionaris dalam
menjalankan karya misi di tengah dunia sekarang: Keduniawian
spiritual (klerikalisme, karirisme, kemulian yang sia-sia, psimisme,
mentalitas bisnis, status sosial), aktivisme dan kelelahan,
keduniawian digital, gosip, individualisme pastoral, pemikiran
dualistik dan rasionalistik yang berlebihan. Virus-virus ini
seringkali melemahkan dan menghambat kematangan-
kedewasaan hidup kerasulan para misionaris dewasa ini. Maka,
Pater Jendral menghimbau kepada setiap Misionaris Claretian
untuk meningkatkan kompetensi dan karunia demi pewartaan
sukacita Injil dewasa ini, yakni: sikap discernment (misionaris
yang ber- Roh), sikap mendengarkan, kesiapsiagaan, senyuman-
kegembiraan, sikap apresiatif terhadap orang lain, pemikiran
holistik-komprehensif, penghayatan kebajikan-kebajikan
misionaris Claretian, kapasitas mengintegrasikan kesuraman,
perawatan diri yang integral, dan saling mendoakan satu sama
lain. Sikap-sikap ini dapat menjadi “vitamin-nutrisi” yang
menyuburkan, menyehatkan, menguatkan dan mendewasakan
kerasulan kita di tengah dunia masa kini.
4.1.3 Sasaran-Prioritas
Setelah mencermati realitas dan tantangan kerasulan
Delegasi Claretian Indonesia-Timor Leste selama tiga tahun
terakhir ini, serta diinspirasi dalam terang roh dan semangat
Kerasulan Gereja dan Kongregasi, maka yang menjadi sasaran-
prioritas-impian utama bagi Delegasi kita untuk tiga tahun ke
39
depan adalah tercapainya sebuah “kedewasaan-kematangan
Kerasulan yang berakar ke dalam dan berani keluar”. Maka,
untuk mencapai impian-sasaran utama ini diperlukan mencari
dan menemukan sikap-sikap dan cara-cara baru dalam kerasulan
kita, yakni:
1. Mendorong kepada pertobatan pastoral sejati:
meninggalkan sikap-sikap lama dan virus-virus yang
menggerogoti, melemahkan dan menghambat panggilan
dan misi kita sebagai pembawa dan saksi sukacita Injil.
Selain itu, pertobatan pastoral mendorong kita untuk
menemukan cara-cara yang baru, kreatif, efektif dan
berkualitas dalam karya pastoral sehingga sungguh
menjawabi tanda-tanda zaman (cf. MS 67)
2. Menumbuhkan dan mengafirmasi dimensi
“kemisionarisan” kita dalam seluruh aspek kerasulan.
Secara khusus, mendorong misi-misi parokial kita menjadi
“a missionay parish”.
3. Mengejawantahkan dan menghadirkan kekhasan karisma
kita sebagai Pelayan Sabda dalam berbagai aspek
kerasulan: paroki, keluarga, anak-anak, kaum muda atau
kerasulan kategorial lainya. Oleh karena itu, formasi Kitab
Suci baik bagi para Claretian maupun awam (agen-rekan
pewarta) perlu diperhatikan lebih serius.
4. Mendorong terciptanya kerasulan-kerasulan kategorial
yang menyentuh dan berorientasi pada persoalan atau
kebutuhan zaman sekarang seperti yang berkaitan dengan
bidang kemanusiaan: kemiskinan, imigran-human
tracfiking, persoalan ekologis, epidemic-pandemik,
persoalan keadilan sosial, promosi culture of life, etc.
5. Mendorong pemanfaatan dunia digital atau media
komunikasi sosial sebagai sarana pewartaaan kerasulan
atau pelayanan Sabda. Untuk itu, perlu memformasi dan
4
0
membentuk orang-orang dan tim-tim untuk menginjil
melalui media komunikasi (cf. MS 67)
6. Mendorong terciptanya sebuah “sinodalitas kerasulan”:
perlunya teamwork, dialog, kerjasama, koordinasi,
partisipasi dan keterlibatan bersama (baik di antara
kalangan internal Claretian maupun dengan kalangan
eksternal- awam dan Gereja Lokal); maka perlunya formasi
bagi kaum awam agar menjadi agen-protagnista kerasulan,
serta membuka jaringan dan kerjasama yang baik dengan
semua komponen dalam masyarakat.
7. Mendorong terciptanya sebuah kerasulan yang “mandiri”;
perlu memformasi-memberdayakan umat yang kita layani
agar mereka secara perlahan mulai menjadi agen-
progonista-misionaris dalam setiap karya kerasulan; selain
itu, perlunya menciptakan dan memberdayakan ekonomi
kreatif yang membawa kesejahteraan hidup bagi mereka,
sekaligus mereka bisa mandiri (secara ekonomis-finansial)
untuk menjalankan setiap karya kerasulan, tidak
sepenuhnya lagi bergantung pada Delegasi atau
Kongregasi.
8. Semua dan setiap kita akan mendorong pertumbuhan
panggilan (cf. Konst. 8). Hendaknya gaya kerasulan-
pelayanan dan kesaksian hidup setiap Claretian menjadi
daya atraktif yang mendorong dan menarik kaum muda
untuk memilih panggilan hidup sebagai Claretian;
hendaknya setiap karya kerasulan kita selalu berdimensi
vokasional (cf. MS 68). Selain itu, khususnya tim promosi
panggilan, perlu mencari cara-cara dan metode-metode
baru yang lebih efektif dan menarik dalam kerasulan
promosi panggilan, serta lebih berorientasi pada aspek
kualitas daripada kuantitas.
41
4.1.4 Pertanyaan Refleksi
4.2 KOMUNITAS
4.2.1. Realitas dan Tantangan
4.2.1.1 Sebagai komunitas misionaris
Kita adalah komunitas misionaris. Komunitas
misionaris adalah persekutuan orang-orang yang menerima tugas
perutusan dari Allah dan berinkarnasi dalam Gereja universal
serta Gereja lokal (CG. XVIII). Ada dua kondisi nyata yang kita
hadapi dalam konteks Delegasi. Pertama, kehadiran kita pada
Gereja lokal membangun suatu interaksi dan jalinan kerja sama
dengan Gereja lokal. Kita hadir dan berkarya pada sebuah wilayah
pastoral Gereja setempat yang dipercayakan oleh pimpinan
ordinaris wilayah Gereja lokal. Pada saat yang sama, kita dituntut
untuk mengkolaborasikan program kerja Gereja lokal dengan
42
karisma
43
Kongregasi kita. Implementasi dari kehadiran kita pada wilayah
Gereja lokal dihadirkan secara nyata dalam karya-karya komunitas
setempat. Tantangannya adalah soal bagaimana
mengimplementasikan karisma Kongregasi dalam konteks Gereja
lokal. Apakah ada benturan-benturan yang terjadi dalam
pengimplementasian program kerja komunitas dengan semangat
Gereja lokal? Kedua, mengingat kian bertambahnya jumlah
anggota misionaris dari tahun ke tahun, berdampak pula pada
bertambahnya jumlah komunitas-komunitas kita serta model-
model kerasulan baru dalam wilayah Delegasi ini. Apakah kita
telah siap beranjak menuju suatu tahap kemandirian Delegasi
dalam aspek-aspek kehidupan yang lain atau cukup dengan
memprodusir jumlah anggota-anggota baru dan mengirimkan
tenaga-tenaga misionaris ke wilayah provinsi lain?
