Abstraksi
Saat ini hak LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) telah
menjadi bagian dari Universal Declaration of Human Rights atau Hak
Asasi Manusia Universal. Banyak gereja yang sampai hari ini masih
bergumul, bahkan tidak sedikit yang berada di ujung perpecahan karena
permasalahan ini. Gereja-gereja yang menolak telah mengajukan bebagai
pandangan berdasarkan Alkitab untuk menolaknya. Namun gereja-gereja
yang mendukung juga tidak kalah banyak memiliki kumpulan argumen
dari Alkitab untuk menyanggahnya. Karena itu, dalam tulisan ini akan
menelaah apa saja argumen-argumen dari Alkitab yang dikemukakan oleh
orang-orang Kristen pro LGBT ini. Benarkah Alkitab sesungguhnya
mendukung LGBT?
PENDAHULUAN
Sebuah berita mengejutkan datang dari Bank Dunia (World Bank),
pada akhir Februari 2014. Bank Dunia memutuskan untuk menunda
pemberian bantuan sebesar USD 90 juta (Rp1,35T) karena Presiden
Uganda, Yoweri Museveni, menandatangani UU Anti Gay. Bantuan untuk
obat-obatan dan perbaikan kesehatan di Uganda merupakan bantuan untuk
kesehatan ibu anak dan keluarga berencana, nampaknya dikalahkan oleh
kepentingan hak-hak para ‘gay’.1
Mengapa hal ini harus dipikirkan dan dipertimbangkan dengan
sungguh-sungguh?
Pertama, meskipun pemerintah negara Indonesia sampat saat ini
masih belum dapat menerima hak-hak asasi LGBT, namun tidak
dipungkiri jika suatu hari pemerintah negara Indonesia pasti akan
meratifikasi hak-hak LGBT, baik karena tekanan dari masyarakat
Indonesia maupun karena tekanan dari dunia internasional, mengingat hak-
1BBC New, “World Bank postpones $90m Uganda loan over anti-gay law”, 28 February
2014, https://www.bbc.com/news/world-africa-26378230 (28 Oktober 2018)
hak LGBT saat ini telah diterima oleh PBB. 2 Kedua, gereja-gereja di
Indonesia, khususnya para orang Kristen, harus mengambil sikap terhadap
isu LGBT ini. Tidak hanya karena desakan HAM, tetapi banyak gereja-
gereja di luar negeri telah menerima secara terbuka. Tidak hanya menerima
sebagai hak asasi, tetapi juga bersedia menyelenggarakan pernikahan gay.3
Ketiga, gereja-gereja di dunia pada saat ini telah terpecah pandangannya
mengenai LGBT ini. Dan tidak sedikit dari kedua pihak mengajukan
berbagai penafsiran Alkitabiah yang saling bertentangan sehingga
membingungkan kaum awam dalam mengambil keputusan.
Dengan demikian, bagaimana orang-orang Kristen harus bersikap
jika ada di antara anggota jemaat dan anggota keluarganya yang menjadi
anggota komunitas LGBT ini? Apakah sebenarnya dasar penafsiran
Alkitabiah untuk menerima/menolak kehidupan LGBT ini?
2 Riva Dessthania Suastha, CNN Indonesia, “Komisioner PBB Kecam Indonesia soal
Diskriminasi LGBT”, 7 Februari 2018,
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20180207163504-106-274611/komisioner-
pbb-kecam-indonesia-soal-diskriminasi-lgbt (11 Nopember 2018)
3Mengingat UU no. 1/1974, pernikahan di Indonesia tunduk di bawah hukum adat/agama.
Pencatatan sipil baru dapat dilakukan setelah ada pengesahan adat atau agama.
4 “History of homosexuality”,
https://en.wikipedia.org/wiki/History_of_homosexuality#Psychiatry (28 Oktober 2018)
5“Sexual Orientation & Homosexuality”, https://www.apa.org/topics/lgbt/orientation.aspx
(1 Nopember 2018)
OS homoseksualitas ini khas, berbeda dari komponen-komponen
seks dan seksualitas lainnya, seperti seks biologis (hal-hal yang mencakup
anatomi, fisiologi dan genetika yang membuat seseorang menjadi laki-laki
atau perempuan), identitas gender (penghayatan psikologis sebagai laki-
laki atau perempuan), dan peran sosial gender (menyangkut perilaku
maskulin atau perilaku feminin, yang definisinya diberikan berdasarkan
norma-norma kultural yang berlaku dalam suatu masyarakat).6
Biasanya OS dilihat mencakup tiga golongan, yakni heteroseksual
(tertarik secara seksual romantik terhadap mitra seks dari lain jenis),
homoseksual (tertarik secara seksual romantik terhadap mitra seks sejenis),
dan biseksual (tertarik secara seksual romantik terhadap mitra seks lelaki
dan mitra seks perempuan sekaligus). Sekarang ini OS dilihat dalam
spektrum yang lebih ‘berwarna-warni’ yang biasanya disebut sebagai
spektrum OS LGBTIQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex,
Queer). Ini harus ditambah dengan OS hetero, menjadi HLGBTIQ.7
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) PBB pada 17 Mei 1990,
mengambil posisi yang sama. Dan Komisi HAM PBB juga pada tanggal
26 September 2014 memutuskan untuk mendukung dan mengakui
sepenuhnya HAM kaum LGBT sebagai bagian dari “HAM yang
universal”. 8 Jumat, 26 Juni 2015, Mahkamah Agung Amerika Serikat
mengambil sebuah keputusan penting melegalisasi perkawinan sesama
jenis seks untuk seluruh warganegara Amerika di seluruh negara bagian.9
6Ibid.
