Anda di halaman 1dari 34

MENUJU KEMATANGAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN III

Yang Berorentasi Pada Teologi Gereja, (1940-1970)

Disusun Oleh :
Devaly Runtuwarouw
Raul Denti
Kevin Seroan
Kristiantiy Tahulending

Mata Kuliah : Pembimbing PAK II


Dosen Pengampu : SugiJanti Supit .S.Th. M.Pdk

INSTITUT AGAMA KRISTEN NEGERI (IAKN) MANADO


PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa, karena atas tuntunan
dan perkenanannya sehingga kami bisa melewati proses ini dan dapat menyelesaikan
tugas makalah ini dengan baik sebagai pemenuhan penilaian tugas mata kuliah
pembimbing PAK 2
Tujuan pembuatan makalah ini agar pembaca dapat menambah pengatahuan dan
wawasannya mengenai menuju kematangan pendidikan agama kristen 3 Kami berharap
makalah ini dapat mengenatarkan pembaca untuk memahami konteks PAK pada
perkembangannya.
Kami menyadari akan kekurangan dan ketidaksempurnaan dari makalah ini, oleh
sebab itu kami memberikan kesempatan kepada pembaca untuk memberikan kritikan
maupun saran terhadap makalah ini agar bisa menajdi labih baik. Tuhan Yesus
Memberkati.

Tateli, 19 Oktober 2022

Kelompok 11
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................

DAFTAR ISI............................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................

1.1 LATAR BELAKANG ..........................................................................................................


1.2 RUMUSAN MASALAH......................................................................................................
1.3 TUJUAN PENELITIAN......................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................

A.H Shelton Smith...............................................................................................................

B. Randolph Crump Miller...................................................................................................

C. L.J Sherril ........................................................................................................................

D.

2.3 BAB III PENUTUP.........................................................................................................

1.4 Kesimpulan...............................................................................................................

1.5 Saran...................................................................................................................,.....

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Mulai dasa warsa kelima abad ke-20, sejumlah pemikir dalam bidang pendidikan
agama ingin mengakhiri peran dominan yang dimainkan oleh Dewey, Coe dan Elliott
dalam pendidikan agama. Mereka tidak bermaksud menolak pengertian penting yang
dihasilkan ilmuwan di bidang-bidang ilmu pendidikan, ilmu jiwa, ilmu masyarakat dan
antropologi, tetapi me- reka tidak rela bersandar secara tidak kritis pada kesimpulan yang
diambil dari ilmu-ilmu tersebut, karena mereka yakin bahwa pengertian teologis perlu
memainkan peran utama dalam teori dan praktek pendidikan yang berlangsung dalam
jemaat. Sejajar dengan penekanan itu, mereka ingin mengubah judul bidangnya; bukan
lagi pendidikan agama, melainkan asuhan Kristen (Christian Nurture) ataupun Pendidikan
Agama Kristen (Christian Education).
Marilah kita bahas sumbangan yang dibuat oleh H. Shelton Smith, Randolph Crump
Miller, Lewis J. Sherrill dan D. Campbell Wyckoff. Me- mang, ada pemikir penting lain lagi
yang turut membangun teori Pendi- dikan Agama Kristen dari sudut teologi gereja, tetapi
pembahasan ini akan dibatasi pada pandangan keempat pemikir tersebut.Sejumlah
pemikir dalam bidang pendidikan agama ingin mengakhiri peran dominan yang dimainkan
oleh Dewey, Coe, dan Elliot dalam pendidikan agama. Mereka tidak bermaksud menolak
pengertian penting yang dihasilakan ilmuan di bidang-bidang ilmu pendidikan, ilmu jiwa,
ilmu masyarakat dan antropologi, namun mereka tidak rela bersandar secara tidak kritis
pada kesimpulan yang diambil dari ilmu-ilmu tersebut, karena mereka yakin bahwa
pengertian teologis perlu memainkan peran utama dalam teori dan praktek pendidikan
yang berelangsung dalam jemaat.
Untuk itu, marilah kita bahas sumbangan yang dibuat oleh H. Shelton Smith,
Randolph Crump Miller, Lewis J. Sherrill dan D. Campbell Wyckoff.
1.2 RUMUSAN MASALAH

1. bagaimanan Peranan yang di penuhi oleh H.Shelton Smith dalam perkembangan ilmu
pendidikan Agama Kristen!
2. Apa yang Perbedaan pandangan peranan teologi dalam pandangan coe dan miller.
3. Ruang lingkup kurikulum yang di bahas miller!
4. Apa Hubungan antara teori dan praktek?
TUJUAN PENELITIAN
1. Kurikulum yang di bahas oleh ke 4 tokoh dalam menuju kemtangan pak ke 3
2.
BAB II
PEMBAHASAN

A. H. Shelton Smith, Agen Perubahan

Berbicara tentang Smit. Ringkasan riwayat hidup tidak dipaparkan, karena gagal
menemukan sumber cetakan yang membahas pokok itu. Yang dike tahui ialah bahwa ia
pernah melayani sebagai dosen di Fakultas Teologi, Universitas Duke yang terletak di kota
Chapel Hill, negara bagian North Carolina di bagian tenggara Amerika Serikat. Lagi pula,
sumbangan uta- ma terhadap bidang ilmu pendidikan agama Kristen baru berporos pada
satu karya tercetak saja, yaitu Faith and Nurture. Setelah buku itu diterbit- kan, ia
mengundurkan diri dari lapangan pembangunan ilmu pendidikan agama Kristen sebagai
ilmu teologis. Dalam kata-kata Nabi Yeremia pang- gilannya berbeda, yakni "... untuk
mencabut dan merobohkan, untuk membinasakan dan meruntuhkan". Kalau pemikir lain
setuju dengan ke- caman yang ia lontarkan terhadap pendekatan gerakan pendidikan
agama itu, maka merekalah yang hendaknya "... membangun dan menanam" (Yer 1:10c).
Tatakala Faith and Nurture itu diterbitkan, rupanya sudah ada pendi- dik gerejawi lain yang
tidak puas lagi dengan pendekatan yang dominan dalam gerakan pendidikan agama.
Mereka ini segera melihat sumbangan Smith sebagai titik balik dalam perkembangan ilmu
pendidikan agama dan siap menerima undangannya untuk membangun ulang bidang itu
ber- dasarkan teologi gereja. Dunia kesarjanaan pendidikan agama dikejutkan oleh nada
kecaman terhadap dugaan dasariah yang sudah lama menjadi darah daging para pe- kerja
dalam gerakan tersebut. Smith berkeberatan khususnya terhadap pembahasan tentang
empat pokok ajaran teologi yang dibuat oleh para pendidik gerakan pendidikan agama,
yakni Kerajaan Allah, Manusia, Yesus Kristus dan Gereja.

1. Kerajaan Allah
Pada dasarnya, pemikir pendidikan agama meredakan ketegangan antara kedua
gagasan utama tentang pokok Kerajaan Allah. Pertama, Kerajaan itu berakar di dalam
keadaan baru yang diproklamasikan Yesus, "Waktunya telah genap: Kerajaan Allah sudah
dekat, Bertobatlah dan percayalah kepada Injil" (Mrk. 1:14 dan kutipan lain yang sejenis).
Sungguhpun tidak ada penjelasan yang menuntaskan segala arti dari proklamasi tersebut,
namun di dalamnya tersirat pula gagasan bahwa Kerajaan itu mencakup datang nya
hubungan sosial baru yang adil, di mana penindasan diakhiri dan ke- adilan perlu berlaku
bagi semua orang. Kedua, Kerajaan itu bersifat tran-senden, juga dalam arti bahwa
Kerajaan itu tidak dikaitkan secara total de ngan lembaga apa pun yang didirikan oleh
manusia di samping hubungan antar-orang, karena “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini ...”
(Yoh. 18:36a) Bila ketegangan diredakan secara sepihak, maka sebagian dari maka
dasariah dari Kerajaan itu hilang. Namun, justru itulah yang terjadi di sepanjang sejarah
gereja. Aliran konservatif, khususnya yang berkuasa, cenderung menitikberatkan dimensi
transenden, dalam arti rakyat jelata hendaklah tetap sabar dengan keadaannya di dunia ini
karena mereka akan menerima imbalan kelak di dunia seberang. Tentu saja pendekatan
itu sa ma dengan memberi surat izin kepada kaum atasan untuk terus menindas kaum
lemah. Smith sama sekali menolak pendekatan itu, karena seluruh tradisi kenabian dalam
sejarah Israel, termasuk Yesus sendiri, menentang- nya (bnd. Mat. 25:31-46; Luk. 1:46-55;
4:18-19). Smith setuju bahwa para pemimpin gerakan keagamaan wajib menolok setiap
tafsiran Kerajaan Allah yang tidak berdampak pada gaya hidup perseorangan dan gaya
tindak orang-orang dalam segala lembaganya.Akan tetapi, dalam usaha untuk melepaskan
diri dari Kerajaan yang sama sekali tidak berhubungan dengan urusan insani sehari-hari,
para pe- mimpin gerakan keagamaan itu memusatkan perhatian pada dunia ini saja.
Mereka menolak makna transenden dari Kerajaan Allah. Justru tafsiran inilah yang Smith
kecam.Dalam tangan mereka, Kerajaan Allah itu menjadi antroposentris (ma- nusia-
sentris) dan tidak teosentris (Allah-sentris) lagi, dengan dampak yang luar biasa buruk
terhadap teori dan praktek pendidikan agama.Menurut pikiran para pendidik pendidikan
agama itu, Allah tidak berdaulat lagi di atas seluruh unsur jagat raya termasuk manusia,
karena gagasan itu sudah usang dalam lingkungan demokrasi, di mana kekuatan dasariah
berada di tangan rakyat dan bukan pemerintah. Alhasil, keper tingan manusia dinaikkan,
sedangkan kekuatan segala kekuasaan lain termasuk kekuasaan Allah perlu dikurangi.
Manusialah yang bertanggung jawab atas urusannya. Dengan lain perkataan, manusialah
makhluk yang berdaulat, Sehu bungan dengan itu, acapkali para pendidik agama
menitikberatkan manu sia sebagai poros dari nilai-nilai terpenting. Karena orang hanya
memper oleh jati diri yang sebenarnya melalui pergaulan dengan orang lain, maka
pentingnya manusia bergantung pada keanggotaannya dalam masyarakat yang lebih luas.
Nilai-nilainya pun, termasuk agama, adalah penemuan.

2.Manusia
Meskipun peserta dalam gerakan pendidikan agama mengklaim bahwa mereka
menjunjung tinggi martabat dan kemampuan manusia, namun se- cara tidak sadar mereka
condong menipu diri. Hal itu terjadi karena mere- ka membatasi usahanya hanya pada
sifat-sifat manusia yang diketahui me- lalui percobaan terbatas saja. Kesimpulan itu tidak
berarti bahwa Smith meremehkan sifat-sifat manusia yang ditemukan oleh para ilmuwan
yang bekerja di bidang ilmu jiwa, sosiologi dan antropologi. Tidak. Ia menghar- gainya,
bahkan ia berdalil bahwa tidak ada pengertian yang lengkap tentang tang manusia yang
mengabaikan sumbangan terhadap jati diri manusia yang diperoleh dari segi sains itu.
Namun, ia tidak rela mengatakan bahwa ha nya sumbangan sains itu sajalah yang
bermakna, karena makna asal-mula tabiat dan masa depan manusia tertutup bagi
penelitian sains, padahal ter buka kepada orang yang mengakui bahwa manusia adalah
makhluk y diciptakan segambar dengan Allah. Arti jati diri ini belum jelas secara tun- tas,
namun paling tidak sebagian hanya diketahui sejauh berkaitan dengan Allah, yakni
pentingnya manusia dipahami dari pihak Allah yang mencip takannya sesuai dengan besar
kasih-Nya. Yang Smith melihat tiga cara pemahaman Kristen tentang manusia yang
bertentangan dengan teori sekularnya. Pertama, pemikir seperti Dewey berdalil bahwa
percaya kepada Allah berarti merendahkan martabat ma nusia dan kalau kita mau
mempertinggi martabatnya, maka kita perlu membebaskan manusia dari belenggu ilahi.
Menjawab dalil itu Smith mengakui bahwa memang terdapat pandangan terhadap Allah
yang me nista martabat manusia, tetapi kesaksian, khususnya dari para nabi Israel kuno
pada abad ke-8 dan Yesus sendiri, memperkaya nilai-nilai manusia secara pribadi. Lebih
lanjut, tidak ada data empiris yang membuktikan ke- benaran dalil bahwa martabat
manusia dipertinggi kalau Allah diusir dari kesadaran nalar manusia. Justru sebaliknyalah
yang benar. Masyarakat yang menolak Allah merendahkan martabat manusia. Kedua,
teologi liberal seperti yang berlaku dalam gerakan pendidikan agama memutlak- kan
pentingnya manusia. Tetapi, kalau manusia tidak mengabdikan diri ke- pada Allah sebagai
nilai mutlak yang perlu dimuliakan, maka ia senantiasa digoda untuk memutlakkan semua
nilai yang sebenarnya nisbi sifatnya Demi kewarasan manusia sendiri, ia perlu
menghiraukan perintah berikut "... Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya
kepada Dia sajalah engkau berbakti" (Mat. 4:10). Ketiga, pentingnya manusia bergantung
pada penilaian Allah saja dan tidak pada penilaian orang-orang yang hidup dalam
kebudayaan tertentu pada titik waktu sejarah tertenti,karena segala macam penilaian
insani dicap dengan kefanaannya pula. Smith menghargai tekanan pada jati diri manusia
sebagai makhluk sosial yang dibuat oleh para pemikir dalam gerakan pendidikan agama
dan pentingnya memperbaiki mutu segala struktur masyarakat. Tetapi bersandar pada
keinginan dan kemampuan orang-orang untuk memba ngun masyarakat adil dan makmur
tidak sama kuatnya dengan dorongan yang berasal dari kasih Allah terhadap manusia.

