Anda di halaman 1dari 22

P e d o m a n U m u m P e r a y a a n S a b d a |1

DIRECTORIUM DE CELEBRATIONIBUS
DOMINICALIBUS ABSENTE PRESBYTERO
PEDOMAN UMUM
PERAYAAN SABDA HARI MINGGU TANPA IMAM

Disiapkan Oleh Kongregasi Ibadat


Disahkan Oleh Bapa Suci Yohanes Paulus II, 21 Mei 1988
Dimaklumkan Oleh Kongregasi Ibadat, 2 Juni 1988
P e d o m a n U m u m P e r a y a a n S a b d a |2

Kata Pengantar
Prot.no.691/86

Pedoman perayaan sabda Hari Minggu ini dimaksudkan sebagai


jawaban atas pelbagai masalah yang saling berkaitan. Masalah pertama
adalah kenyataan bahwa dewasa ini tidak selalu dan tidak semua tempat
dapat diselenggarakan perayaan Hari Minggu yang lengkap (no.2). Yang
kedua ialah, permohonan dari beberapa konferensi uskup di tahun-tahun
terakhir ini agar diterbitkan pedoman-pedoman untuk situasi yang
demikian (no.7). Dan yang ketiga, pengalaman bahwa takhta suci, atas
dasar petunjuk dari pedoman-pedoman umum yang ada, bersama banyak
banyak uskup dalam lingkup Gereja setempat sudah menggeluti persoalan
ini. Pedoman ini memanfaatkan pula pengalaman dari para pemberi saran,
untuk menilai manfaat perayaan sabda Hari Minggu dan sekaligus
menunjukkan batasan-batasan serta kemungkinan pelaksanaanya.

Wawasan dasar pedoman ini ingin menegaskan bahwa pada Hari


Minggu, dalam situasi apapun, perlu diselenggarakan perayaan Kristiani
yang pantas, tanpa melupakan bahwa Ekaristi merupakan perayaan
utama, dan tetap memperhatikan hal-hal penting yang harus ada kalau
perayaan Ekaristi tidak dapat dirayakan.

Bukanlah maksud dokumen ini untuk menggalakkan atau pun


mempermudah suatu pertemuan Hari Minggu tanpa perayaan Ekaristi
secara berlebihan atau tak wajar. Dokumen ini justru mau memberi arah
dan mengatur hal-hal yang patut dilaksanakan bila situasi nyata menuntut
keputusan yang sepadan (no.21-22).

Bagian pertama dari pedoman ini bermaksud semata-mata


menguraikan secara berurutan makna Hari Minggu, dan dalam hal ini
pedoman, bertitik tolak dari konstitusi liturgi no.106 (no.8).

Bagian kedua mengemukakan syarat-syarat yang perlu untuk


mengambil keputusan mengenai pertemuan Hari Minggu yang diadakan
tanpa kehadiran seorang imam dengan cara yang lazim di sebuah
keuskupan.
P e d o m a n U m u m P e r a y a a n S a b d a |3

Dari segi wawasan dan pelaksanaan, bagian ini merupakan bagian


yang paling penting dari seluruh dokumen.

Sejauh menyangkut kaum awam, sangat diharapkan kerja sama


yang baik. Ini merupakan suatu contoh pelimpahan tugas oleh pastor
kepada anggota kelompok Umat.

Bagian ketiga menyajikan gambaran singkat mengenai perayaan


sabda Hari Minggu dengan komuni kudus

Sama seperti dokumen-dokumen serapa, pelaksanaan pedoman ini


diserahkan kepada setiap uskup menurut situasi keuskupannya masing-
masing, dan apabila menyangkut kaidah-kaidah yang lebih luas,
diserahkan kepada konferensi para uskup.

Yang penting adalah menegaskan kepada jemaat bahwa kalau imam


tidak hadir maka tetap ada kemungkinan bagi mereka untuk berkumpul
bersama merayakan Hari Minggu sambil memperhatikan masa liturgi yang
bersangkutan (no.36), dan menghayati kesatuan mereka dengan jemaat
yang kini merayakan Ekaristi bersama pastor parokinya (no.42).

Di atas segalanya, tujuan pastoral Hari Minggu, seperti diungkapkan


Paus Paulus VI (no.21) dan Paus Yohanes Paulus II (no.50), tetaplah sama,
yakni agar Hari Minggu dirayakan dan dihayati sesuai dengan Tradisi
Kristiani.

Vatikan, 2 juni 1988


P e d o m a n U m u m P e r a y a a n S a b d a |4

PENDAHULUAN
1. Gereja Kristus, sejak hari Pentakosta, sesudah turunnya Roh Kudus,
tidak pernah berhenti berkumpul untuk merayakan misteri Paskah
pada hari yang disebut “Hari Tuhan”, sebagai kenangan akan
Kebangkitan Tuhan. Pada pertemuan Hari Minggu itu Gereja
mewartakan apa yang tertulis dalam seluruh Kitab Suci mengenai
Kristus (bdk. Luk.24:27) dan merayakan Ekaristi untuk mengenang
wafat dan kebangkitan Tuhan sampai Ia datang.
2. Namun demikian, merayakan Hari Minggu secara lengkap tidak
selalu dapat diselenggarakan. Banyak Umat beriman, dan sekarang
ini pun masih banyak, yang karena “tidak ada pelayan rohani atau
karena alasan berat lainnya, tidak mungkin mengambil bagian
dalam perayaan Ekaristi”. (bdk. Luk.24:27)
3. Di beberapa daerah, di kalangan orang-orang yang baru menjadi
anggota Gereja, uskup-uskup telah memberi tugas kepada katekis
untuk menghimpun orang beriman pada Hari Minggu dan memimpin
doa menurut tata kebaktian saleh yang ada. Ini terjadi karena
jemaah Kristiani makin bertambah jumlahnya dan tersebar di
banyak tempat, kadang-kadang sangat berjauhan, sehingga tidak
setiap Hari Minggu mereka dapat dikunjungi imam.
4. Di tempat lain, karena penganiayaan terhadap Umat Kristen, atau
karena kebebasan beragama sangat dibatasi, kaum beriman dilarang
berkumpul pada Hari Minggu. Seperti dulu pernah terjadi orang
Kristen setia berhimpun pada Hari Minggu hingga menjadi martir,
demikian pula sekarang banyak orang beriman yang berusaha
berkumpul untuk berdoa pada Hari Minggu, entah dalam keluarga
entah dalam kelompok kecil meskipun tanpa kehadiran pelayan
rohani yang resmi.
5. Selain itu, pada zaman kita, di pelbagai tempat tidak dapat
dirayakan Ekaristi pada setiap Hari Minggu karena kekurangan
imam. Lagi pula dibanyak paroki jumlah Umat menyusut karena
situasi sosial dan ekonomi. Maka kepada para imam telah diberikan
tugas untuk memimpin perayaan Ekaristi beberapa kali pada satu
Hari Minggu di pelbagai Gereja yang saling berjauhan. Tetapi
praktek ini rupanya tidak selalu menguntungkan, baik bagi paroki-
P e d o m a n U m u m P e r a y a a n S a b d a |5