7Ibid.
8 “LGBT rights at the United Nations”,
https://en.wikipedia.org/wiki/LGBT_rights_at_the_United_Nations (1 Nopember 2018)
9Ericssen, “Mahkamah Agung Amerika Legalkan Pernikahan Sesama Jenis”, Kompas.com,
26 Juni 2015,
https://internasional.kompas.com/read/2015/06/26/23073761/Mahkamah.Agung.Amerika.
Legalkan.Pernikahan.Sesama.Jenis (1 Nopember 2018)
gangguan mental; tetapi ketidaksiapan si individu untuk menerima OS-nya
yang LGBT (lantaran stigma negatif banyak diarahkan masyarakat kepada
orang LGBT, juga oleh orangtua dan keluarga sendiri) dapat menimbulkan
gangguan mental pada dirinya, mulai dari rasa cemas, stres, depresi,
kecanduan narkotik, tidak percaya diri, berkeliaran di jalan-jalan, hingga
kemungkinan bunuh diri, atau dia berusaha mencari bantuan untuk diterapi
menjadi heteroseksual. Dalam psikologi, LGBT jenis ini digolongkan
LGBT tipe distonik.10
Pada 19 Februari 2016 Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter
Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI) yang menyatakan
bahwa homoseksualitas dan biseksualitas dapat dikategorikan sebagai
Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK), dan kalangan transeksualitas
sebagai Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Menurut mereka, semua
kalangan OS ini perlu “direhabilitasi” dan riset tentang OS perlu dilakukan
berbasis kearifan lokal, budaya, aspek religi, dan spiritual bangsa. 11
Pada 9 Maret 2016, ketua American Psychiatric Association
(APA), Ms. Renée Binder, bersama Saul Levin, menulis surat resmi
kepada PDSKJI. Lewat surat itu, APA mendesak PDSKJI untuk meninjau
kembali posisi PDSKJI yang menyatakan bahwa homoseksualitas (atau
LGBT) tergolong suatu gangguan jiwa atau suatu penyakit mental. APA
menegaskan bahwa “ada suatu komponen biologis yang kuat yang
membentuk OS, dan bahwa OS dapat dipengaruhi oleh interaksi faktor-
faktor genetik, hormonal dan lingkungan kehidupan. Pendek kata, tidak
ada bukti ilmiah bahwa OS (baik heteroseksual, homoseksual, maupun
yang bukan) adalah suatu pilihan bebas individual.”12
Uniknya adalah dari kelompok-kelompok agama di Indonesia,
kelompok Budhis tidak menolak secara tegas 13 , kelompok Muslim
menolak secara tegas dan kompak14, dan kelompok Kristen yang paling
membingungkan. Terutama setelah badan organisasi tertinggi gereja-
gereja di Indonesia membuat suatu pernyataan sikap PGI dalam surat
Maret 2016,
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/03/160316_indonesia_lgbt_psikiat
ri_indonesia (28 Oktober 2018)
12Ibid.
13 “Bagaimana pandangan Buddhisme mengenai LGBT?”, 2015,
http://www.buddhamettaclub.com/question/bagaimana-pandangan-buddhisme-mengenai-
lgbt/ (29 Oktober 2018)
14 Tempo.co, “Alasan MUI Tolak LGBT, Apa Saja?”, 17 Februari 2016,
https://nasional.tempo.co/read/745866/alasan-mui-tolak-lgbt-apa-saja (29 Oktober 2018)
edaran nomor 360/PGI-XVI/2016 tertanggal 17 Juni 2016, menyatakan
bahwa pernyataan sikap ini diambil setelah melakukan studi dan
pendalaman yang komprehensif.15
15 http://pgi.or.id/wp-content/uploads/2016/06/Pernyataan-Sikap-PGI-tentang-LGBT.pdf
(29 Oktober 2018)
16Jack Rogers, Jesus, the Bible, and Homosexuality (Westminster: John Knox Press. Kindle
Edition.), 34
17Ibid., 18.
18Ibid., 44.
19Ibid.
Ketiga, pusat pemberitaan Alkitab adalah tentang Kristus, sang
Penebus. Menurut Rogers, tidak mungkin Tuhan Yesus memalingkan
muka terhadap kelompok homoseksual sebagaimana yang dilakukan oleh
gereja-gereja pada saat ini. Jika pemberitaan gereja tetap berfokus pada
Tuhan Yesus, maka seharusnya gereja dapat mengerti lebih dalam akan
makna Injil sebelum mendiskusikan mengenai homoseksualitas sebagai
saudara-saudari dalam Kristus.20
Keempat, hanya ada 8 (delapan) ayat dalam Alkitab yang
ditafsirkan menjadi standar penolakan akan LGBT. Kedelapan ayat
tersebut adalah Kejadian 19:1-29; Hakim-hakim 19:1-30; Imamat 18:1-30;
20:1-27; 1 Korintus 6:9-17; 1 Timotius 1:3-13; Yudas 1-25; dan Roma 1.
