Anda di halaman 1dari 6

I.

PENDAHULUAN
Dewasa ini, kasus perceraian terus meningkat baik secara sipil maupun agama. Di dalam
Gereja Katolik sendiri, yang meskipun tidak mengakui adanya perceraian, kasus ini pun tidak
kunjung sepi dihadapi. Walaupun menolak peristilahan umum yang biasa dipakai, Gereja
Katolik dalam Kitab Hukum Kanoniknya mengenal istilah “pembatalan” perkawinan kanonik
atau nullitas matrimonii. Dalam konteks studi Hukum Gereja, kasus pembatalan perkawinan
kanonik adalah kasus di mana perjanjian perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan itu tidak sah sehingga tidak tercipta sebuah perkawinan. Dalam paper ini, penulis
mencoba menggumuli sebuah contoh kasus dan prosedur penyelesaiannya sebagai arahan.
Dengan demikian, tujuan yang mau dicapai adalah memperluas pemahaman tentang
bagaimana mengurus proses pembatalan perkawinan kanonik tersebut berdasarkan
rujukannya pada Kitab Hukum Kanonik yang menjadi bahan utama studi Hukum Gereja.

II. KASUS (SPECIES FACTI)


Kasus ini bertolak dari pengalaman pastoral penulis di Keuskupan Weetabula. Pada suatu
kesempatan rekoleksi bersama umat tentang hidup berkeluarga, ketika jam istirahat ada
seorang saudari yang mensheringkan pengalaman keluarganya. Secara ringkas, isi ceritanya
saya bahasakan ulang sebagai berikut.
“Saya memiliki saudara laki-laki (Katolik) yang menikah secara katolik. Pasangannya pun
beragama Katolik. Setelah menikah kurang dari setahun, diketahui bahwa istrinya memiliki
hubungan asmara dengan pria lain bahkan hal ini sudah berjalan sebelum menikah dengan
saudara saya, namun tidak pernah diketahui oleh keluarga kami dan juga saudara saya. Lalu
diketahui bahwa istrinya sempat mengugurkan kandungan (sebelum pernikahan) hasil
hubungan dengan pria lain tersebut. Saudara saya sudah memaafkan dan menempuh segala
upaya mediasi (termasuk melalui gereja) untuk menyelamatkan rumah tangga mereka.
Namun, sang istri tetap ingin menggugat cerai karena tidak bisa lagi meneruskan rumah
tangga dan ingin menikah dengan pria lain tersebut. Dia (sang istri) mengaku dulu mau
menikah dengan saudara saya karena dipaksa oleh keluarganya. Adat Sumba yang begitu
kaku yang menuntut keluarga untuk segera menikahkan perempuan itu dengan saudara saya
yang kini menjadi suaminya. Frater, apakah menurut frater apakah ada kemungkinan
pasangan keluarga muda ini memutuskan hubungan perkawinan mereka. Padahal setahu saya
di dalam gereja katolik, perceraian itu tidak diizinkan. Saya kasihan pada saudara saya
padahal umur perkawinan mereka masih sangat muda. Tetapi, daripada hidup mereka penuh
dengan masalah dan keributan, apalagi sebenarnya istrinya tidak mencintai dia. Saya juga

1
tahu sejak awal bahwa pernikahan mereka itu dipaksakan. Setahu saya sebagai adik, hal itu
dilakukan oleh kedua belah pihak keluarga besar dengan maksud untuk mempererat
hubungan kekeluargaan. Namun ternyata perjodohan dan perkawinan itu menyisahkan luka
mendalam. Proses perceraian mereka sendiri sedang dalam proses pengadilan sipil di Kupang
karena setelah menikah mereka berdomisili di Kupang”.

III. STATUS QUESIONIS


Berdasarkan sepenggal kasus di atas, memang disebutkan secara jelas proses perkara
pekawinan macam mana yang sedang ditempuh pasangan ini yakni secara sipil. Namun
secara gerejawi (karena keduanya beragama Katolik) pasti sedang direncanakan karena tidak
ada kemungkinan mereka bersatu. Penulis mengandaikan setelah selesai urusan sipil, pihak
wanita akan membawa proses perkara perkawinan ini ke pengadilan tribunal gereja sebagai
penggugat karena merasa perkawinan mereka ini adalah tidak sah sejak awal dengan alasan
paksaan. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk mendalami kasus tersebut, terutama
dari konteks studi Hukum Gereja yang membahas tentang “perkara-perkara pernyataan tidak
sahnya perkawinan”. Status questionis kasus ini bisa dirumuskan sebagai berikut:
a. Apakah kasus yang diangkat memiliki alasan yang mencukupi untuk diproses dalam
tribunal Gerejawi?
b. Tribunal Gerejawi macam mana yang harus dihadapi oleh penggugat?
c. Bagaimana penggugat seharusnya mengurus gugatannya? (proses)

IV. HUKUM KANONIK DAN PENERAPANNYA


Bertolak dari status questionis yang sudah dirumuskan di atas, penulis mencoba membuat
pertimbangan mengenai alasan kasus yang dikemukakan dari sudut pandang hukum kanonik.
A. IN IURE
Seperti yang sudah dijabarkan secara singkat dalam kasus di atas bahwa yang menjadi inti
permasalahan dalam perkawinan tersebut adalah perkawinan terjadi karena paksaan dari
pihak lain. Oleh karena itu, untuk menimbang apakah alasan ini mencukupi sebagai
pernyataan ketidakvalidan pernikahan, maka perlu diterapkan beberapa kanon gerejawi yang
mengatur kodrat fundamental perkawinan katolik, ciri-cirinya, konsensus perkawinan dan
hak perkawinan untuk membuktikan dan menegaskan alasan ini sebagai halangan perkawinan
atau tidak.
1. Mengenai kodrat fundamental perkawinan dalam kanon 1055 (1) dijelaskan bahwa
perkawinan itu dari kodratnya adalah suatu perjanjian (convenant/foedus) antara seorang

2
laki-laki dan seorang perempuan berdasarkan pilihan bebas dari suami-isteri (tanpa
paksaan); bahwa tujuan dari suatu perkawinan adalah kesejahteraan suami-isteri (bonum
coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak; dan bahwa dari kodratnya perkawinan
Kristiani bersifat sakramental karena diangkat Oleh Kristus Tuhan sendiri.1
2. Sehubungan dengan sifat tak terceraikan dalam perkawinan katolik, Hukum Gereja masih
mengakui adanya tingkat-tingkat kekukuhan dalam perkawinan sesuai macam perkawinan
itu sendiri, seperti perkawinan putativum, legitimum antara dua orang non-baptis,
legitimum antara seorang baptis dan seorang non-baptis, ratum (et non consummatum),
ratum et consummatum.seperti tertera dalam Kanon 1061.2
3. Mengenai konsensus perkawinan dalam kanon 1057, ditegaskan bahwa kesepakatan-lah
yang “menciptakan” atau membuat suatu perkawinan menjadi ada; pada saat para pihak
saling memberi konsensus dalam perjanjian perkawinan, pada saat itu pula dimulai hidup
perkawinan atau hidup berkeluarga yang berlaku dan berlangsung sepanjang hidup
(matrimonium in facto esse). Para pihak harus tahu hukum atau mampu menurut hukum
untuk memberi konsensus perkawinan. 3 Itu berarti mereka tidak terkena suatu cacat
psikologis apapun yang dapat meniadakan konsensus perkawinan seperti yang tertera
dalam Kanon 1095.4
4. Mengenai hak perkawinan dalam kanon 1058, secara eksplisit dikemukakan bahwa semua
orang diandaikan mempunyai hak untuk menikah, asalkan bebas dari halangan nikah 5 dan
secara implisit, otoritas Gerejawi yang berwenang memiliki hak untuk melarang suatu
perkawinan bila ada dasar hukumnya serta berhak pula untuk menentukan syarat-syarat,
yang jika tidak ditaati dapat meniadakan perkawinan; karena hak, maka ada kebebasan
untuk memilih perkawinan atau tidak (Bdk. Kan. 219); hak untuk menikah merupakan hak
asasi manusia yang ditanam Sang Pencipta dalam diri setiap orang sehingga tidak ada
kuasa manusiawi manapun yang dapat memaksa seseorang untuk memasuki suatu
perkawinan (Kan. 1103) 6 ; meski demikian, hak tersebut harus dilaksanakan menurut
norma hukum yang berlaku, baik sipil maupun Gereja; bila ada alasan-alasan yang kuat,
maka hukum sipil dan hukum Gereja dapat menentukan larangan-larangan tertentu yang
dapat menyebabkan suatu perkawinan tidak sah atau tidak halal (Kan. 1075-1077).7

1
Bdk. R. Rubiyatmoko, dkk. (Tim Penterj.), Kitab Hukum Kanonik-Codex Iuris Canonici (Jakarta: KWI,
2006), hlm. 286.
2
Ibid., hlm. 287.
3
Ibid., hlm. 286.
4
Ibid., hlm. 294.
5
Ibid., hlm. 287.
6
Ibid., hlm. 296.
7
Ibid., hlm. 290.
3
B. IN FACTO
Berdasarkan penerapan hukum kanonik yang relevan di atas, maka bisa dinyatakan bahwa
gugatan yang dikemukan oleh penggugat dalam hal ini sang wanita yang menyebut
perkawinannya terjadi karena paksaan dari orang tua pada hakikatnya memiliki alasan yang
mencukupi sebagai pernyataan tidak sahnya perkawinan.
Hal-hal yang bisa dijadikan pembuktian melawan Hukum Perkawinan Katolik, yaitu
melawan kodrat fundamental perkawinan itu sendiri sebagai suatu perjanjian berdasarkan
pilihan bebas dari suami-isteri (Kan. 1055). Dalam kasus di atas, perkawinan yang terjadi
bukan berdasarkan pilihan bebasnya, melainkan karena paksaan dari orang tua. Akibatnya
kurang dari setahun berumah tangga, penggugat menuntut pembatalan atas perkawinan
tersebut.
Dari sudut pandang sifat-sifat perkawinan, kategori kekukuhan perkawinan dalam kasus
di atas adalah putativum (putatif). Artinya perkawinan tak sah yang diteguhkan dengan itikad
baik sekurang-kurangnya oleh satu pihak (Bdk. Kan. 1061-§3). Secara hukum, perkawinan
ini tidak mempunyai sifat kekukuhan dan ketakterceraian sama sekali. Atau dengan kata lain,
jenis perkawinan ini masih bisa digugat atau dinyatakan tidak sah apabila ada bukti-bukti
yang sah dan meyakinkan. Forum resmi untuk pembuktian itu dalam Hukum Gereja adalah
Tribunal Perkawinan.
Dari segi konsensus perkawinan, hal yang hakiki berkaitan dengan tidak adanya
konsensus dalam perkawinan dalam kasus di atas yaitu karena paksaan dari orang tua (Bdk.
Kan. 1103) sehingga menyebabkan hilangnya atau ketiadaan kehendak bebas dalam diri
mempelai wanita untuk melangsungkan perkawinan. Sebab itu, paksaan orang tua kepada
mempelai wanita menyebabkan tidak adanya consensus sejak awal (Kan. 1057).
Sedangkan dari perspektif hak perkawinan, kebebasan memilih perkawinan (Kan. 219)
dalam diri mempelai wanita sudah dibatasi oleh kehendak orang tua. Padahal hak untuk
menikah merupakan hak asasi manusia, yang ditanam Sang Pencipta dalam diri setiap orang,
sehingga tak ada kuasa manusiawi manapun yang dapat memaksa seseorang untuk memasuki
suatu perkawinan (Kan. 1103). Dengan demikian, perkawinan yang sudah dilangsungkan
dalam kasus di atas dengan sendirinya cacat pula karena paksaan.
Jadi, alasan kasus perkawinan di atas sudah mencukupi untuk diproses di Tribunal
Gerejewi yang berwenang, yaitu Tribunal Perkawinan Instansi Pertama di tingkat keuskupan
(Bdk. Kan. 1419-§1). Namun, patut diingat kembali bahwa fungsi tribunal ini bukanlah untuk
menceraikan atau membubarkan perkawinan, melainkan untuk memproses dan menyelidiki
secara saksama suatu perkawinan yang sudah yang telah terjadi seturut Hukum Perkawinan

4
Gereja yang berlaku, untuk melihat apakah perkawinan tersebut memang tidak sah karena
adanya suatu halangan kanonik atau cacat konsensus atau ketiadaan “forma canonica”.

C. PROSEDUR YUDISIAL
Setelah menimbang dan memperhatikan alasan gugatan berdasarkan kasus di atas maka
prosedur yudisial yang harus ditempuh untuk proses perkara pembatalan perkawinan adalah:
Tahap I: Pembukaan Perkara
Tahap ini terdiri dari beberapa sub tahapan penting, yaitu:
A. “Libellus” atau surat gugat atau surat permohonan (Kan. 1501-1506) 8, yaitu surat yang
berisikan permohonan resmi oleh seseorang kepada Pengadilan Gerejawi (Tribunal
Perkawinan) agar menyelidiki dan menyatakan bahwa perkawinannya dengan suami atau
isterinya tidak sah sejak permulaan.
B. “Citatio” atau pemanggilan (Kan. 1507-1512;1677)
Pemanggilan biasanya dibuat dalam bentuk sepucuk surat dari tribunal atau hakim, yang
dilayangkan kepada Responden atau Tergugat (atau Wali atau Kuratornya) dengan
permintaan agar menjawab secara tertulis, atau secara pribadi menghadap ke tribunal untuk
menjawab gugatan Pemohon atau Penggugat. Hakim dapat mengatur cara pemanggilan itu
menurut norma Kan. 1508-1511. 9 Dengan pemanggilan itu, maka peradilan resmi dibuka dan
perkara jatuh di tangan hakim yang menerima pengaduan yang diajukan kepadanya. Akan
tetapi apabila panggilan tidak dijawab oleh pihak tergugat, maka secara hukum dianggap
telah dipanggil secara legitim (Bdk. Kan. 1510) dan karena itu, setelah 25 hari proses perkara
bisa diteruskan (Bdk. Kan. 1677-§2).10
C. “Contestatio litis” atau penentuan pokok sengketa (Kan. 1513-1516)11
Penentuan pokok sengketa adalah perumusan butir-butir perselisihan oleh hakim melalui
suatu dekret berdasarkan “libellus” pemohon dan pernyataan-pernyataan atau jawaban-
jawaban kedua pihak yang berperkara.
Tahap II: Pengumpulan Bukti-Bukti
Pada tahap ini, dibicarakan mengenai bagaimana memperoleh bukti-bukti itu sendiri,
pengumuman akta perkara dan “conclusio in causa” atau penutupan perkara.
A. Bukti-bukti (Kan. 1526-1586 12 ;1678-1680 13 ). Dalam hukum kanonik, bukti adalah
pengajuan segala argumen yang legitim kepada seorang hakim Gerejawi untuk

8
Ibid., hlm. 387-388.
9
Ibid., hlm. 389-390.
10Ibid., hlm. 426.
11Ibid., hlm. 390-391.

5
memperlihatkan kebenaran dari suatu hal atau fakta yang dipertentangkan, dengan tujuan
membantu hakim untuk mencapai kepastian moril sebelum menjatuhkan putusan.
B. Pengumuman Akta Perkara (Kan. 1598).14 Pada tahap ini, para pihak yang berperkara atau
yang berkepentingan diberitahu dengan suatu dekret bahwa untuk sementara pengumpulan
bukti-bukti telah selesai dan akta perkara boleh dilihat di Kantor Tribunal menurut
petunjuk hakim.
C. Penutupan perkara (Kan. 1599-1600)15
Tahap III: Pembahasan Perkara (Kan. 1601-1606)16
Tahap IV: Putusan Hakim dan Kemungkinan Naik Banding(Kan. 1607-165517; 1681-168518)

D. KESIMPULAN
Contoh kasus proses pembatalan perkawinan kanonik sebagaimana yang sudah dibahas
di atas dikarenakan oleh adanya halangan tidak sahnya perkawinan sejak awal, bukan pada
akhir setelah terjadinya percecokan suami istri. Itulah yang menjadi prinsip utama dalam
nulitas perkawinan Gereja. Ketidakvalidan itu ada sebelum perkawinan. Sebab itu, gugatan
kasus perkawinan di atas masih perlu diperkuat lagi dengan bukti dan kesaksian yang bisa
dipercaya. Jika belum atau tidak ada bukti dan kesaksian yang mendukung alasan penggugat,
maka keabsahan perkawinan yang sudah terjadi harus tetap dipegang teguh sampai ada bukti
kebalikannya (Bdk. Kan. 1060).
Dengan demikian, setelah menyimak seluruh pembahasan di atas, mulai dari menimbang
masalah hingga prosedur yudisialnya, maka bisa dilihat betapa rumitnya proses pembatalan
perkawinan kanonik dalam konteks Hukum Gereja Katolik. Kerumitan tersebut dengan
sendirinya menegaskan bahwa diperlukan waktu yang lama untuk mengurus proses
pembatalan tersebut. Jika semua pihak mau bekerja sama dan terbuka demi kebaikan bersama
dan keselamatan jiwa maka semua perkara itu dapat terselesaikan dengan mudah.
Oleh karena itu para agen pastoral perlu menyadarkan para calon pasangan untuk
mempersiapkan diri secara matang sebelum melangsungkan perkawinan secara Katolik.

12Ibid., hlm. 393-404.


13Ibid., hlm. 426-427.
14Ibid. hlm. 407.
15Ibid., hlm. 407-408.
16Ibid., hlm. 408-409.
17Ibid., hlm. 409-421
18Ibid., hlm. 427-428.

Anda mungkin juga menyukai