Anda di halaman 1dari 2

Renungan Singkat Tradisi Siraman

Para sepuh, Bapak/Ibu/Sdr & kedua calon mempelai, Otha dan Dani beserta semua kerabat, handai taulan
dan sanak saudara. Dalam tradisi Jawa, prosesi ‘Siraman’ merupakan bagian dari sebuah rangkaian panjang
menjelang acara pernikahan yang terkadang sulit dimengerti dan dipahami oleh masyarakat modern
(generasi milenial) dewasa ini, karena diungkapkan dengan bahasa simbol yang sarat makna sehingga
seringkali disebut ‘mistis’ atau ‘magis’. Tetapi justru melalui bahasa simbol inilah pelajaran berharga akan
nilai-nilai luhur budaya akan mudah dipahami dan selalu teringat dalam pikiran dan hati kita. Justru melalui
bahasa kiasan atau perumpamaan inilah Yesus mewartakan dan menjelaskan SabdaNya di tengah-tengah
masyarakat.

Apa makna dan arti tradisi ‘Siraman’ ini ? Calon pengantin nanti akan disiram (diguyur) menggunakan ‘air
suci’ (banyu perwitasari) yang diambil dari 7 sumber mata air kehidupan ditaburi bunga mawar, melati,
kantil, kenanga dll. ‘Siraman’ mempunyai makna pembersihan atau penyucian dengan aroma keharuman.
Jadi calon pengantin akan dibersihkan dari segala hal yang mengganggu dirinya agar siap meresmikan
penikahan dengan hati yang bersih dan suci sehingga menaburkan aroma yang harum di sekitarnya.

Dari sudut pandang Katolik kita ingat akan ‘Air Baptis’ lambang pembersihan atau penyucian dosa. Sakramen
Baptis (permandian) menggunakan sarana ‘air suci’ untuk menghapus dosa agar kita bersatu dengan Allah dan
masuk menjadi anggota GerejaNya.

Dalam Injil yang kita dengarkan tadi, Yohanes membaptis Yesus juga menggunakan sarana ‘air’ yaitu sungai
Yordan, Yesus yang adalah Tuhan mau dibaptis, artinya Tuhan Yesus mau solider dengan manusia, Tuhan
mau senasib dan sepenanggungan dengan kita manusia. Suara dari sorga dan Roh Allah seperti burung merpati
menyatakan kepada kita tentang misteri “Tritunggal Mahakudus” (Trinitas) yaitu Allah Bapa, Allah Putra dan
Allah Roh Kudus. Peristiwa ini dalam tradisi Jawa disebut dengan ‘Manunggaling Kawula Gusti’ (bersatunya
aku dan Tuhan).

Maka melalui upacara ‘Siraman’ ini kita semua berdoa dan berharap agar kedua calon pengantin siap
memasuki gerbang kehidupan baru dengan hati yang bersih dan suci, saling solider (senasib dan
sepenanggungan) atau saling menjaga solidaritas (kesamaan derajad & martabat) dan manunggal (bersatu)
dengan Tuhan.

Air siraman ini diambil dari 7 sumber mata air kehidupan, mengingatkan kita akan 7 Karunia Roh Kudus
(kebijaksanaan, pengertian, nasihat, keperkasaan, pengenalan, takut akan Allah, dan kesalehan) yang
disematkan ketika kita menerima sakramen Krisma (Penguatan). 7 Karunia Roh Kudus inilah yang akan
memberikan semangat / keberanian langkah kedua mempelai dalam mengarungi bahtera kehidupan.

Kembang mawar, melati, kantil, kenanga dll yang ditaburkan adalah simbol penghormatan kepada Tuhan
melalui keindahan dan keharuman, artinya kita memohon kepada Tuhan agar Tuhan menaburkan rahmatNya
kepada calon pengantin, keluarga dan sanak saudara untuk menerima kabar gembira yaitu sakramen
pernikahan suci yang akan diberikan kepada Otha dan Dani. Dalam tradisi Gereja Katolik bunga selalu
digunakan di altar untuk menghormati kehadiran Allah yang harum semerbak mewangi.

Di depan /halaman luar rumah kita disambut dengan ‘Bleketepe’, (anyaman janur / daun kelapa yang masih
muda). Zaman dahulu masyarakat Jawa menggunakan daun kelapa untuk atap rumah sebagai pelindung
/peneduh/ pengayom dari panas dan hujan. Maka siapa saja yang menggunakan ‘Bleketepe’ akan selalu
aman dan terlindung dari segala macam bahaya dan kejahatan. Sebagai orang Katolik kita bisa berkata
bahwa ‘Bleketepe’ adalah lambang dari rahmat dan perlindungan Tuhan yang selalu menyertai kita sampai
akhir zaman.

Di kanan dan kiri pintu gerbang terdapat hiasan janur melengkung melambangkan cita-cita yang tinggi dan
mulia yang akan menjadi arah bagi kedua mempelai dalam mencapai tujuan hidup.

Dua buah kelapa yang diikat menjadi satu mengandung makna agar kelak kedua mempelai selalu tetap
bersatu, berdampingan, hidup rukun dan damai sampai akhir hayat, lambang dari perkawinan katolik yang
satu dan tak terceraikan (monogami). Yang dipersatukan Allah, janganlah diceraikan oleh manusia.
Kendi berisi air yang artinya ‘wadah/tempat air minum’. Kendi memberikan ruang bagi udara agar bisa
masuk, oleh karena itu air kendi terasa sangat segar. Masyarakat Jawa jaman dulu, biasanya meletakkan
kendi di depan rumah, agar ketika ada orang yang lewat dan kehausan bisa minum air dari kendi tersebut.
Hal ini mengajarkan kepada kita agar kita saling membantu dan tolong menolong tanpa pamrih. Dalam
filosofi Jawa, kendi dimaknai sebagai sumber kehidupan. Rohnya tetap melekat yaitu roh solidaritas antar
sesama.

Bapak/Ibu/Sdr yang terkasih dalam kristus, semoga tradisi ‘Siraman’ ini dapat menginspirasi, memotivasi,
membuka hati dan pikiran kita akan kehadiran Tuhan pada setiap peristiwa kehidupan yang kita alami. Amin.

********************

Anda mungkin juga menyukai