4
4
4.2.1.3 Komunitas multikultural
Satu fakta hidup bersama yang kita bangun sebagai
misionaris dalam Delegasi Indonesia-Timor Leste adalah
persekutuan dengan semua orang dari berbagai suku bangsa,
budaya dan bahasa. Kita dilahirkan dan dibesarkan dalam
kebersamaan yang majemuk, antara orang Indonesia dengan suku
India, dengan suku Spanyol, Itali, Afrika, dan sebagainya dalam
sebuah discernment misionaris (MS no.78). Tantangannya adalah
bagaimana setiap anggota merasa terpanggil untuk saling melayani
dalam komunitas dan menerima serta menghargai perbedaan-
perbedaan pada setiap pribadi (karakter dan temperamen) sebagai
suatu kekayaan komunitas, ketimbang menjadi ajang perselisihan.
45
2. Sebagai komunitas doa; kita sadar bahwa kita
dipanggil bersama oleh Tuhan dan dipersatukan
dengan-Nya. Oleh karenanya, kitapun bersama-sama
menyembah-Nya dalam persekutuan itu (cf. CG.
XVIII, hal 14; Kis 2:44-47) dalam komunitas.
3. Sebagai komunitas pewartaan; kita sadar bahwa kita
dipanggiil untuk suatu tugas menginkarnasikan Injil
kepada segala bangsa berdasarkan gaya hidup kita
yang disepadankan dan diekspresikan sesuai
konsekrasi hidup komunal, atas kesucian, kemiskinan
dan ketaatan (cf. CG. XVIII, hal.14).
4. Sebagai komunitas aspotolik; kita dipanggil untuk
membangun persekutuan hidup yang diikat oleh
semangat St. Antonius Maria Claret, Bapa Pendiri kita.
Semangat Bapa Pendiri bukanlah sesuatu yang statis,
kuno, melainkan berkembang dalam persekutuan
hidup itu dan dapat dikembangkan dalam cara-cara
baru (kontekstual).
4
6
mengalir,
47
rahmat dibagikan, rasa percaya dan kebebasan
berkembang, sukacita Injil merasuki semua orang,
pengampunan dan rekonsiliasi menyembuhkan luka-
luka kita, tanpa menyudutkan atau mengasingkan
seseorang yang jatuh dalam perkara-perkara sullit.
Alam persekutuan itu tetap terpelihara, manakala
semua orang merasa diperhatikan, diterima dan ikut
ambil bagian bersama komunitas.
2. Kita mendorong komunitas-komunitas kita agar
mampu menginkarnasikan Injil itu dalam semangat
/karisma Pendiri dengan Roh Gereja Lokal, kevikepan-
kevikepan, regio-regio Gereja di mana kita berkarya
dan juga dengan Gereja Universal. Di mana
komunitas- komunitas kita berada, harus mampu
mentransformasikan realitas sosial sesuai dengan
rencana Allah dan kebutuhan manusia yang
dilayaninya (cf. CG XVIII. 54).
3. Kita ditantang untuk memajukan keindahan
komunitas dan mengaktifkan kembali perjanjian
persaudaraan kita (cf.MFL 16-17, 56) sehingga
dihindari sikap acuh tak acuh dan memisahkan diri
dari kebersamaan, berkelompok tanpa komunitas dan
individualisme apostolik.
4. Keindahan hidup komunitas itu pula menuntut suatu
seni mendengarkan (di dalam maupun di luar
komunitas), kepekaan terhadap sesama dalam
kebutuhan hidupnya, sehingga setiap orang merasa
diterima dan diikutsertakan dalam komunitas dengan
sikap transparansi dalam pembagian harta milik
bersama. Dalam sikap yang demikian, Roh itu
membimbing kita untuk hidup dalam persaudaraan
4
8
yang penuh sukacita dan transparansi akan Kerajaan
Allah (MS 27).
5. Kita dituntut agar setiap komunitas membuat proyek
komunitas (visi-misi) dalam semangat discernment,
doa dan kebersamaan. Dengan mempertimbangkan
kesibukan setiap anggota, perlulah ditetapkan saat-
saat untuk duduk bersama, saling mendengarkan,
melihat kembali atau mengevaluasi irama hidup
bersama. Momen-momen bersama itu merupakan
saat-saat penting dalam arah gerak pencapaian tujuan
bersama (cf. CG XXV, 70).
6. Persekutuan yang kita bina bersama dalam komunitas
mendorong setiap pribadi untuk mengejewantahkan
karisma bersama, karena komunitas menghayati dan
menghidupi spiritualitas Kongregasi. Dalam kaitan
dengan itu, kita mesti berhati-hati dalam praktek
kesalehan hidup pribadi yang jauh dari common sense
dan bertentangan dengan semangat hidup bersama
(cf. Surat Eedaran Delegasi 2018, no. 29).
7. Dalam membangun gerakan bersama untuk tugas
pastoral dan misioner kita, diperlukan konsolidasi dan
kolaborasi antar-komunitas yang terbuka dan kreatif
bahkan juga dengan mereka yang hidupnya berbeda
yaitu para pelaku pastoral, katekis, penyuluh dan
sebagainya) sehingga kita membentuk suatu keluarga
Claretian (CG.XXV.57).
4
9
2. Apa saja wujud dari konsolidasi dan kolaborasi
ke dalam dan ke luar yang sudah terbangun?
3. Bagimana masalah-masalah komunitas dapat
diatasi bersama?
4. Apa saja realitas dan faktor yang menghambat
kematangan dalam hidup berkomunitas?
5. Apa saja langkah-langkah yang perlu dibangun
agar komunitas kita ke depan mencapai
kematangan dalam berbagai aspek?
4.3 EKONOMI
4.3.1 Realitas dan Tantangan
4.3.1.1 Sistem ekonomi yang bergantung
Delegasi kita telah memasuki usianya yang ke-30 tahun.
Usia yang demikian adalah tanda kedewasaan dan
kemandirian. Faktanya, kita masih menerima asupan
perhatian dan bantuan ekonomi dari pemerintah
General guna mensuplai hidup rumah-rumah formasi
dan proyek-proyek kerasulan Delegasi. Karya-karya
kerasulan kitapun masih bergerak pada lingkaran
periferi-periferi masyarakat miskin. Banyak kerja, tapi
sedikit pemasukan. Kondisi ini meninggalkan beban
besar bagi Delegasi, sekaligus bagi Kongregasi. Oleh
karena itu, guna mendukung karya-karya kerasulan
komunitas dan Delegasi, kita masih tetap berharap pada
uluran tangan pemerintah General. Ini tanda yang nyata
bahwa secara ekonomi, kita belum mandiri. Selama tiga
puluh tahun berjalan, Delegasi ini hidup dalam
ketergantungan pada Fundus atau nilai tukar dollar.
