Anda di halaman 1dari 8

Dapat juga dikatakan bahwa sistem episkopal ini adalah suatu sistem kepemimpinan gereja yang pucuk

pimpinannya dipegang oleh seorang Bishop. (Gereja Katolik)

1.    Sistem Papal

Sistem papal adalah sistem pemerintahan yang diterapkan oleh Gereja Roma Katolik (Agama Katolik).
Istilah papal berasal dari kata papas yang artinya bapa. Dari pengertian papas inilah kemudian dikenal
dengan istilah Paus. Dalam sistem ini pula Paus sebagai pemimpin yang tertinggi dan berkedudukan di
Vatikan Roma. Kekuasaan Paus diakui secara definitif pada Konsili Vatikan tahun 1870(Berkhof,
2007:37). Strukturnya berdasarkan wilayah kekuasaan yaitu Pausdi Roma, Kardinal di setiap negara,
Uskup di setiap propinsi, dan Pastor bertugas di paroki atau gereja lokal.

Pengaruh kekuasaan Paus pada saat itu berdampak pada setiap keputusan yang ditetapkannya dalam
gereja. Paus dianggap sebagai pengganti rasul Petrus dan wakil Kristus di dunia ini. Paus merupakan
pemimpin tertinggi yang menjadi pengantara antara manusia dengan Kristus.Pandangan mereka
didasarkan pada Injil Matius 16:13-19, di mana Paus diakui sebagai pengganti Petrus dengan alasan
bahwa Petrus itu kepala rasul-rasul.

Konsekuensi dari pemahaman ini menganggap Paus tidak dapat bersalah bila menetapkan pengajaran.
Pengajarannya berlaku mutlak dan tak dapat diubah.Dalam Keputusan Konsili Vatikan tahun 1870
menegaskan bahwa siapa yang menyangkal setiap keputusan Paus akandikutuk. Menurut Calvin (Hall,
2009:461)tindakan ini sebagai bentuk penghinaan atas Firman Allah ketika mereka membangun doktrin-
doktrin yang baru menurut keinginan, kepentingan, dan keuntungan gereja yang terorganisasi secara
hierarkikal.

Sistem papal berbentuk hierarkis atau susunannya bertingkat. Hierarkis terdiri atas dua kata
yaitu hieros berarti imam danarhein berarti memerintah. Di bawah Paus ada majelis Kardinal yang
berjumlah 70 orang. Sepanjang sejarah gereja Katolik sampai saat ini jumlah Kardinal tidak pernah
berubah. Ketujuh puluh orang Kardinal disebut Majelis Kardinal yang salah satu tugasnya memilih Paus
di sebuah tempat tertutup yang disebut Conclaaf.

2.    Sistem Episkopal (Episcopal)


Kata episkopal (episcopal) berasal dari bahasa Yunani episkopos yang berarti bishop atau
pastor. Istilah episkoposterdapat juga dalam Kisah Para Rasul 20:28 yang diartikan sebagai gembala atau
penilik. Sistem episkopal adalah sistem pemerintahan gereja yang dipegang oleh Bishop yang sama
dengan jabatan uskup.Sistem ini dimulai dalam gereja Roma Katolik sebagai kritik terhadap sistem
pemerintahan kepausan atau papal sebelumnya. Menurut Bercot (1999:44)bahwa praktik pemisahan
jabatan antara pastor dan bishop terjadi sekitar abad ke-2. Latar belakang timbulnya sistem ini ialah
penolakan kekuasaan Paus di Roma yang tanpa batas di atas. Sistem ini awalnya diterapkan oleh Gereja
Anglikan yang ada di Inggris.

Gereja-gereja yang menganut sistem pemerintahan episkopal menunjukkan bahwa kedudukan


bishop berbeda dengan sekelompok penilik atau penatua yang dimiliki gereja-gereja pada abad
pertama.Bishop bertugas mengawasi, mengatur, dan memimpin orang Kristen di seluruh wilayah dan
kota-kota tertentu. Seorang bishop menjadi pemimpin tunggal dan tertinggi atas seluruh gereja lokal.
Sementara gereja lokal dipimpin oleh seorang pendeta yang dibantu oleh beberapa majelis jemaat serta
bertanggung jawab langsung kepada bishop (Majelis Sinode). Segala keputusan tertinggi ialah keputusan
persidangan sinode yang diketuai oleh seorang bishop.