Menurut Rogers, tidak ada satupun dari ayat-ayat ini menyatakan tentang
Kristus maupun ajaran-Nya.21
Sebelumnya, Rogers mengingatkan bahwa Alkitab harus dibaca di
dalam konteks gramatikal dan historikal, jangan secara alegoris atau
dengan khayalan yang subyektif. Apakah ayat-ayat keberatan yang
diajukan dari Alkitab yang mengecam aktivitas seksual penyembahan
berhala dan asusila adalah tepat jika dipakai untuk menolak relasi seksual
orang-orang Kristen LGBT yang tidak menyembah berhala dan juga tidak
melakukan kegiatan asusila?22 Menurut ahli PB, Richard Hays, tidak ada
kata dalam bahasa Yunani dan Ibrani yang menggambarkan tentang
homoseksualitas.23Alkitab, dalam bahasa asli Yunani dan Ibrani, tidak ada
konsep seperti pengertian orientasi seks homoseksualitas seperti pada masa
kini.24
Kejadian 19:1-29 & Hakim-hakim 19:1-30. Menurut Rogers,
dalam Perjanjian Lama, dosa dari kota Sodom digambarkan sebagai
keserakahan, ketidakadilan, tidak ramah, kekayaan yang berlebihan,
ketidakpedulian terhadap orang miskin, dan berbagai kejahatan lainnya.
Dalam Perjanjian Baru, ketika Tuhan Yesus merujuk dosa dari Sodom,
dalam Lukas 10:12 dam Matius 10:15, Ia sebenarnya sedang memberikan
penilaian atas kota-kota yang menolak kedatangan murid-murid-Nya.
Fokus tentang aspek homoseksual dalam kisah Sodom baru muncul
belakarngan, dalam literatur-literatur Yunani di laur Alkitab, yang
dipengaruhi oleh filsafat Yunani, dan juga dalam Al-Qur’an.25
20Ibid., 55-56.
21Rogers, 66
22Ibid., 57.
23Richard B. Hays, “Awaiting the Redemption of Our Bodies,” Sojourners 20 (July 1991):
18.
24Rogers, 188.
25Ibid., 68
Imamat 18:1-30; 20:1-27. Kitab Imamat termasuk kumpulan
hukum yang dikenal sebagai Aturan tentang Kekudusan, karena ide yang
dominan adalah perintah Allah: “Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN,
Allahmu, kudus” (Imamat 19: 2). Kedua pasal dalam kumpulan aturan ini
dikutip oleh mereka yang menolak homoseksualitas sebagai larangan yang
eksplisit terhadap homoseksualitas, khususnya 18: dan 20:13. Karena itu,
mereka mengembangkan Aturan Kekudusan untuk mendefinisikan
identitas agama, kewarganegaraan, dan identitas budaya mereka. Aturan
Kekudusan ini berfungsi untuk mencapai ‘kemurnian dari kekudusan’
yang mereka cari.26
Kata “toevah” dalam bahasa Ibrani, diterjemahkan sebagai
‘kekejian’, merujuk pada sesuatu yang membuat seseorang menjadi tidak
kudus secara ritual, seperti melakukan hubungan intim dengan wanita yang
sedang menstruasi. Kekudusan secara ritual merupakan suatu yang penting
untuk membedakan bangsa Israel dengan bangsa-bangsa di sekitarnya
yang masih belum percaya Tuhan.27
Saat Tuhan Yesus memenuhi hukum Taurat (Matius 5:17), dapat
dimengerti bahwa apa yang ada terjadi bukanlah untuk mempertahankan
hukum-hukum dalam konteks budaya yang berlangsung saat itu, tetapi
merupakan konteks dalam karya Kristus yaitu untuk mengasihi Allah dan
mengasihi sesama manusia (Matius 22:36-40). Jika ayat-ayat dalam
Imamat ini dilepaskan dari konteks historis dan budaya saat itu kemudian
diterapkan secara langsung kepada orang-orang Kristen homoseksual yang
beriman kepada Tuhan, maka ayat-ayat ini menjadi ayat-ayat yang kejam
terhadap mereka. Mereka dikecam karena kegagalan untuk menyesuaikan
diri terhadap aturan budaya yang kuno, yang sebenarnya sudah tidak
berlaku lagi dalam situasi dan kondisi pada masa kini.28 Bahkan Profesor
Marion Soards, yang sebenarnya menolak homoseksualitas, juga setuju
bahwa tidak mungkin untuk menyatakan relevansi yang diperlukan dari
ayat-ayat tersebut untuk dunia saat ini.29
1 Korintus 6:9-17 & 1 Timotius 1:3-13. Apa yang menjadi masalah
dalam ayat-ayat ini adalah kata dalam bahasa Yunani asli “arsenokoites”
dan “malakos”, yang oleh beberapa ahli diperdebatkan sebagai kata yang
merujuk pada aktivitas homoseksual laki-laki. Kedua kata ini terdapat
dalam 1 Korintus 6: 9 dan “arsenokoites” tertulis beberapa kali dalam 1
26Ibid.
27Rogers, 69
28Ibid.,
69-70.