Masalah terbesar dari soal kemandirian ekonomi
Delegasi adalah ketiadaan sumber-sumber potensial
yang memberi harapan bagi masa depan Delegasi ini.
50
Pertanyaanya adalah di mana
51
dan bagaimana mengelola sumber-sumber potensial
ekonomi Delegasi guna mencapai kemandirian dalam
Delegasi ini?
52
kita akan hal ekonomi bersumber pada semangat Injil dan
teladan Bapa Pendiri kita. Pada Sabda Bahagia dikatakan,
“Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena
merekalah yang empunya Kerajaan Allah....Jika engkau
menjadi sempurna, pergilah, juallah apa yang kau miliki,
dan berikanlah itu kepada orang miskin dan datanglah
kemari dan ikutlah Aku.. Tidak ada orang yang dapat
menjadi murid- Ku jikalau ia tidak melepaskan segalanya”
(cf. Mat 5:3; Mrk 19:21; Luk 14:23).
Dalam pemahaman dan penghayatan kemiskinan,
Bapa Pendiri juga menulis: “Saya tidak punya uang, tetapi
saya juga tidak membutuhkannya. Cukup jelas bagi saya
bahwa Allah menghendaki agar saya tidak punya uang, tidak
menerima apapun selain makanan untuk saat itu tanpa
pernah menerima bekal apapun untuk dibawa dari sini ke
sana. Saya tahu bahwa orang-orang sangat terkesan dengan
sikap tidak terikat ini, dan itulah sebabnya saya bertekad
untuk tetap berpegang pada sikap itu. Untuk meneguhkan
hati, saya mengingat ajaran Yesus Kristus yang saya
renungkan terus-menerus, terlebih kata-kata Yesus,
“Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah.” (cf.
Auto 361-362).
“Dengan semangat sukacita kemiskinan Injil, Delegasi
mengupayakan secara bertanggung jawab ekonomi yang
mandiri, partisipatif, berbagi dan transparansi sesuai kriteria
hidup religius” (CC.108; Dir. 68; MS. 50, 52, 3,4; 71; MMBM 2,
1, 6; 2,2,6, Action Plan Delegasi 2017).
53
itu:
54
1. Kita mendorong Delegasi untuk menemukan
sumber-sumber paten ekonomi yang menjadi
kekuatan asupan kehidupan bersama di masa
depan, sekaligus menekan tingkat
ketergantungan Delegasi pada ekonomi General
dari tahun ke tahun.
2. Kita mendorong Delegasi menemukan dan
merancang strategi-strategi khusus yang dapat
meningkatkan sumber-sumber pendapatan
ekonomi Delegasi dalam rangka kemandirian
ekonomi.
3. Kita mendorong setiap komunitas untuk
bertanggung jawab mengoptimalkan sumber-
sumber potensi ekonomi lokal agar berproduksi
maksimal dan juga dapat memberi kontribusi
bagi kehidupan Delegasi.
4. Setiap komunitas memiliki kesadaran untuk
merawat aset-aset komunitas dan
mengembangkannya dalam upaya peningkatan
ekonomi komunitas dan Delegasi. Membiarkan
atau menelantarkan asset-aset komunitas atau
Delegasi merupakan sikap yang bertentangan
dengan praktek kemiskinan.
5. Setiap komunitas menyusun budget sesuai
kebutuhan, tertib laporan pertanggungjawaban
secara transparan pada setiap sidang komunitas
dan Delegasi.
6. Kita mendorong setiap pribadi dan komunitas
untuk meningkatkan etos kerja manual sebagai
wujud dari pemahaman dan penghayatan kaul
kemiskinan kita.
55
7. Menciptakan budaya solidaritas silang antar
komunitas dalam Delegasi, agar komunitas-
komunitas yang hidupnya jauh dari standar
kelayakan, mendapat asupan perhatian dan
dukungan finansial sehingga mereka mencapai
kegembiraan dan sukacita Injil.
56
4.4 KEPEMIMPINAN
4.4.1 Realitas dan Tantangan
4.4.1.1 Kepemimpinan yang “Berjalan.” Mimpi Kepemimpinan
yang “Berjalan” adalah mendorong dan membimbing
saudara-saudara kepada satu kehidupan dan kegiatan
missioner yang kuat (cf. Konst. 104), sambil mendengar
dengan penuh perhatian tangisan dari berbagai periferi
kehidupan di mana dan apa yang paling penting dan
mendesak dari misi dan pelayanan kita saat ini.
Dari kisah “Berjalan” bersama sepanjang tiga tahun ini,
sebagai Delegasi, komunitas maupun pribadi, kita telah
menunjukkan seni ber-discernment dan komitmen untuk
“keluar” dari dan menuju kepada “periferi-periferi” baru,
seperti misalnya mewujudkan mimpi co-pendiri, P. Jose
Xifre untuk bermisi di Borneo dan keluar dari P. Samosir.
Meskipun demikian, kepemimpinan adalah sebuah seni.
Seni memimpin diri sendiri, komunitas maupun delegasi.
Rupanya tidak semua orang memiliki seni memimpin ini.
Delegation Action Plan dan Community Project belum
sepenuhnya diimplementasikan serta diintergrasikan ke
dalam komunitas, bahkan ada komunitas yang tidak
memiliki community project (cf. Open Letter of General
Visitor, 2018)
4.4.1.2 Kepemimpinan yang “Menemani.” Cita-cita
Kepemimpinan yang “Menemani” ialah berusaha untuk
menghidupi semangat kepemimpinan injili, yang
memimpin dengan melayani dan berada bersama saudara-
saudari yang ditemaninya (cf. Action Plan Delegasi 2017-
2020). Mimpi kepemimpinan yang “Menemani” selama
tiga tahun ini menemukan jawabannya dalam usaha
untuk menganimasi, mengupayakan dan memimpin
organime (cf. Open Letter of General Visitor, 2018) serta
57
kesadaran
58
untuk solider (seperti pathos Allah sendiri), dengan
sesama saudara (inward focus) dan umat yang dilayani
(0utward focus), bahwasanya struktur pelayanan dalam
Kongregasi kita seperti ”komunitas, ekonomi dan
kepemimpinan” bukan dimengerti sebagai “inferior-
superior, atasan-bawahan, hambatuan”, tapi sebuah
panggilan untuk saling menemani. Menjadi teman bagi
yang lain.” (Circular Letter P. Delegatus, 2019). Meskipun
demikian, cita-cita ini tak selalu mendarat mulus pada
kenyataan hidup. Konteks geografis kepulauan dan ragam
budaya dengan empat zona waktu berbeda ditambah
dengan macam-macam tugas pokok lainnya, tidak saja
menciptakan jarak dan intensitas kesibukan; tetapi juga
godaan untuk jatuh ke dalam eksklusivisme kultur yang
pada saat yang sama memburamkan kultur karismatis kita
sebagai Claretian (cf. Open Letter General Visitor, 2018).
Tak hanya itu, “menemani” pun terkadang menemuni
jalan buntu, lantaran sesama saudara menjadi “teman”
yang sulit diatur (cf. Laporan Komunitas – Yearly
Delegation Assembly 2019).
