Anda di halaman 1dari 13

INDAHNYA PANGGILAN RELIGIUS DAN PERSOALANNYA

DI INDONESIA
Oleh Berthold Anton Pareira O.Carm.

1. Pengantar

Tahun ini oleh Paus Fransiskus dicanangkan sebagai tahun “vita consecrata”. Terjemahan
harfiah dari vita consecrata ialah “hidup yang dikuduskan”.Terjemahan dengan “hidup bakti” tidak
menggembirakan saya. Kata bakti sendiri tidak banyak berbicara karena memang sangat jarang
digunakan.Dalam bahasa Indonesia biasanya yang digunakan ialah kata kerjanya yakni berbakti,
membaktikan diri.Di luar kata kerja yang biasanya digunakan ialah istilah kebaktian.Menurut Tesaurus
Alfabetis Bahasa Indonesia kata bakti adalah sebuah nomen dan sinonimnya ialah “abdi,
dedikasi,hormat, kasih, kesetiaan, ketakziman, sayang, ketundukan”. Sedang menurut Tesaurus Bahasa
Indonesia Eko Endarmono sinonimnya ialah 1.abdi,dedikasi,kesetiaan 2. ketakziman. Kata yang
biasanya digandengkan dengan bakti ialah kerja bakti. Kata bakti tidak selalu digandengkan dengan
Tuhan.Lalu apa yang dimaksud dengan “hidup bakti”? Hidup dedikasi? Hidup pengorbanan? Hidup
kesetiaan?
Yang dimaksud dengan Vita consecrata ialah hidup yang dikuduskan oleh Allah untuk
dibaktikan hanya kepada-Nya. Dalam bahasa Latin kata ini berbentuk participium pasif. Dalam bahasa
Indonesia bakti adalah suatu nomen yang dalam penggunaannya kerap digandengkan dengan Tuhan,
orang tua dan tanah air. Dalam nomen ini terkandung makna aktif. Dalam Perjanjian Lama orang-orang
yang dibaktikan kepada Allah adalah para nazir seperti Simson. Dia disebut nazir Allah (nazaraeus Dei)
“ein Gott geweihter Nasiräer” (EU),“ce garcon sera consacré à Dieu” (Hak 13:5). Simson menjadi nazir
atas panggilan Tuhan.Lain halnya dengan Samuel.Dia diserahkan atau dipersembahkan kepada Tuhan
berdasarkan nazar yang diucapkan ibunya.Anak itu adalah anugerah Tuhan. Dia diserahkan kepada
Tuhan bahkan selagi masih kecil sekali, baru cerai susu (1 Sam 1:21-28).
Dalam Perjanjian Baru hal bakti dikatakan tentang Maria dan Yusuf dalam hubungan dengan
Kanak-kanak Yesus.Ketika genap waktu pentahiran, mereka membawa Kanak-kanak Yesus ke
Yerusalem untuk “menyerahkan-Nya kepada Tuhan” (Luk 2:22; NVg,”ut sisterent Domino”). Anak itu
sebenarnya sudah diserahkan kepada Tuhan ketika diberi nama Yesus.Nama-Nya dihubungkan dengan
Tuhan dan mengungkapkan siapakah Tuhan itu. Itu berarti Dia diserahkan kepada Tuhan.

2. Tahun Pertobatan,Tahun Pengenalan diri sendiri

Saya tidak tahu apa yang melatarbelakangi penentuan tahun ini sebagai tahun vita consecrata.
Apakah karena ada krisis di dalam hidup religius? Tahun 2015 ini kita merayakan 50 tahun penutupan
konsili Vatikan II (1965) dan tepat pada peringatan emas ini Paus Fransiskus menjadikannya sebagai
tahun vita consecrata.Saya kira harapan Paus dengan mencanangkan tahun ini sebagai tahun vita
consecrata ialah supaya para religius menjadi penggerak pembaharuan Gereja.Hidup mereka memang
telah dibaktikan seluruhnya kepada Tuhan dan Gereja. Paus Fransiskus rupanya berharap banyak dari
kita. Vatikan II adalah konsili pembaharuan Gereja dalam segala bidang termasuk hidup religius. Ada
dokumen khusus tentang hal ini.Judulnya Perfectae Caritatis artinya (Pencapaian)Cinta Kasih yang
sempurna. Ada semangat baru dan roh baru yang bertiup dari ruang konsili Vatikan II. Hidup baru ini
tidak boleh padam dan Paus Fransiskus kiranya berharap agar para religius menjadi penggeraknya.
Lalu bagaimana?
Tentu saja dengan pembaharuan semangat dari para religius sendiri.Krisis
panggilan,penuaan,penutupan biara-biara belum melanda Indonesa.Akan tetapi,ini tidaklah berarti
bahwa tidak perlu ada pembaharuan dalam kehidupan religius di Indonesia.Krisis yang paling parah di
2
Indonesia menurut hemat saya ialah bahwa kita tidak sungguh-sungguh mengenal diri kita sendiri. Ini
merupakan suatu krisis yang sangat mendasar. Kita sudah puas diri dan merasa tidak perlu lagi ada
pemikiran kritis tentang kehidupan kita.Teologi tidak diperlukan lagi. Kita tidak sadar bahwa kita perlu
bertobat. Keadaan ini diperparah karena kita selalu memaafkan diri, berdalih dan yang semacam itu.
Kita tidak mengenal diri kita secara baik.Ada kerapuhan dan kekaburan dalam motivasi-motivasi injili
hidup kita, akan identitas,spiritualitas dan akan misi kita sendiri.1 Kita kehilangan kesadaran akan
panggilan, akan kehendak dan rencana Allah dengan kita. Aktivisme dan kedangkalan hidup melanda
kita.
Tujuan dari tahun hidup yang dikuduskan dan diserahkan kepada Allah ini kiranya tidaklah lain
daripada tahun kesadaran kembali akan panggilan kita, akan anugerah yang telah kita terima 2. Lalu apa
yang harus kita lakukan?
Tidaklah lain daripada bertobat.Dari kesadaran ini kita mau kembali belajar hidup sesuai
dengan panggilan kita.Paus Fransiskus kiranya berharap agar dengan ini ada semangat baru, ada api
baru dalam kehidupan religius. Dapat dikatakan bahwa tahun hidup yang diserahkan kepada Allah ini
harus menjadi tahun pertobatan.Tahun ini bukan tahun pameran,tahun perkenalan hidup religius
dengan aksi-aksi panggilan atau semacam itu.Ini bukan tahun memperkenalkan hidup religius, tetapi
tahun pertobatan. Mungkin ini akan menjadi tahun yang paling sulit bagi kaum religius kalau mau
diterima dengan serius dan tidak berhenti pada perayaan pembukaan ini. Pertobatan tidak mungkin
terjadi tanpa pengenalan diri sendiri. Pertobatan lebih sulit daripada membangun gedung-gedung.
Menurut para bijak dari Perjanjian Lama merebut suatu kota itu lebih mudah daripada menjadi sabar
dan menguasai diri (bdk Ams 16:32) dan kita memang lebih suka membuat rencana ini dan itu apalagi
ketika kita punya uang. Lebih gampang membangun rumah-rumah retret daripada sendiri bertobat.
Akan tetapi, menurut hemat saya orang yang bertobat lebih berguna bagi Gereja daripada orang yang
membangun.
Kita tidak bisa mengenal diri sendiri kalau kita tidak berusaha untuk mengenal Allah dan
pengenalan diri sendiri merupakan unsur yang tetap dalam perjalanan hidup rohani.Sungguh
memalukan dan malang apabila karena kesalahan kita sendiri kita tidak mengetahui siapakah kita
ini.Ada hubungan antara pengenalan diri sendiri dan kerendah-hatian karena ”Dengan memandang
keagungan-Nya kita bersentuhan dengan kerendahan kita; dengan melihat kemurnian-Nya,kita dapat
melihat kekotoran kita;dengan melihat kerendah-hatian-Nya,kita dapat melihat betapa jauh kita dari
menjadi rendah hati.”3 Pengenalan diri sendiri itu bisa terjadi hanya lewat doa. Orang yang tidak berdoa
tidak mengenal dirinya sendiri dan tidak mengenal Allah.