paroki yang tidak memiliki gembala sendiri, maupun bagi imam-


imam yang bersangkutan.
6. Karena itu di beberapa Gereja setempat, di mana terjadi hal-hal
seperti di atas, para uskup telah menetapkan perlunya mengadakan
perayaan-perayaan lain pada Hari Minggu. Dengan demikian,
kendati kekurangan imam, tetaplah dapat diselenggarakan
pertemuan Umat beriman dan dipertahankan tradisi Kristen Hari
Minggu. Tidak jarang, terutama di tanah misi, Umat sendiri
menyadari pentingnya Hari Minggu, dan dengan pertolongan para
katekis serta biarawan-biarawati mereka berkumpul untuk
mendengarkan Sabda Allah, untuk berdoa, dan kadang-kadang
untuk menerima Sakramen Ekaristi.
7. Setelah mempertimbangkan sebaik-baiknya hal-hal di atas, dengan
memperhatikan dokumen-dokumen takhta suci, seraya menyokong
pendapat-pendapat konferensi para uskup, Kongregasi Ibadat
merasa perlu mengingatkan beberapa unsur ajaran resmi Gereja
mengenai Hari Minggu, dan menentukan syarat-syarat yang
mengizinkan perayaan sabda Hari Minggu di keuskupan-keuskupan,
sekaligus memberikan beberapa garis pedoman untuk dapat
menyelenggarakan perayaan-perayaan tersebut dengan baik. Adalah
tugas konferensi para uskup, menurut keadaan, untuk menentukan
kaidah-kaidah lebih lanjut dan menyesuaikan pedoman ini dengan
kekhasan budaya serta situasi pelbagai suku bangsa dengan
memberitahukannya kepada Takhta Apostolik.
P e d o m a n U m u m P e r a y a a n S a b d a |6

BAB I

HARI MINGGU DAN PENGHAYATANNYA


8. “Berdasarkan tradisi para rasul yang berawal pada hari kebangkitan
Kristus sendiri, Gereja merayakan misteri Paskah pada setiap hari
kedelapan, yang sudah selayaknya di sebut hari tuhan atau Hari
Minggu.” (Konstitusi Liturgi no.106; lih. Sbl. 2a no.106)

9. Kesaksian tentang pertemuan Umat beriman pada hari yang sejak


perjanjian baru disebut “Hari Tuhan” (bdk. Why.1:10; bdk juga
yoh.20:19-26; kis.30:7-11; 1kor.16:1; ibr.10:24-25) nyata jelas dalam
dokumen-dokumen yang paling kuno dari abad pertama dan kedua.
Di antara yang paling menonjol adalah kesaksian Santo Yustinus,
“pada hari yang disebut hari matahari (minggu) berhimpunlah
semua penduduk baik dari kota maupun dari desa di tempat yang
sama”. (S.Yustinus, apologia, i,67; pg 6, 430). Tetapi hari orang
Kristen berhimpun tidak bertepatan dengan hari-hari raya
penanggalan Yunai dan Romawi. Hal ini menjadi tanda kepercayaan
Kristen bagi sesama warga kota dan desa.

10. Sejak abda-abad pertama, para gembala selalu mengingatkan kepada


Umat perlunya berhimpun pada Hari Minggu. “sebagai anggota
tubuh kristus janganlah kamu memisahkan diri dari Gereja dengan
cara tidak berkumpul… janganlah menolak dan menjauhkan
Juruselamat dari anggota-Nya, janganlah pula memisahkan dan
memecah-belah tubuh-Nya” (Didascalia Apostolorum, 2.59.1-3; ed.
Fx. Funk 1, hlm. 170). Hal yang senada diungkapkan kembali dalam
konsili vatikan ii sebagai berikut, “pada hari ini (minggu) Umat
Kristen harus berkumpul untuk mendengarkan Sabda Allah dan
mengambil bagian dalam perayaan Ekaristi, untuk mengenangkan
sengsara, wafat, kebangkitan, dan kemuliaan Tuhan Yesus; juga
untuk bersyukur kepada Allah, yang berkat kebangkitan Yesus
Kristus dari antara orang mati telah melahirkan mereka kembali
kepada suatu hidup yang penuh pengharapan.” (Konstitusi Liturgi
106; sbl, 2a. No.106).
P e d o m a n U m u m P e r a y a a n S a b d a |7

11. Pentingnya perayaan Hari Minggu untuk hidup Umat beriman telah
dilukiskan Santo Ignatius dari Antiokia sebagai berikut, “kita (orang
Kristen) tidak lagi merayakan hari Sabath, tetapi hidup menurut
Hari Minggu, pada hari mana kita dibangkitkan karena Dia (kristus)
dan wafat-Nya” (s. Ignatius antiochenus, ad magnesios 9,1; ed. Fx
funk, hlm.199). Orang beriman baik di masa lampau maupun dewasa
ini, sangat memperhatikan Hari Minggu, sehingga mereka sama
sekali tidak mau melupakan hari itu baik di zaman penganiayaan
maupun di tengah kebudayaan yang mungkin sudah jauh berbeda
dari iman Kristen atau malah bertentangan dengannya.

