Yang disajikan dalam tulisan ini sebetulnya sebuah renungan atas dukacita Maria dan
dimaksudkan sebagai materi rekoleksi. Karena itu, uraian ini bukanlah uraian ilmiah atas
dukacita Maria. Sebagai bahan rekoleksi, renungan atas dukacita Maria ini dilengkapi dengan
pengolahan pengalaman dukacita kita sendiri berdasarkan pengalaman Bunda Maria. Untuk
itu, tulisan ini dibagi dalam tiga bagian:
Bagian pertama merupakan yang utama dan menjadi maksud pokok tulisan ini.
Sedangkan bagian kedua dan ketiga bersifat tambahan untuk menunjang pengolahan
pengalaman dukacita kita sendiri. Bagian kedua dan ketiga tulisan ini diambil dari tulisan
Mario Beloti, SMM dalam buku yang berjudul Living Beatitudes with Mary, A Holistic
Formation Process, diterbitkan oleh Montfoft Media, Balaka, Malawi, 2000. Terjemahan
Indonesia dibuat oleh Wim Peeters, SMM dan dipublikasikan oleh Pusat Spiritualitas Marial,
Bandung 2008.
Lalu Simeon memberkati mereka dan berkata kepada Maria, ibu Anak itu:
“Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan
banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan
perbantahan – dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri –, supaya
menjadi nyata pikiran hati banyak orang” (Luk 2:34-35).
1
Simeon meramalkan bahwa Putranya akan menjadi suatu tanda yang menimbulkan
perbantahan. Puteranya itu akan menderita dan pedang duka cita akan membus hatinya.
Yohanes Paulus II dalam Ecclesia de Eucaristia menulis:
Dikatakan bahwa suatu pedang akan menembus jiwa Maria sendiri (Luk 2:35a).
Pedang yang menembus jiwa, sebetulnya, hendak melukiskan proses belajar yang harus dilalui
oleh Maria untuk sampai pada pemahaman bahwa ketatan kepada Sabda Allah melampaui
ikatan-ikatan kekeluargaan. Prose belajar itu tidaklah selalu mudah dan penuh resiko dan
menuntut penderitaan. Maria mendapat pelajaran berharga: tidak mungkin mengabdi Yesus
Kristus tanpa menderita. Cinta itu menutut pengorbanan.
Makna nubuat Simeon di atas ditemukan oleh Maria dua belas tahun kemudia, ketika
dia bersama Yusuf mencari Anaknya yang hilang tiga hari, lalu menemukan Dia di Biat Allah
sedang mengajar para ahli kitab:
Kata-kata itu menciptakan suatu jarak antara Yesus dan orangtua duniawi-Nya demi
hubungan dengan Bapa surgawi. Persis di sinilah Maria belajar – seperti dinubuatkan Simeon
– bagaimana menempatkan hubungan dengan Bapa di atas ikatan-ikatan kekeluargaan. Di sini
Maria menyadari bahwa hidup yang diberikannya kepada Anaknya tidak dapat dimilikinya
untuk selamanya, bahwa Anaknya bukan milik dia sepenuhnya. Itulah pedang yang menembus
jiwa Maria. Pedang akan terus menerus menembus jiwanya dalam tahun-tahun berikutnya.
Melalui itu, Roh Kudus menyiapkan dia untuk siap sedia mengatakan “ya” kepada apa pun yang
bakal dialaminya dalam hubungannya dengan Yesus.
Untuk memahami semuanya itu, Maria memerlukan waktu. “Tetapi mereka tidak
mengerti apa yang dikatakan-Nya kepada mereka” (Luk 2:50). Kendati tidak mengerti, ibunya
mendengarkan dan “menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya” (LUk 2:51). Dalam
ketidakmengertiannya, Maria tetap menyerahkan diri kepada kehendak suci Allah dalam iman
dan ketaatan penuh kasih.
2
sehari setelah pesta Salib Suci mengingatkan kita bahwa dukacita Maria tidak dapat dilepaskan
dari peristiwa salib Putera-Nya Yesus Kristus dan bahwa Maria sungguh menderita bersama
Yesus yang tersalib. Vatikan II mengajarkan:
Yesus bukan hanya Anak Allah, tetapi juga Putra Maria. Maria adalah ibu Yesus baik
secara biologis maupun secara personal. Terdapat relasi ibu-Anak yang bersifat unik dan
mendalam di antara mereka. Sengsara dan penderitaan Yesus di salib juga menyentuh relasi
unik ibu-Anak itu. Kesatuan antara Maria dan Puteranya mencapai klimaksnya di Kalvari,
ketika Yesus Kristus “mempersembahkan diri-Nya sendiri kepada Allah sebagai persembahan
yang tak bercacat” (Ibr 9:14) dan Maria hadir di sana (Yoh 19:25). Maria menderita secara
sangat berat bersama Puteranya dan dengan penuh kasih menyetujui dan menyatukan diri
dengan persembahan diri Kristus kepada Bapa.
