Anda di halaman 1dari 42

HUKUM

GEREJA

PDT. DR. KELOSO


HUKUM GEREJA
Nama Matakuliah : HUKUM GEREJA

Kode Matakuliah : 01.03.11.7.2012

Pengajar : Pdt. Dr. Keloso

Semester/SKS : VII / 2 SKS

Hari dan Jam : Selasa (07.30 – 09.00 / 11.45 –


Pertemuan 13.15)

Tempat Pertemuan : Ruang GALATIA/KORINTUS


HUKUM GEREJA
DESKRIPSI MATA KULIAH

Matakuliah Hukum Gereja ini akan mempelajari


pengertian dan dasar-dasar eklesiologis, sejarah
penyusunan, hakikat dan model-model hukum gereja
yang ada, dasar hukum Gereja dalam tradisi Gereja dan
tradisi budaya lokal, serta mempelajari Tata Gereja dan
Peraturan-peraturan GKE secara kritis untuk menjadi
pertimbangan bagi kemungkinan menyusun Tata
Gereja yang kontekstual di Indonesia (Kalimantan).
HUKUM GEREJA
TUJUAN INSTRUKSIONAL

Setelah selesai mengikuti perkuliahan Hukum Gereja


ini mahasiswa diharapkan mampu memahami dan
menjelaskan pengertian dan dasar-dasar eklesiologis,
sejarah penyusunan, hakikat dan model-model hukum
gereja yang ada, dasar hukum Gereja da-lam tradisi
Gereja dan tradisi budaya lokal, serta mampu
menganalisa dan mengkritisi Tata Gereja dan
Peraturan-peraturan GKE untuk menjadi pertimbangan
bagi kemungkinan menyusun Tata Gereja yang
kontekstual di Indonesia (Kalimantan).
HUKUM GEREJA
POKOK BAHASAN

(1)
Pengantar dan Pengertian Hukum Gereja

(2)
Dasar Hukum Gereja dalam Alkitab (Eklesiologi)

(3)
Sejarah Hukum Gereja

(4)
Jabatan-jabatan di dalam Gereja
HUKUM GEREJA
POKOK BAHASAN

(5)
Beberapa Model Hukum Gereja

(6)
Hukum Gereja menurut Tradisi Calvinis

(7)
Hubungan Gereja dengan Gereja-Gereja (Lembaga
Gerejawi) dan hubungan dengan Negara
HUKUM GEREJA
POKOK BAHASAN

(8)
Hukum Gereja / Tata Gereja Gereja Kalimantan Evangelis
(GKE)

(9)
Hukum Gereja / Tata Gereja Gereja Kalimantan Evangelis
(GKE): Lanjutan

(10)
Beberapa “Peraturan Khusus” Gereja Kalimantan
Evangelis (GKE)
HUKUM GEREJA
POKOK BAHASAN

