Anda di halaman 1dari 6

Nama : Rafael Oktovianus Tanonggi

NIM : 18111026
Mata Kuliah : Oikoumene (rangkuman buku Teologi Misi Pentakostal Bab 10 & 11)

BAB 10
TANTANGAN GERAKAN OIKUMENE MASA DEPAN DAN KONTRIBUSI
PENTAKOSTAL

Pendahuluan
Menyitir hasil penelitian Litkomm PGI menyebutkan keadaan yang memprihatinkan
dari gerakan oikoumene di Indonesia, yaitu dua hal, pertama kekurangan figur-figur muda
yang menaruh perhatian bagi gerakan oikoumene di Indonesia, dan kedua masalah
pelembagaan gerakan itu sendiri yang justru menciptakan masalah kemandegan gerakan
keesaan di Indonesia. Itu adalah potret nyata oleh orang-orang Kristen Di Indonesia terkait
gerakan keesaan.
Penulis buku ini sendiri merasakan minimnya kontribusi gereja-gereja
Pentakostal/Karismatik di Indonesia untuk mendorong gerakan keesaan dan membangun
kemiktraan bersama dengan gereja-gereja lain untuk mengatasi isu-isu berbangsa dan
bernegara. Jadi, persoalan yang dikemukaan dari hasil Litkom PGI tersebut merupakan
tanggung jawab bersama, termasuk gereja-gereja Pentakostal. Namun apakah kita benar-
benar membutuhkan sebuah badan untuk keesaan? Apakah saat ini relevan untuk
mempertahankan cara-cara yang selama ini dengan mana kita mengusahakan keesaan?
Format seperti apa yang dibuthkan untuk mendorong gereja-gereja di Indonesia memiliki
kesadaran akan panggilan bersama?
Kecemasan Yang Mendunia
Penulis buku ini menambahkan tantangan yang dialami oleh PGI saat ini adalah
relevansinya bagi gereja-gereja di Indonesia, selain tantangan kedua hal di atas. Hal ini
sebenarnya telah menjadi kepedulian dari WCC kira-kira 10 tahun yang lalu. Oktober 2005
Dr. Samuel Kobia yang kala itu adalah sekretaris jendral WCC berkata bahwa tantangan-
tantang tersebut seharusnya menjadi kesempatan-kesempatan untuk maju.
Bila kita mendekati tugas ekumenikal kita dengan mata yang selalu baru untuk
melihat, kita dapat mengamati perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar kita
sebagai sebuah anugerah Allah bagi orang percaya, kaya akan potensi untuk meningkatkan
pelayanan kristen di dunia dan kesatuan di antara gereja-gereja.
Pada kenyataan lain, di seluruh dunia, justru pengembangan-pengembangan dialog
oikumenis digagas antara lembaga-lembaga gereja yang mapan tanpa dorongan dari WCC.
Ada pula upaya-upaya gerakan keesaan yang lahir dari unsur-unsur yang tidak formal seperti
pada kelompok-kelompok pemuda, persekutuan-persekutuan mahasiswa, dan wanita. Mereka
memandang lembaga gerakan oikumene seperti WCC terlalu bersifat clerical, terlalu
bergantung pada para pemimpin tertahbis yang diordinasi oleh gereja-gereja anggotanya.
Dari Penerimaan Yang Belum Penuh Ke Perasaan Sebagai Tamu Di Dalam Gerakan
Keesaan Di Indonesia
Di Indonesia gerakan ekumenis atau gerakan keesaan gereja dimulai dan di dorong
utamanya oleh gereja-gereja tradisional. Tidak ada catatan sejarah kontribusi gereja-gereja
Pentakosta di dalam pembentukan PGI. Pertanyaan yang menohok adalah sejauh mana
pertumbuhan gerakan pentakosta/karismatik itu berkontribusi bagi gerakan keesaan di
Indonesia?. Tentu sangat disayakangkan masih minimnya kesadaran di kalangan
pentakosta/karismatik akan perannya untuk memajukan kesatuan gereja-gereja di Indonesia,
dan turut mengambil peran bagi kesejahteraan bangsa dan negara.
Gereja-gereja pentakostal/karismatik masa kini bukan hanya di seluruh dunia telah
menjadi kekuatan yang diperhitungkan, namun juga di Indonesia. Di dunia gereja-gereja
Pentakostal Karismatik mengalami pertumbuhan yang fantastis di tengah penurunan drastis
pada gereja-gereja protestan.