3. Siapakah kita sebagai religius?

Tema seminar yang diminta Panitia Tahun Hidup Bakti BKBKM berbunyi “Betapa indah
panggilan-Mu Tuhan” (Mzm 84:2). Terjemahan harfiah dari Mzm 84:2 sebenarnya ialah “Betapa
disenangi tempat kediaman-Mu,/ya TUHAN semesta alam” (TB LAI) atau “Betapa cintaku akan
tempat kediaman-Mu/ya TUHAN semesta alam”. Cinta pemazmur akan tempat kediaman Tuhan
mengingatkan panitia akan indahnya panggilan hidup religius.Pemazmur terpesona oleh kediaman
Tuhan,para religius terpesona oleh panggilan Tuhan sehingga mereka berseru “betapa indahnya
panggilan-Mu Tuhan”. Cinta Tuhan mempesona.
Kita telah dipanggil menjadi religius.Kita telah mengikut Yesus.Lalu apa yang kita cari?
Itulah pertanyaan Yesus kepada kita sekali lagi pada tahun pertobatan ini. Lalu apa jawaban kita?

1
Bdk Egidio Palumbo,”Ritornare alla gratuita,” Horeb 63/XXI(2012/n.3),52-56.
2
Bdk Lumen Gentium,art.43.
3
Bdk St.Teresia dari Yesús, Moradas I 2:9.
3
Hidup religius itu sebenarnya suatu pencarian dari seorang yang telah dibaptis untuk lebih
menyerupai hidup Tuhan Yesus ketika datang ke dunia untuk melaksanakan kehendak Bapa 4. Kita telah
menerima Yesus dan terpesona oleh keindahan-Nya. Seluruh injil menyaksikan keindahan-
Nya.“Firman itu telah menjadi manusia,dan tinggal di antara kita dan kita telah melihat kemuliaan-
Nya,yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh anugerah dan
kebenaran” (Yoh 1:14)5.“Dialah cahaya kemuliaan Allah dan bukti hakikat-Nya”6 (Ibr 1:3-4a). Tak
seorang pun dapat menyatakan Allah dengan sebenarnya kecuali Dia (Yoh 1:18).
St.Basilius Agung berkata,”Sebab menurut kodrat kita menginginkan hal-hal yang
indah,meskipun kita berbeda mengenai apa yang paling indah; dan tanpa diajar,kita menaruh rasa
sayang kepada yang dekat dan yang cinta kepada kita, dengan spontan kita menyatakan itikat baik
kepada semua orang yang berbuat baik kepada kita. Nah, sekarang,apakah yang lebih menakjubkan
daripada keindahan ilahi? Pemikiran mana yang lebih mengasyikkan daripada keagungan Tuhan?
Sungguh tak tertahan dambaan jiwa yang datang dari Allah,yang menginginkan hati yang bersih dari
semua kejahatan dan yang berseru dengan dambaan nyata,”Aku merana mendambakan cinta.”
Dambaan jiwa mana yang lebih mendalam dari itu? Sungguh tidak terkatakan dan tak dapat
diterangkan pancaran-pancaran keindahan ilahi!”7 Kerinduan jiwa semacam ini tampak dengan sangat
indah dalam sejumlah kisah Injil seperti tentang Maria Magdalena yang merana mencari Yesus (Yoh
20:11-18) atau tentang perempuan berdosa yang merana mendambakan cinta Yesus (Luk 7:37-50).
Cintanya mengalahkan segala ketakutan. Kedua kisah ini sangat disukai oleh St.Teresia dari Yesus
(1515-1582) yang kerap mengutipnya ketika berbicara tentang keindahan dan keluhuran jiwa kita yang
begitu indah karena menjadi tempat Tuhan bersemayam.
Panggilan hidup religius adalah suatu anugerah. Kita telah menerima anugerah ini dengan
cuma-cuma dan karena itu kita mau memberikannya dengan cuma-cuma pula. Kita dipanggil untuk
mencintai Dia yang paling indah.
Lalu apa yang harus kita lakukan secara konkrit? Konkritnya sangat jelas yakni hidup bersama
Kristus dan seperti Dia. Jiwa kehidupan religius itu ialah tinggal bersama Kristus. Inilah pertanyaan
Kristus kepada kita,”Apakah yang kamu cari?” Dan inilah jawaban kita,” Rabi, di manakah Engkau
tinggal?”. Hanya kepada jiwa yang mengetahui pertanyaan Tuhan Yesus dan menjawab demikian,
maka Dia akan berkata,”Marilah dan kamu akan melihatnya” (bdk Yoh 1:38-39).
Di dalam Gereja para religius harus tinggal paling dekat dengan Yesus. Hanya kalau mereka
sudah dekat dengan Yesus, mereka akan menjadi rasul. Mereka tidak akan memberitakan dirinya
sendiri lagi karena mereka sudah terpesona dengan Yesus. Dialah Firman Kehidupan(1 Yoh 1:1-4).
Tinggal bersama Yesus dan di dalam Yesus adalah seluruh teologi rohani injil Yohanes. Hidup bersama
Yesus mendahului karya.
Mengikuti Yesus Kristus berarti mengalami keindahan cinta.Hal itu telah disaksikan oleh orang-
orang kudus kita.Terlalu panjang lebar untuk direnungkan sekarang ini. Cukuplah kita mengingat kata-
kata St.Agustinus, petualang cinta yang besar itu dan akan St.Yohanes dari Salib,mistagog 8 cinta dan
pengosongan diri yang besar pula. Yang seorang menyatakan penyesalannya yang luar biasa karena
terlambat mencintai Tuhan( ”Terlambat aku mencintai Engkau, o keindahan lama yang selalu baru.