3. Yesus Kristus, Penyataan Allah


Sepanjang abad, iman gereja hidup berdasarkan keyakinan bahwa dalam Yesus
dari desa Nazaret propinsi Galilea Allah telah menyatakan ke hendak dan kebenaran-Nya
yang mutlak tentang arti kehidupan manusia Sebutan itu tidak searti dengan mengatakan
bahwa terdapat penjelasan tertentu tentang Yesus yang mencakup seluruh makna-Nya.
Namun, per- bedaan dari penjelasan tersebut tidak meniadakan dalil iman bahwa bagi
pemahaman Kristen, Yesus sendiri adalah satu-satunya Jalan, Kebenaran dan Hidup,
ketimbang menerima-Nya sebagai salah satu jalan, kebenaran dan hidup yang ada di
antara sekian banyak yang berlaku. Tetapi teologi liberal dan pendidik agama seperti Coe
dan Elliott tidak hanya menyang- kal kemutlakan penyataan itu, mereka bahkan
menyangkal perlunya orang bertobat dan diselamatkan dalam Yesus Kristus. Masing-
masing sanggah- an itu berdampak besar terhadap pengertian teori dan praktek
pendidikan agama di kalangan umat Kristen.Penolakan penyataan mutlak dalam Yesus
Kristus berarti bahwa para pendidik agama menisbikan pentingnya nilai-nilai historis
termasuk yang terdapat dalam Alkitab. Bagi mereka, tugas guru bukanlah mengajarkan isi
kesaksian yang disampaikan oleh orang percaya yang hidup pada masa lampau,
melainkan untuk memperlihatkan bagaimana orang-orang itu ber- gumul dengan masalah-
masalah tertentu dalam terang iman. “Keprihatinan guru tidak terletak pada tugas untuk
memperoleh pengertian agama terten- tu yang digembleng oleh orang yang hidup pada
masa kuno, malahan pada proses menghasilkan kembali segala pemahaman yang
mendalam. Jadi, yang penting bukan isi pikiran, melainkan teknik berpikir.” Di da- lamnya
tercakup kecenderungan pihak guru untuk mengajukan pertanya- an kepada pelajar
ketimbang membagi buah pemikiran dan pengalaman kepada pelajar karena ia tidak mau
merampas hak anak untuk berpikir sendiri. Tetapi, pembagian pikiran dan pengalaman
hidup itu tidak sama dengan memutlakkan jawaban tersebut. Menurut Smith,Tampaklah
bahwa kemutlakan makna Yesus Kristus bagi umat ma- nusia tersebut berbenturan
dengan pandangan teologis liberal tentang tabiat-Nya. Kalau seseorang yang pada
dasarnya berwatak baik dan orang itu berbuat salah karena keadaan sosialnya, maka ia
hanya berbuat dosa terhadap sesamanya saja dan bukan kepada Allah. Kalau begitu, tidak
perlu bertobat dan menerima Kerajaan Allah, karena sejak lahir orang itu sudah hidup di
dalamnya. Jadi, tugas pokok asuhan Kristen bukanlah mengantar pelajar untuk bertobat,
melainkan turut memelihara anggota- nya dalam Kerajaan Allah itu. Memang, para
pendidik agama itu tidak salah menolak pertobatan kaum muda yang dibuat-buat seperti
yang dikenal dalam jenis kebangunan rohani tertentu. Namun, adalah salah kalau mereka
menarik kesimpulan bahwa hal bertobat itu ditinggalkan karena tidak relevan lagi. Dengan
me- nolak agama yang mengutamakan dosa anak secara "tidak sehat" itu tidak berarti
bahwa pengajaran baru itu lebih baik. Namun, dengan mengutama- kan kebaikan anak,
berarti pendidik liberal jatuh ke dalam ilusi lain lagi; misalnya, bersama-sama dengan
Bushnell mereka mengatakan bahwa anak hendaknya mengenal dirinya sebagai seorang
Kristen: Pandangan ini lebih kurang realistis lagi daripada ajaran lama yang
mengutamakan, bahwa anak hendaknya mengenal dirinya sebagai seorang yang amat
jamat. "Na- mun, bagi anak yang mengenal dirinya sebagai orang berdosa, paling tidak
ada dasar baginya untuk bertobat, padahal bagi anak yang mengenal diri- ‫ איי‬nya sudah
baik tidak akan merasa perlu bertobat. Karena itu, dengan mendidik anak bertindak baik
(maksud yang bagus), gerakan pendidikan agama bertindak seakan-akan kelakuan baik itu
gampang dilaksanakan.

4. Gereja
Sesudah Smith memeriksa karya tulis para pendidik agama, ia menarik kesimpulan
bahwa rupanya mereka kurang peduli terhadap intisari g ketimbang kelompok profesional
apa pun di bidang agama. Kesimpulan yang mengherankan itu berhubungan dengan lima
faktor: 1) sejak semul Sekolah Minggu hidup sedikit banyak terpisah dari gereja sebagai
lemba ga. Oleh karena itu, para pendidik setempat cenderung menganggap dir terlibat
dalam urusan pendidikan umum dan bukan yang gerejawi; 2) teor pendidikan agama yang
dikembangkan pada awal abad ke-20 di Amerika ge Serikat berakar dalam pikiran
pedagogis yang cenderung mengenali gere ja sebagai “sekolah untuk belajar hidup
agamawi”, ketimbang jati diri reja sebagai persekutuan khas ilahi; 3) teologi liberal yang
berkaitan de ngan “gerakan Injil sosial” mementingkan Kerajaan Allah, sementara itu
meremehkan pentingnya gereja; 4) para pendidik agama terlampau sibuk dengan “agama”
atau “pengalaman agamawi” ketimbang menghiraukan gereja, bahkan mereka khawatir
bahwa lembaga gereja berdampak negatif terhadap perkembangan agama yang hidup;
dan 5) pendidikan agama ber- kembang dalam tanah persekutuan injili yang
mengidentifikasi gereja se bagai jenis pagayuban yang orang masuki dengan sengaja,
yakni karena sudah mengalami agama secara hangat dan bukan suatu persekutan yang
dijadikan oleh prakarsa Allah dalam Yesus Kristus.!! Gereja Bila jenis pendidikan agama
yang hidup akan dikembangkan, yakni yang berdampak sosial dan yang
berkesinambungan dengan seluruh umat Demikianlah mereka wajib melibatkan para
pelajar dalam pengalam- belajar yang menyadarkan mereka akan segala macam kelakuan
dan tindakan gereja yang secara praktis menyangkal jati dirinya yang ilahi, an umpamanya
perpecahan dalam tubuhnya berarti perpecahan dalam Tubuh Kristus sendiri, yang
sebenarnya mustahil terjadi, di samping rasisme dan nasionalisme yang keterlaluan.
Sejajar dengan itu dan sesuai dengan jati diri ilahi dari gereja, para pendidik akan
menolong para pelajar mencari jalan mengatasi kekurangan seperti itu. Lagi pula, sebagai
persekutuan ilahi gereja perlu metitikberatkan teo- ri dan praktek pendidikan, karena hanya
gereja lembaga yang memberikan kesaksian atas keadaan manusia yang sebenarnya,
yakni bahwa ia adalah makhluk yang terlibat dalam dosa dan tidak berdaya mengatasinya
dengan segala upayanya sendiri. Serentak dengan itu gereja memproklamasikan Kabar
Baik, bahwa dengan perantaraan Yesus Kristus Allah telah menda- maikan manusia
dengan diri-Nya serta mempercayakan pelayanan penda- maian itu kepada orang percaya,
yakni anggota-anggotanya. Para pendidik jangan meremehkan kehidupan gereja yang
bermakna kekal, karena tidak ada lembaga insani mana pun yang memberi kesaksian atas
kenyataan manusia dan jalan keluar yang diprakarsai Allah dalam Yesus Kristus.
Berdasarkan semua itu, Smith menjawab "Tidak" terhadap pertanya- an yang diajukan
Elliott, apakah pendidikan agama bersifat "Kristen". Un- tuk menerima kata sifat tersebut,
teori dan praktek pendidikan agama per- lu berakar dalam teologi gereja, dalam arti isi dan
prosesnya perlu diper- timbangkan secara kritis dari tolok ukur teologi gereja. Pada
dasarnya, James Smart, Randolph Crump Miller, Lewis J. Sherrill, Iris Cully dan D.
Campbell Wyckoff berusaha memasukkan teologi gereja ke dalam gerak- an pendidikan
agama. Sebagian dari sumbangan Smart sudah dibahas di atas dalam bagian kurikulum
yang diprakarsai gereja dan buku mendasar.

