Anda di halaman 1dari 11

POKOK 2

KEMURIDAN DALAM INJIL YOHANES


Bahan ini telah dipublikasikan
Valens Agino, “Murid yang Matang di Zaman yang Menantang. Formasi Kemuridan dalam Injil Yohanes”,
dalam: A. Supur – V. Agino – Y. M. Vianey, Prophecy of Reiligious Life Today: New Paths, Challenges and
Opportunities, Sources of Prophecy, Yogyakarta 2015.

Pokok : Kemuridan dalam Injil Yohanes


Pengampu : Dr. Valens Agino, CMF
Kegiatan : Dosen menjelaskan:
- pentingnya tema kemuridan dalam Injil Yohanes,
- unsur-unsur struktural teks Injil Yohanes dari perspektif kemuridan,
- dan kekhasan term “murid” dalam Injil Yohanes.
Mahasiswa menganalisa bersama dosen secara interaktif teks Yoh. 1:35-51;
21:1-23 untuk menemukan bersama struktur inklusi Injil Yohanes.
Tujuan : Memahami tema kemuridan dalam Injil Yohanes dan menghayati kekhasannya.
Dari perkuliahan ini diharapkan mahasiswa mampu:
- menjelaskan struktur inklusi Injil Yohanes dari perspektif kemuridan.
- memahami status seorang murid dalam Injil keempat.
- mengidentifikasi tipe kemuridan sejumlah tokoh dalam Injil Yohanes.
Waktu : 2 JP

1.1 PENGANTAR
Kedalaman dan kematangan formulasi pewartaan Injil keempat tidak bisa terlepas dari
formasi para murid yang berhadapan dengan banyak tantangan, baik dari dalam maupun dari
luar komunitas. Demikianpun para murid yang terpaut dalam jemaat Injil keempat tidak bisa
terlepas dari situasi komunitas dan situasi sosial budaya yang melingkupi kehidupan mereka.
Dalam komunitas dan kehidupan masyarakat zaman itu, kepribadian dan iman para murid
Yesus terbentuk.
Dua murid Yesus yang pertama dalam Injil keempat adalah murid-murid Yohanes
Pembaptis. Dia meyampaikan kepada mereka tentang seseorang yang akan datang setelahnya.
Ketika melihat Yesus yang sedang lewat, dia menunjukkan kepada mereka bahwa itu adalah
Anak Domba yang pernah ia bicarakan. Dan dengan segera dua muridnya meninggalkan dia
dan mengikuti Yesus (bdk. Yoh 1:35-37). Mereka mengikuti Dia dari belakang (akoloutheō)
dan mencari tempat di mana Ia tinggal (menō). Ketika diketahui tempat tinggal-Nya, akhirnya
mereka menetap bersama Dia hari itu (bdk.1:38-39). Skenario awal panggilan kedua murid
pertama menampilkan kepada para pembaca dua term penting dalam kemuridan yakni
akoloutheō (ikut dari belakang)1 dan menō (tinggal atau menetap). Kedua murid Yohanes
Pembaptis menjadi murid Yesus ketika mereka mulai mengikuti Dia dari belakang,
berkembang dalam proses pencarian, dan menjadi matang pada saat tinggal bersama Dia.
Proses menjadi murid Yesus terjadi pada saat seseorang mulai mengikuti Dia. Seperti
yang pernah saya singgung dalam artikel tentang perziarahan, bahwa sebuah perjalanan tercipta

1
H. Weder, “Disciple, discipleship”, dalam D. N. Freedman et.al. (eds.), The Anchor Bible Dictionary,
vol. 2, New York: Doubleday, 1992, hlm. 207; G. Kittel, Grande lessico del Nuovo Testamento, XIV, Brescia:
Paideia, 1988, hlm. 579-581.
1
pada saat seseorang mulai bergerak jalan2. Demikianpun seorang murid menjadi pengikut Sang
Guru terjadi ketika dia mulai mengikuti-Nya. Dalam mengikuti dan tinggal bersamaNya,
seorang murid berkembang dan menjadi matang berkat semua situasi dan kondisi yang dihidupi
baik tuntutan Sang Guru maupun tuntutan situasi sekitar yang mempengaruhi kepribadian dan
komunitas. Proses kematangan kemuridan dalam Injil Yohanes bisa menjadi model proses
kematangan para murid Yesus pada zaman yang cukup menantang dewasa ini.

1.2 TERMINOLOGI KEMURIDAN


Tema kemuridan dalam Injil Yohanes sangat istimewa3. Bahkan ada yang
mendeskripsikan Injil keempat sebagai kitab para murid (the book of the disciples)4. Hal ini
dapat dilihat dalam struktur inklusi Injil di mana perihal kemuridan ditampilkan dalam bab
pertama (1:35-51) dan bab terakhir (21:1-23). Dan pada pertengahan Injil bisa dibaca karakter
inheren seorang murid: “Semua orang akan tahu bahwa kamu adalah murid-muridKu jikalau
kamu saling mengasihi” (13:35).
Term kemuridan merupakan term rakitan dari kata benda murid. J. S. Siker-Gieseler
membedakan antara murid dan kemuridan. Term murid mengacu pada kelompok keduabelasan
(6:70) yang mengikuti Yesus secara historis. Sementara term kemuridan mengacu pada
karakter-karakter personal para pengikut Kristus seperti wanita Samaria (4:1-42), pegawai
istana di Kaparnaum (4:43-54), dan sebagainya. Tokoh-tokoh tersebut dihadirkan penginjil
sebagai model kemuridan. Bahkan lebih jauh bisa dicermati bahwa murid yang dikasihi
meruakan model kemuridan5.
Para pengikut Yesus dalam Injil Yohanes disebut mathētēs (murid, pengikut, atau
pelajar). Term mathētēs muncul 78 kali dalam Injil keempat yang diterapkan kepada murid-
murid Yohanes Pembaptis, dan terutama mengacu pada murid-murid Yesus. Sintagma hoi
mathētaí (para murid) selalu mengacu pada murid-murid Yesus. Penginjil keempat tidak pernah
menyebut para pengikut Kristus dengan kata rasul. Term apóstolos (rasul, utusan) hanya
muncul satu kali dalam keseluruhan Injil Yohanes (13:16) dan lagi pula tidak secara langsung
mengacu pada murid Yesus. Term ini muncul secara terpisah dan kebetulan. Pemilihan dan
penggunaan term mathētēs bukanlah sekedar generalisasi penyebutan terhadap para pengikut
Yesus tanpa membedakan yang keduabelasan sebagai rasul dari pengikut yang lain seperti yang
diklasifikasi dalam Injil-injil Sinoptik atau pembedaan karisma dalam Surat-surat Rasul Paulus.
Kemuridan bukanlah suatu kelompok sosial yang berada di sekitar Yesus tetapi lebih mengacu
pada suatu kedalaman kesatuan pribadi dengan Sang Guru (bdk. 3:9; 10:1dst.; 15:1dst.)6.
Seseorang bisa disebut murid Yesus sejauh ia mengikuti-Nya dari belakang dan tinggal
bersama-Nya. Perihal perutusan adalah konsekuensi dari sebuah kemuridan. Misalnya, Simon
Petrus adalah murid Kristus yang diutus untuk menggembalakan domba-domba-Nya. Tugas
perutusan sebagai gembala merupakan konsekuensi dari formasi kemuridan Simon Petrus yang
matang dalam cinta kepada Sang Guru setelah mengalami jatuh bangun mengikuti-Nya (bdk.