4
LG,art.44:3 (=alinea 3 menurut teks asli bahasa Latin).
5
Bdk Berthold Anton Pareira, “Kita telah melihat kemuliaan-Nya (Yoh 1:14),” dlm.Benny Phang-
Didik Bagiyowinadi (ed.), Di Bawah Kepak Sayapmu (Malang:Widya Sasana Publications,tanpa tahun), 277-290.
6
TB LAI,”gambar keberadaan Allah yang sesungguhnya”.Saya tidak puas dengan terjemahan ini. Aslinya “kharakter
hupostaseōs autou”; NVg,”figura substantiae eius”; EU,”Abbild seines Wesens”;NRSV,”The exact imprint of Gods very
being”.
7
Dari Bacaan Ofisi Masa Biasa Pekan I-III, Selasa Pekan I, 25. Garis miring berasal dari saya.
8
Artinya orang yang telah memperoleh pengalaman akan Allah dan misterinya dan membimbing orang lain ke dalam
pengalaman yang serupa.
4
Terlambat aku mencintai aku”) dan yang lain terbakar cinta karena telah dilukai oleh cinta (“Aku akan
melihat Engkau dalam keindahan-Mu dan Engkau melihat aku dalam keindahan-Mu”).9
Kita harus menghadirkan Kristus.Ini merupakan suatu hal yang indah, tetapi benar-benar tidak
mudah diwujudkan. Tanpa Roh Kudus kita tidak bisa berbuat apa-apa. Nanti hanya ada semangat
panas-panas tahi ayam, atau hanya omong toh sesudah itu selesai. Kita tidak diperbaharui dari dalam.
Panggilan hidup religius adalah panggilan kepada keindahan seperti halnya panggilan kristen
itu sendiri. Para religius mendapat rahmat khusus untuk hidup dalam keindahan. Setiap hari mereka
mendengar hal-hal yang indah dan setiap hari mereka merayakan keindahan Allah sendiri.Liturgi
mendidik kita ke arah itu.Spiritualitas Vatikan II pertama-tama adalah spiritualitas biblis-liturgis.Saya
tekankan kedua aspek itu karena itulah yang menjadi dasarnya di mana yang lain akan berkembang
sesuai dengan anugerah Roh yang diberikan kepada masing-masing. Hidup religius punya hubungan
yang sangat erat dengan Liturgi.Liturgi harus benar-benar disiapkan,dihayati dan dirayakan dengan
indah. Liturgi harus dirayakan dengan seluruh diri kita, jiwa dan badan,”Segala tulangku berkata:
Tuhan, siapakah seperti Engkau” (Mzm 35:10).
Hidup yang demikian harus berbuah dalam mencintai segala yang indah yang dicintai oleh
Allah sendiri.Mencintai Yesus Kristus berarti mencintai segala sesuatu yang indah.
Pada kesempatan ini saya ingin berbicara sekali lagi tentang seni religius. Apakah sudah ada
hasil kesenian religius oleh para biarawan? Mengapa tidak ada? Apakah ada hubungan antara hidup
religius dan seni? Apakah hidup religius itu bukanlah suatu hidup seni? Rupanya para religius tidak
hidup lagi dalam keindahan panggilannya. “Seni bukanlah kebutuhan kedua atau ketiga, seni adalah
kebutuhan kehidupan. Dostoevsky mengatakan bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa pengetahuan dan
makan,tetapi kehidupan tanpa keindahan seni tidak akan panjang” 10. Paus Paulus VI pernah berkata
kepada para seniman,”Jika anda sahabat seni sejati, Anda sahabat kami” dan Paus Benediktus XVI
melanjutkannya dengan pernyataan ini, ”Seni seringkali memberi keterkejutan spiritual yang
melahirkan rasa lapar pada kemanusiaan”. Ada hubungan misalnya antara Natal dan Seni.Peristiwa
Natal sebagaimana yang direnungkan oleh Lukas (2:1-19) benar-benar menakjubkan. Apakah anda
pernah kagum dan takjub dalam kehidupan? Apa yang menyebabkan anda kagum?
Apakah kita berani mengadakan perjalanan rohani ke tempat yang belum pernah kita pergi ke
sana?11 Hidup religius adalah hidup yang semacam itu. Kita harus berani mengambil risiko.Kisah-kisah
Kitab Suci tentang Abraham, Rut, Paulus merupakan kisah perjalanan semacam itu.Mereka berani
menempuh perjalanan ke tempat yang tidak mereka kenal. Bagi kita Yesus adalah jalan dan sekaligus
tujuan dari perjalanan ini.