29Marion L. Soards, Scripture and Homosexuality: Biblical Authority and the Church Today
30Rogers, 70.
31 Dale B. Martin, “Arsenokoites and Malakos: Meanings and Consequences,” dalam
Biblical Ethics and Homosexuality: Listening to Scripture, ed. Robert L. Brawley
(Louisville, KY: Westminster John Knox Press, 1996), 129.
32Martti Nissinen, Homoeroticism in the Biblical World: A Historical Perspective, trans.
36Rogers, 72.
37Ibid.,76.
38Jeffrey S. Siker, “Gentile Wheat and Homosexual Christians: New Testament Directions
for the Heterosexual Church,” dalam Biblical Ethics and Homosexuality: Listening to
Kelima, Kejadian 1 bukanlah tentang masalah heteroseksualitas
dan pernikahan, tetapi tentang manusia sebagai gambar dan rupa Allah.
Phyllis Bird, seorang ahli Perjanjian Lama, menyatakan bahwa hukum dan
tradisi yang mengatur hubungan seksual dan perkawinan di Israel kuno
tidak pernah mengacu pada teks penciptaan sebagai modelnya. 39 Beliau
menyatakan Kejadian 1 sebenarnya menggambarkan manusia itu seperti
gambar rupa Tuhan atau tidak. Manusia dibuat menurut gambar dan rupa
Allah, sehingga mereka terpisah dari dan lebih unggul dari hewan lain.
Tetapi dalam seksualitas mereka, diidentifikasi sebagai pria dan wanita,
bukan sebagai suami dan istri.40 Victor Furnish menjelaskan lebih lanjut
bahwa berbeda dengan semua dewa di daerah Timur Dekat Purba, Tuhan
Israel dianggap sebagai aseksual. Dengan demikian dalam seksualitas
mereka, manusia sama seperti spesies yang diciptakan lainnya dan tidak
seperti Tuhan.41
Furnish menegaskan bahwa Kejadian 2: 23–25 “neither commands
nor presumes a ‘monogamous’ relationship between man and woman
and … it offers no comment on ‘marriage’ as such.” Selain itu, para
pahlawan iman Perjanjian Lama banyak yang tidak melakukan monogami,
melainkan mengikuti pola budaya mereka, dengan banyak istri, selir, dan
budak sebagai pasangan seksual. Alkitab tidak hanya mengijinkan tetapi
juga terlihat mengamanatkan perilaku tersebut. Meskipun demikian, hidup
yang “beranak-cuculah dan bertambah banyak” tidak berarti bahwa setiap
orang harus menikah dan bereproduksi, karena kisah-kisah penciptaan
“tidak memperhitungkan apa pun yang secara fisik atau mental terganggu,
selibat, impoten — atau mereka yang di zaman modern telah digambarkan
sebagai ‘homoseksual’.” 42
Gagasan akan model monogami dan pernikahan heteroseksual
yang disebutkan terkandung dalam Kejadian 1 nampaknya tidak benar
sama sekali. Terlihat ada suatu kerangka buatan yang sengaja dirancang
untuk menolak hak-hak pernikahan bagi kaum homoseksual. David Balch,
Guru Besar Perjanjian Baru di Brite Divinity School, mengamati bahwa di
mana teologi penciptaan ditekankan, seperti yang dilakukan oleh mereka
yang menentang kesetaraan untuk kaum gay dan lesbian, ditekankan
tentang “subordinasi dan kepatuhan.” Di sisi lain, di mana sebuah teologi
Scripture, ed. Robert L. Brawley (Louisville, KY: Westminster John Knox Press, 1996),
143.
39Phyllis A. Bird, “The Bible in Christian Ethical Deliberation concerning Homosexuality:
Old Testament Contributions,” dalam Homosexuality, Science, and the “Plain Sense” of
Scripture, ed. David L. Balch (Grand Rapids: Eerdmans, 2000), 167
40Ibid.
41Furnish, 22.
42Ibid., 23.
penebusan, seperti yang ditawarkan Paulus dalam Roma 3, ditekankan,
“kebebasan, mutualitas, dan kesetaraan.” 43
Menurut Rogers, model kontemporer perkawinan Kristen adalah
yang baik untuk orang heteroseksual adalah satu pria dan satu wanita harus
menikah seumur hidup jika mereka memilih, menanggung dan merawat
anak-anak. Namun model ini tidak ditemukan dalam Kejadian. Selain itu,
masyarakat Barat berabad-abad untuk mencapainya. Meskipun demikian,
setengah dari orang-orang heteroseksual dalam masyarakat Amerika tidak
mengikuti prinsip ini sebagai tujuan pernikahan heteroseksual pada masa
kini. Di sisi lain, banyak orang gay dan lesbian Kristen justru lebih
berkomitmen pada satu pasangan seumur hidup. Banyak dari mereka yang
menyokong pemeliharaan kesejahteraan untuk anak-anak dan beberapa
bahkan telah mengadopsi anak-anak dengan kebutuhan khusus. Mereka
tampaknya telah mendapatkan inti dari model pernikahan Kristen
kontemporer dan telah menghidupinya.44
Secara alkitabiah, Yesus Kristus adalah gambar dan rupa Allah
(Kolose 1:15; 2 Korintus 4:4). Tetapi gambar dan rupa Tuhan dalam Yesus
bukanlah konsekuensi dari beberapa atribut manusia yang unik, seperti
status laki-laki atau perkawinan. Hal ini lebih merupakan hasil dari refleksi
cinta kasih Tuhan sepenuhnya dalam hidup manusia. Manusia hanya dapat
mencerminkan kasih Tuhan secara sporadis dan parsial, sedangkan Yesus
menunjukkan kepada manusia akan kasih Tuhan secara konsisten dan utuh.