Ada beberapa faktor mengapa tidak banyak gereja-gereja Pentakostal yang
menggabungkan dirinya ke PGI dan juga tidak signifikannya kontribusi mereka :
1. Adanya ganjalan teologis dan psikologi-ekklesiologis, baik dari kalangan gereja-
gereja tradisional terhadap gereja-gereja Pentakostal. Banyak gereja Protestan
menganggap Pentakosta dan Karismatik sesat
2. Kelompok Pentakostal yang tergabung dalam PGI belum mempunyai formula dalam
memainkan perannya. Menganggap diri sendiri adalah tamu
3. Adanya kenyataan dan ketegangan-ketegangan di lapangan. Umumnya disebabkan
sikap ekspansif dari penanaman gereja-gereja yang dilakukan oleh kelompok
Pentakosta/karismatik. Ada perasaan terancam dari gereja-gereja protestan.
Memformulasikan Bentuk Kerjasama Untuk Memperkuat Gerakan Oikoumene Di
Indonesia. Saran-Saran Praktis
1. Diskusi-diskusi dan pertemuan-pertemuan yang lebih banyak dari lintasdenominasi,
dapat membangkitkan kesadaran kita untuk mengembangkan gerakan keesaan di
Indonesia
2. Gerakan oikoumene di Indonesia harus kembali kepada sifat movementnya dan
mencoba membuka seluas-luasnya peran elemen-elemen non formal di dalam
kekristenan untuk mengajak mereka semua berperan serta memajukan kesatuan dan
kebersamaan di dalam tugas profetik bagi bangsa dan negara.
3. Program dan struktur hanyalah alat, bukan tujuan.
4. Kesatuan orang percaya merupakan prasyarat bagi penggenapan yang efektif dari
amanat agung
5. Kemurahan hati yang “tidak biasa”
BAB 11
HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA
SUATU TINJAUAN SEJARAH DAN MISI
Gereja-gereja selalu memiliki peran yang aktif dan signifikan di dalam membentuk
model atau sistem pemerintahan negara di dalam dunia. Gereja mempengaruhi hampir semua
aspek kehidupan masyarakat meskipun di negara yang jumlah kekristenan nya sedikit.
Dalam banyak kasus gereja seperti kerajaan dalam kerajaan dengan infrastruktur, pengikut,
undang-undang, dan agenda serta programnya.
Dengan banyaknya bentuk negara yang beragam, Gereja ditantang perannya di
Masyarakat ketika ia melayani dunia dan harus mampu untuk melakukan penyesuaian
terhadap perubahan. Meskipun pesan gereja tidak berubah, namun pendekatannya harus
dinamis, dialektis, dan kreatif. Fungsinya sebagai terang dan garam berhadapan dengan
realitas negara dan masyarakat mulai dari bersikap yang responsif hingga yang opresif.
Dari kelahiran gereja hingga sekarang, tidak ada persetujuan tunggal bagaimana
gereja harus berperilaku dan berperan di hadapan negara. Kekristenan tidak mempunyai
model politik ideal pada dogma dasariahnya. Hubungan gereja dan negara telah
memunculkan kesulitan-kesulitan besar dalam suatu ragam bentuk untuk teori dan
praktiknya, karena kedua institusi ini mempunyai konstitusi, anggota, ideologi, pejabat
masing-masing, seperti dikemukakan oleh seorang bapa Gereja yang bernama Augustinus
berkata bahwa ada dua negara, yang pertama negara Allah dan kedua negara sekuler.
Keduanya terpisah unik dan independen.
Mengutip perkataan Gaudium et Spes “berdasarkan tugas maupun wewenangnya
Gereja sama sekali tidak dapat dicampuradukkan dengan negara. Dan tidak terikat pada
sistem politik manapun juga. Sekaligus gereja itu menjadi tanda dalam perlindungan
transendensi pribadi manusia.
Tinjauan Alkitab Hubungan Gereja dan Negara
Teologi Perjanjian Lama Hubungan Gereja Dengan Negara
Alkitab mempunyai banyak penegasan tentang hubungan Gereja dengan Negara. Pada
periode Bapa-bapa leluhur Wright menjelaskan bahwa Allah memanggil mereka untuk
terlepas dari lingkungan sosial-politik dan memberi identitas baru. Walau mereka terlepas
dari lingkungan itu, mereka tak terlepas dari konteks komunikasi dan interaksi dengan orang-
orang disekitarnya.
Kedua, periode eksodus dan kehidupan di Kanaan hingga ke masa Hakim-hakim.