(11)
Beberapa “Peraturan Khusus” Gereja
Kalimantan Evangelis (GKE): Lanjutan

(12)
Beberapa Model Hukum Gereja mengacu
Gereja-gereja yang ada di kota
Banjarmasin
HUKUM GEREJA
(3)
Sejarah Hukum Gereja
a.
Sejarah Hukum Gereja di dalam Jemaat Perdana
b.
Sejarah Hukum Gereja pada masa Bapa-bapa Gereja dan
Reformasi
c.
Sejarah Hukum Gereja pada masa Pekabaran Injil dan
Gereja Muda di Indonesia
d.
Catatan pertimbangan secara kontekstual
HUKUM GEREJA
PENGANTAR
Berbagai macam model pemerintahan Gereja untuk Gereja-gereja
yang kini ada di Indonesia, terkait dengan sejarah kehadiran
badan zending yang melahirkan Gereja-gereja tersebut.
Sementara masing-masing badan zending sendiri, merumuskan
bentuk pemerintahan Gereja secara kontekstual pada zaman dan
tempat masing-masing dengan keyakinan berdasarkan apa yang
tersedia di dalam Alkitab.
Dengan demikian, maka ada suatu sejarah panjang terhadap
tersusunnya suatu sistem pemerintahan atau Hukum Gereja,
hingga menjadi seperti yang bisa dijumpai di Indonesia pada masa
kini.
HUKUM GEREJA
a.
Sejarah Hukum Gereja di dalam Jemaat Perdana
Sejarah penyusunan Hukum Gereja di dalam
Jemaat Perdana bisa ditelusuri sejak:
- berdirinya Jemaat di Yerusalem,
- Jemaat Korintus,
- Jemaat-jemaat di Asia Kecil,
- Jemaat-jemaat dalam Surat Pastoral, dan
- ajaran dalam Didache.
HUKUM GEREJA
a.
Sejarah Hukum Gereja di dalam Jemaat Perdana
JEMAAT YERUSALEM
Pada awal mula, mereka hanya merupakan salah satu sekte di antara sejumlah
sekte yang ada di dalam Yudaisme. Mereka masih mengikuti kegiatan peribadahan
Bait Allah dengan berbagai ketentuan yang menyertainya. Mereka masih
melanjutkan tradisi yang ada di kalangan Yahudi pada umumnya, sebagaimana
nampak dalam sejumlah jabatan yang ada (rabi-rabi, tua-tua, imam-imam).
Perbedaannya dengan tradisi Yahudi, para pejabat tersebut tidak memiliki
perbedaan yang kentara dibandingkan dengan anggota Jemaat pada umumnya, dan
muncul sejumlah pelayan baru (rasul-rasul, pelayan meja atau diaken & nabi-nabi).
Dalam perkembangan kemudian, baru mulai terjadi kerenggangan antara Jemaat
Kristen ini dengan Umat Yahudi pada umumnya, sekaligus dijumpai perbedaan
pemahaman dan peraturan dalam kehidupan Jemaat-jemaat yang ada.
Peristiwa Persidangan I yang berlangsung di Yerusalem mengenai sunat, menjadi
salah satu tanda bukti kerenggangan tersebut.
HUKUM GEREJA
a.
Sejarah Hukum Gereja di dalam Jemaat Perdana
JEMAAT KORINTUS
Penataan Jemaat Korintus terkait dengan peran Roh Kudus yang luar biasa
dengan berbagai karunia yang dianugerahkan kepada setiap anggota Jemaat.
Karunia-karunia tersebut rupanya berbeda-beda, dan karenanya
menimbulkan pengunggulan karunia yang satu terhadap karunia yang lain.
Jemaat pun terancam perpecahan.
Karena itu, Paulus menegaskan perlunya pengaturan-penataan agar setiap
orang yang belum percaya menjadi bertobat dan bersama-sama memuliakan
Allah.
Karena itu kehidupan Jemaat perlu diatur, baik menyangkut cara
peribadahan, hubungan antar anggota Jemaat yg memperoleh karunia Roh,
hubungan antara Jemaat dengan masyarakat umum, mengenai perkawinan,
perselisihan, dll.
HUKUM GEREJA
a.
Sejarah Hukum Gereja di dalam Jemaat Perdana

JEMAAT-JEMAAT ASIA KECIL


Sebagaimana Jemaat Yerusalem dan Jemaat Korintus, Jemaat-jemaat di
Asia Kecil juga merupakan Jemaat-jemaat yang memperoleh berbagai
karunia Roh dan perlu menyaksikan iman mereka sekalipun berbagai
tekanan mereka alami (bdk. 1 Petrus 2:4-10).
Di sana sudah ada penatua-penatua yang membentuk semacam Majelis dan
sejumlah orang di antara anggota Jemaat yang memiliki karunia khusus.
Karena itu, Petrus menganjurkan agar ada penataan mengenai pelayanan
yang melibatkan, baik para Penatua maupun anggota Jemaat secara
keseluruhan.
Ada kesan kuat, bahwa Jemaat-jemaat Asia Kecil sudah memiliki
organisasi yang cukup mapan.
HUKUM GEREJA
a.
Sejarah Hukum Gereja di dalam Jemaat Perdana

JEMAAT-JEMAAT DALAM SURAT PASTORAL


Di dalam Jemaat-jemaat ini muncul sejumlah pengajar bidat yang memaksa
Paulus campur tangan dan memberi sejumlah petunjuk kepada para
pemimpin Jemaat tersebut (mis. Timotius dan Titus).
Petunjuk tersebut, baik dikaitkan dengan sikap yang perlu diambil terhadap
para bidat, hal-hal yang perlu dilakukan terhadap anggota Jemaat, dan
penetapan para pejabat di dalam Jemaat.
Di sini pengaturan juga menjangkau ajaran yang benar yang harus diajarkan
dan ajaran sesat yang harus ditentang.
Ada sejumlah pejabat ditunjuk di dalam Jemaat, termasuk kaum perempuan,
dan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh kaum perempuan.
HUKUM GEREJA
a.
Sejarah Hukum Gereja di dalam Jemaat Perdana