2
V. Agino, “Ziarah, Perjumpaan dalam Pencarian. Petualangan Kekasih Putri dalam Kidung Agung”,
Wacana Biblika 14/4 (2014) 152.
3
R. E. Brown, The Community of the Beloved Disciple: The Life, Loves, and Hates of an Individual
Church in New Testament Times, New York: Paulist Press, 1979, hlm. 86-87; R. A. Culpepper, Anatomy of the
Fourth Gospel: A Study in Literary Design, Fortress Press, Philadelphia 1983, 118-125. Culpepper, dalam kritik
literer yang dibuatnya atas Injil Yohanes, mendedikasikan seratus halaman karyanya untuk menampilkan karakter
Injil Yohanes sebagai Injil kemuridan.
4
M. de Jonge, Jesus, Stranger from Heaven and Son of God: Jesus Christ and the Christians in Johannine
Perspective, Missoula: Scholars Press, 1977, hlm. 1-27.
5 J. S. Siker-Gieseler, “Disciples and Discipleship in the Fourth Gospel: A Canonical Approach”, SBT 10
(1980) 199-222.
6
F. F. Ramos, “Discípulos”, dalam Diccionario del mundo joánico, evangelio, cartas, apocalipsis,
Burgos: Monte Carmelo, 2004, hlm. 235.
2
21:15-23). Semua murid Yesus setara dalam kebersamaan karena bersumber pada akar yang
sama, bertopang pada pokok yang sama, dan dituntun oleh Gembala yang sama7.
Pemahaman ekesiologis Injil keempat bisa dicermati dari kata ho mathētēs8. Identitas
kemuridan menjadikan semua pengikut Kristus sama dan setara di hadapan Sang Guru (entah
pria atau wanita, gembala atau domba, tua atau muda, tobatan awal atau kemudian, orang timur
atau orang barat, dan sebagainya). Karisma dan tugas tidak menaikkan nilai status pribadi
seorang murid. Memang diakui bahwa karisma atau karunia tiap orang untuk menjadi rasul,
nabi, guru, dan sebagainya (bdk. 1Kor 12:28) sangat penting. Dan bahkan ada kecenderungan
diberikannya satu karisma atau tugas kepada seseorang lebih dari anggota yang lain dalam
komunitas9. Namun semuanya itu hanyalah konsekuensi kemuridan seorang pengikut Kristus.
Pemahaman dan penghayatan akan kemuridan yang demikian dapat menyingkirkan
kemungkinan adanya kesan orang kristen kelas dua. Cinta kepada Kristus memberi status yang
lebih tinggi kepada seorang murid10. Murid Yesus yang sesungguhnya adalah dia yang tinggal
bersama Dia, mengenal Dia, mencintai Dia dan mencintai sesama11.

1.3 KEMURIDAN TERBENTUK DALAM GERAK MENGIKUTI


Kisah panggilan murid pertama (bdk. 1:35-51) merupakan format awal pembentukan para
murid Yesus. Setelah kedua murid pertama tinggal bersama-Nya, seorang dari mereka
(Andreas) menemui saudaranya (Simon) dan menyampaikan kepadanya bahwa mereka sudah
menemukan Mesias. Lalu ia mengantarnya kepada Yesus. Ketika berjumpa dengan Simon,
tidak dikatakan bahwa Simon diundang untuk tinggal bersama-Nya, Yesus langsung
memberikan nama baru kepadanya, Kēfas/Petrus (bdk. ay. 40-42). Pada hari berikutnya Yesus
memanggil Filipus di Galilea, dan Filipus pun mengikuti-Nya. Dan tanpa ditampilkan bahwa
Filipus sempat dibentuk (tinggal bersama Yesus), dia menginformasikan kepada Natanael
bahwa mereka telah telah menemukan Dia seperti yang dinubuatkan oleh Musa dan para nabi,
lalu mengajak Natanael untuk menghadap Yesus secara langsung (bdk. ay. 43-47).
Dari kisah tersebut ada tiga hal yang patut digarisbawahi. Pertama, jangka waktu
panggilan kelima murid pertama Yesus. Kedua, bentuk verbal heurēkamen (subyek orang
pertama jamak, perfek indikatif aktif kata kerja heurískō yang bisa diterjemahkan dengan
sintagma kami telah menemukan) dalam ay. 41 dan 45 yang keluar dari mulut Andreas dan
Filipus. Dan ketiga, sapaan Rabbi para murid pertama kepada Yesus.
Pertama, jangka waktu sejak hari Yohanes Pembaptis memberi kesaksian tentang Yesus
di depan orang-orang Yahudi sampai pada pesta perkawinan di Kana membentuk kurun waktu
satu pekan (1:19-2:11)12. Kesaksian Yohanes Pembaptis di depan orang-orang Yahudi bisa
ditetapkan sebagai hari pertama (1:19-28). Kisah ini diikuti dengan munculnya sintagma pada
keesokan harinya (tē epaúrion) pada ayat 29 (hari kedua). Sintagma tē epaúrion muncul lagi
dalam ayat 35 (hari ketiga), yang kemudian muncul kembali pada ayat 42 (hari keempat). Dan
dengan alasan untuk menggenapi hitungan sepekan, penginjil memulai tanda perubahan air
menjadi anggur dalam pesta perkawinan di Kana (2:1) dengan sintagma pada hari ketiga (tē
hēméra tē trítē). Pada hari ketiga mengacu pada hari ketujuh, bila dihitung setelah hari keempat
pada ayat 42. Dengan demikian genaplah hitungan sepekan. Atau bisa juga dihitung dengan

