Sebenarnya ke-6 butir itu tumpang tindih. Bisa diringkas menjadi 3 saja: Kompetensi pendidikan (teologi dan konteks pelayanan) dan pelatihan Independensi kreatifitas dan tanggungjawab Komitmen spiritualitas dan etika
Pendekatan etika
Trull dan Carter menghubungkan antara etika karakter (being a good person) dengan etika tindakan (doing the right thing) melalui apa yang mereka sebut etika integritas (visi moral) Meskipun mengakui perlunya kode etik, mereka memeringatkan bahaya legalisme yang bagi mereka merupakan bahaya virus agama
Di kalangan gereja-gereja Indonesia, pendekatan deontologis (apa aturannya?) paling banyak dipilih, akibatnya banyak gereja terjebak dalam legalisme. Padahal legalisme (para ahli Torat) ditentang dengan keras oleh Yesus. Ketergantungan dan pemutlakan pada aturan tertulis juga cenderung meremehkan profesionalisme para pendeta
Semakin detail peraturan dibuat, semakin kecil ruang yang tersedia bagi para pendeta untuk mengembangkan profesionalisme mereka
Mereka cenderung menjadi operator saja, bukan profesional
Hubungan sejawat (kolegialitas) Hubungan dengan masyarakat luas Sorotan khusus tentang Pelecehan Seksual
Kode Etik
Mengapa perlu sebuah kode etik?
Kompleksitas masalah yang dihadapi para profesional seringkali ambivalen, para profesional tidak mudah mengambil keputusan yang objektif secara cepat Profesional seringkali terlalu terfokus pada teknikalitas pekerjaan, lupa pada dimensi etisnya Para profesional perlu pelindung dari tuntutan yang tidak wajar
Kesimpulan
Buku Trull dan Carter mengungkapkan aspekaspek profesionalisme pendeta secara mendalam dan praktis (mulai dari dasar teologis sampai kode etis). Meskipun mencerminkan situasi gereja-gereja di USA, sebagian besar isunya relevan juga untuk konteks Indonesia.
Yang kurang disinggung dalam buku itu adalah bagaimana etika profesi pendeta dipahami dalam situasi perjumpaan lintas budaya dan lintas agama serta lintas generasi.