12. Unsur-unsur yang perlu untuk mengadakan pertemuan pada Hari


Minggu adalah sebagai berikut:

a) Berhimpunnya Umat beriman; untuk dapat dikatakan sebagai


perwujudan Gereja. Pertemuan Umat ini terjadi tidak hanya atas
kemauan Umat sendiri, melainkan karena dipanggil oleh Allah;
dengan kata lain: sebagai Umat Allah yang dibentuk secara
organis dan dipimpin oleh Imam atas nama Kristus, Sang Kepala
b) Katekese mengenai misteri Paskah lewat Kitab Suci yang
diwartakan dan dijelaskan oleh Imam atau Diakon
c) Perayaan kurban Ekaristi, yang dilaksanakan oleh Imam atas
nama Kristus, dan dipersembahkan atas nama seluruh Umat;
dengan perayaan ini misteri Paskah diaktualisasikan

13. Reksa pastoral diarahkan terutama supaya Ekaristi dirayakan setiap


Hari Minggu, karena hanya melalui kurban ini Paskah Tuhan
diabadikan, dan Gereja diwujudkan secara penuh. “Hari Minggu
adalah pangkal segala pesta; hari itu harus dianjurkan dan
ditandaskan bagi kebangkitan Umat beriman…. Perayaan-perayaan
lain, kecuali yang benar-benar sangat penting, harus mengalah
terhadap Hari Minggu, karena Hari Minggu adalah dasar dan inti
seluruh Tahun Liturgi” (KL. 106).

14. Azas-azas ini ini perlu ditanamkan sejak awal pendidikan Kristen,
supaya Umat beriman dengan segenap hati memahami alasan
mengapa Gereja setiap Hari Minggu menghimpun mereka untuk
P e d o m a n U m u m P e r a y a a n S a b d a |8

merayakan Ekaristi; jadi bukan melulu devosi pribadi. Dengan


demikian orang beriman dapat mengalami Hari Minggu sebagai
tanda bahwa Tuhan mengatasi segala karya manusia, dan bukan
hanya sebagai hari istirahat. di samping itu, mereka dapat
menangkap lebih dalam arti perkumpulan pada Hari Minggu dan
memperlihatkan dengan jelas bahwa mereka adalah anggota Gereja.

15. Seperti dalam perkumpulan Umat Kristen, dalam perkumpulan Hari


Minggu pun orang-orang beriman seharusnya mengalami baik
partisipasi aktif maupun persaudaraan sejati, serta kesempatan
untuk membarui diri secara rohani di bawah bimbingan Roh Kudus.
dengan demikian mereka akan lebih mudah dilindungi terhadap
godaan sekte-sekte yang menawarkan bantuan melawan derita
kesepian dan pemenuhan aspirasi religius yang lebih sempurna.

16. Akhirnya, karya pastoran harus memajukan usaha-usaha untuk


menjadikan Hari Minggu sebagai “hari sukacita dan bebas dari
kerja” (KL, 106; lih. SBL 2A, No.106). Dengan demikian, dalam
masyarakat dewasa ini Hari Minggu tampak sebagai kebebasan, dan
karenanya menjadi hari yang ditentukan demi kebaikan harkat
manusia, yang dengan sendirinya lebih penting daripada pekerjaan
dan proses produksi.

17. Sabda Allah, Ekaristi, dan pelayanan imamat adalah karunia-


karunia yang diberikan Tuhan kepada Gereja, Pengantin-Nya.
karunia Allah yang sedemikian besar haruslah diterima, bahkan
harus diminta. Gereja, yang menikmati anugerah-anugerah itu
khususnya dlam pertemuan-pertemuan Hari Minggu , bersyukur
kepada Tuhan, sambil menantikan buah sempurna Hari Tuhan di
depan takhta Allah dan di hadapan Anak Domba (Why. 7:9).
P e d o m a n U m u m P e r a y a a n S a b d a |9

BAB II

SYARAT-SYARAT PERAYAAN SABDA HARI MINGGU

18. Kalau di suatu tempat pada Hari Minggu tidak mungkin dirayakan
Ekaristi, sangat diharapkan agar Umat beriman di situ perlu ke
Gereja yang terdekat untuk mengambil bagian dalam misteri
Ekaristi di sana. Juga pada masa sekarang jalan keluar ini
dianjurkan, malah patut dipertahankan sedapat mungkin. Untuk itu
Umat harus diberi penjelasan yang benar tentang keseluruhan
makna pertemuan Hari Minggu, dan penuh gairah menyesuaikan
diri dalam situasi itu.

19. Meski tanpa Ekaristi, sangatlah diharapkan agar pada Hari Minggu
kekayaan Kitab Suci dan doa-doa Gereja dihidangkan secara lengkap
kepada Umat beriman yang berkumpul untuk berbagai bentuk
perayaan. Dengan demikian, Umat tetap menikmati komunikasi
dengan Tuhan melalui bacaan dan doa-doa sesuai dengan Masa
Liturgi yang sedang berlangsung.

20. Apabila Ekaristi tidak mungkin dirayakan, dari sekian bentuk


kebaktian yang ditawarkan oleh Tradisi Liturgi sangat dianjurkan
Perayaan Sabda Allah, yang sesuai dengan keperluan; perayaan itu
dapat dilanjutkan dengan penerimaan Komuni Kudus. Dengan
demikian, pada waktu yang sama Umat dibekali dengan santapan
Sabda dan Tubuh Kristus. “Dengan mendengarkan Sabda Allah,
Umat beriman menyadari bahwa karya-karya agung yang
dilaksanakan Allah kini diwartakan melalui bacaan-bacaan dan
mencapai puncaknya pada misteri Paskah. Kenangan akan misteri
itu dirayakan secara sakramental dalam Ekaristi, dan orang ambil
bagian di dalamnya melalui Komuni” (Rituale Romanun: De Sacra
Communione et de Cultu Mysterii Eucharistici Extra Missa, No.26).
Di samping itu, dalam situasi tertentu, menurut keperluan masing-
masing Umat, Perayaan Sabda Hari Minggu dapat digabungkan
P e d o m a n U m u m P e r a y a a n S a b d a | 10

secara tepat dengan beberapa sakramen atau ibadat lain, terutama


ibadat berkat.