5
9
tantangan. Ada komunitas yang kurang memberi
perhatian pada kegiatan-kegiatan komunitas dan aktivitas
spiritual seperti misalnya: doa bersama komunitas,
pertemuan komunitas serta rekoleksi bulanan komunitas
(cf. Open Letter of General Visitor, 2018; Circular Letter P.
Delegatus, 2019).
6
0
sehari-hari agar membantu untuk melihat dan
bertindak sesuai dengan nurani Allah.
3 Mengusahakan dan mewujudkan tugas
kepemimpinan dalam semangat servant leadership
model (memimpin dengan melayani) untuk
membimbing saudara-saudara agar semakin
menemukan kematangan dan setia berakar pada
karisma serta berani keluar (creative in fidelity) untuk
menjawab tantangan dan panggilan Allah melalui
tanda-tanda zaman saat ini.
4 Memperkuat hubungan kerja antara struktur-struktur
yang menerima amanah dan tugas kepemimpinan
untuk membangun tugas koordinasi serta kolaborasi
yang lebih baik dalam menganimasi dan mendorong
saudara-saudara ke dalam kehidupan missioner
Claretian yang otentik.
5 Mendorong setiap komunitas dan anggota untuk
memiliki proyek komunitas serta proyek pribadi
sebagai panduan dan alat ukur untuk menilai sejauh
mana komunitas dan anggota searah dengan
panggilan Kongregasi dan Delegasi.
6 Mengadakan pertemuan formatif dalam rangka
memberi latihan model kepemimpinan religius-
misionaris bagi para pemimpin komunitas lokal.
61
3 Bagaimana fungsi koordinatif, kolaboratif, dialogal
dalam kepemimpinan baik komunitas maupun
delegasi selama ini berjalan?
4 Bagaimana saya menilai kapasitas kepemimpinan
dalam diri saya sendiri (seni memimpin diri sendiri)?
5 Bagaimana kematangan sebuah Delegasi dari
perspektif kepemimpinan yang bisa membantu
anggota/delegasi untuk berlangkah ke tahap
selanjutnya?
4.5 SPIRITUALITAS
4.5.1 Realitas dan Tantangan
Identitas kita adalah misionaris (cf. MS 1). Misi merupakan
inti sari panggilan kita dan menandai spiritualitas kita dan
mengorientasi seluruh proses formatif (cf, MS 2). Sebagai suatu
kerangka referensi, spiritualitas kita haruslah berakar lebih dalam
pada pemahaman tentang misi. Keberadaan kita dan pilihannya
pada bentuk evangelisasi merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari spiritualitas Claretian (SH 52). Pemahaman dasariah yang
selalu menyadarkan kita adalah bahwa hidup Claretian adalah
hidup karismatik karena digerakan oleh Roh Allah sendiri dan
karunia Roh itu membuat kita berpartipasi secara penuh dalam
misi Gereja (cf. MS 3, MMBM 2.2.3). Gereja dalam karya misinya
membutuhkan misionaris yang memiliki Roh yang di dalamnya
api berkobar (cf MS 23). Maka para misionaris dengan Roh tentu
hidup dengan suatu spiritualitas yang serius dan dalam, secara
pribadi dan komunitas.
Selama tiga tahun terakhir ini Delegasi telah
mengupayakan agar kita semakin mampu hidup dalam pimpinan
Roh dengan dan dalam menyembah Allah dalam kebenaran,
seturut iman Kristiani, dengan menghidupi spiritualitas kita,
berdasarkan karisma yang diwariskan oleh Bapa Pendiri. (MS 73,
6
2
74; MMBM 2.1.2, 2.2.2, 2.3.2; MMBM 3.3). Usaha itu telah
membawa beberapa perkembangan yang positif tetapi juga
meninggalkan beberapa catatan yang masih perlu diperhatikan.
Sebagai Misionaris yang dipimpin oleh Roh, kita
menyembah Allah dalam kebenaran, seturut iman Kristiani,
dengan menghidupi spiritualitas kita, berdasarkan karisma yang
diwariskan oleh Bapa Pendiri (MS 73, 74; MMBM 2.1.2, 2.2.2, 2.3.2;
MMBM 3.3. Spiritualitas).
63
meremehkan roh misionaris. Inilah yang membuat
rencana dan karya kita menjadi kumpulan aktivitas.
Selain itu lemahnya semangat misionaris dalam formasi
juga menjadi tanda bahwa spiritualitas caminare
misinoris belum sepenuhnya menjadi milik semua
orang. Nampaknya ada orientasi pribadi yang
tersembunyi yang seharusnya dibongkar sejak dini.
Kita sedang menagalami suatu tantangan global
panggilan hidup bakti yakni adanya pergeseran dari
self-sacrifice kepada self-satisfied. Hal ini menjadi tanda
melemahnya passion for Christ – passion for humanity.
(cf. Catatan Assembly Tahunan Delegasi 2019 oleh
Superior Delegatus, no. 20).
d. Untuk mejalankan kehidupan spiritual yang
berkesinambungan maka diperlukan perencanaan yang
matang. Untuk tujuan ini telah diupayakan agar setiap
komunitas memiliki proyek komunitas. Selain itu juga
diupayakan agar setiap orang memiliki proyek pribadi
yang diintegrasikan dengan proyek komunitas itu.
Meskipun hal ini terasa cukup sulit untuk dibuat
namun cukup banyak komunitas, terutama komunitas
formasi telah membuatnya dan merasakan betapa besar
manfaatnya untuk menjamin kelangsungan hidup
bersama terutama memberi prioritas yang seimbang
kepada stiap aspek kehidupan misioner kita.
6
4
dibimbing, didorong dan diterangi oleh Allah. Untuk
mencapai tujuan itu dalam tiga tahun terakhir Delegasi
telah berusaha menghidupkan spiritualitas yang
“Menemani” dengan mempromosikan sikap dan
semangat membuka diri dengan bimbingan,
pendampingan dan dialog persaudaraan untuk
bertumbuh dan berkembang lebih matang dan dewasa
sebagai misionaris Claretian.
b. Untuk memajukan pertumbuhan rohani maka
kebersamaan dalam komunitas dan persaudaraan antar
komunitas-komunitas menjadi salah satu upaya yang
terus menerus-menerus demi kesempurnaan cinta
kasih (cf. Dir. 139). Demi terwujudnya usaha ini maka
kita telah mempromosikan sikap solider penuh
persaudaraan dalam menemani sesama terutama yang
lebih membutuhkan demi kematangan hidup rohani
dan perkembangan panggilan. Retret tahunan,
rekoleksi dan pertemuan bulanan yang dilaksanakan
selama ini dapat mengembangkan kehidupan spiritual
dan memperkuat solidaritas bersama. Dalam semangat
“Menemani” inilah kita dapat bertumbuh dan
berkembang menuju kematangan rohani.
c. Daya spiritualitas kita tentu tidak hanya dinikmati oleh
kita saja dalam Kongregasi. Demi memperluas daya
pengaruh spritualitas kita yang bersifat “Menemani”
maka kita telah didorong untuk menjadi agen Roh
Kudus bagi sesama yang membutuhkan, demi
pertumbuhan bersama yang menggembirakan di dalam
Allah melalui perayaan sakramen-sakramen, kunjungan
keluarga, sharing Kitab Suci dan lectio divina. (cf. MCT
222, SW 13, 16, MS 76.2).
