Anda di halaman 1dari 44

HUKUM

GEREJA

PDT. DR. KELOSO


HUKUM GEREJA
Nama Matakuliah : HUKUM GEREJA

Kode Matakuliah : 01.03.11.7.2012

Pengajar : Pdt. Dr. Keloso

Semester/SKS : VII / 2 SKS

Hari dan Jam : Selasa (07.30 – 09.00 / 11.45 –


Pertemuan 13.15)

Tempat Pertemuan : Ruang GALATIA/KORINTUS


HUKUM GEREJA
DESKRIPSI MATA KULIAH

Matakuliah Hukum Gereja ini akan mempelajari


pengertian dan dasar-dasar eklesiologis, sejarah
penyusunan, hakikat dan model-model hukum gereja
yang ada, dasar hukum Gereja dalam tradisi Gereja dan
tradisi budaya lokal, serta mempelajari Tata Gereja dan
Peraturan-peraturan GKE secara kritis untuk menjadi
pertimbangan bagi kemungkinan menyusun Tata
Gereja yang kontekstual di Indonesia (Kalimantan).
HUKUM GEREJA
TUJUAN INSTRUKSIONAL

Setelah selesai mengikuti perkuliahan Hukum Gereja


ini mahasiswa diharapkan mampu memahami dan
menjelaskan pengertian dan dasar-dasar eklesiologis,
sejarah penyusunan, hakikat dan model-model hukum
gereja yang ada, dasar hukum Gereja da-lam tradisi
Gereja dan tradisi budaya lokal, serta mampu
menganalisa dan mengkritisi Tata Gereja dan
Peraturan-peraturan GKE untuk menjadi pertimbangan
bagi kemungkinan menyusun Tata Gereja yang
kontekstual di Indonesia (Kalimantan).
HUKUM GEREJA
POKOK BAHASAN

(1)
Pengantar dan Pengertian Hukum Gereja

(2)
Dasar Hukum Gereja dalam Alkitab (Eklesiologi)

(3)
Sejarah Hukum Gereja

(4)
Jabatan-jabatan di dalam Gereja
HUKUM GEREJA
POKOK BAHASAN

(5)
Beberapa Model Hukum Gereja

(6)
Hukum Gereja menurut Tradisi Calvinis

(7)
Hubungan Gereja dengan Gereja-Gereja (Lembaga
Gerejawi) dan hubungan dengan Negara
HUKUM GEREJA
POKOK BAHASAN

(8)
Hukum Gereja / Tata Gereja Gereja Kalimantan Evangelis
(GKE)

(9)
Hukum Gereja / Tata Gereja Gereja Kalimantan Evangelis
(GKE): Lanjutan

(10)
Beberapa “Peraturan Khusus” Gereja Kalimantan
Evangelis (GKE)
HUKUM GEREJA
POKOK BAHASAN

(11)
Beberapa “Peraturan Khusus” Gereja
Kalimantan Evangelis (GKE): Lanjutan

(12)
Beberapa Model Hukum Gereja mengacu
Gereja-gereja yang ada di kota
Banjarmasin
HUKUM GEREJA
(5)
Beberapa Model Hukum Gereja
a.
Mengenal Sistem Episkopal
b.
Mengenal Sistem Presbyterial
c.
Mengenal Sistem Kongregasional
d.
Catatan pertimbangan secara kontekstual
HUKUM GEREJA
PENGANTAR
Melalui penelusuran Jabatan-jabatan di dalam Gereja,
telah dipaparkan sejumlah jabatan gerejawi sebagaimana
ia dijumpai di kalangan Jemaat-jemaat PB di samping
sekilas juga dipaparkan pemahaman mengenai beberapa
jabatan tersebut di dalam Sejarah Gereja.
Paparan tersebut bisa menjadi pelengkap latar belakang
sejarah di dalam upaya memahami beberapa model Hukum
Gereja yang akan dibicarakan.
Berikut paparan akan dilakukan terhadap tiga model
Hukum Gereja yang paling dominan, yaitu sistem Episkopal,
sistem Presbyterial Sinodal, dan sistem Kongregasional.
HUKUM GEREJA
a.
Mengenal Sistem Episkopal