21. Umat perlu memahami dengan baik bahwa perayaan semacam itu
sifatnya sebagai pelengkap, dan tidak boleh dipandang sebagai jalan
keluar yang lebih baik untuk mengatasi kesulitan-kesulitan
mutakhir, apalagi dipandang sebagai pengakuan terhadap sikap
mencari gampang.

22. Hendaknya dielakkan segala jenis kekacauan antara perayaan Sabda


Hari Minggu dan Perayaan Ekaristi. Perayaan Sabda Hari Minggu
tidak boleh menghapuskan, tetapi sebaliknya harus mengembangkan
dalam hati orang beriman kerinduan untuk mengambil bagian dalam
Perayaan Ekaristi, dan memberi kesempatan untuk menyiapkan diri
lebih baik.

23. Hendaknya Umat beriman menyadari bahwa Perayaan Ekaristi


tidak mungkin dirayakan tanpa kehadiran Imam, dan bahwa komuni
yang dapat diterima dalam Perayaan Sabda Hari Minggu itu
berhubungan erat dengan Perayaan Ekaristi. Berdasarkan
keyakinan ini dapat dijelaskan kepada Umat beriman betapa
pentingnya mereka berdoa supaya Allah memperbanyak pelayan
misteri-Nya dan berkenan menganugerahkan kepada mereka
ketekunan dalam kasih Allah.

24. Sesudah mendengarkan pendapat Dewan Imam, Uskup Diosesan


berhak menentukan apakah dalam keuskupannya perlu mengadakan
Perayaan Sabda Hari Minggu tanpa Ekaristi, dan mengeluarkan
kaidah-kaidah umum dan khusus dengan mempertimbangkan
tempat serta petugas. Karena itu, Perayaan Sabda Hari Minggu
tidak dapat diselenggarakan tanpa persetujuan Uskup dan
bimbingan pastoral Pastor Paroki.

25. Tidak mungkin dibentuk suatu paguyuban Kristen kalau tidak


berakar dan berporos pada Perayaan Ekaristi Mahakudus. Karena
itu sebelum memutuskan untuk mengadakan Perayaan Sabda Hari
P e d o m a n U m u m P e r a y a a n S a b d a | 11

Minggu tanpa Ekaristi, Uskup hendaknya menyelidiki dengan


saksama baik keadaan paroki-paroki maupun kemungkinan
mendapat bantuan Imam, termasuk Imam biarawan yang tidak
diserahi tugas langsung pemeliharaan jiwa-jiwa; demikian pula perlu
dipertimbangkan frekuensi Perayaan Ekaristi di pelbagai
Gereja/paroki. Dalam hubungan ini patut dipertahankan keunggulan
Perayaan Ekaristi di atas segala kegiatan pastoral lainnya, terutama
pada Hari Minggu.

26. Uskup diosesan, langsung maupun melalui orang lain, hendaknya


mendidik Umat keuskupannya dengan katekese yang tepat tentang
hal-hal di atas, sambil menekankan bahwa ini merupakan masalah
yang amat penting, dan menghimbau mereka untuk ikut
bertanggungjawab dan bekerja sama. Uskup hendaknya menunjuk
seorang wakil atau membentuk satu komisi khusus untuk
memikirkan agar Perayaan Sabda Hari Minggu dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya. Baiklah ia memilih orang-orang yang mampu
meningkatkan pelaksanaan perayaan-perayaan seperti itu dan
mengusahakan pendidikannya yang sesuai bagi mereka. Meskipun
demikian, hendaknya selalu diusahakan agar Umat semacam itu,
beberapa kali setahun, mengambil bagian dalam Perayaan Ekaristi.

27. Adalah tugas Pastor Paroki untuk: menyampaikan kepada Uskup


perlunya penyelenggaraan Perayaan Sabda Hari Minggu di dalam
wilayah pelayannya; mempersiapkan Umat untuk itu; kadang-
kadang mengunjungi mereka sepanjang pekan, dan merayakan
sakramen-sakramen pada waktunya, terutama Sakramen Tobat.
Paguyuban Umat semacam ini kiranya dapat mengalami sungguh-
sungguh bagaimana rasanya merayakan Hari Minggu bukan “tanpa
Imam”, tetapi hanya “tanpa kehadiran Imam”, atau lebih tepat “
dalam penantian akan kehadirannya.”

28. Bila di suatu tempat Ekaristi tidak mungkin dirayakan, Pastor


Paroki hendaknya berusaha agar dapat membagikan hosti kudus.
Baiklah diusahakan supaya setiap kelompok Umat dapat merayakan
P e d o m a n U m u m P e r a y a a n S a b d a | 12

Ekaristi pada suatu waktu yang telah dijadwalkan. Hosti Kudus


hendaknya sering diperbarui dan disimpan di tempat yang aman.

29. Untuk memimpin Perayaan Sabda Hari Minggu ini, hendaknya


dipanggil seorang Diakon, rekan kerja terdekat para Imam. Diakon
yang ditahbiskan untuk menggembalakan dan memelihara Umat
Allah itu berwenang memimpin doa, mewartakan Injil,
menyampaikan homili dan membagikan hosti kudus.

