Anda di halaman 1dari 8

CACAT KESEPAKATAN NIKAH: RATUM ET CONSUMMATUM

Latar belakang

Perkawinan adalah sesuatu yang sangat sakral. Kesakralan itu berada dalam proses pasangan
itu menjalani kehidupan sebagai suami dan istri, terlebih ketika mereka mencari makna dan arti
dari perkawinan itu. Mereka juga dituntut untuk hidup setia dan terus menumbuhkan cinta
mereka dalam hidup berkeluarga.

Gereja merasa berhak untuk ambil bagian dalam perkawinan dalam proses perkawinan itu.
Gereja merasa perlu turut campur dan mempunyai kewajiban untuk membantu kedua mempelai
menjalani kehidupan bersama. Kewajiban gereja ini tertuang dalam ajaran-ajaran gereja atau
aturan gereja mengenai perkawinan.

Teologi Perkawinan Dalam Ratum Et Consummatum Suami Istri (Kan. 1061)

Kitab Hukum Kanonik dengan tegas menjelaskan tentang perkawinan yang ratum dan
consummatum dalam Kanon 1061 § 1. Perkawinan sah (matrimonium validum) antara orang-
orang yang di baptis disebut hanya ratum, bila tidak consummatum; ratum dan consummatum,
bila pasangan telah melakukan persetubuhan antar mereka (actus coniugalis) secara manusiawi
yang pada dirinya terbuka untuk kelahiran anak, untuk itulah perkawinan menurut kodratnya
terarahkan, dan dengannya pasangan menjadi satu daging. § 2. setelah perkawinan dirayakan,
bila pasangan tinggal bersama, diandaikan adanya persetubuhan, sampai terbukti kebalikkannya.
§3. perkawinan yang tidak sah disebut utatif bila mana dirayakan dengan itikad baik sekurang-
kurangnya oleh satu pihak, sampai kedua pihak menjadi pasti mengenai nulitasnya.

Tuhan yang telah menciptakan manusia karena cinta, juga memanggil dia untuk
mencinta, satu panggilan kodrati dan mendasar setiap manusia. Manusia telah diciptakan
menurut citra Allah (Bdk. Kej 1:27) karena Allah sendiri adalah cinta. (Bdk. 1 Yoh 4:8.16). Oleh
karena Allah telah menciptakannya sebagai pria dan wanita, maka cinta di antara mereka
menjadi gambar dari cinta yang tak tergoyangkan dan absolut, yang dengannya Allah mencintai
manusia. Cinta ini di mata Pencipta adalah baik, malahan sangat baik (Bdk. Kej 1:31). Cinta
Perkawinan diberkati oleh Allah dan ditentukan supaya menjadi subur dan terlaksana dalam
karya bersama demi tanggung jawab untuk ciptaan, “beranak-cuculah dan bertambah banyaklah;
penuhilah bumi dan taklukkanlah itu” (Kej 1:28).
Perbuatan khas perkawinan sebagai wujud jawaban atas panggilan Tuhan untuk menjadi
suci adalah ratum et consumatum. Janji perkawinan dalam ritus liturgi di depan pelayan (imam
atau daikon) serta dihadapan para saksi, kedua mempelai saling memberi dan menerima dalam
suka dan duka, dalam untung dan malang untuk tetap setia digabungkan dengan perjanjian Allah
dengan manusia sehingga cinta kasih suami-istri sejati diangkat ke dalam cinta kasih ilahi (Bdk.
LG 48). Janji di hadapan imam dan para saksi dilengkapi dengan persetubuhan (consumatum).

Kitab Suci berkata, bahwa pria dan wanita diciptakan satu untuk yang lain: "Tidak baik,
kalau manusia itu seorang diri saja" (Kej 2:18). Wanita adalah "daging dari dagingnya" pria
(Bdk. Kej 2:23), artinya: ia adalah partner sederajat dan sangat dekat. Ia diberikan oleh Allah
kepadanya sebagai penolong (Bdk. Kej 2:18.20) dan dengan demikian mewakili Allah, pada-Nya
kita beroleh pertolongan. “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan
bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej 2:24). Bahwa ini berarti
'kesatuan hidup mereka berdua yang tidak dapat diceraikan, ditegaskan oleh Yesus sendiri,
karena Ia mengingatkan bahwa “sejak awal” adalah rencana Allah bahwa “mereka bukan lagi
dua, melainkan satu” (Mat 19:6).