B. Randolph Crump Miller (1910- ), PAK yang Teologi-sentris

1. Riwayat Hidup
Dengan penerbitan The Clue To Christian Education4 pada tahun 1950, sua- ra Miller
mulai berkumandang dan tetap terdengar sebagai pandangan yang mencolok di bidang
pendidikan agama selama tiga dasawarsa. Pe- ngaruhnya tidak hanya dibatasi pada
persekutuan Kristen di Amerika saja, malahan pikirannya berdampak luas di kalangan
oikumenis di luar Ameri- ka, termasuk Indonésia dan Asia Tenggara. Pokok ini akan
dijelaskan selanjutnya di bawah ini.Miller lahir pada 1 Oktober 1910, anak seorang pandeta
Gereja Inggris. Ayahnya berasal dari keluarga petani dan ibunya adalah putri pemilik
tambang batu bara. Sesudah ayahnya melayani jemaat Gereja Disciples of Christ (Gereja
Murid Kristus), ia meletakkan jabatan pendeta dalam ge- reja tersebut agar masuk ke
Gereja Episkopal (Inggris). Ia melayani jema- at St. James di kota Los Angeles hampir tiga
puluh tahun lamanya. Dari ayahnya Miller menerima warisan yang mempersatukan iman
Kristen yang hangat dengan gaya berpikir terbuka dan ilmiah. Ibunya aktif dalam berbagai
kegiatan, bahkan dialah yang membimbing suaminya untuk dapat mengemudi mobil!Akan
tetapi perempuan aktif itu jatuh terserang penyakit syaraf yang melumpuhkan tubuh
(multiple sclerosis) dan terpaksa memakai kusi roda selama dua belas tahun terakhir dari
hidupnya. Gejala penyakit itu tampak pertama kali tatkala Miller masih mahasiswa. Alhasil
Miller muda itu di- tantang untuk mendapatkan pandangan hidup yang dapat menjawab
per- tentangan antara percaya akan Allah yang baik dan ketidakadilan penyakit yang
melumpuhkan kaki ibunya. Bagaimanakah kedua-duanya dapat di- perdamaikan satu
sama lain? La menulis bahwa ia memperoleh perto- longan banyak dari karangan William
James.
Proses pemikiran itu diperlancar pula oleh sikap ibunya terhadap pe- nyakit yang ia
alami hampir dua puluh tahun lamanya. Ia masih mampu bersikap positif dan tidak
khawatir karena imannya yang begitu dalam. Me- nurut Miller, tak ada kuliah di perguruan
tinggi yang seteguh iman ibunya!Setelah tamat dari Pomona College di negara bagian
California pada tahun 1931, ia memulai studi lanjutan di Universitas Yale dan meraih ge-
lar Ph.D. pada tahun 1936. Disertasinya membahas pikirarf Henry Nelson Wieman dan
pikiran filsafat proses sebagaimana dikembangkan oleh “mazhab Chicago”. Di samping itu,
selama tahun akademis 1935-36, ia mengikuti kuliah teologi pula pada Sekolah Tinggi
Teologi Gereja Inggris di Cambridge, negara bagian Massachusetts dan ditahbiskan
sebagai se- orang pendeta pada tanggal 6 Januari 1937. Tatkala ia masih di Cambridge, ia
menerima undangan dari Sekolah Tinggi Teologi Inggris di Berkeley, negara bagian
California, untuk menjadi dosen. Gajinya cukup hanya untuk ongkos penginapan dan
makan saja! Namun ia masih mensyukuri kesempatan bekerja dan gaji yang begitu ren-
dah itu, karena perekonomian Amerika masa itu sedang mengalami krisis yang hebat.
Bidang yang digelutinya adalah etika Kristen dan filsafat aga- ma. Pada tahun 1940 ia
diminta membawakan kuliah Pendidikan Agama Kristen, padahal ia sendiri tidak pernah
mengikuti kuliah PAK sebelum- nya! La selalu mengatakan bahwa untuk memenuhi tugas
itu ia harus me minjam catatan kuliah tunangannya, Muriel (mereka menikah tanggal 9 Juni
1938) yang ia susun ketika mengikuti kuliah di Sekolah Tinggi Teologi Baptis! Benar-
tidaknya ucapan jenaka itu, undangan membawakan kuliah tersebut menjadi titik balik
dalam kariernya. Setelah itu, namanya termasyhur karena sumbangannya di bidang yang
dipilih secara “kebetul- an” saja! Di samping membawakan kuliah PAK ia dipilih sebagai
Ketua Departemen Pendidikan Agama Kristen Keusukupan California. Pada tahun 1940
pula ia diangkat sebagai pendeta jemaat kecil yang tidak mempunyai gedung gereja
sendiri. Sebelum meletakkan jabatan pendeta sebelas tahun kemudian, jumlah
anggotanya terus bertambah sampai menjadi lebih dari dua ratus lima puluh warga. Lalu ia
pindah dari California untuk menerima undangan menjadi dosen di bidang pendidikan
agama di Sekolah Teologi Universitas Yale. Mandat yang ia terima di Yale ialah
membawakan kuliah Pendidikan Agama Kristen, sehingga teologi tampak relevan di
dalamnya. Selama dua belas tahun pertama pelayanan di Yale, ia mengarang delapan
buah buku. Hubungannya dengan jemaat setempat diteruskan tat- kala ia melayani jemaat
Gereja Episkopal di New Haven (kampus Univer- sitas Yale), Connecticutt, sebagai
Direktor Pendidikan Agama Kristen. Ia turut ambil bagian dalam perkembangan kurikulum
Seri Seabury sebagai penasihat dan pengarang. Pada tahun 1958 tugasnya rangkap dua,
tatkala dipilih menjadi redaktor majalah Religious Education yang sudah disebutkan dalam
bab VIII. Ia tidak hanya mempertimbangkan artikel-artikel yang dikirim ke- padanya,
malahan bilamana ia ambil bagian dalam konferensi dan men- dengar ceramah yang
mengesankan, ia segera mohon supaya penceramah itu mengarang artikel. Pada tahun
sabat pertama di Yale (1959-60), ia dan istri belajar di Institut Oikumenis di Bossey, Swis,
dan mengunjungi beberapa tempat di Eropa untuk tukar-menukar pikiran dengan para
pemimpin gerejawi. Tat- kala di Eropa ia mengarang buku pedoman berdasarkan Christian
Nurture and the Church bagi Institut Pendidikan Agama Kristen yang diselenggara- kan
pada tahun 1961 di Belfast, Irlandia Utara, oleh Dewan Pendidikan Agama Kristen se-
Dunia dan Asosiasi Sekolah Minggu (WCCESA).17 Pa- da tahun sabat kedua (tahun
1966-67) ia mengajar di Libanon dan India serta ambil bagian dalam Institut Pendidikan
Agama Kristen di Nairobi, Kenya, yang juga diselenggarakan oleh WCCESA. Selama di
Libanon itu, ia mengarang buku yang berjudul The Language Gap and God's Untuk tahun
sabat ketiga (1970), ia dan istri pergi ke Selandia Baru, Australia, Indonesia, Asia
Tenggara dan khususnya di Singapura sebagai pencera- mah utama pada Institut Teologi
yang diselenggarakan oleh Asosiasi Sekolah Teologi di Asia Tenggara. Karangannya luar
biasa banyak. Dalam buku kenangan untuk Miller terdaftar 182 judul artikel dalam majalah,
20 artikel dalam buku dan 18 buah buku. Di samping itu, ia sendiri mengedit satu buku dan
mengedit satu lagi bersama dengan orang lain. Yang tidak disebutkan ialah segala resensi
buku yang ia karang sepanjang kariernya. Isi dari sebagian buku-aya akan tampak dalam
bagian yang membahas pikirannya, khususnya dalam bidang Pendidikan Agama Kristen.
Sama seperti kebanyakan orang, kehidupan pribadinya tak lepas dari

Pengalaman suka dan duka. Penyakit ibunya sudah disebut. Baru sepuluh tahun
setelah menikah istrinya jatuh sakit karena penyakit polio, lalu me- ninggal. Di samping
menghadapi kehilangan penolong yang terkasih, ia perlu memperhatikan bagaimana
memelihara jiwa dan tubuh keempat pu- trinya yang masih kecil. Untunglah ibu mertuanya,
yang bernama Lilian B.T. Hallett, masuk ke dalam rumah tangga yang masih berdukacita
itu dan mengisinya dengan kasih sayang dan keprihatinan yang luar biasa selama dua
tahun berikutnya. Miller tidak pernah berhenti memberi pujian kepadanya. Secara khusus
ia telah mendedikasikan salah satu bukunya ke- padanya, dengan menuliskan: “To Lillian
B.T. Hallett, Mother-in-law extra- ordinary “19 Sesudah dua tahun berlalu, tugas Hallett
diselesaikan sehingga boleh kembali lagi ke rumahnya sendiri. Kebetulan Miller bertemu
de- ngan seorang janda muda bernama Elizabeth Fowlkes. Tentang pertemuan itu, Miller
menulis: “Pertemuan kami singkat sekali, dan biasanya tidak akan diingat lagi. Tetapi kami
berdua melihat sesuatu yang bermakna di dalamnya. Ada semacam penyingkapan dan
kami berdua memberi jawaban terhadapnya. Hal itu boleh dinamakan kebetulan, intuisi,
ataupun cinta ka- sih. Bagaimanapun juga namanya, satu tahun berikutnya kami menikah.

2. Dasar Teologi

Sesudah Miller membaca kecaman yang Smith lontarkan terhadap gerak- an


pendidikan agama, ia begitu terganggu sehingga ia terdorong untuk be- refleksi tentang
cara menjawabnya. Ia menghargai sebagian dari pengerti- an tentang pendidikan agama
yang dipertahankan, umpamanya oleh Coedan Elliott, tetapi ia melihat bahwa teologi
gereja tidak memainkan peran- an yang mencolok di dalam teori mereka. Oleh karena itu,
Miller berusaha menemukan kunci (clue) yang menyoroti hubungan erat antara ilmu teologi
dengan pengalaman pribadi, antara isi Pendidikan Agama Kristen dengan metodologi dan
antara kebenaran dengan kehidupan. Sesudah mempertimbangkan kekuatan dan
kelemahannya dari pelbagai kemung- kinan, ia yakin bahwa justru teologi yang relevanlah
kunci yang diperlu- kan oleh para pemikir dan pekerja di bidang Pendidikan Agama
Kristen. Bagi Miller istilah teologi sendiri dirumuskan sebagai kebenaran-tentang- Allah-
dalam-hubungan-dengan-manusia.Menuju Kematangan Kunci bagi Pendidikan Agama
Kristen adalah penemuan suatu teologi yang re- levan yang akan menjembatani jurang
pemisah antara isi dan metode. Teologi itu akan menjadi latar belakang dan titik tolok
untuk memahami kebenaran Kristen. Dengan itu metode-metode terbaik dan isi kurikulum
akan dipakai sebagai sara- na untuk mengantar para pelajar ke dalam hubungan yang
benar dengan Allah yang hidup, yang menyatakan diri kepada kita dalam Yesus Kristus;
bimbingan orangtua dan persekutuan kehidupan jemaat akan dimanfaatkan sebagai
konteks bagi pelaksanaan asuhan Kristen.

Pikiran apakah yang Miller sampaikan? Singkatnya, ia ingin supaya setiap pelajar
mengalami kebenaran Kristen sesuai dengan tahap perkem- bangannya. Pada saat
tertentu salah satu pokok ajaran teologi mungkin di- ajarkan, tetapi bukan itu peranan yang
mencolok bagi teologi dalam pemba- ngunan teori dan praktek Pendidikan Agama Kristen.
Teologi yang relevan menyoroti arti mata pelajaran tertentu dan metode-metode yang
hendak dipakai untuk menghubungkan isi mata pelajaran dengan pengalaman pe- lajar
sendiri. Misalnya, metode-metode indoktrinasi pasti berhasil, tetapi pendekatan itu tak
sesuai dengan teologi kemerdekaan dalam Kristus. Be- gitu pula, pemikir dan pekerja di
bidang pendidikan agama Kristen jangan mengambil alih teori-teori sekular secara tidak
kritis karena pandangan yang ada di baliknya juga bersifat sekular. “Pendekatan mengajar
berdasarkan penerimaan teori pedagogis Dewey dan pandangannya terhadap jagat raya
secara tidak kritis akan mengarahkan perhatian para pelajar ke pandangan Dewey,
ketimbang ke pandangan yang dipegang oleh persekutuan Kris- ten.29 Tetapi hal itu
jangan disalahtafsirkan. Sumbangan dari Dewey pen- ting sekali, asal saja dipakai dalam
terang dan maksud iman Kristen.Lalu, teologi perlu menyoroti isi kurikulum agar selalu
dikaitkan de- ngan pengalaman dasariah pelajar sendiri. Lebih lanjut, teologi itulah yang
menentukan pandangan kita atas lingkungan di mana iman cenderung.

3. Rumusan Pendidikan Agama Kristen


Miller mencari rumusan yang mengutamakan pendidikan agama Kristen
sebagai pelayanan yang berdiri di dalam tradisi Kristen. Ia harus bertang- gung jawab dari
sisi teologi yang pada pokoknya bertitik-tolak dari keya- kinan bahwa gereja berasal dari
Injil Yesus Kristus. Pendidikan agama Kristen dimulai tatkala kita diperhadapkan dengan
Injil itu. Pengalaman itu disifatkan oleh beberapa ciri khas. Pendidikan tersebut terjadi
dalam lingkungan sosial. Pada satu pihak lingkungan tempat pengalaman sosial itu
berlangsung adalah rumah tangga Kristen dan pada pihak lain adalah gereja sebagai
persekutuan yang menebus (redemptive fellow- ship). Pendidikan Agama Kristen
mencakup kegiatan perorangan sebagaimana orang itu sedang mengambil keputusan
pribadi, tetapi pendidikan itu berdampak terhadap masyarakat pula tatakala orang yang
sama itu memenuhi tanggung ja- wabnya dalam kehidupan dan pekerjaan. Pendidikan
agama Kristen mencakup sejarah, karena Allah bermaksud menyatakan diri melalui
peristiwa-peristiwa historis. Jadi, pengetahuan tentang masa lampau adalah mutlak
penting untuk memahami baik masa kini maupun harapan akan masa depan. Pendidikan
yang kita maksudkan dimulai dan diakhiri dalam hubungan pribadi, yakni hubungan asasi
yang tidak hanya mendasari watak Kristen, yang menentukan ciri khas da- lam masyarakat
yang berdampak pada kesetiaan pribadi bahkan yang kadang- kadang merusaknya juga.
Hubungan-hubungan pribadi ini dialami dalam kehi- dupan antara orang-orang, dan pada
pihak lain antara orang-orang dan Allah. Kasih kita terhadap Allah yang tidak terlihat
bergantung pada mutu kasih terha- dap saudara-saudara yang dilihat. Pendidikan agama
Kristen terlibat pula tatkala prang-orang memutuskan hubungan-hubungan tersebut dan
tatkala anugerah Allah yang menyembuhkan memperbarui hubungan-hubungan
tersebut.Gambaran itu bukanlah rumusan singkat dan terarah seperti yang kita baca pada
lazimnya, namun ia mencakup beberapa hal yang perlu ada bila pengalaman belajar-
mengajar tertentu bersifat pendidikan “Kristen”. Pendidikan agama Kristen adalah
pengalaman sosial, sebagaimana peng- alaman itu dikenal dari dekat di kalangan rumah
tangga Kristen dan di jemaat di mana warganya sudah ditebus oleh Allah dalam Yesus
Kristus dan sedang “menebus” orang lain. Ia bersifat pribadi, karena hanya se-orang
pribadi sajalah yang mampu mengambil keputusan belajar, tetapi kegiatan belajar itu tidak
hanya bersifat pribadi, karena apa yang dipelajari itu berdampak pada masyarakat lebih
luas pula. Walaupun pengalaman masa kini amat penting, namun segala sesuatu tentang
pengalaman ber- iman tidak bergantung melulu pada usaha kita. Banyak orang yang hidup
pada masa lampau mengalami hasil dari prakarsa Allah juga. Ceritanya pun, yakni sejarah,
adalah warisan yang menolong kita hidup beriman di tengah-tengah keadaan masa kini. Isi
warisan itu perlu diketahui, tetapi pada dasarnya, intinya hanya dialami sejauh
diejawantahkan dalam selu- rah medan hubungan kita, termasuk pemulihan kembali
bilamana hu- bungan tersebut terputus.

