Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

MATERI: SIKAP GEREJA DENGAN AGAMA LAIN, SERTA


PANDANGANNYA TERHADAP KEBERAGAMAN DALAM TUBUHNYA

Di susun oleh:

Jesica Tulandi
Jesica Lanongbuka
Greyti Tonggengbio
Marsela Weku
Patricia Liow
Vecky Misire

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN KRISTEN
2023
BAB I
PENDAHULUAN

Sebuah realita bahwa Gereja Tuhan atau orang percaya di Indonesia tinggal bersama, berada,
bergaul dan berbaur dalam tatanan masyarakat majemuk. Masyarakat yang terdiri dari berbagai
ragam suku, agama bahasa dan ras yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Keberagaman
tersebut menjadi keunggulan dan keunikan Negara Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar.
Selain sebagai sebuah keunggulan dan keunikan, kemajemukan juga menjadi sebuah tantangan
berat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Eksistensi Indonesia sebagai bangsa besar
dengan semboyan Bhineka Tunggal Ikanya akhir-akhir ini sedang diuji dengan persoalan besar
yang berkaitan dengan masalah keberagaman di Indonesia. Fransiskus Irwan Widjaja
mengutarakan masyarakat Indonesia memiliki berbagai latar belakang yang berbeda satu dengan
yang lainnya. Adanya keberagaman atau perbedaan itu mempengaruhi bahasa, budaya,
kepercayaan. Secara sosiologis, masyaraka Indonesia adalah masyarakat religius dan mudah
menerima kebudayaan yang membawa nilai-nilai spiritual. Dibalik keunikan nilai-nilai spiritual
di atas juga terdapat isu-isu intoleransi menjadi pekerjaan rumah yang sangat mendesak untuk
segera ditangani secara serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Intoleransi
beragama menduduki posisi teratas dari berbagai praktek intoleransi yang terjadi. Masyarakat
Indonesia yang multicultural menganut berbagai agama seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Budha, Khonghucu dan aliran kepercayaan menghadapi tantangan yang sama tentang aksi
Intoleransi baik antar dan inter beragama. Dalam prespektif iman Kristen perbedaan,
kemajemukan masyarakat Indonesia adalah anugerah Tuhan dan kekayaan besar bangsa yang
wajib dijaga dan disyukuri. Kepelbagaian suku, bangsa, ras dan agama adalah keunggulan dan
kekuatan Indonesia sebagai bangsa yang besar. Gereja harus bertanggungjawab dan
berpartisipasi dalam merawat kemajemukan agama sehingga damai sejahtera Allah di bumi
dapat terwujud. Namun realitanya gereja juga ikut berkontribusi dalam praktek intoleransi di
Indonesia, baik yang berkaitan antar agama maupun inter beragama. Hal ini tepat seperti
penjelasan Fredy Simanjuntak, Pola hubungan merupakan inti dari seluruh pelayanan dan
kehadiran Yesus selama melakukan seluruh pekerjaan-Nya di Bumi. Yesus dalam kesehariannya
menempatkan diri-Nya di tengah-tengah orang banyak, mulai dari keluarga sampai kepada anak-
anak. Apa yang Yesus ajarkan sesuai dengan apa yang Ia lakukan. hubungan penuh kasih dan
belas kasihan kepada orang-orang merupakan cermin dari kehidupan Yesus sendiri, penuh
kedekatan dan ketidakterpisahan dengan Bapa-Nya. Keunikan itulah yang menempatkan pola
hubungan merupakan pusat dari kekristenan itu sendiri yang menjadikan hukum terutama yaitu
mengasihi Tuhan Allah setara dengan mengasihi sesame manusia. Allah menjadikan keluarga
sebagai tempat untuk manusia dapat belajar saling mengasihi. Tugas besar gereja dalam merawat
kemajemukan masyarakat semakin berat melihat berbagai fenomena dan tumbuhnya berbagai
sikap intoleransi ditengah masarakyat masa kini. Toleransi yang adalah “nyawa” dan “roh”
membangun harmoni dalam masyarakat majemuk seolah sirna oleh pancaran pengajaran
radikalisme antar dan inter agama yang lambat laun telah merobek semangat kebersamaan dalam
kebhinnekaan. Jamaknya praktek intoleransi yang terjadi di Indonesia dalam dasawarsa terakhir
berhasil mengubah sikap dan pandangan masyarakat gotongroyong menjadi bangsa yang egois
dan merasa dirinya, ajarannya, kelompoknya, agamanya, sukunya yang paling benar. Sikap ini
tidak saja terjadi diluar gereja dan kekristenan, namun dalam gereja dan kekristenan sikap ini
tumbuh begitu subur yang berhasil menelurkan berbagai aliran didalam dan diluar gereja. Hal ini
menjadi dilema bagi kekristenan masa kini. Sebab didalam dan diluar gereja muncul berbagai
pengajaran yang menjauhkan umat Tuhan dari semangat kesatuan sebagai Tubuh Kristus.
Tumbuh sikap dan pandangan superioritas atas gereja dan denominasi lain. “Di satu sisi, gereja
dari kalangan Injili kerapkali dicap sebagai kaum pietis, yang hanya memperhatikan sisi rohani
manusia dan mengambil sikap acuh tak acuh terhadap kondisi dunia yang sedang terjadi. Di sisi
lain, gereja-gereja yang membawa semangat oikumenikal dicap sebagai gereja liberal yang
terlalu banyak menekankan sisi kemanusiaan dari pelayanan gereja dan membuat kebenaran
Alkitab menjadi relative.” Tuhan Yesus Kristus sebagai patokan, tokoh central dalam iman
Kristen dalam praktek hidup pelayanan dan pengajaranNya mewariskan nilai luhur tentang
toleransi. Manusia sebagai “sesama” wajib hidup harmoni dalam kasih. Namun praktek hidup
dan pengajaran Kristus tersebut tidak teraplikasi dengan maksimal dalam praktek kehidupan
iman Kristen masa kini. Sikap dan pandangan orang Kristen masa kini jauh dari telada, praktek
dan pengajaran Kristus tentang toleransi. Akibatnya konflik dan perpecahan di dalam dan di luar
gereja dengan berbagai alasannya menjadi perbincangan dan diskusi tanpa kesimpulan hingga
saat ini.
BAB II
PEMBAHASAN

A. GEREJA DAN KEMAJEMUKAN


Sebelum kita membahas tentang gereja dan kemajemukan, ada baiknya kita melihat definisi dari
gedua istilah tersebut. Gereja secara etimologi berasal dari bahasa Yunani ekklesia yang artinya
dipanggil keluar, bermakna bahwa yang dipanggil keluar adalah umat, persekuatuan atau
perhimpunan orang Kristen yang dipanggil keluar dari kegelapan menuju terang kristus. Jadi arti
gereja tidak hanya sebuah gedung saja tapi merupakan suatu komunitas dari orang-orang Kristen
itu sendiri. Sedangkan kemajemukan berarti gabungan dari beberapa unsur, jika ditarik ke
konteks gereja berarti gabungan dari orang-orang/jemaat Kristen yang berbeda baik budaya, latar
belakang sosial dan lainnya.

1.) Kemajemukan Gereja Mula-Mula


Gereja mula-mula atau gereja perdana memiliki kemajemukan melalui karya dari Roh Kudus
pada saat peristiwa pentakosta, dimana umat dari latar belakang budaya dan negara yang berbeda
diperkenalkan kepada injil Yesus Kristus melalui karya Roh Kudus (Kis. 2:1-13). Pada saat
itulah gereja lahir dan Tuhan mengizinkan injil dikenal oleh bangsa-bangsa non-Yahudi agar
keselamatan melalui Yesus Kristus itu tergenapi. Para rasul berbuat seperti apa yang
diperintahkan Tuhan Yesus dalam Amanat Agung-Nya “Jadikanlah semua bangsa murid-Ku...”
(Mat. 28:19-20).

2.) 5 Pusat Kepatriakan (Kepemimpinan) Gereja Mula-Mula


Pada abad-abad awal masehi agama kristen mulai menyebar ke seluruh dunia dan makin
bertambah banyak orang-orang yang masuk Kristen, gereja saat itu dipimpin langsung oleh para
rasul atau yang dikenal dengan istilah “Paradosis Apostolik (Kesinambungan Ajaran). 5
kepatriakan tersebut adalah:
a.) Gereja Roma yang dipimpin Rasul Petrus
b.) Gereja Yunani-Konstantinopel yang dipimpin Rasul Andreas dan Paulus
c.) Gereja Syria-Antiokhia yang dipimpin Rasu Petrus dan Paulus
d.) Gereja Yerusalem dipimpin Yakobus saudara Yesus
e.) Gereja Alexandria-Mesir dipimpin Rasul Markus
Kemajemukan gereja ini bisa kita lihat pada saat sidang para rasul di Yerusalem (Kis. 15:1-21)
ketika ada orang-orang kristen Yahudi mulai meresahkan jemaat pada waktu itu dengan berkata
keselamatan melalui Yesus hanya dapat diperoleh melalui hukum taurat. Mereka menyuruh
orang Kristen non Yahudi untuk mengikuti aturan taurat. Rasul Yakobus pemimpin gereja
Yerusalem bahkan mengirim surat kepada jemaat di gereja Antiokhia untuk mengklarifikasi
masalah tersebut. Di sidang para rasul membahas tentang apakah orang-orang kristen non-
Yahudi harus mengikuti Hukum Taurat supaya bisa selamat atau tidak? Maka para rasul
memutuskan bahwa orang Kristen non-Yahudi dari bangsa-bangsa lain tidak perlu mengikuti
hukum taurat yang berisi peraturan-peraturan khusus untuk bangsa Israel (613 Mitzvot Moshe)
melainkan memerintahan orang-orang Kristen non-Yahudi mengikuti 7 Hukum Nuh:
1. Jangan menyangkal Tuhan
2. Jangan menghujat Tuhan
3. Jangan membunuh
4. Jangan mencuri
5. Jangan melakukan perzinahan dan percabulan
6. Jangan makan binatang yang masih hidup/mati dicekik dan minum darahnya
7. Bentuklah sistem hukum yang adil.
Keputusan ini lalu dibawah ke Gereja Antiokhia dan pusat gereja-gereja lain oleh Paulus,
Barnabas, Silas dan Yudas yang disebut Barsabas (Kis. 15:19-22). Keputusan itu berisi orang
Kristen berlatar belakang Yahudi tetap menjalankan hukum taurat sedangkan Kristen non-
Yahudi tidak diwajibkan menjalankan hukum taurat melainkan hukum nuh dan ini sudah
keputusan Roh Kudus (Kis. 15:28)
Gereja mulai memiliki beberapa pusat di eropa, asia dan afrika dengan latar belakang budaya dan
bahasa yang berbeda. Inilah kemajemukan gereja yang esa pada abad-abad awal sebelum skisma
(perpecahan) pada tahun 1054.
Bahkan ada beberapa cabang gereja lainnya yang didirikan dan dipimpin oleh rasul-rasul diluar 5
pusat kepatriakan, contohnya seperti Matius pendiri gereja di Ethiopia Afrika dan Thomas
pendiri Gereja Malankara di India. Dalam dokumen didascalia apostolorum rasul Thomas
mendapat undian untuk menginjil di daerah Persia, India dan wilayah kepulauan nusantara.
Seandainya rasul Thomas tidak mati dibunuh di india mungkin bangsa Indonesia akan mencicipi
kekristenan ala para rasul. Sesuai dengan Amanat Tuhan bahwa injil harus disebarkan ke
berbagai penjuru dunia dan para rasul mulai melaksanakan tugas tersebut ditengah-tengah
bangsa yang majemuk.
B. UPAYA MERAJUT KESATUAN DALAM KEBERAGAMAN DI INDONESIA
Alkitab telah menyajikan data dan bukti bahwa model kesatuan yang ideal telah dipaparkan dan
menunjuk kepada gereja. Bukan tanpa alasan jika gereja dikatakan sebagai model ideal kesatuan.
Mengapa dikatakan sebagai model ideal kesatuan? Kita telah memahami bahwa kesatuan
memiliki makna yang jauh lebih dalam dan berkualitas dari istilah persatuan. Gereja dikatakan
sebagai model ideal, karena telah memberikan karakteristik keidealan tersebut. Jika persatuan
dan kesatuan yang dirumuskan dalam Pancasila hanya sebuah kesatuan yang didasarkan atas
kesamaan nasib dan terlahir di tanah air yang satu untuk menuju kedamaian dan kesejahteraan di
dunia, maka jauh melampaui hal tersebut bahwa kesatuan dalam tubuh Kristus berbicara
kesatuan secara hakiki yang didasarkan pada kesatuan Allah Tritunggal. hakekat manusia
sebagai kesatuan, dan membutuhkannya manusia akan kesatuan tersebut, dan lebih lanjut Allah
berkarya dalam pengorbanan tubuh Kristus untuk menyatukan umat-Nya.
Model ideal yang telah dimetaforakan oleh Firman Tuhan bahwa kesatuan orang percaya adalah
kesatuan tubuh Kristus, karena kita diselamatkan dan disatukan atas satu tubuh, yaitu tubuh
Kristus, Kitab suci juga telah menjabarkan kehidupan ideal yang semestinya diperjuangkan oleh
orang percaya atau gereja, dimana semestinya hidup dalam kerendahan hati, dan tidak
mementingkan diri sendiri dengan meneladani Kristus. Jika orang percaya. pendeta, pengurus,
jemaat bersedia saling mengoreksi diri mungkin perpecahan dapat dihindari dan perpisahan
dapat direkonsiliasi. Namun mirisnya seringkali orang percaya dan gereja (institusi) terjebak
dalam kepongahan untuk memperjuangkan visi yang katanya berasal dari Tuhan namun
konsekuensinyu
perpecahan, permusuhan dan konflik dalam jemaat atau pelayanan Memang kesatuan orang
percaya adalah kesatuan rohani dan bukan kesatuan institusional, namun kesatuan tersebut harus
dibuktinyatakan melalui keberadaan hidup orang percaya dan gereja secara nyata dalam
kehidupan keseharian.
Kesatuan tidak selalu harus meniadakan identitas, tetapi justru kesatuan harus tetap menampilkan
jati diri, sehingga betul-betul nampak keberagaman untuk menciptakan kebersatuan. Perbedaan
yang kecil, non esensial dan sekunder tentunya tidak perlu untuk dipoles sehingga menjadi
jurang pemisah dalam usaha membangun kebersamaan gereja- gereja Tuhan. Jika gereja
menanamkan arogansi dan fanatisme, maka tanpa disadari gereja sudah mengajarkan
"ketidakbersatuan" dengan jemaat, dan menanamkan bemh kebencian atas denominasi lainnya.
Prinsip-prinsip kebenaran yang didasarkan atas kesatuan didalam Kristus harus diberikan dan
ditanamkan, sehingga tercipta pribadi-pribadi yang penuh kerendahan hati, memiliki penerimaan
yang penuh kasih terhadap sesama anggota tubuh Kristus (walau denominasi gereja berbeda),
dan tidak mencela atau mengolok-olok sesama anggota tubuh Kristus, apalagi "merasa" diri yang
paling benar.
Keperbedaan pasti akan selalu ada, namun keperbedaan itu semestinya menjadi sarana
pertumbuhan dan kedewasaan demi menjadi garam dan terang di negeri tercinta ini.
Keberagaman dapat menebarkan nilai keindahan, jika dirangkai dalam dalam kesatuan. Karena
adanya keberagaman, maka gagasan kesatuan muncul. Dengan melihat kembali keberagaman
denominasi gereja, banyaknya sekolah teologi dan lembaga pelayanan Kristen; tubuh Kristus di
bumi pertiwi ini harus lebih memperkokoh panggilan untuk memelihara kesatuan dan keutuhan.
Dengan kebesaran hati, gereja dan lembaga-lembaga pelayanan mestinya terlibat dalam karya
bersama, yang disertai dengan kerelaan mau belajar, dan kebersediaan menerima satu dengan
lainnya. Jika kita kembali melihat dalam jemaat-jemaat. Tuhan sudah memberikan karunia-
karunia untuk saling memperlengkapi. Dengan menilik kehidupan gereja dalam pengajaran dan
praktek masa kini, bukankah kita harus jujur bahwa kita menemukan jemaat-jemaat lokal yang
memiliki keunikan, penekanan, kemampuan yang dapat dikategorikan sebagai karunia yang
Tuhan berikan kepada jemaat lokal sebagai anggota tubuh Kristus. Ada gereja yang sangat kuat
dalam pengajaran (doktrinal), gereja yang sangat berhasil dalam penggembalaan, gereja yang
sangat menonjol dalam pelayanan penginjilan, dan tentunya masih banyak yang dapat kita
temukan, yang menjadi keberhasilan pelayanan yang diberkati Tuhan dalam jemaat-jemaat lokal.
Jika tiap-tiap anggota jemaat, diberikan karunia untuk saling melengkapi dalam satu jemaat
lokal: bukankah tiap-tiap jemaat lokal juga diberikan karunia, yang merupakan panggilan untuk
saling melengkapi dalam kesatuan persekutuan jemaat-jemaat Tuhan yang melampaui
denominasi, baik ditingkat lokal maupun nasional."
Dengan kita melihat dasar-dasar kesatuan yang telah dijelaskan dalam bagian fondasi teologis
dan relevansinya tersebut, kita dapat melihat bahwa keberadaan gereja dan orang percaya adalah
merupakan bagian esensial dalam upaya merajut kesatuan dalam keberagaman dalam kesatuan
Indonesia yang terancam terkoyak. Sangat penting bagi orang percaya yang adalah warga negara
Indonesia untuk meredam isu-isu pemantik perpecahan dan sungguh-sungguh berdiri sebagai
pembawa damai. Kehadiran itu bukan hanya dalam wujud keberadaan ketubuhan kita, tetapi
kehadiran dalam segala kondisi. Keaktifan individu zaman sekarang dapat menyatakan
kehadirannya di media sosial dan berbagai bagian lainnya, karena itu penting bagi kita untuk
bagaimana menjadi bijak dalam menanggapi isu-isu sensitif dalam media sosial yang berkaitan
dengan isu SARA. Upaya merajut kesatuan dalam keberagaman dapat dilakukan dengan mulai
dari lingkup terkecil dari keberadaan kita sebagai orang percaya. Dimulai dari peran individu
yang sangat penting dalam bagian ini, untuk menyadari keberadaannya sebagai orang percaya
yang adalah warga kerajaan Allah. Fondasi ini mendorong setiap pribadi untuk dapat
menerapkan prinsip-prinsip kerajaan Allah dan buah Roh, yang akan teruji dalam kehidupan
keluarga, gereja dan masyarakat.

C. PANDANGAN DOKUMEN NOSTRA AETATE TENTANG AGAMA-AGAMA LAIN


Dokumen Nostra Aetate merupakan dokumen khusus yang memuat pernyataan prinsipil dan
resmi dari Gereja Katolik tentang dialog keselamatan, yaitu dialog dengan agama -agama lain.
Dalam bagian uraian ini disampaikan pandangan Gereja Katolik tentang agama -agama lain
menurut dokumen Nostra Aetate.
1. Kerjasama Antar Umat Beragama
Dalam dunia zaman sekarang yang semakin majemuk, orang -orang Kristen di mana saja
berhubungan dengan pengikut agama -agama lain. Dialog hendaknya menjadi usaha bersama
untuk tetap menjaga hubungan yang baik antar umat beragama. Dialog dan kerjasama antar umat
beragama dan kepercayaan/keyakinan lain mendapat perhatian serius dari Gereja Katolik.
Dukungan kuat Gereja Katolik tentang dialog dan kerja sama ini tampak dalam Konsili Vatikan
II (1962 -1965) sebagaimana tertulis di dalam dokumen Nostra Aetate, Ecclesiam Suam (1964),
Lumen Gentium (Art.13-17), Ad Gentes (AG), dan lain-lain (Komkat KWI, 2021: 195).
Mengenai kerjasama dan dialog antar agama, Riyanto (1995:53) mengatakan bahwa dokumen
Nostra Aetate merupakan bentuk pertanggungjawaban sikap dialogis Gereja Katolik terhadap
agama -agama bukan Kristiani. Lewat dokumen Nostra Aetate, Konsili Vatikan II tanpa ragu
memandang positif agama -agama lain, seraya mencari aspek -aspek yang dapat mengantar pada
dialog, kerjasama dan rekonsiliasi antar umat beragama sebab dokumen ini sekaligus menjadi
semacam evaluasi sikap Gereja masa lampau terhadap kerjasama dan dialog dengan agama -
agama lain.26Secara khusus, pandangan dokumen Nostra Aetate tentang dialog dan kerjasama
antar umat beragama disampaikan dalam artikel 2, 3 dan 4. Hal mendasar yang disampaikan
dokumen Nostra Aetate dalam artikel-artikel ini berkaitan langsung dengan sikap dan upaya
Gereja membuka diri dan menjalin dialog serta kerjasama dengan agama -agama lain. Terkait hal
ini, KWI (2007:38) mengatakan: “Gereja Katolik tidak menolak apa pun yang benar dan suci
dalam agama-agama lain”.Tentang kerjasama dan dialog antar umat beragama, Andang (2003:92
-96) mengatakan bahwa situasi masyarakat Indonesia zaman ini menunjukkan urgensi dialog dan
kerjasama antar umat beragama. Dalam hal ini, dialog dan kerjasama tidak bisa sebatas upaya
mengatasi konflik dengan agama lain. Dialog dan kerjasama diharapkan lebih sebagai upaya
bersama untuk memperdalam religiusitas masing -masing pribadi. Dokumen Nostra Aetate dapat
dikatakan merupakan dasar paling jelas bagi dialog dan kerjasama Gereja Katolik. Dari
Dokumen Nostra Aetate mengalir usaha-usaha konkret tindakan dialogis dan kerjasama Gereja
Katolik dengan agama-agama lain. Dokumen ini berbicara tentang nilai -nilai keselamatan dari
agama-agama bukan Kristen. Nilai -nilai ini sangat dihargai oleh Gereja Katolik berdasarkan
pandangan bahwa semua orang dipanggil kepada keselamatan. Melalui Dokumen Nostra Aetate,
Konsili Vatikan II menegaskan bahwa sikap dialogis dan kerjasama Gereja dengan agama -
agama lain tidak melenyapkan tugas panggilan Gereja untuk mewartakan kabar keselamatan
Kristus (Riyanto, 1995:57).

2. Dampak Beragam Denominasi Gereja


Sebagian orang memandang keberadaan beragam denominasi sebagai sesuatu yangburuk,
Denominasi adalah produk Iblis. Begitu kira-kira yang ada dalam pikiran mereka.Sikap negatif
terhadap beragam denominasi biasanya dikaitkan dengan dua hal. Pertama,banyak denominasi
baru muncul akibat konflik. Perpecahan dipandang sebagai esensidenominasi. Kedua, banyak
denominasi berarti tidak ada kesatuan. Seandainya gerejabersatu, tentu tidak akan ada berbagai
denominasi tersebut.kita perlu mengikis stereotipenegatif yang biasanya muncul dari sikap
menyamaratakan. Tidak semua denominasimuncul dari sebuah konflik. Tidak semua
kemunculannya adalah dosa. Beberapa parapenggagas denominasi yang baru merasa bahwa ada
area pelayanan lain yang perludijangkau, tetapi upaya itu tidak mungkin bisa dilakukan karena
kondisi dan keterbatasandenominasi yang sudah ada. Setiap denominasi memang memiliki
keunikan, baik dalam haltradisi, potensi, maupun visi dari Tuhan. Penambahan suatu denominasi
seringkali justrubersifat komplimentaris (melengkapi). Stigma populer lain yang perlu dikaji
ulang adalahkualitas perbedaan di antara berbagai denominasi yang ada. Kita tidak
bolehmembayangkan bahwa denominasi-denominasi yang ada memiliki perbedaan lebih
banyakdan lebih esensial daripada kesamaan-kesamaan di antara mereka. Jika kita
mencobamendalami karakteristik masing-masing denominasi, kita akan mendapati hal
yangsebaliknya. Sebagai contoh, hampir semua denominasi yang ada menerima poin-
pointheologi dalam Pengakuan Iman Rasuli, terlepas dari mereka membacakannya secara rutindi
dalam ibadah atau tidak.
BAB III
KESIMPULAN

Gereja berada ditengah masyarakat majemuk. Kabar baik tentang kasih Kristus harus
disampaikan kepada seluruh lapisan masyarakat tanapa memandang suku, bangsa ras dan agama.
Persoalan yang timbul adalah adanya penolakan, gejolak dan praktek intoleransi baik atar suku
agama dan ras yang terjadi. Berbagai praktek intoleransi yang terjadi menjadi penghambat
pertumbuhan pembangunan bangsa dan kemajuan bangsa. Karena itu sikap da praktek intoleransi
harus disingkirkan dari bumi Indonesia yang dibangun diatas keberagaman dan
kebhinekaan.Pengajaran, perintah dan paktek hidup Tuhan Yesus Kristus tentang Toleransi
menjadi dasar dan landasan bagi setiap orang percaya berpikir, be rbicara dan berperilaku
terhadap orang lain. Dalam praktek hidup dan pengajaranNya Tuhan Kristus mewariskan ajaran
dan sikap toleransi terhadap sesama berdasarkan kebenaran firman Allah, yang wajib
diimplementasikan setiap orang percaya dalam praktek kehi dupan social setiap hari yakni;
Pertama; Orang Percaya harus mengasihi semua orang seperti diri sendiri. Hal ini merupakan
ajaran dan perintah Tuhan Yesus Kristus sehingga mampu bersikap Toleran terhadap sesama
karena mengasihi setiap orang dari agama, suk u, bangsa manapun seperti diri sendiri. Kedua;
Menghargai dan menghormati keyakinan ajaran agama orang lain. Sikap toleransi akan terwujud
ketika ada pengakuan dan penghormatan terhadap agama dan keyakinan orang lain.
Menghormati ajaran agama lain adalah s ikap postif dalam menumbuhkan toleransi sebagaimana
nyata dalam praktek kehidupan Tuhan Yesus ditengah-tengah bangsa Yahudi. Ketiga;
Mengembangkan praktek hidup mengampuni setiap orang, tidak menganggap diri sendiri lebih
superior disbanding yang lain. Si kap yang demikian akan menumbuhkan semangant toleransi
kepada orang lain, karena akan menjauhkan diri dari kemunafikan, merasa diri benar, lebih baik
dari yang lain. Perlakuan Tuhan Yesus kepada perempuan yang kedapatan berzinah sebagai
bukti nyata bahwa sikap dan tindakan mengampuni wajib dipraktekkan kepada semua
orang.Toleransi tidak tumbuh sendiri, perlu diajarkan, dikembangkan dan di implementasikan.
Gereja sebagai tubuh Kristus harus menjadi pionir memerangi praktek intoleransi dengan
menumbuhkan to leransi sesuai pengajaran dan praktek hidup Tuhan Yesus Kristus. Dengan
demikian masyarakat Indonesia yang multicultural dapat hidup berdampingan dalam harmoni
keberagaman.
Daftar Pustaka:
 MENANAMKAN PEMAHAMAN TENTANG NILAI -NILAI KEBAIKAN AGAMA
LAIN KEPADA SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS MELALUI PENGAJARAN
AGAMA KATOLIK DI SEKOLAHDALAM TERANG DOKUMEN NOSTRA
AETATESKRIPSI SARJANA STRATA SATU (S-1)MARIA AFRIANTI
MADA182984
 TOLERANSI ANTARA DENOMINASI GEREJA SEBAGAI
WUJUDPERSAHABATAN DI LEMBANG MA’DONGYustiani sandaInstitut Agama
Kristen Negeri Torajayyustianisanda@gmail.com
 Pengajaran Tuhan Yesus Mengenai Toleransi Dan Implementasinya Ditengah
Masyarakat MajemukRikardo Dayanto Butar-Butar,1* Ester Lina Situmorang,2Jabes
Pasaribu3ManahanUji SimanjuntakProdi Studi PAK, STT Real BatamProdi Studi PAK,
STT Real BatamProdi Studi PAK, STT Real BatamProdi Studi PAK, STT Real
Batamrikardobutar@gmail.com
 https://books.google.co.id/books?
id=dc7WDwAAQBAJ&pg=PA106&dq=Keberadaan+gereja+dalam+keberagamannya&h
l=id&newbks=1&newbks_redir=0&source=gb_mobile_search&ovdme=1&sa=X&ved=2
ahUKEwjy6dyG2tX-AhW54jgGHaq8AzIQ6wF6BAgHEAU

Anda mungkin juga menyukai