Wright menjelaskan tentang opresi yang dirasakan Israel sebagai bangsa untuk dapat
beribadah. mereka merasakan diskriminasi sosial dan politik. Akan tetapi setelah mereka
pindah ke Kanaan ada perubahan status mereka. Di sini mereka mulai merasakan
pemerintahan teokrasi. Pada pemerintahan teokrasi Yahweh berperan sebagai raja yang
melakukan tindakan peperangan dan administrasi hukum dan keadilan.
Periode ketiga adalah periode Monarki. Wright menuturkan bahwa disini Israel sudah
terbentuk menjadi sebuah bangsa yang lengkap dengan perangkat-perangkatnya dengan
kepemimpinan sentral, batas-batas, dan pertahanan militer yang sudah terorganisir, dan lain-
lain. Namun, identifikasi umat Allah dengan negara politik tidak pernah seluruhnya
menyenangkan. Permintaan bangsa itu akan seorang raja dianggap sebagai penolakan
teokrasi oleh nabi Samuel dan Yahweh.
Periode pembuangan. Wright mencatat bahwa pada masa pembuangan ini, sekali lagi
bangsa Israel mengalami apa yang ia sebut sebagai hampir bukan sebuah bangsa lagi. Mereka
tercabik-cabik identitasnya sebagai sebuah bangsa, dan harus belajar lagi menjadi orang asing
di negeri asing. Anehnya justru Tuhan meminta mereka untuk berdoa bagi kesejahteraan kota
di mana mereka dibuang (Yer 29). Namun Daniel dan kawan-kawannya mampu menjadi
saksi ditengah-tengah negara kafir dan penyembahan berhala, dan mereka turut
memengaruhin kebijakan-kebijakan negara dan memberikan keuntungan bagi umat Allah
melalui keterlibatan karier sekuler mereka.
Kisah berlanjut bahwa masa depan umat Allah bergantung kepada Koresy yang juga
adalah seorang raja kafir. Yeremia memang menggambarkan Koresy sebagai domba Yahweh
dan yang diurapi-Nya. Jadi, disamping nabi secara pasti mendeklarasikan bahwa pembebasan
Israel dari pembuangan akan merupakan pekerjaan gemilang Yahweh, ia juga menatap bagi
keadaan eksternal yang baru muncul untuk menyelesaikan itu. sekali lagi disini kita melihat
bahwa bagaimana secara penuh Perjanjian Lama meletakkan semua urusan politik manusia
dan kekuatan militer di bawah kehendak Allah yang berdaulat.
Periode Pasca Pembuangan. Suatu periode yang memulihkan mereka sebagai sebuah
bangsa dan komunitas iman.
Teologi Perjanjian Baru Hubungan Gereja-Negara
Yesus berkata kepada Yohanes “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; jika Kerajaan-Ku
dari dunia ini, pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, supaya Aku jangan diserahkan kepada
orang Yahudi, akan tetapi kerajaan-Ku bukan dari sini”. Dalam ayat ini terkandung
penegasan bahwa identitas Gereja terhisap di dalam penegasan bahwa Yesus bukan dari
kerajaan manapun di dunia ini, dengan demikian, Gereja sebagai pengikut-Nya tak berjuang
sebagaimana perjuangan orang-orang di dunia ini. Kerajaan dunia melawan dengan kekuatan
dan kekeran, namun gereja-Nya harus melayani dengan kerendahan hati, pelayanan, dan cinta
kasih.
Gereja sebagai duta besar kerajaan Sorga berarti pekerjaan gereja adalah pekerjaan
rohani, bukan pekerjaan politik. Tanggungjawabnya adalah untuk membawa shalom bagi
dunia ini, dan mengundang mereka untuk menjadi murid-Nya. Dalam cara ini maka
keterlibatan gereja di dalam arena publik harus dilihat sebagai keterlibatan yang kritis dan
profetis, seperti doa-doa, usaha-usaha pengentasan kemiskinan, penegakan keadilan,
mendorong partisipasi publik untuk menjadi rakyat yang bertanggung jawab.
Dalam rekaman Perjanjian Baru jelas umat-Nya ada dalam situasi yang tidak mudah.
Mereka hidup di suatu daerah (Palestina khususnya), di mana selama berabad-abad secara
berganti-ganti telah menjadi daerah yang menjadi target invasi bangsa-bangsa seperti Babel,
Persia, Suriah, Yunani, Romawi. Khususnya pada masa Perjanjian Baru mereka dalam
kekuasaan Romawi.