4. Tujuan Pendidikan Agama Kristen.


Acapkali dalam tulisannya Miller mengingatkan para pembaca bahwa pu- sat
pendidikan agama Kristen bukanlah sejumlah pengetahuan dan bukan- lah keprihatinan
manusia, melainkan Allah. Kalau begitu, tugas pendidik ialah mengantar pelajar
sedemikian rupa, sehingga ia mengalami pengalam- an yang benar dengan Allah, Bapa
Tuhan Yesus Kristus. Lagi pula, dalam pengalaman agama Kristen mesti ada pelbagai
perjumpaan yang memer- lukan keputusan pribadi dari pihak pelajar agar ia semakin hidup
sesuai dengan kepercayaan akan ketuhanan Yesus. Sebagai hasil dari mengalami Allah
sebagai poros kehidupan dan melibatkan diri dalam proses meng- ambil keputusan pribadi
secara kontinu, pelajar itu sedang bertumbuh menuju kematangan dalam iman Kristen.Apa
itu kematangan? Miller mendaftarkan serangkaian sifat seorang warga Kristen yang
semakin matang dalam imannya yang sekaligus ber- fungsi sebagai tujuan umum bagi
Pendidikan Agama Kristen:Segala tenaga, dana dan sarana yang dihabiskan jemaat demi
rencana pengalaman belajar-mengajar di kalangnya hendaknya ditujukan pada usaha
menolong setiap orang mengenal dirinya sebagai anak Allah. Sebagai anak Allah, ia
adalah ahli waris Kerajaan Allah dan sebagai orang yang cende- rung memisahkan diri dari
sesamanya manusia dan Tuhan. Ia juga adalah orang yang semakin mengalami dirinya
diampuni dan ditebus oleh Allah dalam Yesus Kristus, sehingga ia mengabdikan diri
kepada Tuhan dalam kebaktian, persekutuan dan pelayanan gereja serta
mengejawantahkan ke- hidupan baru dalam segala hubungannya, khususnya dalam
rumah tangga,dengan sesamanya manusia, dalam struktur masyarakat, negara dan alam.
Dengan demikian, ia berusaha menjadikan kehadirannya sebagai kehadir an yang
menyembuhkan.3 5. Lingkungan Beberapa kali kita sudah menyebutkan pentingnya mutu
hubungan-hubung- an dalam pengalaman belajar-mengajar. Karena itu, kita tidak keliru
kalau mengatakan bahwa bagi Miller, lingkungan pendidikan agama Kristen berporos pada
hubungan-hubungan yang berlaku di tempat pelajar pelajar dan bertumbuh. Walaupun
dalam prosesnya penggunaan kata memainkan peranan bermakna, namun makna kata
tersebut bergantung pada mutu hubungan antara orang yang terlibat dalam lingkungan
luas tertentu. Demikianlah rumah tangga Kristen merupakan lingkungan pertama bagi
pelaksanaan pendidikan agama Kristen. Di sana anak belajar mem- percayakan diri pada
pemeliharaan orang lain dan bahwa orang lain dapat dipercayai. Karena di tempat itu ia
mengalami kasih dan penghargaan, maka ia pun belajar menghargai dirinya. Tatkala
orangtua menyebutkan kata "Allah" atau "Tuhan" dan menundukkan kepala agar berdoa,
sikap kesetiaan itu selaras dengan tindakan lain pula. Di luar kesadaran anak, ia sedang
belajar "bahasa hubungan" yang mendasari segala pengalaman belajar agamawi.
Demikianlah, ia siap bertumbuh lebih jauh lagi dalam hubungan dengan Tuhan dalam
rumah tangga dan gereja. Sekarang kita tiba pada lingkungan kedua, yakni gereja yang
disifat- kan oleh enam fungsi. Pertama, gereja adalah persekutuan yang beribadah dan
orang belajar beribadah dengan mengambil bagian dalam kebaktian. Kedua, gereja adalah
persekutuan yang menebus, dalam arti kebutuhan da- sariah dari anggotanya terpenuhi
dan hubungan yang terputus dapat di- sembuhkan kembali. Walaupun jemaat adalah
persekutuan orang berdosa, namun ia juga melaksanakan pelayanan pendamaian. Ketiga,
menyediakan kesempatan belajar bagi orang dari segala golongan umur. Di situ, crang
mencari jawaban dari Injil terhadap pertanyaan yang ditimbulkan oleh pengalaman hidup.
Jadi, gereja adalah persekutuan belajar-mengajar. Ke- empat, gereja adalah persekutuan
yang prihatin akan kebutuhan orang yang kesepian, sakit, miskin, lemah, lanjut usianya; ia
merasa diri hidup di bawah perintah Tuhan untuk berusaha melayani siapa pun, khususnya
"yang paling hina". Kelima, gereja adalah persekutuan yang ingin membagikan iman ke-
693Pada orang yang belum menerima Kabar Baik dalam Yesus Kristus, entah orang itu
tinggal di daerah yang dekat ataupun di luar negeri. Dengan me- nyokong segala usaha
penyampaian Injil, maka warga gereja mengamin- kan amanatnya yang bersifat am.
Keenam, gereja adalah persekutuan yang berkerja sama dengan warga kelompok Kristen
lain, warga negeri dan warga dari agama yang berbeda agar bekerja bersama demi
pendidikan umum, kehidupan susila, hak asasi manusia, keadilan sosial, pendamaian
dalam masyarakat setempat, perdamaian antar-negara.Miller tahu bahwa ada banyak
kelemahan dalam usaha jemaat biasa yang menghalanginya mengejawantahkan keenam
fungsi itu ke dalam ke- hidupannya secara konsekuen. Itulah sebabnya Pendidikan Agama
Kristen diperlukan. Tetapi pendidikan itu hanya berhasil sejauh usahanya diper- kuat oleh
mutu hubungan yang berlaku di dalamnya. Jadi, pada satu pihak jemaat adalah lingkungan
bagi pendidikan agama Kristen dan pada pihak lain jemaat adalah subyek Pendidikan
Agaria Kristen yang menjadikannya lingkungan yang semakin melaksanakan keenam
fungsi tersebut!
Pada tahap tertentu, terdapat lingkungan lain yang penting walaupun bersifat sekunder,
yakni sekolah umum di mana vak agama adalah salah satu mata pelajaran kurikuler.
Menurut Miller, sekolah itu dapat mengajar- kan data tertentu tentang iman, umpamanya isi
Alkitab, tetapi ia tidak mampu menyediakan pengalaman belajar paling mendalam karena
seko- lah sewajarnya bukanlah persekutuan yang beribadah. Kesimpulan itu di- ambil
berdasarkan peninjauan terhadap sekolah yang ia kunjungi di Jer- man dan Inggris.
“Kunjungan ke sekolah-sekolah di Jerman dan Inggris menyakinkan saya bahwa walaupun
sekolah dapat mengajarkan vak aga- ma kepada anak, ia mustahil menjadi pengganti
asuhan Kristen yang ber- langsung dalam jemaat setempat,33 karena makna pendidikan
agama Kristen yang terdalam hanya dikomunikasikan dalam lingkungan di mana warga
beribadah kepada Allah, Bapa Tuhan Yesus Kristus. Terdapat lingkungan lain lagi, yakni
“dunia”. Tanda kutip dipakai, karena dunia bukanlah tempat yang dapat dipahami seperti
melihat ge dung, gedung gereja (tempat jemaat berkumpul untuk beribadah) dan ge- dung
sekolah. Boleh dikatakan bahwa “dunia” adalah lingkungan yang tidak dibatasi oleh empat
dinding. Sebenarnya “dunia” melambangkan se- gala gelanggang tempat orang bermain,
bermalas-malas pada waktu seng gang, bekerja, melayani, memenuhi sejumlah tanggung
jawab sebagai anggota masyarakat dan negara. Dari “dunia” timbullah pertanyaan
nyata,Pelajar Oleh karena pengalaman yang bertumbuh di sepanjang hidupnya itu di-
anggap sebagai peluang yang Allah karuniakan kepada semua orang, ma- ka
sewajarnyalah orang-orang dari segala golongan umur sebagai subyek yang termasuk
dalam pelayanan pendidikan agama Kristen. Dalil itu tidak berarti bahwa semua orang sudi
membuka diri pada peluang untuk ber- tumbuh itu. Banyak sekali warga Kristen yang
merasa puas dengan tahap perkembangan yang dicapai pada titik tertentu, barangkali
tatkala disidi dulu. Tidak jarang refleksi serius atas iman dalam hubungan dengan tan-
tangan hidup tidak dilaksanakan karena pelbagai alasan, meskipun seba- gian berkaitan
dengan kekhawatiran, bahwa kalau ia berbuat itu rasa aman dalam imannya mungkin
terancam. Bagaimanapun juga alasan orang de- wasa untuk sungkan membuka diri
terhadap pengalaman belajar, nanun dengan belajar semua orang potensial mampu
memperdalam imannya. Sebagian dari tantangan yang diperhadapkan kepada pemimpin
gereja ialah menyediakan kesempatan belajar berdasarkan hubungan-hubungan yang
selaras dengan kebutuhan pelajar agar dengan demikian ia cende rung lebih bersedia
mengambil keputusan menuju pertumbuhan: Tatkala kita memperhadapkan orang dengan
Injil pada titik ia mampu menjawab, yakni melalui hubungan-hubungan yang bermakna,
melalui pokok persoalan yang urgen, melalui pengalaman menjawab pertanyaan yang ia
sendiri sedang tanyakan, atau dengan mendorong pertanyaan yang ia dapat pertanyakan,
maka barangkali ia akan memberi jawaban. Ketika dorongan ini disokong oleh and gerah
Allah dan keikutsertaannya dalam kehidupan persekutan Kristen.

5. Pelajar
Oleh karena pengalaman yang bertumbuh di sepanjang hidupnya itu di- anggap
sebagai peluang yang Allah karuniakan kepada semua orang, ma- ka sewajarnyalah
orang-orang dari segala golongan umur sebagai subyek yang termasuk dalam pelayanan
pendidikan agama Kristen. Dalil itu tidak berarti bahwa semua orang sudi membuka diri
pada peluang untuk ber- tumbuh itu. Banyak sekali warga Kristen yang merasa puas
dengan tahap perkembangan yang dicapai pada titik tertentu, barangkali tatkala disidi dulu.
Tidak jarang refleksi serius atas iman dalam hubungan dengan tan- tangan hidup tidak
dilaksanakan karena pelbagai alasan, meskipun seba- gian berkaitan dengan
kekhawatiran, bahwa kalau ia berbuat itu rasa aman dalam imannya mungkin terancam.
Bagaimanapun juga alasan orang de- wasa untuk sungkan membuka diri terhadap
pengalaman belajar, nanun dengan belajar semua orang potensial mampu memperdalam
imannya. Sebagian dari tantangan yang diperhadapkan kepada pemimpin gereja ialah
menyediakan kesempatan belajar berdasarkan hubungan-hubungan yang selaras dengan
kebutuhan pelajar agar dengan demikian ia cende rung lebih bersedia mengambil
keputusan menuju pertumbuhan:Tatkala kita memperhadapkan orang dengan Injil pada
titik ia mampu menjawab, yakni melalui hubungan-hubungan yang bermakna, melalui
pokok persoalan yang urgen, melalui pengalaman menjawab pertanyaan yang ia sendiri
sedang tanyakan, atau dengan mendorong pertanyaan yang ia dapat pertanyakan, maka
barangkali ia akan memberi jawaban. Ketika dorongan ini disokong oleh and gerah Allah
dan keikutsertaannya dalam kehidupan persekutan Kristen. Pelaksanaannya dapat
dilancarkan bila ia diperhatikan dari keempat sisi kebutuhan dasariah yang sadar atau
tidak setiap orang berusaha untuk memenuhinya. 1) Setiap orang memerlukan kasih dan
perasaan bahwa ia diterima oleh pihak lain sebagai seorang yang berharga. Bila
kebutuhan ini dipenuhi, maka ia akan mengasihi orang lain; dan dengan mengalami dirinya
dikasihi, maka ia akan menerima orang lain sebagaimana ia ada; dan dengan mengalami
dirinya diterima sebagaimana apa adanya, maka ia akan merasa aman dalam dirinya.
Alhasil, ia mampu dan rela menolong orang lain untuk merasa aman pula. 2) Setiap orang
memerlukan struktur hukum dan ketertiban, swadisiplin dan penghargaan atas nilai-nilai
moral. Sungguhpun pada taraf yang dangkal kita ingin hidup sesuai dengan tin- dakan
orang pada zaman Hakim-hakim dalam umat Israel kuno, ketika di- katakan, “pada zaman
itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut
pandangannya” (Hak. 21:25), namun kita tahu bahwa kehidupan yang berharga, bermakna
dan aman hanya mung- kin terjadi di mana terdapat ketertiban yang membiarkan setiap
orang me- manfaatkan bakatnya dan di mana para warga hidup berdasarkan peng- abdian
diri pada nilai-nilai yang mutlak penting. 3) Setiap orang memerlu kan kemerdekaan untuk
bertumbuh. Tidak jarang kebutuhan dasariah ini tidak dipenuhi karena pertumbuhan
seorang tertentu dianggap sebagai an- caman terhadap keamanan seseorang atau
lembaga tertentu. Karena itu, daya kreativitas dihalangi. Tetapi Allah memihak pada segala
usaha yang turut ambil bagian dalam pertumbuhan setiap orang secara jasmani, nalar,
rohani dan sosial. 4) Setiap orang memerlukan pemupukan dan pembinaan perasaan
terhadap misteri kehidupan. Siapa saja yang hidup pada taraf ho risontal semakin buta
terhadap bagian kehidupan yang lebih mendalam. Bahkan yang abadi. Masalahnya ialah
bagaimana caranya agar kebutuhan dasariah itu betul-betul terpenuhi. Sepanjang sejarah
orang mencari miste- ri yang tidak memadai, umpamanya mereka membuat patung
berhala, mendewakan ritus, kekayaan, sains, lembaga keagamaan, negara dan lain- lain.
Mereka bertindak sebodoh sebagian dari umat Israel kuno yang di- kecam keras oleh Nabi
Yeremia, “... Mereka meninggalkan Aku, sumber air yang hidup, untuk menggali kolam
bagi mereka sendiri, yakni kolam yang bocor, yang tidak dapat menahan air” (Yer. 2:13),
padahal hanya misteri Allah yang begitu besar kasih-Nya “
6. Pengajar

