Anda di halaman 1dari 38

HUKUM GEREJA

(5)
Beberapa Model Hukum
Gereja
HUKUM GEREJA
(5) Beberapa
Model
Hukum
Gereja
d. Catatan a. Mengenal Sistem
pertimbangan Episkopal
secara kontekstual

c. Mengenal Sistem b. Mengenal Sistem


Kongregasional Presbyterial
HUKUM GEREJA
PENGANTAR

Melalui penelusuran Jabatan-jabatan di dalam Gereja, telah dipaparkan


sejumlah jabatan gerejawi sebagaimana ia dijumpai di kalangan Jemaat-jemaat
PB di samping sekilas juga dipaparkan pemahaman mengenai beberapa jabatan
tersebut di dalam Sejarah Gereja.
Paparan tersebut bisa menjadi pelengkap latar belakang sejarah di dalam upaya
memahami beberapa model Hukum Gereja yang akan dibicarakan.
Berikut paparan akan dilakukan terhadap tiga model Hukum Gereja yang paling
dominan, yaitu sistem Episkopal, sistem Presbyterial Sinodal, dan sistem
Kongregasional.
HUKUM GEREJA
a.
Mengenal Sistem Episkopal

Munculnya sistem Episkopal berjalan perlahan-lahan dimulai sejak zaman Jemaat


PB.
Pada mulanya Jemaat-jemaat PB dipimpin oleh para Rasul dengan dibantu oleh
beberapa orang yang diangkat secara khusus, seperti Timotius, Titus dan para
Penatua.
Seiring perkembangan zaman, ketika era para Rasul telah lewat, kepemimpinan
beralih kepada para Penilik (episkopos-episkopos) Jemaat dan para Penatua
(presbuteros-presbuteros).
HUKUM GEREJA
a.
Mengenal Sistem Episkopal

Di dalam perkembangan selanjutnya, kedudukan Episkopos semakin dominan sementara


kedudukan Presbuteros semakin menghilang.
Pergeseran peran ini didukung oleh kenyataan bahwa, pada satu sisi, jabatan Episkopos
berasal dari tradisi Yunani sedangkan jabatan Presbuteros berasal dari tradisi Yahudi, pada
sisi lain, perkembangan Jemaat semakin meluas ke kawasan dunia Yunani.
Pada akhirnya, jabatan Episkopos menjadi satu-satunya pemimpin Jemaat yang pada
waktunya membentuk Episkopos-monarkhis.
HUKUM GEREJA
a.
Mengenal Sistem Episkopal
Perkembangan ini semakin dipercepat oleh beberapa kenyataan, yakni:
- tindakan yang representatif dari para Uskup pada masa-masa penyiksaan membuat jabatan
mereka semakin dihormati,
- pimpinan para Uskup terutama dalam perayaan ekaristi memberikan kepada mereka tanggung
jawab atas kekudusan sakramen ekaristi tersebut,
- dalam pembasmian sejumlah agama kafir dan bidat-bidat para Uskup menjadi titik orientasi
untuk keesaan dan kebenaran yang dipercaya Jemaat-jemaat,
- para Uskup adalah orang-orang yang menyimpan Kitab Suci tertulis dan dianggap sebagai
penafsir Kitab Suci yang dapat dipercaya.
HUKUM GEREJA
a.
Mengenal Sistem Episkopal

Sejarah Gereja mencatat bahwa pada waktu Ignatius dari Antiokhia (meninggal
dunia tahun 115) Uskup melambangkan keesaan dari Gereja-gereja setempat.
Ia mewakili Kristus, sebagaimana para penatua mewakili para Rasul.
Pada masa Ireneus dari Lyon (sekitar tahun 180) episkopat mulai menjadi simbol
keesaan seluruh Gereja, sehingga suksesi Uskup merupakan wujud keesaan dalam
tradisi apostolis terhadap bahaya Gnosis dan jaminan kanon Kitab Suci.
HUKUM GEREJA
a.
Mengenal Sistem Episkopal