Munculnya sistem Episkopal berjalan perlahan-lahan


dimulai sejak zaman Jemaat PB.
Pada mulanya Jemaat-jemaat PB dipimpin oleh para
Rasul dengan dibantu oleh beberapa orang yang diangkat
secara khusus, seperti Timotius, Titus dan para Penatua.
Seiring perkembangan zaman, ketika era para Rasul
telah lewat, kepemimpinan beralih kepada para Penilik
(episkopos-episkopos) Jemaat dan para Penatua
(presbuteros-presbuteros).
HUKUM GEREJA
a.
Mengenal Sistem Episkopal

Di dalam perkembangan selanjutnya, kedudukan Episkopos


semakin dominan sementara kedudukan Presbuteros semakin
menghilang.
Pergeseran peran ini didukung oleh kenyataan bahwa, pada satu
sisi, jabatan Episkopos berasal dari tradisi Yunani sedangkan
jabatan Presbuteros berasal dari tradisi Yahudi, pada sisi lain,
perkembangan Jemaat semakin meluas ke kawasan dunia Yunani.
Pada akhirnya, jabatan Episkopos menjadi satu-satunya pemimpin
Jemaat yang pada waktunya membentuk Episkopos-monarkhis.
HUKUM GEREJA
a.
Mengenal Sistem Episkopal
Perkembangan ini semakin dipercepat oleh beberapa kenyataan, yakni:
- tindakan yang representatif dari para Uskup pada masa-masa
penyiksaan membuat jabatan mereka semakin dihormati,
- pimpinan para Uskup terutama dalam perayaan ekaristi memberikan
kepada mereka tanggung jawab atas kekudusan sakramen ekaristi
tersebut,
- dalam pembasmian sejumlah agama kafir dan bidat-bidat para Uskup
menjadi titik orientasi untuk keesaan dan kebenaran yang dipercaya
Jemaat-jemaat,
- para Uskup adalah orang-orang yang menyimpan Kitab Suci tertulis
dan dianggap sebagai penafsir Kitab Suci yang dapat dipercaya.
HUKUM GEREJA
a.
Mengenal Sistem Episkopal
Sejarah Gereja mencatat bahwa pada waktu Ignatius dari
Antiokhia (meninggal dunia tahun 115) Uskup melambangkan
keesaan dari Gereja-gereja setempat.
Ia mewakili Kristus, sebagaimana para penatua mewakili para
Rasul.
Pada masa Ireneus dari Lyon (sekitar tahun 180) episkopat
mulai menjadi simbol keesaan seluruh Gereja, sehingga
suksesi Uskup merupakan wujud keesaan dalam tradisi
apostolis terhadap bahaya Gnosis dan jaminan kanon Kitab
Suci.
HUKUM GEREJA
a.
Mengenal Sistem Episkopal
Pada masa hidup Cyprianus dari Karthago (sekitar tahun 250), di
mana banyak terjadi perpecahan Gereja dan murtadnya orang
Kristen, hakikat Gereja berakar pada para Uskup yang memang
berjuang mati-matian menegakkan ajaran yang benar walaupun
banyak yang harus menjadi martir.
Dari catatan sejarah tersebut tampak bahwa pada masa Ireneus
episkopat hanya merupakan “garis pembantu” bagi Gereja yang
benar, sementara pada masa Cyprianus episkopal menjadi
legitimasi dari Gereja yang benar.
Dengan demikian, maka Uskup menjadi guru – imam – hakim yang
berkuasa di dalam Gereja.
HUKUM GEREJA
a.
Mengenal Sistem Episkopal
Dihubungkan dengan sistem pemerintahan berada di
kota besar dan menjadi induk (mis. Yerusalem, Roma,
Korintus dan Antiokhia) dan sejumlah Jemaat-jemaat
kecil yang ada di sekitar Jemaat Induk tersebut.
Perkembangan seperti ini terus berlanjut seiring
dengan semakin meluasnya Kekristenan.
Kebiasaan tersebut pada waktunya menjadi akar bagi
terbentuknya wilayah Keuskupan dengan hirarki
jabatan gerejawi yng menyertainya.
HUKUM GEREJA
a.
Mengenal Sistem Episkopal
Beberapa kebiasan itu adalah, seperti:
- Jemaat-jemaat kecil dilayani oleh para pejabat dengan tingkat
kedudukan lebih rendah dibandingkan di Jemaat Induk dan dalam
banyak hal bergantung kepada Jemaat Induk;
- Jemaat Induk tertentu “membawahi” sejumlah Jemaat-jemaat
kecil yang berada di dalam garis geografis berdekatan dengannya;
- pada waktu-waktu tertentu diadakan “persidangan” para
pejabat Gereja dari berbagai Jemaat-jemaat pada suatu kawasan
mengacu Jemaat Induk tertentu;
- pada saat yang sama juga diadakan persidangan-konsili yang
menjangkau keseluruhan Jemaat-jemaat dari berbagai wilayah.
HUKUM GEREJA
a.
Mengenal Sistem Episkopal

