Anda di halaman 1dari 9

LATIHAN ROHANI MENURUT ST.

IGNATIUS LOYOLA
Latihan Rohani (Spiritual Exercises) dari St. Ignatius dari Loyola menandai
spiritualitas Katolik dengan memberikan semacam cara praktis untuk melakukan
meditasi dalam kehidupan rohani bagi mereka yang ingin bertumbuh dalam
kekudusan. Dalam karyanya, Spiritual Exercises (SE), St. Ignatius menjabarkan
banyak cara untuk berdoa, namun yang paling berpengaruh dan paling dikenal
adalah apa yang disampaikannya dalam Latihan Pertama (First Exercise– SE 45-54)
di mana imajinasi, ingatan, pemahaman dan kehendak dikerahkan dalam meditasi,
dan diakhiri dengan percakapan yang akrab dengan Tuhan (yang disebut colloquy).
Dengan cara ini, semua kemampuan jiwa diarahkan untuk masuk ke dalam misteri
iman agar misteri tersebut dapat tergabung di dalam kehidupan kita dan hati kita,
dan dapat menghasilkan buah, yaitu membuat kita menjadi semakin menyerupai
Kristus.
1. Jadi langkah-langkah meditasi secara garis besar menurut St. Ignatius, adalah:
A. Langkah pendahuluan meditasi: Gunakan imajinasi
Langkah pertama dari meditasi apapun selalu adalah menyadari bahwa kita berada
di dalam hadirat Allah, dan kita memohon kepada-Nya agar membantu kita
melakukan meditasi dengan baik dan menghasilkan buah yang baik bagi
pertumbuhan rohani kita; dan kita menyampaikan maksud hati yang murni untuk
mengasihi dan melayani Dia dengan lebih baik dan mempersembahkannya untuk
kemuliaan Tuhan yang lebih besar lagi.
Langkah berikutnya adalah mendayakan imajinasi kita -yang seringnya juga
menyebabkan pelanturan (distraction) saat berdoa- untuk menghadirkan sesuatu
yang berhubungan dengan misteri yang ingin kita renungkan dalam doa meditasi itu.
Maka, jika kita sedang memeditasikan kisah sengsara Tuhan Yesus, kita harus
menggunakan imajinasi untuk membayangkan Kristus Tuhan di Taman Getsemani,
di hadapan para ahli taurat, di hadapan Pilatus, pada saat memikul salib, dan ketika
akhirnya Ia menyerahkan nyawa-Nya dan wafat bagi kita.
Langkah ketiga adalah untuk memohon kepada Tuhan rahmat khusus atau buah yang
kita cari di dalam meditasi itu. Ketika kita sedang merenungkan tentang dosa, maka
kita memohon agar kita dapat memperoleh rasa sesal yang mendalam, dan dukacita
oleh karena dosa kita karena semua itu merupakan tindakan yang berlawanan dengan
kasih kepada Allah dan sesama. Jika kita merenungkan kelahiran Tuhan Yesus,
maka kita mohon agar memperoleh sukacita yang mendalam dan rasa syukur sebab
Ia telah berkenan menjelma menjadi manusia. Jika kita merenungkan kisah sengsara
Kristus, kita mohon agar kita dapat turut merasakan dukacita Kristus, yang rela
menderita demi menebus dosa-dosa kita. Jika kita merenungkan tentang
kebangkitan-Nya, kita mohon agar diberi suka cita yang besar atas kemenangan
Kristus atas dosa dan maut.
B. DAYAKAN INGATAN
Berikutnya adalah dayakan ingatan akan suatu kejadian yang telah berlalu yang
ingin kita pikirkan secara mendalam. Dapat saja berupa dosa Adam dan Hawa, atau
bahkan dosa-dosa saya sendiri. Atau dapat pula kejadian-kejadian yang ada dalam
Injil.

