Anda di halaman 1dari 6

LITURGI EKARISTI YANG BAIK INDAH DAN BENAR

Menurut pengamatan, Perayaan Ekaristi itu masih diminati oleh umat. Secara
kwantitatif umat masih pergi ke gereja. Meskipun bisa saja dianggap hanya rutin. Bahkan
sekedar memenuhi kewajiban, dan kelayakan seorang yang beragama Katolik. Ada kesan
yang belum menjadi suatu kebutuhan dengan kesadaran. Malah ada sebagian yang sekedar
ikut-ikutan sekedar untuk menunjukan identitas kekatolikannya. Bila potret ini benar, tidak
heranlah kalau perayaan Liturgi Ekaristi itu dirasa kering, dingin, tidak menarik dan menjadi
beban. Sikap seperti itu agaknya tidak hanya terjadi pada umat pada umumnya, namun juga
pada imamnya.

Kenyataan di atas itu bisa sebagai sebab tapi juga bisa merupakan akibat. Disebut
sebab dalam arti memang liturgi tidak menarik, tidak memikat dan tidak memnuhi kebutuhan
dasar umat beriman. Disebut akibat artinya bahwa kekurang pemahaman akan Liturgi
Ekaristi itu sendiri yang minim yang membuat tidak menarik, kering dan tak berdaya guna.
Angket yang pernah dilakukan oleh Komlit KWI (Juli 2000) menunjukan bahwa
pengetahuan dan pemahaman (know how dan know why) umat (begitu juga imamnya)
mengenai Liturgi Ekaristi itu sangat memprihatinkan. Katekese yang lemah telah membuat
para peraya sekedar melaksanakan upacara tanpa penghayatan, tanpa mengerti makna dan
arti secara keseluruhan perayaan termasuk juga detail dan bagian-bagian dari Liturgi Ekaristi
tersebut. Belum lagi penghayatan simbol yang tidak mudah untuk mengajarinya. Jadi
pendidikan dan pemahaman Liturgi bisa dijadikan akar permasalahannya. Dalam hal ini
Komlit telah menyodorkan suatu rekomendasi kepada KWI agar menggalakkan pendidikan
Liturgi para imam (calon imam), di paroki-paroki, keuskupan dan juga umat pada umumnya
(ILSKI Bandung pada hakekatnya hendak mewadahi atau memenuhi kebutuhan itu).
Permasalahan lainnya yang cukup serius adalah Liturgi Ekaristi telah kehilangan
dimensi misterinya. Liturgi sudah tidak menciptakan atmosfir sakral dalam perayaannya.
Karena dimensi misteri itu merupakan hakekat dari liturgi itu sendiri, oleh karenanya sangat
diperlukan dan harus dikembalikan lagi. Liturgi tidak sakral, tidak “gaib” dan tidak
“keramat” lagi. Liturgi Ekaristi tidak menciptakan extra quotidiana. Perayaan dirasa hambar,
datar, tak menyentuh dan tidak memberi impak pada pengalaman pertemuan dengan Yang
Suci.
Liturgi Sabda juga kehilangan dimensi misterinya. Kitab Suci diproklamasikan
(diwartakan) secara miskin, dangkal dan murahan. Homili yang sakramental itu, yang
merupakan saat yang ilahi itu mewahyukan dirinya dan hadir di tengah-tengah umat yang
sedang mendengarkan Sabda-Nya, kini kalau bukan sekedar panggung lawak yang tak lucu,
juga telah menjadi forum pidato politik yang tidak profesional, yang menjadi sekedar
perpanjangan koran harian yang memuat berita politik. Berita-berita yang situasional bukan
perkara keabadian dan eskatologi. Umat yang rindu mendengarkan Sabda Allah dan
peneguhan iman, kini dibanjiri kemuakan berita yang sudah dipaparkan dalam massmedia.
Gereja menjadi sekedar aula pertemuan yng tidak menciptakan suasana extra quotidiana.
Suasana yang sangat dirindukan oleh orang jaman sekarang; ruang kudus, saat kudus dan
ajaran kudus. Dalam hal ini ingin kami singgung bahwa keluhan umat mengenai homili yang
tak menyentuh dan tak memberi bekal spiritual cukup kentara sekali.
Bila permasalahan liturgi terletak pada imamnya (sebagai pemimpin perayaan) yang
kurang pemahaman dan pembekalan dalam pendidikannya dan pada umatnya yang tidak
berpartisipasi secara penuh dan aktif dalam perayaan Liturgi. Maka masalah itu tidakbisa
ditimpakan pada ritual/liturginya, yang selama ini dijadikan kambing hitam. Ritus liturgi kita
bila dirayakan sebagaimana mestinya telah memiliki karakater yang elegan, simpel tetapi
jelas. Seperti kata pepatah; "buruk muka cermin dibelah". Karakter suatu ritual (yang terdiri
atas tata gerak, tata kata, dan tata gelar) sifatnya selalu sama dan menjunjung tinggi nilai
tradisi dan kelestarian. Semakin mentradisi semakin kuat makna spiritualnya. Tidak sangat
beralasan untuk mengkutak-katik struktur dan elemen-elemen ritus Ekaristi itu.