65
d. Karisma dan spiritualitas kita adalah warisan luhur
yang selalu dan senantiasa bertumbuh dan
berkembang. Maka usaha untuk mengembangkan dan
meningkatkan pengetahuan mengenai karisma dan
spiritualitas Kongregasi menjadi program yang sangat
penting (cf. MS 73, 74). Karena itu beberapa kegiatan
formasi dan ongoing formation seperti Program
persiapan TOP, Persiapan Kaul Kekal, Quinqennium
dan Post Quinqennium telah dibuat dan membawa
dampak yang positif bagi para Claretian sedelegasi.
e. Kita patut bersyukur karena tahun ini adalah tahun
Claretian dimana kita semua diundang untuk kembali
menimba dari sumur karismatis Bapa Pendiri kita.
Sebagai jawaban dari resolusi Kapitel Umum ke-25 (cf.
MS 74), telah dibuat suatu rencan formatif dan
spiritual untuk menolong kita untuk secara mendalam
dan penuh semangat menghidupi warisan spiritualitas
kita yang indah. Tentu saja yang menjadi sumber
utama spiritulitas misioner kita adalah Outobiografi
dan Konstitusi-Konstitusi kita. Setiap hari kita
menerima bacaan spiritual ini untuk direnungkan atau
juga membaca dari agenda Tahun Claretian yang
tersedia. Menelusuri jejak hidup Sang Pendiri dan
Kongregasi memang sangat indah dan bermanfaat.
Semoga setiap kita selalu mempunyai kesempatan
untuk mendalami warisan spiritualitas kita ini.
6
6
Gereja seperti Perayaan Ekaristi kaum muda, misa
kategorial, doa Taize, lectio divina, sharing Kitab Suci).
b. Selain itu kita mengembangkan semangat Misionaris
Ekaristis dengan meningkatnya semangat penghayatan
Ekaristi dan kesetiaan dalam pelayanan perayaan
Ekaristi sebagai bentuk kerasulan nyata. Ekaristi
sebagai pusat dari liturgi maka segala usaha formasi
spiritualitas dan kekudusan harus dikonfergensi
dengannya agar kita dapat menghidupkanya dalam
segala kepenuhannya (SH 46). Dengan ini kita tidak
hanya mewartakan Sabda tetapi juga membangun dan
menguatkan perseketuan hidup dalam Gereja. Ekaristi
sebagai pusat kehidupan rohani tentu telah menjadi
perhatian utama yang diwujudkan dalam misa harian
dan adorasi mingguan.
c. Untuk mengembangkan dan meningkatkan
penghayatan spiritualitas Cordi Marian kita telah
mengupayakan devosi kepada Hati Keibuan Maria
dalam komunitas masing-masing dan juga bersama
umat Allah. Dengan ini kekayaan spiritualitas kita bisa
memperkaya kehidupan iman umat. Di beberapa
tempat misi kita di Keuskupan Medan misalnya, kita
giat mempromosikan devosi kepada Maria.
d. Dalam assembly tahunan semangat hidup rohani (doa
pribadi dan komunitas, rekoleksi bulanan, retret
tahunan) telah menjadi salah satu hal yang mendapat
apresiasi (cf. Surat Edaran Pater Delegatus). Untuk
terus maju dan berkembang dalam kehidupan spiritual
kita, kita perlu terbuka melihat kurangnya penghayatan
dalam Ekaristi atau pun doa-doa komunitas lainnya.
Perayaan kadang terlihat seperti rutinitas. Kurangnya
kreativitas entah dalam doa ataupun situasi Ekaristi
6
7
sehingga terasa membosankan dan monoton. Kurang
mendalami kehidupan devosi secara khusus kepada
Bapa Pendiri dan para martir.
e. Puncak dan tujuan mulia dari mengembangkan
spiritualitas kita adalah mengalami kehadiran Allah
yang mengilhami/menerangi, memimpin dan
membimbing kita supaya ketika bekerja, berdoa dan
menderita sedang memuliakan Allah. Pengalaman akan
Allah adalah pengalaman disentuh oleh Allah
pengalaman yang indah. Pengalaman ini adalah
kekayaan iman, harapan dan kasih yang membuat
seorang misionaris mampu menjadi pembawa Kabar
Gembira dan saksi sukacita Injil. Tantangan dan
kesulitan pribadi dan bersama yang masih dialami
dalam kehidupan bersama dalam komunitas dan dalam
karya, rendahnya kualitas misi dan kerasulan serta
lemahnya semangat bersaksi seringkali dipengaruhi
oleh minimnya pengalaman akan Allah.
6
8
rahmat Tuhan telah datang. Peristiwa ini menegaskan bahwa
hidup Yesus Kristus sepenuhnya adalah hidup yang memiliki
dan digerakkan oleh Roh Tuhan. Kita para misionaris diurapi
dengan Roh yang sama untuk diutus (cf. CPR 48-52).
b. Peristiwa Pentakosta Kis 2:1-13: Bapa Pendiri kita melihat
peristiwa Pentakosta dalam teks Kisah Para Rasul sebagai
peristiwa yang sangat penting bagi kehidupan seorang
misionaris. Dalam peristiwa ini, Roh Kudus yang
memampukan komunitas para Rasul, menyatakan kepada
kita kebenaran ini dengan sangat jelas: seorang misionaris
apostolik harus memiliki hati dan lidah yang berkobar-kobar
dengan cinta kasih. Peristiwa Pentakosta adalah pengurapan
bagi misionaris yang memampukan kita agar dengan hati dan
lidah yang berkobar-kobar kita semakin banyak mencintai.
Bapa Pendiri, dengan melihat pengalaman serta sejarah
Gereja menegaskan bahwa pengkhotbah-pengkhotbah
terbaik dan teragung adalah juga pencinta yang paling hebat
(cf. Auto. 440).
c. Pengalaman Spiritual Antonius Maria Claret: Bapa Pendiri
telah menjadi matang dalam pengalaman iman Kristianinya
melalui suatu proses yang memberikan karakter istimewa
kepada hidup spiritualnya. Ada empat ungkapan yang
diambil dari bacaan Sabda Allah yang menjadi pilar yang
mendasari hidup spiritualnya. Pertama, “Apa gunanya …”
(Mat 16:26). Meskipun ini adalah tema yang konstan
sepanjang hidupnya, ungkapan itu menonjol pada saat-saat
yang menentukan dan menjadi batu ujian dari kesetiaannya.
Dalam diri Claret ungkapan itu dimanifestasikan, terutama
dalam kebingungan yang hebat, yang akhirnya memunculkan
pertobatan dan pilihan dasarnya. Kedua, Bapaku (Luk 2:49):
ini mengekspresikan relasi Claret dengan Allah Bapa.
Pengalamannya akan kasih Allah melalui Roh Kudus
6
9
mengobarkannya dan memastikannya untuk menerima citra
seorang misionaris. Ketiga, Cinta Kasih Kristus (2Kor 5:14):
hidup Claret hanya dapat dimengerti dari perspektif Yesus
Kristus yang bersandar penuh pada bantuan Allah.