Oleh karena itu tindakan khas dalam perkawinan yakni hubungan seks suami istri, bukan
sekedar tindakan biologis (donum corporis) tetapi merupakan tindakan suci, semacam tindakan
quiasi imami, dimana suami istri saling menyerahkan diri, mempersembahkan diri satu sama
lain, mengungkapkan cinta secara menyeluruh.Tindakan quiasi imami dalam sakramen
perkawinan diwujudkan secara khusus bukan melalui benda mati (seperti air dalam pembaptisan,
minyak dalam krisma, roti anggur dalam Ekaristi) melainkan melalui manusia itu sendiri. Janji
(ratum) setia yang diucapkan olehh kedua mempelai dihadapan imam, para saksi dan umat,
dimana mereka saling menerimakan sakramen perkawinan, disanalah Tuhan menetapkan
manusia pria untuk menjadi tanda kasihnya bagi manusia perempuan dan Tuhan menetapkan
manusia perempuan untuk menjadi tanda kasihnya bagi manusia pria. Janji ini kemudian
disempurnakan melalui consumatum dari keduanya sebagai mana roti dan anggur dalam
perayaan ekaristi, oleh imam, menjadi alat dalam tangan Tuhan untuk menampakkan
kehadiranNya, demikian pula pria dan perempuan, sebagai suami istri dalam consumatum
menjadi alat dalam tangan Tuhan, yang membuat “keduanya menjadi satu daging”, saling
menyerahkan diri dan saling menerima, menjadikan Sabda (ratum) menjadi “daging”
(consumatum).