Pada masa hidup Cyprianus dari Karthago (sekitar tahun 250), di mana banyak terjadi
perpecahan Gereja dan murtadnya orang Kristen, hakikat Gereja berakar pada para Uskup
yang memang berjuang mati-matian menegakkan ajaran yang benar walaupun banyak yang
harus menjadi martir.
Dari catatan sejarah tersebut tampak bahwa pada masa Ireneus episkopat hanya merupakan
“garis pembantu” bagi Gereja yang benar, sementara pada masa Cyprianus episkopal menjadi
legitimasi dari Gereja yang benar.
Dengan demikian, maka Uskup menjadi guru – imam – hakim yang berkuasa di dalam Gereja.
HUKUM GEREJA
a.
Mengenal Sistem Episkopal

Dihubungkan dengan sistem pemerintahan berada di kota besar dan


menjadi induk (mis. Yerusalem, Roma, Korintus dan Antiokhia) dan
sejumlah Jemaat-jemaat kecil yang ada di sekitar Jemaat Induk tersebut.
Perkembangan seperti ini terus berlanjut seiring dengan semakin
meluasnya Kekristenan.
Kebiasaan tersebut pada waktunya menjadi akar bagi terbentuknya
wilayah Keuskupan dengan hirarki jabatan gerejawi yng menyertainya.
HUKUM GEREJA
a.
Mengenal Sistem Episkopal
Beberapa kebiasan itu adalah, seperti:
- Jemaat-jemaat kecil dilayani oleh para pejabat dengan tingkat kedudukan lebih rendah
dibandingkan di Jemaat Induk dan dalam banyak hal bergantung kepada Jemaat Induk;
- Jemaat Induk tertentu “membawahi” sejumlah Jemaat-jemaat kecil yang berada di dalam garis
geografis berdekatan dengannya;
- pada waktu-waktu tertentu diadakan “persidangan” para pejabat Gereja dari berbagai Jemaat-
jemaat pada suatu kawasan mengacu Jemaat Induk tertentu;
- pada saat yang sama juga diadakan persidangan-konsili yang menjangkau keseluruhan Jemaat-
jemaat dari berbagai wilayah.
HUKUM GEREJA
a.
Mengenal Sistem Episkopal

Pada saat bersamaan, perkembangan ke arah perpecahan Gereja


juga semakin kuat.
Demikian kita mengetahui perpecahan antara Gereja Barat yang
berbahasa Latin dan Gereja Timur yang berbahasa Yunani.
Di Gereja-gereja Ortodoks Timur, tidak dijumpai perbedaan hirarki
jabatan antara para Uskup yang ada.
HUKUM GEREJA
a.
Mengenal Sistem Episkopal
Hal ini berbeda dibandingkan dengan kawasan Gereja Katolik Roma di Barat.
Di sini kedudukan Uskup Roma, sesuai dengan latar belakang bahwa Petrus dan
Paulus pernah melayani di Roma, menempatkan sebagai Uskup Utama atau Uskup
Tertinggi dan menjadi pengganti Petrus yang dianggap bertanggung jawab atas keesaan
Gereja secara keseluruhan.
Pada akhirnya, Uskup Roma menjadi cikal bakal lahirnya Paus, di dalam sistem
pemerintahan Gereja Katolik Roma, dan di bawah Paus dijumpai sejumlah Uskup
sesuai dengan wilayah Keuskupan tertentu dan terus mengerucut sampai di tingkat
Paroki atau Jemaat-jemaat.
HUKUM GEREJA
a.
Mengenal Sistem Episkopal

Dalam hal hubungan antara Gereja dengan Negara bisa dimulai sejak zaman Augustinus dengan
bukunya De Civitate Dei yang menggambarkan bahwa Gereja dan Negara merupakan “dua
kerajaan” yang berjalan beriringan namun tidak saling mempengaruhi, walaupun Negara tetap
berguna juga bagi Gereja.
Dalam perkembangannya hubungan antara Gereja dan Negara semakin bersifat Teokratis, yang di
dalamnya Gereja hendak me-nguasai seluruh aspek hidup termasuk kehidupan rohani dan jasmani.
Dalam perkembangan kemudian, terjadi ketegangan antara Gereja dan Negara yang pada akhirnya
dimenangkan oleh Gereja (Gereja/Paus menguasai Negara/Raja).
Raja-raja hanya menerima “pinjaman” kuasa dari Paus sebagai Kepala Gereja.
HUKUM GEREJA
b.
Mengenal Sistem Presbyterial
Sejarah munculnya sistem Presbyterial (Presbyterial-
sinodal) mengacu pada pemikiran yang dikembangkan oleb
Calvin dari pemikiran-pemikiran yang sudah berkembang
pada zamannya dan didasarkan pada “sistem” yang sudah
dijumpai di dalam Jemaat Perdana.
HUKUM GEREJA
b.
Mengenal Sistem Presbyterial

