Anda di halaman 1dari 6

TEOLOGI KONTEKSTUAL CHOAN SENG SONG

Pendahuluan

Choan Seng Song adalah seorang teolog asal Taiwan yang lahir pada tanggal 19 Oktober 1929.
Dia menerima gelar Ph.D dari Union Theological Seminary, New York City tahun 1965. Tahun
1976-1977 Song menjabat sebagai Profesor Tamu di Princeton Theological Seminary. Choan
Song Seng saat ini menjabat sebagai profesor Teologi dan Budaya Asia Pasifik di Sekolah
Agama, Profesor regional Teologi di Asia Tenggara Graduate School of Teologi di Singapura dan
Hong Kong dan saat ini ia juga menjabat sebagai Ketua Aliansi Gereja-gereja Reformasi Dunia.

Song merupakan penulis kreatif yang sudah menerbitkan banyak buku seperti Sebutkanlah
Nama-Nama Kami, Yesus yang Turur Menderita, Yesus dan Pemerintahan Allah, dan masih
banyak lagi. Tulisannya juga bnayk dimuat dalam jurnal teologi di Asia (Timo 2013, 122)

Choan Seng Song sebagai seorang teolog dari Asia merasa teologi yang masuk ke Asia harus di
sesuaikan dengan kondisi masyarakat Asia. Berdasar latar belakangnya sebagai orang Asia maka
Song menciptakan teologinya sendiri yaitu Teologi Asia. Song memunculkan pikiran-pikirannya
dengan menggunakan cerita-cerita rakyat agar lebih sederhana dan lebih mudah dipahami. Dari
cerita rakyat yang dia gunakan tersebut Song menjelaskan bagaimana seharusnya teologi
dipandang dalam perspektif masyarakat Asia. Tulisan ini akan menggambarkan dan memaparkan
bagaimana pandangan Song tentang teologi yang seharusnya dijalankan di Asia.

Pandangan Teologi Song

Perbedaan kondisi geografis, budaya dan sosial yang ada di Asia dan Eropa menjadi latar
belakang kenapa Song berpendapat teologi yang dijalakan di Asia juga harus di sesuaikan
dengan keadaan masyarakat yang ada di Asia dan tidak bisa hanya sekedar meniru teologi yang
ada di Eropa. teologi seharusnya di munculkan dan diangkat dari kebudayaan masyarakat
setempat dan tidak sekedar meniru teologi orang lain.
Song melihat ada 3 hal yang penting tentang teologi di Asia, yaitu: Pertama, pandangan atau
refleksi tentang Allah harus bergeser dari agama atau keyakinan tertentu tetapi akan menjadi
bahaya jika Allah diklaim hanya milik agama tersebut. Kedua, seperti dikuti oleh Ebenhaizer
(2013,124) “agama-agama dan kebudayaan manusia, bukanlah sekedar faktor-faktor kebetulan
dalam sejarah sehingga bisa dibuang semau-maunya”. Ketiga, menurut Song, inti dalam
pergumulan yang dihadapi di Asia adalah tentang kepelbagaian agama, keberagaman budaya dan
situasi kemiskinan serta penderitaan umat. (Timo 2013, 124)

“Teologi adalah kebudayaan dan sejarah tidak netral” (Song 1984, 11). Pandangan teologis
selalu dihubungkan atau setidaknya memiliki keterkaitan dengan konteks sejarah atau
kebudayaan seperti contohnya sejarah bangsa Israel dan kebudayaan bagsa Israel mempengaruhi
kekristenan dengan sangat kuat. Maka dari itu teologi tidak bisa disebut sebagai ilmu yang netral
karena jika teologi menjadi netral berarti tidak teologi tersebut menjadi teologi yang tidak
memiliki tujuan dan tidak bertuan (Song 1984, 11). Oleh sebab itu jika setiap masyarakat atau
komunitas memiliki sejarah dan kebudayaan yang berbeda artinya pandangan teologi setiap
masyarakat atau komunitas tersebut juga akan berbeda dengan komunitas masyarakat yang lain.
Maka yang menjadi pusat dari teologi adalah sejarah dan kebudayaan di mana kita lahir dan
menjadi bagian dari sebuah komunitas. Jika kita tidak bertologi dari sejarah kita artinya kita
menjalankan teologi yang bukan berasal dari diri kita sendiri dan hanya mencontek teologi orang
lain. Di Asia, yang menjadi inti perjuangan teologi Asia yaitu tentang kemanusiaan (Song 1984,
12).