DALAM KITAB DIDACHE


Sejarah perumusan Hukum Gereja terakhir yang bisa ditunjuk, dikaitkan
dengan masa hidup Jemaat Perdana, tertuang di dalam Didache Ton
Dodeka Apostolon (Ajaran dari Keduabelas Rasul) yang ditulis pada sekitar
tahun 90-an.
Di dalam Didache dijumpai sejumlah pentunjuk tentang kehidupan
berjemaat yang diyakini berasal dari para rasul.
Petunjuk tersebut terkait dengan ajaran yang benar, para pejabat Gereja,
cara hidup yang benar dan kudus, cara berpuasa yang benar menurut
ajaran Tuhan Yesus, dan berbagai petunjuk mengenai tatacara
peribadahan jemaat.
HUKUM GEREJA
b.
Sejarah Hukum Gereja pada masa Bapa-bapa Gereja dan
Reformasi
Sesudah era Jemaat Perdana, upaya penyusunan
Hukum Gereja terus dilakukan. Demikian pada
sekitar tahun 215, presbiter Hipolitus di Roma
menyusun Traditio Apostolica.
Pada dasarnya upaya penyusunan Hukum Gereja
terus berangsung, baik yang berlaku untuk kawasan
yang lebih luas maupun hanya untuk Jemaat-
jemaat tertentu yang bersifat lokal.
HUKUM GEREJA
b.
Sejarah Hukum Gereja pada masa Bapa-bapa Gereja dan
Reformasi
Pada masa sejarah Gereja mula-mula, terutama di bawah
Kaisar Deocletianus dan para penggantinya, Gereja berada
dalam keadaan disiksa, bahkan hampir-hampir tidak
tertanggungkan.
Pada tahun 312 datang era baru bagi Gereja seiring dengan
munculnya Kaisar Konstantin di Barat dan Kaisar Lucianus di
Timur, pada tahun 313 keduanya menerbitkan Edic Milano
(Keputusan Milan), yang memberi kebebasan penuh kepada
Gereja.
HUKUM GEREJA
b.
Sejarah Hukum Gereja pada masa Bapa-bapa Gereja dan
Reformasi
Selanjutnya pada tahun 380, Kaisar Teodosius meresmikan
Gereja menjadi Gereja Negara.
Seiring dengan perkembangan positif tersebut, maka
penataan kehidupan Gereja pun berlangsung, baik
menyangkut kehidupan Gereja pada dirinya maupun dalam
rangka hubungan antara Gereja dengan Negara.
Prinsip-prinsip ketatanegaraan pun masuk ke dalam hidup
Gereja.
HUKUM GEREJA
b.
Sejarah Hukum Gereja pada masa Bapa-bapa Gereja dan Reformasi
Pada masa Bapa-bapa Gereja, khususnya dikaitkan dengan Augustinus
bisa menjadi salah satu contoh gambaran penataan kehidupan Gereja
pada sekitar abad ke-3 – ke-5.
Pada saat itu terjadi pertentangan antara kelompok Donatis dengan
Gereja Katolik. Sekte yang disebut sebagai kaum Donatis muncul dari
perselisihan antar para Uskup di Afrika Utara terkait dengan sikap yang
perlu diambil oleh Gereja terhadap orang yang murtad pada masa
penghambatan pada abad ke-4.
Pada masa penganiayaan tersebut, di samping banyak jatuh korban jiwa
sebagai martir, dijumpai banyak warga Gereja yang murtad, termasuk
para imam. Namun sesudah era penganiayaan tersebut lewat, mereka
yang pernah murtad tersebut hendak kembali ke pangkuan Gereja.
HUKUM GEREJA
b.
Sejarah Hukum Gereja pada masa Bapa-bapa Gereja dan
Reformasi
Di sini muncul permasalahan yang menyebabkan terjadinya
konflik antara gereja Katolik dengan kaum Donatis.
Persoalan muncul sekitar boleh atau tidak boleh mereka yang
sudah murtad tersebut diterima kembali ke dalam Gereja, layak
atau tidak layak para imam yang sudah murtad tersebut untuk
diterima kembali ke dalam kedudukannya yang semula sebagai
