Dalam iman, Gereja yakin bahwa pembentukan dirinya tidak terjadi dengan
tiba-tiba, namun telah dipersiapkan Allah sejak jaman Perjanjian Lama. Sejarah
iman umat Israel dan perjanjian yang Allah ikat dengan mereka adalah cerminan
akan Gereja di masa mendatang. Hal ini ditandaskan kembali oleh para Bapa
Konsili Vatikan II dalam dokumen Nostra Ætate nomor 4 yang menyatakan,
“Gereja Kristus mengakui bahwa—menurut rencana Ilahi penyelamatan yang
bersifat rahasia—awal mula iman serta pemilihannya sudah terdapat pada para
Bapa Bangsa, Musa, dan para nabi. Gereja mengakui bahwa semua orang beriman
Kristiani, putra-putra Abraham dalam iman, terangkum dalam panggilan Bapa
bangsa itu, dan bahwa keselamatan Gereja dipralambangkan secara misterius dalam
peristiwa keluaran….”1
Di jaman Perjanjian Baru, visi Gereja tentang tugasnya itu mulai terbentuk
dan matang sepenuhnya. Gereja tidak hanya melihat dirinya sebagai kelanjutan dari
umat Perjanjian Lama, tetapi lebih daripada itu Gereja mulai memandang dirinya
dalam rupa-rupa visi, yang semuanya menggambarkan aspek-aspek tertentu
dirinya. Dan eklesiologi Gereja bahari ini—kalau boleh disebut demikian—
terutama nian tercermin dalam tulisan-tulisan Perjanjian Baru, baik dalam teks-teks
Injil maupun dalam surat-surat apostolik.
1
R. Hardawiryana (penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: Obor, 2013), hlm. 322.
1
Namun, visi itu tidak boleh dibiarkan membeku dalam teks-teks Kitab Suci.
Sebab, dalam jaman yang terus berubah ini Gereja menghadapi berbagai tantangan
yang menuntutnya untuk kembali mengokohkan jati dirinya melalui pembaharuan
eklesiologi yang terus menerus. Oleh karena itu, visi eklesiologi dalam tulisan-
tulisan Perjanjian Baru kiranya dapat menjadi tawaran yang baik untuk
menyegarkan kembali Gereja, sekaligus sebagai gerakan kembali ke visi awal di
saat Gereja pertama kali mulai terbentuk.
Kita tidak bisa memikirkan Gereja tanpa melibatkan sosok Yesus dari
Nazaret. Dalam berbagai ajaran tradisional Yesus digambarkan sebagai pendiri
Gereja. Namun, eksegese kritik historis yang akhir-akhir ini dilakukan tidak
sepenuhnya mengakomodasi pandangan tersebut. Memang benar bahwa Gereja
tidak akan dapat dimengerti tanpa pribadi dan karya Yesus Kristus dari Nazaret,
tetapi kurang tepatlah jika dikatakan bahwa Yesus secara langsung mendirikan
institusi yang disebut Gereja. Hanya sesudah iman akan adanya kebangkitan
Kristuslah, para murid mewartakan Yesus dan menganggap diri mereka sebagai
umat Israel baru, yakni sebagai Gereja.
Ini berarti, peristiwa Paskah adalah dasar dan arah bagi Gereja. Penderitaan,
kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus adalah pusat iman para rasul dan
pewartaan mereka. Yesus menjadi pengikat suatu perjanjian baru antara Allah dan
manusia, yakni suatu janji keselamatan universal yang dikukuhkan dalam peristiwa
salib dan dicerminkan dalam kebangkitan Kristus.3 Secara historis, Yesus
sebenarnya ingin menyadarkan kembali orang Israel dalam keyakinan bahwa Allah
adalah sungguh Allah yang bisa diandalkan dan satu-satunya tumpuan harapan bagi
mereka. Namun, Israel menolak panggilan itu dan menyalibkan Yesus. Para rasul
pun berpikir bahwa Yesus adalah orang yang terkutuk, sebab menurut pandangan
Yahudi hanya orang terkutuklah yang digantung pada kayu. Tetapi kebangkitan
Yesus membuka mata mereka bahwa Allah membenarkan Yesus, dan dengan
2
Georg Kirchberger, Allah Menggugat (Maumere: Penerbit Ledalero, 2007), hlm. 381-385.
3
A. Drèze, Jésus-Christ Notre Vie (Brussel: Lumen Vitae, 1958), hlm. 19.
2
demikian mendorong mereka untuk mewartakan kesaksian tentang Yesus dan Allah
persekutuan yang hendak mempersatukan seluruh manusia dalam cinta kasih-Nya.
Dan melalui warta para rasul yang didasarkan pada iman akan Yesus Kristus itulah,
Gereja mulai terbentuk.
Yesus dipahami oleh Matius dan Markus sebagai Mesias yang memenuhi
semua janji Yahwe dalam Perjanjian Lama. Berdasarkan pemahaman Matius dan
Markus tentang Yesus ini, kedua penginjil ini juga memahami konsep Gereja
sebagai mereka yang menerima Yesus sebagai Mesias dan bersedia memikul kuk-
Nya. Yesus hadir untuk menebus segala dosa manusia lewat sengsara dan wafat-
Nya di kayu salib. Hal ini mempertegas keyakinan Gereja bahwa Yesus adalah
pembawa keselamatan bagi umat manusia. Matius melihat Gereja sebagai
kelompok yang terpisah namun terkait sangat erat dengan Yudaisme. Matius
membayangkan Gereja seperti Yudaisme yang memiliki aturan yang jelas dan
disiplin hidup yang tinggi.
4
Georg Kirchberger, op.cit., hlm. 395-396.
3
harus berani memanggul salib-Nya dan rela melayani tanpa pamrih seperti Yesus,
dan itu adalah tugas Gereja. Mengikuti Yesus berarti hidup seturut cara yang
diperkenal-Nya. Sama seperti Yesus, pada pengikut-Nya harus memberikan
kesaksian tentang Allah yang benar dan barangsiapa yang memberikan kesaksian
tentang kebenaran akan mendapat perlawanan dan akan memanggul salib. Markus
mau mengundang semua orang menempuh jalan ini karena di atasnya kehendak
Allah terjadi dan rahasia kerajaan Allah disingkapkan. Mereka yang mempunyai
mata untuk melihat dan mempunyai telinga untuk mendengar, mereka itu akan
mengalami dan mengerti kebahagiaan Allah dalam cara hidup Yesus, di dalam
persekutuan yang dibentuk karena cara hidup itu. Fungsi Gereja adalah
melanjutkan pelayanan Yesus sehingga dengan demikian keselamattan-Nya dapat
dihadirkan bagi umat manusia pada segala zaman.
EKLESIOLOGI LUKAS
Eklesiologi Injil Lukas lebih menekankan proses. Hal itu ditandai dengan
pembagian tahapannya. Tampaknya, Lukas mengisyaratkan sebuah pesan bahwa
Gereja bukanlah sebuah kumpulan orang beriman yang muncul begitu saja,
melainkan kelompok yang muncul melalui sebuah proses yang panjang. Oleh
karena itu, pada bagian ini kelompok akan membahas pembagian tahap-tahap
sebagaimana yang dimaksudkan oleh Penginjil Lukas.
5
Georg Kirchberger, op.cit., hlm. 397-399.
4
pemisahan terjadi juga proses penghimpunan karena selalu ada orang yang hidup
jujur dan saleh di hadapan Tuhan (Luk 2:25).
Tahap kedua ini oleh Lukas dihubungkan dengan tahap ketiga, karya Yesus
dari Nazaret. Lukas melihat karya Yesus sebagai lanjutan dari karya Yohanes
Pembaptis. Sekali lagi ia sangat menekankan bahwa kabar Yesus sampai kepada
seluruh umat Israel. Memang pengumpulan seluruh umat yang dirindukan Yesus
(Luk 13:4) tidak terjadi. Yesus hanya berhasil mengumpulkan suatu kelompok
kecil, yaitu para pengikut-Nya. Dari antara pengikut-pengikut-Nya Yesus memilih
dua belas rasul dan mengutus mereka ke seluruh Israel untuk memanggil dan
menghimpun mereka (Luk 9:1-6). Yesus mengikutsertakan mereka dalam tugas
menghimpunkan Israel di bawah kehendak Allah. Mereka akan menjadi inti dari
Israel sejati dan merupakan prefigurasi dari bakal Gereja. Karena itu, Lukas
berusaha menunjukkan bahwa para pengikut tetap tinggal di Yerusalem sesudah
Yesus wafat untuk menonjolkan kontinuitas dari ”Israel sejati" itu.
Yang melawan Yesus adalah para pemimpin rakyat. Mereka menolak kabar
Yesus dan menjadi pratanda dari pengadilan atas Israel serta melambangkan bakal
Yudaisme yang kehilangan pilihannya sebagai umat Allah. Rakyat berada di antara
para pengikut Yesus dan para pemimpin Yahudi, mereka masih bimbang.
Walaupun demikian Lukas tetap menggambarkan tendensi rakyat yang lebih positif
6
“Dari keturunan Daud, sesuai dengan yang telah dijanjikan-Nya, Allah telah membangkitkan Juru
selamat bagi orang Israel yaitu Yesus. Menjelang kedatangan-Nya Yohanes telah menyerukan
kepada seluruh bangsa Israel supaya mereka bertobat dan memberi diri dibaptis” (Kis 13:23-24).
5
dan lebih terbuka kepada para pengikut Yesus daripada kepada para pemimpin
Yahudi.
Tahap kelima adalah tahap yang sangat penting bagi perkembangan Gereja,
yakni Pentakosta. Pada saat ini Israel (diwakili oleh para pengikut Yesus) menerima
Roh yang pernah dijanjikan kepadanya untuk akhir zaman (Kis 2:17-18; bdk Yl.
2:28-29). Dan dalam Roh itu sebuah tahap baru bagi penghimpunan Israel dimulai.
Pada saat ini karya Yesus diselesaikan. Kebanyakan rakyat yang bersikap positif
terhadap Yesus berkumpul di sekitar para rasul dalam suatu proses yang berjalan
agak cepat. Proses itu digambarkan Lukas sampai dengan cerita tentang Stefanus.
Sesudahnya rakyat di gambarkan semakin memihak para pemimpin yang tidak
percaya dan Israel mulai menolak khotbah para rasul dan masuk agama Yahudi.
Tahap keenam dimulai ketika kelompok umat Israel yang tidak percaya
menutup diri. Jalan menuju Gereja orang kafir dibuka. Di sini Lukas secara rinci
menjalin suatu hubungan antara ketidakpercayaan Israel dengan tahap terakhir
menuju pembentukan Gereja, yaitu penerimaan bangsa-bangsa kafir. Menurut
Lukas, dengan masuknya bangsa-bangsa kafir makna terdalam dari Israel tercapai
dan pondok Daud yang telah roboh dibangun kembali (bdk Kis 15:13-18).
Pada akhir Kisah para Rasul, Lukas menjelaskan kematian Yesus sebagai
sebuah harga yang harus dibayar supaya Gereja bisa terbentuk (Kis 20:28) dan di
situlah untuk pertama kalinya digunakan gelar yang lengkap untuk Gereja, yaitu
ekklesia tou Theou (Gereja Allah).
Kalau kita ingin merangkum pandangan Lukas mengenai Gereja, maka bisa
dikatakan, Gereja adalah Israel yang terdiri dari orang-orang Yahudi dan orang-
orang kafir. Karena pendapat ini Lukas dengan sangat teliti menggambarkan
6
kontinuitas antara Israel dengan Gereja perdana dan antara Gereja perdana dengan
Gereja yang membuka diri terhadap dunia kafir. Jalan dari Israel sampai Gereja
”Yahudi dan Kafir” digambarkan Lukas sebagai jalan yang terencana, dan rencana
itu dibuat Allah sendiri. Maka Lukas melihat Gereja sebagai persaudaraan. Gereja
adalah karya mukjizat Allah pada zaman eskatologis (Kis 13:41). Allah yang
membentuk Gereja dan menyertainya dalam perkembangannya. Allah menambah
jumlahnya dengan orang-orang yang diselamatkan (Kis 2:47). Gereja yang
dibangun oleh Allah ini adalah Gereja persaudaraan (Kis 2:42; 4:32). Gereja adalah
kumpulan orang beriman yang rukun dan bersatu padu (Kis 2: 44-45), yang secara
materi mewujudkan kesatuannya dalam milik bersama (Kis 4: 32, 34-35).
EKLESIOLOGI YOHANES
Yohanes memahami Gereja sebagai kenyataan rohani. Hal ini tidak berarti
ia mengeliminasi aspek institusional dari Gereja.8 Akan tetapi Gereja pada masa
Yohanes adalah Gereja yang berada pada faktum penganiayaan. Di tengah kondisi
runyam ini, kehadiran Gereja sebagai pemberi inspirasi secara rohani sangat kuat.
Atas dasar ini, Yohanes menekankan Gereja sebagai yang bersifat rohani-spiritual.
Gereja yang bersifat rohani ini adalah:
7
Bdk. Kis. 1: 8.
8
Georg Kirchberger, op.cit., hlm. 400.
7
Gereja sebagai Persekutuan Orang-Orang yang Percaya
Hubungan antara Yesus dan para murid-Nya sangat akrab; mereka dianggap
sebagai saudara. Yohanes mendeskripsikan relasi ini dalam dua gambaran Gereja:
pokok anggur (Yoh. 15) dan kawanan domba yang digembalakan Yesus (Yoh. 10).
9
Georg Kirchberger, op.cit., hlm. 401.
8
Dalam gambaran Gereja sebagai pohon anggur,10 Gereja dilihat sebagai
ranting dan Yesus adalah pokok anggur. Yesus adalah pemberi hidup. Tanpa Dia,
Gereja akan mati. Bersama Dia, Gereja akan berbuah banyak. Maka iman akan
Yesus adalah sesuatu yang niscaya bagi kelangsungan hidup Gereja. Iman itu harus
berbuah. Buah dari iman itu adalah perbuatan kasih. Yesus tidak pernah
meninggalkan sahabat dan saudara-Nya, yaitu Gereja. Tetapi, kalau mereka
meninggalkan pokok anggur dengan sendirinya mereka akan mati.
Hubungan yang harmonis antara Yesus dan para murid juga dijelaskan
melalui gambaran Gereja sebagai kawanan domba yang digembalakan Yesus.
Yesus adalah gembala yang baik. Gereja sudah mengenal gembalanya, Gereja
menyerahkan hidup kepada tuntunan Sang gembala. Melalui Yesus mereka masuk
dan keluar kandang dan bisa memperoleh makanan.
Dunia yang membenci Gereja justru menjadi medan misi Gereja. Gereja
harus memberi kesaksian tentang hidup baru yang ditawarkan Yesus di tengah
dunia tersebut. Misi ini pasti mengandung risiko yaitu dibenci dan dibunuh. Yesus
meminta para murid-Nya agar tidak perlu takut karena Ia sudah mengalahkan dunia
(Yoh. 16:33). Para murid juga akan bisa mengalahkan dunia kalau mereka tetap
tinggal di dalam Yesus. Orang berpisah dari Yesus akan menjadi orang yang kalah
berhadapan dengan dunia.
10
Bdk. sabda Yesus dalam Yoh. 15:5, “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya.
Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu
tidak dapat berbuat apa-apa.”
11
Georg Kirchberger, op.cit., hlm. 403.
9
Unsur Institusional Gereja12
Yohanes dalam Injilnya tidak menekankan struktur dari Gereja tetapi aspek
institusional itu tetap ada. Pada tempat pertama ada suatu perutusan resmi sebagai
bentuk aplikasi pembentukan gereja (Yoh. 17:18 dan 20:21). Selain itu, diakui juga
bahwa adanya jabata gerejani. Elemen ini nyata dalam pribadi dan tugas Petrus
(Yoh. 21) dan juga pribadi-prbadi penulis surat-surat Yohanes yang menghadap
umat—kepadanya surat ditunjukkan sebagai otoritas, meskipun terbatas pada
otoritas rohani.
EKLESIOLOGI PAULUS
Paulus adalah orang Farisi yang percaya bahwa sisa-sisa kecil Israel yang
percaya dan setia pada Tuhan akan memperoleh keselamatan eskatologis pada masa
depan. Namun setelah bertobat ia menyadari bahwa rahmat pembebasan dari Allah
diberikan pada Gereja (ekklesia), kumpulan jemaat yang mengimani Kristus. Ada
beberapa paham Gereja yang dipaparkan oleh Paulus, antara lain:
Kesatuan erat antara orang Kristen dan Kristus dijelaskan Paulus dengan
gambaran Tubuh Kristus. Orang Kristen dimasukan dalam keanggotaan Tubuh
Kristus melalui Sakramen Baptis dan Ekaristi. Kesatuan dengan Kristus dalam roh
inlah yang juga mengakibatkan kesatuan di antara anggota satu sama lain. Paulus
dalam surat-suratnya memakai gambaran Tubuh Kristus terutama untuk
menekankan kesatuan umat yang mesti mendasari keanekaan fungsi dan karisma.
12
Georg Kirchberger, op.cit., hlm. 404.
10
Sebagaimana satu tubuh hanya memiliki satu kepala, demikian Gereja hanya
memiliki satu kepala yakni Kristus (Ef 5:23-24). Kristus sebagai Kepala artinya
Kristuslah yang memberi arah kepada seluruh anggota tubuh. Kristus juga
merupakan sumber kehidupan (latar belakang budaya Helenis); Kristus juga
merupakan pemimpin (menurut tradisi Yahudi). Jadi, yang menjadi inti bukanlah
tubuh melainkan kepala.
Paulus mengambil konsep Gereja sebagai umat Allah dari Kitab Suci
Perjanjian Lama. Paulus juga meyakini bahwa cikal-bakal Gereja berawal dari
Israel. Paulus menegaskan bahwa seseorang menjadi anggota Gereja bukan
berdasarkan garis keturunan Abraham sebagaimana yang dikonsepkan oleh umat
Israel dalam Perjanjian Lama. Bagi Paulus seseorang menjadi anggota Gereja
pertama-tama karena panggilan Allah. Hal ini ditegaskan dalam Rom. 1:6; 8-28,
atau 1Kor. 1:2, dan jawaban ‘ya’ dari pihak manusia dalam wujud iman (Gal. 3:7;
Rom. 1:5). Paulus menerapkan paham Gereja dari Perjanjian Lama kepada jemaat
Kristen, sebab yang ingin digarisbawahi oleh Paulus ialah bagaimana sejarah Israel
itu mencapai kepenuhan dalam Pribadi Kristus sehingga yang bersatu dengan
Kristus disebut sebagai umat Allah yang baru (Gal. 3:9 dan Rom. 9:6).
11
Eklesiologi dalam Surat Efesus dan Kolose
Kristus adalah kepala atas Gereja: tubuh-Nya. Menurut Paulus, kepala itu
adalah sumber hidup bagi tubuh (Efesus 4:11-16). Kristus adalah sumber kehidupan
Gereja. Sebagai kepala, Kristus menjadi raja dan tuan atas Gereja. Oleh karena itu
Gereja harus tunduk dan taat pada Kristus. Hubungan Kristus dengan gerejanya
merupakan satu-kesatuan yang mesra sehingga tidak bisa dipisahkan antara satu
dengan yang lain. Meskipun demikian, di antara tubuh dan kepala ada perbedaan.
Perbedaan ini dilukiskan dalam Efesus bab 5 yang menjelaskan posisi Kristus
sebagai suami dan Gereja sebagai istri. Dengan demikian Gereja harus tunduk
kepada Kristus sebagaimana istri tunduk kepada suami (Ef. 5:26). Selain itu, dalam
Efesus 1:9, 10, 22-23 dan Kolose 1:5-20, dijelaskan bahwa Kristus adalah kepala
dari segala sesuatu: “Kristus berada pada puncak dari segala sesuatu dan Gereja ada
bersama-Nya, di bawah Gereja dan Kristus ada segala sesuatu”.
Surat kepada Orang Ibrani belum memiliki suatu eklseiologi yang cukup
matang. Penulis surat ini rupanya tidak memiliki minat yang begitu dalam pada hal-
hal doktrinal, sebab tujuan utama penulisannya adalah untuk menguatkan iman
orang-orang Kristen yang tertindas. Maka, surat ini sebagian besar berusaha
menjelaskan siapa itu Yesus Kristus (kristologi), dengan maksud menguatkan iman
Gereja purba yang hidup dalam tekanan.
13
Markus Bockmuehl, A Vision for the Church Studies in Early Christian Ecclesiology (Edinburgh:
T. & T. Clark Publishers, 1997), hlm.133-148.
12
Gereja Sebagai Satu Umat Yang Didirikan Yesus
Menurut penulis surat Ibrani, Kristus telah merendahkan Diri dan menjadi
serupa dengan manusia, menebus umat-Nya, dan membentuk suatu komunitas baru
yang terdiri dari “saudara-saudari-Nya”, yang karena iman juga menjadi rekan-Nya
(Ibr. 2:11-15). Lebih lanjut, melalui kenaikan-Nya ke surga, Yesus juga membuka
jalan yang baru dan yang hidup bagi kita melalui tabir, yaitu diri-Nya sendiri.
Dengan demikian, dalam Diri Yesus dari Nazaret kita mendapatkan sosok perintis
keselamatan, iman, serta sumber identitas seorang Kristen di tengah dunia (Ibr.
2:17-18). Sebagai satu umat yang didirikan oleh Kristus, kita memiliki hak untuk
menyatakan Kristus sebagai Imam Agung dan Tuhan kita, serta berkumpul di
sekeliling-Nya sebagai saudara.
Penulis surat Ibrani tidak saja menekankan posisi Gereja sebagai sebuah
institusi yang didirkan oleh Kristus. Gereja juga dilukiskan sebagai umat yang
sedang mengikuti Yesus, dan dengan demikian berziarah di bumi untuk mencapai
hari Sabbat yang kekal bersama Tuhan. Penulis Ibrani ingin menekankan
pentingnya solidaritas dan saling menguatkan antar umat Kristen. Surat Ibrani
dengan demikian menegaskan kesinambungan antara peristiwa pengembaraan
Israel di padang gurun dengan Gereja Kristus. (3: 7-4:11).
13
EKLESIOLOGI SURAT-SURAT KATOLIK14
Yakobus
Dalam surat Yakobus paling tidak ada tiga poin eklesiologi yang
dipaparkan. Pertama, Yakobus menekankan bahwa Gereja adalah umat Israel yang
sudah dibaharui, dan dari umat Israel yang telah dibaharui inilah seluruh dunia
memperoleh keselamatan.15 Yakobus yakin bahwa Gereja menjadi kelanjutan dari
umat Israel, yang sekaligus mencakup semua bangsa manusia. Kedua, sebagai
kelanjutan dari umat Israel, dalam surat Yakobus Gereja dipikirkan sebagai sebuah
komunitas yang menghidupi amanat-amanat Allah dengan segenap hati dan setia.
Ini nampak dari beberapa pesan dalam surat yang menggarisbawahi pentingya
bertekun dan setia.16 Konsekuensi dari eklesiologi ini adalah tekanan Yakobus pada
perbuatan konkrit. Umat Kristen tidak boleh sekedar berkata-kata, melainkan harus
menghidupi apa yang dikatakannya dalam tingkah laku setiap hari. 17 Ketiga,
Yakobus menggambarkan Gereja sebagai sebuah komunitas yang tidak
memandang kekayaan serta status soisal, solider dengan sesama, dan menyamakan
dirinya dengan orang-orang miskin.18
Sama seperti Yakobus, surat pertama Petrus juga memiliki tiga poin
eklesiologi. Pertama, Petrus memandang Gereja sebagai kumpulan orang yang
telah memiliki identitas baru sebagai pilihan Allah dan orang-orang kudus. Kepada
mereka ini Allah telah berkenan memberikan warisan surgawi-Nya. Walaupun
Gereja dipandang juga sebagai kelanjutan umat Yahudi, namun penekanan surat
diberikan kepada fakta bahwa umat yang dipilih Allah ini mencakup juga mereka
yang non-Yahudi.19 Konsep kedua lebih bercorak eskatologis: Gereja itu akan
hidup sebagai kaum yang terbuang di tengah bangsa-bangsa kafir sampai tibanya
14
Markus Bockmuehl, op.cit., hlm. 153-166.