Dalam satu kesempatan audensi umum, Rabu, 19 Januari 1983, paus kembali
menegaskan aspek ”misteri agung” dari consumatum. Yohanes Paulus II mengatakan:
“Persetubuan adalah saat istimewah. Karena pada saat itu, ’kata-kata’ yang mereka ucapkan
dalam janji pernikahan diungkapkan secara nyata dalam tindakan ’menjadi (satu) daging’ .
Ini menggemakan sebuah misteri besar, yakni peristiwa saat ’Sang Sabda’ mengambil wujud
manusia, ;menjadi daging’. Persetubuan adalah ungkapan istimewah karena dengan itu
diserukan kembali misteri inkarnasi. Kenyataan inkarnasi Kristus sebagai ’Sabda yang
menjadi daging’ menemukan wujud nyata dalam ’kata-kata janji pernikahan yang menjadi
satu daging’. Oleh karena itu kita bisa mengatakan bahwa persetubuan adalah sebuah
’inkarnasi’. Ini adalah bahasa yang sudah melekat dalam tubuh manusia sebagai gambaran
dan rupa Allah sendiri, sebagai lelaki dan perempuan. Dalam arti itu, persetubuhan dirayakan
sebagai bahasa yang memungkinkan sebuah kenyataan yang tak terlihat menjadi sungguh
terlihat nyata” (Rahmadhani, 2009: 187).
Consumatum, menegaskan bahwa persatuan suami istri menjadi satu daging adalah
bentuk keikutsertaan manusia secara nyata di dalam seluruh karya Allah Pencipta sejak awal
mula. Janji (ratum) nikah “bersedia menerima.... menjadi suami/istri dan mencintainya seumur
hidup, dalam untung dan malang, suka dan duka, di waktu sehat atau sakit” mendapatkan
penyempurnaan dalam penerimaan dan pemberian diri melalui consumatum. Dalam arti tertentu
consumatum adalah juga liturgi yang selalu dirayakan oleh suami-istri. Pada saat consumatum
suami istri bukan hanya merayakan liturgi pernikahan tetapi juga merayakan, mempertegas,
mengungkapkan, mengumandangkan secara lantang persatuan Kristus dengan Jemaat (Bdk. Ef 5:
22 – 33). Dan suami istri memperoleh penebusan terhadap tubuh yang ternoda oleh nafsu
seksual biologis. Consumatum memperlihatkan hubungan Kristus dengan Jemaat. Kristus dengan
Jemaat memperlihatkan kesatuan mutlak yang tak terpisahkan, Kristus memberi diri dan Jemaat
menerima cinta, cinta yang selalu bergairah muda (tanpa cacat dan kerut); demikian juga suami
dengan istri.
Relasi antar suami-istri nampak dalam ciri khas perkawinan katolik, yakni monogam dan
tak terceraikan (KHK 1056). Cinta kasih suami isteri mencakup suatu keseluruhan. Di situ
termasuk semua unsur pribadi: tubuh beserta naluri-nalurinya, daya kekuatan perasaan dan
afektivitas, aspirasi roh maupun kehendak. Yang menjadi tujuan yakni: kesatuan yang bersifat
pribadi sekali; kesatuan yang melampaui persatuan badani dan mengantar menuju pembentukan
satu hati dan satu jiwa; kesatuan itu memerlukan sifat tidak terceraikan dan kesetiaan dalam
penyerahan diri secara timbal balik yang definitif, dan kesatuan itu terbuka bagi kesuburan.
Pendek kata: itulah ciri-ciri normal setiap cinta kasih kodrati antara suami dan isteri, tetapi
dengan makna baru, yang tidak hanya menjernihkan serta meneguhkan, tetapi juga mengangkat
cinta itu, sehingga menjadi pengungkapan nilai-nilai yang khas Kristen. (Bdk FC 13).
Relasi yang bersifat monogam. Perkawinan adalah kesatuan relasi antara seorang pria
dengan seorang wanita untuk hidup sebagai suami-istri sepanjang hayat melalui perjanjian yang
bersifat ekslusif. Sifat ini menjamin pemberian cinta yang utuh dan tak terbagi diantara suami-
istri, serentak hal itu mencerminkan prinsip kesetaraan martabat antara pria dan wanita sebagai
citra Allah yang dipanggil oleh Tuhan untuk berkembang biak dan menguasai dunia (Kej 1: 26-
30; 2: 18-25). Ciri monogam perkawinan katolik ”Karena kesamaan martabat pribadi antara
suami dan istri, yangt harus tampil dalam kasih sayang timbal balik dan penuh-purna, jelas sekali
nampaklah kesatuan perkawinan yang dikukuhkan oleh Tuhan (GS 49).
Monogam menuntut kesetiaan total dari pasangan suami-istri dalam perkawinan katolik.
“Suami-istri saling menyerahkan diri secara defenitif dan penuh. Mereka bukan lagi dua
melainkan membentuk selanjutnya hanya satu daging. Ikatan yang dibuat oleh suami-istri dalam
kebebasan mewajibkan mereka supaya memegang teguh sifatnya yang satu dan tak terceraikan.
’Apa yang telah dipersatukan Allah janganlah diceraikan oleh manusia’ (Mrk 10:9” (KGK
2364). Kesetiaan total dan defenitif berlaku dalam setiap situasi ”di waktu sakit atau sehat, di
saat susah atau senang” dan dalam setiap keberadaan ”di saat bersama atau sendiri, di rumah atau
di tempat kerja”, sampai maut memisahkan mereka. (bdk. KGK 2365)
Relasi suami-istri dalam perkawinan memiliki ciri tak terceraikan/tak terputuskan. Ciri
tak terputuskan menunjukkan bahwa ikatan perkawinan bersifat absolut, yang berlangsung
seumur hidup dan tidak bisa diputuskan selain oleh kematian. Dengan kata lain ciri tak
terputuskan mengandung maksud bahwa perkawinan kristiani yang dilakukan oleh orang-orang
yang dibaptis dengan ratum et consumatum tidak mengenal perceraian. Dalam perkawinan,
suami-istri secara bebas mengungkapkan persatuan mereka seumur hidup. Maka cinta kasih
perkawinan merekapun harus bercirikan kesetiaan seumur hidup. Sebagaimana cinta kasih Allah
kepada umatNya, kekal abadi; demikian pula suami istri yang mengaktualkan cinta kasih Allah
dalam hidup perkawinan mereka mengikuti pola Allah terhadap umat-Nya dan Kristus terhadap
jemaat-Nya. “Yesus sendiri menegaskan tujuan asli dari Pencipta, yang menghendaki bahwa
perkawinan itu tidak diceraikan. Ia membatalkan kemudahan-kemudahan yang telah merembes
masuk ke dalam hukum lama” (KGK 2382).
Indissolubilitas menuntut usaha dari suami-istri untuk berjuang memupuk kesetiaan
terhadap pasangannya dalam segala aspek kehidupan. Perjuangan itu merupakan aktualisasi
untuk memaknai pernyataan yang gamblang dari Yesus yang secara tegas menolak perceraian,
sebab pada awalnya tidaklah demikian. (Bdk Mat 5:31-32; 19: 1-12, Mrk 10: 6-9). Perjuangan
ini menjadi sangat berat dalam realitas hidup bermasyarakat di mana banyak terjadi praktek
perceraian, yang bukan hanya marak di kalangan non kristen, tetapi juga di kalangan umat
katolik (Bdk KGK 1646).
Di samping dinamika relasional suami-istri juga relasi dengan seisi keluarga dengan
menjalankan tugas dan kewajiban untuk kesejahteraan bersama dan kepada anak-anak untuk
kesejahteraan dan pendidikan anak. Jadi Kesetiaan relasi suami istri (bonum fidei) dan tak
terputuskannya perkawinan (bonum sacramentum) secara langsung berkaitan erat dengan
kesejahteraan suami istri (bonum coniugum1) itu sendiri. Bonum coniugum ada berbagai macam
misalnya kebersamaan, persekutuan hidup dan cinta hanya mau membahaskan secara lebih luas
dari makna yang kaya dari kata bonum coniugum yakni: pertama, cinta dalam penyerahan diri
yang tidak hanya kepuasan egositis tetapi cinta yang mengusahakan kesejahteraan dan
kebahagiaan pasangan. Kedua, respek terhadap moralitas perkawinan dan hati nurani pasangan
dalam hubungan seksual. Ketiga, tanggung jawab moral dan psikologis dalam melahirkan anak-
anak. Keempat, kebiasaan tingkah laku pribadi dalam peristiwa-peristiwa biasa hidup sehari-hari.
Kelima, saling berkomunikasi dan berkonsultasi mengenai aspek-aspek penting hidup suami istri
atau keluarga. Keenam, pengendalian hawa nafsu, dorongan atau naluri yang tidak rasional yang
dapat membahayakan hidup dan keharmonisan suami istri (Kusumawnata, 2007:72).Selanjutnya
secara tidak langsung hal itu berkaitan dengan kesejahteraan anak, karena kesetiaan timbal balik
suami istri dan stabilitas perkawinan orang tua sangat menentukan kesejahteraan lahir batin anak
(Raharso, 2006:44).