Secara praktis ada tiga pengajar utama, yakni lingkungan rumah tangga jemaat dan korps
guru. Mengingat bahwa kedua yang pertama itu tela dibahas di bawah tema “lingkungan”
di atas, maka titik berat kita di sim adalah guru yang mengajar berdasarkan rencana
tertentu.Pada awal pembicaraan tentang jati diri seorang guru, Miller mem- bedakan antara
dua pengalaman, yakni mengajar dan beriman, kemudian ia menyesuaikan kedua-duanya
satu sama lain.
7. Secara praktis ada 3 pengajar utama yakni

• Lingkungan rumah tangga


• Jemaat

• Korupsi guru

Meningkatkan bahwa kedua yang pertama itu dibawa tema lingkungan di atas maka, berat
kita disini adalah guru yang mengajar berdasarkan rencana tertentu. Pada awal
pembicaraan tentang jati diri seorang guru, miller membedakan antara 2 pengalaman,
yakni

• Mengajar

• Bermain

Kemudian ia menyesuaikan keduanya satu sama yang lain

Mengajar berarti menyampaikan perasaan, pengertian, sikap, kenyataan dan arti padahal
beriman itu berarti mempercayai, mengabdikan diri mengambilkan keputusan mempunyai
dasar bagi segala sesuatu yang kita harapkan dan berkeyakinan tentang segala sesuatu
yang tidak dilihat. Mengajar agar menghasilkan iman berarti mengambil bagian dalam
persekutuan dimana anggotanya mampu saling percaya satu sama lain dan untuk
bersama-sama perccaya pada allah .

8. Ruang lingkup kurikulum

Sebenarnya pokok-pokok yang tercakup dalam ruang lingkup kurikulum yang dipikirkan
oleh miller telah tersiat dalam kebanyakan tulisan miller itu tampak paling jelas dan
lengkap dalam buku yang berjudul. BIBLICALL TEOLOGI AND CHRISTIAN
EDUCATION. Di dalam buku BIBLICAL TEOLOGI Miller menggambarkan arti amanat
alkitab sebagai drama keselamatan yang terdiri di atas 5 babak utama yakni ;

• Penciptaan

• Perjanjian

• Penebusan

• Persekutuan
• Penggenapan

Kelima babak ditambahkan oleh satu tema lagi yani pengabdian yang hendaknya terjadi
secara wajar sebagai tanggapan terhadap setiap babak tersebut.

9. Metodologi

Dalam perkembangan pikiran tentang metode, Miller dipengaruhi oleh para ahli
pendidikan seperti

Dewei dan pengertian dari pengertian psikolog dan sosiolog. Tetapi segala pengertian
yang diperoleh dari sumber-sumber tersebut di olah ulung demi maksud pendidikan agama
Kristen sebagai pelayan gereja, persekutuan yang menyelamatkan.

Metodologi pendidikan agama Kristen berkembang dari teologi gereja Kristen karna pada
dasarnya metode adalah sarana untuk menyampaikan kebenaran Kristen sehingga
berhasil dalam berjumpai dan memahami ,massalah-massalah yang timbul dalam
kehidupan.

Pada dasarnya metode tertentu dapat digolongkan dibawah 4 jenis kegiatan utama yakni ;
metode yang berporos , usaha memberitahukan, memperlihatkan , mengadakan
pertukaran pikiran

Masing-masing jenis metode akan dipaparkan dibawah ini

a. Memberitahukan

b. Memperlihatkan

c. Tukar pikiran

d. Perencanaan dan kegiatan kelompok


10. Belajar beribadah

Miller mengutamakan pentingnya belajar beribadh dengan kata-kata berikut; Gereja


adalah perekutuan yang beribadah. Sesungguhpun segala kegiatann lain dilarang atau
dihalangi oleh pemerintah yang memusuhinya, namun ia tetap hidup melalui pengalaman
beribadah. Para warga jemaat pernah beribadah di lapangan terbuka pada malam hari,
dikata kombe, didalam rumah dengan jendela yang ditutup oleh tirai; mereka beribadah di
negeri yang dikepalai raja-raja dan dictator- dictator yang kejam serta di negeri dimana
orang Kristen adalah minoritas.

11. Pengolahan pendidikan agama Kristen

Dibalik segala pengorganisasian dan pengolahan yang berkaitan dengan pendidikan


agama Kristen ada 4 asumsi

•Gereja wajib menghasilkan suasana yang didalamnya kesejahteraan


perorangan dan persekutuan dalam injil dijunjung tinggi

•Dalam rangka memnuhi kebutuhan orang-orang dan kelompok-kelompok,


segala unsur kehidupan jemaat bermakna secara pedagogis

• Pengorganisasian dan pengelolaan adalah bagian mutlak dari kurikulum


pendidikan agama Kristen.

• Pengrorganisasian dan pengeolaan jangan di anggap sebagi tujuan yang


terpisah dari unsur-unsur lain dalam pelayanan jemaat.

Menuju kematangan pak III yang pertama ; guru dikalangan jemaat hendaknya
mempunyai pengetahuan dan pengertian dasaria tentang alkitab sejarah gereja dan
pokok-pokok ajaran teologi yang relefan bagi kehidupan sehari-hari. Kedua; isi pokok
ajaran teologi yang ia anut perlu menghormati dirinya sebagai orang Kristen yang mampu
berpikir secara cerdas.Ketiga; ia memiliki keinginan untuk memperbaiki keterampilan
mengajar yang cangkuk teknik-teknik mengajar.Keempat; guru harus mengabdikan diri
kepada allah dari Yesus Kristus. Sementara mengakui bahwa ia tidak layak menerima
panggilan mengjaar yang begitu mulia namun ia harus siap menyerahkan bakat dan
kemampuannya kepada Tuhan.

C. L.J. Sherrill (1892-1957), PAK yang Teologis/Psikologis-sentris

1. Riwayat Hidupnya
Sherrill lahir di kota kecil Haskell, negara bagian Texas Utara. Sebagai seorang
pemuda, ia melayani negaranya pada Perang Dunia I dalam ang katan darat. Ia tamat dari
Kolese Austin di Texas. Pendidikan teologi ia peroleh dari Sekolah Tinggi Teologi
Louisville, negara bagian Kentucky. Studi lanjutannya dimulai di Universitas Northwestern
di kota Evanston, negara bagian Illinois, tetapi kemudian ia pindah ke Universitas Yale dan
meraih gelar Ph.D. dari universitas itu.tamat dari Sekolah Tinggi Teologi Louisville, ia
melayani mant First Presbyterian Church, di Covington, negara bagian Tennessee
Minatnya pada teologi, ilmu jiwa psiko-analisis dan penggunaan kedua duanya agar
memperbaiki keterampilan berkomunikasi dengan warga je maat, khususnya yang muda.
Tatkala ia berusaha melayani jemaat, sama seperti kebanyakan tamatan lain dari Sekolah
Tinggi Teologi, ia pun me adiri tidak mampu memenuhi segala tugas seorang pendeta.
Perasaan tidak mampu itu ia lukiskan kepada redaktor Bulletin of the Pastoral Psy chology
Book Club, sebagai alasan mengapa ia mengarang, The Gift of Power, buku terakhir yang
ia pernah karang.Tampaklah betapa latar belakang teologisku sekali dari keadaan hidup di
je maat. Sebagian dari kaum muda di masyarakat itu tidak jawab dan tidak mau
dikendalikan oleh siapa pun. Di sana saya dihadapkan pada beberapa kenyataan pahit.
Studiku di bidang teologi dan ilmu jiwa dulu gagal memper lengkapi saya mengatasi
keadaan seperti itu. Bagiku jelas sekali bahwa aku tidak tahu apa-apa tentang pelayanan
bermakna, khususnya yang berguna untuk me nolong orang yang terbelenggu dalam
keadaan tragis tersebut.Saya semakin sadar akan perlunya menggali lebih dalam lagi
sumber utama agar memperoleh pengertian yang memuaskan tentang urti Alkitab, teolo-
gi, manusia dan cara-cara terbaik untuk mengkomunikasikan iman Kristen mela lui
pelayanan berkhotbah dan mengajar. ...Selama sepuluh tahun belakangan ini saya rajin
mencari dasar bagi suatu filsafat persekutuan Kristen yang pada satu pihak sesuai dengan
dimensi Mendalam dari penyataan, dan pada pihak lain yang sesuai dengan keadaan sulit
(predicament) yang dihadapi orang. Sesudah mencapai dasar kerja yang memuaskan
dalam bagian masing-masing, saya perlu mengembangkan sarana komNikasi yang cocok
untuk menjembatani celah yang memisahkan keduanya The Gift of Power
menggambarkan pola hubungan yang aku kembangkan sebagai hasil pencarian yang
menerima tenaga dan pikiranku bertahun-tahun lamanya itu. Aku berharap isinya sama
relevannya bagi pengkhotbah, guru dan gembala yang ingin sekali mengaitkan pelayanan
dengan kebutuhan nyata yang dialami oleh orang yang hidup pada masa kini.Pada tahun
1925 alma maternya di Louisville mengangkatnya dosen di bidang pendidikan agama.
Lima tahun kemudian ia dipilih oleh peng- kolah Tinggi Union di kota New York sebagai
dosen di bidang Pendidikan untuk dekan sekolahnya. Pada tahun 1950 ia pindah ke Se
Agama Kristen dan tetap tinggal di sana sampai ia wafat pada tahun 1957. Selama
dasawarsa terakhir dari pelayanannya di Union, keadaan Namun, justru pada zaman itulah
ia mengarang The Gift of Power dan The a penglihatannya sudah parah sekali, sehingga ia
mustahil membaca Struggle of the Soul, dua karya yang paling bermutu. Boleh ditanyakan,
"Kalau begitu, bagaimanakah ia dapat menyelesaikan tugas seberat itu?" Sebagian
jawabannya mencakup pertolongan dan sokongan luar biasa yang ia terima dari istrinya,
Helen Hardwicke Sherrill, yang betul-betul sepadan dengan ia dalam segala hal, termasuk
kecerdasannya. Fairchild menulis bahwa Sherrill terus bertumbuh dan senantiasa siap
mengakui kelemahan dalam teorinya. Namun Sherrill yakin bahwa orang tidak akan
berbuat apa-apa kalau selalu harus menunggu sampai prestasinya berbuah baik, atau
sampai pengkritik gagal menemukan keku- rangan di dalamnya! la sendiri berusaha
mendorong percakapan antara pihak teolog dan pihak psikolog, karena ia yakin bahwa
"manusia" masing-masing pihak gambarkan belumlah lengkap. Pengertian dari kedua
belah pihak diperlukan. Ia menyesalkan bahwa usaha itu tidak berhasil seperti yang ia
harapkan. Walaupun ia tidak dapat memaksakan kedua belah pihak berdialog, namun ia
mampu mewujudkan keyakinan itu dalam hubungannya dengan orang lain, khususnya
dengan para maha- siswa yang merasa aman untuk membuka diri kepadanya.
2. Keyakinan Teologis
Ada tiga keyakinan teologis utama yang menyoroti pandangan Sherrill, yakni pokok ajaran
tentang penyataan, manusia dan persekutuan Kristen (koinonia).