30. Apabila Imam dan Diakon tidak ada, maka Pastor Paroki hendaknya
menunjuk para awam, yang dapat diberi tugas memandu perayaan-
perayaan, yakni memimpin doa, memberikan pelayanan Sabda dan
membagikan hosti kudus.
Pastor Paroki hendaknya memilih terutama beberapa akolit dan
lektor yang telah dilantik untuk pelayanan altar dan pelayanan
Sabda Allah. Kalau orang-orang ini juga tidak ada, dapat ditunjuk
beberapa awam lain, baik laki-laki maupun perempuan, yang dapat
menjalankan tugas ini atas dasar pembaptisan dan krisma mereka
(KHK.Kan.230, par.3)
Mereka ini hendaknya dipilih karena cara hidupnya yang selaras
dengan Injil; dan hendaknya diperhatikan bahwa mereka itu
diterima dengan baik oleh Umat beriman. Mereka hendaknya
ditugaskan untuk masa bakti tertentu, dan pengangkatannya
dinyatakan secara umum di hadapan Umat yang bersangkutan.
Sangatlah cocok menyelenggarakan suatu perayaan Ibadat, di mana
mereka didoakan.
Pastor Paroki hendaknya mengusahakan pendidikan yang memadai
dan berkesinambungan untuk mereka, dan bersama mereka
mempersiapkan perayaan yang khidmat

31. Para awam yang ditunjuk hendaknya mengemban tugas yang


diserahkan kepada kepada mereka, bukan terutama sebagai
kehormatan, tetapi sebagai pelayanan, pertama-tama pelayanan bagi
sesama saudara atas nama Pastor Paroki. Namun tugas mereka
tidaklah merupakan pelayanan tetap, melainkan pelayanan
sementara, dalam arti mereka melaksanakannya “sejauh keperluan
P e d o m a n U m u m P e r a y a a n S a b d a | 13

Gereja memintanya, dan bila tak ada pelayan rohani yang resmi”
(KHK. 239, par.3). Hendaknya mereka melakukan dengan utuh
hanya tugas-tugas yang seturut hakikat perayaan dan kaidah-kaidah
Liturgi menjadi bagiannya (KL. 28). Mereka hendaknya menunaikan
tugasnya dengan dengan tulus-ikhlas dan saksama sebagaimana
layak untuk pelayanan yang begitu luhur dan sudah semestinya
dituntut dari mereka oleh Umat Allah (KL.28).

32. Apabila pada Hari Minggu tidak dapat diselenggarakan Perayaan


Sabda dengan Komuni Kudus, sangat dianjurkan kepada Umat
beriman untuk “ secara perorangan atau dalam keluarga atau, jika
mungkin, beberapa keluarga bersama meluangkan waktu untuk
berdoa bersama selama waktu yang pantas.” ( KHK 1248 par.2).
Dalam situasi demikian mereka dapat memanfaatkan siaran
radio/televisi yang memancarkan/menayangkan perayaan-perayaan
kudus.

33. Secara istimewa hendaknya dicari kemungkinan untuk merayakan


beberapa bagian dari Ibadat Harian, umpamanya Ibadat Pagi atau
Ibadat Sore. Ke dalamnya dapat disisipkan bacaan-bacaan Hari
Minggu yang bersangkutan. Sesungguhnya apabila “Umat beriman
diundang untuk berkumpul dan merayakan Ibadat Harian, sambil
menyatukan hati dan suara mereka mengungkapkan Gereja yang
sedang merayakan misteri Kristus. Pada akhir perayaan ini dapat
dibagikan hosti kudus (bdk. No. 46).

34. “Bagi masing-masing orang beriman atau Umat, yang tidak dapat
merayakan Ekaristi untuk jangka waktu pendek atau panjang
karena pengejaran atau karena kekurangan Imam, rahmat
penyelamatan tidaklah berkurang. Sebab, diresapi oleh kerinduan
akan sakramen serta bersatu dengan seluruh Gereja yang berdoa,
mereka pun berseru kepada Tuhan dan mengangkat hati kepada-
Nya. Berkat kekuatan Roh Kudus mereka masuk dalam persekutuan
dengan Kristus dan dengan Gereja. Tubuh Kristus yang hidup…dan
karenanya menikmati juga buah-buah sakramen” (Kongregasi Ajaran
Iman: Epistula…de quibusdam…: AAS 75 (1983), 1007).
P e d o m a n U m u m P e r a y a a n S a b d a | 14

BAB III

TATA PERAYAAN SABDA HARI MINGGU

35. Tata Perayaan Sabda Hari Minggu terdiri dari dua bagian, yaitu:
Liturgi Sabda dan Komuni. Dalam Perayaan Sabda janganlah
dimasukkan bagian-bagian khusus Perayaan Ekaristi, teristimewa
persembahan dan Doa Syukur Agung. Tata Perayaan Sabda
hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga menunjang suasana doa
serta mengungkapkan suatu pertemuan liturgis, dan bukan sekedar
pertemuan keakraban.

36. Teks doa dan bacaan untuk setiap Hari Minggu dan Hari Raya
termuat dalam satu buku. Dengan demikian, sambil mengikuti Masa
Liturgi, Umat berdoa dan mendengarkan Sabda Allah dalam
persekuatuan dengan kelompok Umat di tempat lain.

37. Dalam mempersiapkan perayaan bersama kaum awam, Pastor


paroki dapat membuat penyesuaian sambil memperhatikan jumlah
peserta, kemampuan para petugas, alat musik, dan nyanyian.

38. Bila seorang Diakon memimpin perayaan, hendaknya ia bertindak


sesuai dengan batas wewenang pelayannnya, misalnya dalam
memberi salam, mengucapkan doa, membacakan Injil, membagikan
hosti kudus dan menyampaikan pengutusan kepada kepada Umat
dengan berkat penutup. Ia hendaknya mengenakan pakaian khusus
yang cocok dengan pelayanannya, yakni alba dan stola, dan pada
saat-saat tertentu ia mengenakan dalmatik serta duduk di kursi
pemimpin.