MERUMUSKAN MAKNA EKARISTI


Kiranya dalam kesempatan ini perlu ada penjelasan mengenai ajaran resmi atau
konsep resmi menengai Ekaristi. Selain perlu penjelasan tata cara tapi mendesak juga
mengamati "whatness"- nya. Bukan hanya pada how nya saja.
Tanpa mengabaikan faktor penyebab lainnya, persoalan mengenai Liturgi Ekaristi
antara lain terletak pada adanya pemahaman yang keliru. Kekurang pahaman mengenai
teologianya, ibarat seorang yang berangkat tanpa asal dan tujuan; asal jalan, asal melakukan
tanpa mengerti apa yang dilakukan, tanpa memahami untuk apa dan mengapa ia
melakukannya. Perayaan liturgi menjadi robotik. Liturgi jatuh pada ritualisme dan
formalisme. Suatu praktek yang tanpa penjiwaan dan pemahaman. Yang dilakukan hanya
demi pemenuhan kewajiban yang legalistis. Dengan kata lain, saya melakukan sekedar
memenuhi aturan. Liturgi menjadi sangat minimalistis.
Memahami ajaran resmi dan yang benar mengenai Ekaristi berarti kita menyembah
Allah dalam roh dan kebenaran. Dalam Roh mengandaikan Liturgi itu dilakukan, dirayakan
dan diungkapkan dengan segenap pikiran (tahu, mengerti), kesadaran, sepenuh perasaan dan
kehendak tidak ada kepalsuan, kepura-puraan atau asal-asalan (asal bunyi dan asal gerak).
Dalam kebenaran artinya sesuai dengan Liturgi yang sudah merupakan identitas ibadah
Katolik. Nota bene, suatu ibadah yang sudah merupakan warisan kekayaan Gereja yang
sudah diuji dalam perjalanan sejarah. Suatu Liturgi yang menunjukkan universalitas beribadat
ala satu, kudus, katolik dan apostolik.

· Pertama kita pahami bahwa Ekaristi itu sebagai titah sakral dari Yesus, «Lakukanlah ini
sebagai kenangan akan Daku ». Kita merayakan Ekaristi semata-mata karena perintah dan
kehendak dari Yesus Kristus. Mentaati perintah-Nya adalah jalan keselamatan. Dengan
melakukan perintah suci ini, serentak menghadirkan Kristus. Ekaristi sebagai anamnesis;
kenangan yang menghadirkan. Kurban keselamatan yang diaktualisir kini dan disini.
Disinilah primas dan desiderium Perayaan Ekaristi yang kita lakukan setiap saat. Yesus
Kristus telah menginstitusikannya. Kenangan yang menhadirkan itu menjadi praesentia
realis; «inilah Tubuh-Ku, inilah Darah-Ku ». Kerinduan mendasar manusia itu adalah ingin
melihat Allah. Dalam Ekaristi yang misteri itu menjadi real dan visible. Dalam hal ini perlu
memahami konsep transsubstatiatio; bahwa roti dan anggur yang dikonsekrasi oleh imam itu
adalah sungguh tubuh dan darah Kristus. Ingat analogi kedelai, kecap dan tahu yang memiliki
substasi yang sama tetapi wujud yang berbeda.

· Ekaristi sebagai doa; sebagai ungkapan syukur; syukur atas penyelamatan dan penebusan.
Doa yang merupakan saat glorifikasi agar dapat di-divinisasi. Atau karena telah didivinisasi
maka perlu mengadakan syukuran.

