DIRECTORIUM DE CELEBRATIONIBUS
DOMINICALIBUS ABSENTE PRESBYTERO
PEDOMAN UMUM
PERAYAAN SABDA HARI MINGGU TANPA IMAM
Kata Pengantar
Prot.no.691/86
PENDAHULUAN
1. Gereja Kristus, sejak hari Pentakosta, sesudah turunnya Roh Kudus,
tidak pernah berhenti berkumpul untuk merayakan misteri Paskah
pada hari yang disebut “Hari Tuhan”, sebagai kenangan akan
Kebangkitan Tuhan. Pada pertemuan Hari Minggu itu Gereja
mewartakan apa yang tertulis dalam seluruh Kitab Suci mengenai
Kristus (bdk. Luk.24:27) dan merayakan Ekaristi untuk mengenang
wafat dan kebangkitan Tuhan sampai Ia datang.
2. Namun demikian, merayakan Hari Minggu secara lengkap tidak
selalu dapat diselenggarakan. Banyak Umat beriman, dan sekarang
ini pun masih banyak, yang karena “tidak ada pelayan rohani atau
karena alasan berat lainnya, tidak mungkin mengambil bagian
dalam perayaan Ekaristi”. (bdk. Luk.24:27)
3. Di beberapa daerah, di kalangan orang-orang yang baru menjadi
anggota Gereja, uskup-uskup telah memberi tugas kepada katekis
untuk menghimpun orang beriman pada Hari Minggu dan memimpin
doa menurut tata kebaktian saleh yang ada. Ini terjadi karena
jemaah Kristiani makin bertambah jumlahnya dan tersebar di
banyak tempat, kadang-kadang sangat berjauhan, sehingga tidak
setiap Hari Minggu mereka dapat dikunjungi imam.
4. Di tempat lain, karena penganiayaan terhadap Umat Kristen, atau
karena kebebasan beragama sangat dibatasi, kaum beriman dilarang
berkumpul pada Hari Minggu. Seperti dulu pernah terjadi orang
Kristen setia berhimpun pada Hari Minggu hingga menjadi martir,
demikian pula sekarang banyak orang beriman yang berusaha
berkumpul untuk berdoa pada Hari Minggu, entah dalam keluarga
entah dalam kelompok kecil meskipun tanpa kehadiran pelayan
rohani yang resmi.
5. Selain itu, pada zaman kita, di pelbagai tempat tidak dapat
dirayakan Ekaristi pada setiap Hari Minggu karena kekurangan
imam. Lagi pula dibanyak paroki jumlah Umat menyusut karena
situasi sosial dan ekonomi. Maka kepada para imam telah diberikan
tugas untuk memimpin perayaan Ekaristi beberapa kali pada satu
Hari Minggu di pelbagai Gereja yang saling berjauhan. Tetapi
praktek ini rupanya tidak selalu menguntungkan, baik bagi paroki-
P e d o m a n U m u m P e r a y a a n S a b d a |5
BAB I
11. Pentingnya perayaan Hari Minggu untuk hidup Umat beriman telah
dilukiskan Santo Ignatius dari Antiokia sebagai berikut, “kita (orang
Kristen) tidak lagi merayakan hari Sabath, tetapi hidup menurut
Hari Minggu, pada hari mana kita dibangkitkan karena Dia (kristus)
dan wafat-Nya” (s. Ignatius antiochenus, ad magnesios 9,1; ed. Fx
funk, hlm.199). Orang beriman baik di masa lampau maupun dewasa
ini, sangat memperhatikan Hari Minggu, sehingga mereka sama
sekali tidak mau melupakan hari itu baik di zaman penganiayaan
maupun di tengah kebudayaan yang mungkin sudah jauh berbeda
dari iman Kristen atau malah bertentangan dengannya.
14. Azas-azas ini ini perlu ditanamkan sejak awal pendidikan Kristen,
supaya Umat beriman dengan segenap hati memahami alasan
mengapa Gereja setiap Hari Minggu menghimpun mereka untuk
P e d o m a n U m u m P e r a y a a n S a b d a |8
BAB II
18. Kalau di suatu tempat pada Hari Minggu tidak mungkin dirayakan
Ekaristi, sangat diharapkan agar Umat beriman di situ perlu ke
Gereja yang terdekat untuk mengambil bagian dalam misteri
Ekaristi di sana. Juga pada masa sekarang jalan keluar ini
dianjurkan, malah patut dipertahankan sedapat mungkin. Untuk itu
Umat harus diberi penjelasan yang benar tentang keseluruhan
makna pertemuan Hari Minggu, dan penuh gairah menyesuaikan
diri dalam situasi itu.
19. Meski tanpa Ekaristi, sangatlah diharapkan agar pada Hari Minggu
kekayaan Kitab Suci dan doa-doa Gereja dihidangkan secara lengkap
kepada Umat beriman yang berkumpul untuk berbagai bentuk
perayaan. Dengan demikian, Umat tetap menikmati komunikasi
dengan Tuhan melalui bacaan dan doa-doa sesuai dengan Masa
Liturgi yang sedang berlangsung.
