Anda di halaman 1dari 9

NAMA : Yohanes Hidaci

NIM : 16.3143
KELAS : Semester VI
MATA KULIAH : Teologi Biblika PB
DOSEN : Pdt. Dr. Raulina Siagian

LATAR BELAKANG DAN KEADAAN SOSIAL DALAM KITAB KOLOSE


1 : 15 – 23
( Teologi Ekologi )

Pendahuluan

Ekoteologi muncul sebagai jawaban atas pengakuan luas tentang krisis lingkungan
yang serius dan mengancam kehidupan manusia di bumi. Ekoteologi berkaitan erat dengan
konsep keutamaan Kristus atau ide bahwa ciptaan hanyalah obyek dari dominasi manusia.
Kolose 1:15-23 merupakan teks yang sangat potensial karena merupakan satu dari teks-teks
yang paling signifikan dalam keseluruhan Perjanjian Baru untuk mendeskripsikan
keutamaan Yesus Kristus dan teks ini menunjukkan perhatiannya bukan saja kepada
manusia dan keselamatan manusia, tetapi juga kepada dunia dan keselamatan dunia.

Keadaan Sosial
Pada abad kedua gereja berhadapan dengan munculnya sebuah gerakan dengan
ajaran sesat yang dikenal dengan nama Gnostik. Gnostik adalah sebuah sikap dan
kecenderungan berpikir religius-filosofis daripada sebuah system dan sikap ini dapat
menyesuaikan diri dengan pandangan Yahudi, Kristen atau kelompok-kelompok kafir
lainnya. Sekalipun demikian, tampaknya pokok ciri khas pandangan Gnostik adalah :
dualism metafisika, mahluk-mahluk perantara, penebusan melalui pengetahuan. Semua
agama menurut ajaran Gnostik, merupakan manifestasi dari satu kebenaran yang
tersembunyi, berusaha menuntun orang menuju pengetahuan mengenai kebenaran
tersebut. Paulus mempergunakan istilah dari golongan yang salah ini untuk menyerang
ajaran mereka dan didalam melakukan hal itu, mengembangkan doktrin “Kristus yang
meliputi alam semesta”. Didalam Kristus, satu-satunya perantara itu, terdapat segala
hikmat dan pengetahuan didalam kematian dan kebangkitanNya semua kuasa yang ada di
alam semesta ini sudah dikalahkan dan tunduk kepadaNya. Setiap pengajaran yang tidak
menjadikan Kristus sebagai sentral dengan dalih menuntun orang kepada kedewasaan dan
kesempurnaan merupakan penyimpangan yang mengancam hakikat iman. Sang Rasul
dengan demikian mengidentifikasi dan mengungkapkan akar dari kesalahan yang ada di
Kolose.1

1
Charles F. Pfeiffer dan Everett F. Harrison. 2001. Tafsiran Alkitab Wycliffe Volume 3 Perjanjian Baru. Malang:
Yayasan Penerbit Gandum Mas
Penulis Surat

Bahwa Paulus merupakan penulis surat ini masih disangkal oeh kalangan tertentu.
Keberatan-keberatan utama terhadap pendapat bahwa Paulus lah penulisnya adalah : (1)
Pikiran dan penekanan dalam surat ini tidak sesuai dengan terdapat dalam Roma, Korintus
dan Galatia, (2) Ajaran sesat yang beredar di Kolose mustahil sudah berkembang dengan
begitu cepat. Bagaimanapun juga adalah salah untuk menggambarkan Paulus seakan-akan
pikirannya terkekang; situasi yang berubah merupakan jawaban yang memuaskan untuk
menerangkan terjadinya perubahan tema dan kosakata. Suara bulat dari tradisi gereja
mula-mula bersatu dengan mayoritas pakar masa kini menegaskan keaslian surat ini, kita
dapat meyakini kebenaran keputusan ini.