4. Kembali ke sumber

Marilah sekarang kita melihat secara konkrit tentang hidup religius di Indonesia. Pertanyaan
saya: apa pendapat anda tentang hidup religius di Indonesia?Sudah menjadi tanda profetis eskatologis
sesuai dengan panggilannya? Manakah tanda-tandanya? Persoalan-persoalan apa yang menjadi
tantangan kaum religius dewasa ini di Indonesia? Menurut hemat saya pertanyaan-pertanyaan ini
pantas direnungkan untuk mendalami tema hari ini.Kita perlu mengenal diri kita secara baik agar kita
dapat bertobat.Siapakah aku? Apa yang kucari dalam hidup ini sebagai religius? Apa kerinduan saya
yang paling dalam? Setiap orang dapat memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu,tetapi
perkenankanlah saya dalam kesempatan renungan bersama ini menyampaikan beberapa refleksi saya
tentang persoalan di atas.
9
Bdk Berthold Anton Pareira,”Kaum muda dan Pengalaman Keindahan,”dlm.A.Denny Firmanto-Yustinus,Orang Muda
Katolik Indonesia dalam Pusaran Globalisasi (Seri Filsafat Teologi Widya Sasana 17/ No.Seri 16; STFT Widya Sasana,
2007),45-61.
10
Benediktus XVI,dari Garin Nugroho,”Paus dan Seni,”Kompas,Minggu 28 Desember 2014,13.
11
Bdk Martha Jane Petersen,”To go where we have never been,”Spiritual Life 43:3(1997),214-217.
5
Persoalan pertama menjadi religius di Indonesia ialah kembali ke sumber12. Kelemahan
pertama menjadi religius di Indonesia ialah karena sudah makin jauh dari sumber.Kebanyakan
Ordo/Konggregasi di Indonesia didirikan di Barat. Ada yang berasal dari abad ke-13, yang lain dari
abad ke-16,17 dan 18, tetapi kebanyakan dari abad ke-19 dan 20.Ordo-ordo dan kongregasi ini lahir
dalam konteks Barat dan telah mempersembahkan kepada Gereja tokoh-tokoh besar yang pantas
dikenal dan ada yang meninggalkan karya-karya tulis yang menjadi harta kekayaan Gereja. Tokoh-
tokoh besar ini ada yang begitu menggetarkan sampai bahkan dunia perfilman pun mengangkatnya ke
layar lebar dan teater menampilkannya ke panggung. Saya sebutkan beberapa contoh mulai dari zaman
kita ini sampai ke awal Gereja seperti pengorbanan Christian de Chergé dan keenam konfraternya dari
biara Trapis di Sahara13, martir-martir Karmelites OCD dari Compiègne semasa revolusi
Perancis,14St.Teresia dari Kanak-Kanak Yesus dan Wajah Tersuci, St.Teresia dari Yesus, Simon dari
Gurun,Yohanes Bosko, Filipus Neri, Antonius dari Padua/Lisabon15 dan masih beberapa lagi.Dunia
mengagumi tokoh-tokoh ini.
Akan tetapi, tokoh-tokoh ini banyak tidak dikenal bahkan oleh anggota-anggota
seordo/konggregasinya.Mereka tidak mengenalnya sehingga dapat memuji dan bersyukur kepada
Tuhan atas anugerahnya ini.Kesenjangan ini membuat orang tidak belajar bergaul secara akrab lagi
dengan sumber,dengan contoh teladan. Para calon tidak tahu baca lagi.Bagaimana semangat hidup
religius dan spiritualitas masing-masing Ordo/Kongregasi bisa diteruskan?Dapatkah orang hidup
dengan kekuatan dan pandangannya sendiri?
Bagaimana kita bisa berbicara tentang indahnya hidup religius kalau kita tidak melihat teladan?
St. Teresia dari Kanak-Kanak Yesus menulis hal berikut ini tentang sukacitanya ketika masuk biara
kontemplatif Karmel,”Akh, saya diganjari sepenuhnya untuk semua perjuanganku....Dengan sukacita
yang teramat dalam kuulang-ulangi kata-kata ini:”Saya berada di sini untuk selama-lamanya”.
Bagaimana gadis remaja ini bisa menulis demikian? Teresia sama sekali tidak berkhayal tentang hidup
religius apalagi dalam biara kontemplatif. Dia tahu bahwa bahwa akan masuk padang gurun yang
dahsyat dan ganas.Akan tetapi,dia berkata, “Saya berada di sini untuk selama-lamanya”. 16 Keindahan
hidup religius hanya bisa dilihat dalam hidup yang indah dan bahagia, dalam hidup yang berbuah
banyak. Keindahan ini bukanlah bayangan,melainkan benar-benar nyata.Teresia tidak membangun satu
gua pun, tetapi dia berbuah banyak. Rahasianya kita tahu semuanya.
Kesulitan untuk menghayati panggilan religius ini ialah karena kita jauh dari sumber, dari
orang-orang kudus kongregasi kita masing-masing.Kita hidup tanpa teladan, tanpa contoh-contoh dari
kehidupan yang diserahkan kepada Allah.Kita mau membangun diri sendiri tanpa teladan.Bagaimana
kerinduan akan pemberian diri seutuhnya kepada Allah dapat dikobarkan kalau kita tidak terus menerus
berhubungan dengan yang indah? Dari hidup mereka kita dapat melihat bahwa mengikuti Yesus Kristus
itu mungkin.Allah benar-benar hadir dan bekerja dalam diri manusia. Orang-orang kudus adalah
sakramen kehadiran Kristus.
St.Teresia dari Yesus (1515-1582) mempunyai sejumlah orang kudus yang sangat dikaguminya
terutama St.Maria Magdalena,St.Paulus, Petrus dan St.Agustinus. Mereka adalah sahabat-sahabatnya
karena orang-orang kudus ini memiliki cinta yang sangat besar dan spontan kepada Yesus.
Santo Yohanes XXIII berkata bahwa dia sangat mencintai St.Fransiskus dari Sales yang
disebutnya sebagai “yang paling lembut dari para kudus” dan “seorang tokoh yang mengagumkan”
Beliau mengatakan bahwa dia kerap membaca riwayat hidupnya.17 Para calon hendaknya dididik untuk
12
Bdk Perfectae Caritatis, art. 2:3b.
13
Karl A.Plank,””When an A-Dieu Takes on a Face”: The Last Testament of Christian de Chergé,OCSO,” Spiritual Life
53:3(2007),136-147.
14
Bdk Antoine T.Lawler,”The Transformative Power of an Opera,” Spiritual Life 57:2(2011),97-109.
15
Bdk Luciano Grandi,”Il fascino dei santi,”Horeb 17/VI(1997/n.2),98-102.
16
T(h)eresia dari Lisieux,Aku Percaya Akan Cinta Kasih Allah (Biarawati Karmel OCDBajawa;untuk kalangan
sendiri),120.
17
Victor M.Parachin,”John XXIII-Mystical Pope,” Spiritual Life 59:2(2013),(80-91)90.
6
mencintai keindahan dan manakah keindahan yang lebih tinggi daripada keindahan Allah sendiri yang
juga terpancar dalam orang-orang kudus-Nya? Alangkah indahnya kalau setiap kita mencintai seorang
kudus yang paling kita kagumi dan kerap bergaul dengannya.
Perlu revolusi mental di antara para biarawan dan revolusi ini tidak mungkin terlaksana tanpa
Roh Kudus.Revolusi ini harus mulai dari kepala (para pemimpin) dan hati (para anggota). Kita
mempunyai panggilan rohani dan harus menjadi manusia rohani. Teologi itu tidak bisa terjadi tanpa
otak dan hati. Setiap hari hidup kita sebagai religius dijiwai oleh hal-hal yang indah, kita bergaul
dengan keindahan mulai dari pagi hari sampai malam dengan keindahan iman kita yang juga dirayakan
dalam peredaran waktu. Apakah pergaulan ini membuahkan hasil dalam kehidupan kita? Apakah kita
bisa berbicara tentang keindahan hidup religius?
Kita tidak boleh berbicara tentang keindahan hidup religius itu secara abstrak. Keindahan hidup
religius itu disaksikan oleh orang-orang kudus kita. Mereka dipenuhi oleh kasih, dengan semangat
pengorbanan yang besar, kerendahan hati yang luar biasa dan masih banyak lagi.Setiap orang kudus
mempunyai keunggulannya sendiri-sendiri dan setiap kali membaca tulisan mereka kita dapat
mengatakan bahwa hidup religius itu indah.
Indahnya hidup religius itu akan pelan-pelan kabur kalau orang tidak punya kebiasaan
membaca dan dalam hubungan dengan kehidupan kita berkontak dengan masa lampau,dengan teladan
kehidupan. Orang yang suka membaca tahu bahwa dia perlu terus menerus belajar.Membaca membina
sikap kontemplatif, kritis, fokus, perhatian.Membaca membina orang belajar berpikir.Dewasa ini media
cetak mau digantikan dengan media digital.Kita dikepung oleh rezim pemikiran untung-rugi.Terhadap
rezim semacam itu percuma bicara soal tradisi,kebudayaan dan sivilasi.Hakikat kontemplatif sastra
digantikan oleh semangat dunia digital yang memiliki sifat harus serba aktual, cepat,
mudah,enteng,segera,trendi,ramai.Dengan matinya kritik, maka pada gilirannya akan menyusul
matinya penciptaan kreatif.18 Kebanyakan anak-anak muda kita telah beralih dari suatu tradisi lisan ke
tradisi lisan yang lain. Di luar dan di dalam biara sama saja,laki-laki perempuan.Bagaimana mereka
bisa menjadi manusia kontemplatif?

5. Membangun hidup komunitas

Persoalan kedua dari hidup religius di Indonesia ialah membangun hidup


komunitas.Menurut hemat saya kegagalan terbesar dari kesaksian hidup komunitas terjadi pada ordo-
ordo dan kongregasi para imam yang bekerja di paroki-paroki. Memang sekarang sudah mulai ada
pertobatan,tetapi jauh dari kesaksian yang seharusnya diberikan.Mengapa semuanya ini bisa terjadi?
Karena kerasulan dianggap lebih penting daripada hidup komunitas. Hidup komunitas dianggap tidak
punya nilai kerasulan. Hidup komunitas tidak punya nilai pewartaan. Penegasan Tuhan Yesus dalam
Yoh 13:35 dan kesaksian Kis 2:41-47 dan 4:32-37 belum menjadi ingatan dan keyakinan.
Di Indonesia tidak ada persoalan penutupan biara-biara seperti di Eropa.Di Indonesia biara-
biara khususnya dari Ordo/Kongregasi imam sudah lama ditutup.Orang lebih suka hidup sendirian di
paroki-paroki dan tidak pernah ada penyesalan atau perasaan kejanggalan.Yang lebih parah lagi ialah
tidak ada keputusan untuk bertobat. Semuanya dianggap biasa.Kapitel-kapitel berbicara tentang
kegiatan-kegiatan ini itu, tetapi tidak pernah tentang hidup religius itu sendiri.Tidak ada agenda untuk
itu. Keindahan hidup komunitas? Itu sama sekali tidak masuk hitungan.
Sekarang bisa saja orang hidup serumah, tetapi seperti di rumah susun atau di kantor-
kantor.Masing-masing hidup untuk tugas dan menjalankannya sendiri-sendiri. Komunitas adalah
tempat tinggal bersama dari orang-orang yang punya karya yang berbeda-beda.Komunitas menjadi
semacam kantor atau tempat tinggal di rumah susun. Itukah hidup komunitas?