a. Bila kita ingin memahami penyataan sebagai pengalaman dinamis dengan Tuhan,
bahkan suatu perjumpaan dengan Tuhan, maka kita perlu membedakan antara tiga
tarafnya. Pertama-tama terdapat data- varaav, yakni isi pengalaman nyata tatkala
Allah menyatakan diri ke- pada seorang pribadi. Menurut iman Kristen, dengannya
Allah tidak me nyatakan keterangan ini atau itu, Dia menyatakan diri-Nya sebagai
diri Pribadi. Kedua, terdapat laporan atau berita tentang penyataan. Laporan itu
dibuat tatkala isi penyataan yang seseorang baru terima diberitahukan ke- pada
orang lain. Sebenarnya, ia gagal memberitahukan laporan itu secara sempurna,
karena pada saat ia melakukan itu, isinya sudah satu tahap le bih jauh dari
penyataan yang asli tersebut. Mengapa demikian? Kepribadi annya sendiri, di
samping miskin perbendaharaan kata, mustahil menyam paikan isi penyataan yang
asli. Semua usahanya hanya mampu mendekati saja. Kedua, si penerima
penyataan itu cenderung mengubahnya pula, karena mendengar isi penyataan itu
berdasarkan pengalaman sebelu Jadi, apa yang ia terima bukanlah penyataan yang
asli lagi. Sungguhpu www demikian seorang beragama apapun cenderung
menyamakan laporan ta saksian tentang penyataan dengan fakta penyataan itu
sendiri denga hasilnya yang mempersulit hubungan antara para pengikut agama-
agama berbeda. Perlu dikatakan bahwa fakta penyataan mustahil persis sama
dengan isi laporan atau berita tentang penyataan! Oleh karena itu yang teknis kitab
suci apapun bukanlah penyataan, melainkan laporan entang penyataan! Tetapi
sebelum pembaca merasa gelisah, bahkan secara marah terhadap Sherrill,
sebaiknya ia mendengar penjelasan lebih lanjut. Sherrill tidak bermaksud
meremehkan kitab suci, justru sebaliknya la ingin menjunjung tinggi intinya sebagai
sumber yang membuka segala kemungkinan yang tersirat dalam penyataan
alkitabiah, umpamanya supe ya dialami oleh seseorang secara pribadi. Sherrill ingin
menjaga supaya beriman menjauhkan diri dari dugaan bahwa penyataan dari Allah
orang dapat dijilidkan dan dibekukan dalam bentuk aslinya selama-lamanya Namun,
tatkala si pembaca membacanya, ada kemungkinan besar bahw a akan mendengar
Allah bersabda secara Pribadi kepadanya. Ketiga, orang yang menerima penyataan
tadi (biasanya dengan membaca Alkitab au mendengar isinya dijelaskan) mulai
membicarakannya dengan orang lain yang pernah menerima penyataan juga serta
membandingkannya, ma la mereka sampai pada taraf menarik kesimpulan yang
hendaknya dina- makan, ajaran tentang penyataan. Tetapi ajaran tersebut tidak
berdiri sen- diri. Senantiasa ia dibandingkan dengan isi kesaksian tentang
penyataan dan penyataan pribadi yang diterima oleh si warga Kristen di tengah-te
ngah persekutuan orang beriman. Ajaran penyataan tertentu perlu menda sari
agama Kristen, karena di dalamnya dipercaya bahwa Allah akan menjumpainya
secara pribadi di tengah-tengah keadaan hidup- Bya. Sebagai hasilnya, pendengar
itu memberi jawahan kepada Tuhan be napa kehidupan beriman dan pelayanan
atas nama-Nya. Dengan kata lain, melalui pelayanan pendidikan agama Kristen
Allah mengkonfrontasikan pelajar, tetapi bila pengalaman itu dipandang dari sudut
pelajar, maka pengalamannya bersifat perjumpaan (encounter) dengan Allah. Ia
mendengar namanya disebutkan dan ia perlu menjawab. Sebaiknya kita mendengar
cara Sherrill menjelaskan apa itu penya- taan sebagai pengalaman dinamis dan
pribadi:Dalam usaha berbicara tentang penyataan sebagai Penyingkapan Diri,
sedang tersirat bahwa apa yang dinyatakan, dalam perjumpaan antara Allah dan
manusia bukanlah keterangan tentang Allah, melainkan Allah sendiri sebagai diri
Pribadi Barangkali laporan tentang penyataan perlu disusun sedemikian rupa
sehingga mengandung keterangan, ataupun menggambarkan isi persepsi yang
dihasilkan oleh perjumpaan tersebut. Namun dalam perjumpaan itu dinyatakan
suatu pek dari Allah sebagai diri yang sempurna dan yang tidak terbatas
kekuasaan-Nya Dengan perjumpaan itu Dia disingkapkan dalam bentuk tertentu
yang mencakup hubungan-Nya dengan diri-diri insan yang terbatas dan tidak
sempurna.Selanjutnya, dalam usaha berbicara tentang penyataan sebagai
konfrontasi, tersirat pula bahwa persepsi terlibat dalam penyataan. Penyataan itu
adalah penyataan kepada diri-diri insani (human beings). Ini berarti bahwa
kemampuan insan itu terlibat langsung dalam proses menerima isi penyataan. Fakta
ini tidak berarti bahwa orang tertentu gagal menerima keuntungan dari penyataan,
kecuali ia sadar akan pengalaman menerima penyataan tersebut. Namun hal itu
betul berarti bahwa kecuali ia menangkap (perceives) apa yang disingkapkan, maka
ia belum menerima penyingkapan itu. Benarlah sebutan itu, karena untuk
menangkap sesuatu adalah lebih bermakna daripada hanya “melihat apa yang ada
di depannya. Begitupun menangkap penyataan itu lebih bermakna pula dari pada
“mendengar” apa yang diucapkan. Sebab, seseorang memang dapat melihat tetapi
tidak menangkap; ia dapat mendengar, tetapi tidak memahami.Demikianlah Allah
menyatakan diri melalui dunia alam, manusia, peristiwa sejarah dan terutama dalam
diri Yesus Kristus yang adalah “Firman Allah” yang hidup, puncak dari segala
penyataan. Dalam Alkitab kita membaca bagaimana hal-hal alami “bersabda”
kepada manusia ten- tang hal-hal rohani. Umpamanya, musim-musim yang
beraturan melam- bangkan bahwa manusia dapat mempercayakan diri pada
perjanjian yang Allah prakarsai dengan manusia. Acapkali para pengarang kitab
Alkitab menggambarkan kekuatan alami sebagai hukuman Allah, yakni kekuatan
berupa taufan, gempa bumi dan masa tanpa hujan.
Kehidupan dan tabiat manusia pun diakui sebagai sarana penyataan. Karena
dengan bahasa simbolis yang tercakup di dalamnya sebagian dari jati diri Allah
dinyatakan. Allah dapat menyatakan diri kepada orang kare na di dalam orang itu
terdapat jati diri yang serupa dengan jati diri Allah sendiri. Pengertian itulah yang
tercakup dalam simbol “gambar Allah” Sesuai dengan intisari simbol itu, yang selalu
ambil bagian dalam apa yang dilambangkan, maka hubungan dan pengalaman
manusia tidak ha nya menunjuk ke apa yang dilambangkan, tetapi turut ambil
bagian dalam kenyataan yang ditunjukkan oleh simbol tertentu. Demikianlah, Dalam
kasih seorang ibu atau ayah kepada anaknya, cinta kasih antara suami istri, kasih
antara dua saudara, kasih antara dua teman, dalam pengalaman makanDi samping
itu, Allah tidak hanya memperhadapkan manusia sebagai sahabat, tetapi sebagai
juga, dalam arti ada sesuatu dalam orang yang Allah benarkan dan sesuatu lain lagi
yang Dia tentang Dengan menentang manusia, Allah menyatakan persepsi-Nya
terhadap manusia, yakni dialah makhluk yang rajin mendewakan diri, masyarakat
dan negaranya. Penyataan inilah yang memampukan manusia memahami motivasi
yang paling dalam, sesuatu yang ia gagal tangkap dengan usaha nya sendiri,
terlepas dari hubungannya dengan orang lain.

Sebagian besar dari isi Alkitab menuturkan penyataan Allah melalui peristiwa
bersejarah, umpamanya panggilan Abraham, pelepasan bani Israel dari perbudakan
di Mesir dan pembuangannya di Babil. Kemudian, peristiwa mencolok itu dituturkan
kembali dari sudut angkatan beriman yang menyusul. Itulah sebabnya para nabi
menegur umatnya untuk mengingat” karena mereka cenderung lupa akan
perbuatan ajaib yang dilaksanakan Allah. Dengan mengingat itu, Allah menyatakan
diri lagi kepada setiap angkatan baru, karena Allah yang bersabda demikian adalah
Allah yang hidup. “Dengan asas inilah sejarah umat Allah dijadikan seba- gai
pengalaman yang berkesinambungan sehingga memberinya tempat dasariah dalam
pendidikan agama Kristen dan meletakkan sejarah pribadi setiap orang dalam
lingkungan seluruh sejarah penebusan yang mulia.
3. Keyakinan psikologis
Sherrill menganjurkan agar para psikolog dan teolog berdialog demi per- tingnya
memahami manusia, sehingga manusia ditolong memperoleh jalan keluar dari sebagian
dari kesulitannya yang dilaksanakan secara pribadi dan yang dihasilkan olehnya dalam
masyarakat. Tetapi para psikolog yang ia maksudkan adalah yang memihak psikologi
kepribadian dan bukan ilmu- wan di bidang ilmu jiwa kelakuan yang penyelidikannya
berporos pada ke lakuan binatang, walaupun tidak bersandar secara total pada mazhab
ke- pribadian itu sendiri. Khususnya, ia tertarik pada psiko-analisis, karena isi- nya
bersabda kepada manusia dalam keadaannya, misalnya yang menca kup jati dirinya
sebagai seorang yang cemas, takut, marah dan mengasihi.Dalam sastra psiko-analisis ada
banyak tulisan tentang kecemasan neurotis, tetapi Sherrill lebih memusatkan perhatian
pada kecemasan nor mal, tanpa mengabaikan dimensi neurotis. Kecemasan itu adalah
tanggap- an terhadap ancaman nyata yang gagal manusia identifisi secara teliti.Sebagai
manusia modern, ia cemas karena keamanannya terancam oleh banyak hal dan ia tidak
mengetahui dasar kecemasannya. Sebagai contoh tentang kecemasan normal, Sherrill
sendiri tertarik pada gambaran Tillich tentang kecemasan eksistensial yang mencakup tiga
sifat. Pertama,adanya kecemasan terhadap kematian. Kedua, manusia cemas karena h-
gak usahanya tidak bermakna dan ia merasa bahwa segala tenaga yang dhabiskan untuk
itu sia-sia saja hasilnya. Ketiga, ia cemas karena merasa dri bersalah dan selayaknya
dihukum, tetapi ia tidak tahu bagaimana me paskan diri dari perasaan tersebut.
Kecemasan itu menyerupai keadaan yang para teolog gambarkan de- apan kata
“dosa”. Namun berbeda dengan cara penyakit itu diperlakukan di kalangan gereja, yakni
sebagai kegagalan moral, para psikolog tersebut melihatnya sebagai keadaan yang tidak
akan diatasi oleh nasihat ataupun olch ancaman jatuhnya hukuman ilahi ke atasnya.
Keadaan itu sedemikian mendalam sehingga ia tidak akan disembuhkan oleh keputusan
insani apa bahkan manusia yang cemas itu tidak mampu mendengar Kabar Baik sebagai
kabar yang betul-betul baik baginya. Sebenarnya, kecemasan terse- but memerlukan
peralatan yang dikembangkan oleh para ahli ilmu jiwa ke- pribadian. Kepada orang yang
cemas tersebut ditunjukkan sebab-musabab yang turut menyebabkan kecemasannya.
Kalau penjelasan itu benar, maka a berhak untuk mengaminkannya. Demikianlah orang
yang cemas itu ber- beti menghakimi dirinya dan mulai didamaikan dengan dirinya sendiri.
sesudah itulah ada kemungkinan bahwa ia cukup kuat untuk menerima pampunan dan
keselamatan yang ditawarkan kepadanya oleh Allah. Und