Injil, kabar baik, adalah berita bahwa semua orang dapat memiliki
hubungan dengan Allah melalui Yesus Kristus. Dengan demikian, gambar
dan rupa Tuhan bukanlah kapasitas yang terwujud hanya dalam beberapa
kelompok orang tetapi tidak terjadi dalam kelompok lainnya. Berada
dalam gambar dan rupa Allah adalah dimungkinkan bagi semua orang –
hitam putih, pria wanita, homoseksual heteroseksual, menikah tidak
menikah.45
Keenam, orientasi seksualitas yang berbeda bukanlah suatu dosa.
Salah satu masalah dengan argumen ini adalah bahwa kejatuhan manusia
adalah universal atau tidak. Tidak dapat dibantah bahwa setiap orang jatuh
ke dalam dosa dan kemudian suatu kelompok orang tertentu lebih jatuh
lagi. Lebih jauh lagi, Hays membuat asumsi tentang apa yang Allah ingin
ciptakan. Seperti yang telah ditunjukkan, contoh-contoh dari dunia
binatang menunjukkan bahwa Tuhan cukup jelas bermaksud untuk
menciptakan hewan homoseksual. Bukti ilmiah terbaik juga menunjukkan
pengaruh genetik pada orientasi seksual, serta perbedaan biologis yang
46Ibid.,
81
47Hays,13.
48Rogers, 81-82.
49 Michael L. Brown, Can You Be Gay and Christian? (Charisma House. Kindle Edition),
46.
juga Rasul Paulus, yang menyatakan bahwa tidak ada orang Yahudi
maupun non-Yahudi di dalam Tuhan Yesus dan tidak ada budak maupun
orang merdeka di dalam-Nya, juga tidak ada perbedaan antara laki-laki
maupun perempuan di dalam Krsitus – yang pada saat itu merupakan
konsep yang radikal pada masa itu.50
Demikian juga tidak ada satupun ayat dalam Alkitab yang
mengijinkan tentang homoseksualitas atau praktek LGBT. Bahkan juga
tidak ada seorang pun pemimpin atau pribadi yang memiliki orientasi seks
homoseksual yang disebutkan. Beberapa orang yang diperkirakan sebagai
homoseksual itu pun merupakan hasil dari tafsiran non-literal di luar
budaya dan konteks yang sebenarnya. Sebaliknya pernyataan adanya
tokoh-tokoh yang cenderung memperlihatkan perilaku yang homoseksual
justru sebenarnya menentang pendapat para pendukung kaum
homoseksual yang menyatakan tidak ada istilah homoseksual dalam
bahasa Ibrani maupun Yunani.
Juga tidak terdapat ayat-ayat dalam Perjanjian Baru yang
merendahkan para wanita maupun peranannya. Yang adalah adalah
panggilan untuk wanita agar taat dan menghormati suami mereka, yang
disejajarkan dengan panggilan kepada para pria untuk mengasihi para
istrinya, dengan mengambil teladan bagaimana Kristus yang mengasihi
gereja-Nya dengan merendahkan diri untuk melayani. Sehingga para pria
yang dipanggil untuk menjadi kepala keluarga, di dalam Alkitab, adalah
para pria yang melayani dan mengasihi keluarganya. Bukan yang menekan
dan menindas istrinya.
Ini berbeda dengan penggunaan Alkitab oleh para pendukung
LGBT. Mereka melihat hal yang justru kontras dengan pernyataan Alkitab.