21. Umat perlu memahami dengan baik bahwa perayaan semacam itu
sifatnya sebagai pelengkap, dan tidak boleh dipandang sebagai jalan
keluar yang lebih baik untuk mengatasi kesulitan-kesulitan
mutakhir, apalagi dipandang sebagai pengakuan terhadap sikap
mencari gampang.
30. Apabila Imam dan Diakon tidak ada, maka Pastor Paroki hendaknya
menunjuk para awam, yang dapat diberi tugas memandu perayaan-
perayaan, yakni memimpin doa, memberikan pelayanan Sabda dan
membagikan hosti kudus.
Pastor Paroki hendaknya memilih terutama beberapa akolit dan
lektor yang telah dilantik untuk pelayanan altar dan pelayanan
Sabda Allah. Kalau orang-orang ini juga tidak ada, dapat ditunjuk
beberapa awam lain, baik laki-laki maupun perempuan, yang dapat
menjalankan tugas ini atas dasar pembaptisan dan krisma mereka
(KHK.Kan.230, par.3)
Mereka ini hendaknya dipilih karena cara hidupnya yang selaras
dengan Injil; dan hendaknya diperhatikan bahwa mereka itu
diterima dengan baik oleh Umat beriman. Mereka hendaknya
ditugaskan untuk masa bakti tertentu, dan pengangkatannya
dinyatakan secara umum di hadapan Umat yang bersangkutan.
Sangatlah cocok menyelenggarakan suatu perayaan Ibadat, di mana
mereka didoakan.
Pastor Paroki hendaknya mengusahakan pendidikan yang memadai
dan berkesinambungan untuk mereka, dan bersama mereka
mempersiapkan perayaan yang khidmat
Gereja memintanya, dan bila tak ada pelayan rohani yang resmi”
(KHK. 239, par.3). Hendaknya mereka melakukan dengan utuh
hanya tugas-tugas yang seturut hakikat perayaan dan kaidah-kaidah
Liturgi menjadi bagiannya (KL. 28). Mereka hendaknya menunaikan
tugasnya dengan dengan tulus-ikhlas dan saksama sebagaimana
layak untuk pelayanan yang begitu luhur dan sudah semestinya
dituntut dari mereka oleh Umat Allah (KL.28).
34. “Bagi masing-masing orang beriman atau Umat, yang tidak dapat
merayakan Ekaristi untuk jangka waktu pendek atau panjang
karena pengejaran atau karena kekurangan Imam, rahmat
penyelamatan tidaklah berkurang. Sebab, diresapi oleh kerinduan
akan sakramen serta bersatu dengan seluruh Gereja yang berdoa,
mereka pun berseru kepada Tuhan dan mengangkat hati kepada-
Nya. Berkat kekuatan Roh Kudus mereka masuk dalam persekutuan
dengan Kristus dan dengan Gereja. Tubuh Kristus yang hidup…dan
karenanya menikmati juga buah-buah sakramen” (Kongregasi Ajaran
Iman: Epistula…de quibusdam…: AAS 75 (1983), 1007).
P e d o m a n U m u m P e r a y a a n S a b d a | 14
BAB III
35. Tata Perayaan Sabda Hari Minggu terdiri dari dua bagian, yaitu:
Liturgi Sabda dan Komuni. Dalam Perayaan Sabda janganlah
dimasukkan bagian-bagian khusus Perayaan Ekaristi, teristimewa
persembahan dan Doa Syukur Agung. Tata Perayaan Sabda
hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga menunjang suasana doa
serta mengungkapkan suatu pertemuan liturgis, dan bukan sekedar
pertemuan keakraban.
36. Teks doa dan bacaan untuk setiap Hari Minggu dan Hari Raya
termuat dalam satu buku. Dengan demikian, sambil mengikuti Masa
Liturgi, Umat berdoa dan mendengarkan Sabda Allah dalam
persekuatuan dengan kelompok Umat di tempat lain.
39. Seorang awam yang memandu ibadat Umat, bertindak sebagai salah
satu di antara sesama saudara seperti terjadi dalam Ibadat Harian
bila tidak dipimpin oleh petugas tertahbis, atau seperti dalam
pemberkatan-pemberkatan yang dipimpin oleh seorang awam. Di sini
P e d o m a n U m u m P e r a y a a n S a b d a | 15
42. Dalam kata Pembuka, atau dalam kesempatan lain selama perayaan,
Pemandu/Pengantar hendaknya mengingatkan Umat yang hadir
bahwa pada Hari Minggu itu Pastor Paroki merayakan Ekaristi dan
sangat mengharapkan agar Umat seluruhnya mempersatukan diri
dengannya secara rohaniah.
44. Doa Umat dibuat sesuai dengan urutan ujud yang telah ditetapkan.
Ujud untuk seluruh keuskupan yang dianjurkan Uskup tidak boleh
dihilangkan. Dengan demikian hendaknya sesering mungkin
didoakan ujud untuk panggilan Imam, untuk Uskup, dan untuk
Pastor Paroki.