C. RENUNGKANLAH
Setelah kita mendayakan ingatan kita akan suatu kejadian tertentu, lalu ingatan itu
mengarahkan pikiran kita untuk menghubungkannya dengan kasih Tuhan, belas
kasih-Nya yang tak terbatas, pelanggaran dosa, rasa kurang berterima kasih,
dukacita dan pengorbanan Kristus, dst. Kita dapat pula merenungkan tentang pikiran
Kristus yang ada di dalam Hati-Nya, hasrat-Nya agar kita mau bekerja sama dengan-
Nya dan agar kita dapat hidup kudus. Di samping itu, kita dapat pula merenungkan
kelemahan kita, kecenderungan kita akan dosa tertentu, apa panggilan Tuhan
terhadap hidup kita, bagaimana caranya untuk melayani Tuhan dengan lebih baik,
bagaimana untuk menghindari dosa dan bertumbuh dalam kebajikan.
Renungan ini dapat mendorong kita untuk mengungkapkan kasih kepada Allah,
pertobatan, penyesalan, ketetapan hati ataupun resolusi untuk mengubah diri ke arah
yang baik, ataupun persembahan diri kepada Tuhan. Atau dapat juga hanya
merupakan kontemplasi akan apa yang direnungkan. Sikap-sikap batin ini sangat
berharga dalam meditasi.