Waktu Penulisan Surat

Waktu penulisan surat Kolose menjadi perdebatan di antara para ahli. Jika surat
Kolose menjadi surat yang autentik ditulis oleh Paulus maka kemungkinan besar surat
ini ditulis selama masa penahanan Paulus di Roma tahun 60-62 ZB, akan tetapi surat
Kolose bukanlah ditulis oleh Paulus tetapi oleh anggota jemaat gereja Paulus yang
menghargai otoritas Paulus. Hal yang perlu diperhatikan adalah Kolose telah hancur pada
tahun 61 ZB. Surat Kolose mempunyai kesamaan dengan surat Efesus yang ditulis oleh
orang Kristen generasi kemudian sekitar tahun 80-140 ZB.2 Kemungkinan besar surat
Kolose adalah fiktif, akan tetapi tidak menutup kemungkinan jika surat Kolose ditulis
sebelum tahun 61 ZB. Surat ini bukanlah surat edaran karena surat ini memaparkan
dengan jelas situasi suatu jemaat yang mengalami permasalahan karena munculnya guru-
guru palsu yang mengajarkan ajaran sesat.

Penerima Surat

Gereja yang dimaksudkan dalam surat Kolose atau sebut saja gereja Kolose
memiliki jemaat yang sebagian besar terdiri dari orang-orang bukan Yahudi. Orang bukan
Yahudi disebut orang kafir karena dianggap belum mengenal Allah. Tidak ada penjelasan
mengenai pendiri gereja, kemungkinan Epafras, rekan pelayanan Paulus dan hamba setia
dari Gereja Kolose-lah yang mendirikan gereja ini. Surat ini ditujukan kepada jemaat
Kolose yang sebagian besar bukanlah orang Yahudi. Hal ini ditegaskan dalam Kolose
1:21, yang dahulu hidup jauh dari Allah dan yang memusuhi-Nya dalam hati. Frase ini
menggambarkan mereka yang dulunya tidak mengenal perjanjian dengan Israel. 3

Tujuan Penulis Surat


2
George H. Van Kooten. 2003. Cosmic Christology in Paul and the Pauline School. Germany: Mohr
Siebeck.

3
Ibid, George H. Van Kooten
Penulis surat menasihatkan jemaat tentang ancaman yang datang dari bidat Kolose
dengan harapan agar mereka tetap percaya dan berpegang teguh kepada Yesus Kristus.
Bidat Kolose ini menggunakan filsafat dan perkataan yang kosong untuk merusak iman
jemaat dengan ajaran yang berdampak pada doktrin penciptaan dan menyangkal
kemanusiaan Yesus Kristus. Pengajaran yang dilakukan oleh guru-guru palsu ini diwarnai
oleh bidat gnostik yang berusaha mengalihkan kekristenan menjadi suatu filsafat dan
teosofi. 4

EKOTEOLOGI MENURUT KOLOSE 1 : 15 - 23

Wacana Ekoteologi Masa Kini

Ekoteologi melihat seluruh ciptaan Allah sebagai suatu sistem yang saling terkait1
dan penekanannya terletak pada relasi yang harmonis antara Allah, manusia dan alam
semesta. Relasi yang baik antara manusia dengan ciptaan lain digambarkan dalam relasi
lingkaran yakni setiap ciptaan saling berhubungan dan tidak mendominasi satu dengan
yang lain. Ekoteologi tetap mengakui peran penting manusia dalam kehidupan planet
bumi, namun menolak klaim mengenai peran dominasi manusia.5
Ekoteolog melukiskan kembali kisah penciptaan dan menolak pandangan
tradisional yang melihat penciptaan dimulai dari tingkatan yang paling sederhana menuju
tingkatan yang paling sempurna karena pandangan tersebut menempatkan manusia pada
kedudukan yang tertinggi.
Wacana ekoteologi pada masa kini masih diwarnai oleh perdebatan- perdebatan
mengenai alasan terjadinya krisis ekologi yang dikaitkan dengan peristiwa- peristiwa alam
baik itu bencana alam, dampak perubahan iklim, kelangkaan sumber daya alam,
pengrusakan hutan, penggunaaan teknologi yang tidak ramah lingkungan, dan lain
sebagainya serta bagaimana teologi menjawab dan bertindak menangani permasalahan-
permasalahan lingkungan tersebut.
Hal yang harus diakui bahwa krisis ekologi yang terjadi pada saat ini menyadarkan
sebagian pemikir Kristen mengenai masalah lingkungan hidup sebagai bagian dari tugas
agama. Para pemikir tersebut mulai mengkaji ulang pandangan agama yang telah
berabad-abad lalu hanya terfokus pada keselamatan manusia yakni keselamatan untuk
jiwa setelah kematian.
Kritikan pedas bagi kekristenan oleh Lynn White dalam artikel yang berjudul The
Historical Roots of Our Ecological Crisis juga memberikan pengaruh besar bagi para