Pengalaman bahwa Yesus Kristus menjadi pusat hidupnya
mendorong Claret untuk mengambil moto tahbisan, “Kasih
Kristus mendorong kita.” Keempat: Roh Tuhan (Luk 4:18). Ini
adalah kunci yang paling dalam kepada proses konfigurasi.
Ketika Claret mau menafsirkan panggilan injilinya, ia
mengerti dengan cara sangat khusus kata-kata, “Roh Tuhan
ada pada-Ku dan telah mengutus Aku untuk mewartakan
Kabar Gembira kepada orang miskin.”
d. Konstitusi kita menekankan proses penyerupaan diri dengan
Kristus melalui pengurapan Roh Kudus yang telah dialami-
Nya (cf. Konst. no 39). Claret membubuhkan kepentingan
besar akan kelembutan hati dalam spiritualitas misionaris, 1
sejauh berguna sebagai tanda panggilan kepada kehidupan
apostolik. 2 Autobiografi St. Antonius Maria Claret adalah
juga narasi tentang kedalaman pengalaman akan Allah dalam
kehidupan Pater Claret (Patris mei), Allah pertama-tama
dialami sebagai Bapa. (cf. Our Missionary Spirituality Along
the Journey of the People of God, 2002 hal. 16-18). Sebagai
pelayan Sabda, warisan spiritual Claret ini memberikan dasar
pijak yang kuat yakni pengalaman akan Allah yang menyapa
dan menyentuh hati kita dengan Sabda-Nya.
e. Evangelii Gaudium: melalui dokumen ini Gereja memberi
penegasan bahwa sebagai pelayan Sabda, pewarta Injil, kita
hendaknya dipenuhi dengan Roh agar berani terbuka pada
karya Roh. Kita harus terbuka dan percaya bahwa Roh Kudus
memberikan keteguhan hati untuk mewartakan kebaruan
Injil dengan keberanian di setiap waktu dan segala tempat
bahkan ketika kita menghadapi perlawanan. (cf. 259). Sebagai
7
0
Misionaris Claretian, kita dipanggil untuk menjadi pribadi-
pribadi yang terbuka terhadap Roh, dipimpin oleh-Nya dan
selalu taat pada gerakan-gerakan-Nya. Gereja memberi
tekanan pada hal ini ketika berbicara tentang para pewarta
Injil ber-Roh yang bernyala dengan kobaran Roh dan api misi
(cf. EG 259, EG 261, EG 268-274)”.
f. Konstitusi-Konstitusi kita juga memberi penekanan yang
mendasar atas peranan Roh Kudus: dalam rencana-Nya,
Kristus yang diurapi Roh menggabung orang-orang dengan
Dia untuk karya keselamatan. Roh yang sama memimpin
orang untuk menampakkan cara hidup Yesus (Kont. 3, 4) dan
menyebarluaskan cinta kasih di dalam hati kita. Konstitusi
juga menegaskan bahwa dalam proses penyerupaan diri
dengan Kristus kita diurapi Roh Kudus agar mampu
mewartakan Injil kepada orang miskin. Dengan demikian kita
mengambil bagian dalam kepenuhan Kristus. (Konst. 39).
Selain itu Konstitusi juga menegaskan bahwa kita yang sudah
mengambil karya misioner Kristus harus juga meniru Dia
dalam doa-Nya yang tekun dan mendengarkan-Nya ketika
Dia menasihati dan mengajar doa yang tak henti-hentinya
(Konst. 33). Sebagai pelayan Sabda kita hendaknya memiliki
semangat yang tak pernah pudar untuk mendengarkan sabda
Allah (Konst. 37). Dan sebagai Putra-Putra Hati Tak Bernoda
Maria, dengan cinta keputraan menghormati Perawan Maria
Yang Tersuci, Bunda Allah yang tergabung dengan sepenuh
hati dalam karya keselamatan Putra-Nya (Konst. 36).
Demikianlah Konstitusi-Konstitusi kita meletakan dasar
spiritualitas kita.
71
4.5.3 Sasaran – Prioritas
Delegasi kita, setelah menapaki perjalanan yang cukup
panjang hingga mencapai usia ke-30 tahun telah menyimpan rasa
dan damba, mimpi dan harapan untuk maju menuju kematangan.
Tegasnya kita tidak bisa berjalan di tempat. Kapitel Umum
terakhir mengajak Kongregasi untuk going forth melalui sebuah
proses transformasi (Action Plan of the General Government 2015-
2021 hal. 5). Kita bertekad untuk berkembang menjadi matang
dengan semakin berakar pada spiritual patrimony untuk bisa
memiliki keberanian penuh untuk keluar. Untuk itu kita perlu:
72
6. Menguatkan cita rasa iman (sensus fidei) yang menjiwai
misi kita untuk menegaskan persatuan yang utuh dengan
Gereja. Kita perlu mengembangkan cita rasa iman khas
Claretian sebagai kekayaan spiritual dalam dan untuk
Gereja.
7. Meningkatkan keheningan sebagai langkah disposisi batin
dalam doa dan perayaan sakramen dan sebagai pintu
masuk dalam kontemplasi untuk mengalami perjumpaan
dengan Allah. Keheningan juga hendaknya menjadi ruang
dan waktu yang tepat untuk membuat discernment.
8. Memperdalam dokumen-dokumen Kongregasi dan
mempromosikan buah-buah dari karisma dan spiritualitas
kita dalam kesaksian hidup sebagai misionaris pelayan
Sabda.
73
untuk terus berbenah. Adakah proses discernment yang
serius dilakukan dalam diri? Sejauh mana saya dapat
membantu saudara-saudara saya dalam proses
discernment.
4.6 FORMASI
4.6.1 Realitas dan Tantangan
Data Statistik Formasi:
Dalam 17 tahun terakhir menunjukkan adanya
perkembangan jumlah panggilan yang sangat besar. Selama 18
tahun peningkatan jumlah panggilan mencapai 52%.
74
Data statistik di atas menunjukkan bahwa benih panggilan di
Delegasi kita masih terus bertumbuh. Kita patut bersyukur atas
panggilan dalam Delegasi kita ini. Tentu jumlah besar menuntut
tanggung jawab yang besar pula.
75
d. Meski demikian perlu disadari bahwa melemahnya
semangat misionaris, ketidakseimbangan dalam
beberapa aspek hidup tertentu serta pengaruh teknologi
dan media komunikasi masih mengundang perhatian
yang penuh dalam formasi. (Open Letter of General
Visitor 2018 no 52, Yearly Delegation Assembly 2019,
Menuju Delegasi yang Trensformatif no 24).
e. Ketidakseimbangan antara jumlah formandi dan
formator serta persiapan dan ongoing formation bagi para
formator juga masih perlu diperhatikan.