15
Bdk. Yak. 1:1, yang menggambarkan Yakobus sebagai pemimpin Gereja Kristus dalam diaspora
namun sekaligus kental dengan aroma Yudaisme (“kedua belas suku di perantauan”).
16
Bdk. Yak. 1:8, 4:8.
17
Bdk. Yak. 1: 22-25; 2: 14-26 (“iman tanpa perbuatan adalah mati”).
18
Bdk. Yak. 2: 2-7.
19
Bdk. 1Ptr. 1:1-19; 2:10; 3:6.
14
hari parousia kelak.20 Pemikiran ketiga (aspek misi) adalah konsekuensi dari
keadaan Gereja yang diaspora itu, yakni bahwa Gereja dipanggil sebagai saksi
Kristus di tengah bangsa-bangsa kafir yang tidak mengenal Allah. Ini tampak
misalnya dalam amanat untuk menaati hukum sipil (1Ptr. 2:13-3:7), namun di pihak
lain tetap memisahkan diri dari kekafiran (1 Ptr. 4: 3-4).
Eklesiologi yang ditekankan dalam kedua surat ini adalah aspek moralitas
dari Gereja. Dengan kata lain, perhatian tentang eklesiologi difokuskan pada apa
yang bisa dilakukan oleh Gereja agar hidup benar. Yudas merangkum persoalan ini
dalam empat amanatnya (ay. 20-24). Lebih lanjut, Yudas menegaskan perlunya
Gereja meminta bantuan Allah agar mampu bertindak bijaksana dalam urusan-
urusan moral (ay. 24-25). Surat kedua Petrus selanjutnya memberikan kerangka
teologis bagi hal ini, yakni dengan menekankan aspek Gereja sebagai suatu
perkumpulan yang hidup dari rahmat dan pengetahuan akan Yesus Kristus (2Ptr.
1:3; 3:18). Petrus juga menekankan pentingnya cinta kasih sebagai sumber
moralitas (2Ptr. 5: 1-7). Dengan demikian kita dapat hidup sebagai saudara-saudari
yang bijaksana dan bertumbuh dalam berbagai keutamaan.
Cukup menarik bahwa di bagian awal kitab Wahyu terdapat tujuh surat yang
ditujukan kepada tujuh Gereja berbeda (Efesus, Smirna, Pergamus, Tiatira, Sardis,
Filadelfia, dan Laodikia). Namun, walaupun isinya cukup berbeda, semua surat
tersebut diakhiri dengan rumusan yang sama: “barangsiapa bertelinga, hendaklah
ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat.” Pada bagian ini
akan diuraikan sedikit apa makna rumusan tersebut bagi seluruh kitab Wahyu dan
eklesiologinya.
20
Bdk. 1Ptr. 1:1-17; 2:11-12; 5:13.
21
Markus Bockmuehl, op.cit., hlm. 172-176.
15
Rumusan “barangsiapa bertelinga, hendaklah ia mendengar” adalah
rumusan profetis yang berasal dari jaman Perjanjian Lama dan Injil-Injil Sinoptik.
Rumusan ini kerap berhubungan dengan perumpamaan Yesus tentang Kerajaan
Allah atau peringatan yang dilontarkan para nabi atas kejahatan Israel. Dalam kitab
Wahyu, rumusan ini ditujukan kepada Gereja, yang adalah penerus umat Israel
Perjanjian Lama; dan, sama seperti umat Israel, Gereja pun kini telah menjadi keras
kepala dan tidak setia. Seluruh perumpamaan yang terdapat dalam Wahyu tidak
hanya melukiskan penyiksaan yang akan terjadi atas orang-orang yang tidak
percaya, melainkan juga untuk mengejutkan orang-orang Kristen yang tidak setia
dengan imannya. Namun demikian, rumusan positif “barangsiapa bertelinga,
hendaklah ia mendengar” menyiratkan harapan akan adanya suatu sisa kecil yang
akan tetap setia kepada Allah, yakni orang Kristen sejati yang darinya Gereja akan
dibangkitkan kembali.
22
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 3 Eklesiologi, Eskatologi, Etika (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1993), hlm. 119-120.
16