4
Ibid, George H. Van Kooten
5
Pendapat Lynn White dikutip oleh Laurel Kearns, “The Context of Eco-Theology” dalam Gareth Jones, Ed.,
The Blackwell Companion to Modern Theology,
teolog dengan tuduhan bahwa kekristenan menanggung beban besar dari rasa bersalah
atas krisis ekologi atau dengan kata lain, orang Kristen adalah biang keladi dari
dieksploitasinya alam secara semena-mena dengan berdasar pada Kejadian 1:28,
mengakibatkan banyaknya pemikiran-pemikiran baru yang muncul baik sifatnya
mendukung maupun menentang tuduhan tersebut.

Pengkajian ulang, pernyataan ataupun jawabab-jawaban yang disampaikan oleh


para teolog pada hakekatnya bertujuan untuk membangun suatu pandangan dan pola
perilaku yang mampu diterapkan dalam pemulihan ekologi. Sikap para teolog untuk
merubah cara pandang lama yang antroposentrisme menjadi cara pandang yang ekoteologi
agar menghasilkan suatu keutuhan ciptaan memang hal yang susah sehingga tidak
terlepas dari perdebatan ataupun tantangan-tantangan yang ada di tingkat global maupun
lokal.
Ekoteologi semakin mengalami perkembangan yang pesat dengan corak yang
bermacam-macam. Ekoteologi bukan hanya mencakup kaum Kristen namun mencakup
keanekaragaman suara, telinga dan wajah dari berbagai pihak pada berbagai disiplin ilmu.
Ini suatu pemikiran yang baik sekaligus tantangan yang harus dihadapi. Tantangan
ekoteologi bukan hanya berupa permasalahan global tetapi juga masalah internal antar
berbagai pihak dalam penanaman sikap kepeduliaan, menjaga, merawat dan memelihara
ciptaan lain. Perspektif ekoteologi juga dihubungkan dengan feminisme yang melahirkan
cara pandang ekofeminisme yang melihat bahwa bumi ini sengsara bukan hanya karena
sikap manusia yang eksploitatif desktruktif tetap juga karena pandangan androsentris
dengan penempatan laki-laki sebagai puncak hierarki yang menjadi tolak ukur segala
sesuatu.

Sumbangsih Penafsiran Kolose 1:15-23 terhadap Wacana Ekoteologi

Teks Kolose 1:15-23 berbicara mengenai dimensi transendental dari kosmik


Kristus, yang meliputi kedudukan dan peran Kristus dalam kosmos. Seluruh karya Kristus
bernilai ekologi dan sejalan dengan wacana ekoteologi. Karya-Nya bukan hanya dalam
proses inkarnasi dan penebusan serta pendamaian umat manusia dari dosa tetapi juga
dalam pra-eksistensi-Nya sebagai pencipta segala sesuatu.