Dasar pemikiran dari sistem Presbytarial-sinodal adalah bahwa


kepemimpinan atau pemerintahan Gereja oleh Kristus sebagai Kepala
dan Tuhannya yang berlangsung oleh pekerjaan Firman dan Roh Kudus
melalui pejabat-pejabat gerejawi sebagai hamba-Nya.
Atas dasar tersebut, sejumlah prinsip dari Gereja dengan sistem
Presbyterial-Sinodal, perlu menjadi perhatian khusus kita.
HUKUM GEREJA
b.
Mengenal Sistem Presbyterial

Titik tolaknya adalah Jemaat atau Gereja setempat.


Jemaat/Gereja setempat adalah manifestasi dari Gereja Kristen yang kudus dan am,
sehingga ia adalah Gereja dalam arti yang sesungguh dan sepenuhnya.
Sebagai Jemaat/Gereja yang utuh, maka di dalamnya dilangsungkan pemberitaan Firman
dan pelayanan Sakramen, pelayanan pastoral dan disiplin, pelayanan diakonial dll.
Gereja/Jemaat setempat memiliki kemandirian dalam mengatur dirinya termasuk dalam hal
kepemilikan.
HUKUM GEREJA
b.
Mengenal Sistem Presbyterial

Pemerintahan Gereja dipercayakan kepada suatu Majelis yang beranggotakan


para pejabat gerejawi (pendeta, pengajar atau doktor, penatua dan diaken).
Para pejabat Gereja tersebut memiliki kedudukan yang sama, tidak ada yang lebih
tinggi atau lebih rendah.
Tugas dari setiap anggota Majelis diatur di dalam Peraturan Gereja/Jemaat, mis:
Pendeta untuk memberitakan Firman dan melayani Sakramen; Pengajar atau doktor
memberi pengajaran katekisasi dan pengajaran teologis lainnya.
HUKUM GEREJA
b.
Mengenal Sistem Presbyterial

Secara bersama-sama, Pendeta dan Pengajar bertugas mengangkat dan


menetapkan Pendeta-pendeta.
Penatua bertugas untuk menggembalakan anggota jemaat. Bersama-sama
dengan Pendeta, Penatua memimpin Jemaat dan menjalankan disiplin
gerejawi.
Sementara Diaken bertugas untuk membantu orang-orang sakit dan kaum
miskin.
HUKUM GEREJA
b.
Mengenal Sistem Presbyterial

Di samping Majelis Jemaat/Gereja, masih ada persidangan-persidangan lain yang


lebih luas bidang cakupannya.
Persidangan tersebut seperti: persidangan Klasis/Resort dan persidangan Sinode
yang terdiri dari wakil Majelis Jemaat – Majelis Jemaat yang berasal dari Jemaat
yang berada pada suatu wilayah, entah klasis atau sinode.
Namun demikian, persidangan ini tidak dipandang lebih tinggi dibandingkan
dengan persidangan Jemaat/ Gereja secara lokal.
HUKUM GEREJA
b.
Mengenal Sistem Presbyterial

Namun demikian, pada satu sisi, dalam hal-hal tertentu wewenang Majelis
Jemaat/Gereja setempat mencakup bidang yang lebih luas daripada
wewenang persidangan Klasis dan Sinode,
pada sisi lain, persidangan yang lebih luas dalam sidang Klasis atau Sinode
memiliki hak untuk membicarakan dan mengambil kebijakan yang bersifat
umum, menyangkut Gereja secara keseluruhan, misalnya dalam hal:
pengakuan iman, pelaksanaan Baptisan, Perjamuan Kudus, dll.
HUKUM GEREJA
b.
Mengenal Sistem Presbyterial