· Ekaristi sebagai kurban anak domba di salib. Kita sebagai Tubuh mistik Kristus ketika
melaksanakan Perayaan Ekaristi menjadi kurban Gereja. Disebut kurban Kristus karena Doa
Syukur Agung memohon agar menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Seperti yang dikatakan oleh
Agustinus, bahwa Ekaristi itu adalah kurban yang tampak dari yang tampak. Ingat bahwa
menurut para reformator Ekaristi itu hanyalah perjamuan, bukan kurban.

· Ekaristi sebagai ekspresi dan ekperiensi iman, harapan dan kasih; saat mengungkapkan
dan menghayati iman sebagaimana Gereja Apostolis mengimani, mencintai dan mengharap.
Ekspresi dalam rupa perayaan iman, kasih dan harapan.

· Apakah Ekaristi bisa dipahami sebagai "tolak bala", saat "ruatan"? Ekaristi dipahami
sebagai upaya melawan kekuatan jahat. Ekaristi adalah menghadirkan kembali Misteri Pakah,
– yakni peristiwa penderitaan, kematian dan kebangkitan Kristus– peristiwa Kristus
mengalahkan sengat si maut dan Iblis. Sebagaimana dalam 1 Yoh 3, 8; "barangsiapa yang
tetap berbuat dosa,berasal dari Iblis, sebab Iblis berbuat dosa dari mulanya. Untuk inilah
Anak Allah menyatakan diri-Nya, yaitu seupaya Ia membinasakan perbuatan-perbuatan Iblis
itu".

· Ekaristi sebagai "sowan gusti". Sejajar dengan paham praesentia realis. Pengalaman
pertemuan selalu penting bagi manusia termasuk dengan yang suci misteri. Secara arketipis
manusia butuh ruang kudus dan waktu kudus sebagai ruang dan waktu untuk bertemu dengan
yang kudus.

· Liturgi itu apa? Liturgi itu ekspresi dan ekperiensi misteri iman, harapan dan kasih.
Keutamaan teologal yang dirayakan, diungkapkan secara simbolik dalam upacara ritual
dimana roh dan kebenaran memegang peranan penting. Ungkapan iman yang berdasar pada
Gereja Katolik yang Kudus dan Apostolik. Jadi liturgi itu mengenal dimensi
universalitasnya; bukan sekedar keseragaman, tetapi berakar pada tradisi yang benar yang
telah diuji oleh sejarah.

· Rencana strategis yang dibuat oleh Sacrosanctum Concilium itu sangat jelas. Bahwa
pembaharuan liturgi itu seharusnya: memelihara, menjaga, mengusahakan agar tumbuh
berkembang dalam berpartisipasi aktif (participatio actuaosa) umat dalam merayakan liturgi.
Namun gagasan partisipasi aktif itu telah ditafsirkan secara sembarangan. Sekedar agar umat
bersibuk diri secara fisikal maupun verbal. Dimensi keheningan, dan membantu umat agar
berpartisipasi secara batin dianggap meninabobokan agar umat pulas tertidur.

· Sacrosanctum concilium mempertegas peran dan hakekat serta kodrat masing-masing


dalam perayaan liturgi. Imam adalah imam dan umat adalah umat. Seorang imam adalah
perantara (pontifex jembatan) dalam dimensi katabatik dan anabatik dalam struktur dasar
doa liturgi (bukan devosi) antara Allah dan umat. Contoh kasus Doa Syukur Agung (doa
presidensial) yang membiarkan umat untuk mengucapkannya (dengan alasan demi
partisipasi) telah menggeser peran imam sebagai in persona Christi. Perlu diingat bahwa
krisis identitas imam (yang membuat mereka meninggalkan martabat imamatnya) berawal
dari kehilangan peran sesungguhnya dalam Liturgi.
· Musik dan lagu-lagu liturgi (musik Gereja) telah diberi tempat istimewa dan integral
dalam liturgi. Musik liturgi yang semestinya menciptakan atmosfir sakral, menciptakan
pengalaman religius, pengalaman pertemuan dengan yang ilahi (seperti yang dimiliki oleh
musik-musik gregorian), kini telah jatuh pada sentimentalitas murahan dan “mundane”,
yang sekedar menciptakan nostalgia yang manusiawi bukan yang ilahi. Liturgi dibuat asala
umat senang.