18
Bre Redana,”Masa Depan Sastra,” Kompas,Minggu 4 Januari 2015,13.
7
Yang cukup mengerikan ialah munculnya istilah komunitas karya. Saya sendiri tidak mengerti
maksudnya dan dari mana datangnya istilah itu. Dalam Hukum Gereja dan konstitusi-konstitusi Ordo
dan Kongregasi saya kira tidak ada istilah semacam itu. Lalu apakah hidup komunitas itu?
Komunitas adalah suatu persaudaraan yang dibangun dengan susah payah oleh orang-orang
yang menghayati kehadiran Kristus di tengah-tengah mereka. Salah satu gambaran dari hidup
persaudaraan ini ialah Mat 18. Seluruh injil tentang Yesus dan para murid-Nya adalah gambaran dari
hidup persaudaraan ini.Ada banyak kegagalan, keributan,pengampunan dan seterusnya.ada hubungan
manusiawi dan rohani yang makin lama makin mendalam. Hidup komunitas dibangun oleh Yesus
sendiri,”Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku,di sana Aku berada di tengah-
tengah mereka” (Mat 18:20).Kehadiran Yesus di tengah-tengah mereka dirasakan19.
Hidup membiara di tanah air kita kasih belum mempunyai tradisi. Hidup religius juga masih
kurang dimengerti dengan baik oleh Gereja lokal.Yang lebih dipentingkan ialah karya. Muncul lagi
persoalan baru yakni imam dari berbagai kongregasi disuruh hidup bersama dalam paroki-paroki.
Belum pernah hal ini terjadi di Eropa yang punya tradisi yang begitu panjang dan teruji. Indonesia
perlu beda tanpa ada teologi.
Para religius membuka banyak rumah retret. Tujuannya ialah untuk melayani umat yang makin
lama makin haus akan hidup rohani, akan pembinaan dan pendalaman iman. Apakah hal itu merupakan
tanda kerohaniannya? Ataukah rumah retret menjadi tempat meningkatkan pendapatan dengan
menawarkan segala jenis barang mulai dari barang-barang kudus sampai minuman buatan sendiri.
Apakah ada komunitas di rumah retret itu yang setiap hari mencoba menghayati doa dan
keheningan? Janganlah rumah retret hanya merupakan pelarian padahalnya rumahnya sendiri tidak
menjadi suatu tempat pertemuan dengan Allah. Orang hanya mau mengajar tanpa mau belajar. Orang
hanya mengajar tanpa memberi teladan. Paulus sudah mengecam orang-orang semacam itu dalam
kecamannya terhadap orang Yahudi dalam suratnya kepada jemaat di Roma (2:17-29). Orang
membangun rumah retret tanpa ada visi yang jelas. Apa buah dari rumah retret bagi provinsi?

6. Kesaksian tentang kemiskinan injili

Persoalan ketiga menyangkut kesaksian tentang kemiskinan injili atau kemiskinan


menurut roh (Mat 5:3). Kemiskinan menjadi salah satu tema besar dalam konsili Vatikan II. Konsili
mencanangkan agar kemiskinan menjadi semangat dan wajah Gereja.Gereja harus menjadi Gereja yang
miskin dan Gereja bagi kaum miskin. Semangat kemiskinan ini begitu kuat sampai pada tanggal 16
November 1965 menjelang penutupan konsili berkumpullah 40 uskup di Katakombe Domitilia, 40 km
di luar kota Roma untuk merayakan Ekaristi.Pada akhir perayaan itu mereka mengadakan suatu
kesepakatan yang disebut Pakta Katakombe. Mereka berjanji untuk membaharui seluruh pastoral
mereka menjadi pastoral kemiskinan injili. Mereka mau hidup dalam semangat kemiskinan injili dan
menjadikan Gereja lokal mereka Gereja yang miskin dan Gereja orang miskin.Pakta Katakombe ini
kemudian ditandatangani oleh kurang lebih 500 uskup. Pelopor dari Pakta Katakombe ini ialah
almarhum Dom Helder Camara dan Kardinal Lercaro dari Bologna ! 20 Patut dicatat bahwa Lercaro
mempunyai peranan besar dalam menyuarakan Gereja kaum miskin selama konsili Vatikan II.21
Sesudah 50 tahun persoalan penghayatan kemiskinan injili ini masih menjadi persoalan besar di
Indonesia. SejarahGereja membuktikan bahwa Gereja dan ordo/kongegasi tidak pernah diperbaharui
dan memiliki semangat yang segar dan riang gembira kalau dia tidak mencintai kemiskinan. 22 Hidup

19
Bdk Egidio Palumbo,”Ritornare alla gratuita,” Horeb 63/XXI(2012/n.3),52-56.
20
Bdk Egidio Palumbo, “Per una riletturan del Vaticano II in prospertiva mendicante Il patto delle catacombe,” Horeb
64/XXII (2013/n1),7-19.
21
Bdk Corrado Lorefice,”Il Vaticano II e la poverta della Chiesa.L’apporto di Lercaro e di Dossetti,” Horeb
63/XXI(2012/n.1),91-98.
22
Bdk Redemptus M.Valabek, Light of the Nations (CWP 19/1; Roma:Edizioni Carmelitane,2013),201-213.
8
rohani,sukacita hidup religius dan semangat kemiskinan berhubungan erat.Sangat menyedihkan bahwa
umat tidak yakin atau mengakui kita sebagai orang yang menghayati kemiskinan. Lalu bagaimana?
Yesus Kristus yang kita ikuti ialah Dia yang merendahkan diri menjadi hina dina dan tidak
terhormat sebagai manusia.Lahir di kandang dan dibaringkan di palungan. Kelahiran yang benar-benar
hina dina, tanpa kehormatan sedikit pun.Dari misteri Natal ini kita dapat melihat bahwa menjadi miskin
itu adalah suatu pernyataan cinta yang tidak biasa,tidak bijak dan bahkan merendahkan diri. Cinta
semacam ini hanya dapat ditangkap oleh orang-orang kecil seperti para gembala. 23 Itulah sebabnya
berita keselamatan itu disampaikan pertama-tama kepada mereka. hanya merekalah yang dapat melihat
hal itu. Gembala-gembala itu pun lalu dengan cepat-cepat pergi ke kandang dan kemudian kembali
sambil memuji dan memuliakan Allah “karena segala sesuatu yang mereka dengar dan lihat,semuanya
sesuai dengan apa yang dikatakan kepada mereka” (Luk 2:20). Di palungan itu terbaring Sang
Juruselamat. Luar biasa! Inilah sukacita orang kecil yang tidak dapat diberikan oleh dunia ini. Yesus
tidak menghadiahkan suatu hal apapun, tetapi mereka pulang dengan sukacita.
Lalu apa yang dinantikan-Nya dari kita khususnya dari kita yang membaktikan diri kepada
24
Allah? Apakah hal yang serupa dapat diberikan oleh kaum religius dengan kemiskinan injili mereka?
Ataukah injil Natal ini masih terlalu tinggi bagi kita?
Gereja di Barat telah melahirkan tokoh-tokoh besar dalam berbagai kesaksian kehidupan
tentang penghayatan kemiskinan injili mulai dari St.Antonius Abas.Apakah para biarawan dapat
memberi kesaksian tentang “miskin di hadapan Allah” dalam kehidupan bersamanya? Perabot-perabot
rumah yang paling baik dan lengkap terdapat dalam biara-biara. Kita terus menerus membeli. Apakah
artinya hal itu? Itu berarti kita punya cukup banyak uang.Paus Fransiskus dapat memiliki mobil
kepausan yang mewah, tetapi dia menolaknya. Ini tanda kepribadian yang kuat. Dapat berkata tidak
kepada orang kaya dan penguasa yang kuat.Kesaksian semacam ini belum ada di Indonesia.Tentu saja
cinta akan kesederhanaan dihayati secara tersembunyi oleh banyak biarawan-biarawati yang biasa-
biasa,tetapi apakah hal ini juga diberikan oleh lembaga dan para pemimpinnya? Sejarah tafsiran
kemiskinan di Indonesia belum bisa ditulis. Menurut hemat saya pada tahun vita consecrata ini perlu
ada satu pakta kemiskinan baru oleh ordo-ordo/kongregasi di Indonesia. Harus ada sejumlah
kesepakatan bersama yang konkrit.Tanpa pakta ini omongan tentang penghayatan kemiskinan injili
mungkin akan menjadi sia-sia.Siapakah yang harus mempeloporinya? Ordo-ordo mendikantes harus
bergerak kalau mereka mau benar-benar hidup sesuai dengan panggilannya.Ordo-ordo ini telah
membuat sejarah di Abad Pertengahan Eropa. Dengan rahmat Tuhan dan di dalam Tuhan hal yang
serupa kiranya bisa dilakukan dewasa ini.
Penghayatan kemiskinan itu soal roh dan semangat. Dan salah seorang yang telah
menemukannya ialah St.Teresia dari Kanak-Kanak Yesus dan Wajah Tersuci (1873-1897).Tafsirannya
tentang kemiskinan tidak kalah orisinalnya daripada tafsiran St.Fransiskus Asisi (1181-226) yang
memberikan tafsiran harfiah25 dan menjadi dasar dari tafsiran Ordo-ordo mendikans atau
pengemis.Teresia dari Wajah Tersuci memperlihatkan bahwa dia sungguh-sungguh lepas bebas dari
segala sesuatu keterikatan kecuali kepada Yesus. Dia sungguh bahagia dengan kemiskinannya.Hal ini
telah saya catat dalam buku Homili Tahun A untuk Injil Mat 5:1-12.Kemiskinan injili mempunyai
dimensi dan nilai kerasulan yang besar.26
Pergantian pimpinan kerap hanya menjadi ritus menurut konstitusi. Tak ada api baru yang
membawa semangat baru, semangat awali suatu Ordo/Kongregasi. Perayaan malam Paskah selalu