Pada saat bersamaan, perkembangan ke arah


perpecahan Gereja juga semakin kuat.
Demikian kita mengetahui perpecahan antara
Gereja Barat yang berbahasa Latin dan Gereja
Timur yang berbahasa Yunani.
Di Gereja-gereja Ortodoks Timur, tidak dijumpai
perbedaan hirarki jabatan antara para Uskup yang
ada.
HUKUM GEREJA
a.
Mengenal Sistem Episkopal

Hal ini berbeda dibandingkan dengan kawasan Gereja Katolik Roma


di Barat.
Di sini kedudukan Uskup Roma, sesuai dengan latar belakang bahwa
Petrus dan Paulus pernah melayani di Roma, menempatkan sebagai
Uskup Utama atau Uskup Tertinggi dan menjadi pengganti Petrus
yang dianggap bertanggung jawab atas keesaan Gereja secara
keseluruhan.
Pada akhirnya, Uskup Roma menjadi cikal bakal lahirnya Paus, di
dalam sistem pemerintahan Gereja Katolik Roma, dan di bawah Paus
dijumpai sejumlah Uskup sesuai dengan wilayah Keuskupan tertentu
dan terus mengerucut sampai di tingkat Paroki atau Jemaat-jemaat.
HUKUM GEREJA
a.
Mengenal Sistem Episkopal
Dalam hal hubungan antara Gereja dengan Negara bisa dimulai sejak
zaman Augustinus dengan bukunya De Civitate Dei yang
menggambarkan bahwa Gereja dan Negara merupakan “dua kerajaan”
yang berjalan beriringan namun tidak saling mempengaruhi, walaupun
Negara tetap berguna juga bagi Gereja.
Dalam perkembangannya hubungan antara Gereja dan Negara semakin
bersifat Teokratis, yang di dalamnya Gereja hendak me-nguasai
seluruh aspek hidup termasuk kehidupan rohani dan jasmani.
Dalam perkembangan kemudian, terjadi ketegangan antara Gereja dan
Negara yang pada akhirnya dimenangkan oleh Gereja (Gereja/Paus
menguasai Negara/Raja).
Raja-raja hanya menerima “pinjaman” kuasa dari Paus sebagai Kepala
Gereja.
HUKUM GEREJA
b.
Mengenal Sistem Presbyterial

Sejarah munculnya sistem Presbyterial


(Presbyterial-sinodal) mengacu pada pemi-
kiran yang dikembangkan oleb Calvin dari
pemikiran-pemikiran yang sudah
berkembang pada zamannya dan didasarkan
pada “sistem” yang sudah dijumpai di dalam
Jemaat Perdana.
HUKUM GEREJA
b.
Mengenal Sistem Presbyterial

Dasar pemikiran dari sistem Presbytarial-sinodal


adalah bahwa kepimpinan atau pemerintahan Gereja
oleh Kristus sebagai Kepala dan Tuhannya yang
berlangsung oleh pekerjaan Firman dan Roh Kudus
melalui pejabat-pejabat gerejawi sebagai hamba-
Nya.
Atas dasar tersebut, sejumlah prinsip dari Gereja
dengan sistem Presbyterial-Sinodal, perlu menjadi
perhatian khusus kita.
HUKUM GEREJA
b.
Mengenal Sistem Presbyterial

Titik tolaknya adalah Jemaat atau Gereja setempat.