Gereja memiliki suatu kemandirian yang tertentu terhadap Pemerintah,


khususnya di bidang tugas dan pelayanan pejabat-pejabat gerejawi.
Dalam hal ini Gereja memiliki hak dan kewajiban untuk menyampaikan
suara kenabiannya terhadap Negara dan Gereja diharapkan memberi
hormat terhadap Gereja dan mengakui hak-hak Gerejawi di dalam
mengatur dirinya secara mandiri.
HUKUM GEREJA
b.
Mengenal Sistem Presbyterial

Dikaitkan dengan sistem Presbyterial, tidak hanya dikenal dengan bentuk


Presbyterial-sinodal, tetapi juga dikenal dengan bentuk Sinodal-presbyterial
(khususnya GKE).
Pada dasarnya kedua sistem ini (Presbyterial-sinodal dan Sinodal-
Presbyterial) memiliki kesamaan.
Namun demikian ada penekanan-penekanan khusus yang membedakan antara
keduanya.
HUKUM GEREJA
b.
Mengenal Sistem Presbyterial

Kalau di dalam sistem Presbyterial-sinodal, kedudukan antar persidangan memiliki


legitimasi yang sejajar, maka di dalam sistem Sinodal-presbiterial, kedudukan
persidangan yang lebih luas memiliki kedudukan yang lebih tinggi, sementara
persidangan yang lebih kecil berada pada kedudukan menjalankan keputusan
persidangan yang di atasnya.
Kalau pada sistem Presbyterial-sinodal, Jemaat/Gereja setempat menjadi acuan,
maka di dalam sistem Sinodal-presbyterial, persidangan Sinode sebagai
penampakan dari persidangan Jemaat-jemaat sebagai titik acuannya.
HUKUM GEREJA
c.
Mengenal Sistem Kongregasional

Sejarah munculnya sistem Kongregasional atau Independentisme berawal dari Skotlandia (1557) dari suatu
persekutuan yang memisahkan diri dari Gereja-Negara di Inggris dengan menyebut dirinya Congregation
of the Lord.

Mereka keluar dan memisahkan diri dari Gereja resmi karena mereka beranggapan Gereja-Negara yang ada
telah hadir sebagai penghalang utama dalam rangka mewujudkan Kerajaan Allah.

Pendiri Kongregasionalisme adalah Robert Browne (1550-1633). Ia menjadi pengkhotbah yang sangat baik
di Cambridge, menolak untuk ditahbiskan menjadi rohaniwan Gereja Anglikan, dan menjadi pemimpin dari
kelompok orang yang memisahkan diri dari Gereja Anglikan.

Oleh berbagai penghambatan di Skontandia, kelompok ini kemudian bermigrasi ke USA.


HUKUM GEREJA
c.
Mengenal Sistem Kongregasional

Sistem pemerintahan Gereja Kongregasionalisme ini sebenarnya erat berhubungan dengan


ajaran Gereja-gereja Reformed di Kontingen Eropa dan Gereja Presbyterian di Skotland
dengan sejumlah perbedaan .
Pusat-pusat dari Gereja-gereja Kongregasionalisme ini adalah USA, tempat dimana
mereka lebih leluasa mengembangkan pemikirannya.
Mereka mengklaim bahwa ajaran yang dikembangkan oleh mereka berasal dari Willian
Ames dan Robert Parker yang keduanya meninggal di Belanda.
Hal ini menjadi alasan mengapa mereka juga mengenal sistem pemerintahan Gereja di
Belanda.
HUKUM GEREJA
c.
Mengenal Sistem Kongregasional

Titik tolak sistem Kongregasionalisme adalah otonomi kongregasi-kongregasi atau


Jemaat setempat, baik terhadap kongregasi atau Jemaat-jemaat lainnya, maupun terhadap
wibawa negara.
Batas-batas suatu kongregasi tidak sama dengan batas-batas pemerintahan.
Di dalam satu kota bisa saja dijumpai lebih dari satu kongregasi atau Jemaat yang bebas
dan mandiri.
Kemandirian tersebut berlaku atas pemanggilan para pelayan Gereja, atas kegiatan
peribadahan dan hal yang terkait dengannya, pengakuan iman dan pelaksanaan disiplin
gerejawi.
HUKUM GEREJA
c.
Mengenal Sistem Kongregasional