D. COLLOQUY
Puncak meditasi adalah percakapan yang intim dan langsung dengan Tuhan, yang
disebut oleh St Ignatius sebagai ‘colloquy‘ (SE 63). Doa adalah mengangkat hati
kepada Tuhan. Bagian- bagian awal dari meditasi bertujuan untuk mempersiapkan
kita membuat percakapan dengan Tuhan dengan akrab, dengan perasaan,
pemahaman yang mendalam. Ini adalah saatnya memberikan diri dengan murah hati
kepada Tuhan.
St. Ignatius memberi contoh-contoh tentang colloquy yang mengakhiri periode
meditasi (30-60 menit). Dalam Latihan Rohani tentang Dosa, colloquy dibuat di
hadapan Kristus yang tersalib, yang kita bayangkan hadir di hadapan kita. St.
Ignatius mengajarkan kita untuk mulai berkata-kata dengan Dia, dan bertanya
kepada-Nya, bagaimana bahwa Ia yang adalah Sang Pencipta telah merendahkan diri
begitu rupa sampai menjadi manusia, dan untuk menembus kekekalan menuju
kematian di dalam waktu di dunia ini, agar dapat wafat demi menebus dosa-dosa
kita. Kitapun harus bertanya pada diri sendiri: “Apa yang dapat kuperbuat untuk
Kristus? Apakah yang sedang kuperbuat untuk Dia? Apakah yang harus kuperbuat
untuk Kristus?” Ketika kupandang Kristus di dalam sengsara-Nya tergantung di
salib, aku harus merenungkan apa yang hadir di pikiran saya tentang hal itu.”
Colloquy harus mendorong keakraban kita dengan Kristus, Allah Bapa, Roh Kudus
dan Bunda Maria. Percakapan ini merupakan kesempatan untuk menyampaikan
kasih kita kepada Tuhan, dan keinginan kita untuk melayani Dia dan berjalan
bersama-Nya. Di dalam colloquy ini kita memohon rahmat untuk: 1) memperoleh
pengetahuan dan kebencian akan dosa; 2) memahami ketidakteraturan dari
perbuatan pelanggaran kita agar kita dapat memperbaikinya; 3) memperoleh
pengetahuan tentang dunia sehingga kita dapat berjuang untuk membuang dari kita
segala yang bersifat duniawi dan sia-sia.
2. PRINSIP DAN PONDASI MEDITASI
Latihan rohani tersebut diawali dengan renungan akan tujuan akhir hidup kita (SE,
23):
“Manusia diciptakan untuk memuji, menghormati, dan melayani Tuhan, dan dengan
demikian ia memperoleh keselamatan jiwanya. Dan segala sesuatu yang lain di dunia
diciptakan untuk manusia dan bahwa mereka dapat membantunya untuk mencapai
tujuan akhir yang untuknya manusia diciptakan. Dari sini, artinya, manusia harus
mempergunakan hal-hal duniawi tersebut asalkan hal-hal tersebut dapat
membantunya mencapai tujuan akhir-nya, dan ia harus membuang hal-hal tersebut
sejauh itu menghalanginya untuk mencapai tujuan akhir. Untuk ini, adalah penting
untuk membuat diri kita tidak terikat kepada semua hal yang diciptakan, di dalam
segala sesuatu yang diperbolehkan menjadi pilihan bebas kita dan yang tidak
dilarang; sehingga di pihak kita, kita tidak menginginkan kesehatan daripada
penyakit, kekayaan daripada kemiskinan, penghormatan daripada penghinaan, umur
panjang daripada umur pendek, sehingga di dalam segala sesuatu, hanya
menginginkan dan memilih apa yang paling kondusif bagi kita untuk mencapai
tujuan akhir yang untuknya kita diciptakan.” (SE, 23)
Di sini St. Ignatius mengajarkan: 1) keutamaan tujuan akhir di dalam setiap
pengambilam keputusan; 2) kenyataan bahwa semua hal yang diciptakan adalah
hanya merupakan sarana/ alat untuk mencapai tujuan akhir; 3) pentingnya
melakukan discernment tentang penggunaan semua hal yang diciptakan; 4) sangat
pentingnya ‘interior detachment‘ (ketidakterikatan dalam batin’ yang disebut juga
‘indifference‘) dari semua hal yang diciptakan (termasuk kesehatan, umur panjang,
kekayaan, kehormatan, dst; dan 5) kita harus memilih sarana yang paling kondusif
untuk mencapai tujuan akhir kita. Dengan kata lain, kita harus memilih apa yang
dapat memberikan kemuliaan yang lebih besar kepada Tuhan: ad majorem Dei
gloriam.
‘Indifference‘ yang dimaksudkan oleh St. Ignatius adalah sikap batin untuk
bertumbuh dalam kebijaksanaan adikodrati, yaitu kebajikan untuk memilih sarana/
cara yang terbaik demi mencapai tujuan akhir, dan juga karunia nasehat, yang
olehnya kita membiarkan diri digerakkan oleh Allah untuk memilih sarana yang
terbaik untuk mewujudkan rencana-Nya untuk menguduskan kita dan
menyempurnakan kita dalam kasih.
3. STRUKTUR LATIHAN ROHANI YANG DIAJARKAN OLEH ST.
IGNATIUS.
St. Ignatius membagi Latihan Rohani tersebut menjadi empat ‘minggu’. Ini bukan
tujuh hari dalam seminggu, tetapi hanya menunjukkan tingkatan dalam perjalanan
rohani dan komitmen yang sepenuh hati bagi pelayanan kepada Tuhan.
A. Minggu pertama: Meditasi tentang neraka
Untuk menggambar meditasi tentang neraka, baik jika kita membaca kutipan tulisan
St Teresia dari Avila, Life (ch. 32):
“Suatu ketika di dalam doa saya menemukan diri saya, tanpa saya ketahui
bagaimana, di dalam keadaan di mana kelihatannya seperti di tengah neraka. Aku
mengerti bahwa Allah menghendaki aku melihat di sana sebuah tempat yang
disiapkan oleh setan-setan bagi saya, … yang dapat kuterima oleh karena dosa-
dosaku…..Di sisi sana ada semacam cekungan di dinding …, di mana saya
dimasukkan ke sana dan ditutup dengan rapat…. Aku merasakan api di jiwaku, yang
tak kumengerti bagaimana mengungkapkannya…. Kesakitan tubuh yang paling tak
tertahankan…. semua tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan jiwa yang
merana….sebuah derita kesedihan yang begitu dalam dan dengan dukacita karena
ditinggalkan. Sebab untuk mengatakan bahwa jiwa itu dicabut dari akarnya adalah
terlalu kecil, sebab sepertinya ada sesuatu yang lain yang mengakhiri hidup kita; tapi
di sini jiwa itu sendiri yang nampaknya memotong-motong dirinya sendiri, …
terbakar dan hancur menjadi berkeping-keping…. Semuanya menyesakkan, dan tak
ada terang, tapi semuanya hitam kelam. Aku tak mengerti bagaimana bisa terjadi,
bahwa tanpa terang, semua dapat terlihat dengan pedih… Aku tak tahu bagaimana,
tetapi aku mengerti bahwa itu adalah sebuah rahmat dan bahwa Tuhan
menghendakiku untuk melihat dengan mata saya sendiri sebuah tempat yang darinya
saya telah dibebaskan oleh karena belas kasihan-Nya.”
Maka fase ini adalah waktu untuk merenungkan di dalam hidup kita kasih Allah
yang tidak terbatas bagi kita. Kita melihat bahwa tanggapan kita akan kasih Tuhan
terhalang oleh dosa. Kita berjuang mengalahkan dosa, sebab kita tahu bahwa Allah
ingin membebaskan kita dari segala sesuatu yang menghalangi tanggapan kasih kita
kepada-Nya. Fase pertama ini berakhir dengan meditasi tentang panggilan Kristus
untuk mengikuti Dia.

