Anda di halaman 1dari 10

Gregorius dari Nazianze mengajarkan

bahwa Yesus Kristus adalah satu pribadi yang memiliki dua kodrat, Allah dan manusia,
yang menyatu dalam kombinasi secara utuh
demi keselamatan manusia.
Oleh: M. Ari Saputra

Keywords: Kristologi, Bapa-Bapa Gereja, man of the Lord, sotereologi, deifikasi, sanctification,
penebusan.

I. PENGANTAR

Pergumulan kristologi, tentang identitas Yesus, telah ada sejak awal Gereja. Upaya
mengenal siapa Yesus Kristus sudah dimulai sejak para murid masih bersama-sama dengan
Yesus.

Setelah Yesus tiba di daerah Kaisarea Filipi, Ia bertanya kepada murid-murid-Nya: "Kata
orang, siapakah Anak Manusia itu?" Jawab mereka: "Ada yang mengatakan: Yohanes
Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia dan ada pula yang mengatakan: Yeremia atau
salah seorang dari para nabi." Lalu Yesus bertanya kepada mereka: "Tetapi apa katamu,
siapakah Aku ini?" Maka jawab Simon Petrus: "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang
hidup!" (Mat 16:13-16).

Yesus bertanya kepada para muridNya, “Siapakah Aku ini?” Simon Petrus menjawab,
“Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” Petrus memberikan jawaban seturut kehendak
Bapa. Yesus menegaskan bahwa jawaban Petrus itu bukan saja jawaban manusia, melainkan
Bapa sendiri yang menyatakan jawaban itu melalui perkataan Petrus (bdk. Mat 16:17). Identitas
Yesus, siapa Dia, diungkapkan dalam tulisan-tulisan Kitab Suci. Misalnya, Yesus adalah Firman
yang tinggal bersama dengan Allah (bdk. Yoh 1:1) dan menjadi manusia dan tinggal di tengah-
tengah manusia (bdk. Yoh 1:14).

Adapun, pengenalan tentang identitas Yesus, tidaklah berhenti dan statis dalam
perkembangan kekristenan. Pemahaman tentang identitas Kristus bersifat dinamis di antara para
pengikut Kristus. Dinamika itu tampak dengan munculnya pemahaman yang berbeda-beda
tentang Kristus. Ada aliran-aliran yang berupaya memahami dan mengajarkan tentang siapa
Yesus, seperti, kelompok Ebionit yang mengajarkan keesaan Allah (monoteisme absolut) dan
menganggap bahwa Yesus hanyalah manusia biasa (bukan Allah), anak Maria dan Yosef, yang
pada saat pembaptisan di Sungai Yordan disatukan dengan zat ilahi sehingga menjadi mesias.
1
Ada juga aliran Doketisme yang mengajarkan bahwa Yesus Kristus sepenuhnya adalah Yang
Ilahi dan pada saat datang ke dunia tampaknya saja Ia mengenakan tubuh manusiawi.

Selain itu, ada aliran Arianisme yang cukup kuat dan berkembang pada masa itu. Aliran
Arianisme mengajarkan dan menekankan keesaan Allah secara absolut (monoteisme). Aliran ini
menegaskan bahwa satu-satunya yang tidak dilahirkan (aghenetos) adalah Allah Bapa. Hanya
Bapa satu-satunya Allah, satu-satunya yang tidak dilahirkan, satu-satunya yang abadi, satu-
satunya yang tanpa permulaan, yang benar, dan yang abadi. Aliran ini mengajarkan bahwa Yesus
sebagai Anak: Ia dilahirkan, diciptakan, dan dibuat. Arianisme mengajarkan bahwa Yesus adalah
ciptaan yang istimewa dari ciptaan yang lain karena Ia diciptakan langsung oleh Bapa sebelum
adanya waktu, sementara semua ciptaan lain diciptakan dengan pengantaraannya setelah adanya
waktu. Aliran ini mengajarkan bahwa Yesus tidak kekal seperti Bapa; tidak berada secara abadi
bersama Bapa; mempunyai awal mula karena sebelum diciptakan, Ia tidak ada.

Ajaran-ajaran tentang Yesus ini kemudian ditanggapi dengan konsili-konsili ekumenis


seperti Konsili Nicea (325) yang memberi perhatian pada ajaran tentang Allah Putera dalam
relasinya dengan Bapa. Pernyataan uman akan Yesus Kristus ditempatkan dalam pengakuan
iman akan satu Allah. Adapun, konsili ini bernuansa anti-Arius1.