Keutamaan Krisus terhadap Masa Depan Ciptaan dalam Wacana Ekoteologi

6
Keutamaan Kristus dalam pra-eksistensi dan kemanusiaan-Nya, kesetaraan- Nya
dengan Allah Bapa dan Roh Kudus, kedudukan-Nya dalam karya penciptaan dan karya
penebusan serta pendamaian yang bersifat kosmik memberikan suatu harapan akan masa

6
David G. Hallman, Beyond “North/South Dialogue” dalam David G. Hallman, Ed., Ecotheology: Voices From
South and North (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1994)
depan ciptaan yang berimplikasi pada pola relasi yang setara antar ciptaan. Penafsiran
terhadap Kolose 1:15-23 menyatakan bahwa Kristus berkaitan dengan segala ciptaan
bukan sejak proses inkarnasi dan penebusan tetapi sejak awal, sebelum segala sesuatu
dijadikan. Hubungan tersebut dijelaskan dalam konsep kosmik Kristus dalam gambaran
kepala tubuh.
Keterkaitan antara Kristus dan ciptaan mewujudnyatakan peristiwa Inkarnasi.
Allah yang dalam kekekalan-Nya telah berencana sejak semula untuk menebus,
mendamaikan serta memulihkan keutuhan ciptaan. Ini tujuan dari kedatangan dan
pemberitaan Kristus mengenai Kerajaan Allah. Karya penebusan dan pendamaian-Nya
menjadi awal transformasi dari relasi yang baru antara ciptaan dan Allah serta antar
ciptaan.
Ini sesuai dengan wacana ekoteologi, karena merupakan cara pandang yang
menentang relasi antroposentrisme dan atau yang bias dualisme hierarki serta sama- sama
mengakui bahwa seluruh ciptaan saling bergantung dan berpusat pada Allah di dalam
Kristus.
Keutamaan Kristus dalam wacana ekoteologi menghadirkan pemahaman bahwa
masa ini adalah masa transisi menuju masa depan ciptaan. Pemulihan ekologi akan
terjadi dan itu didahului oleh pertobatan ekologi, sehingga tidak ada kata terlambat untuk
memulai sesuatu. Kristus sebagai kepala ciptaan telah mengumpulkan semua ciptaan yang
berbeda-beda fungsinya untuk bersatu dan saling membangun, menjaga dan memelihara.
Paradigma ini meyakini bahwa Kristus adalah teladan semua ciptaan tanpa terkecuali.
Mengaitkan atau menjelaskan wacana ekoteologi dalam pemahaman iman akan Kristus
sangat penting untuk membantu penghayatan dan kepeduliaan pada ekologi yang berakar
pada iman akan Kristus dan ini adalah bagian dari tanggung jawab menjadi pengikut
Kristus, suatu jalan pemuridan Kristen. Kepeduliaan kepada ekologi bagi para pengikut
Kristus bukanlah perintah atau paksaan tetapi sesuatu yang lahir dari iman akan Kristus.

Etika Kristosentris-Holisme dalam Kolose 1:15-23

Kacamata baru sangat diperlukan untuk membaca teks Alkitab dalam sentuhan
ekoteologi. Kacamata tersebut ialah paradigma berpikir atau berteologi yang meniadakan
relasi hierarkis dan menyatakan keutuhan ciptaan melalui karya Kristus, namun paradigma
tersebut akan lebih bernilai jika dapat diterapkan dalam kehidupan.7
Paradigma keutamaan Kristus dalam wacana ekoteologi hasil penafsiran Kolose
1:15-23 melahirkan suatu pola berelasi yang baru antara Allah dan ciptaan maupun antar
ciptaan. Pola atau etika ini, saya sebut sebagai kristosentris-holisme.Ini berarti bahwa teks
Kolose 1:15-23 seharusnya dibaca dalam paradigma ekoteologi yang ber-etika
kristosentris-holisme.