Berdiri di kaki salib Putranya merupakan saat gelap gulita bagi Maria. Dia berhadapan
dengan sebuah pandangan yang mengerikan di mata seorang ibu: melihat Putranya mengalami
sakrat maut sampai mati di salib. Saat itu, Maria sebagai ibu Yesus menyatu dengan
penderitaan Yesus sebagai Putra Maria. Di sini Maria berada di puncak pengalaman kita semua
sebagai pengikut Yesus Kristus, yakni menjadi rekan Kristus dalam menderita untuk Tubuh
Kristus. Paulus pernah menulis begini kepada jemaat di Kolose: “Sekarang aku bersukacita
bahwa aku boleh menderita kerana kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang
pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu Jemaat” (Kol 1:24).
Ini adalah moment di mana Maria melakukan pelepasan besar-besaran. Maria harus
beralih dari sikap memiliki Putra-nya ke sikap melepaskan. Di Kota Nain, Yesus tergerak
hatinya ketika berhadapan dengan dukacita seorang janda karena anak tunggalnya meninggal
(Luk 7:11-17). Kini hal seerupa terjadi pada ibunya dan Yesus tidak dapat berbuat apa-apa.
Dalam penderitaan bersama Putranya, ia mendengar bahwa ia disebut “wanita”. Pada moment
ini sebetulnya “dalam arti tertentu” ia kehilangan Putranya. Moment melepaskan ini menjadi
perlu karena setelah dia melepaskan, dia toh pada akhirnya memperoleh kembali keibuannya
dalam para anggota Tubuh Mistik Putranya dan karena itu ia disebut bunda Gereja.
Karena Alla itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan
manusia, yaitu manusia Kristus Yesus. Yang telah menyerahkan diri-Nya
sebagai tebusan bagi semua manusia (1 Tim 2:5-6).
Sebagai ibu Yesus, Maria tentu saja ikut menyerahkan (merelakan) Yesus sebagai
tebusan bagi manusia. Dan dalam arti itu, ia ikut berkorban. Dengan merelakan Putra-Nya
menderita dan wafat di kayu salib, Maria bekerja sama dengan Penebus dan karena itu Maria
3
dapat disebut rekan-Penebus (coredemptrix). Namun sikap Maria merelakan ini tidak menjadi
korban penebusan tersendiri di samping korban Kristus. Vatikan II mengajarkan:
“….dengan ikut menderita dengan Putranya yang wafat di kayu salib, ia secara
sungguh istimewa bekerja sama dengan karya Jurus Selamat, dengan
ketaatannya, iman, pengaharapan, serta cinta kasihnya yang berkobar, untuk
membaharui hidup adikodrati jiwa-jiwa. Oleh karena itu, dalam tata rahmat ia
menjadi Bunda kita” (LG 61).
Maria yang berdiri dekat salib Yesus di Golgota adalah orang yang sama dengan
prawan dari Nazaret yang dijumpai oleh Malaikat Gabriel saat membawa kabar sukacita dari
Allah. Seorang yang berusaha hadir secara sadar di hadapan Allah, membuka diri kepada
sabda-Nya dan mendengarkan kehendak-Nya dengan penuh perhatian. Ketika Malaikat Tuhan
berbicara kepadanya, menyampaikan kabar bahwa dia akan menjadi Bunda Allah, Maria
terkejut. Kendati terkejut dia tetap mendengarkan suara Allah dan membuka hatinya bagi sabda
Allah yang hidup. Dengan kepercayaan dan keberanian yang tak terlukiskan, Maria
menyatakan “ya” kepada Putra-nya, “ya” kepada karya keselamatan: “Sesungguhnya aku ini
adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1:38). Kata-kata ini
adalah ungkapan keluasan hati dan kebesaran jiwa untuk mempersilahkan Allah memiliki dia
secara penuh dan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Dan keluasan hati serta kebesaran
jiwa ini memungkinkan Maria dapat menderita bersama Kristus.