imam, dan sah atau tidak sah pembaptisan yang dilakukan oleh
para imam yang pernah murtad tersebut terhadap seseorang.
HUKUM GEREJA
b.
Sejarah Hukum Gereja pada masa Bapa-bapa Gereja dan Reformasi
Dalam rangka membela kesucian Gereja, kaum Donatis
mengambil pendirian yang sangat keras terhadap
mereka yang pernah murtad tersebut.
Kaum Donatis yang berhaluan keras ini tidak setuju
dengan kebijaksanaan gereja Katolik yg bersedia
mengampuni orang-orang yang pernah murtad tersebut
dan menerima kembali para imam ke dalam jabatannya
yang semula setelah mereka melakukan pengakuan
dosa.
HUKUM GEREJA
b.
Sejarah Hukum Gereja pada masa Bapa-bapa Gereja dan Reformasi
Bagi kaum Donatis, sikap yang diambil oleh gereja
Katolik tersebut terlalu lunak. Kaum Donatis
berpendirian bahwa para pejabat gerejawi yang
pernah murtad seharusnya dipecat tanpa
pengampunan.
Dengan demikian, kaum Donatis menegaskan, bahwa
pembaptisan yang dilayankan oleh para imam yang
pernah murtad tersebut, menjadi tidak sah.
HUKUM GEREJA
b.
Sejarah Hukum Gereja pada masa Bapa-bapa Gereja dan Reformasi
Dalam konflik yang berlangsung antara gereja Katolik dengan
kaum Donatis, Augustinus hadir sebagai penengah, walaupun
kemudian diikuti dengan penentangannya terhadap
Donatisme.
Augustinus mengkritik kaum Donatis yang merencanakan
wujud iman Kristen tanpa cinta kasih, demi kesucian.
Terhadap upaya menjaga kesucian Gereja, Augustinus
menentang gagasan sempit tentang Gereja hanya sebagai
tempat orang-orang suci. Petrus sendiri pernah mengkhianati
Tuhan, namun diampuni.
HUKUM GEREJA
b.
Sejarah Hukum Gereja pada masa Bapa-bapa Gereja dan Reformasi
Gereja yang benar didasarkan di Yerusalem dan memperluas dalam
persekutuan dengan Gereja-Gereja lain dan tetap terbuka untuk semua
orang.
Gereja harus bersikap toleran terhadap orang berdosa, karena Gereja yang
kudus dapat juga disebut sebagai Gereja orang berdosa.
Bagi Augustinus, Gereja harus memberi tumpangan kepada semua orang
Kristen, termasuk orang-orang berdosa. Gereja harus terbuka dan bersedia
menerima mereka yang sudah pernah jatuh ke dalam dosa, karena di dalam
Gereja sendiri memang selalu ada lalang dan gandum.
Manusia tidak berhak memisahkan keduanya. Manusia tidak berhak mengganti
Allah dengan mengucilkan orang berdosa. Soal baik dan jahat, rahmat dan
dosa merupakan kenyataan yang termasuk ke dalam citra Gereja.
HUKUM GEREJA
b.
Sejarah Hukum Gereja pada masa Bapa-bapa Gereja dan Reformasi
Dalam perkemangan sejarah Gereja, baik dihubungkan dengan Gereja
Timur maupun Gereja Barat, secara khusus dalam sejarah Gereja
Katolik Roma, Gereja menjadi semakin institusionalis dengan unsur-
unsur duniawi semakin kuat.
Unsur-unsur pemerintahan duniawi yang berlaku dalam ketatanegaraan
menjadi unsur-unsur yang sangat kuat di dalam Gereja.
Terjadi “pertarungan” antara para raja dengan Paus. Ada saatnya Paus
menguasai Negara, ada saatnya Raja menguasai Gereja. Pada masa-
masa Gereja Katolik Lama tersebut Gereka benar-benar menjadi
institusionalisme.
Hal ini kemudian mendorong gerakan Reformasi yang dijalankan oleh
Martin Luther dkk.
HUKUM GEREJA
b.
Sejarah Hukum Gereja pada masa Bapa-bapa Gereja dan Reformasi