7
E. Schweizer, “The Concept of the Church in the Gospel and Epistles of St. John”, dalam A. J. B.
Higgins (ed.), New Testament Essays: Studies in Memory of T. W. Manson (1893-1958), Manchester: University
Press, 1959, hlm. 237.
8
R. E. Brown, The Churches the Apostles Left Behind, New York: Paulist Press, 1984, hlm. 94.
9
R. E. Brown, The Churches…, hlm. 99.
10
Eklesiologi Yohanes lebih bernuansa kemuridan daripada rasul. Rasul hanya sebatas peran, sementara
murid adalah suatu cara berada. Bdk. J. M. Martín-Moreno, Personajes del cuarto Evangelio, Madrid: Universidad
Pontifica Comillas, 2002, hlm. 28.
11
R. M. Moreno, El discípulo de Jesús, Madrid: Escuela Bíblica, 1971, hlm. 37-47.
12
R. Schnackenburg, El evangelio según San Juan, vol. I, Barcelona: Herder, 1980, hlm. 323.
3
cara lain. Pekan ini diawali dengan kesaksian Yohanes Pembaptis di depan orang-orang Yahudi
(hari pertama, 1:19-28), dilanjutkan dengan kesaksiannya tentang Anak Domba Allah (hari
kedua, 1:29-34), kesaksian di depan dua muridnya (hari ketiga, 1:35-39), Andreas
memperkenalkan Yesus kepada Simon Petrus saudaranya (hari keempat, 1:40-42), Yesus
bertemu Filipus di Galilea (hari kelima, 1:43-44), Filipus memperkenalkan Yesus kepada
Natanael (hari keenam, 1:45-51), dan diakhiri dengan pesta perkawinan di Kana (hari ketujuh,
2:1-11).
Dari analisis tersebut dapat dilihat betapa singkatnya jangka waktu setiap murid untuk
bertemu, mengikuti, mengenal, dan mewartakan Sang Guru kepada orang lain. Secara
sederhana bisa dikatakan bahwa paling lama satu hari seorang murid ada bersama Yesus untuk
dibentuk dan mengenal Dia (seperti Andreas dan Filipus). Secara pedagogis bisa dinilai terlalu
dini untuk seseorang bisa mengenal Gurunya secara mendalam dalam waktu yang begitu
singkat. Tapi kita tahu bahwa waktu yang ditampilkan penginjil bukanlah waktu kronologis
dalam suatu runtutan dan runutan peristiwa yang terjadi dari suatu hari ke hari berikutnya.
Secara historis kita tidak bisa pastikan berapa lama para murid dibentuk bersama Yesus. Tetapi
yang pasti bahwa dalam waktu tersebut mereka dibentuk dengan mengikuti-Nya (akoloutheō).
Kedua, ketika Andreas seorang diri pergi menemui saudaranya, Simon (ay. 41), dia
berbicara mewakili komunitas dengan menggunakan subyek kami dalam bentuk verbal
heurēkamen (kami telah menemukan) tòn Messían (Mesias). Dengan sintagma heurēkamen
Andreas berbicara mewakili rekan murid yang bersama dia telah mengikuti Yesus (komunitas
para pengikut). Dan penggunaan bentuk verbal heurēkamen (perfek indikatif) menunjukkan
bahwa mereka telah menemukan Mesias dan perjumpaan itu, walaupun sudah berlalu, masih
dirasakan konsekuensinya sampai pada saat dia mengeluarkan kata-kata itu. Bentuk verbal
perfek mengandaikan suatu peristiwa yang telah berlangsung, entah lama atau singkat, yang
efeknya masih dirasakan sampai pada saat pengungkapan. Dan kata yang sama juga keluar dari
mulut Filipus ketika dia bertemu dengan Natanael. “Filipus bertemu dengan Natanael dan
berkata kepadanya: Kami telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam kitab Taurat
dan oleh para nabi, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret” (1:45). Filipus memberikan data
lebih banyak dari yang disampaikan Andreas kepada Simon. Yesus yang mereka temukan
adalah Mesias, anak Yusuf dari Nazaret.
Kata kerja heurískō itu sendiri memiliki nuansa arti yang ambigu, yang bisa berarti
bertemu (secara spontan/kebetulan) atau menemukan (hasil sebuah pencarian)13. Bertolak dari
pertanyaan Yesus kepada dua murid Yohanes yang mengikuti-Nya: “Apakah yang kalian cari?”
pada ayat 38, bisa dimengerti kata heurískō dalam arti menemukan. Sintagma “kami telah
menemukan…” merupakan pewartaan hasil pencarian mereka akan Mesias. Hal itu
mengandaikan bahwa mereka sudah berniat untuk bertemu dengan Dia (dengan berpegang pada
kesaksian Yohanes Pembaptis). Kata heurískō yang digunakan memiliki makna mencari-
menemukan (bdk. Yoh 6:24-26; 7:34-36; 11:15.17; 21:6). Tetapi perjumpaan mereka dengan
Yesus tidak juga semata-mata karena usaha kedua murid itu. Ketika mereka mengikuti Dia dari
belakang, Yesus sendiri berpaling (ke belakang) dan bertanya apa yang sedang mereka cari.
Tindakan berpaling (stréfō) merupakan inisiatif Yesus yang siap untuk ditemukan. Dia
berinisiatif menjemput niat pencarian para murid. Proses pengenalan para murid akan Yesus
terjadi pada saat mereka mengikuti Dia dari belakang. Hal yang sama akan dijumpai ketika
Simon Petrus dan Yesus sedang berdialog sementara murid yang dikasihi sedang mengikuti
mereka dari belakang (bdk. 21:20-23). Petrus berpaling dan bertanya tentang nasib dia yang
sedang mengikuti Yesus dari belakang (murid yang dikasihi). Dan pada saat yang sama justru
Yesus mengajak Petrus untuk mengikuti Dia dengan undangan imperatif: “Akolouthei moi”
(ikutilah Aku). Petrus diajak untuk meneladani murid tersebut dalam mengikuti Yesus dari