23
Bdk Russel P.Holmes,”Any Friend of Teresa’s,”Spiritual Life 53:3(2007),171-179 , tentang sahabat-sahabat
St.Teresia.Watak seseorang dapat dilihat dari siapakah sahabat-sahabatnya.
24
Bdk Ken Giovanelli,”Becoming the Beggar,” Spiritual Life 59:2(2013),102-113;Jerry Ryan,”Giving Glory to God,” ibid.,
114-119
25
Bdk James C,Howell, “Christ was likfe St.Francis<” dlm. Ellen F.Davis & Richard B.Hays,The Art of Reading Scripture
(Grand Rapids:Wm.B.Eerdmans,2003),89-109. Fransiskus menafsirkan Mat 19:21;Luk 9:3 misalnya secara harfiah.
26
Bdk Joel Giallanza,””I will Always Be As Poor As I Am Now”,” Spiritual Life 49:1(2003),8-18.
9
diawali dengan penyalaan api baru,tetapi hal ini hampir tidak pernah terjadi dalam Ordo/Kongregasi di
Indonesia.Tidak pernah ada Paskah.
Teresia dari Yesus (1515-1582) memulai suatu hidup baru untuk menghayati nasihat-nasihat
injili sebaik mungkin karena percaya bahwa Allah akan membantu orang-orang yang melepaskan
segala-galanya demi Dia27. Bagi Teresia semangat kemiskinan harus menjadi penanda atau tanda
pengenal dari komunitas-komunitas yang didirikannya. Kemiskinan dalam rumah,pakaian,kata-kata
dan di atas segala sesuatu dalam pikiran. Seperti yang dikatakan oleh St.Klara kemiskinan harus
menjadi tembok biara. Sungguh jahat apabila orang mendirikan biara-biara besar dari uang orang
miskin.28
Jika kita mau miskin, kita harus kembali kepada Kristus, menyimpan misteri-Nya dalam hati
kita dan terus menerus merenungkannya. Baru pada saat itu ada harapan dia akan menjadi darah daging
hidup kita seperti yang disaksikan oleh sekian banyak orang kudus khususnya St.Fransiskus dari Asisi
dan St.Teresia dari Kanak-Kanak Yesus dan Wajah Tersuci.Kemiskinan kedua orang kudus ini
mempesona.Akan tetapi, bukan hanya orang perseorangan,melainkan pula Ordo/Kongregasi sebagai
lembaga harus memperlihatkan semangat kemiskinannya.
Kemiskinan dan kesederhanaan dan kerendah-hatian dalam bicara,sikap berhubungan erat.Masa
depan hidup membiara di Indonesia terletak pertama-tama dalam membangun hidup rohani, dalam
memberi kesaksian tentang hidup yang akan datang itu sendiri.29
Kesulitan terbesar dari penghayatan kemiskinan itu seperti pada Ordo-ordo mendikantes ialah
karena para religius itu sudah jauh sekali dari sumber dan tak ada contoh yang terus menerus hidup di
antara kita. Tak ada contoh. Para ordo mendikantes di Indonesia hanya hidup dalam nama dan bukan
dalam kenyataan. Tak ada kesadaran akan hal ini dan sulit sekali bangun kembali karena untuk itu perlu
orang kuat,orang kudus. Bertobat itu lebih sulit daripada membangun rumah. Berbicara saja sama
sekali tidak cukup. Kapitel provinsi atau yang semacam itu tidak mengubah apa-apa karena
manusianya harus sadar dan bertobat lebih dahulu.

7. Semangat doa dan keheningan

Soal keempat ialah para religius sudah tidak belajar berdoa lagi. Hal ini tampak dengan jelas
sekali dari kurangnya penghargaan akan keheningan.Retret dan rekoleksi tidak bedanya dengan
pertemuan,seminar,kuliah dst. Bercakap-cakap,syering dan omong-omong lebih diutamakan daripada
berdoa. Kita hidup pada suatu zaman dengan polusi bunyi dan polusi kata-kata yang luar biasa.
Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan Seni Rupa ITB dan Pembina Komunitas
Muslim Kubah Merah Pangandaran, dalam renungannya untuk menyambut Idul Fitri 1432 (2011)
mengeluhkan cara berpuasa dan hidup keagamaan yang masih lazim di Indonesia. Agama masih
dihayati secara lahiriah karena “godaan sosial” dan belum masuk dalam kesadaran. “Tuhan dengan
demikian hadir sebagai imaginasi duniawi,bukan datang dari relung terdalam kontemplasi.Ketimbang
hadir dalam renungan, Tuhan justru tidak pernah diakui dalam sunyi“30. Orang tidak tahu lagi pergi ke
dalam “meditasi”.
Tugas pertama seorang religius ialah berdoa. Itulah hal pertama yang (harus) dilakukannya
setiap pagi setelah bangun dari tidur.Kita dipanggil “untuk berbakti berkorban” dan kita “diberi
kesempatan/ melayani Kristus Tuhan/ yang hadir dalam sesama/ tersembunyi namun nyata”.Itulah
bunyi Madah Ibadat Pagi hari Kamis dalam Masa Biasa. Hal serupa dinyatakan juga pada hari-hari lain
dalam Ibadat Pagi. Doa mendahului, menyertai dan menjiwai acara harian Gereja.