Jemaat/Gereja setempat adalah manifestasi dari Gereja
Kristen yang kudus dan am, sehingga ia adalah Gereja dalam
arti yang sesungguh dan sepenuhnya.
Sebagai Jemaat/Gereja yang utuh, maka di dalamnya
dilangsungkan pemberitaan Firman dan pelayanan Sakramen,
pelayanan pastoral dan disiplin, pelayanan diakonial dll.
Gereja/Jemaat setempat memiliki kemandirian dalam
mengatur dirinya termasuk dalam hal kepemilikan.
HUKUM GEREJA
b.
Mengenal Sistem Presbyterial

Pemerintahan Gereja dipercayakan kepada suatu Majelis


yang beranggotakan para pejabat gerejawi (pendeta,
pengajar atau doktor, penatua dan diaken).
Para pejabat Gereja tersebut memiliki kedudukan yang
sama, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah.
Tugas dari setiap anggota Majelis diatur di dalam Peraturan
Gereja/Jemaat, mis: Pendeta untuk memberitakan Firman
dan melayani Sakramen; Pengajar atau doktor memberi
pengajaran katekisasi dan pengajaran teologis lainnya.
HUKUM GEREJA
b.
Mengenal Sistem Presbyterial

Secara bersama-sama, Pendeta dan Pengajar bertugas


mengangkat dan menetapkan Pendeta-pendeta.
Penatua bertugas untuk menggembalakan anggota
jemaat. Bersama-sama dengan Pendeta, Penatua
memimpin Jemaat dan menjalankan disiplin gerejawi.
Sementara Diaken bertugas untuk membantu orang-
orang sakit dan kaum miskin.
HUKUM GEREJA
b.
Mengenal Sistem Presbyterial

Di samping Majelis Jemaat/Gereja, masih ada persidangan-


persidangan lain yang lebih luas bidang cakupannya.
Persidangan tersebut seperti: persidangan Klasis/Resort dan
persidangan Sinode yang terdiri dari wakil Majelis Jemaat –
Majelis Jemaat yang berasal dari Jemaat yang berada pada
suatu wilayah, entah klasis atau sinode.
Namun demikian, persidangan ini tidak dipandang lebih
tinggi dibandingkan dengan persidangan Jemaat/ Gereja
secara lokal.
HUKUM GEREJA
b.
Mengenal Sistem Presbyterial

Namun demikian, pada satu sisi, dalam hal-hal tertentu


wewenang Majelis Jemaat/Gereja setempat mencakup
bidang yang lebih luas daripada wewenang persidangan
Klasis dan Sinode,
pada sisi lain, persidangan yang lebih luas dalam sidang
Klasis atau Sinode memiliki hak untuk membicarakan dan
mengambil kebijakan yang bersifat umum, menyangkut
Gereja secara keseluruhan, misalnya dalam hal:
pengakuan iman, pelaksanaan Baptisan, Perjamuan Kudus,
dll.
HUKUM GEREJA
b.
Mengenal Sistem Presbyterial

Gereja memiliki suatu kemandirian yang tertentu


terhadap Pemerintah, khususnya di bidang tugas
dan pelayanan pejabat-pejabat gerejawi.
Dalam hal ini Gereja memiliki hak dan kemawiban
untuk menyampaikan suara kenabiannya terhadap
Negara dan Gereja diharapkan memberi hormat
terhadap Gereja dan mengakui hak-hak Gerejawi di
dalam mengatur dirinya secara mandiri.
HUKUM GEREJA
b.
Mengenal Sistem Presbyterial