13
J. Mateos – J. Barreto, El evangelio de Juan, análisis lingüístico y comentario exegético, Madrid:
Cristiandad, 21982, hlm. 115.
4
belakang14. Niat untuk mencari Sang Guru adalah kesediaan untuk bertemu dengan Dia yang
berpaling menjemput para murid yang sedang mengikuti-Nya.
Ketiga, sapaan Rabbi yang keluar dari mulut murid-murid pertama Yesus. Kata Rabbi,
berasal dari kata Ibrani yang berarti tuan(ku) dan master15. Penginjil Yohanes
menerjemahkannya dengan kata guru (didaskalos). Hanya penginjil keempat yang sering
menggunakan term Rabbi, yang digunakan oleh para murid untuk menyapa Yesus, Sang Guru.
Term ini muncul lebih banyak dalam Buku Tanda-tanda. Sementara dalam Buku Kemuliaan,
para murid lebih menyapa Yesus dengan Kyrios (Tuhan). Dengan cara ini bisa saja penginjil
mencoba mengungkapkan perkembangan pemahaman para murid akan identitas Yesus, dari
pengenalan sebagai Guru sampai pada pengakuan sebagai Tuhan16. Pengenalan terhadap Sang
Guru terjadi secara perlahan dalam mengikuti-Nya. Sang Guru ditemukan tahap demi tahap
dalam pemahaman para murid. Pemahaman ini akan matang ketika identitas kemuridan
ditantang dengan berbagai macam gerakan atau paham.

1.4 PARA MURID YESUS MEWAKILI KEMURIDAN PARA PENGIKUT-NYA


Para murid Yesus dalam Injil keempat adalah wakil kemuridan para pengikut Sang Guru.
Setiap murid mewakili suatu cara mengikuti Kristus sesuai kepribadian dan irama tiap orang
dalam mengikuti-Nya. Injil ini tidak pernah menyebut nama-nama keduabelas murid Yesus
secara komplit sebagaimana disebutkan dalam Injil-injil Sinoptik. Pada kisah panggilan para
murid pertama (1:35-51) hanya disebutkan lima orang: Andreas, murid yang lain, Simon Petrus,
Filipus dan Natanael. Selanjutnya disebutkan Yudas Iskariot (6:70-71; 12:4-8; 13:2; 18:2-3),
Tomas (11:16; 14:5-7; 20:24-29), dan Yudas bukan Iskariot (14:22-24). Dan akhirnya dalam
bab 21, penginjil meyebutkan tujuh murid: Simon Petrus, Tomas, Natanael, kedua anak
Zebedeus, dan dua murid yang lain.
Andreas memperkenalkan Yesus kepada saudaranya Simon Petrus (1:41-42) dan anak
yang mempunyai lima roti dan dua ekor ikan kepada Yesus (6:8-9). Filipus menjembatani
Natanael untuk bertemu Yesus (1:45-46). Model rantai panggilan ini terjadi juga dengan wanita
Samaria yang mengantar orang-orang Samaria untuk bertemu dengan Yesus (4:28-30).
Sebagian besar murid-murid Yesus dipanggil lewat kesaksian orang lain. Yohanes Pembaptis
adalah penunjuk jalan bagi Andreas dan murid yang lain. Andreas menjadi penunjuk jalan bagi
saudaranya, Petrus. Dan Filipus menjadi penunjuk jalan bagi Natanael. Mungkin hanya Filipus
yang dipanggil Yesus secara langsung. Tetapi bisa saja Filipus mengenal Yesus melalui
Andreas dan Petrus karena dia berasal dari Betsaida, kampung halaman dua bersaudara (1:44;
12:21). Dinamika kemuridan seperti ini adalah salah satu kekhasan Injil Yohanes 17. Seorang
murid mengantar Yesus kepada seorang yang lain dan sekaligus mengantar seseorang kepada
Yesus. Ia menjadi jembatan untuk mengenal Yesus. Seorang murid bisa menjadi penunjuk jalan
menuju Yesus sejauh dia sudah menemukan dan mengalami Yesus sebagai Jalan. Baik
Andreas, Filipus, maupun wanita Samaria mewartakan kepada orang lain apa yang telah mereka
temukan dan alami bersama Sang Guru.
Sedikit berbeda dari Andreas, Filipus mempunyai peran tersendiri dalam formasi
kemuridan. Dia menempati posisi-posisi strategis dalam pelayanan publik Yesus dalam Injil
Yohanes. Dia berjumpa dengan Andreas di awal Injil (bab 1), muncul lagi di pertengahan (bab
6) dan di akhir pelayanan publik Yesus (bab 12 dan 14). Ada yang mengatakan bahwa Filipus