Dikaitkan dengan sistem Kongregasionalisme, dijumpai sejumlah ciri, seperti:

sebagaimana ditegaskandi dalam PB, bentuk Gereja adalah kongregasi-kongrejasi atau Jemaat-jemaat yang
tidak mengenal lembaga yang lebih tinggi di atasnya, kecuali Allah;

masing-masing kongregasi atau Jemaat tidak mau mengakui wibaya persidangan yang ada di atasnya, dan
sekalipun masing-masing kongregasi/Jemaat bisa melakukan “persidangan” dalam suatu persidangan
sinode, namun persidangan tersebut hanya berhak memberi nasihat yang bisa dituruti maupun ditolak;

otoritas di dalam Gereja hanya satu, yakni Kristus dan Kitab Suci, dan Kristus telah memberikan wibawa-
Nya kepada anggota kongregasi/Jemaat secara individu;
HUKUM GEREJA
c.
Mengenal Sistem Kongregasional

Dikaitkan dengan sistem Kongregasionalisme, dijumpai sejumlah ciri, seperti:

sesuai dengan tindakan Kristus mengangkat sejumlah murid/rasul yang tanpa batas/ periode waktu, maka
para pejabat yang diangkat di dalam kongregasi/Jemaat juga tidak mengenal batas periode waktu;

Kristus-lah yang memanggil-memilih-mengangkat para pejabat peranaraan kongregasi/Jemaat, khususnya


anggota kongregasi/Jemaat yang sudah dewasa;

para pejabat Gereja tidak memerintah melainkan melayani, karena yang memerintah hanya Kristus saja;
dan

keabsahan keputusan yang diambil oleh para pejabat Gereja ditentukan oleh persetujuan yang diberikan
oleh kongregasi/Jemaat.
HUKUM GEREJA
c.
Mengenal Sistem Kongregasional

Di samping ciri-ciri tersebut, kongregasi/Jemaat kongregasionalisme tidak


mengakui kuasa-kuasa yang mengikat dan bentuk-bentuk yang bersifat lahiriah.
Demikian, misalnya, disediakannya suatu formulir doa yang sudah disiapkan
hanya akan merusak pekerjaan Roh Kudus yang bisa mengaruniakan doa-doa
secara bebas.
Karenanya, hari raya – hari raja gerejawi yang bersifat tetap untuk dirayakan harus
ditolak.
HUKUM GEREJA
c.
Mengenal Sistem Kongregasional

Dalam hal ini tampak kebebasan menjadi unsur yang hakiki di dalam Gereja dengan
sistem Kongregasionalisme.
Pejabat kongregasi/Jemaat adalah Pendeta dan diaken-diaken dari kalangan awam.
Pendeta-pendeta dipilih secara bebas oleh anggota kongregasi dan ditahbiskan oleh
para Pendeta yang berasal dari kongregasi-kongregasi yang berdekatan.
Atas nama kemandirian dan kebebasan, masing-masing kongregasi kadang-kadang
mempunyai arah yang berlainan.
HUKUM GEREJA
d.
Catatan pertimbangan secara kontekstual

Memperhatikan keseluruhan uraian mengenai pokok bahasan tentang “Model-


model Hukum Gereja” di atas, beberapa catatan pertimbangan perlu
diberikan.
Catatan pertimbangan diperlukan untuk menjadi pertimbangan dalam rangka
upaya menyusun Hukum Gereja atau Tata Gereja yang kontekstual di
Indonesia (khususnya di Kalimantan).
HUKUM GEREJA
d.
Catatan pertimbangan secara kontekstual
Pertama:

dari tinjauan sejarah munculnya model-model Hukum Gereja, tampak bahwa Jemaat Kristen tidak
memiliki sebuah pedoman atau patokan yang lengkap dan tepat mengenai bentuk atau model
Hukum Gereja.
Terbentuknya model-model Hukum Gereja menurut bentuk-bentuk tertentu, berjalan dalam
perjalanan Sejarah Gereja mulai zaman Jemaat Perdana hingga masa kini seiring dengan
kehadiran Gereja-gereja secara lokal di wilayah masing-masing.
Dalam perjalanan atau sejarah terbentuknya model-model Hukum Gereja tersebut, terjadi
modivikasi dan perpaduan oleh masing-masing kelompok Jemaat atau denominasi Gereja yang
menyusunnya.
HUKUM GEREJA
d.
Catatan pertimbangan secara kontekstual

Pertama:
Bahkan untuk Gereja-gereja lokal, sekalipun “dilahirkan” oleh lembaga zending yang
sama atau denomiansi yang sama, secara kreatif dan mandiri menyusun Hukum Gereja
mereka masing-masing, sehingga menghasilkan bentuk Hukum Gereja yang mirip-mirip
atau berbeda sama sekali.
Kenyataan sejarah proses penyusunan Hukum Gereja tersebut menuntut kesediaan
masing-masing Gereja atau denominasi saling menghargai kekhasan masing-masing
Gereja dalam menata Gerejanya.
HUKUM GEREJA
d.
Catatan pertimbangan secara kontekstual

Kedua:

sejalan dengan kenyataan sebagaimana diungkapkan dalam catatan pertama tersebut,


masing-masing Gereja memiliki kebebasan dan tanggung jawab untuk menata Gerejanya
masing-masing agar pelaksanaan tugas panggilan Tuhan atas Gereja-Nya bisa berjalan
dengan baik.
Dalam proses penyusunan Hukum Gereja tersebut, agaknya Gereja-gereja memiliki
kemandirian tanpa harus terpaku pada model-model tertentu yang diwariskan kepadanya.
Tidak ada model yang paling baik atau paling alkitabiah. Semua model yang muncul dalam
sejarah memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing, baik ditinjau dari sudut
alkitabiah maupun tradisi Gereja.
HUKUM GEREJA
d.
Catatan pertimbangan secara kontekstual
Kedua:

Hal yang lebih penting adalah kebutuhan kontekstual lokal yang hendak dijawab oleh
suatu lembaga Gereja.
Model-model Hukum Gereja yang sudah pernah muncul dalam Sejarah Gereja, masih
diperlukan untuk menjadi bahan pelajaran atau bahan perbandingan dalam rangka
menyusun Hukum Gereja yang kontekstual.
Penyusunan Hukum Gereja perlu memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal sekaligus untuk
menjawab secara konkrit kebutuhan Gereja dalam rangka menjalankan tugas
panggilannya secara konkrit di tempat dimana suatu Gereja Tuhan tempatkan.
HUKUM GEREJA
Sumber Kepustakaan

01. Abednego. Jabatan Gereja Pada Masa Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995

02. Abineno, J.L. Ch. Garis-Garis Besar Hukum Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.

03. Abineno, J.L. Ch. Johanes Calvin: Pembangunan Jemaat, Tata Gereja dan Jabatan Gerejawi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.

04. Abineno, J.L. Ch. Sekitar Teologi Praktika I. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984.

05. Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja. Jakarta: BPK GM, 1997.

06. Aritonang, Jan S dkk. 50 Tahun PGI: Gereja di Abad 21 – Konsiliasi untuk Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan.
Jakarta: Balitbang PGI, 2000.

07. Ismail, Andar. Awam & Pendeta: Mitra Membina Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005.

08. Kirchberger, Georg (ed.). Gereja Berwajah Asia (terj.). Flores: Nusa Indah, 1995.

09. Suleeman, Ferdinand dkk. Struggling in Hope – Bergumul dalam Pengharapan. Jakarta: BPK GM, 2000.

10. Sumartana, Th. dkk., (peny.). Terbit Sepucuk Taruk: Teologi Kehidupan – 60 Tahun Dr. Liem Khiem Yang. Jakarta: P3M-STTJ &
Balitbang PGI, 1993. 
HUKUM GEREJA

SEKIA
N

Anda mungkin juga menyukai