7
Deane-Drummond, Celia, terj. Robert P. Borrong. 2001. Teologi dan Ekologi: Buku pegangan. Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
Etika adalah uraian tentang bagaimana seseorang seharusnya hidup atau
berkelakuan dengan mencerminkan kebenaran, keadilan dan kasih kepada
sesamanyaHolisme adalah paham yang memandang bahwa seluruh ciptaan adalah bagian
yang utuh dan bukan merupakan kesatuan yang terpisah-pisah. Holisme berasal dari kata
Yunani o[loj yang berarti semua, keseluruhan, lengkap.
Etika kristosentris-holisme merupakan etika yang menjadikan Kristus sebagai
teladan bagi ciptaan dan melihat ciptaan sebagai bagian yang utuh dan tidak terpisah,
setara dan saling bergantung, dengan tanggungjawab manusia sebagai penatalayanan.
Etika ini menghargai nilai dari semua ciptaan, tetapi juga melihat tempat tanggung jawab
manusia dan semuanya tidak dapat terpisah dari Kristus. Seluruh ciptaan merupakan suatu
keutuhan dengan peran yang berbeda-beda dan dikepalai oleh Kristus.
Kenosis berasal dari kata Yunani keno,w yang berarti menghilangkan kekuasaan
(deprive of power), mengesampingkan apa yang memiliki. Paham holisme telah
mencakup kenosis karena keutuhan ciptaan dapat terjadi jika manusia mampu meneladani
Kristus, yaitu teladan pengosongan diri Kristus. Pada paradigma baru ini, manusia
berperan sebagai penatalayan yang memelihara, mengelola dan menjaga alam. Saya tidak
sependapat dengan pernyataan yang menilai bahwa peran ini masih bias
antroposentrisme karena setiap ciptaan dalam tubuh Kristus memiliki peran yang
berbeda-beda, begitu pun dengan manusia. Peran penatalayan ini bukan dalam relasi
hierarki tetapi relasi yang sejajar dalam hubungan kesalingbergantungan sebagai bagian
dari tubuh Kristus.8
Teks Kolose 1:15-23 menekankan kristosentris daripada teosentris. Peranan dan
kedudukan Kristus mewarnai keseluruhan teks daripada pembahasan mengenai Allah
Tritunggal, walaupun keberadaan Kristus tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Sang
Bapa dan Roh Kudus. Allah Tritunggal berperan dalam ciptaan, namun keutamaan Kristus
yang hadir dalam pra-eksistensi, kesetaraan-Nya dengan Sang Bapa dan Roh Kudus,
kedudukan-Nya dalam karya penciptaan, kemanusiaan- Nya serta karya-Nya dalam
penebusan dan pendamaian menjadi alasan dari penulis untuk menekankan kepada jemaat
di Kolose agar tidak dipengaruhi oleh ajaran- ajaran sesat. Ini berarti, Kristus dijadikan
sebagai dorongan tingkah-laku jemaat. Kristus menjadi dasar beretika. Kuasa dan kasih
yang dipraktekkan serta seluruh perbuatan dan perkataan Kristus membuka makna dan
maksud karya Allah baik dalam peristiwa penciptaan, penebusan maupun setelah kenaikan
Kristus ke Sorga.
Keselamatan yang telah dikerjakan oleh Kristus bagi seluruh ciptaan adalah
prasyarat yang mengakibatkan pertobatan yang harus dilakukan oleh manusia, yaitu
berbalik dari tindakan yang dilarang oleh Allah dan melakukan apa yang Ia kehendaki.
Pertobatan yang dimaksud oleh teks Kolose 1:15-23 adalah perubahan cara pandang atau
perilaku yang mengakibatkan penderitaan dengan perlakuan semena-mena terhadap
ciptaan lain, memilah-milah ciptaan yang baik dan yang buruk, memposisikan diri unggul
dari ciptaan lain, dan lain sebagainya. Pertobatan dari ajaran sesat. Pertobatan yang