14
V. Agino, “El discipulado de Pedro y del discípulo amado en Jn 21,15-23”, Tesina Lic. di Universidad
Pontificia Comillas, Madrid 2009, hlm. 90-91.
15
M. Zerwick – M. Grosvenor, A Grammatical Analysis of the Greek New Testament, Roma: EPIB,
4
1993, hlm. 288.
16
R. E. Brown, The Gospel According to John, I-XII, New York: Doubleday, 1966, hlm. 75.
17
J. H. Neyrey, The Gospel of John, New York: Cambridge University Press, 2007, hlm. 213.
5
berperan sebagai simbol teologi Injil Yohanes18. Khususnya dalam 14:8, ia bertanya sebagai
interlokutor, dalam gaya salah paham: “Tuhan, tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu sudah
cukup bagi kami,” yang memungkinkan penjelasan akan pewahyuan diri Bapa dalam diri
Yesus. Intervensinya menampilkan sebuah pandangan manusiawi seorang murid yang tahap
demi tahap memahami misteri Wahyu Ilahi. Dia menyapa Yesus dengan panggilan “anak
Yusuf” (1:45). Dalam tanda pergandaan roti dia memperhitungkan uang untuk mengatasi
masalah (6:7). Pandangan Filipus yang sungguh manusiawi membuka kesempatan bagi
manusia untuk mengenal Sang Guru. Kemuridannya membuka pemahaman manusiawi seorang
murid akan Wahyu Ilahi. Tuhan sendiri telah memberikan kapasitas manusiawi, dengan misteri
inkarnasi, untuk mengenal dan mengalami kehadiran Yang Ilahi.
Natanael diperkenalkan sebagai seorang Israel sejati yang mencari makna kehidupan
dalam Kitab Suci (1:45-51). Dia cukup sulit mengakui Yesus sebagai pemenuhan Taurat dan
nubuat para nabi. Sejak dini ia menegaskan bahwa Yesus bukanlah Mesias atau nabi karena
datang dari Nazaret (7:26-27.40-42.52). Tetapi kemudian, setelah mendengar kata-kata Yesus,
dia mengakui: “Rabi, Engkau Anak Allah, Engkau raja orang Israel” (1:49). Tokoh Natanael
mengisahkan sebuah kesuksesan19. Dia mewakili orang Yahudi yang berhasil mengatasi
kesulitan-kesulitan dalam agamanya dan menemukan dalam Yesus jawaban definitif akan
Mesias yang dinantikan. Dia seorang murid yang tidak puas dengan pengetahuan yang
diperoleh dari tradisi tetapi bertekad untuk mengenal misteri yang lebih dalam sampai
menemukan kebenaran yang terdalam pada diri Sang Guru.
Tomas adalah murid Yesus yang tampil dalam Yoh 11:16; 14:5-7; dan 20:24-29. Nama
Tomas baru muncul dalam skenario pembangkitan Lazarus (bab 11). Menanggapi keputusan
Yesus untuk kembali ke Galilea, walaupun ada bahaya yang mengancam, Tomas melontarkan
frase: “Marilah kita pergi juga untuk mati bersama-sama dengan Dia” (11:16). Tomas belum
memahami siapa Gurunya dan apa arti mati bersama Dia. Nyatanya, mendengar pernyataan
Yesus bahwa para murid tahu jalan yang akan Ia lalui, Tomas protes: “Tuhan, kami tidak tahu
ke mana Engkau pergi, jadi bagaimana kami tahu jalan ke sana?” (14:5). Pertanyaan ini
memungkinkan pewahyuan diri Yesus sebagai jalan, kebenaran dan hidup (14:16). Kesulitan
Tomas untuk memahami Yesus memuncak pada permintaannya akan bukti nyata kebangkitan
dengan menyentuh bekas paku pada tangan dan bekas tombak pada lambung Yesus (20:25).
Kebingungan Tomas berakhir dengan sebuah pengakuan iman dalam 20:28: “Ya Tuhanku dan
Allahku”. Data-data tekstual tersebut memperlihatkan kepada pembaca bahwa Tomas adalah
murid yang mengikuti Yesus tanpa memahami makna dan konsekuensi pengikutan itu.
Pengakuan imannya pada 20:28 merupakan mahkota kristologis misteri preeksitensi dan misteri
inkarnasi20. Dan dari segi kemuridan, Tomas menjadi wakil semua yang merindukan kehadiran
fisik Yesus, sebuah kerinduan yang tak dikehendaki Yesus sendiri. Tokoh ini berperan sebagai
peringatan dan sekaligus pujian bagi para pengikut Kristus generasi kedua dan selanjutnya yang
percaya kepada Sang Guru walaupun tidak melihat-Nya secara fisik.
Yudas, bukan Iskariot, hanya disebut satu kali dalam Injil keempat (14:22). Dalam teks
ini Yudas menginterupsi wejangan Yesus tentang hukum cinta kasih. Dia menanyakan
mengapa Yesus hanya merevelasikan diri kepada para murid dan tidak kepada dunia. Yudas
adalah seorang murid yang mengasihi Yesus dan Bapa sambil menghayati hukum cinta kasih.
Yudas Iskariot (6:70-71; 12:4-9; 13:2.28-31; 18:2-3) adalah wakil kaum yang tidak
percaya pada Yesus (6:64). Yesus memanggilnya setan (6:70). Dia selalu memperhitungkan
untung rugi (12:4-9), dan akhirnya menjadi pengkianat Yesus (13:28-30). Kalau para murid
yang lain pada awalnya kurang dan bahkan tidak percaya kepada Yesus, setelah kebangkitan
mereka percaya kepada-Nya. Sementara Yudas Iskariot tidak percaya kepada Yesus dari awal

18
J. P. Meier, A Marginal Jew. Rethinking the Historical Jesus, vol. 3, New York: Doubleday, 2001, hlm.
202.
19
J. H. Neyrey, The Gospel of John…, hlm. 58.
20
J. P. Meier, A Marginal Jew…, hlm. 204.
6
sampai akhir. Bagi R. E. Brown, Yudas diperalat oleh setan21. Bila ditilik dari teks 21:19, Allah
dimuliakan dalam para pengikut Yesus yang menghasilkan buah dan merekalah yang layak
disebut murid-murid-Nya (15:8; 17:10). Dan jika tidak menghasilkan buah, bisa diklaim
sebagai murid palsu. Jadi Yudas Yudas Iskariot bisa digolongkan sebagai murid palsu.

1.5 MURID YANG DIKASIHI DAN SIMON PETRUS

a. Jatuh Bangun Petrus Mengikuti Yesus


Simon Petrus, Petrus, dan Simon anak Yohanes adalah tiga bentuk sapaan
terhadap saudara Andreas, orang Betsaida ini. Tokoh Petrus sangat penting dalam Injil
keempat (1:40-42; 6:67-69; 13:6-11.23-26.36-38; 18:10-11.15-18.25-27; 20:2-10; dan
21:1-23). Awalnya Petrus diperkenalkan secara pasif kepada Yesus oleh saudaranya. Ia
menerima sandangan nama baru Kēfas22 yang berarti batu cadas atau batu karang (1:40-
42). Namun tokoh pasif ini berubah total menjadi figur aktif dan berinisiatif dalam
kisah-kisah selanjutnya. Dalam wejangan roti hidup, dia hadir sebagai juru bicara
keduabelas murid yang tinggal bersama Yesus (6:67-69).
Protagonisme ini tampil secara negatif dalam kisah pembasuhan kaki di mana dia
menolak pelayanan kasih Yesus. Ia tampil beda dari murid-murid yang lainnya (13:6-
11.23-26.36-38). Petrus tidak memahami identitas Gurunya sebagai Mesias-Hamba. Dia
tidak mau kalau Gurunya menghamba (13:6-8). Namun kesalahpahaman ini tidak
mengecilkan hatinya. Pada perjamuan terakhir dia kembali tampil sebagai tokoh yang
menonjol dan melontarkan tekadnya untuk mengikuti Yesus, termasuk siap memberikan
hidupnya demi Dia. Dan pada saat yang sama, Yesus mengingatkan bahwa justru dia
yang akan menyangkal-Nya tiga kali (13:33-38). Dia tidak paham kalau Yesus harus
menderita (18:10-11; bdk. Mrk 8:31-33), dan selanjutnya terang-terangan menyangkal
Yesus (18:15-18.25-27). Tekadnya untuk menyerahkan hidup demi Yesus (13:37)
menjadi buyar dengan penyangkalannya di istana imam agung. Dia menyangkal Yesus
tiga kali. Dia tidak hanya menyangkal Yesus tetapi sekaligus menyangkal dirinya
sebagai murid. Inilah puncak kegagalan Petrus. Ia gagal mempertahankan
kemuridannya. Dia jatuh. Dia tidak menerima Gurunya sebagai Mesias-Hamba, yang
tidak menggunakan kekuasaan tetapi melayani dengan memberikan hidup-Nya (13:6-
8). Dia hanya mengakui Yesus sebagai tuan, tetapi tuan ala dunia (18:36) bukan pelayan
dan sahabat (15:13.15).
Petrus yang jatuh kemudian bangun kembali, bahkan berlari. Atas berita Maria
Magdalena, ia bergegas berlari menuju kubur Yesus bersama murid yang dikasihi (20:2-
10). Ketika tiba di kubur, murid yang dikasihi melihat lalu percaya (ay. 6-8), dan
walaupun tidak dieksplisitkan, Petrus juga percaya (bdk. bentuk verbal oida pada ayat
9). Petrus berinisiatif untuk berlari ke kubur Yesus (bdk. bentuk verbal ekselthen dalam
ay. 3, orang ketiga tunggal). Dia yang pertama-tama berlari ke kubur. Murid yang
dikasihi ikut berlari ke kubur bersama dia. Memang murid itu tiba pertama di kubur, tapi
dia menanti sampai Petrus masuk, kemudian dia ikut. Otoritas Petrus diakui.

21
R. E. Brown, The Gospel According to John, XIII-XXI, New York: Doubleday, 1970, hlm. 550.
22
A. J. Droge, “The Status of Peter in the Fourth Gospel, a note on John 18:10-11”, JBL 109 (1990) 308.
Nama Kēfas rupanya lebih cocok dengan misinya, sementara Petros (Yun.) lebih berarti sebagai batu kerikil. R.
Pesch, “Petra” dalam H. Balz – G. Schneider, Diccionario exegético del Nuevo Testamento, II, Salamanca:
Sígueme, 1996, hlm. 911.
7
Inisiatif Petrus menggerakkan para murid yang lainnya (21:1-14). Dia berinisiatif
untuk pergi menangkap ikan, dan murid-murid yang lain pun ikut bersama dia (ay. 3).
Tetapi sia-sia, mereka tidak menangkap apa-apa karena dilakukan pada pada malam hari
(gelap), tanpa kehadiran Terang yaitu Yesus sendiri23. Tetapi ketika melihat Yesus, atas
pemberitahuan murid yang dikasihi, Petrus langsung mengenakan pakaiannya dan terjun
ke dalam air (ay. 7). Semangatnya begitu tinggi. Dan ketika Yesus meminta mereka
semua untuk membawa ikan, sekali lagi Petrus berinisiatif kerja sendiri untuk
mengangkat ikan (ay. 11). Dengan semua inisiatif tersebut penginjil berusaha
menempatkan figur Petrus dalam kelompok para murid sebagai yang pertama24. Dan hal
ini menyata ketika Yesus berdialog dengan Petrus untuk memberikan tugas kepadanya
sebagai gembala domba-domba-Nya (21:15-17). Dengan dialog berbentuk triple (tiga
pertanyaan Yesus, tiga jawaban Petrus, dan diikuti tiga perintah Yesus untuk
menggembalakan), kemuridan Petrus dipulihkan kembali25. Selain pengungkapan
cintanya kepada Sang Guru, akhirnya dia menyerahkan nyawanya demi Sang Guru
sebagai meterai kemuridan yang total (21:19-23).

b. Kesetiaan Murid yang Dikasihi dalam Mengikuti Sang Guru


Walaupun baru muncul dalam Buku Kemuliaan (13:23; 19:26-27; 20:2; 21:7;
21:24), murid yang dikasihi adalah tokoh utama Injil Yohanes. Dia hadir begitu dekat
dengan Sang Guru dalam perjamuan terakhir (13:23). Dia adalah kenalan Imam besar
di Yerusalem, karena itu dia masuk bersama Yesus ke dalam istana imam besar dan
menjadi guide bagi Petrus untuk bisa masuk pelataran itu (18:15-17). Ia adalah satu-
satunya murid yang berada di kaki salib Yesus bersama dengan Maria ibu Yesus dan
beberapa wanita yang lain (19:25-27). Kedekatan dengan Sang Guru pada puncak
penghinaan dan pemuliaan di salib memungkinkan dia bisa mengalami dari dekat
kepasrahan terdalam Sang Guru kepada Bapa. Sedemikian dekatnya dengan Yesus
hingga dia dipercayakan untuk menjadikan ibu Yesus sebagai ibunya juga. Selanjutnya
dalam kisah kebangkitan, tanpa diberitahu dan diundang, dia berlari bersama Petrus
untuk melihat, mengalami lalu percaya bahwa Sang Guru sudah bangkit (20:1-10). Dia
lebih dahulu melihat dan mengenal Sang Guru yang bangkit ketika menampakkan diri
di danau Tiberias (21:1-14). Tetapi, walaupun begitu dekat, dia tidak mendahului Sang
Guru, tetapi justru ia terus mengikuti-Nya dari belakang (21:19-23).
Semua data literer tentang murid anonim ini menunjukkan kedekatannya dengan
Sang Guru dalam Perjamuan terakhir, dalam kisah sengsara, dan dalam kisah
kebangkitan-Nya. Dia mengikuti dan mengalami kisah pemuliaan Kristus lewat
penderitaan, wafat dan kebangkitan. Dia menjadi murid sejati karena terus dan selalu
mengikuti-Nya dalam suka dan duka. Kematangan kemuridan justru ditimba dari
pengalaman mengikuti Sang Guru.
Identitas murid anonim ini sudah menjadi pokok perdebatan klasik di antara para
penafsir Injil keempat. St. Irenius dari Lyon mengidentifikasinya dengan Yohanes anak
Zebedeus. R. Bultmann menganggapnya sebagai figur ideal seorang murid Yesus dan

23
G. Zevini, Evangelio según san Juan, Salamanca: Sígueme, 1995, hlm. 502.
24
J. Mateos – J. Barreto, El evangelio de Juan…, hlm. 910.
25
R. A. Culpepper, “Peter as Exemplary Disciple in John 21:15-19”, PRS 37/2 (2010) 170-171.
8
bukan figur historis26. J. N. Sanders mengidentifikasinya dengan Lazarus (11:5)27. R. E.
Brown, setelah melewati beberapa pencermatann ilmiah, berpikir bahwa murid yang
dikasihi itu berasal dari lingkaran murid Yesus tapi di luar keduabelasan28. Dan masih
banyak penulis lain yang memberikan pendapatnya tentang identitas murid anonim ini.
Sambil memperhatikan bacaan bilevel Injil Yohanes, hemat saya, murid yang
dikasihi itu adalah seorang murid historis, barangkali berasal dari luar lingkaran
keduabelasan yang sedikit demi sedikit dalam komunitas Yohanes diidolakan menjadi
menjadi murid ideal yang melambangkan komunitas para murid. Sebagaimana
ditegaskan G. Zevini, historisitas murid ini tidak harus menolak sebuah tipologi atau
simbolisme dalam memperkenalkan pahlawan ideal komunitas Yohanes29. Yang
mungkin perlu ditolak adalah pendapat R. Bultmann yang menganggap murid yang
dikasihi itu hanya sebagai tokoh fiktif. Dia sungguh historis seperti Petrus, hidup dan
mati (21:23). Pengidentifikasian identitasnya cukup sulit. Sehingga sebaiknya pembaca
mesti puas dengan situasi anonimnya. Dia cukup terkenal dalam komunitas dan menjadi
jaminan tradisi yang berkembang dalam komunitas Yohanes (21:24).

c. Ketegangan Kemuridan Petrus dan Murid yang Dikasihi


Figur murid yang dikasihi dalam Injil Yohanes hampir muncul pada tiap skenario
di mana Petrus hadir, kecuali di kaki salib. Dalam teks-teks yang mengisahkan
kehadiran kedua murid tersebut secara bersamaan (13:21-30; 20:1-10; 21:1-23) terbaca
suatu ketegangan antara keduanya, seolah-olah ada suatu tendensi untuk mengangkat
figur murid yang dikasihi melebihi Petrus, sementara figur Petrus seolah-olah
disubordinasikan. Dalam kisah perjamuan terakhir, Petrus ingin mengetahui siapa yang
akan menyerahkan Yesus (13:21-30). Dia tidak langsung bertanya kepada Yesus tetapi
lewat murid yang dikasihi yang bersandar di dada Yesus. Murid anonim ini cukup
penting di hadapan Sang Guru. Ketika Yesus masuk ke pelataran istana imam besar di
Yerusalem, dia bisa masuk bersama-Nya, sementara Petrus harus menunggu sampai dia
kembali untuk membawanya masuk (18:15-17). Selanjutnya, pada hari kebangkitan,
kedua murid itu berlari bersama-sama menuju kubur (20:1-10). Dia tiba lebih dahulu di
kubur tetapi tidak masuk, dan ketika Petrus tiba dan masuk barulah murid itu masuk.
Dalam bab 21, sekali lagi kedua murid ini tampil bersamaan dalam kisah penampakan
Yesus di danau Tiberias, memperkenalkan murid yang dikasihi sebagai orang pertama
yang mengenal Yesus. Dan kesaksiannya memungkinkan Petrus bertemu dengan Yesus.
Ketegangan protagonisme kedua murid ini terbaca secara jelas dalam bab 21.
Bila pembaca mencari tokoh protagonis dalam 21:1-14, maka dengan segera ditemukan
Petrus sebagai tokoh utama (setelah Yesus) kisah di danau Tiberias tersebut. Dia yang
berinisiatif untuk pergi menangkap ikan (ay. 3), “Kata Simon Petrus kepada mereka:
Aku pergi menangkap ikan. Kata mereka kepadanya: Kami pergi juga dengan engkau.
Mereka berangkat lalu naik ke perahu, tetapi malam itu mereka tidak menangkap apa-
apa.” Ketika murid yang dikasihi menyampaikan, “Itu Tuhan”, Petrus langsung terjun
mendekati Yesus dan murid-murid yang lainpun mengikuti dia dengan perahu (ay. 7-8).

26
R. Bultmann, The Gospel of John, London: Basil Blackwell, 1971, hlm. 483-485.
27
J. N. Sanders, “Those Whom Jesus Loved (John 11,5)”, NTS 1 (1954-1955) 29-41; kemudian ia kembali
membahas tema ini dalam artikelnya “Who was the Disciple whom Jesus Loved?”, dalam F. L. Cross (ed.), Studies
in the Fourth Gospel, London: Mowbrays, 1957, hlm. 72-82.
28
R. E. Brown, The Churches…, hlm. 84.
29
G. Zevini, Evangelio..., hlm. 347.
9
Dalam ay. 10-11, Petrus sekali lagi menampilkan inisiatif dan protagonismenya, “Kata
Yesus kepada mereka: Bawalah beberapa ikan, yang baru kamu tangkap itu. Simon
Petrus naik ke perahu lalu menghela jala itu ke darat, penuh ikan-ikan besar…”
Namun bila dicermati dari segi struktur tekstual dengan melihat kehadiran term
murid (ho mathētēs) dalam perikop ini maka pembaca akan melihat bahwa justru teks
itu menampilkan protagonisme dan sentralitas figur murid yang dikasihi. Demikian
struktur kiastiknya30:

A tois mathētais (ay. 1) (datif jamak: kepada murid-murid)


B tōn mathētōn (ay. 2) (genetif jamak: murid-muridNya)
C hoi mathētai (ay. 4) (nominatif jamak: murid-murid)
D ho mathētēs ekeinos hon ēgapa ho Iēsous (ay. 7)
(murid yang dikasihi Yesus)
C’ hoi…mathētai (ay. 8) (nominatif jamak: murid-murid)
B’ tōn mathētōn (ay. 12) (genetif jamak: murid-muridNya)
A’ tois mathētais (ay. 14) (datif jamak: kepada murid-murid)

Struktur teks ini melangsirkan bahwa kehadiran murid-murid yang lain dalam
skenario berperan sebagai setting di sekitar tokoh murid yang dikasihi. Paralelisme
simetrik para murid (A-A’, B-B’, C-C’) pada struktur kiastik mengapiti tema sentral (D)
yakni murid yang dikasihi Yesus. Lantas pembaca dapat bertanya, tokoh siapa yang mau
ditonjolkan di antara para murid dalam teks ini? Petrus atau murid yang dikasihi? Di
sinilah letak salah satu ketegangan tekstual protagonisme kedua murid tersebut.
Ketegangan kedua protagonisme ini tidak nampak dalam ay. 15-19 di mana
terlihat jelas hanya Petrus dan Yesus yang berdialog di dalamnya. Tokoh Petrus dan
murid yang dikasihi tampil kembali dalam skenario ay. 20-23.

20
Ketika Petrus berpaling, ia melihat bahwa murid yang dikasihi Yesus sedang mengikuti
mereka, yaitu murid yang pada waktu mereka sedang makan bersama duduk dekat Yesus dan
yang berkata: "Tuhan, siapakah dia yang akan menyerahkan Engkau?" 21 Ketika Petrus melihat
murid itu, ia berkata kepada Yesus: "Tuhan, apakah yang akan terjadi dengan dia ini?" 22
Jawab Yesus: "Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan
urusanmu. Tetapi engkau: ikutlah Aku." 23 Maka tersebarlah kabar di antara saudara-saudara
itu, bahwa murid itu tidak akan mati. Tetapi Yesus tidak mengatakan kepada Petrus, bahwa
murid itu tidak akan mati, melainkan: "Jikalau Aku menghendaki supaya ia tinggal hidup
sampai Aku datang, itu bukan urusanmu."

Pada ay. 20 terbaca sebuah arti kemuridan yang mendalam. Petrus mengikuti
Yesus seperti yang diperintahkan dalam ayat 19, “Ikutilah Aku”. Tindakan Petrus yang
langsung mengikuti Yesus (ay. 20), selain penerimaan tugas penggembalaan, adalah
antisipasi penerimaan konsekuensi kemartiran. Di jalan kemuridannya (ketika sedang
mengikuti), dia berpaling melihat murid yang dikasihi yang juga sedang menapaki jalan
kemuridan yang sama. Term yang digunakan di sini adalah akolouthounta (partisipel

30
D. F. Stramara, “The Chiastic Key to the Identity of the Beloved Disciple”, SVTQ 53/1 (2009) 23.
10
present) yang bisa diterjemahkan dengan sintagma dia sedang mengikuti. Murid ini
selalu dan terus bergerak dalam mengikuti Sang Guru.
Barangkali pembaca bertanya, “Sejak kapan murid ini mengikuti Yesus?” Toh
pada ayat sebelumnya justru Petrus yang dipanggil untuk mengikuti Yesus. Penginjil
mengisahkan jatuh-bangun kemuridan Petrus, tetapi perihal murid yang dikasihi hanya
dikisahkan kedekatannya dengan Yesus. Kita tidak tahu kalau murid ini pernah jatuh
atau tidak dalam kepengikutiannya. Penginjil selalu menampilkannya sebagai seseorang
yang sedang dan terus mengikuti Yesus sejak perjamuan terakhir, dalam kisah sengsara,
kematian dan kebangkitan-Nya.
Bertolak dari pemahaman demikian, Petrus lantas bertanya, "Tuhan, apakah yang
akan terjadi dengan dia ini?" (ay. 21). Pertanyaan ini, sekali lagi, memicu ketegangan
naratif kedua figur tersebut. Petrus sudah tahu tugas kemuridannya sebagai gembala,
sementara tugas murid yang dikasihi tidak dipaparkan secara jelas. Yang diketahui
sampai sekarang bahwa murid itu selalu mengikuti dan ada bersama Sang Guru.
Atas pertanyaan Petrus, Yesus pun menantangnya (ay. 22). Tidak seharusnya
Petrus mempertanyakan tentang apa dan bagaimana yang akan terjadi dengan murid
yang dikasihi. Yang Sang Guru rancangkan untuk setiap murid-Nya bukanlah urusan
Petrus. Jawaban Yesus menghindari permusuhan dan perbandingan tipe kemuridan
setiap pengikut-Nya. Karena itu, Ia menjawab Petrus dalam nada hipotetis, “Kalau saya
mau dia tinggal sampai Aku datang, itu bukan urusanmu?” Petrus tampaknya sedang
mencampuri urusan murid yang lain. Petrus semestinya menahan rasa ingin tahunya dan
hanya mengikuti apa yang telah Yesus minta “Ikutilah Aku”. Petrus semestinya
mengikuti Tuhan, siap menyerahkan nyawa demi domba-domba-Nya tanpa harus cemas
akan rencana Tuhan terhadap murid yang lain.
Melihat ketegangan kemuridan Petrus dan murid yang dikasihi, sepintas
pembaca bisa berkesan bahwa ada sejenis kompetisi antara figur Petrus dengan figur
murid anonim tersebut. Tetapi bila ditilik lebih jauh ke arah Sitz im Leben Injil keempat,
skenario tersebut mengungkapkan situasi para murid yang sedang membentuk
komunitas dan identitasnya. Perbandingan kompetitif antara Petrus dan murid yang
dikasihi, menurut C. U. von Wahlde, menampilkan situasi vital komunitas Yohanes
yang berada dalam suasana konflik atau situasi yang tegang berhadapan dengan Gereja
universal dari Yerusalem di bawah wibawa Petrus31. Komunitas Yohanes yakin dan
percaya diri pada level spiritual yang cukup tinggi dan merasa lebih dekat dengan Sang
Guru. Tetapi pada saat yang sama, komunitas ini harus menerima autoritas Petrus dari
Gereja yang lebih luas. Sepertinya, redaktur terakhir Injil keempat berusaha
menyesuaikan dan membiasakan kehadiran figur Petrus dalam komunitas Yohanes. Dia
menampilkan usaha untuk menyatukan semua domba Kristus, termasuk yang tidak
berasal dari kawanan yang sama, di bawah satu gembala (bdk. 10:16-17)32. Yesus mati
untuk menyatukan semua anak Allah yang terpencar-pencar (bdk. 11:52). Dengan
demikian komunitas Yohanes tidak condong ke arah sekte tetapi terbuka pada
keharmonisan dan kesatuan dengan Gereja universal33.

31
U. C. von Wahlde, “Community in Conflict, the History and Social Context of the Johannine
Community”, Int 49 (1995) 384.
32
R. E. Brown, “Other Sheep Not of this Fold: The Johannine Perspective on Christian Diversity in the
Late First Century”, JBL 97 (1978) 5-22.
33
U. C. von Wahlde, “Community in Conflict…”, hlm. 384.
11

Anda mungkin juga menyukai