7
6
agar bisa menemani formandi secara baik, benar dan
bijak (MS 75: 2-3).
c. Ongoing formation juga telah menjadi perhatian khusus
selama tiga tahun terakhir dengan beberapa program
utama seperti persiapan kaul kekal, pertemuan tahunan
para superior dan pastor paroki, pekan studi para
formator, studi bersama Quinqennium, Decennium dan
Post Decennium, kursus formator, kursus the Forge serta
studi lanjut untuk spesialisasi.
d. Namun perlu disadari bahwa akhir-akhir ini fenomena-
fenomena tertentu baik yang terjadi pada formasi awal
maupun formasi lanjut meminta perhatian kita yang
cukup serius. Melemahnya semangat misionaris,
ketidakseimbangan dalam beberapa aspek hidup tertentu
serta pengaruh teknologi dan media komunikasi
mengundang perhatian yang penuh dalam formasi
terutama bagi formator. (Menuju Delegasi yang
Transformatif no. 24).
e. Ada juga perkembangan yang sangat positif bahwa kita
sudah mulai mengembangkan formasi interkultural
dengan mengirim beberapa novis ke organisme lain dan
juga para frater yang sudah menyelesaikan filsafat untuk
melanjutkan studi di organisme lain. Formasi yang
inkulturatif di dalam Delegasi sudah dimulai sejak lama
namun untuk bisa menjangkau budaya baru kita telah
membuka rumah formasi baru di Sinaksak, Siantar
Keuskupan Agung Medan.
77
Hal ini telah menjadi perhatian bersama sejak tahap
promosi panggilan dan penjaringan sampai pada
ongoing formation.
b. Mengikuti teladan dan pola hidup Pater Claret telah
diupayakan dalam formasi keseimbangan antara studi
dan doa sebab seperti jago,” sebelum berkokok ia
mengebaskan sayapnya, sebelum saya berkotbah saya
harus menggerakkan dan mengebaskan sayap-sayap
belajar dan berdoa” (Auto. 665). Kita patut berbangga
akan prestasi studi yang menggembirakan dari para
formandi kita. Namun pertanyaan yang menggelitik
adalah apakah keberhasilan itu diperoleh dalam irama
dan iklim formasi yang seimbangan? Beberapa evaluasi
menunjukkan bahwa perhatian akan studi dalam
rumah formasi lebih besar dari kehidupan doa.
Kecakapan yang diperoleh dari studi masih sangat
diharapkan memberi nilai bagi perkembangan
kehidupan spiritual dan karya kerasulan.
c. Untuk mencapai tujuan dasar dari formasi yakni
memajukan perkembangan kita dalam persatuan dan
penyerupaan dengan Kristus, maka telah diupayakan
perkembangan semangat hidup rohani dalam doa,
Ekaristi dan devosi-devosi. Keterlibatan yang aktif dan
berkembangnya kreativitas dalam doa, Ekaristi, dan
devosi-devosi menjadi tanda yang signifikan dari
formasi spiritual. Meski demikian beberapa kendala
yang masih perlu diperhatikan adalah kurangnya
disposisi batin, lemahnya semangat pemberian diri ke
dalam atmosfir doa dan menurunnya iklim keheningan
(cf. Laporan Assembly Tahunan 2019).
d. Demi tercapainya tujuan dari formasi kita
sebagaimana disampaikan di atas, maka Delegasi kita
7
8
juga telah berusaha meningkatkan semangat
mendengarkan Sabda Allah: membaca, merenungkan,
sharing, mewartakan, dan bersaksi. Semangat dan
kesiapsediaan sebagai pelayan Sabda telah menjadi
perhatian khusus dalam formasi inisial sampai ongoing
dengan perhatian pada aspek: pengetahuan akan
Sabda Allah, lectio divina, sharing Kitab Suci serta
keacakapan-kecakapan dalam pewartaan.
e. Formasi yang “Menyembah” adalah formasi yang
mengantar kepada pengalaman akan Allah. Rekoleksi
bulanan dan retret tahunan tentu saja menjadi
kesempatan khusus untuk mengalami kehadiran Allah
yang membarui dan menguatkan kita. Selama tiga
tahun ini kita telah berusaha menganimasi agar semua
anggota bisa mendapat kesempatan untuk retret
tahunan dengan menyiapkan tema-tema yang cocok
sesuai semangat Delegasi dan Kongregasi serta
mengatur pengelompokan, waktu dan tempat yang
sesuai. Meskipun masih ada satu dua kendala namun
hasilnya sangat memuaskan.
7
9
mengalami pesatuan dengan-Nya dan kemudian diutus
oleh-Nya untuk mewartakan Kerajaan Allah (Mat 10: 5-
15).
b. Konstitusi no. 39-45 secara jelas menegaskan prinsip
dasar penyerupaan diri dengan Kristus. Kapitel Umum
terakhir juga menegaskan bahwa formasi sebagai proses
pembentukan yang terarah kepada penyerupaan diri
dengan Kristus dan kepada penelusuran jejak-jejak Yesus
adalah formasi yang tidak hanya mengandalkan
informasi melainkan juga, dan terutama, mendorong
kepada transformasi (cf. MS 75).
c. Kapitel Umum XXV mengundang kita untuk melihat
kembali proses formasi inisial maupun formasi lanjutan
agar dapat mencapai tujuan bahwa kita
ditransformasikan sebagaimana dialami Bapa Pendiri kita
sepanjang hidupnya. Formasi hendaknya sungguh-
sungguh mencapai transformasi. Tujuan inilah yang
menjadi dasar pijak seluruh proses formasi. Pedoman
Umum Formasi yang telah diperbarui tentunya akan
menjadi arah dasar (ratio formationis) formasi kita.
8
0
dengan berpedoman pada Rencana Umum Formasi yang
diperbarui.
3. Memajukan promosi panggilan dan proses seleksi dengan
menekankan kualitas yang lebih seimbang dan memberi
perhatian kepada kekhasan panggilan misionaris Claretian
(MS 36).
4. Memberi perhatian khusus kepada panggilan para bruder
mulai dari promosi panggilan sampai ongoing formation.
5. Mengadakan ongoing formation secara berkelanjutan bagi
para formator untuk mengembangkan dan meningkatkan
profesionalitas mereka.
6. Memperkuat proses discernment dan personal
accompaniment serta memperhatikan program-program
formatif untuk membentuk panggilan misionaris baru yang
bisa diandalkan.
7. Melihat perkembangan Kongregasi dan kebutuhan Gereja
universal akan misionaris terus meningkat dalam beberapa
tahun terakhir ini maka formasi kita masih perlu
memperhatikan missionary and universal mission oriented
dengan memperhatikan kematangan spiritual, kecakapan-
kecakapan intelektual yang memadai serta mengusahakan
formasi interkultural untuk mempersiapkan misionaris
lintas budaya (misi universal).
8. Mengusahakan Formasi yang holistik: Kongregasi kita telah
menyadari akan pentingnya pendekatan holistik untuk
sebuah proses formasi. Proses pembaruan Rencana Umum
Formasi telah menempatkan pendekatan ini sebagai hal
yang utama. (Letter of the Superior General after Council
Meetings of October 2018 hal. 5). Tentu saja hal ini
diharapkan bisa menjawabi mimpi kita akan terbentuknya
seorang Misionaris Claretian yang matang dan dewasa,
memiliki kemampuan yang memadai dan kecakapan yang
81
bisa diandalkan. Pendekatan holistik menempatkan
manusia dalam suatu keutuhan dalam keberadaannya dan
dalam relasi dengan orang lain, alam semesta dan Allah
sendiri. Formasi hendaknya memperhatikan manusia
sebagai pribadi yang utuh, menyeluruh dan sempurna (fisik,
psikologis, spiritual dan intelektual).