Jawaban “ya” Maria tersebut merupakan sebuah tindakan iman yang penuh.
Digerekkan oleh rahmat, dia memberikan persetujuan terhadap apa yang dikatkaan Allah
melalui Malaikat. Dia percaya karena Allah yang berbicara kepadanya tidak pernah dapat
menipu atau ditupu. Elisabet (sanak Maria) mengungkapkan kebenaran dasar mengenai hidup
Maria dengan mengatakan: “Berbahagialah ia, yang telah percaya” (Luk 1:45). Iman Maria
tidak pernah goyah. Imannya tetap teguh kendati ada banyak hal – sehubungan dengan apa
yang dikatakan malaikat – yang belum dipahaminya secara jelas. Imannya tetap teguh
meskipun tidak mendapatkan tempat di rumah penginapan ketika dia melahirkan Puteranya.
Imannya tetapi teguh ketika mendengarkan nubuat Simeon tentang Anaknya. Imannya tetap
teguh ketika harus mengungsi ke Mesir dan ketika menemukan kembali Yesus di Bait Allah.
Dan ketika Yesus memulai pelayanan publik-Nya, berhadapan dengan aneka penolakan dan
ketidakpercayaan, iman Maria tetap teguh. Maria di Nazaret dan Maria di Golgota tetap sama:
seorang wanita yang mengimani Allah secara penuh.
Seperti semua wanita, Maria sungguh berdukacita atas kematian keji Putranya; dan
sebagai wanita beriman, dia mengambil bagian secara penuh dalam penderitaan Putranya.
Penginjil Matius mengisahkan: “Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring:
4
‘Eli, Eli, lama sabakhtani?’ Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku
(Mat 27:46). Itu adalah tangisan pilu yang menembus hati. Seruan itu keluar dari kedalaman
penderitaan. Dalam seruan itu tersingkap kenyataan bahwa, Yesus yang sama sekali tidak
berdosa, mengalami dan menyingkapkan lewat salib keterputusan yang memilukan antara
Allah dan manusia, keterputusan yang diakibatkan oleh dosa. Dan hati Maria adalah seperti
cermin yang memantulkan dengan sempurna penderitaan Kristus. Seruan Yesus itu menembus
hati Maria. Tanpa ada seorang pun yang menghibur dirinya, Maria tetap beriman pada Yesus
dan pada Bapa. Maria berdiri di kaki salib dengan iman tak tergoyahkan meskipun tanpa
penghiburan. Di sana tanpak penyangkalan diri yang radikal dalam kehadiran misteri cinta
ilahi. Dapat kita katakan bahwa Maria bersatu dengan salib Kristus mengalami penderitaan
iman yang oleh Yohanes dari Salib disebut “malam gelap dari iman”. Dia mengalami apa yang
oleh Basilius dari Caesarea disebut sebagai “luminous darkness”, suatu kebutaan dan
kegelepan yang dibawa oleh situasi kedekatan dengan cinta yang tersembunyi dan mulia yang
hanya ada pada Allah saja.
Menurut Beloti, ketika pengalaman dukacita dihadapi dengan sikap formatif, maka
pengalaman itu dapat membawa kita pada keterbukaan terhadap tiga hal:
a. nilai kefanaan
b. transendensi diri
c. Penghiburan yang baru
5
Pertama, Pengalaman dukacita dapat mengingatkan kita akan kefanaan kita, dalam arti:
1) membantu kita untuk mengingat kefanaan kita; 2) membantu kita agar tidak cenderung
menerima hidup begitu saja, tanpa berpikir lebih jauh; 3) membantu kita untuk melepaskan
keterikatan kita pada seseorang atau pada sesuatu sebagai yang paling utama; 4) membantu kita
untuk menjadi kurang tergesa-gesa dan lebih sabar, kurang agresif dan lebih lemah-lembut; 5)
menghilangkan ilusi bahwa kita mampu mengatur semuanya sendiri dan memaksa kita –
dengan melampaui ilusi bahwa kendali ada di tangan kita sendiri – untuk melihat kepada
sumber penghiburan yang Ilahi. Kedua, pengalaman dukacita membawa kita kepada
transendensi ketika kita menghadapinya dnegan harapan dan kreativitas. Kita ditantang untuk
dalam harapan menemukan bahwa sesuatu yang baik dapat dihasilkan oleh situasi dukacita.