3.    Sistem presbiterial (prebyterian)

Istilah presbiterial dari kata Yunanipresbuteros (presbuteros) dan bahasa Ibrani disebut Zaqen yang


berarti pemimpin agama Yahudi atau pemimpin jemaat. Istilah ini dalam bahasa Jawa
disebutPinisepuh, bahasa sunda disebut Sesepuh,dan bahasa Indonesia disebut presbiter atau majelis
jemaat. Sistem Presbiterial, dimana gereja dipimpin oleh para presbiter yaitu penatua-penatua,
sehingga keputusan tertinggi ada pada persidangan presbiteryang sering disebut sidang majelis jemaat.

Sistem presbiterial adalah sistem pemerintahan gereja yang dipegang oleh majelis jemaat yang terdiri
dari pendeta, penatua, dan diaken. Sehubungan dengan sistem ini Calvin (Hall, 2009:453)mengenalkan
empat jabatan yang dapat melakukan pelayanan gereja, yaitu: guru (the doctor), gembala (the pastor),
penatua (the presbyter), dan diaken (the deacon).Keempat jabatan di atas bertujuan untuk melayani
Tuhan.

Penerapan sistem ini di mana setiap gereja lokal adalah independen tetapi terikat pada suatu keputusan
bersama dan strukturnya di mulai dari bawah ke atas(button up). Pendeta, penatua, dan diaken dipilih
oleh anggota jemaat gereja lokal.Sistem ini dianut oleh beberapa gereja di lingkungan
Protestan yang berakar sejakgerakan reformasi pada abad ke-16 di EropaBarat. Ditinjau dari sudut
pandang doktrin dan ajaran maka sistem presbiterian merupakan perkembangan serta penerapan
ajaran dari Johanes Calvin yaitu seorang tokoh reformator dari Prancis.

Secara kelembagaan sistem presbiterian muncul dari gereja Skotlandia yang merupakan hasil pelayanan
Jhon Knox yaitu salah seorang murid Calvin yang paling terkenal. Oleh sebab itu, gereja presbiterian
pada umumnya berkembang dan dapat ditemukan di negara-negara bekas jajahan Inggris, seperti
Amerika Serikat, Australia, Selandia baru, dan India.Selain itu, gereja yang menganut sistem ini pun
dapat juga ditemukan di beberapa negara seperti Korea, Filipina, sedangkan di Indonesia dipengaruhi
oleh gereja yang berasal dari Belanda. Mayoritas gereja protestan di Indonesia mengikuti tradisi
hervormd, yang merupakan tradisi utama protestanisme di Belanda yang awalnya dipengaruhi oleh
ajaran Johanes Calvin.

Kekuasaan tertinggi dalam sistem presbiterian berada di tangan penatua. Dalam hal ini penatua terbagi
dua golongan, yaitu penatua yang mengajar yaitu pendeta dan penatua yang memimpin organisasi.
Bersama kedua golongan penatua ini merupakan majelis gereja yang bertanggung jawab dalam
menegakkan disiplin, memelihara jemaat, dan menjalankan misi gereja. Sementara diaken bertugas
untuk melaksanakanpemeliharaan gedung, keuangan gereja, pelayanan kepada orang miskin, kedukaan,
dan berbagai pelayanan sosial lainnya.

4.    Sistem sinodal (synod)

Istilah sinode berasal dari kata Yunaniσυνοδος (sunodos) yang berarti sidang atau pertemuan. Kata ini
juga bersinonim dengan kata dari bahasa Latin yaituConcilium (konsili). Kata sunodos secara utuh tidak
terdapat di dalam Alkitab, tetapi akar katanya sunodeuo atau sunodia dapat ditemukan dalam Kisah
Para Rasul 9:7 dan Lukas 2:44 yang berarti seperjalanan. Dapat dikatakan bahwa sinode adalah berjalan
bersama, berpikir bersama, dan memutuskan secara bersama-sama demi kepentingan bersama pula.

Pada permulaannya, istilah sinode digunakan untuk pertemuan para uskup,namun dalam


perkembangan selanjutnya dapat dilihat pada setiap pertemuan gereja-gereja Kristen Protestan di
Indonesia maupun Kristen Ortodoks. Sistem sinodal (synod) adalah sistem pemerintahan gereja yang
berada dalam kekuasaan anggota sinode yang anggotanya terdiri atas utusan-utusan dari setiap gereja
lokal yang pada dasarnya memiliki tujuan bersama.
Dengan demikian, sistem ini memberikan peluang kepada para pemimpin gereja dan jemaat dari gereja
lokal untuk berpartisipasi langsung dalam pengambilan keputusan dalam melaksanakan segala
keputusan dan pelayanan pada organisasi gereja lokal.Persidangan sinode merupakan instansi tertinggi
yang keputusannya harus dilaksanakan oleh gereja-gereja lokal yang dipimpim oleh majelis jemaat yang
terdiri dari pendeta, penatua, dan diaken. Biasanya majelis jemaat pada setiap gereja lokal diketuai oleh
pendeta.

5.    Sistem Presbiterial Sinodal

Seiring perkembangan gereja, baik gereja yang ada di luar negeri maupun di Indonesia telah mengalami
perubahan pada sistem pemerintahan gerejanya masing-masing. Ada beberapa gereja yang menganut
dua sistem pemerintahan sekaligus.  Penggabungan antara sistem presbiterial dengan sistem sinodal
yang dikenal sebagai sistem presbiterian sinodal. Dari dua sistem ini kita bisa langsung tahu adanya
penggabungan antara sistem presbiterial murni dan sinodal murni.

Dalam sistem presbiterial murni di mana kekuasaan cenderung terpusat pada para majelis jemaat di
gereja lokal. Sementara peran sinode terkesan kurang mendapat tempat. Sebaliknya, pada sistem
sinodal murni pemusatan kekuasaan justru cenderung berada di tangan sinode, sehingga majelis jemaat
cenderung hanya sebagai perpanjangan tangan sinode semata. Karena pertimbangan itulah, untuk
mencapai suatu kondisi yang tidak timpang, kedua sistem tersebut disatukan atau “dikawinkan” menjadi
presbiterial sinodal untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh gereja yang bersangkutan.

Penyebutan sistem presbiterial sinodal juga mempunyai makna sendiri. Hal itu didasarkan pada
kesadaran bahwa suatu kondisi yang relatif balance antara jemaat setempat dan sinode. Namun pusat
kehidupan jemaat selalu berada di lingkup jemaat dan bukan lagi di dalam sinode secara utuh. Dalam
prakteknya, gereja-gereja yang menganut sistem presbiterial sinodal dipimpin oleh para majelis jemaat
yaitu pendeta atau penginjil, penatua, dan diaken yang diangkat dari anggota jemaat setempat.

Para presbiter dalam gereja lokal memimpin jemaat dalam suatu board yang disebut majelis jemaat.
Majelis jemaat yang terdiri dari pendeta, penatua, dan diaken inilah yang mengambil keputusan dalam
setiap rapat atau sidang di gereja lokal tersebut. Biasanya segala keputusan yang diambil merupakan
keputusan secara demokrasi yaitu dua pertiga atau 50 + 1 dari jumlah anggota sidang majelis jemaat.
Sistem ini hampir sama dengan voting dalam pengambilan keputusan di DPR-DPRD. Itulah kepemimpin
kolektif presbiterial sinodal, yang pada satu sisi mencegah pemusatan kekuasaan pada satu orang,
namun pada sisi lain proses pengambilan keputusan sangat lama karena selalu mengadakan rapat dalam
setiap masalah atau program gereja.

6.    Sistem Kongregasional (Congregational)

Sistem kongregasional (congregational) adalah sistem pemerintahan gereja yang independen. Menurut


Abineno (2002:75) bahwa sistem kongregasional merupakan paham yang dianut oleh Robert Parker
berkebangsaan Inggris yang dipengaruhi oleh sekte Anabaptis. Pertama sekali orang-orang yang
menganut paham ini memisahkan diri dari gereja Anglican dengan membentuk jemaat otonom.

Dalam sistem ini kekuasaan tertinggi terletak pada anggota jemaat. Karena itu hak para pejabat gerejawi
ini berasal dari anggota jemaat. Otoritas pemerintahan gereja tidak terletak pada individu maupun
perwakilan individu melainkan seluruh jemaat lokal. Dua hal yang sangat ditekankan oleh sistem
pemerintahan gereja ini adalah otonomi dan demokrasi. Gereja yang menganut sistem ini berdiri
sendiri, walaupun ada ikatan dengan jemaat-jemaat lain yang seasas hanyalah berupa ikatan yang
sifatnya sukarela dan bukan struktural.

Dalam perkembangannya, sistem kongregational telah mengalami perubahan sebagai akibat dari
konversi atau penggabungan berbagai sistem pemerintahan gereja secara modern. Berdasarkan
konversi tersebut maka sistem kongregational dibedakan dalam tiga kategori, yaitu:

a)     Kongregational murni merupakan penggabungan lini dan staf. Pada umumnya, sistem ini diterapkan
oleh gereja-gereja baptis karena menolak sistem sinodal di mana ketua sinode sebagai pemimpin
tertinggi pada tingkat nasional. Walaupun adanya penggabungan gereja Baptis tetapi independensi
(otonom) gereja lokal tetap menjadi ciri utama yang harus dipertahankan.

b)     Kongregational sinodal merupakan penggabungan lini dan fungsional. Gereja ini menerima sistem
kepengurusan gereja pusat, namun tetap mempertahankan otonomi masing-masing gereja lokal.

c)     Semi kongregational sinodal merupakan penggabungan sistem tipe lini, staf, dan fungsional. Sistem
ini biasanya dipakai oleh gereja-gereja yang beraliran Pentakosta. Walaupun sistem ini mendekati sistem
kongregational sinodal tetapi tidak memakai sinode. Sistem pemerintahannya selalu diserahkan kepada
pengurus pusat dan pengurus daerah.

Dengan melihat beberapa katogori di atas, maka ciri yang paling kental terlihat dalam sistem
kongregational adalah pendeta terkesan sebagai pemilik gereja. Pada awal terbentuknya sebuah gereja
ini selalu diawali oleh penginjilan pendeta atau penginjil. Segala kebutuhan dan kekurangan selama
membuka gereja itu menjadi tanggung jawabnya secara pribadi. Makan atau pun tidak makan selama
pelayanan menjadi resiko yang harus ditanggung oleh pendeta atau penginjil yang bersangkutan. Sifat
otonom terlihat jelas dalam setiap keputusan yang diambil oleh gereja lokal yang dipimpin oleh seorang
pendeta.

7.    Sistem Caesar (Caesaropapal)

Sistem Caesar merupakan sebuah sistem pemerintahan gereja yang berada di bawah kekuasaan seorang
raja. Model sistem ini dapat kita lihat di dalam gereja Yunani yang Ortodoks. Dalam hal ini negara
memberikan perlindungan kepada gereja, namun negara juga mempunyai hak untuk mengatur dan
mencampuri segala urusan dalam gereja. Segala keputusan dalam gereja berada di tangan pemerintah.
Orang yang pertama sekali menerapkan sistem ini yaitu Caesar Constantinus Agung pada permulaan
abad ke-4. Perkembangan sistem ini juga sebagian gereja Anglican dan beberapa gereja Lutheran di
Norwegia menggunakannya.

Sistem ini belum diterapkan secara mendalam di Indonesia sampai saat ini. Kendati pada jaman
penjajahan Hindia Belanda yang pernah datang ke Indonesia terkesan sistem ini terasa ada
kesamaannya, namun tidak berlangsung lama. Oleh sebab itu, kita harus yakin dan berdoa agar
penerapan sistem ini mudah-mudahan tidak akan pernah terjadi di Indonesia. Keyakinan ini dapat
terwujud jika seluruh gereja dari berbagai aliran dan denominasi tetap bersatu.

8.    Sistem Collegial

Sistem Collegial merupakan sistem gereja yang didasarkan pada hubungan pertemanan.
Istilah collega sendiri dapat berarti teman atau persekutuan. Segala kekuasaan terletak di tangan
anggota gereja yang memilih pengurusnya, sehingga segala keputusan ditetapkan dengan suara
terbanyak dan demokrasi tentunya. Walaupun keputusan yang dihasilkan bertentangan dengan
kehendak Kristus, tetapi harus dilaksanakan oleh semua anggotanya. Dasar keputusan yang diambil
biasanya lebih bersifat sekuler dan bukan alkitabiah.

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa setiap aliran dan denominasi gereja memiliki sistem gereja yang
berbeda-beda. Kedua sistem terakhir yaitu sistemCaesaropapal dan sistem Collegialmerupakan
tambahan yang diberikan oleh J.A.C. Rullmann (1953:31-32) dalam bukunya yang berjudul Peraturan
Gereja. Sistem ini terbentuk berdasarkan sudut pandang pemimpin ataupun jemaat tersebut. Apabila
ditelusuri lebih jauh lagi maka semua sistem di atas belum diterapkan secara sempurna sesuai dengan
kaidah dan nilai dari setiap sistem tersebut.

Sistem pemerintahan dalam sebuah gereja sangatlah penting. Menurut Calvin(Hall, 2009:452) sistem
pemerintahan gerejaadalah ketetapan Allah bagi pendirian dan kelanjutan gereja. Barangsiapa
mengabaikannya sebagai tidak perlu, sedang berusaha keras untuk membongkar, atau, meruntuhkan
dan menghancurkan gereja. Penegasan Calvin atas konsep ini bertujuan untuk menciptakan keteraturan
dalam sebuah organisasi gereja. Kendati demikian, sebaik apapun sistem pemerintahan gereja tentu
tidak bisa disamakan atau bahkan melebihi isi Alkitab. Kemungkinan besar setiap sistem ini dalam
penerapannya akan bertentangan dengan kehendak Allah.

Sistem pemerintahan gereja dirancang dan ditetapkan oleh oleh gereja untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Mengigat banyaknya sistem gereja yang berbeda-beda, maka sangat sulit untuk menentukan
manakah dari antara sistem ini yang Alkitabiah. Tidak ada satu pun organisasigereja yang menggunakan
secara murni dari salah satu sistem pemerintahan ini.  yang ada. Apakah melalui sistem ini akan
mempermuliakan Yesus Kristus sebagai pemilik Gereja? Jawabannya terletak pada motif dan
kepentingan setiap pemimpin gereja yang menerapkan sistem tersebut.

Dalam prakteknya setiap pemimpin gereja berusaha menggabungkan dua bentuk variasi dari setiap
sistem yang ada.Faktor inilah yang menyulitkan kita untuk mengidentifikasi secara spesifik sistem apa
yang diterapkan oleh suatu aliran dan denominasi gereja yang sudah ada di Indonesia. Bahkan
secara mengejutkan terdapat beberapa gereja yang menggunakan lebih dari dua sistem sekaligus untuk
memuluskan segala rencana pemerintahannya dalam gereja tersebut.

Dengan kerendahan hati perlu kita mengakui bahwa semua sistempemerintahan gereja selama ini
merupakan sebuah pilihan yang sulit. Sistem ini biasanya ditentukan oleh pengalaman historis sebuah
gereja. Pemilihan sistem ini berkaitan dengan konteks kesejarahan dan pengalaman gereja itu
sebelumnya. Semua sistem ini baik bagi gereja yang memilihnyasepanjang tidak bertentangan dengan
Alkitab. Jika bertentangan dengan Alkitab maka diperlukan revisi.

Memang tidak ada satu pun sistemgereja yang sempurna. Semua sistem organisasi gereja dibuat oleh
tangan manusia yang berdosa, memiliki keterbatasan, keegoisan, dan kepentingannya masing-
masing. Setiap sistem pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Yang penting untuk
dicermati bahwa bagaimana konsekuensi dari penggunaan sistem itu dalam kehidupan bergereja. Jujur
atau tidaknya kita bahwa dengan adanya perbedaan sistem pemerintahan gereja sebenarnya menjadi
salah satu faktor pemicu terjadinya perpecahan gereja hingga saat ini. 

Anda mungkin juga menyukai