Selain penemuan tentang kecemasan, peranan yang dimainkan oleh -citra perlu dipahami
dan dihargai oleh para pekerja gerejawi. Sebagi- an dari swa-citra seseorang berkaitan
langsung dengan sikapnya terhadap tubuh. Walaupun kita dapat membuat tindakan yang
memperbaiki sebagi- an dari sifat tubuh yang kita warisi, namun pada pokoknya setiap
orang harus menyesuaikan diri dengan tubuhnya bagaimanapun sifatnya. Justru itulah
persoalan. Bagaimanakah orang rela menerima dirinya sebagaimana in ada? Entah
penampilannya jelek, entah cantik atau ganteng, setiap orang memberi tanggapan
terhadapnya. Kalau memang penampilannya jelek, maka ia merasa malu, cenderung
membenci dirinya, orangtua, masyarakat dan seterusnya. Penampilannya akan
menghalangi dirinya sehingga ia ti- dak memperoleh kebahagiaan seperti yang dialami
“orang lain”.
4. Rumusan PAK
Pada umumnya pendidikan apa pun berkaitan dengan usaha dari pihak lembaga
atau masyarakat tertentu untuk menghasilkan perubahan dalam diri orang, biasanya yang
muda. Dalam prosesnya, terdapat interaksi anta- ra orang-orang. Selain itu masing-masing
lembaga dan masyarakat itu cenderung menentukan jenis-jenis perubahan yang sesuai
dengan jati diri. Nya. Justru perbedaan jati diri itulah yang membedakan pendidikan umum
dari pendidikan agama Kristen.Perbedaan pertama itu mencakup tolok ukur masing-
masing. Pendidik- an umum yang dibayar oleh kas negara harus sesuai dengan asas-asas
yang ditentukan oleh negara. Pendidikan agama Kristen ditentukan oleh lembaga gereja,
tetapi di samping itu sama seperti gereja itu sendiri, pett- didikan umum itu perlu
dipertimbangkan dari pihak penyataan, sehingga senantiasa dikoreksi oleh tolok ukur yang
transenden.Kedua, Allah diaku sebagai Peserta aktif dalam proses pendidikan aga ma
Kristen. Walaupun proses belajar-mengajar di kalangan gereja adalah serupa dengan yang
berlaku di sekolah negara, namun dalam pendidikan agama Kristen kita percaya bahwa
Allah menyatakan diri melalui proses belajar-mengajar dan mempergunakan pelbagai
interaksi antara orang orang secara kreatif dan bersifat menyelamatkan.Ketiga,
persekutuan Kristen menaklukkan diri pada kedondan yeng k bih berkuasa ketimbang
segala kedaulatan lainnya. Walaupun garu dan pe lajar di kalangan gereja mengakui
kedaulatan negara dan berisha hidup sebagai warga negara yang setia dan bertanggung
jawab, namun kedaulat an itu selalu terbatas, karena kedaulatan itu tidak boleh
menggantikan ke daulatan Tuhan. Dengan kata lain, guru dan pelajar gerejawi mengenal
dir sebagai orang yang hidup di bawah penghakiman dan anugerah AllahSesudah
memaparkan perbedaan dan persamaan antara pendidikan umum dan pendidikan agama
Kristen, Sherrill merumuskan pendidikan agama Kristen dengan kata-kata berikut:
Pendidikan agama Kristen adalah spaya yang diprakarsai pada lazimnya oleh para
anggota persekutuan Kris- m tak mementin dan turut berperan serta dalam perubahan-
perubahan yang berlangsung dalam diri orang-orang dalam hubungannya dengan Allah
gereja orang lain, chania alam dan dengan dirinya sendiriSehubungan dengan rumus itu,
beberapa tinjauan perlu dicatat. Per- didikan agama Kristen adalah pelayanan yang
dilaksanakan secara khusus oleh persekutuan Kristen. Memang, di dalamnya ada orang
tertentu yang dipanggil untuk mengajar secara langsung, namun tidak ada satu kelom pok
saja yang mengajar dan kelompok lain yang belajar. Justru karena Allah bertindak aktif
dalam persekutuan itu, maka semuanya belajar dan meng- ar karena sama-sama
memerlukan perubahan dalam segala aspek hubung- annya untuk mengejawantahkan jati
diri sebagai orang yang diciptakan secara baru dalam Yesus Kristus. Menurut rumus ini,
pendidikan agama Kristen tidak disifatkan oleh sejumlah keterangan alkitabiah yang dipin-
dahkan dari guru kepada pelajar, malahan oleh perubahan mendalam yang diharapkan
terjadi dalam diri setiap peserta. Sesuai dengan intisari gereja sendiri, usaha untuk
menuntun dan berperan serta dalam perubahan dalam diri orang itu berlangsung sebagai
hubungan dinamis antara Allah dan manusia. Allah mengkonfrontasikan manusia dan
manusia menjumpai-Nya.

5. Tujuan
Walaupun Sherrill menghargai isi Alkitab sebagai sarana yang menco- lok yang
memperlancar komunikasi antara Allah dan manusia, namun ia tidak rela menjunjung
tinggi fungsi transmisif dalam pendidikan agama Kristen. Lagi pula, guru janganlah
menentukan serangkai jawaban tertentu yang perlu menjadi poros dari usahanya
mengajar. Pendekatan itu ditolak karena ia terlampau gampang melanggar integritas diri
pribadi pelajar. Se lain itu, perpindahan bahan dari guru ke pelajar cenderung menghalangi
diri guru kepada diri pelajar, suatu persyaratan mutlak bagi ko- munikasi yang benar.

Pada tahap yang jauh lebih mendalam lagi, komunikasi yang hen- daknya terjadi dalam
pendidikan agama Kristen perlu sesuai dengan haki- kat penyataan sebagai prakarsa dari
Allah yang menyingkapkan diri kepa da manusia. Alasannya dijelaskan dengan ungkapan
berikut: Tatkala kita menjumpai Allah yang menyingkapkan diri, kita tidak dikonfron tasikan
dengan pelepasan sejumlah keterangan ilahi baru yang perlu ditelan, juga tidak oleh
dogma baru tentang Allah yang mustahil bersalah, tidak pula oleh daf tar peraturan baru
yang wajib ditaati, ataupun daftar peraturan lama yang hendak nya diremajakan; kita tidak
dikonfrontasikan dengan satu sifat lahiriah pun dari agama dan gereja, malahan kita
dikonfrontasikan dengan seorang Oknum yang menawarkan diri kepada kita dalam kasih
dan penghakiman, yang berseru kepe da kita untuk menjawab dengan mempersembahkan
diri kepada-Nya sebagai persembahan hidup. Hal ini mencakup komunikasi pribadi.
Sebagaimana proses ini adalah hakikat dari penyataan, demikianlah pula ia perlu menjadi
hakikat pendidikan agama Kristen. Membangun di atas pengertian dinamis tentang
penyataan dan peran- annya dalam komunikasi tersebut, kita merumuskan tujuan
pendidikan aga- ma Kristen menurut Sherrill dengan kata-kata berikut: untuk memperkenal
kan para pelajar di kalangan persekutuan Kristen dengan warisannya, khu susnya Alkitab,
agar dengannya mereka dipersiapkan menjumpai Allah dan menjawab kepada-Nya,
memperlancar komunikasi pada tahap yang menda- lam antar-orang tentang keprihatinan-
keprihatinan insani dan mempertajam kemampuannya menerima fakta bahwa mereka
dicengkeram oleh kekuatan dan kasih Allah yang memperbaiki, menebus dan
menciptakannya kembali.

6. Lingkungan

Ada satu lingkungan luas utama bagi kelangsungan pendidikan agama Kristen,
yakni persekutuan Kristen entah wadahnya keluarga Kristen a jemaat. Oleh karena itu,
segala sesuatu yang sudah ditulis tentang gereja sebagai koinonia berlaku pula di sini.
7.Pengajar

Sesuai dengan tekanan Sherrill atas penyataan, Allah dianggap sebag penggar
utama, karena Dialah yang memprakarsai hubungan dengan m siz. Di samping itu, jemaat
sebagai koinonia memainkan peranan yang be gitu besar dalam pelayanan pendidikan
agama Kristen. Sebab, Sherrill berdalil, seperti yang sudah dicatat di atas, bahwa diri
orang selalu dirusak dalam hubungan-hubungan dan bila ia pernah disembuhkan lagi,
maka pengalaman berharga itu hanya akan terjadi sejauh hubungan-hubungan itu sehat.
Di antaranya, gereja hendaknya memainkan peranan yang men colok. Pengajar ketiga
adalah guru yang wajib menyelenggarakan peng- alaman belajar demi pelaksanaan
komunikasi yang paling mendalam.

8. Pelajar
Jadi diri dari pokok ini sudah tersirat dalam pembahasan di atas, yakni seluruh
jemaat adalah pelajar, karena integritas setiap orang selalu teran- cam oleh tantangan
yang nampak di dalamnya secara pribadi dan dalam masyarakat. Dengan kata lain, anak-
anak dari segala golongan umur, re- maja, pemuda dan orang dewasa dianggap sebagai
subyek dari pelayanan pendidikan agama Kristen.

9. Asas penuntun
Sumbangan paling orisinal dari Sherrill atas apa yang lazim disebut asas menuntun
tercakup dalam penggunaan korelasi antara jalan buntu atau masalah kritis (predicament)
dan tema alkitabiah. Tentu saja di sini Sherrill berhutang kepada gaya berteologi Tillich
yang berporos pada asas kore- lasi, yang berarti si teolog “... mengkorelasikan pertanyaan-
pertanyaan yang tersirat dalam keadaan insani dengan jawaban-jawaban yang tersirat
dalam amanat Kristen”.” Predikamen itu menunjukkan pelbagai kepriha tinan insani yang
cenderung mengganggu ketenteraman setiap orang epanjang abad. Dasarnya terletak
pada kecemasan yang dialami orang. Karena pada akhirnya segala bentuk keamanan
kelak terancam. Karena itu, ia tidak melihat jalan keluar.72 Tema-temalah yang dianggap
sebagai jawaban alkitabiah terhadap predikamen tersebut. Menurut Sherrill, ada delapan
tema am, yakni penciptaan, kedaulatan, panggilan hidup, pengha kiman, penebusan,
penciptaan ulang, pemeliharaan dan kehidupan beriman.

10. Kurikulum
Pada dasarnya, kurikulum hendaknya dibangun berdasarkan korelasi antara
kedelapan tema alkitabiah tersebut dengan delapan predikamen. Ma sing-masing tema
merupakan wahana yang dimanfaatkan Allah untuk menyatakan diri. Marilah kita catat
bagaimana masing-masing tema ter sebut menjawab setiap predikamen yang
bersangkutan. Dalam penciptaan, orang Kristen mengaku bahwa segala sesuatu yang
berada dalam seantero alam semesta berasal dari Allah dan terus berada karena Allah.
Tema itu memanggil manusia untuk keluar dari pre- dikamen yang mencakup
ketidakberartian dalam dunia ini, ataupun ke- cenderungannya mendewakan tempatnya
dalam dunia ini. Tema pencipta an itu berseru kepada manusia untuk menerima persepsi
yang benar tentang dunia, manusia dan hubungannya dengan Allah.Tema kedaulatan
(lordship) itu menunjuk pada predikamen kemerde- kaan manusia. Sebagai akibat
kemerdekaannya, ia senantiasa terdorong untuk memilih antara pelbagai klaim yang
bersaing satu sama lain. Yang manakah yang perlu menerima kesetiaan utama sebagai
seorang Kristen? Predikamen ini dilambangkan dengan tantangan Yosua, “Pilihlah pada
hari ini kepada siapa kamu akan beribadah” (Yos. 24:15a). Orang tertentu mungkin
memilih secara salah dengan akibat yang mempertinggi ke- cemasannya.

11. Metodologi
Beberapa kali sudah ditulis bahwa bagi Sherrill penyataan berarti Allah tidak
menyatakan keterangan ilahi kepada manusia, malahan Dia me nyatakan diri. Dia
memprakarsai komunikasi dengan manusia dalam a diri Allah mengkonfrontasikan diri
manusia dan bila prakarsa itu dilihat dari pihak manusia, maka manusialah yang
menjumpai Allah. Sejaj dengan hal itu, tatkala pengajar dan para pelajar terlibat dalam
pendidikan di kalangan jemaat, pengalaman kunci bukanlah perpindahan keterang dari
pihak guru kepada pihak pelajar, melainkan mutu komunikasi yang terjadi antara guru dan
pelajar dan antara kedua pihak itu dan Allah. As dasar itu, maka pertanyaan selanjutnya,
terutama yang berkaitan dengan metode, adalah:Apakah metode ini memperlancar
komunikasi dua arah antara orang-orang (selves) atau tidak? Kalau jawabannya, "Ya,
memang", maka metode ini boleh dianggap sebagai metode baik. Tetapi, kita belum tahu
apakah metode ini ber- sifat rohani atau sebaliknya bersifat demonis. Jadi, mesti ada tolok
ukur lain lagi. Sifat interaksi apakah yang nampak antara orang yang dihasilkan metode ini
atau ih? Bila metode ini memperlancar interaksi rohani, maka boleh dianggap schu gai
metode yang baik, yaitu tatkala metode ini dipandang dari tolok ukur agama Sebaliknya,
bila metode ini memperlancar interaksi yang demonis, maka ini bu kanlah metode yang
boleh berlaku, karena merusakan diri orang.