Seharusnya batasan Kekristenan yang kita jalankan harus bergeser dari konteks sejarahi di Israel
dan di Barat menjadi konteks sejarah bagi kita sendiri di Asia agar kita bisa lebih luas dan lebih
dalam (Song 1984, 8). Selama ini kebanyakan pendapat mengatakan bahwa gereja dan Israel
tidak bisa dipisahkan, bila tidak ada Israel maka tidak ada gereja. Hal itu seolah menunjukkan
bahwa seolah Allah hanya terbatas milik orang Israel dan seolah semua kejadian sejarah manusia
hanya ada ada bangsa Irael dan gereja saja. Song memberikan contoh dengan menggunakan ayat
Yeremia 27:5-6 dimana nabi Yeremia mengatakan bahwa Nebukadnezar adalah hamba Allah.
Yeremia juga melihat bahwa menyerah adalah satu-satunya cara untuk bertahan dan Yeremia
tahu bahwa Allah Israel juga Allah dari Babilonia. Song menutup contohnya dengan pertanyaan:
jika Allah sekarang juga bekerja melawan yudaisme melalui Babilonia, apakah salah orang-
orang yahudi untuk menyerah pada babilonia? (Song 1984, 8)

Ilmu teologi selama ini terus berkembang seiring dengan munculnya fenomena-fenomena dalam
masyarakat. Teologi dituntut untuk terus memerikan jawaban dan memerikan solusi bagaimana
masalah tersebut diselesaikan. Song mencontohkan dengan munculnya teologi kulit hitam yang
mulai menggeser teologi kulit putih yang selama ini mendominasi kaum negro di Amerika selain
itu teologi juga menjadi ilmu yang bisexual dengan munculnya teologi feminis setelah sekian
lama teologi menjadi ilmu yang monosexual. Perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam
teologi semua disebabkan oleh banyaknya konteks baru yang diselaraskan dengan ilmu teologi
yang masuk kesetiap komuniat yang memiliki latar belakang masing-masing.

Teologi tidak hanya berkutat dalam permasalahan abstrak tentang konsep Allah tetapi teologi
harus berbicara tentang isu konkret yang terjadi di masyarakat sebab teologi seharusnya
berurusan dengan dunia, bukan dengan surga (Song 198, 6). Sering kali orang-orang bergumul
tentang bagaimana bentuk Allah, bagaimana Allah bekerja dan segala macal pertanyaan lainnya
yang beruhubungan dengan mencari tahu tentang rupa Allah, jika teologi terus berbicara tentang
hal itu, maka teologi itu hanya menjadi sebuah omong kosong yang tidak berarti bagi kehidupan
manusia, seharusnya teologi menjadi jawaban tentang bagaimana kita harus bersikap dalam
kehidupan kita ketika berhadapan dengan permasalahan konkret yang terjadi di masyarakat.
Yang menjadi inti dalam ajaran kekrsitenan adalah pelayanan yang menjadi permasalahan adalah
bagaimana kita bisa melayani Allah yang tidak bisa kita lihat jika kita sendiri tidak bisa melayani
saudara kita yang terlihat?

“Allah bergerak kesegala arah: Allah bergerak maju, tak diragukan, tapi juga bergerak
kesamping bahkan bergerak ke belakang. Mungkin Allah juga bergerak secara zigzag.”(Song
1984, 16). Menurut Song Allah memang bergerak maju, artinya sepanjang perjalanan dunia Allah
terus bekerja. Tetapi Allah tidak hanya bergerak maju saja, Allah bergerak segala arah, Allah
tidak terikat pada waktu, jadwal yang harus dipenuhi, atau apapun yang mengikat. Dia bekerja
kapan saja dan dimana saja. Song memberikan contoh dengan perumpamaan orang Samaria yang
baik hati, ketika orang lewi dan imam berjalan terus itu adalah contoh Allah yang bergerak maju
terus, mereka –orang lewi dan imam- terikat dengan aturan dan tugas yang harus mereka
kerjakan. Untungnya ada orang Samaria yang tidak memiliki aturan yang memberatkannya.
Orang samaria itu adalah contoh tentang Allah yang bisa berbalik arah, melanggar aturan dan
menunda tugas yang amat suci (Song 1984, 16). Jika Allah tidak terikat pada apapun artinya
Allah juga tidak terikat bagi bangsa tertentu, Allah menjadi universal bagi siapa saja yang mau
percaya pada-Nya