Luther dengan tegas menolak Hukum Kanonik yang telah


disusun oleh Gereja Katolik, karena ia telah menjadi tirani
dari Paus untuk menguasai Gereja.
Dengan semboyan sola fide, sola gratia dan sola scripture,
Luther mengambalikan seluruh ketentuan penataan Gereja
kepada Alkitab.
Dalam kaitan ini Luther memberi perhatian khusus mengenai
perlunya konsep Imamat Am yang diajarkan oleh Alkitab,
sehingga tidak boleh ada jarak yang terlalu jauh antara para
pejabat Gereja dan warga Gerejanya.
HUKUM GEREJA
b.
Sejarah Hukum Gereja pada masa Bapa-bapa Gereja dan Reformasi

Namun upaya penataan kembali Gereja kala itu sangat ditentukan


oleh situasi historis kala itu, yakni kenyataan bahwa pemerintahan
Gereja dipercayakan kepada para raja Jerman.
Pemerintahan Gereja dijalankan oleh raja-raja melalui majelis-
majelis yg anggotanya terdiri dari para ahli hukum yuridis dan para
ahli teologi. Pada saat yang sama, ketika itu juga muncul keinginan
para para pejabat Gereja di berbagai wilayah agar kedudukan mereka
juga diakui.
Hal ini selanjutnya menghantar pada terbentuknya sistem
pemerintahan Gereja dgn sistem episkopal, sistem wilayah-teritorial,
dan sistem kolegial. Tokoh yang memunculkan sistem Episkopal
tersebut adalah Carpzov, seorang Lutheran Ortodoks dari Leipzig.
HUKUM GEREJA
b.
Sejarah Hukum Gereja pada masa Bapa-bapa Gereja dan Reformasi
Perkembangan yang lebih jelas dan komprehensif muncul dari reformasi
yang dilakukan oleh Calvin dan para penerusnya.
Dengan keyakinan bahwa dasar penataan Gereja yang dilakukannya
berdasarkan asas-asas yang tersedia dalam PB, Calvin menyusun Tata
Gereja dengan sistem Presbyterial-Sinodal yang dipraktekkan di
Geneva.
Malah ada klaim di kalangan penerus Calvin, bahwa sistem Presbyterial-
Sinodal adalah satu-satunya sistem yang sesuai dengan Alkitab,
sementara yang lain merupakan bentuk sistem yang anti-kristiani.
Sekalipun Calvinisme pada dasarnya mengikuti sistem Presbyterial-
Sinodal, namun penjabaran dari sistem tersebut mengalami variasi di
berbagai negara di mana Gereja Calvinis hadir.
HUKUM GEREJA
b.
Sejarah Hukum Gereja pada masa Bapa-bapa Gereja dan Reformasi
Berjalan beriringan dengan munculnya sistem
Presbyterial-Sinodal, di berbagai negara juga muncul
sistem Gereja-Negara, sebagaimana Gereja Anglikan di
Inggris yang diprakarsai oleh Richard Hooker (1554-1600).
Pada saat yang sama, juga muncul sistem lain, khususnya
dimulai di Perancis dengan pemrakarsa Jean Baptiste
Morely, yakni apa yang kemudian dikenal sebagai
Independentisme atau lebih umum dikenal dengan
Kongregasional.
HUKUM GEREJA
b.
Sejarah Hukum Gereja pada masa Bapa-bapa Gereja dan Reformasi
Demikian selanjutnya masih terus berkembang upaya
merumuskan Hukum Gereja di berbagai wilayah dan negara,
sehingga memunculkan varian-varian Hukum Gereja sekalipun ia
berakar atau beraviliasi kepada salah satu sistem yang sudah
ada. Perkembangan tersebut masih terus-menerus terjadi,
termasuk ketika kekristenan memasuki wilayah Nusantara.
Hasilnya, di Indonesia dijumpai kepelbagaian Tata Gereja
sekalipun berasal dari tradisi Gereja yang sama, sesuai dengan
kebutuhan kontekstual masing-masing Gereja.
HUKUM GEREJA
c.
Sejarah Hukum Gereja pada masa Pekabaran Injil dan
Gereja Muda di Indonesia

Untuk memahami sejarah Hukum Gereja


di Indonesia bisa ditelurusi dari sejarah
penataan Gereja pada zaman Hindia
Belanda di Indonesia secara umum, dan
oleh badan PI yang datang ke
Kalimantan.
HUKUM GEREJA
c.
Sejarah Hukum Gereja pada masa Pekabaran Injil dan Gereja Muda di Indonesia

VOC berkuasa di Indonesia sejak tahun 1602.