Diskusi tentang siapa Kristus ini (kristologi) merupakan diskusi yang memang sulit untuk
dipahami oleh akal budi. Namun, diskusi ini menjadi sangat penting dan esensial dalam iman
Kristiani yang mengajarkan bahwa Yesus adalah penyelamat umat manusia dari belenggu dosa.
Dengan demikian, diskusi tentang kristologi Bapa-Bapa Gereja harus dikaitkan dengan aspek
keselamatan umat manusia (sotereologi).

Dalam tulisan ini, penulis akan menampilkan gagasan kristologi menurut seorang tokoh
yang hidup pasca-konsili nicea dan memang akan membela ajaran konsili Nicea, yakni
Gregorius dari Nazianze (330-391), secara khusus ketika berhadapan dengan aliran
Appolinarianisme2.

1
Lih Syahadat Nicea-Konstantinopel: “Aku percaya akan satu Allah, Bapa yang mahakuasa, pencipta langit dan
bumi, dan segala sesuatu yang kelihatan dan tak kelihatan; dan akan satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah yang
tunggal. Ia lahir (gheneteta ek tou Patros monoghene) dari Bapa sebelum segala abad, Allah dari Allah, Terang dari
Terang, Allah benar dari Allah benar. Ia dilahirkan, bukan dijadikan, sehakikat dengan Bapa…”
2
Philip Schaff, Nicene and Post Nicene Father II, Vol. 7, Christian Classic Ethereal Library, 404-418.

2
II. KRISTOLOGI MENURUT GREGORIUS NAZIANZE
a. Gregorius Nazianze dan Konteksnya

Gregorius dilahirkan di Asia Kecil pada tahun 330. Sekarang daerah tersebut dikenal
dengan nama Turki. Orang tua Gregorius adalah St. Nonna dan St. Gregorius Tua 3. Gregorius
belajar di Athena, Yunani dan bertemu dengan Basilius Agung. Mereka menjalin persahabatan
yang akrab. Keduanya dijuluki Bapa-Bapa Kapadokia (Basilius Agung, Gregorius Nazianze, dan
Gregorius dari Nissa) dan berpegang-membela ajaran Konsili Nicea (325).

Gregorius dan Basilius menentang ajaran Arianisme yang menyangkal bahwa Yesus
adalah Tuhan. Ajaran Arius ditolak dan dinyatakan sesat dalam konsili Nicea. Namun, karena
aliran ini mempunyai banyak pengikut, aliran ini agak sulit untuk dipadamkan. Ketika menjadi
Uskup Konstantinopel, Gregorius mempertobatkan banyak orang dengan khotbah-khotbah dan
ajarannya.

Setelah berhadapan dengan Arianisme, Gregorius dari Nazianze berhadapan dengan ajaran
Appolinarius. Appolinarius mengajarkan bahwa tidak mungkin Allah itu sekaligus manusia.
Aliran ini tidak mengakui Maria adalah Bunda Allah; mengajarkan adanya „Two Sons” (satu dari
perawan Maria dan yang lain dari Allah); Yesus dibuat sempurna karena perbuatan, pembaptisan,
dan kebangkitanNya: setelah wafat, Yesus meninggalkan tubuh manusiawi. Aliran ini
mengajarkan bahwa Allah-manusia tidak memiliki pikiran manusia karena pikiran manusia ini
adalah sumber dosa.

Apollinarius,…, declares that the Son of God was from all eternity clothed with a human
body, and not from the time of His conception only by the Blessed Virgin; but that this
humanity of God is without human mind, the place of which was supplied by the Godhead
of the Only-begotten4.
Berhadapan dengan ajaran Appolinarius itu, Gregorius Nazianze menentang dan
manyampaikan pembelaan imannya. Salah satu pembelaan imannya terungkap dalam suratnya
kepada Cledonius, seorang imam di keuskupannya dan juga tulisan-tulisan pengajarannya.

3
Philip Schaff, Nicene and Post Nicene Father II, Vol. 7, Christian Classic Ethereal Library, 404.
4
Philip Schaff, Nicene and Post Nicene Father II, Vol. 7, Christian Classic Ethereal Library, 855.

3
b. Yesus Kristus: Kombinasi Yang Ilahi dan Yang Insani demi Keselamatan Manusia

Gregorius Nazianze menulis surat kepada Cledonius untuk menyampaikan pembelaan


imannya terhadap ajaran Appolinarius. Gregorius meminta bantuan Cledonius untuk ikut serta
mempertahankan iman Kristiani yang benar, sesuai dengan ajaran Konsili Nicea. Gregorius
Nazianze mengajarkan ajaran iman Konsili Nicea dengan interpretasinya yang khas.

Gregorius mengingatkan Cledonius untuk tidak membiarkan orang meyakini dan


mengelabuhi yang lain dengan pernyataan bahwa 'Manusia Allah' (Man of the Lord), tidak
memiliki pikiran manusia. Gregorius tidak mau memisahkan Kemanusiaan dari Keilahian. Ia
mengikuti ajaran Kesatuan dan Identitas Pribadi. Sang Anak sebelum segala abad, akan
menyelamatkan kemanusiaan yang ada dalam dirinya. Oleh yang Satu dan Pribadi yang Sama,
Yang adalah sungguh Manusia dan Allah, seluruh kejatuhan manusia karena dosa mungkin
diperbarui 5 . Dengan kata lain, manusia hanya dapat diselamatkan oleh Allah yang sungguh
menjadi manusia secara utuh, karena antara manusia dan yang ilahi terbentang jarak yang tak
terjembatani, antara yang kudus dan cemar karena dosa.

Dalam suratnya itu juga, Gregorius tidak sepaham dengan aliran yang mengajarkan bahwa
Maria bukan Bunda Allah; menganggap Maria hanya sebagai saluran dan tidak terbentuklah
keilahian dan kemanusiaan Yesus; dan bahwa kemanusiaan ada tetapi kemudian diselubungi
dengan keilahian. Gregorius juga menolak pandangan „Two Sons”. Dengan jelas ia menuliskan:

“If anyone does not believe that Holy Mary is the Mother of God, he is severed from the
Godhead. If anyone should assert that He passed through the Virgin as through a channel,
and was not at once divinely and humanly formed in her (divinely, because without the
intervention of a man; humanly, because in accordance with the laws of gestation), he is in
like manner godless. If any assert that the Manhood was formed and afterward was
clothed with the Godhead, he too is to be condemned. For this were not a Generation of
God, buta shirking of generation. If any introduce the notion of Two Sons, one of God the
Father, the other of the Mother, and discredits the Unity and Identity, may he lose his part

5
“Do not let the men deceive themselves and others with the assertion that the “Man of the Lord,” as they call Him,
Who is rather our Lord and God, is without human mind. For we do not sever the Man from the Godhead, but we
lay down as a dogma the Unity and Identity of Person, Who of old was not Man but God, and the Only Son before
all ages, unmingled with body or anything corporeal; but Who in these last days has assumed Manhood also for our
salvation… that by One and the Same Person, Who was perfect Man and also God, the entire humanity fallen
through sin might be created anew”. Lih. Philip Schaff, Nicene and Post Nicene Father II, Vol. 7, Christian Classic
Ethereal Library, 859-860.

4
in the adoption promised to those who believe aright. For God and Man are two natures,
as also soul and body are; but there are not two Sons or two Gods”6.

Bagi Gregorius, Penyelamat, Yesus Kristus, bukanlah dua pribadi. Namun, dalam diri
Yesus ada dua kodrat yang bersatu dalam kombinasi (combination). Kedua kodrat itu menjadi
satu karena kombinasi: Yang Ilahi menjadi Manusia dan Yang Insani diilahikan. Bagi Gregrorius
Nazianze, dalam pribadi Kristus ada perbedaan kodrat (Ilahi dan insani), sedangkan dalam
Trinitas ada perbedaan Pribadi (person), bukan Hakikat (Element). Gregorius mengajarkan
bahwa ketiganya adalah Satu dan sama dalam Keallahan.

The Saviour is made of elements which are distinct from one another (for the invisible is
not the same with the visible, nor the timeless with that which is subject to time), yet He is
not two Persons. God forbid! For both natures are one by the combination, the Deity
being made Man, and the Manhood deified or however one should express it. And I say
different Elements, because it is the reverse of what is the case in the Trinity; for There we
acknowledge different Persons so as not to confound the persons; but not different
Elements, for the Three are One and the same in Godhead7.
Gregorius menampilkan istilah yang khas untuk mengungkapkan kesatuan dua kodrat
dalam pribadi Yesus Kristus, yakni kombinasi (Combination) 8 . Dalam ungkapan yang lain,
Gregorius menyebut kedua kodrat itu sebagai „yang dari atas‟ (who is above us) dan „yang
menjadi manusia‟ (who became what He is for our sake) 9 . Dalam inkarnasi, Allah menjadi
manusia. Allah menjadi manusia secara utuh dalam kodrat kemanusiaannya; tubuh (body), jiwa
(soul), pikiran (mind), termasuk dalam kematiannya, kecuali dalam hal dosa (sin). Dengan
demikian, Yesus menjadi seorang manusia, yakni kombinasi dari seluruh kemanusiaan, selain
dosa. Yesus mendapatkan kemanusiaannya dari Maria, dan disebut „Anak Manusia‟ (Son of
Man). Yesus juga disebut Kristus karena KeilahianNya. Yesus memiliki kedua kodrat ini dalam
sebuah kombinasi.

These names are still common to Him who is above us and to Him who became what He is
for our sake. But others are properly our own and belong to the human nature that He
assumed. Thus He is called “the man” (ανθωπος)… This is so not only in order that
through His body He might be accessible to those creatures who have bodies – otherwise,

6
Philip Schaff, Nicene and Post Nicene Father II, Vol. 7, Christian Classic Ethereal Library, 860.
7
Philip Schaff, Nicene and Post Nicene Father II, Vol. 7, Christian Classic Ethereal Library, 860.
8
Philip Schaff, Nicene and Post Nicene Father II, Vol. 7, Christian Classic Ethereal Library, 860. Lih. The
Theological Orations 4, on the Son 2, art. 21.
9
“ These names are still common to Him who is above us and to Him who became what He is for our sake.” The
Theological Orations 4, on the Son 2, art. 21. Lih. Gregory of Nazianzus, Five Theological Orations, diterjemahkan
oleh Stephen Reynolds, Estate of Stephen Reynolds, 2011, 94.

5
He would be inaccessible because of His incomprehensible nature, – but also in order
that through Himself He might sanctify humanity and become (as it were) a leaven for the
whole lump; and by uniting to Himself what was condemned might release it from all
condemnation, becoming for all humans all things that we are, except sin – body, soul,
mind, and all those things through which death comes. Thus He became a human, who is
the combination of all these – God in visible form, by virtue that which is perceived
invisibly. He is “Son of Man,” both on account of Adam and on account of the Virgin from
whom He came – from the one as the first ancestor, from the other as His mother, both in
accordance with the law of generation and apart from it. He is “Christ,” because of His
divinity10.
Gregorius menekankan kesatuan kodrat Yesus dalam kombinasi untuk melawan ajaran
Appolinarius. Appolinarius mengajarkan bahwa Kristus menjadi manusia tetapi tidak termasuk
pikiran manusia karena pikiran manusia merupakan sumber dosa. Paham Appolinarius ini
dipengaruhi oleh pandangan dosa akibat kejatuhan manusia pertama yang menyalahgunakan
kebebasan dan akal budinya untuk melawan Allah. Appolinarius memperhatikan kejatuhan
manusia itu sebagai alasannya untuk mengajarkan ajarannya ini. Bagi Appolinarius, sebenarnya
ingin memegang teguh bahwa Allah tetaplah suci. Appolinarius memiliki kesulitan untuk
menerima bahwa Yesus sebagai Allah sekaligus manusia karena Allah itu kudus sedangkan
manusia itu berdosa. Kemudian, yang ditawarkan oleh Appolinarius adalah Yesus tetap ilahi
dengan menjadi manusia tetapi tidak memiliki pikiran manusia. Pandangan Appolinarius ini
memang banyak diterima dan mulai tersebar. Namun, Gregorius Nazianze menolak dan melawan
ajaran Appolinarius karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran iman yang benar.

Gregorius Nazianze, dalam tulisan teologisnya, The Theological Orations: On the Son II,
mengajarkan dengan jelas bahwa Yesus adalah Dia yang dari atas dan yang mempunyai kodrat
manusia. Secara lebih detail, Gregorius menjelaskan keutuhan kesatuhan Yesus sebagai Allah-
Manusia ini dalam suratnya kepada Cledonius. Bagi Gregrorius, Allah menjadi manusia berarti
manusia utuh dengan badan, jiwa, rasio dan pikirannya. Ia sungguh menentang ajaran
Appolinarius, bahkan Gregorius juga mengeluarkan penjelasan dengan analogi yang cukup keras
dan mempertanyakan model manusia seperti apakah yang ingin ditampilkan oleh Appolinarius,
“if He [Jesus] has a soul, and yet is without a mind, how is He man, for man is not a mindless
animal? … His soul should be that of a horse or an ox, or some other of the brute creation.”11

10
The Theological Orations 4, on the Son 2, art. 21. Lih. Gregory of Nazianzus, Five Theological Orations,
diterjemahkan oleh Stephen Reynolds, Estate of Stephen Reynolds, 2011, 94
11
Philip Schaff, Nicene and Post Nicene Father II, Vol. 7, Christian Classic Ethereal Library, 861.

6
Gregorius mengeluarkan ungkapan yang sangat keras untuk menentang Appolinarius. Dengan
kata lain, Gregorius menyamakan „manusia‟ tanpa pikiran tidak lain dari makhluk ciptaan seperti
kuda, atau sapi.

Oleh karena itu, Gregorius sungguh mengecam orang yang percaya bahwa Yesus Kristus
menjadi manusia tanpa pikiran manusia, orang itu sebenarnya tidak layak untuk keselamatan, “If
anyone has put his trust in Him as a Man without a human mind, he is really bereft of mind, and
quite unworthy of salvation.” Dasar ajaran yang dipakainya adalah tradisi lama yang telah
diwartakan oleh iman Kristiani. Allah akan menyelamatkan apa yang ia kenakan (assumed). Jika
Allah tidak mengenakan pikiran manusia, karena dianggap sebagai sumber dosa, maka manusia
yang memiliki pikirannya itu tidak diselamatkan. Dengan kata lain, Gregorius mau
mengingatkan bahwa manusia telah diciptakan sejak awal mula secara utuh dengan tubuh, jiwa,
rasio, dan pikiran. Oleh karena itu, untuk dapat menyelamatkan manusia secara utuh, Allah pun
sungguh menjadi manusia yang utuh, kecuali dalam hal dosa. Jika Allah tidak mengenakan
pikiran manusia karena sumber dosa, maka keselamatan juga luput bagi mereka yang berdosa
karena pikiran itu12.

Kristologi yang ditawarkan oleh Gregorius Nazianze adalah kombinasi (combination).


Secara ringkas, Gregorius berpendapat bahwa 1) Kristus harus sungguh utuh manusia jika
manusia menjadi tujuan dari Karya Kristus, 2) Kristus harus sungguh Ilahi supaya dapat
memenangkan dosa, kematian, dan Satan dalam kemanusiaan; dan 3) Kristus harus terdiri dari
dua kodrat yang berbeda dan sungguh tinggal bersatu dalam kepribadiaan manusia supaya
membuat manusia menjadi ilahi (deifikasi) sama seperti Kristus yang menjadi manusia. Diskusi
tentang kristologi tidak bisa dilepaskan dari aspek soteriologi yang ingin ditampilkan. Istilah
soteriologi yang dipakai oleh Gregorius adalah pengudusan (Sanctification) dan penebusan
(Redemption)13.

12
“If the mind was utterly rejected, as prone to sin and subject to damnation, and for this reason He assumed a body
but left out the mind, then there is an excuse for them who sin with the mind..” Philip Schaff, Nicene and Post
Nicene Father II, Vol. 7, Christian Classic Ethereal Library, 861-862.
13
The Theological Orations 4, on the Son 2, art. 20. Lih. Gregory of Nazianzus, Five Theological Orations,
diterjemahkan oleh Stephen Reynolds, Estate of Stephen Reynolds, 2011, 94

7
III. PENUTUP
Gregorius Nazianze merupakan uskup yang sungguh memiliki perhatian kepada umatNya
untuk mengikuti ajaran yang benar, sesuai dengan ajaran konsili dan tradisi iman. Lebih-lebih
ketika ajaran iman itu mendapat terpaan badai gelombang ajaran baru yang berbeda dari ajaran
iman yang diyakininya. Ketika berhadapan dengan aliran Appolinarianisme, ia pun berjuang
untuk menelaah dan memberi penjelasan dan menegaskan bahwa ajaran itu tidak sesuai dengan
ajaran iman yang benar. Hal yang menarik untuk digaris bawahi adalah cara yang dipakai oleh
Gregorius dalam mempertahankan dan membela iman adalah dengan membuat tulisan dan
penegasan ajaran. Dengan demikian, ini menunjukkan bahwa Gregorius adalah pribadi yang
cerdas. Lebih dari itu, isi ajarannya pun dapat dipertanggungjawabkan dan dapat diterima
sehingga ia tetap dapat mempertahankan bahkan meluruskan ajaran iman yang kurang tepat.
Ketika melawan aliran Appolinarianisme, Gregorius menawarkan ajaran kristologi yang
berkombinasi secara utuh antara kodrat ilahi dan insani. Gregorius mengajarkan bahwa Kristus
mengenakan (assumed) setiap bagian kodrat manusia yang memang telah jatuh ke dalam dosa.
Seluruh kodrat kejatuhan manusia itu meliputi tubuh (body), jiwa (soul), dan pikiran (mind).
Oleh karena itu, Kristus mengenakan tubuh, jiwa, dan pikiran manusia. Dengan ajaran ini,
Gregorius melawan ajran Appolinarius yang mengajarkan bahwa Kristus itu ilahi dan ketika
menjadi manusia Kristus tidak mengenakan pikiran (mind) manusia, karena pikiran manusia
adalah sumber dosa. Pandangan Appolinarius berangkat dari keyakinannya bahwa Allah tetaplah
kudus dan tidak berdosa. Terhadap pandangan Appolinarius ini, Gregorius mengajarkan
keutuhan persatuan Kristus dalam dua kodratNya, Allah dan Manusia, terkait dengan aspek
sotereologi. Dengan kata lain, jika beberapa bagian dari kodrat manusia tidak jatuh dalam dosa,
untuk apa Kristus perlu mengenakan kodrat manusia? Gregorius sungguh ingin menepis ajaran
Appolinarius.
Bagi Gregorius, Keilahian Kristus sungguh memiliki peran penting supaya dapat hidup
sempurna seperti manusia dengan tanpa menjadi sama dalam hal dosa. Gregorius membuat
narasi pencobaan Kristus untuk menjelaskannya.
For since the clever salesman for evil he was invincible, deceiving us with the hope of
being gods, he is himself deceived by the screen of flesh, and thinking he was attacking
Adam, he encountered God. In this way the new Adam succeeded in saving the old Adam,
and put an end to the condemnation of the flesh; death, in that flesh, was put to death14.

14
Gregory of Nazianzus, “Oration 39: On the Holy Lights”, in Gregory of Nazianzus, ed. Daley, art. 13, 134.

8
Kristus hadir menjadi manusia, Adam yang baru dan berhasil mengelabuhi kuasa kejahatan
untuk menyelamatkan Adam yang lama dan mengakhiri kutukan terhadap kedagingan: kematian
dengan hukuman mati yang diterimaNya. Gregorius mengajarkan bahwa Kristus meskipun
menjadi Adam Baru, Ia mesti memiliki keilahian yang utuh untuk dapat menyelamatkan manusia.
Oleh karena itu, Gregorius merupakan seorang Bapa Kapadokia yang mengajarkan bahwa
Kristus memiliki kodrat manusia dan kodrat ilahi. Kata lainnya, Kristus adalah sungguh Allah
dan sungguh manusia.

9
DAFTAR PUSTAKA

Dokumen Gereja:
Alkitab
Syahadat Nikea-Konstantinopel

Artikel dan Buku:


Gregory of Nazianzus,
Five Theological Orations, diterjemahkan oleh Stephen Reynolds, Estate of
Stephen Reynolds, 2011.
Gregory of Nazianzus,
“Oration 39: On the Holy Lights”, in Gregory of Nazianzus, ed. Daley.
Gregory of Nazianzus,
The Theological Orations 4, on the Son 2.
Schaff, Philip,
Nicene and Post Nicene Father II, Vol. 7, Christian Classic Ethereal Library.

10

Anda mungkin juga menyukai