8
Ibid, Deane-Drummond, Celia, terj. Robert P. Borrong
menghasilkan perilaku yang benar untuk menuju pada masa depan ciptaan yang sempurna
dalam Kristus, suatu pertobatan ekologi.
Sikap yang benar tercantum dalam konsep kepala tubuh atau kosmik Kristus yang
secara jelas dinyatakan dalam etika kristosentris-holisme. Tidak ada yang teristimewa atau
teramat baik karena seluruh ciptaan adalah baik adanya dan perlakuan manusia terhadap
ciptaan lain haruslah meneladani Kristus dengan kesadaran bahwa semua keberadaan,
semua ciptaan tidak terpisah-pisah namun disatukan oleh Kristus dan saling berhubungan.
Ekoteologi yang ber-etika kristosentris-holisme sudah sepantasnya diperjuangkan
untuk menggantikan teologi-teologi, terkhususnya di Indonesia yang tidak melihat
perempuan-laki-laki-alam sebagai ciptaan yang sejajar dan tidak melihat alam sebagai
bagian yang telah ditebus serta diciptakan baik adanya sebagai perwujudan dari kemuliaan
dan kebesaran Allah sehingga dapat dieksploitasi dengan semena-mena. Paradigma
ekoteologi yang ber-etika kristosentris-holisme melihat kaum laki-laki-perempuan-alam
sebagai ciptaan yang saling bergantung dan berpusat pada Kristus. Keberadaan ciptaan
yang satu ditentukan oleh keberadaan ciptaan lain. Tanpa kesalingbergantungan ini, tidak
ada kehidupan di muka bumi.

Kesimpulan

Alam memanifestasikan keteraturan dan rancangan yang bijaksana, tidak ada


yang berlebihan. Allah telah menciptakan segala sesuatu dengan tertib dan baik, akan
tetapi dunia itu sendiri yang tidak sempurna dan suci. Yudaisme memberikan tempat yang
istimewa bagi manusia dalam kerangka penciptaan karena manusia diciptakan seturut
gambar Allah. Alam diciptakan untuk manusia.
Saat ini, ekoteologi merupakan wacana yang ramai diperbincangkan oleh berbagai
pihak. Wacana ini bukan hanya berkaitan dengan kekristenan tetapi juga berkaitan dengan
agama-agama lain dalam lingkup pembahasan yang beranekaragam karena ekoteologi
hanya dapat berhasil diterapkan apabila disesuaikan dan dipahami dalam konteks
ekoteologi tersebut diwacanakan. Sebagian besar masyarakat dunia menggunakan
pendekatan etis tradisional yang memahami bahwa nilai ciptaan tergantung pada manusia.
Keberadaan ciptaan lain hadir untuk memenuhi kebutuhan manusia sehingga manusia
perlu bertanggungjawab terhadap alam. Ciptaan lain tidak memiliki tempat dalam karya
penebusan dan pendamaian Kristus. Ciptaan lain tidak dijelaskan dalam konsep kepala
tubuh karena konsep ini hanya menjelaskan hubungan antara Kristus dan jemaat yang
menunjuk pada manusia. Ketimpangan relasi antar ciptaan ini menyatakan bahwa
pendekatan etis tradisional yakni antroposentrisme tidak dapat menolong sebagai dasar
ber-etika karena manusia selalu menganggap dirinya sebagai tuan atau ciptaan yang paling
istimewa.
Kenyataan antroposentrisme semakin diperparah oleh relasi yang tidak seimbang
antara laki-laki dan perempuan. Perilaku mendominasi, semena-mena terhadap perempuan
disamakan dengan materi atau alam sebagai sesuatu yang pasif, bernafsu rendah dan
kotor. Pendekatan antroposentrisme yang bias dualisme hierarkis dikoreksi dalam
wawasan ekoteologi yang ber-etika kristosentris-holisme. Pemikiran yang layak menjadi
dasar berteologi pada konteks masa kini. Pada pemikiran ini Kristus menjadi dasar dalam
ber-etika dan terdapat penghargaan terhadap semua ciptaan dalam hubungan kemitraan
yang sejajar sambil melihat tempat tanggung jawab manusia yakni sebagai penatalayan
yang mengurus dan mengelola alam secara bertanggungjawab. Pandangan terhadap
Kristus yang berdasar pada Kolose 1:15-23 membentuk cara pandang dan perilaku antar
ciptaan.

Anda mungkin juga menyukai