Yang menjadi inti teologi yang dijalankan dan di berikan oleh Choan Seng Song adalah
mengkontekskan Allah dan kekristenan menjadi konteks yang sesuai dengan kondisi, latar
belakang, sejarah, dan kebudayaan setiap orang atau komunitas masyarakat. Song menggunakan
Yohanes 1:14 menjadi dasar pemikirannya “Firman itu telah menjadi manusia” 1. “Firman
berubah menjadi daging! Firman ada dalam daging! Tidak ada yang namanya daging belaka.
Yang harus kita pikirkan adalah “daging-dengan-Firman.” Ijinkan saya (Song) memberikan
hubungan yang sejajar: Wahyu Allah menjadi konteks! Wahyu Allah ada dalam konteks! Tidak
ada yang namanya konteks belaka. Yang harus kita pikirkan adalah “konteks-dengan-wahyu
Allah””(Song 1984, 43). Segala sesuatunya telah berubah menjadi konteks. Allah bisa berubah
dengan konteks budaya dan lainnya. Menggunakan dasar itulah Song memberikan pandangannya
tentang Allah yang bisa dikontekskan dengan segala budaya dan tidak terikat pada satu budaya
saja.

Tanggapan

Teologi adalah ilmu yang harus berkembang sesuai dengan perkembangan jaman dan harus
menyesuaikan diri dengan kebudayaan yang ada disekitarnya dan tidak bisa memaksakan
ajarannya pada komunitas-komunitas yang tidak sepenuhnya sama dengan ajaran kekristenan.
teologi seharusnya mengikuti perkembangan tersebut agar tidak terkesan kuno dan tidak relevan
dengan perkembangan zaman yang akhirnya membuat teologi tidak lagi diterima. Teologi harus
mengalir seperti air yang bisa merubah bentuknya sesuai dengan kondisi yang ada disekitarnya
tanpa merubah hakikat air itu sendiri. Artinya teologi harus bisa menyesuaikan diri dengan
perubahan zaman, kondisi sejarah dan kebudayaan sebuah komunitas atau masyarakat tertentu.

“kontekstualisasi berarti kegiatan atau proses penggabungan amanat Alkitab dengan situasi
kondisi kita. Jadi, teologi kontekstual, tidak cukup hanya dengan mempelajari Alkitab (walau ini
mutlak) tetapi juga sangat penting untuk memahami konteks kita” (Drewes & Mojau 2003,153-

1 Terjemahan LAI. Song menggunakan kata “daging” untuk mengatakan manusia


154). Alkitab memang menjadi acuan kita sebagai orang Kristen dalam melakukan tindakan dan
kehidupan kita, tetapi kita tidak cukup hanya dengan membaca dan mempelajarinya. Bagaimana
isi dalam Alkitab itu kita praktekkan dan kita jadikan sebagi pedoman bagi kita dan disesuaikan
dengan apa yang terjadi pada situasi dan kondisi yang dialami oleh masyarakat atau komunitas
kita menjadi hal yang lebih penting. Jika kita hanya melakukan apa yang ditulis dalam Alkitab
tanpa menyesuaikannya atau mengkontekskannya dengan kondisi kita, teologi kita menjadi
teologi yang kosong dan tak berumah seperti yang dikatakan Song.