Liturgi terbuka untuk beradaptasi dengan “genus” kultural setempat. Alasananya karena
ungkapan iman itu harus sesuai dengan bahasa pengungkapannya. Baik secara verbal maupun
secara simbolik. Diharapakan seautentik mungkin. Tapi tidak berarti kehilangan sukma dan
maknanya. Tidak semua hal yang berbau etnis bisa diinkulturasikan. Inkulturasi berbeda
dengan sekedar kreatifitas.
Diposkan oleh Paroki Kristus Raja Serang di 14.49
Label: liturgi

LIPUTAN KEGIATAN

PENGAJARAN & PEMAHAMAN SUSUNAN PERAYAAN EKARISTI YANG BENAR DAN SAKRAL bagian 2 (TGL.

Untuk menyukseskan Tahun Liturgi bagi Keuskupan Surabaya, PDKK St Marinus Yohanes pada tanggal 15 Agustus 2012 m
pemahaman Liturgi Perayaan Ekaristi yang dibawakan oleh Bp. A. Dharsono. Sebagai umat Katolik diharapkan tidak melup
adalah pusat dan puncak kehidupan kristiani serta puncak karya keselamatan Allah Bapa melalui penebusan Yesus Kristus.

Dari ulasan yang sampaikan, kita dapat merenungkan Apakah kita sudah benar-benar mempersiapkan hati dan pikiran kita s

Persiapan itu sangat perlu. Persiapan harus selalu dilakukan oleh para petugas Liturgi saat sebelum misa dimulai.

Demikian halnya dengan kita: membuat ujud-ujud doa pribadi, membuat intensi pribadi untuk dibacakan pada saat misa; dat
di dalam gereja. Supaya ujud-ujud doa kita dipersatukan dalam Doa Pembuka pada perayaan Ekaristi itu. Supaya, kita dapat
dapat diukur secara materi, namun dapat dirasakan dalam rohani kita.

Beberapa makna dari sebuah kebiasaan kita pada saat menghadiri misa, seperti:

1. Makna mengambil air suci saat masuk gereja adalah untuk kembali mengingatkan kita akan janji baptis kita kepada A
kehadiran kita untuk bersatu dengan Roh Kudus dalam menyambut Tubuh Kristus. Membuat tanda salib dengan men
altar.
2. Berlutut menghadap Tabernakel yang ada Sakramen Maha Kudus atau altar sesaat sebelum duduk, sebagai bukti pen
diundang Tuhan masuk dalam hadiratNya.
3. Tanda salib kita buat dengan pengertian sebagai ungkapan kemenangan akan karya penyelamatan Allah Bapa melalu
pernyataan iman kepada Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus.
4. Pada saat Credo, ada bentuk penghormatan kita akan Tuhan Yesus Kristus, yakni saat "...yang dikandung oleh Roh K
melakukan penghormatan dengan membungkuk.
5. Perarakan persembahan sebaiknya diiringi lagu persembahan, sedangkan apabila tidak ada perarakan, cukup diiringi
6. Saat Doa Syukur Agung berlangsung, kita tidak diperkenankan untuk duduk harus berdiri/berlutut apabila ada tempa
Darah Kristus diangkat imam, kita harus melihatnya/memandangNya. Saat Imam selesai mengangkat Tubuh dan Da
kita menundukkan kepala.
7. Agar pantas dan layak saat menghadiri perayaan ekaristi, kita harus terlebih dulu puasa dan pantang makanan dan mi
Puasa tidak dihitung 1 jam dari awal misa, tetapi 1 jam sebelum komuni.

Selain di atas, ada banyak hal dan simbul-simbul yang dapat kita pahami dari masing-masing makna tata susunan Perayaan E
sangat antusias mendengarkan pengajaran yang di sampaikan oleh Bp. A. Dharsono.

PDKK mengundang umat paroki Santo Marinus Yohanes untuk ikut serta didalam setiap pengajaran yang diadakan oleh ger
lingkup Gereja Katolik yang perlu kita ketahui seperti : Lectio Devina, Doa Rosario dan pemahamannya, Doa Misa Arwah,
benda-benda suci di dalam gereja katolik, Pengupasan Dei Verbum, Konsili Vatikan II, Katekismus, dan lain-lain.

Sebagai umat Katolik yang beriman dan berpegang teguh pada Tuhan Yesus mari mengingat, bahwa Katolik tidak hanya sek
tetapi hendaknya dapat menjadi umat yang paham akan tata tertib dan susunan liturgis gereja, serta menjadi pelopor aktif da
setulus hati, tanpa pamrih bagi sesama dalam kegiatan-kegiatan gereja. Tuhan Yesus memberkati. ( Redaksi PDKK STMY)

Anda mungkin juga menyukai