27
Bdk St.Teresa de Jesús,Camino 1:2
28
Ibid, 2:8-9.
29
Bdk Giorgio Scatto,”Il futuro per la vita consacrata oggi,”Horeb 61/XXI (2012/n.1),74-81.
30
Acep Iwan Saidi,”Lebaran dan Tuhan dalam Keramaian,” Kompas, Sabtu 27 Agustus 2011,7.
10
Yang dibutuhkan oleh Gereja dan masyarakat ialah manusia-manusia kontemplatif,yang suka
duduk di kaki Yesus dan mendengarkan-Nya dengan hati.Yang dibutuhkan ialah manusia-manusia
kontemplatif yang suka akan keheningan. Bagaimana mungkin kita memperoleh kebijaksanaan tanpa
keheningan? Bagaimana kita bisa melihat sesuatu dengan mata iman tanpa keheningan?Hanya Allah
yang mengajar kita secara sempurna bagaimana harus memelihara keheningan (Abbé Dinouart)31.
Untuk melihat apa yang ada dalam diri kita,kita perlu melepaskan diri dari segala kegaduhan,dari suara
dan tidak berbuat apa-apa. Kita cukup mendengarkan apa yang ada dalam diri kita. Keheningan adalah
suara Allah karena Allah adalah keheningan32.
Perumpamaan-perumpamaan Tuhan Yesus berbicara tentang rahasia Kerajaan Allah.Dia
menyampaikan hal-hal yang sangat mendalam.Allah melakukan hal-hal yang tidak biasa, bertentangan
dengan kebiasaan dan dengan apa yang dipandang biasa dan baik oleh manusia. Itulah yang kita lihat
misalnya dalam ketiga perumpamaan dalam Luk 15.33 Rahasia Allah ini tidak mungkin dapat dilihat
tanpa keheningan. Hanya orang yang menyimpan firman Allah dalam hatinya dan merenungkannya
menjadi bijak.Orang-orang ini akan diajar dan dibimbing oleh Roh Kudus sendiri (bdk 1 Yoh 2:27).
Rumahnya adalah keheningan.Di sini saya terkesan dengan para penyair.Mereka mencari keheningan
dan menurut pengamatan saya mereka jauh lebih kontemplatif daripada kebanyakan imam34.
Sangat menarik apa yang dikatakan tentang St.Stefanus Martir.Lawan-lawannya tidak sanggup
berdebat “melawan hikmatnya dan Roh yang mendorongnya berbicara” (Kis 6:10). Kalau dahulu Roh
Kudus bekerja lewat Stefanus,maka Dia juga pasti terus bekerja sekarang lewat orang beriman.Seorang
yang hidup dekat dengan Allah,yang biasa merenungkan Kitab Suci dengan hatinya,diajar oleh Allah
sendiri.Salah satu contohnya ialah St.Antonus Abas.35Perlu kesetiaan, keteraturan dan kemauan yang
kuat untuk melaksanakan hal itu.Saya merasakan hal itu dari tulisan orang-orang kudus yang tidak
mempunyai pendidikan teologi,tetapi yang dalam hidup rohaninya dan terus menerus mau
belajar.Harus ada niat.Harus ada kemauan. Hanya dengan rencana dan bicara, orang tidak mencapai
apa-apa. Nenek moyang kita dalam Perjanjian Lama sudah mengetahui hal itu.
St.Fransiskus mendasarkan dan mendahului segala kegiatannya untuk perdamaian dengan doa,
”Tuhan jadikanlah aku pembawa damai”. Dia bersandar pada rahmat Tuhan. Tindakan pertama dari
seorang yang menjadi anggota komisi Keadilan dan Perdamaian bukanlah mengadakan rapat ini itu,
pertemuan ini dan itu, tetapi berdoa dan terus menerus berdoa dengan sungguh-sungguh.Kita giat
mengadakan dialog persaudaraan, tetapi mungkin tidak pernah berdoa untuk kegiatan tersebut.Apakah
semangat doa kita sama seperti semangat kerasulan kita?
Teladan sempurna dari orang yang memelihara keheningan ialah Bunda Maria. Dia selalu
menyimpan segala sesuatu yang didengarnya di dalam hatinya dan merenungkannya (Luk 2:19,33,51).
Dia adalah perawan pendengar dan pendoa.Yohanes Bakontorp (+1348),seorang teolog Karmel dari
Abad Pertengahan, punya cerita tentang Bunda Maria. Ketika sampai di gunung Karmel,Maria begitu
terpesona oleh keindahannya dan mengira bahwa itulah kebun Eden.Malaikat lalu berkata kepadanya,
”Bukan, tetapi keindahan gunung ini telah diserahkan kepadamu agar engkau tetap menjadi pengantin
Tuhan”. Maria adalah perawan yang indah.Dia adalah bunda kontemplatif 36.Memang dahulu keindahan
dan keheningan adalah busana gunung Karmel.
Para religius giat mencari calon.Mereka menerbitkan pamflet,buku-buku perkenalan tentang
Ordo/kongregasi,mengadakan pameran dan aksi panggilan.Yang tidak (belum) dilakukan ialah berdoa
31
Bdk Susan Muto, “Seeking Deep Silence:An Appeal to Souls Hungering for Spiritual Deepening,” Spiritual Life
52:1(2006),43-52.
32
Bdk Alberto Neglia,”Il silenzio orante,” Horeb 16/VI(1997/n.1),19-26.
33
Bdk Stephen Fitzhenry,”Qualitites of a contemplative soul,” Spiritual Life 52:3(2006),(143-152)149-151.
34
Sebagai contoh saya sebutkan puisi Cyprianus Bitin Berek yang berjudul “Dendam Absalom” dan “Ratapan Daud” yang
dimuat dalam Kompas,Minggu 11 Januari 2015,28.
35
Bacaan Ofisi Orang Kudus 1, 19-21.
36
Bdk Paul Chandler,”Reflections on the Ordinale of Sibert de Beka (1312),” dlm.Kevin Alban (ed.),We Sing a Hymn of
Glory to the Lord (Roma:Edizioni Carmelitane,2010),(85-110)109.
11
dan berdoa dengan sungguh-sungguh.Hanya itu yang diminta oleh Tuhan Yesus dari kita ketika
memberitahukan bahwa panenan memang besar, tetapi pekerjanya sedikit. Dia meminta hal itu sebelum
mengutus murid-murid-Nya (Mat 9:35-38). Pekerja yang berdoa itu sangat sedikit. Itulah yang kurang.
Sudahkah kita mendengarkan kata-kata Tuhan ini?Aksi panggilan kita menjadi aksi panggilan tanpa
Roh.

8. Perayaan kematian

Apa yang diwartakan hidup religius tentang kematian?Apakah perayaan kematian kita
menggambarkan hidup kita yang sederhana dan kelepasan kita dari dunia?
Kematian adalah peristiwa penutup dari kehidupan kita dan satu-satunya acara pasti bagi setiap
orang. Kematian bukan tanpa dimensi profetis.Apakah kita sungguh-sungguh memikirkan hal itu dan
berusaha mengungkapkannya dalam perayaan kematian kita?Apakah kematian menjadi suatu peristiwa
rohani, perayaan kesederhanaan dari kehidupan kita? Apakah kematian menjadi perayaan dari cita-cita
hidup kita? Saya sangat ragu-ragu apakah kita sudah sungguh-sungguh serius merenungkan peristiwa
yang begitu penting dalam hidup kita ini.
Dalam konteks ini saya ingin mengajak anda untuk merenungkan kematian yang tidak biasa
dari Christian de Chergé dan keenam konfraternya dari biara Trapis di Sahara. 37 Mereka dipenggal
kepalanya pada tanggal 21 Mei 1996 oleh sekelompok militan Islam dari Aljazair.Charles de Chergé
adalah prior dari biara tersebut. Sebelum perisitwa yang menyedihkan ini, beliau menulis sebuah surat
wasiat kepada ibunya. Surat yang pendek ini hanya boleh dibuka oleh ibunya setelah mendengar berita
tentang kematiannya. Beliau mempesiapkan kematiannya. Berikut suatu terjemahan dari bagian
pembukaannya menurut versi Inggris38:

Apabila suatu “A-Dieu”39 mendapat wajahnya.