Kekuasaan tersebut mencakup segala hal, termasuk untuk
urusan kegerejaan. Segala hal berkaitan dengan kegiatan
Gereja berada di dalam tanggungjawab dan kekuasaan
Pemerintah Kompeni.
Di Belanda sendiri telah berlangsung Sinode Dordrech (1618-
1619) yang di dalamnya juga menyusun Tata Gereja Belanda.
Namun demikian Tata Gereja tersebut tidak dapat dijalankan
sepenuhnya, baik di negerinya sendiri, lebih-lebih di
Indonesia.
HUKUM GEREJA
c.
Sejarah Hukum Gereja pada masa Pekabaran Injil dan Gereja Muda di
Indonesia

Pada dasarnya, Pemerintah memegang kekuasaan atas


Gereja, baik dalam penunjukkan tenaga Pendeta dan tenaga
pelayanan lainnya, menunjuk wilayah yang boleh dikunjungi,
dan mengawasi melarang para pendeta mengadakan
persidangan-persidangan.
Pada sekitar tahun 1621, kondisi pelayanan di wilayah jajahan
Belanda menuntut penataan-pengorganisasian secara khusus.
Gereja hendak membebaskan diri dari kekuasaan Kompeni,
namun gagal.
HUKUM GEREJA
c.
Sejarah Hukum Gereja pada masa Pekabaran Injil dan Gereja Muda di Indonesia

Pada tahun 1624, kembali Gereja berusaha membebaskan diri


dari kekuasaan Kompeni, di antaranya dengan “menyesuaikan”
Tata Gereja Dordrech yang menempatkan otonomi Gereja
mengatur dirinya namun tetap atas seijin Pemerintah.
Pada awalnya usaha ini memberi harapan, namun kemudian
tetap kembali berada di bawah kekuasaan Kompeni yang tidak
menghendaki Gereja mendatangkan “masalah” bagi Kompeni.
Upaya Gereja terus dilakukan, baik atas dukungan penuh dari
Gereja di Belanda maupun atas perjuangan Jemaat-jemaat yang
sudah berhasil dibangun di berbagai kawasan di Nusantara.
HUKUM GEREJA
c.
Sejarah Hukum Gereja pada masa Pekabaran Injil dan Gereja Muda di Indonesia

Namun upaya tersebut malah menimbulkan pertikaian antara Gereja


dengan Pemerintah yang menyebabkan Gereja kembali ditaklukkan
oleh Pemerintah.
Akhirnya ditetapkan Tata Gereja Baru yag disetujui Gubernur Jenderal
Van Diemen pada tahun 1643.
Beberapa prinsip tampak menjadi ciri penataan Gereja sepanjang
Pemerintahan Kompeni, yakni: (1) hak untuk menempatkan dan
memindahkan pendeta dipegang oleh Penerintah; (2) rapat-rapat
Majelis Jemaaat harus dihadiri unsur Pemerintah; (3) surat-menyurat
diba-tasi dan khususnya berkaitan dengan surat-menyurat ke Gereja di
Belanda harus dikirim perantara Gubernur Jendral yang berkuasa; (4)
pemerintah harus dilibatkan dalam rangka pelaksanaan disiplin Gereja.
HUKUM GEREJA
c.
Sejarah Hukum Gereja pada masa Pekabaran Injil dan Gereja Muda di
Indonesia

Khusus di Kalimantan, sejarah penataan Gereja berjalan seiring


dengan kehadiran para pekabar Indil dari Jerman (RMG) pada
tahun 1835 dan dilanjutkan oleh Basler Mission pada tahun 1920.
Pada masa RMG, oleh karena perhatian utama ditujukan pada
pembukaan setasi-setasi baru, tidak ada secara khusus
memberhatikan penataan Gereja, kecuali penegakan cara hidup
yang dianggap Kristiani.
Pada masa ini, Zending tetap berada di bawah pengawasan
Pemerintah Belanda, khususnya sesudah terjadi perang Bandjar
dan Perang Dunia I, ruang gerak para Penginjil sangat dibatasi.
HUKUM GEREJA
c.
Sejarah Hukum Gereja pada masa Pekabaran Injil dan Gereja Muda di Indonesia