B. Meditasi Minggu kedua: Meditasi Kristus sebagai Raja, Dua Standar, dan
Tiga Klasifikasi Orang
Meditasi dan doa-doa dari minggu kedua ini mengajarkan bagaimana kita harus
mengikuti Kristus sebagai murid-Nya. Di sini kita merenungkan perikop-perikop:
Kelahiran Kristus dan Pembaptisan-Nya, khotbah di bukit, mukjizat-mukjizat
penyembuhan-Nya dan pengajaran-Nya, membangkitkan Lazarus dari mati. St.
Ignatius juga mengajarkan meditasi tentang Kristus sebagai Raja. Prinsip dan
pondasi dari meditasi ini adalah untuk mengajarkan kita membuat semua pilihan
demi mencapai tujuan akhir, yaitu mengasihi, memuji dan melayani Tuhan. Di sini
St. Ignatius mengajarkan kita untuk membuat semua pilihan keputusan kita untuk
melayani Kristus Raja yang mengatasi dunia demi kemuliaan Tuhan (SE 91-100).
Selanjutnya, St. Ignatius juga mengajarkan meditasi tentang adanya Dua Standar
yang berlawanan di dunia, yaitu standar iblis dan standar Kristus (SE 136-147).
Meditasi Dua Standar ini dilanjutkan dengan meditasi tentang Tiga Klasifikasi
Orang (149-157).
Di meditasi Tiga Klasifikasi orang ini kita merenungkan tiga orang yang
memperoleh kekayaan besar dengan cara yang halal. Maka masalahnya bukan
masalah dosa. Mereka memperoleh kekayaan ini tanpa memperhitungkan kemuliaan
Tuhan ataupun kehendak-Nya. Namun melalui fase minggu kedua ini, ketiga orang
itu menginginkan keselamatan jiwa dan damai dari Tuhan karena melaksanakan
kehendak-Nya. Mereka telah meninggalkan dosa melalui tahap minggu pertama, dan
kini mereka ingin mengetahui kehendak Tuhan bagi mereka. Setelah merenung,
mereka mengakui bahwa mereka mempunyai keterikatan yang berlebihan terhadap
kekayaan mereka. Namun terdapat tiga kemungkinan reaksi terhadap kesadaran
tentang hal itu: 1) tipe orang yang pertama: ingin melepaskan keterikatan yang
berlebihan ini, tetapi tidak berhasil karena tidak memilih satu saranapun untuk
memeranginya; 2) tipe orang kedua: ingin melepaskan keterikatan yang berlebihan
dan melakukan kehendak Tuhan, namun keinginan ini tidak murni, sebab mereka
menghendaki Tuhan menyetujui kepemilikan harta mereka; mereka ingin agar
kehendak Tuhan sesuai dengan kehendak mereka, bukannya benar- benar terbuka
untuk menyesuaikan diri mereka dengan kehendak Tuhan; 3) tipe orang ketiga:
melepaskan keterikatannya dengan harta miliknya, “Mereka menghendaki untuk
mempertahankan ataupun melepaskannya [harta milik] semata-mata tergantung dari
yang Tuhan gerakkan di dalam kehendak mereka, dan juga sesuai dengan apa yang
mereka pandang menjadi lebih baik bagi pelayanan dan pujian bagi kemuliaan
Ilahi.” (SE 155)
Jadi tujuan meditasi di fase ini adalah: 1) agar kita tidak tuli terhadap panggilan
Kristus yang menghendaki kita bekerja bersama Dia, sehingga dengan berjerih
payah bersama-Nya, kita dapat masuk pula dalam kemuliaan-Nya. 2) berkarya
bersama Tuhan; 3) St. Ignatius mengajarkan hal yang lebih tinggi: yaitu mencapai
semangat kebesaran jiwa/magnanimity, yaitu melalui pemberian diri ataupun
pengorbanan diri yang total bagi kemuliaan Allah.
Maka menurut St. Ignatius, ketiga hal ini berhubungan dengan tiga tingkat
kerendahan hati (SE 165-167): 1) kerendahan hati untuk taat kepada hukum Tuhan
di atas segala sesuatu; 2) disposisi ketidakterikatan dengan hal-hal duniawi,
kerendahan hati menyerahkan segala sesuatunya kepada kehendak Tuhan, seperti
Bunda Maria, “Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu”; membuang keterikatan
terhadap dosa-dosa (bahkan dosa ringan sekalipun) yang disengaja; sehingga demi
kasih kepada Tuhan, lebih baik memilih mati daripada dengan sengaja melakukan
dosa, bahkan dosa yang ringan; 3) kerendahan hati untuk memilih jalan hidup yang
dilalui Kristus sebagai jalan hidupnya sendiri.
Atas dasar ini, seseorang juga dapat memilih jalan hidup panggilan yang ingin
ditempuhnya (135, 169-189), yang didasari oleh satu kesadaran bahwa jalan
panggilan hidup ini hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan akhir. Ada dua
cara yang diajarkan oleh St. Ignatius dalam memilih panggilan hidup:

1.Tiga kondisi yang dapat meyakinkan kita akan kehendak Tuhan dalam hidup kita:
1) Kondisi pertama, (ini jarang terjadi/ extraordinary) bahwa kita sudah dengan
sangat yakin; inilah kehendak Tuhan bagi kita.
2) Kondisi kedua: kita sampai pada suatu kejelasan dan pengetahuan tentang apa
yang harus kita pilih setelah melalui pengalaman konsolasi dan desolasi.
3) Kondisi ketiga (yang paling umum) adalah ketika kita merasakan damai sejahtera
akan pilihan kita tersebut.

2. Empat pertimbangan lain untuk mengetahui kehendak Tuhan:


1) Periksalah, atas dasar kasih kepada siapa yang mendorong kita melakukan hal itu:
apakah murni untuk kemuliaan Tuhan ataukah untuk kemuliaan diri kita sendiri.
2) Bayangkanlah jika ada seseorang datang kepada kita meminta saran/ bimbingan
akan permasalahan yang sama ini, untuk memberikan kemuliaan yang lebih besar
kepada Tuhan. Kita membayangkan apakah jawaban kita kepadanya, dan lalu
terapkanlah jawaban itu kepada diri kita sendiri.
3) Pikirkan seandainya kita sedang dalam sakrat maut, pikirkan apa yang akan kita
pilih pada saat itu sebelum kita memasuki kekekalan.
4) Pikirkan kita pada saat hari penghakiman, dan bagaimana kita berharap telah
memutuskan tentang hal itu, agar mencapai pada pemenuhan hasrat batin dan
sukacita pada saat penghakiman itu.

C. Meditasi Minggu ketiga (tentang Kisah Sengsara Yesus- Kontemplasi


pertama)
Kita merenungkan Perjamuan Terakhir, kisah sengsara dan wafat Tuhan Yesus. Kita
melihat bahwa penderitaan-Nya dan rahmat Ekaristi sebagai pernyataan kasih Allah
yang paling sempurna.
St. Ignatius menjelaskan tentang rahmat Allah yang diperoleh di minggu ketiga ini
mengarahkan kita kepada kontemplasi yang pertama: “Di sini saatnya memohon
agar turut merasakan dukacita yang mendalam… karena Tuhan menjalani sengsara-
Nya demi dosa-dosa saya.” (SE, 193). Selanjutnya, “Ingatlah betapa Ia menderita
semua ini demi dosa-dosa saya… dan juga tanyakan [pada diri sendiri], Apakah yang
harus kulakukan bagi-Nya?”.
Saat merenungkan kisah sengsara Tuhan Yesus, adalah layak jika kita memohon,
“dukacita bersama Kristus yang berduka cita, hati yang hancur bersama dengan
Kristus yang hancur, karunia air mata dan penderitaan batin karena besarnya
penderitaan yang telah dipikul oleh Kristus demi aku.” (SE, 203).

D. Meditasi Minggu ke-empat: Kebangkitan Kristus dan penampakan Kristus


setelah kebangkitan-Nya kepada Bunda Maria dan para murid-Nya (SE, 218-
225)
“Di sini kita memohon rahmat untuk bersukacita dan bergembira dengan sangat oleh
karena kemuliaan dan suka cita yang besar dari Kristus Tuhan kita.”(SE, 221)
Setelah meng-kontemplasikan peristiwa-peristiwa mulia, kita merenungkan, “betapa
keilahian, yang nampaknya tersembunyi sepanjang kisah sengsara Kristus, kini
memperlihatkan diri dan menyatakan dirinya secara ajaib di dalam Kebangkitan-
Nya yang kudus ini, melalui akibat-akibat-nya yang sejati dan terkudus.” (SE, 223).
Selanjutnya, kita merenungkan, “peran Sang Penghibur yang diutus oleh Kristus dan
membandingkannya dengan cara sahabat saling menghibur.”
Pada minggu ke-empat ini kita mengalami penghiburan rohani yang mendalam dan
sukacita, peluasan jiwa, dan persatuan yang erat dengan Yesus Kristus, yang
menghibur kita dengan akrab. Penghiburan ini memperlengkapi kita untuk
meneguhkan pilihan status panggilan hidup ataupun reformasi hidup yang telah
dibuat di dalam latihan rohani ini. Sebab pengalaman damai sejahtera rohani yang
mendalam merupakan tanda bahwa kita telah dengan benar melihat kehendak Allah
bagi kita.
4. Doa di dalam Latihan Rohani
Terdapat dua macam bentuk doa yang diajarkan di Latihan Rohani, yaitu meditas
dan kontemplasi. Di dalam meditasi, kita menggunakan pikiran. Kita merenungkan
prinsip-prinsip dasar yang membimbing kehidupan kita. Kita berdoa dengan kata-
kata, gambar dan ide-ide. Kontemplasi adalah lebih berupa perasaan daripada
pikiran. Kontemplasi sering mencampur emosi dan menyalakan keinginan-
keinginan yang mendalam. Di dalam kontemplasi, kita mengandalkan imajinasi kita
untuk menempatkan diri kita di dalam “setting” peristiwa dalam Injil ataupun dalam
kejadian yang diusulkan oleh St. Ignatius. Kita berdoa dengan Kitab Suci, bukan
mempelajarinya.
Dengan meditasi dan kontemplasi ini, kita melakukan “discerment of spirits“/
pembedaan roh. Kita melihat pergerakan batin dan melihat ke mana pergerakan itu
memimpin kita. Jika kita melakukannya secara rutin, kita akan terbantu dalam
membuat keputusan dengan baik. St. Ignatius menekankan pentingnya pemeriksaan
batin yang dilakukan secara teratur/ rutin di dalam kehidupan rohani. Jika kita
melakukannya secara rutin, jiwa kita akan menyadari akan titik kelemahan kita, dan
jika kita terus merenungkannya dan berjuang mengalahkan titik kelemahan itu, maka
kita akan dapat memperoleh kebajikan yang menjadi lawan dari titik kelemahan
tersebut. Untuk melawan kekurangan tertentu (misalnya, kesombongan, kemalasan,
dst), St. Ignatius menyarankan diadakannya pemeriksaan batin dua kali sehari, agar
kita dapat menelusuri perkembangan kita mengalahkan kelemahan kita itu.
Demikianlah sekilas tentang ringkasan Latihan Rohani (Spiritual Exercises) yang
diajarkan oleh St. Ignatius dari Loyola. Penekanan yang diajarkannya adalah, agar
kita dapat menjalankan kehidupan kita di dunia ini dengan mata hati terarah kepada
tujuan akhir kita kelak bersama Tuhan di surga. Dengan demikian, dalam segala
sesuatu hati kita terdorong untuk melakukan apapun yang dapat mendatangkan
kemuliaan yang lebih besar kepada Tuhan: for the greater glory of God, ad majorem
Dei gloriam!

Anda mungkin juga menyukai