Kalau suatu hari terjadi –dan itu bisa terjadi hari ini-
bahwa saya menjadi korban terorisme yang sekarang tampaknya sudah menimpa
semua orang asing di Aljazair,
saya ingin komunitasku,Gerejaku, keluargaku,
mengingat bahwa hidupku DISERAHKAN kepada Allah dan tanah ini.
Saya meminta mereka untuk menerima bahwa Penguasa Tunggal segala Kehidupan
tidak asing terhadap keberangkatan yang kejam ini.
Saya meminta mereka mendoakan saya-
karena bagaimana saya bisa dianggap layak untuk persembahan semacam ini?
Saya meminta mereka agar sanggup menghubungkan kematian ini
dengan banyak kematian lain yang persis sama kejamnya,tetapi dilupakan karena ketakacuhan
dan keawanamaan.
Hidupku tidaklah lebih berharga daripada yang lain.
Juga tidak kurang nilainya.
Bagaimana pun juga hidupku tidak memiliki ketakbersalahan dari masa kecil.
Saya sudah hidup cukup lama untuk mengetahui bahwa saya ikut bersalah dalam kejahatan,
yang rupanya,sayang, menguasai dunia,

37
Karl A.Plank,””When an A-Dieu Takes on a Face”: The Last Testament of Christian de Chergé,OCSO,” Spiritual Life
53:3(2007),136-147.
38
Aslinya dalam bahasa Perancis.
39
“A Dieu” tanpa garis penghubung dalam bahasa Perancis adalah ucapan selamat berpisah untuk waktu yang lama.
Christian di sini dengan sengaja menggunakan garis penghubung untuk mengungkapkan makna teologisnya yakni ucapan
berkat orang yang mau kembali kepada Allah.Di sini Christian membayangkan kematian yang akan dihadapinya itu dalam
iman. A Dieu di sini mendapat wajahnya yang konkrit (ibid., 141).
12
bahkan atas apa yang akan mengakhiri hidup saya secara bengis.40
Saya ingin, apabila waktunya tiba, memperoleh saat kejernihan pikiran
yang mengizinkan saya untuk memohon ampun kepada Allah
dan kepada sesamaku manusia,
dan pada waktu yang sama mengampuni dengan segenap hatiku orang yang menjagal saya.
Saya tidak menginginkan kematian semacam itu.
Penting untuk menegaskan hal ini.
Sesungguhnya saya tidak dapat mengerti bagaimana saya bisa bersukacita
kalau rakyat yang saya cintai dituduh tanpa dibeda-bedakan karena pembunuhan ini.

Demikianlah bunyi sebagian dari surat wasiat Christian,prior biara Trapis Sahara.Sebelum
peristiwa kematian tragis di tangan para teroris ini, Abas Jendralnya di Roma menulis sepucuk surat
kepada Christian dan anggota komunitas untuk meninggalkan biara dan berpindah ke tempat lain
karena Ordo lebih membutuhkan rahib daripada martir.Apa jawaban Christian? “Sama saja.Tak ada
perbedaan.Hidup monastik mempersiapkan orang untuk kematian dan sekaligus adalah suatu bentuk
kematian”.Luar biasa jawaban ini. Ibunya sendiri adalah seorang beriman yang luar biasa. Di tengah
situasi gawat ancaman kematian terhadap ananya, dia menulis,”Bunga-bunga di padang tidak
berpindah tempat untuk mencari cahaya matahari. Allah memelihara dan merawatnya di mana mereka
berada”.41 Apakah kita juga berpikir demikian ataukah hidup kita sudah terlalu dipengaruhi oleh pikiran
dan semangat duniawi?
Lalu apa artinya surat wasiat dari kematian yang tidak biasa ini bagi kita? Christian dan kawan-
kawannya menyadari bahwa mereka adalah religius,hidup mereka telah DISERAHKAN kepada Allah.
Kematian yang akan mereka hadapi ini merupakan pengambilbagian dari kematian Kristus sendiri dan
dari sekian banyak orang lain yang telah dibunuh secara kejam,tetapi yang dilupakan.Kematiannya
tidak dapat dapat dipisahkan dari kehidupannya. Keduanya harus dilihat berhubungan.mereka datang
ke Aljazair untuk rakyat Aljazair. Mereka tidak mau dipisahkan dari rakyat yang menderita ini.
Apakah kita juga melihatnya demikian tentang perayaan kematian kita sebagai religius? Apakah
benar-benar ada suasana rohani dan kesederhanaan sekitar kematian kita? Begitu banyak bunga, begitu
banyak foto, begitu banyak ucapan turut berdukacita, begitu banyak sambutan dan masih banyak lagi
hal-hal yang bersifat duniawi.Pandanglah upacara penguburan Paus! Begitu sederhana seperti pada
Hari Jumat Agung! Apakah kita juga menginginkan agar perayaan kematian kita sederhana dan
sungguh-sungguh bersifat rohani?
Tema kematian harus menjadi bahan refleksi para religius secara lebih serius agar perayaan
kematian menjadi lebih rohani dan lebih sederhana!
Dalam konteks ini perlu kita merenungkan kembali perayaan peringatan kaul atau ulang
tahbisan imamat.Bagaimana kita merayakannya atau harus merayakannya? Mengundang tamu
sebanyak-banyaknya?

9. Penutup

Kita patut berterima kasih kepada Paus Fransiskus yang mengumumkan tahun ini sebagai tahun
vita consecrata.Saya kira beliau berharap banyak dari kaum religius bagi pembaharuan Gereja. Ini
berarti kita harus bertobat. Inilah tahun pertobatan dan saya berharap agar kita semua dapat menangkap
maksudnya dengan baik. Hidup religius di Indonesia masih muda, mungkin belum seabad. Pasti
kehidupan ini oleh rahmat Tuhan telah menghasilkan buah-buah indah yang tersembunyi yang hanya
diketahui oleh Tuhan. Syukur kepada Allah! Kita tidak perlu membicarakan hal itu.
40
Terjemahan tidak pasti. Saya mempunyai kesulitan untuk menangkap maksud pernyataan “even in that which would
strike me blindly.”
41
Alberto Neglia,”La memoria di un bacio. Fratel Christophe monaco di Thibirine,”Horeb 31/XI (2002/n.1), (15-22),19.
13
Perayaan ini membuat kita melihat masa lalu dan menatap masa depan. Kita dapat dikatakan
masih termasuk generasi awal dari kehidupan religius di Indonesia.Jika kita merayakan kehadiran kita
di Indonesia yang pertama-tama harus dipikirkan ialah bagaimana kita telah menghayati panggilan kita
sebagai religius. Jika ada buku sejarah yang mau ditulis, maka pertama-tama yang harus ditulis ialah
bagaimana kita telah menghayati hidup komunitas, hidup doa,kemiskinan dan segala hal yang pokok
tentang kehidupan religius.Sejarah ditulis untuk direfleksikan dan bukan untuk kembali ke masa
lampau. Masa lampau harus menjadi guru untuk masa depan. Kita tidak boleh berhura-hura dengan hal-
hal yang melulu lahiriah. Kita harus sampai ke intinya. Perayaan kita adalah perayaan rohani.Kita
dipanggil untuk menjadi manusia rohani bagi kehidupan Gereja dan bangsa. Peranan kaum religius
amat besar, tetapi hanya dengan syarat yakni bahwa mereka benar-benar menjadi religius. hal itu telah
dibuktikan dari sejarah kehidupan religius di Barat dengan segala pasang surutnya. Tuhan punya
rencana dan apabila kita hidup dalam anugerah-Nya kita akan berbuah banyak di dalam Dia. Segala
pujian bagi Allah!Selamat memasuki tahun vita consecrata!(Malang,Januari 2015, berthold anton
pareira,ocarm)

Anda mungkin juga menyukai