Ketiga, Menyadari realitas kefanaan membuat kita terbuka terhadap realitas yang abadi. Ketika
kita sadar bahwa pencapaian-pencapaian kita ada batasnya, apa yang kita miliki suatu saat akan
lepas dari kita, maka kita pun tidak memutlakkannya dan diri kita pun tertuju kepada realitas
yang bersifat abadi, tertuju kepada Tuhan sendiri. Kita pun terbuka terhadap penghiburan yang
datangnya dari Tuhan sendiri. Bukan berarti kita melupakan kenyataan sekarang, tetapi kita
tidak larut di dalamnya dan menemukan peluang di dalamnya untuk menjemput keabadian.
Mario Beloti mengusulkan langkah berikut ini. Kita membawa pengalaman dukacita
itu dalam doa dan merefleksikannya. Permenungan ini kemudian membawa kita pada
pengalaman-pengalaman serupa yang pernah terjadi di masa lampau. Pengalaman serupa yang
dimaksud dapat berupa pengalaman kita sendiri atau pengalaman orang lain yang berusaha
hidup di hadapan Allah. Pengalaman-pengalaman tersebut membawa kita kepada kesadaran
bahwa dalam peristiwa-peristiwa tersebut Allah tidak meninggalkan kita, tetapi selalu setia dan
memberi semangat.
Proses “menyimpan dalam hati” itu dijabarkan oleh Mario Beloti dalam 7 tahap, yakni:
a) peristiwa, b) rasa sakit, c) pertanyaan-pertanyaan, d) mengingat, e) keputusan, f)
kegembiraan, g) perayaan. Sebagai contoh konkret, Mari kita melihat bagaimana Mario Beloti
mendekati secara formatif pengalaman dukacita Maria di kaki salib (Yoh 19:25-27; Mt 27:45-
50; Lk 23:46 dst.).
I. PERISTIWA
Dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya” (Yoh 19:25).
6
III. PERTANYAAN-PERTANYAAN
“Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mt 27:46; lih. Mzm
22:2-9.13-22). Seruan Yesus bergetar dengan sama dahsyatnya dalam hati dan jiwa
Maria.
IV. MENGINGAT
Ketika berdoa Mzm 22, Yesus maupun Maria diingatkan akan kesetiaan Allah di masa
lampau: “Kepada-Mu nenek moyang kami percaya; mereka percaya, dan Engkau
meluputkan mereka...” (ayat 5). “Ya, Engkau yang mengeluarkan aku dari kandungan;
Engkau yang membuat aku aman pada dada ibuku. Kepada-Mu aku diserahkan sejak
aku lahir, sejak dalam kandungan ibuku Engkaulah Allahku... (ayat 10-11). Maria
mengingat kesetiaan Allah yang nampak di masa lampau melalui pengorbanan Ishak
(Kej 22), penderitan Israel di Mesir maupun di Babilon, penganiayaan terhadap para
nabi dan terhadap Hamba Yahweh (lih. Yes 42;49; 50:4-9; 52:13 – 53:12).
V. KEPUTUSAN
“Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku” Lk 23:46; lih. Mzm 31:6).
Kata-kata ini merupakan suatu gema keputusan Maria yang paling mendasar: “Jadilah
padaku menurut perkataanmu itu” (Lk 1:38).
VI. KEGEMBIRAAN
“Aku akan memasyhurkan nama-Mu kepada saudara-saudaraku dan memuji-muji
Engkau di tengah-tengah jemaah...” (Mzm 22:23).
VII. PERAYAAN
“Dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya” (Yoh 19:25). Istilah “berdiri” sudah merupakan
pewartaan dini Kebangkitan. Mzm 22:23 mengatakan: “Aku akan memasyhurkan
nama-Mu kepada saudara-saudaraku.” Maria memenuhi ayat tersebut ketika ia
merayakan Kebangkitan Yesus di tengah umat perdana orang beriman: “Mereka semua
bertekun dengan sehati dalam doa bersama-sama, dengan beberapa perempuan serta
Maria, ibu Yesus” (Kis 1:14).
Referensi:
Beloti, Mario. Living Beatitudes with Mary, A Holistic Formation Process. Terj. Wim
Peeters. Bandung: Pusat Spiritualitas Marial, 2008.
Groenen, C. Mariologi, Teologi & Devosi. Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Hickey, James Cardinal. Mary at the Foot of the Cross, Tacher and Example of
Holiness and of Life for Us. San Francisco: Ignatius Press, 1988.
Maloney, George A. Maria Rahim Allah. Terj. Frans Harjawiyata. Yogyakarta:
Kanisius, 1990.