Dikaitkan dengan sistem Presbyterial, tidak hanya


dikenal dengan bentuk Presbyterial-sinodal, tetapi
juga dikenal dengan bentuk Sinodal-presbyterial
(mis. GKE).
Pada dasarnya kedua sistem ini (Presbyterial-sinodal
dan Sinodal-Presbyterial) memiliki kesamaan.
Namun demikian ada penekanan-penekanan khusus
yang membedakan antara keduanya.
HUKUM GEREJA
b.
Mengenal Sistem Presbyterial

Kalau di dalam sistem Presbyterial-sinodal, kedudukan antar


persidangan memiliki legitimasi yang sejajar, maka di dalam
sistem Sinodal-presbiterial, kedudukan persidangan yang
lebih luas memiliki kedudukan yang lebih tinggi, sementara
persidangan yang lebih kecil berada pada kedudukan
menjalankan keputusan persidangan yang di atasnya.
Kalau pada sistem Presbyterial-sinodal, Jemaat/Gereja
setempat menjadi acuan, maka di dalam sistem Sinodal-
presbyterial, persidangan Sinode sebagai penampakan dari
persidangan Jemaat-jemaat sebagai titik acuannya.
HUKUM GEREJA
c.
Mengenal Sistem Kongregasional

Sejarah munculnya sistem Kongregasional atau Independentisme berawal dari


Skotlandia (1557) dari suatu persekutuan yang memisahkan diri dari Gereja-
Negara di Inggris dengan menyebut dirinya Congregation of the Lord.
Mereka keluar dan memisahkan diri dari Gereja resmi karena mereka
beranggapan Gereja-Negara yang ada telah hadir sebagai penghalang utama
dalam rangka mewujudkan Kerajaan Allah.
Pendiri Kongregasionalisme adalah Robert Browne (1550-1633). Ia menjadi
pengkhotbah yang sangat baik di Cambridge, menolak untuk ditahbiskan
menjadi rohaniwan Gereja Anglikan, dan menjadi pemimpin dari kelompok
orang yang memisahkan diri dari Gereja Anglikan.
Oleh berbagai penghambatan di Skontandia, kelompok ini kemudian
bermigrasi ke USA.
HUKUM GEREJA
c.
Mengenal Sistem Kongregasional

Sistem pemerintahan Gereja Kongregasionalisme ini sebenarnya erat


berhubungan dengan ajaran Gereja-gereja Reformed di Kontingen
Eropa dan Gereja Presbyterian di Skotland dengan sejumlah
perbedaan .
Pusat-pusat dari Gereja-gereja Kongregasionalisme ini adalah USA,
tempat dimana mereka lebih leluasa mengembangkan pemikirannya.
Mereka mengklaim bahwa ajaran yang dikembangkan oleh mereka
berasal dai Willian Ames dan Robert Parker yang keduanya meninggal
di Belanda.
Hal ini menjadi alasan mengapa mereka juga mengenal sistem
pemerintahan Gereja di Belanda.
HUKUM GEREJA
c.
Mengenal Sistem Kongregasional

Titik tolak sistem Kongregasionalisme adalah otonomi


kongregasi-kongregasi atau Jemaat setempat, baik terhadap
kongregasi atau Jemaat-jemaat lainnya, maupun terhadap
wibawa negara.
Batas-batas suatu kongregasi tidak sama dengan batas-batas
pemerintahan.
Di dalam satu kota bisa saja dijumpai lebih dari satu kongregasi
atau Jemaat yang bebas dan mandiri.
Kemandirian tersebut beralaku atas pemanggilan para pelayan
Gereja, atas kegiatan peribadahan dan hal yang terkait
dengannya, pengakuan iman dan pelaksanaan disiplin gerejawi.
HUKUM GEREJA
c.
Mengenal Sistem Kongregasional

Dikaitkan dengan sistem Kongregasionalisme, dijumpai sejumlah ciri, seperti:


sebagaimana ditegaskandi dalam PB, bentuk Gereja adalah kongregasi-
kongrejasi atau Jemaat-jemaat yang tidak mengenal lembaga yang lebih
tinggi di atasnya, kecuali Allah;
masing-masing kongregasi atau Jemaat tidak mau mengakui wibaya
persidangan yang ada di atasnya, dan sekalipun masing-masing
kongregasi/Jemaat bisa melakukan “persidangan” dalam suatu persidangan
sinode, namun persidangan tersebut hanya berhak memberi nasihat yang bisa
dituruti maupun ditolak;
otoritas di dalam Gereja hanya satu, yakni Kristus dan Kitab Suci, dan
Kristus telah memberikan wibawa-Nya kepada anggota kongregasi/Jemaat
secara individu;
HUKUM GEREJA
c.
Mengenal Sistem Kongregasional

Dikaitkan dengan sistem Kongregasionalisme, dijumpai sejumlah ciri,


seperti:
sesuai dengan tindakan Kristus mengangkat sejumlah murid/rasul yang
tanpa batas/ periode waktu, maka para pejabat yang diangkat di dalam
kongregasi/Jemaat juga tidak mengenal batas periode waktu;
Kristus-lah yang memanggil-memilih-mengangkat para pejabat peranaraan
kongregasi/Jemaat, khususnya anggota kongregasi/Jemaat yang sudah
dewasa;
para pejabat Gereja tidak memerintah melainkan melayani, karena yang
memerintah hanya Kristus saja; dan
keabsahan keputusan yang diambil oleh para pejabat Gereja ditentukan
oleh persetujuan yang diberikan oleh kongregasi/Jemaat.
HUKUM GEREJA
c.
Mengenal Sistem Kongregasional

Di samping ciri-ciri tersebut, kongregasi/Jemaat


kongregasionalisme tidak mengakui kuasa-kuasa yang
mengikat dan bentuk-bentuk yang bersifat lahiriah.
Demikian, misalnya, disediakannya suatu formulir doa
yang sudah disiapkan hanya akan merusak pekerjaan Roh
Kudus yang bisa mengaruniakan doa-doa secara bebas.
Karenanya, hari raya – hari raja gerejawi yang bersifat
tetap untuk dirayakan harus ditolak.
HUKUM GEREJA
c.
Mengenal Sistem Kongregasional

Dalam hal ini tampak kebebasan menjadi unsur yang hakiki


di dalam Gereja dengan sistem Kongregasionalisme.
Pejabat kongregasi/Jemaat adalah Pendeta dan diaken-
diaken dari kalangan awam.
Pendeta-pendeta dipilih secara bebas oleh anggota
kongregasi dan ditahbiskan oleh para Pendeta yang berasal
dari kongregasi-kongregasi yang berdekatan.
Atas nama kemandirian dan kebebasan, masing-masing
kongregasi kadang-kadang mempunyai arah yang berlainan.
HUKUM GEREJA
d.
Catatan pertimbangan secara kontekstual

Memperhatikan keseluruhan uraian mengenai pokok


bahasan tentang “Model-model Hukum Gereja” di
atas, beberapa catatan pertimbangan perlu
diberikan.
Catatan pertimbangan diperlukan untuk menjadi
pertimbangan dalam rangka upaya menyusun
Hukum Gereja atau Tata Gereja yang kontekstual di
Indonesia (khususnya di Kalimantan).
HUKUM GEREJA
d.
Catatan pertimbangan secara kontekstual

Pertama:
dari tinjauan sejarah munculnya model-model Hukum Gereja, tampak
bahwa Jemaat Kristen tidak memiliki sebuah pedoman atau patokan
yang lengkap dan tepat mengenai bentuk atau model Hukum Gereja.
Terbentuknya model-model Hukum Gereja menurut bentuk-bentuk
tertentu, berjalan dalam perjalanan Sejarah Gereja mulai zaman
Jemaat Perdana hingga masa kini seiring dengan kehadiran Gereja-
gereja secara lokal di wilayah masing-masing.
Dalam perjalanan atau sejarah terbentuknya model-model Hukum
Gereja tersebut, terjadi modivikasi dan perpaduan oleh masing-
masing kelompok Jemaat atau denominasi Gereja yang menyusunnya.
HUKUM GEREJA
d.
Catatan pertimbangan secara kontekstual

Pertama:
Bahkan untuk Gereja-gereja lokal, sekalipun “dilahirkan”
oleh lembaga zending yang sama atau denomiansi yang
sama, secara kreatif dan mandiri menyusun Hukum Gereja
mereka masing-masing, sehingga menghasilkan bentuk
Hukum Gereja yang mirip-mirip atau berbeda sama sekali.
Kenyataan sejarah proses penyusunan Hukum Gereja
tersebut menuntut kesediaan masing-masing Gereja atau
denominasi saling menghargai kekhasan masing-masing
Gereja dalam menata Gerejanya.
HUKUM GEREJA
d.
Catatan pertimbangan secara kontekstual

Kedua:
sejalan dengan kenyataan sebagaimana diungkapkan dalam catatan
pertama tersebut, masing-masing Gereja memiliki kebebasan dan
tanggung jawab untuk menata Gerejanya masing-masing agar
pelaksanaan tugas panggilan Tuhan atas Gereja-Nya bisa berjalan
dengan baik.
Dalam proses penyusunan Hukum Gereja tersebut, agaknya Gereja-
gereja memiliki kemandirian tanpa harus terpaku pada model-model
tertentu yang diwariskan kepadanya.
Tidak ada model yang paling baik atau paling alkitabiah. Semua model
yang muncul dalam sejarah memiliki kekuatan dan kelemahan masing-
masing, baik ditinjau dari sudut alkitabiah maupun tradisi Gereja.
HUKUM GEREJA
d.
Catatan pertimbangan secara kontekstual
Kedua:
Hal yang lebih penting adalah kebutuhan kontekstual lokal yang
hendak dijawab oleh suatu lembaga Gereja.
Model-model Hukum Gereja yang sudah pernah muncul dalam
Sejarah Gereja, masih diperlukan untuk menjadi bahan pelajaran
atau bahan perbandingan dalam rangka menyusun Hukum Gereja
yang kontekstual.
Penyusunan Hukum Gereja perlu memperhatikan nilai-nilai
kearifan lokal sekaligus untuk menjawab secara konkrit
kebutuhan Gereja dalam rangka menjalankan tugas panggilannya
secara konkrit di tempat dimana suatu Gereja Tuhan tempatkan.
HUKUM GEREJA
Sumber Kepustakaan
01. Abednego. Jabatan Gereja Pada Masa Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995
02. Abineno, J.L. Ch. Garis-Garis Besar Hukum Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.
03. Abineno, J.L. Ch. Johanes Calvin: Pembangunan Jemaat, Tata Gereja dan Jabatan Gerejawi.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.
04. Abineno, J.L. Ch. Sekitar Teologi Praktika I. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984.
05. Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja. Jakarta: BPK GM, 1997.
06. Aritonang, Jan S dkk. 50 Tahun PGI: Gereja di Abad 21 – Konsiliasi untuk Keadilan,
Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan. Jakarta: Balitbang PGI, 2000.
07. Ismail, Andar. Awam & Pendeta: Mitra Membina Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005.
08. Kirchberger, Georg (ed.). Gereja Berwajah Asia (terj.). Flores: Nusa Indah, 1995.
09. Suleeman, Ferdinand dkk. Struggling in Hope – Bergumul dalam Pengharapan. Jakarta: BPK
GM, 2000.
10. Sumartana, Th. dkk., (peny.). Terbit Sepucuk Taruk: Teologi Kehidupan – 60 Tahun Dr.
Liem Khiem Yang. Jakarta: P3M-STTJ & Balitbang PGI, 1993. 
HUKUM GEREJA

SEKIA
N

Anda mungkin juga menyukai