1
Ajaran ini mula-mula di inisiasi oleh St. Agustinus dalam tiga istilah yang tidak terpisahkan (trilogi), yakni fides,
proles, sacramentum dalam bukunya De Bono Coniugalis.Bonum fidei merujuk pada hak dan kewajiban yang
eklusif dari suami istri.Sedangkan bonum prolis, berkaitan dengan kelahiran dan pendidikan anak-anak, dan bonum
sacramenti, berhubungan dengan perkawinan yang tak terceraikan.
Kesuburan dan cinta kasih relasi suami-istri terlihat juga dalam buah-buah kehidupan
moral, rohani dan adikodrati yang diwariskan oleh orang tua kepada anak-anak melalui
pendidikan dan juga melalui keterlibatan suami-istri dalam kehidupan menggereja dan
bermasyarakat. Sehingga sakramen perkawinan justru dipraktekkan dalam seluruh kehidupan
suami istri sejak ratum et consumatum yang berlanjut sampai maut memisahkan mereka.
Perkawinan mereka dapat menghasilkan dan memancarkan cinta kasih, kerelaan untuk
membantu, pemberian diri dan semangat berkorban bagi pasangan, anak-anak, gereja dan
masyarakat. (Bdk KGK 1653-1654)
Dalam dinamika relasional di mana perkawinan katolik secara konkret hidup dalam
selibat (keperawanan/pekerjaan) demi Kerajaan Allah menambahkan dan mengantisipasi
Kerajaan Allah yang melampaui segala nilai duniawi dan terwujud secara bulat di seluruh
sejarah yang sedang ditempuh. Sedangkan hidup dalam perkawinan yang tak terceraikan
menyimbolkan dan menghadirkan kerajaan yang sama justru di dunia, di dalam nilai-nilai
duniawi. Relasi mantap laki-laki dan perempuan yang berkat lembaga perkawinan mendapat
ciri publik, kerasulan daya penyelamatan Allah yang meraja, dinamika Kerajaan Allah. Dalam
relasi manusiawi itu, dinamika tersebut yang mendapat wujud didunia dan duniawi, menjadi
kelihatan dalam suatu nilai dasar manusiawi. Ini suatu wujud khusus. Sebab bukan diri orang
(suami dan istri) yang menampung dinamika Ilahi itu. Relasi paling primer dan dasariah serta
pribadi diantara manusia dalam perkawinan secara sosial publik memperlihatkan relasi Allah
yang secara defenitif mulai meraja, dengan manusia yang dirajai Allah dan sejauh dirajai. Ciri
relasional publik itulah yang menjadi ciri teologis khas dalam perkawinan konkrit. Ciri teologis
itu menjadi ciri setiap perkawinan yang mantap dan selama mantap, tetapi dalam perkawinan
orang beriman ciri itu tidak hanya menjadi terungkap, tetapi juga diperteguh dan diperdalam.
Sebab relasi laki-laki dan perempuan yang menjadi anggota jemaat Kristus tidak hanya nyata
barangkali tidak terputus, tetapi dinilai tak terputuskan justru atas dasar iman mereka yang
melihat corak teologis (dan tidak hanya corak manusiawi) relasi mereka sebagai suami istri.
Sebagai orang beriman mereka tidak dapat memutuskan relasi timbal balik itu, oleh karena relasi
itu menjadi wujud relasi antara Allah yang meraja dan manusia yang dirajai.
Hidup suami istri disucikan dalam sakramen perkawinan. Maka seluruh perbuatan dan
relasi sehari-hari dari suami istri yang bertujuan untuk lebih mengakrabkan dan meningkatkan
kualitas hidup keluarga adalah suci. Hal-hal sepele dan rutinitas sehari-hari disucikan. Bekerja
mencari nafkah melebihi perbuatan bernilai ekonomis. Tanggungjawab mengurusi rumah tangga
bukan hanya sekedar kewajiban hidup bersama. Dalam iman kristiani semua yang dilakukan itu
memiliki nilai religius, manusia dipanggil untuk bertanggungjawab atas anugerah yang diberikan
Allah kepadanya. Demikian pula, hubungan seks suami-istri, bukan sekedar tindakan biologis
tetapi merupakan tindakan suci, semacam tindakan quasi imami, di mana suami-istri saling
menyerahkan diri, mempersembahkan diri satu sama lain, mengungkapkan cinta secara
menyeluruh.
Dinamika relasional suami-istri mengemban tugas utama keluarga adalah 1) membentuk
persekutuan pribadi-pribadi; 2) mengabdi kepada kehidupan; 3) ikut serta dalam pengembangan
masyarakat ;4) berperanserta dalam kehidupan dan misi Gereja. (FC 17)