Pasca kebangkitan Yesus , tidak lama kita menyaksikan mulai terbentuknya “gereja”
yang secara khusus memisahkan diri. Lalu suatu tragedi terjadi pada tahun 64 M, ketika
kebakaran besar terjadi di kota Roma, dan kaisar Nero menuduh orang-orang Kristen sebagai
penyebabnya. Hasilnya adalah penganiayaan pertama kepada Kristen oleh negara. Kombinasi
faktor-faktor Militer, Agama, sosial-ekonomi memicu perang Yahudi-Roma, yang berakhir
pada tahun 70M. Di tahun itulah menandai berbaliknya 180 derajat pada sejarah Yahudi dan
kekristenan.
Salah satu ayat yang sering dirujuk untuk melihat hubungan gereja dengan negara
adalah Roma 13:1-7; Titus 3:1-3; 1 timotius 2:1-3; dan 1 Petrus 2:11-17.
Tinjauan Singkat Sejarah Gereja, Hubungan Gereja-Negara
Melalui sejarah kita melihat bahwa selama berabad-abad Gereja telah melalui
penganiayaan. Itu dimulai dari tahun 249 M, ketika Desius memutuskan untuk memerangi
orang-orang Kristen. Salah satu penyebab penganiayaan orang-orang Kristen adalah karena
orang-orang Kristen tidak mau menyembah dan mempersembahkan kurban kepada para
dewa. Menganiayan orang-orang Kristeb juga merupakan usaha pemerintah menghidupkan
kembali agama Roma kuno.
Dikeluarkanlah 4 dekrit untuk untuk menyerang gereja :
1. Untuk penghancuran bangunan-bangunan dan buku-buku Kristen
2. Dekrit ke 2-4 memerintahkan orang-orang Kristen untuk mempersembahkan
kurban-kurban kepada dewa-dewa dengan ancaman kematian yang melalui
penderitaan yang amat panjang dan lama. Pada saat inilah banyak yang murtad
dan menyerah
Pada tahun 312 M, pergeseran hubungan gereja dengan negara berubah, yang tadinya
terpisah, kini kekristenan menjadi agama negara, dimulai dari bertobatnya kaisar
Konstantinus menjadi Kristen. 313 Konstantinus dan iparnya mendeklarasikan kekristenan
agama negara di kekaisaran Roma, diberlakukan secara formal pada tahun 380 pada masa
kaisar Theodosius. Pada tahun 476 uskup Roma menjadi satu-satunya figur terkuat,
membuatnya memiliki hak prerogatif, baik sipil maupun urusan kegerejaan.
Salah satu perseteruan hebat yang melibatkan Gereja dan Negara adalah campur
tangan negara dalam persekutuan di tubuh gereja itu sendiri. Lalu Martin Luther melakukan
terobosan dengan Teologi Kristen tradisional dan pemerintahan gereja katolik dengan
membuat hierarki institusional melalui apa yang disebut “imamat semua orang percaya” dan
dengan memisahkan gereja dengan negara. Calvin sendiri menyatakan bahwa gereja dan
negara sebagai dua lembaga yang berbeda dan unik, tetapi keduanya harus saling
berhubungan.
Kesimpulan Reflektif dan Aplikasi di dalam Konteks Indonesia
Tentu sebagai negara yang dibangun di atas prinsip-prinsip kesamaan, para pendiri
bangsa Indonesia menyadari bahwa Indonesia terdiri dari banyak agama. Dan di dalam
sejarah dan konteks Indonesia hubungan gereja dengan negara mengalami fluktuatif dan
kompleksitas, sebagaimana faktor politik, sosial, dan agama begitu kuat terlibat. Gereja di
Indonesia di tantang oleh fakta akan eksistensinya di negara yang bermayoritas Muslim.
Indonesia adalah penganut paham dimana Gereja dan negara berada dalam posisi
yang terpisah. Masing-masing tidak menguasai.
Beberapa faktor ketidaksiapan gereja dalam keterlibatannya ditengah masyarakat
adalah :
1. Ambivalensi teologi zending
2. Teologi pietisme (gereja khusus hal-hal rohani)
3. Minoritas yang selalu menjadi target kekerasan
Di bawah kementerian agama, pemerintah mengakomodasi isu kristenisasi dengan
menghalangi penginjilan Kristen dan pertumbuhan gereja, sehingga salah satu caranya adalah
dengan mewajibkan gereja untuk melakukan izin di setiap aktivitasnya. Kenyataan ini
menyulitkan gereja-gereja di Indonesia
Pada akhirnya diskursus hubungan gereja dan negara ini akan selalu menjadi hal yang
menarik, seiring dengan dinamisnya perubahan2 didalam kehidupan berbangsa dan bernegara
di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai