(5)
Beberapa Model Hukum
Gereja
HUKUM GEREJA
(5) Beberapa
Model
Hukum
Gereja
d. Catatan a. Mengenal Sistem
pertimbangan Episkopal
secara kontekstual
Sejarah Gereja mencatat bahwa pada waktu Ignatius dari Antiokhia (meninggal
dunia tahun 115) Uskup melambangkan keesaan dari Gereja-gereja setempat.
Ia mewakili Kristus, sebagaimana para penatua mewakili para Rasul.
Pada masa Ireneus dari Lyon (sekitar tahun 180) episkopat mulai menjadi simbol
keesaan seluruh Gereja, sehingga suksesi Uskup merupakan wujud keesaan dalam
tradisi apostolis terhadap bahaya Gnosis dan jaminan kanon Kitab Suci.
HUKUM GEREJA
a.
Mengenal Sistem Episkopal
Pada masa hidup Cyprianus dari Karthago (sekitar tahun 250), di mana banyak terjadi
perpecahan Gereja dan murtadnya orang Kristen, hakikat Gereja berakar pada para Uskup
yang memang berjuang mati-matian menegakkan ajaran yang benar walaupun banyak yang
harus menjadi martir.
Dari catatan sejarah tersebut tampak bahwa pada masa Ireneus episkopat hanya merupakan
“garis pembantu” bagi Gereja yang benar, sementara pada masa Cyprianus episkopal menjadi
legitimasi dari Gereja yang benar.
Dengan demikian, maka Uskup menjadi guru – imam – hakim yang berkuasa di dalam Gereja.
HUKUM GEREJA
a.
Mengenal Sistem Episkopal
Dalam hal hubungan antara Gereja dengan Negara bisa dimulai sejak zaman Augustinus dengan
bukunya De Civitate Dei yang menggambarkan bahwa Gereja dan Negara merupakan “dua
kerajaan” yang berjalan beriringan namun tidak saling mempengaruhi, walaupun Negara tetap
berguna juga bagi Gereja.
Dalam perkembangannya hubungan antara Gereja dan Negara semakin bersifat Teokratis, yang di
dalamnya Gereja hendak me-nguasai seluruh aspek hidup termasuk kehidupan rohani dan jasmani.
Dalam perkembangan kemudian, terjadi ketegangan antara Gereja dan Negara yang pada akhirnya
dimenangkan oleh Gereja (Gereja/Paus menguasai Negara/Raja).
Raja-raja hanya menerima “pinjaman” kuasa dari Paus sebagai Kepala Gereja.
HUKUM GEREJA
b.
Mengenal Sistem Presbyterial
Sejarah munculnya sistem Presbyterial (Presbyterial-
sinodal) mengacu pada pemikiran yang dikembangkan oleb
Calvin dari pemikiran-pemikiran yang sudah berkembang
pada zamannya dan didasarkan pada “sistem” yang sudah
dijumpai di dalam Jemaat Perdana.
HUKUM GEREJA
b.
Mengenal Sistem Presbyterial
Namun demikian, pada satu sisi, dalam hal-hal tertentu wewenang Majelis
Jemaat/Gereja setempat mencakup bidang yang lebih luas daripada
wewenang persidangan Klasis dan Sinode,
pada sisi lain, persidangan yang lebih luas dalam sidang Klasis atau Sinode
memiliki hak untuk membicarakan dan mengambil kebijakan yang bersifat
umum, menyangkut Gereja secara keseluruhan, misalnya dalam hal:
pengakuan iman, pelaksanaan Baptisan, Perjamuan Kudus, dll.
HUKUM GEREJA
b.
Mengenal Sistem Presbyterial
Sejarah munculnya sistem Kongregasional atau Independentisme berawal dari Skotlandia (1557) dari suatu
persekutuan yang memisahkan diri dari Gereja-Negara di Inggris dengan menyebut dirinya Congregation
of the Lord.
Mereka keluar dan memisahkan diri dari Gereja resmi karena mereka beranggapan Gereja-Negara yang ada
telah hadir sebagai penghalang utama dalam rangka mewujudkan Kerajaan Allah.
Pendiri Kongregasionalisme adalah Robert Browne (1550-1633). Ia menjadi pengkhotbah yang sangat baik
di Cambridge, menolak untuk ditahbiskan menjadi rohaniwan Gereja Anglikan, dan menjadi pemimpin dari
kelompok orang yang memisahkan diri dari Gereja Anglikan.
sebagaimana ditegaskandi dalam PB, bentuk Gereja adalah kongregasi-kongrejasi atau Jemaat-jemaat yang
tidak mengenal lembaga yang lebih tinggi di atasnya, kecuali Allah;
masing-masing kongregasi atau Jemaat tidak mau mengakui wibaya persidangan yang ada di atasnya, dan
sekalipun masing-masing kongregasi/Jemaat bisa melakukan “persidangan” dalam suatu persidangan
sinode, namun persidangan tersebut hanya berhak memberi nasihat yang bisa dituruti maupun ditolak;
otoritas di dalam Gereja hanya satu, yakni Kristus dan Kitab Suci, dan Kristus telah memberikan wibawa-
Nya kepada anggota kongregasi/Jemaat secara individu;
HUKUM GEREJA
c.
Mengenal Sistem Kongregasional
sesuai dengan tindakan Kristus mengangkat sejumlah murid/rasul yang tanpa batas/ periode waktu, maka
para pejabat yang diangkat di dalam kongregasi/Jemaat juga tidak mengenal batas periode waktu;
para pejabat Gereja tidak memerintah melainkan melayani, karena yang memerintah hanya Kristus saja;
dan
keabsahan keputusan yang diambil oleh para pejabat Gereja ditentukan oleh persetujuan yang diberikan
oleh kongregasi/Jemaat.
HUKUM GEREJA
c.
Mengenal Sistem Kongregasional
Dalam hal ini tampak kebebasan menjadi unsur yang hakiki di dalam Gereja dengan
sistem Kongregasionalisme.
Pejabat kongregasi/Jemaat adalah Pendeta dan diaken-diaken dari kalangan awam.
Pendeta-pendeta dipilih secara bebas oleh anggota kongregasi dan ditahbiskan oleh
para Pendeta yang berasal dari kongregasi-kongregasi yang berdekatan.
Atas nama kemandirian dan kebebasan, masing-masing kongregasi kadang-kadang
mempunyai arah yang berlainan.
HUKUM GEREJA
d.
Catatan pertimbangan secara kontekstual
dari tinjauan sejarah munculnya model-model Hukum Gereja, tampak bahwa Jemaat Kristen tidak
memiliki sebuah pedoman atau patokan yang lengkap dan tepat mengenai bentuk atau model
Hukum Gereja.
Terbentuknya model-model Hukum Gereja menurut bentuk-bentuk tertentu, berjalan dalam
perjalanan Sejarah Gereja mulai zaman Jemaat Perdana hingga masa kini seiring dengan
kehadiran Gereja-gereja secara lokal di wilayah masing-masing.
Dalam perjalanan atau sejarah terbentuknya model-model Hukum Gereja tersebut, terjadi
modivikasi dan perpaduan oleh masing-masing kelompok Jemaat atau denominasi Gereja yang
menyusunnya.
HUKUM GEREJA
d.
Catatan pertimbangan secara kontekstual
Pertama:
Bahkan untuk Gereja-gereja lokal, sekalipun “dilahirkan” oleh lembaga zending yang
sama atau denomiansi yang sama, secara kreatif dan mandiri menyusun Hukum Gereja
mereka masing-masing, sehingga menghasilkan bentuk Hukum Gereja yang mirip-mirip
atau berbeda sama sekali.
Kenyataan sejarah proses penyusunan Hukum Gereja tersebut menuntut kesediaan
masing-masing Gereja atau denominasi saling menghargai kekhasan masing-masing
Gereja dalam menata Gerejanya.
HUKUM GEREJA
d.
Catatan pertimbangan secara kontekstual
Kedua:
Hal yang lebih penting adalah kebutuhan kontekstual lokal yang hendak dijawab oleh
suatu lembaga Gereja.
Model-model Hukum Gereja yang sudah pernah muncul dalam Sejarah Gereja, masih
diperlukan untuk menjadi bahan pelajaran atau bahan perbandingan dalam rangka
menyusun Hukum Gereja yang kontekstual.
Penyusunan Hukum Gereja perlu memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal sekaligus untuk
menjawab secara konkrit kebutuhan Gereja dalam rangka menjalankan tugas
panggilannya secara konkrit di tempat dimana suatu Gereja Tuhan tempatkan.
HUKUM GEREJA
Sumber Kepustakaan
01. Abednego. Jabatan Gereja Pada Masa Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995
02. Abineno, J.L. Ch. Garis-Garis Besar Hukum Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.
03. Abineno, J.L. Ch. Johanes Calvin: Pembangunan Jemaat, Tata Gereja dan Jabatan Gerejawi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.
04. Abineno, J.L. Ch. Sekitar Teologi Praktika I. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984.
05. Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja. Jakarta: BPK GM, 1997.
06. Aritonang, Jan S dkk. 50 Tahun PGI: Gereja di Abad 21 – Konsiliasi untuk Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan.
Jakarta: Balitbang PGI, 2000.
07. Ismail, Andar. Awam & Pendeta: Mitra Membina Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005.
08. Kirchberger, Georg (ed.). Gereja Berwajah Asia (terj.). Flores: Nusa Indah, 1995.
09. Suleeman, Ferdinand dkk. Struggling in Hope – Bergumul dalam Pengharapan. Jakarta: BPK GM, 2000.
10. Sumartana, Th. dkk., (peny.). Terbit Sepucuk Taruk: Teologi Kehidupan – 60 Tahun Dr. Liem Khiem Yang. Jakarta: P3M-STTJ &
Balitbang PGI, 1993.
HUKUM GEREJA
SEKIA
N