Jika dari kaum heteroseksual terlihat adanya kesatuan pria-wanita di dalam
strata hierarki yang seimbang dan merupakan lambang dari kasih Kristus,
maka mereka melihat bahwa ini hanya suatu opsi atau contoh belaka. Jika
dalam masalah perbudakan dan hak-hak wanita ada banyak ayat yang
tersirat maupun tersurat mendukung kemerdekaan individual dan hak-hak
yang penuh dari wanita, namun tidak ada satu kalimatpun dalam Alkitab
yang mendukung hak-hak para LGBT. Bahkan di dalam setiap penyebutan
dalam Alkitab, selalu disertai dan dikelompokkan sebagai suatu dosa dan
perbuatan asusila secara jelas.51
William Webb, dalam analisanya secara hermenutik mengenai
hak-hak wanita dan perbudakan, menyimpulkan, ““Hasil perbandingannya
adalah bahwa teks-teks yang mendukung homoseksual berada dalam
kategori yang berbeda dari teks-teks mengenai hak-hak wanita dan
50 Ibid., 72.
51 Ibid., 75.
perbudakan. Yang pertama hampir seluruhnya bersifat transkultural,
sedangkan yang kedua sangat terikat oleh budaya.” 52 Sebaliknya, gaya
hidup LGBT sama sekali tidak terkait dalam ayat apapun dengan perilaku
yang digerakkan dalam kasih karunia. Juga tidak pernah menjadi suatu
praktika yang diatur sebagai etika Injil yang memenuhi syarat ataupun
dapat menjadi contoh teladan dari kasih sejati dari Kristus. Sebagai contoh,
hierarki suami-istri merupakan teladan dalam etika Kristen tentang
ketundukan bersama dan kasih yang memberi diri dalam kasih seorang
suami yang berakar secara kristologis, seperti yang terdapat dalam Efesus
5:21–33.53
Kedua, masalah standar ganda dalam pelaksanaan perintah Tuhan
Yesus. Tidak tepat jika dikatakan bahwa Tuhan Yesus tidak berbicara
apapa tentang masalah ini. Dalam kenyataannya, Tuhan Yesus
menegaskan kembali dan justru memperdalam pengertian dari Hukum
Taurat. Tuhan Yesus dengan tegas menyatakan bahwa semua tindakan
seksual di luar pernikahan adalah suatu pencemaran, dan juga menyatakan
dengan tegas bahwa pernikahan yang dimaksudkan Allah merujuk pada
kesatuan seumur hidup antara seorang pria dan seorang wanita. Sedangkan
untuk mereka yang selibat — karena kelahiran atau pilihan atau karena
tindakan orang lain — mengacu pada mereka yang menahan diri dari
aktivitas seksual dan pernikahan (atau yang tidak dapat terlibat dalam
aktivitas seksual). 54 Tuhan Yesus tidak perlu harus mengutuknya seara
khusus sebagaimana juga dosa perilaku yang seperti binatang, karena
setiap orang Yahudi – yang menjadi kelompok pertama dari tujuan
pemberitaan Injil-Nya – adalah orang-orang yang takut akan Tuhan dan
sudah tahu akan hal-hal yang jelas-jelas dilarang dalam Hukum Taurat.
Perilaku homoseksual dilarang dengan jelas dalam kitab Taurat dan
dikenal sebagai salah satu dari berbagai dosa seksual (porneia) yang
terlarang bagi orang Yahudi. 55 Sebaliknya, masalah perceraian —
khususnya, pertanyaan tentang apa dasar yang sah untuk perceraian —
adalah isu hangat di antara masyarakat Yahudi saat itu.
Lalu bagaimana Tuhan Yesus mengatasi masalah praktek
homoseksual? Pertama, dalam Matius 5:17-20, dalam Khotbah di Bukit,
Tuhan Yesus menjelaskan bahwa Ia tidak datang untuk “…meniadakan
hukum Taurat atau kitab para Nabi, melainkan untuk menggenapinya, ”
56Brown, 82.
dalam Kejadian, tidak ada dalam Keluaran, dua dalam Imamat, tidak ada
dalam Bilangan, dan satu dalam Ulangan — artinya, hanya sedikit rujukan
negatif di seluruh Pentateukh, juga dikenal sebagai Taurat. Bahkan
kebanyakan orang Kristen merasa bahwa Hukum Musa mengutuk praktek
homoseksual berulang kali. Tampaknya hal ini tidak dipermasalahkan.
Dalam kitab-kitab sejarah, makna dari Yosua kepada Ester, ada dua belas
kitab, rujukan praktek homoseksual hanya ditemukan dalam tiga bagian
(Hak. 19: 16–24; 1 Raja-raja 14:24; 15:12; 2 Raja-raja 23: 7), sementara
dalam kitab para nabi, dari Yesaya ke Maleakhi, tidak ada satupun rujukan
tentang praktek homoseksual. Hal yang sama juga tidak terdapat dalam
kelima kitab puisi dan hikmat.57
Mengenai makna dari kata kekejian (‘toevah’) sangat mudah untuk
melihat bahwa kata “kekejian” sering memiliki nuansa moral dalam kitab-
kitab Taurat dan secara konsisten mengacu pada hal-hal yang harus
dihindari oleh orang-orang Kristen. Selain itu juga ada banyak aturan-
aturan yang Tuhan berikan kepada bangsa Israel untuk memisahkan
mereka dari bangsa-bangsa. Dan aturan yang menentang praktek
homoseksual ada dalam ruang lingkup dan maksud yang bersifat universal
ini– dengan kata lain, tidak hanya untuk Israel tetapi untuk semua bangsa.58
Tuhan berkata dengan jelas bahwa Ia menghakimi bangsa Mesir
dan bangsa Kanaan — penyembah berhala yang menyembah berhala,
menurut Alkitab — karena melakukan dosa-dosa ini, bahkan menyatakan
bahwa dengan mereka melakukan dosa-dosa ini, tanah itu menjadi najis
dan memuntahkan mereka. Sebaliknya, Tuhan tidak pernah mengatakan
bahwa Ia menghakimi bangsa-bangsa di dunia karena memakan binatang
yang tidak bersih atau menabur ladang mereka dengan dua jenis benih yang
berbeda atau masalah mengenakan pakaian dengan kain campuran. Juga
tidak mengatakan bahwa tanah memuntahkan mereka untuk melakukan
hal-hal ini.