39. Seorang awam yang memandu ibadat Umat, bertindak sebagai salah
satu di antara sesama saudara seperti terjadi dalam Ibadat Harian
bila tidak dipimpin oleh petugas tertahbis, atau seperti dalam
pemberkatan-pemberkatan yang dipimpin oleh seorang awam. Di sini
P e d o m a n U m u m P e r a y a a n S a b d a | 15

ia menggunakan rumusan mislanya, “Semoga Tuhan memberkati


kita”, “Marilah kita memuji Tuhan”, …. Janganlah mereka memakai
ungkapan-ungkapan yang dikhususkan bagi Imam dan Diakon, dan
haruslah dihindarkan bagian-bagian yang secara langsung
mengingatkan Umat akan Perayaan Ekaristi seperti Salam,
khususnya “Tuhan bersamamu” dan rumusan pengutusan yang
mungkin memberi kesan bahwa awam tersebut adalah seorang
pemimpin tertahbis.

40. Hendaknya petugas awam mengenakan pakaian yang pantas untuk


pelayanan itu, atau mengenakan pakaian yang dianjurkan oleh
Uskup. Ia tidak boleh duduk di kursi pemimpin, tetapi di kursi yang
disiapkan secara khusus untuknya di luar panti Imam. Altar yang
adalah meja kurban dan meja perjamuan Paskah, hendaknya
dipergunakan hanya untuk meletakkan hosti kudus sebelum
dibagikan. Dalam menyiapkan perayaan hendaknya diperhatikan
pembagian tugas yang sesuai, misalnya untuk bacaan-bacaan, untuk
nyanyian, untuk tata ruang, tata hias, dan lain-lain.

41. Tata Perayaan Sabda terdiri dari bagian-bagian berikut:


a. Pembuka, yang tujuannya adalah supaya seluruh Umat yang
berhimpun membentuk diri menjadi satu persekutuan dan
menyiapkan diri agar layak merayakan Ibadat
b. Liturgi Sabda, yang di dalamnya Allah sendiri bersabda kepada
Umat-Nya untuk menyatakan misteri penebusan dan
penyelamatan; lalu Umat menanggapinya dengan menyatakan
iman dan menyampaikan Doa Umat
c. Doa Pujian, yang dengannya Allah dimuliakan karena kemuliaan
dan keagungan-Nya (bdk. No. 45).
d. Komuni, yang dengannya dialami dan diwujudkan persatuan
dengan Kristus dan dengan saudara-saudari seiman, terutama
dengan mereka yang pada hari itu mengambil bagian dalam
Perayaan Ekaristi.
e. Penutup, yang dengannya diungkapkan hubungan antara
perayaan Liturgi dan kehidupan sehari-hari
P e d o m a n U m u m P e r a y a a n S a b d a | 16

Konferensi para Uskup, atau Uskup setempat dapat mengatur tata


perayaan tersebut secara lebih tepat, setelah memperhatikan
keadaan tempat dan para petugas yang ada serta masukan dari
Komisi Liturgi Nasional atau Komisi Liturgi Keuskupan. Akan tetapi
kerangka dasar perayaan itu janganlah diubah kalau tidak ada
keperluan yang mendesak.

42. Dalam kata Pembuka, atau dalam kesempatan lain selama perayaan,
Pemandu/Pengantar hendaknya mengingatkan Umat yang hadir
bahwa pada Hari Minggu itu Pastor Paroki merayakan Ekaristi dan
sangat mengharapkan agar Umat seluruhnya mempersatukan diri
dengannya secara rohaniah.

43. Supaya Umat dapat meresapkan Sabda Tuhan, hendaknya ada


penjelasan tentang bacaan-bacaan atau saat hening untuk
merenungkan isi bacaan. Karena homili adalah tugas khusus Imam
atau Diakon (bdk. KHK 766-767), baiklah Pastor Paroki menyiapkan
dan mengedarkan teks homili kepada Pemandu/Pengantar Umat
agar mereka membacakannya. Dalam hal ini perlu diperhatikan apa
yang ditetapkan oleh Konferensi para Uskup.

44. Doa Umat dibuat sesuai dengan urutan ujud yang telah ditetapkan.
Ujud untuk seluruh keuskupan yang dianjurkan Uskup tidak boleh
dihilangkan. Dengan demikian hendaknya sesering mungkin
didoakan ujud untuk panggilan Imam, untuk Uskup, dan untuk
Pastor Paroki.

45. Doa Pujian dilaksanakan menurut salah satu cara yang dianjurkan
berikut ini:
a. Sesudah Doa Umat atau sesudah Komuni, Pemandu/Pengantar
perayaan mengajak seluruh Umat untuk menyampaikan pujian
dan syukur, yang dengannya Umat beriman mengakui kemuliaan
Allah dan kasih-setia-Nya. Untuk itu dapat didaras atau
dinyanyikan sebuah Mazmur, misalnya Mazmur 100, 113, 118,
136, 147, 150; atau sebuah madah atau kidung, misalnya:
Kemuliaan (Gloria), Magnificat; atau juga didoakan Litani.
P e d o m a n U m u m P e r a y a a n S a b d a | 17

Selama Doa Pujian, Pemandu/Pengantar berdiri di depan Umat


menghadap ke arah altar, dan mengucapkan doa itu bersama
dengan Umat yang juga berdiri

b. Sebelum Doa Bapa Kami, Pemandu/Pengantar pergi ke


tabernakel, dan sesudah memberi hormat, ia mengambil hosti
kudus lalu meletakkannya di atas altar. Sesudah itu dengan
berlutut di depan altar, bersama Umat ia melambungkan madah,
mazmur, atau doa litani, yang pada kesempatan itu ditujukan
kepada Kristus yang hadir dalam Ekaristi Kudus.

Bagaimanapun bentuknya, Doa Pujian ini tidak boleh mirip dengan


Doa Syukur Agung. Teks Prefasi atau Doa Syukur Agung yang
terdapat dalam Buku Misa Romawi tidak boleh digunakan, dan
setiap bahaya kekacauan hendaknya dihindari.

46. Untuk pelaksanaan Komuni, hendaknya diperhatikan semua yang


dikatakan dalam Rituale Romawi tentang pelayanan Komuni di luar
Perayaan Ekaristi. Baiklah Umat sering diingatkan bahwa setiap
kali menerima hosti kudus, juga di luar perayaan Ekaristi, ,mereka
dipersatukan dengan kurban Ekaristi.

47. Untuk Komuni sedapat mungkin dibagikan hosti yang dikuduskan


pada Hari Minggu yang sama di dalam Perayaan Ekaristi di tempat
lain, yang diantar ke tempat Perayaan Sabda oleh seorang Diakon
atau seorang awam dalam tempat penyimpanan hosti kudus (piksis
atau bejana kudus lainnya), dan sebelum atau selama perayaan
disimpan dalam tabernakel. Boleh juga menggunakan hosti dari
Perayaan Ekaristi yang terakhir di tempat itu. Menjelang “Bapa
Kami”, pemimpin perayaan pergi ke tabernakel atau ke tempat
penyimpanan hodti kudus, lalu mengambil piksis dengan Tubuh
Tuhan di dalamnya dan meletakkannyadi atas altar, kemudian
memulai doa “Bapa Kami”, kecuali bila saat itu diucapkan Doa
Pujian sesuai petunjuk No.54b.
P e d o m a n U m u m P e r a y a a n S a b d a | 18

48. Doa Tuhan (Bapa Kami) selalu diucapkan atau dinyayikan oleh
semua, juga kalau tidak ada Komuni Kudus. Dapat dilaksanakan
juga Salam Damai. Setelah komuni kudus, sesuai dengan keperluan,
dapat diadakan keheningan kudus untuk beberapa saat atau
dinyanyikan sebuah mazmur atau kidung pujian. Dapat juga
disampaikan Doa Pujian sesuai denagn petunjuk No.45a.

49. Sebelum Perayaan Sabda ditutup, dapat disampaikan pengumuman,


dan sekaligus minta perhatian Umat untuk hal-hal yang
menyangkut kehidupan paroki serta keuskupan.

50. Haruslah diakui: Tidak pernah akan dialami sepenuhnya makna


terdalam dari perayaan Hari Minggu, baik sebagai sumber hidup
Kristen bagia tiap pribadi dan seluruh Umat, maupun sebagai
ungkapan kehendak Allah: menghimpun semua orang dalam Yesus
Kristus Sang Putra.
Semua orang Kristen haruslah merasa yakin bahwa mereka tidak
dapat menghayati imannya, pun tidak dapat mengambil bagiannya
yang khas dalam perutusan universal Gereja, kalau mereka tidak
menimba kekuatan hidup dari Ekaristi. Demikian pula haruslah
mereka yakini bahwa perkumpulan Umat beriman pada Hari Minggu
merupakan tanda bagi dunia akan misteri persekutuan sejati dalam
Ekaristi.

Varikan, 2 Juni 1988

Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus

Kongregasi Ibadat dan Tertib Sakramen


P e d o m a n U m u m P e r a y a a n S a b d a | 19

PEDOMAN KHUSUS PERAYAAN SABDA


HARI MINGGU / HARI RAYA

1. Hari Minggu adalah Hari Ekaristi dan sekaligus merupakan Hari


Paroki (bdk. Dies Domini, No.32-35). Umat wajib berhimpun bersama
sebagai warga paroki untuk merayakan Ekaristi.
2. Di Indonesia terdapat banyak paroki dengan banyak stasi yang
kesulitan mendapatkan pelayanan Ekaristi yang memadai karena
kekurnagan Imam. Oleh karena itu, para Uskup mempercayakan
tugas kepada para katekis dan awam pada umumnya untuk memandu
Perayaan Sabda Hari Minggu dan Hari Raya Tanpa Imam.

3. Selama ini Komisi Liturgi KWI telah menerbitkan beberapa buku


untuk memenuhi keperluan Perayaan Sabda. Namun, peluncuran
Missale Romawi tahun 2002 dengan beberapa pembaruanny7a
mendorong Komisi Liturgi KWI untuk membenahi lagi PSHM dalam
hal rumusan doa dan pola yang lebig sederhana supaya lebih muda
dalam pemakaiannya.

4. Meskipun Umat di berbagai stasi tidak dapat merayakan Ekaristi


setiap Hari Minggu karena tidak ada Imam, Umat tetap berkewajiban
berhimpun bersama untuk merayakan peribadatan supaya memupuk
kebersamaan dalam Tuhan sebagai anggota Tubuh Mistik.

5. Oleh karena itu, Perayaan Sbada yang diadakan menuntut peran-serta


Umat yang aktif-bersemangat dan sadar agar dapat ,mengambil
hikmah yang berlimpah dari Sabda Tuhan dan dari kebersamaan
sebagai anggota Gereja yang kudus.

6. Pada dasarnya Tata Perayaan Sbada ini tidak jauh berbeda dari
Liturgi Sabda di dalam Perayaan Ekaristi. Oleh karena itu, Umat
beriman diharapkan menghayati segala peraturan yang termuat di
dalam Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR) tahun 2002.

7. Sebelum perayaan dimulai, Umat hendaknya menjaga keheningan


baik di dalam gereja, di sakristi, maupun di sekitar gereja, sehingga
P e d o m a n U m u m P e r a y a a n S a b d a | 20

setiap orang dapat menyiapkan diri untuk melaksanakan Ibadat


dengan cara yang khidmat dan tepat (bdk. PUMR No.45).

8. Supaya lebih mudah menangkap inti Sabda Tuhan yang akan didengar
melalui bacaan-bacaan, maka hendaklah sebelum perayaan dimulai
Umat berdoa dan bermeditasi berdasarkan Kitab Suci, lembaran Misa
atau sarana terbitan lainnya.

9. Para petugas hendaknya mempersiapkan diri dengan baik. Mereka itu


ialah para Pemandu / Pengantar perayaan yang mengenakan pakaian
liturgis, yaitu jubah panjang dan atribut khusus, para lektor dan
pemazmur, para pelayan (ajuda), para penyambut jemaat, pembaca
pengumuman, para pengurus nyanyian dan musik.

10. Pemandu/Pengantar perayaan hendaknya lebih dari satu orang


(Redemptionis Sacramentum, No.165) sebab mereka adalah bagian
dari Umat yang menjalankan tugas di tengah Umat beriman. Berbeda
halnya dengan Imam yang membawakan pribadi Kristus ( Alter
Cristus), sebagai Pemimpin (Caput) dan Gembala (Pastor) (bdk.
Redemptionis Sacramentum, No. 146; Ecclesia de Mysterio, No.3).

11. Hendaknya para Pemandu/Pengantar perayaan mempersiapkan diri


dengan sepantasnya, dengan memperhatikan apa yang menjadi tugas
mereka masing-masing. Hendaknya ada pembagian tugas yang jelas di
antara para Pemandu/Pengantar, sambil memperhatikian dengan
teliti catatan rubrik sehingga memudahkan mereka melaksanakan
tugas-tugasnya.

12. Hendaknya ada kerjasama yang baik di antara para petugas,


khususnya di antara Pemandu/Pengantar dan penyanyi, baik pada
tahap persiapan maupun selama perayaan, supaya tugas pelayanan ini
dapat mengantar Umat ke dalam peran-serta yang aktif-bersemangat
dan sadar sehingga perayaan berjalan lancar dan khidmat.

13. Di dalam Perayaan Sabda, Allah tetap hadir dengan nyata melalui
Kitab Suci yang dimaklumkan di tengah Umat yang berhimpun
bersama. Maka, Umat beriman hendaknya berusaha menghayati
P e d o m a n U m u m P e r a y a a n S a b d a | 21

kehadiran Tuhan dan mendengarkan Sabda-Nya dengan hati yang


ikhlas dan murni serta menanggapi Sbada-Nya dan berdoa kepada-
Nya dengan penuh kesadaran.

14. Apabila ada Sakramen Mahakudus di dalam tabernakel, maka setiap


orang yang datang atau lewat hendaknya menghormati-Nya dengan
sikap berlutut. Namun kalau tidak ada Sakramen Mahakudus, maka
cukuplah membungkukkan badan di hadapan salib Tuhan.

15. Selama memandu perayaan, para petugas berdiri di depan kursi yang
sudah disiapkan. Ia tidak memakai kursi pemimpin yang biasanya
hanya untuk Imam dan tidak pula berdiri di altar kalau tidak ada
Upacara Komuni Kudus.

16. Sebagai bagian dari Umat, maka rumusan kata yang diucapkan oleh
Pemandu/Pengantar berbeda dari Imam. Misalnya saat berkat
penutup, Pemandu/Pengantar mengucapkan: “Semoga kita sekalian
diberkati oleh Allah yang Mahakuasa, dalam nama Bapa dan Putera
dan Roh Kudus”, sambil membuat tanda salib pada dirinya sendiri.

17. Untuk Kapel stasi yang memiliki sarana pelataran suci yang lengkap,
pada prinsipnya para Pemandu/Pengantar berada pada posisi yang
tidak jauh dari Umat, sebab merupakan bagian dari Umat. Kursi
mereka tidak menghadap Umat, tetapi menyamping, sehingga tidak
memberi kesan kursi pemimpin.

18. Untuk situasi stasi sangat sederhana yang belum memiliki sarana
lengkap dan bahkan perayaan dilaksnakan di rumah keluarga,
disediakan sebuah meja. Para Pemandu/Pengantar menepati kedua
sisi meja: sisi kiri dan sisi kanan. Apabila ada Sakramen Mahakudus,
maka ditakhtakan sejak awal di atas meja beralaskan kain korporale
dan diapit lilin bernyala, salib dan bunga. Diharapkan sejak awal
tercipta keheningan. Kalau tidak ada mimbar, maka lektor berdiri di
tempat yang paling strategis, mudah dilihat oleh seluruh Umat.

19. Untuk suasana ruangan rumah panggung yang beralaskan tikar


sehingga seluruh Umat duduk tanpa kursi, usahakan supaya
P e d o m a n U m u m P e r a y a a n S a b d a | 22

disediakan meja yang ditutupi kain putih, dengan lilin dan hiasan
bunga, menurut Masa Liturgi dan tema perayaan. Posisi
Pemandu/Pengantar dalam suasana seperti ini tentu lebih menyatu
dalam kebersamaan dengan Umat, namun demikian tetap perlu
diusahakan agar tata perayaan ditaati dan masing-masing petugas
mempersiapkan diri dengan baik.

20. Upacara Komuni sangat bergantung pada kebijakan keuskupan


masing-masing (bdk. Redemptionis Sacramentum, No.165).

21. Meskipun tidak ada Perayaan Ekaristi, kolekte tetap mempunyai arti
penting sebagai ungkapan solidaritas dan cinta kasih kepada Tuhan
dan sesama.

22. Meskipun tidak ada Perayaan Ekaristi, komuni tetap penting untuk
menghayati kesatuan yang lebih mesra dengan Sang Sabda,
teristimewa bagi kelompok Umat yang jauh dari Paroki dan jarang
berkesempatan merayakan Ekaristi. Namun bagi kapel-kapel di kota,
yang hanya kadang-kadang tidak ada Imam untuk melaksanakan
Misa Harian, tidak dianjurkan penerimaan Komuni, meskipun selalu
tersedia banyak hosti di tabernakel (bdk. Ecclesia de Eucharistia,
No.33).

23. Akhirnya, faktor kekurangan Imam harus meningkatkan semangat


kita untuk berdoa bagi Panggilan Imamat serta mendorong anak-anak
untuk bercita-cita menjadi Imam dan masuk semibnari (bdk. Ecclesia
de Eucharistia, No.31-32)

Komisi Liturgi KWI

Anda mungkin juga menyukai