8
2
V. TEMA ASSEMBLY DELEGASI 2020
Delegasi kita telah memasuki usianya yang ke-3o
tahun dalam bermisi di Indonesia-Timor Leste. Lima belas
tahun sudah pemerintahan Delegasi mengalami
pertukaran status dari Delegasi Dependen menjadi
Delegasi Independen. Usia yang demikian menunjukkan
tahap kedewasaan dan kematangan sebagai sebuah
organisasi Gereja. Sepanjang tiga puluh tahun pula
berkiprah di bumi Indonesia-Timor Leste, telah begitu
banyak karya misi yang diembannya dan begitu banyak
jumlah anggota yang telah diutus ke belahan dunia di
mana Kongregasi berkarya.
Melihat pergerakan statistik jumlah anggota tiap
tahunnya, serta jumlah komunitas yang dibangun
memberikan suatu kebanggaan tersendiri bagi Delegasi
ini, bahwa meski dalam status Delegasi dengan
keterbatasan ekonomi, akan tetapi Delegasi telah bergerak
dengan cepat melampaui provinsi-provinsi lain dalam
wilayah Kongregasi ini. Tidak sedikit jumlah anggota
misionaris yang diutus ke provinsi lain untuk membantu
Kongregasi dan juga tidak sedikit jumlah komunitas serta
karya-karya kerasulan baru yang dibuka di banyak tempat
di wilayah Indonesia-Timor Leste.
Kondisi ini menunjukkan bahwa rentangan waktu
tiga puluh tahun Delegasi ini membumi di Indonesia-
Timor Leste menjadi momentum untuk berefleksi dan
menentukan arah baru untuk beranjak menuju suatu
kematangan dan kemandirian Delegasi. Kematangan dan
kemandirian dalam konteks Delegasi kita berarti juga
semakin berakar pada identitas karismatis kita di dalam
Gereja, tetapi juga pada saat yang sama, berani keluar
untuk menjawab tantangan tanda-tanda zaman (Deeply
83
rooted and Audacious), sebagaimana penelisikan dan
pencermatan
8
4
dalam pertemuan Dewan General dan para superior mayor
Kongregasi pada Januari 2020 di Cile kemarin.
Bertolak dari situasi ini, maka Delegasi
mengusulkan sebuah tema yang menjadi pedoman acuan
bagi kita untuk berefleksi dan menentukan arah
pergerakan Delegasi kita dalam periode tiga tahun ke
depan: “MENUJU KEMATANGAN MISIONER:
BERAKAR KE DALAM DAN BERANI KELUAR”
85
Refleksi
8
6
personal ini hendaknya dilaksanakan dalam konteks doa
dan dengan melihat kembali proyek hidup pribadi dan
komunitas. Refleksi personal ini juga hendaknya diperkaya
dengan mempertimbangkan realitas eklesial, umat dan
komunitas di mana kita hidup.
b. Dialog dalam komunitas: hendaknya setiap komunitas
melaksanakan discernment dan dialog bersama, baik
melalui pertemuan, sharing atau momen-momen khusus
komunitas.
c. Menjawab dan mengirim hasil Refleksi Komunitas kepada
Delegasi: Setiap komunitas akan mengirim kepada
Sekretariat Delegasi Refleksi Komunitas, sehingga
membantu Dewan atau Tim untuk mempersiapkan agenda
dan tema-tema yang akan dibahas dalam Assembly nanti.
d. Adalah sangat baik jika refleksi bersama ini melibatkan
kaum awam di tempat di mana kita berkarya (umat, orang
muda, pengurus-agen pastoral) sehingga memperkaya
refleksi kita pada saat Assembly nanti.
8
7
2. Apakah yang Anda/Komunitas pahami berkaitan dengan
“Kematangan Misioner: Berakar ke dalam dan berani
keluar”?
8
8
6.3 Agenda Persiapan Assembly:
01 Mei 2020 : Pengiriman Instrumentum Laboris ke
setiap komunitas
Mei- 15 Juni 2020: Refleksi Personal dan Komunitas
15-20 Juni 2020: Jawaban Hasil Refleksi komunitas tiba di
Sekretariat Delegasi.
01-15 Juli 2020 : Persiapan Ahkir Assembly (Dewan-Tim)
21 Juli- 01 Agustus 2020: Pelaksanaan Assembly.
VII. PENUTUP:
Pengalaman dan komitmen misioner yang dibawa ke ruang
Assembly
Assembly adalah momen jeda untuk berkisah. Ada suatu letupan
rasa berkobar-kobar yang ingin kita kisahkan kembali kepada
komunitas, dan saudara-saudara kita se-delegasi sesudah
berjumpa dan mendengarkan Sang Guru sepanjang petualangan
misioner- kemuridan kita. (cf. Luk 24:32). Sebuah narasi iman
yang lahir dari pengalaman perjumpaan dan tatapan mistik-
profetik seorang misionaris sepanjang kisah “Berjalan, Menemani
dan Menyembah” dalam tiga tahun yang kita lewati. Di ujung
narasi mengisahkan tahun-tahun petualangan misioner-
kemuridan yang telah kita lewati, bagaimana tantangan menuju
kematangan misioner diasah, agar identitas karismatis kita
semakin berakar ke dalam dan kehadiran kita semakin tanggap
serta relevan menjawab tantangan tanda-tanda zaman?
Mari kita menitipkan narasi iman ini pada Hati Keibuan Maria.
Dialah Ibu yang peka merasa dan cepat menanggapi, bahkan
sebelum anggur sukacita kehidupan, mengering dari cawan-cawan
kehidupan putra-putrinya (cf. Yoh 2:3). “Maria Ibu kita tidak perlu
suatu banjir kata-kata. Dia tidak memerlukan kita untuk
8
9
mengatakan kepadanya apa yang terjadi dalam hidup kita. Semua
yang kita perlukan adalah bisikan, dari waktu ke waktu, “Salam
Maria…” (GE 176). Perjalanan menuju Assembly adalah sebuah
ziarah rohani. Kita berjalan bersama Maria, menekuni
petualangan kemuridan mengikuti Sang Guru. Selamat menekuni
petualangan mistik-spiritual, hingga saat jeda tiba, kita membagi
kisah iman kita, apa artinya menjadi berakar ke dalam, pada
karisma misioner kita di dalam Gereja dan berani keluar untuk
menjawab panggilan Allah dalam tanda-tanda zaman yang
menggugah kesadaran profetik kita untuk bersikap dan bertindak.
Catatan:
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
9
0
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
91
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………........
9
2
“Authentic missionary life is
only possible when we extract
from our charismatic well that
which constituted the source of
apostolic vitality for our Founder
and several generations of
Claretians.
Fidelity to our roots and openness to
new realities, demand a fruitful
relationship with the elder
Claretians
who walked before us.”
(Father General –
Mathew Wattamattam, CMF)
93
@teamil2020
9
4