45. Doa Pujian dilaksanakan menurut salah satu cara yang dianjurkan
berikut ini:
a. Sesudah Doa Umat atau sesudah Komuni, Pemandu/Pengantar
perayaan mengajak seluruh Umat untuk menyampaikan pujian
dan syukur, yang dengannya Umat beriman mengakui kemuliaan
Allah dan kasih-setia-Nya. Untuk itu dapat didaras atau
dinyanyikan sebuah Mazmur, misalnya Mazmur 100, 113, 118,
136, 147, 150; atau sebuah madah atau kidung, misalnya:
Kemuliaan (Gloria), Magnificat; atau juga didoakan Litani.
P e d o m a n U m u m P e r a y a a n S a b d a | 17
48. Doa Tuhan (Bapa Kami) selalu diucapkan atau dinyayikan oleh
semua, juga kalau tidak ada Komuni Kudus. Dapat dilaksanakan
juga Salam Damai. Setelah komuni kudus, sesuai dengan keperluan,
dapat diadakan keheningan kudus untuk beberapa saat atau
dinyanyikan sebuah mazmur atau kidung pujian. Dapat juga
disampaikan Doa Pujian sesuai denagn petunjuk No.45a.
6. Pada dasarnya Tata Perayaan Sbada ini tidak jauh berbeda dari
Liturgi Sabda di dalam Perayaan Ekaristi. Oleh karena itu, Umat
beriman diharapkan menghayati segala peraturan yang termuat di
dalam Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR) tahun 2002.
8. Supaya lebih mudah menangkap inti Sabda Tuhan yang akan didengar
melalui bacaan-bacaan, maka hendaklah sebelum perayaan dimulai
Umat berdoa dan bermeditasi berdasarkan Kitab Suci, lembaran Misa
atau sarana terbitan lainnya.
13. Di dalam Perayaan Sabda, Allah tetap hadir dengan nyata melalui
Kitab Suci yang dimaklumkan di tengah Umat yang berhimpun
bersama. Maka, Umat beriman hendaknya berusaha menghayati
P e d o m a n U m u m P e r a y a a n S a b d a | 21
15. Selama memandu perayaan, para petugas berdiri di depan kursi yang
sudah disiapkan. Ia tidak memakai kursi pemimpin yang biasanya
hanya untuk Imam dan tidak pula berdiri di altar kalau tidak ada
Upacara Komuni Kudus.
16. Sebagai bagian dari Umat, maka rumusan kata yang diucapkan oleh
Pemandu/Pengantar berbeda dari Imam. Misalnya saat berkat
penutup, Pemandu/Pengantar mengucapkan: “Semoga kita sekalian
diberkati oleh Allah yang Mahakuasa, dalam nama Bapa dan Putera
dan Roh Kudus”, sambil membuat tanda salib pada dirinya sendiri.
17. Untuk Kapel stasi yang memiliki sarana pelataran suci yang lengkap,
pada prinsipnya para Pemandu/Pengantar berada pada posisi yang
tidak jauh dari Umat, sebab merupakan bagian dari Umat. Kursi
mereka tidak menghadap Umat, tetapi menyamping, sehingga tidak
memberi kesan kursi pemimpin.
18. Untuk situasi stasi sangat sederhana yang belum memiliki sarana
lengkap dan bahkan perayaan dilaksnakan di rumah keluarga,
disediakan sebuah meja. Para Pemandu/Pengantar menepati kedua
sisi meja: sisi kiri dan sisi kanan. Apabila ada Sakramen Mahakudus,
maka ditakhtakan sejak awal di atas meja beralaskan kain korporale
dan diapit lilin bernyala, salib dan bunga. Diharapkan sejak awal
tercipta keheningan. Kalau tidak ada mimbar, maka lektor berdiri di
tempat yang paling strategis, mudah dilihat oleh seluruh Umat.
disediakan meja yang ditutupi kain putih, dengan lilin dan hiasan
bunga, menurut Masa Liturgi dan tema perayaan. Posisi
Pemandu/Pengantar dalam suasana seperti ini tentu lebih menyatu
dalam kebersamaan dengan Umat, namun demikian tetap perlu
diusahakan agar tata perayaan ditaati dan masing-masing petugas
mempersiapkan diri dengan baik.
21. Meskipun tidak ada Perayaan Ekaristi, kolekte tetap mempunyai arti
penting sebagai ungkapan solidaritas dan cinta kasih kepada Tuhan
dan sesama.
22. Meskipun tidak ada Perayaan Ekaristi, komuni tetap penting untuk
menghayati kesatuan yang lebih mesra dengan Sang Sabda,
teristimewa bagi kelompok Umat yang jauh dari Paroki dan jarang
berkesempatan merayakan Ekaristi. Namun bagi kapel-kapel di kota,
yang hanya kadang-kadang tidak ada Imam untuk melaksanakan
Misa Harian, tidak dianjurkan penerimaan Komuni, meskipun selalu
tersedia banyak hosti di tabernakel (bdk. Ecclesia de Eucharistia,
No.33).