Tetapi Tuhan mengatakan bahwa tentang dosa-dosa yang
tercantum dalam Imamat 18, termasuk praktek homoseksual bahwa semua
dosa ini secara bersama-sama digambarkan sebagai ‘toevah’, kekejian,
atau hal-hal yang menjijikkan. Tuhan memasukkan praktek inses,
kebinatangan, praktek homoseksual, perzinahan, dan pengorbanan anak-
anak untuk Molech dalam kategori ini. Semua ini merupakan “kejijikan”
dalam pandangan-Nya dan sama-sama memiliki konsekuensi yang
mengerikan bagi bangsa-bangsa yang melakukannya. Tetapi hanya praktek
homoseksual laki-laki yang dipilih di dalam Imamat 18 sebagai suatu
‘to'evah’, kekejian, atau hal yang menjijikkan.59
57Ibid., 83.
58Ibid., 111.
59Ibid., 115-116.
Bahkan, di seluruh Kitab Imamat, praktek homoseksual adalah
satu-satunya dosa spesifik yang dipilih sebagai ‘kekejian’. Selain itu, itu
adalah salah satu dari sedikit dosa yang tercantum dalam Imamat yang
menuntut hukuman mati, bersama dengan pengorbanan anak-anak untuk
Molekh, mengutuk ayah atau ibu seseorang, dan melakukan perzinahan,
kebinatangan, atau inses (Imamat 20: 1–16) – dengan jelas bukan sekedar
suatu pelanggaran seremonial belaka.
Karena itu, pelarangan terhadap aktivitas seksual sesama jenis
tidak hanya dalam konteks penyembahan berhala, seperti yang terlihat
dalam Imamat 20:13. Kedua, pelarangan terhadap aktivitas seksual sesama
jenis bukan merupakan salah satu dari aturan khusus yang dimaksudkan
untuk menjaga Israel terpisah dari bangsa-bangsa, karena itu diberikan
sebagai larangan moral universal, sebagaimana yang kita catat dengan
mengacu pada Imamat 18. Dan yang ketiga, karena itu dianggap oleh
Tuhan untuk menjadi perilaku yang berdosa bagi Israel dan bangsa-bangsa
sekitarnya yang belum mengenal Tuhan. Dengan demikian aturan ini tetap
merupakan larangan bagi orang Kristen sampai hari ini.
Masuk ke dalam Perjanjian Baru, Paulus melihat praktek
homoseksual sebagai akibat langsung dari penolakan manusia terhadap
Tuhan, suatu hal yang bertentangan dengan tatanan ciptaan-Nya, dan
Paulus mendaftarkan hal ini bersama dengan banyak praktek dosa lainnya.
Meskipun perdebatan tentang arti dari kata-kata Yunani yang tepat yang
digunakan dalam 1 Korintus dan 1 Timotius, tidak ada keraguan bahwa
dalam kedua bagian itu Paulus sedang mengutuk praktek homoseksual.
Kabar baiknya adalah bahwa ia menyatakan bahwa darah Yesus dapat
menyelamatkan manusia dari dosa homoseksual.60
Ali Salim dalam penyelidikannya menyimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan banci (malakoi) dan orang pemburit (arsenokoitai)
adalah orang-orang yang mempraktekkan hubungan seksual dengan
sesama jenis. Kedua kata ini diletakkan oleh Paulus secara berdampingan
untuk menyikapi larangan untuk disodomi maupun menyodomi yang
biasanya dilakukan oleh kaum homoseksual. I Korintus 6:9-10 mempunyai
hubungan dengan Imamat 18:22 dan 20:13, dan dalam kedua bagian ini
Tuhan melarang bangsa Israel untuk melakukan hubungan seksual dengan
sesama jenis. Walaupun 1 Korintus 6:9-10 hanya berbicara tentang praktek
homoseksual yang dilakukan oleh pria namun hal ini juga berlaku bagi
kaum lesbian, seperti yang Paulus ungkapan di Roma 1:26-27.61
Dari Kejadian sampai Wahyu, secara eksplisit menyajikan dan
menggunakan heteroseksualitas sebagai norma yang dimaksudkan secara
60Ibid.,
158.
61 AliSalim, “Siapakah Yang Dimaksud Dengan Banci Dan Orang Pemburit Dalam I
Korintus 6:9-10?”, (75-82) Jurnal Theologi Aletheia Vol. 18 No.11, September 2016, 81
ilahi. Bahkan, daripada menuduh gereja membuat orang LGBT merasa
tidak nyaman, akan lebih akurat untuk menuduh Alkitab sebagai
keseluruhan membuat mereka merasa tidak nyaman.62
Kelima, bahwa gambar dan rupa Allah yang tidak menyatakan
heteroseksualitas secara spesifik. Dalam Kejadian 1, Allah menciptakan
manusia ('adam dalam bahasa Ibrani) menurut gambar dan rupa-Nya
sendiri, menciptakan mereka dalam rupa pria dan wanita, dan Dia
memberkati mereka dengan kata-kata ini: “Beranakcuculah dan bertambah
banyak; penuhilah bumi…” (ayat 28). Hal ini cukup signifikan, karena,
meskipun benar bahwa ada laki-laki dan perempuan yang mungkin mandul,
memerlukan sepasang pria dan wanita untuk dapat beranak cucu,
bertambah banyak dan memenuhi bumi. Maka sejak awal penciptaan,
ketika manusia diciptakan menurut gambar rupa Allah dan diberkati oleh-
Nya, manusia diciptakan heteroseksual, diberkati dengan tujuan ilahi yang
hanya dapat dipenuhi oleh kaum heteroseksual.63
Ketika Tuhan menciptakan manusia dalam gambar dan rupa-Nya.