Upaya penataan Jemaat-jemaat hasil penginjilan RM baru mulai


dilakukan secara serius, seiring dengan beralihnya penginjilan di
Kalimantan dari RMG kepada BM.
Hal tersebut mulai dari munculnya kesadaran untuk segera
menghimpun Jemaat-jemaat yang bertebaran di berbagai wilayah ke
dalam satu wadah organisasi Gereja, pada saat yang sama, muncul
kesadaran untuk membangun sebuah lembaga Gereja yang bersifat
lokal.
Karena itu, seiring dengan pertemuan-pertemuan awal ke arah
tersebut, pada tahun 1925 disusun oleh pihak Zending: Aturan
Sidang Jemaat Orang Kristen di Borneo Selatan yang baru disahkan
pada Sinode I Gereja Dayak Evangelis di Mandomai pada tahun 1930.
HUKUM GEREJA
d.
Catatan pertimbangan secara kontekstual
Pertama, ciri pertama-tama terlihat dalam “sejarah” Hukum Gereja yang
sudah dipaparkan, adalah sifat kontekstual dari Hukum Gereja tersebut
dan unsur-unsur yang termasuk ke dalam Hukum Gereja.
Kalau dikatakan kontekstual, maka suatu unsur tertentu dari Hukum
Gereja muncul berangkat dari konteks dan untuk menjawab kebutuhan
konteks.
Dari sifat kontekstual Hukum Gereja tersebut, hendak menegaskan
beberapa hal, di antaranya adalah:
bahwa Hukum Gereja itu “unik” atau “khas” yang sangat terbuka untuk
berbeda ketika konteks penyusunan Hukum Gereja berubah atau berbeda;
dan bahwa Hukum Gereja itu “aktual” dalam rangka menjawab kebutuhan
konkrit yang sedang dihadapi.
HUKUM GEREJA
d.
Catatan pertimbangan secara kontekstual
Kedua, sejalan dengan sifat kontekstual Hukum Gereja dan unsur-unsur yang
termasuk ke dalam Hukum Gereja tersebut, membuka kemungkinan Gereja-
gereja menyusun Hukum Gereja atau Tata Gereja yang sama maupun berbeda,
sekalipun berasal dari tradisi Gereja yang sama.
Kemungkinan perbedaan terebut menjadi makin terbuka ketika asal-usul tradisis
berdirinya suatu Gereja berasal dari lembaga zending yang berbeda.
Kenyataan ini menuntut kesediaan dari Gereja-gereja masa kini untuk menerima
kenyataan perbedaan yang terjadi sebagai keniscayaan dan saling
menghargainya.
Hal yang perlu menjadi perhatian, bukan terletak pada sama atau berbeda suatu
Hukum Gereja atau unsur-unsur yang termasuk ke dalam Hukum Gereja disusun,
melainkan pada sejauh mana suatu Hukum Gereja atau unsur-unsur yang
terkandung dari Hukum Gereja disusun dalam rangka menjawab kebutuhan
konkrit suatu Gereja secara kontesktual dalam menjalankan tugas panggilannya.
HUKUM GEREJA
d.
Catatan pertimbangan secara kontekstual
Ketiga, ada dua unsur penting secara eksternal dalam rangka penyusunan
Hukum Gereja dan unsur-unsur yang termasuk ke dalam Hukum Gereja,
yaitu hubungan antara Gereja dengan Negara dan hubungan antara Gereja
dengan kebudayaan lokal tempat dimana suatu Gereja hadir.
Kedua unsur kontekstual eksternal ini perlu menjadi perhatian serius bagi
Gereja-gereja di Indonesia, khususnya di Kalimantan dalam menyusun
Hukum Gereja atau Tata Gereja dan unsur-unsur yang termasuk ke dalam
Hukum Gereja.
Berbagai macam bentuk Peraturan dan Perundang-undangan Negara
Republik Indonesia serta berbagai Peraturan Daerah di masing-masing
daerah di Indonesia, secara khusus di Kalimantan, perlu menjadi unsur yang
dilibatkan dalam rangka Gereja menyusun Hukum Gereja atau Tata Gereja
dan unsur-unsur yang termasuk ke dalam Hukum Gereja.
HUKUM GEREJA

SEK IAN

Anda mungkin juga menyukai