Cacat Kesepakatan Nikah: Ratum et Consumatun

Kesepakatan Konsensus Matrimonii (Kanon 1057)

Kebebasan merupakan unsur fundamental dan utama bagi setiap manusia. Sebagai
tindakan kehendak yang bersifat pribadi dan khas manusia, maka kesepakatan nikah dibuat
secara bebas. Pernikahan merupakan realitas yang terjadi di masyarakat. Pernikahkan antara
seorang pria dan seorang wanita terjadi karena ada kehendak bebas untuk menajdi satu keluarga.
Pernikahan terjadi karena ada kesepakatan antara seorang pria dan wanita untuk menjadi suami
dan istri tanpa dipaksa oleh siapa pun. Keinginan untuk menikah timbul dari kedua pribadi
tersebut. Didalam kehendak bebas itu seorang pria dan seorang wanita sepakat untuk menikah.

Dalam Kan. 1057 memberikan defenisi tentang kesepakatan nikah: “ Kesepakatan nikah
ialah perbuatan kemauan dengan mana pria dan wanita saling menyerahkan diri dan saling
menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik
kembali.”Kesepakatan nikah pertama-tama adalah sebuah perbuatan kehendak. Sedangkan dalam
Konsili Vatikan ke II berbunyi “ Perekutuan hidup hidup dan cinta kasih suami-istri yang intim,
yang diadakan oleh sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumnya sendiri, dibangun
oleh perjanjian nikah atau kesepakatan pribadi yang tidak dapat ditarik kembali” (GS, 48).

Dalam KGK 1625-1628 berbicara tentang kehendak bebas yang diambil oleh seorang
pria dan seorang wanita. Perjanjian perkawinan diikat oleh seorang pria dan seorang wanita yang
telah dibabtis dan bebas untuk mengadakan perkawinan, tidak berada dibawa paksaan.
Kesepakatan harus merupakan kegiatan kehendak dari setiap pihak yang mengadakan perjanjian
dan bebas dari paksaan atau rasa takut yang hebat, yang dating dari luar. Tidak ada kesatuan
kekuasaan manusiawi dapat menggantikan kesepakatan. Kalau kesepakatan ini tidak ada, maka
perkawinan pun tidak sah. Gereja memandang kesepakatan para mempelai sebagai unsur yang
mutlak perluh untuk perjanjian perkawinan. Perkawinan itu terjadi melalui penyampaian
kesepakatan.

Solusi

Anda mungkin juga menyukai