Ia menciptakan manusia itu terdiri dari laki-laki dan perempuan dan berkat
yang diucapkan-Nya atas manusia sejak awal adalah berkat heteroseksual.
Jadi, sejak dari pasal pertama kitab pertama Alkitab, pasangan
homoseksual yang membaca Kejadian 1 dapat dengan mudah dikecualikan,
karena ciptaan Allah yang unik dari manusia menggambarkan relasi yang
heteroseksualitas — atau, lebih khusus lagi, memperjelas bahwa Allah
menciptakan kita heteroseksual sejak awal mulanya.
Keenam, bahwa orientasi seksualitas yang berbeda bukanlah suatu
dosa. Tuhan Yesus tidak hanya secara eksplisit menegaskan kembali kisah
penciptaan dari pernikahan sebagai persatuan satu-daging dari seorang pria
dan seorang wanita (Matius 19: 4-6; Markus 10: 6–9) namun juga
mengutuk dosa ‘porneia’ (Markus 7: 21), sebuah kata luas yang mencakup
setiap jenis dosa seksual. Leksikon Perjanjian Baru pada umumnya
mendefinisikan ‘porneia’ sebagai “hubungan seksual yang tidak sah,
prostitusi, ketidaksucian, percabulan.”64
Larangan praktek homoseksual diberikan kepada Israel karena
praktek ini salah untuk semua orang di semua generasi, yang berarti itu
secara intrinsik adalah berdosa. Mengapa? Salah satu alasan utamanya
adalah bahwa Tuhan merancang pria untuk wanita dan wanita untuk pria,
dan untuk bergabung dengan pria dengan pria atau wanita dengan seorang
wanita adalah melakukan dosa secara mendasar terhadap rancangan dan
tujuan-Nya.
62Brown,83-84.
63Ibid.,
85.
64DeYoung, 74-75
Dosa seksual tidak pernah dianggap adiafora, masalah
ketidakpedulian, masalah setuju-untuk-tidak setuju seperti aturan tentang
makanan atau hari-hari suci (Roma 14: 1–15: 7). Sebaliknya, amoralitas
seksual adalah dosa yang menjadi ciri orang-orang yang tidak akan masuk
ke dalam kerajaan surga. Setidaknya ada delapan teks dalam Perjanjian
Baru (Markus 7: 21-22; Roma 1: 24–31; 13: 13; 1 Korintus 6: 9–10; Galatia
5: 19–21; Kolose 3: 5–9; 1 Timotius 1: 9–10; Wahyu 21: 8) dan percabulan
ada dalam semua bagian ini.65
65Ibid.
66Peter J. Gomes, The Good Book: Reading the Bible With Heart and Mind (San Francisco:
Harper, 1996), 146.
67C. S. Lewis, Mere Christianity (New York: HarperCollins Publishers, 2009), 227.
seksualnya. Mereka tidak tertarik kepada lawan jenis, tetapi mereka
tertarik kepada sesama jenis.
Sikap simpati diperlukan bagi seorang homoseksual dan perlu ada
kesadaran bahwa seseorang yang akhirnya menjadi homoseksual biasanya
setelah melalui pergumulan yang berat. Jadi kita mesti memahami sisi
penderitaan ini.
Tetapi jelas Tuhan tidak menghendaki manusia melakukan
hubungan seks dengan sesama jenis, jadi orang Kristen yang benar tidak
dapat memasuki penerimaan macam ini, tetapi kita terus berjalan dalam
fase pergumulan. Sebagai teman sepersekutuan atau teman segereja yang
menghadapi kenyataan seperti itu sebaiknya bersikap dengan baik. Kita
harus menekankan dan mengadopsi cara Tuhan menghadapi manusia,
sebagaimana Tuhan Yesus pernah berkata, “Aku datang bukan untuk
menghakimi tapi menyelamatkan manusia dari dosa.” Jadi Tuhan selalu
menggunakan cara, pendekatan cinta kasih, Tuhan melihat kita berdosa
dan memanggil kita, Tuhan terus menantikan kita. Maka yang paling dapat
kita lakukan adalah membentuk suatu kelompok, yang jika memungkinkan
dengan mengumpulkan orang-orang yang mempunyai pergumulan yang
sama dengan homoseksualitas. Dalam kelompok inilah kita dapat tumbuh
bersama, berdoa bersama, dan saling menguatkan satu sama lain.
Daftar Pustaka
Gomes, Peter J. The Good Book: Reading the Bible With Heart and Mind.
San Francisco: Harper, 1996.
Internet
“Bagaimana pandangan Buddhisme mengenai LGBT?,” 2015.
http://www.buddhamettaclub.com/question/bagaimana-pandangan-
buddhisme-mengenai-lgbt/ (29 Oktober 2018)
“History of homosexuality”
https://en.wikipedia.org/wiki/History_of_homosexuality#Psychiatry
(28 Oktober 2018)