Kontekstual dapat dipahami sebagai dialog atau menurut David Tracy seperti yang dikutip oleh
Stephen B. Bevans kontekstual adalah dialog kritis timbal balik antara pengalaman masa lalu dan
pengalaman masa kini. Teologi adalah membiarkan pengalaman kita saat ini diukur dan dinilai
oleh kearifan klasik (Bevans 2010, 230). Song mencoba menghubungkan keadaan yang ada dan
terjadi pada masa sekarang ini dengan kearifan yang terjadi pada masa lalu yang ditulis dalam
Alkitab yang ditafsirkannya. Pertemuan dua keadaan itulah yang membuat Song bisa
menciptakan teologinya sendiri yang memang paling tepat untuk dijalankan olehnya dan
komunitasnya sesuai dengan latar belakang budaya dan sejarahi. Orientasi untuk memasukkan
atau memperkenalkan teologi berarti kita secara sadar memberikan atau menerima nasihat dari
orang kudus pada masa lalu dan masa kini (Kapic 2014, 86). Dari pendapat Kelly Kapic tersebut
yang sejalan dengan David Tracy kita memberikan pengalaman kita untuk diukur dengan
kebaikan pada masa lalu tapi Kapic menambahkan juga dengan masa kini mungkin untuk
menunjukkan bahwa kebaikkan yang tidak mutlak akan bertahan selamanya.

Teologi bukan ilmu yang terus menerus berbicara tentang Allah yang tidak bisa kita lihat.
Teologi harus bisa menjadi jawaban atas permasalahan-permasalahan yang terjadi secara factual
sehingga teologi tidak terjebak pada perbincangan abstrak tentang konsep yang tidak bisa
dibuktikan. Teologi harus bergerak kesegala arah artinya tidak hanya terbatas pada gerak vertikal
saja tetapi juga bergerak horizontal. Teologi dijalankan juga untuk sesame dan tidak hanya untuk
berbicara dengan Allah. Suatu hal yang percuma memiliki “pengetahuan yang banyak” tentang
Allah bila kita tidak bisa menerapkannya dalam hidup kita dengan menunjukkan teologi kita
pada sesama melalui tindakan nyata berbentuk kasih.

Kebudayaan tidak bisa ditinggalkan begitu saja walau dengan alasan apapun. Teologi seharusnya
timbul dari dalam kebudayaan itu sendiri dan tidak ditanam dari luar, artinya teologi harus
berbaur dan tumbuh dari dalam kebudayaan agar tidak bertentangan dengan kearifan lokal.
Mengapa teologi tidak bisa dipersatukan dengan kebudayaan lokal yang ada? Apakah semua hal
dari kebudayaan lokal selalu bertentangan dengan kekristenan? Apakah tidak bisa menggunakan
budaya lokal untuk menjelaskan teologi kekristenan? Teologi akan lebih mudah diterima jika
dibangun dari dalam kebudayaan itu sendiri. Seperti Song yang menjelaskan pandangan
teologinya dengan cerita-cerita rakyat yang ada di komunitasnya, hal tersebut menjadi jalan yang
digunakan oleh Song untuk mengenalkan pandangan teologis dengan sederhana.

Kontekstualisasi menjadi sautu hal yang penting mengingat perbedaan latar belakang budaya dan
sejarah yang ada dalam setiap komunitas. Allah adalah universal dan bukan milik sebuah agama
maupun kepercayaan tertentu. Allah bergerak bebas dan tidak terikat pada apapun. Allah milik
siapapun menurut cara pandang masing-masing orang dengan latar belakang masing-masing dan
tidak ada yang bisa membatasi Allah. Setiap agama atau kepercayaan mengarah pada kebaikan
hanya melalui jalan yang berbeda. Perbedaan pandangan pada Allah bukan sebuah permasalahan
yang perlu di besarkan dan dijadikan alasan perpecahan.

Daftar Acuan

Song, C.S. 1984. Tell Us Our Names. Maryknoll, New York: Orbis Book.

Timo, Ebenhaizer I Nuban. 2013. Gereja Lintas Agama: Pemikiran-Pemikiran Bagi Pembaharuan
Kekristenan di Asia. Salatiga: Satya Wacana University Press.

Bevans, Stephen B. 2010. Teologi dalam Perspektif Global. Flores: Ledalero.

Drewes, B.F. & Julianus Mojau. 2003. Apa itu Teologi: Pengantar Ke Dalam Ilmu Teologi. Jakarta: BPK
Gunung Mulia.

Kapic, Kelly M. 2014. Pedoman Ringkas Berteologi. Jakarta: Waskita Publishing.

Anda mungkin juga menyukai