D. D.Campbell Wyckoff, Pembagun Struktur Teori PAK

1. Riwayat Hidup
Walaupun sejak tahun 1957 kehidupan penulis diperkaya oleh hubungan yang baik
dengan Prof. Dr. Wyckoff, namun penulis tidak pernah mende- ngar atau membaca tahun
kelahirannya! Tetapi berdasarkan interpretasi hidup yang Wyckoff sendiri susun, rupanya
beliau lahir sekitar tahun 1918 di kota New York, tempat beliau dibesarkan.79Nenek
moyangnya sudah ada di Amerika sejak tahun 1637. Ayah se orang pengacara,
sedangkan ibunya melayani sebagai seorang guru. Ke- dua-duanya warga Kristen yang
menghayati imannya secara serius dalam jemaatnya dan masyarakat. Tidak hanya itu. Di
samping melayani sebagai seorang pengacara, ayahnya juga tamat dari Sekolah Tinggi
Teologi Union, di kota New York, tetapi tidak ditakhbiskan menjadi pendeta karena pada
waktu itu Gereja Presbiterian menolak semua tamatan Union! Sungguhpun ayahnya
kecewa sekali atas keputusan tersebut, namun ia masih tetap seorang warga yang aktif
dalam Gereja Presbiterian.
Masa kanak-kanak Wyckoff luar biasa kayanya, karena ibu-ayahnya amat bijaksana
dalam rangka memenuhi panggilannya sebagai orangtua. Tatkala mereka terlibat dalam
pelayanan mengajar, Wyckoff tidak diting- galkan di rumah, di bawah pemeliharaan
pengasuh anak. Sering kali ia mengikuti mereka, meskipun ia masih seorang anak yang
mustahil me- nangkap isi pelajaran yang diajarkan ibunya. Tetapi mereka yakin bahwa ia
akan menyerap sebagian dari nilai-nilainya, dengan jalan mengikuti mereka. Di antara
sekian banyak pengalaman semacam itu, Wyckoff me- nyebutkan tiga hal yang
mengesankan baginya. Ia mengikuti orangtuanya ketika mereka mengajar para buruh yang
mogok. Sering kali rumahnya dibuka bagi warga gereja yang ingin mempelajari motivasi
zending dan keterlibatan gereja di dalamnya. Wyckoff muda itu hadir juga meskipun ia
tidak menangkap semua isinya. Namun ia menyerap nilai-nilai orangtua- nya tentang
pentingnya gereja dan segala pelayanannya, kemudian nilai- nilai itu diambil-alihnya
secara pribadi. Pada tahun 1929, ayahnya ditu- gaskan oleh Dewan Gereja-gereja
Amerika (Federal Council of Churches) untuk menyelidiki peristiwa di negara bagian
Washington, guna menentu- kan sejauh mana hak-hak asasi orang-orang yang terlibat di
dalamnya telah dilanggar. Bila diperhadapkan dengan tugas semacam itu, seorang ayah
biasanya akan pergi ke sana sendirian, meninggalkan keluarganya di rumah. Tetapi ayah
Wyckoff bukanlah ayah biasa. la segera menyadari akan begitu besarnya peluang untuk
memperluas ufuk pengalaman keluar- ga yang terbuka bagi mereka kalau mengikuti ia ke
sana. Mendengar ren- cana demikian, seorang bibi melawannya karena menganggap hal
itu sebagai kerugian bagi anak kalau tidak menghadiri sekolah selama enam bulan.
Ayahnya menjawab, "Saya tidak setuju bahwa persekolahan berhak

menghalangi pengalaman pendidikan."80 Pada masa SMP Wyckoff menghadiri


konperensi remaja yang ber- langsung pada musim panas. Dia dan rekan-rekannya
membicarakan salah satu pokok iman ketika pembimbingnya yang semula diam saja me-
ngatakan bahwa isi pembicaraan mereka menunjukkan bahwa mereka belum
berpengalaman dengan Tuhan secara pribadi. Sesudah itu dia mengantar mereka
mengalami-Nya. Sepanjang hidupnya ia membangun pemahamannya di atas dasar
pengalaman tersebut. Memang sifatnya di- perluas, diperdalam, bahkan diubah, namun
perasaan akan Allah sebagai Pribadi yang prihatin akan kesejahteraannya tidak kunjung
hilang, sung- guhpun ia mengikuti kuliah-kuliah yang dibawakan oleh para dosen
meremehkan Allah dan hal-hal agamawi. Hubungannya dengan jemaat semakin dihargai
di sepanjang hidupnya.Dia dipilih sebagai ketua dewan remaja daerah, suatu badan oiku-
menis. Bekerja sama dengan remaja dari gereja lain tidak asing baginya, karena sudah
lama ia menghadiri pertemuan serupa yang dipimpin oleh orangtuanya. Alhasil, ia ingin
bekerja secara oikumenis dan sekaligus pula dalam sinodenya. Lagi pula, ia merasa
dirinya mampu bekerja dalam struktur organisasi. Kemudian, selama di perguruan tinggi ia
mengajar di Sekolah Minggu, memimpin kelompok remaja dan mengambil bagian da- lam
Gerakan Mahasiswa Kristen (Student Christian Movement). Tatkala tiba waktunya untuk
memasuki perguruan tinggi, ia tidak Mencari tempat yang jauh dari keluarga; ia tetap
tinggal di kota New York dan masuk Universitas Columbia, dalam bagian New College-
nya, suatu pendekatan yang menyatupadukan pengalaman belajar di ruang kuliah dan
dalam masyarakat, entah masyarakat perkotaan, daerah pertanian, ataupun yang di
Eropa. Kedua peluang belajar terakhir ini adalah peng- alaman wajib. Tetapi, pengalaman
di Eropa itu mustahil terjadi, karena ancaman perang di sana. Oleh karena bepergian ke
Eropa tertutup bagi- nya, maka ia memperluas pengalaman dengan menghadiri kegiatan-
kegi- atan kampus kepunyaan New College yang letaknya di daerah pertanian di negara
bagian North Carolina, daerah tenggara Amerika. Para mahasis- wa yang kebanyakan
berasal dari kota New York ditugaskan belajar ba- gaimana orang memenuhi
kebutuhannya dalam keadaan sederhana. Tena- ga listriknya dibangkitkan oleh kincir air
yang dibuat oleh mahasiswa Mereka memelihara sekawanan sapi perah dan sapi potong
agar memper oleh susu dan daging. Sayur-mayur dan buah-buahan diperoleh dari kebun
yang dikerjakan oleh mahasiswa pula. Segala kuliah dibawakan dalam lingkungan ini dan
berhubungan dengan kebutuhan mereka di sana. Mula- mula mahasiswa tidak tahu
bagaimana memprakarsai hubungan dengan para penghuni sekitarnya. Tetapi, kemudian
mereka mengembangkan hu bungan yang membiarkan mereka mengambil bagian dalam
peristiwa yang berlangsung dalam masyarakat pertanian itu.

Kembali ke New York, ada perubahan dalam hal pengelolaan pergu ruan tinggi yang tidak
sesuai lagi dengan keyakinan Wyckoff. Alhasil is pindah ke Universitas New York, yang
terletak di arah selatan pulau Man- hattan Dari sana ia menerima gelar sarjana, magister
dan Ph.D. Di sana jugalah ia memulai kariernya sebagai dosen di bidang pendidikan
2.Dasar Pembangunan Teori Pendidikan Agama Kristen

a.Kebudayaan

Teori kebudayaan yang Wyckoff sokong dirumuskan dengan empat kalimat singkat:

Perkembangan kebudayaan mencakup cara masyarakat memperoleh keuntungan dalam


kehidupannya. Di dalamnya terwujud pula cara masyarakat memahami gaya hidupnya. Itu
merupakan cara masyarakat menentukan tatanan hidup ber- sama. Akhimya, kebudayaan
terdiri atas nilai-nilai yang diterima masyarakat dan sarana yang dipakainya untuk
mengejawantahkan nilai-nilai tersebut.

Singkatnya, kebudayaan mencakup adat-istiadat, cerita-cerita yang dituturkan turun-


temurun, kebaktian dan pokok ajaran agamawi. Kebenar- an dari keempat jawaban
tersebut tampak dalam segala kebudayaan, termasuk kebudayaan Israel kuno yang
mendasari sebagian dari warisan umat Kristen. Adat-istiadat yang turut menentukan jati diri
masyarakat Israel kuno ialah Hukum Torat. Jati diri itu diperkuat lagi dengan jalan
mengingat cerita-cerita tentang bapa-bapa dan ibu-ibu luluhur seperti Abraham, Sara,
Ishak, Ribka, Yakub, Yusuf, Musa, Yosua, Samuel, Daud, Salomo, Amos, Yesaya,
Yeremia dan Yehezkiel. Melalui upacara kebaktian, masyarakat Yahudi itu mengenal
dirinya dipanggil Tuhan, memperbedakan diri dari semua bangsa lainnya dan mengakui
sumber ke- kuasaan, yakni Allah melalui kaum imam dan nabi. Nilai-nilainya berpo- ros
pada pokok ajaran seperti penciptaan, dosa sebagai pemisahan dari Tuhan, perjanjian,
penebusan, penyucian dan harapan mesianis.
Bila para pemimpin gereja ingin mengembangkan teori pendidikan agama Kristen yang
bersabda kepada warga yang hidup dalam kebudaya- annya, maka sebaiknya mereka
mencari jawaban untuk pertanyaan ber- ikut: a) Dasar-dasar dan nilai-nilai apakah yang
disetujui oleh anggota- anggota kebudayaan itu? B) Bagaimanakah gaya hidupnya
digambarkan? C) Kekuasaan apakah yang mereka siap terima? D) Apa sumber harapan
mereka pada masa depan? Jawaban-jawaban yang diberikan terhadap keempat
pertanyaan dasariah itu tentu saja beraneka-ragam. Tetapi bagai- manapun juga isinya,
para pekerja di pendidikan agama Kristen wajib ber- usaha menjawabnya sebelum
menyusun teori dan prakteknya.

b. Pendidikan, Pengemban Kebudayaan

Tentu saja segala nilai budaya akan hilang kecuali ada sarana dan wahana untuk
mengkomunikasikannya kepada orang dari setiap angkatan baru. Dalam masyarakat yang
semakin majemuk, tugas itu diserahkan ke pelbagai lembaga pedagogis yang didirikan
khusus untuk maksud itu.

Kebudayaan masyarakat modern telah mengembangkan tiga jenis pendidikan: pendidikan


teknologis yang memperlengkapi warga dengan pe- ngetahuan dan keterampilan yang
diperlukan oleh masyarakat; pendidikan liberal yang berporos pada penyampaian nilai-nilai
kebudayaan melalui sas- tra, kesenian, bahasa, sejarah, filsafat, agar warga menjadi lebih
bijaksana dalam kehidupannya; dan pendidikan moral dan agamawi, agar warganya
mencapai kehidupan yang baik. Yang terakhir ini diperlukan karena orang- orang dapat
diperlengkapi untuk melaksanakan pelbagai tugas dan pelayan- an dan mereka dapat
dibimbing menghargai kebudayaan, bahkan turut memperkayanya pula, namun mereka
belum siap mengabdikan diri pada gaya hidup yang tertinggi. Tugas inilah yang diserahkan
kebudayaan kepada lembaga agamawi.

3. untuk Membangun Teori Pendidikan Agama Kristen

Wyckoff tiba pada keyakinan akan perlunya bagi para pendidik di ka- langan gereja untuk
berefleksi atas teori pendidikan, karena sudah terlalu lama para pekerjanya menyibukkan
diri dengan pelaksanaan pendidikan secara operasional tanpa bertanya tentang alasan
mereka berbuat ini atau itu. Oleh karena itu, ia berseru kepada para pendidik untuk
“mempertim- bangkan keseluruhannya kembali dalam terang iman gereja dan pekerjaan
orang, kebutuhan dunia dan orang-orang yang dilayaninya.

A Apa Itu Teori?

“Suatu teori terdiri dari hipotesis-hipotesis yang telah diujicobakan, ataupun asas-asas
yang berarti pedoman-pedoman yang dapat diandalkan dalam praktek. Jadi, teori
Pendidikan Agama Kristen terdiri dari hipo- tesis-hipotesis yang diujicobakan dan asas
yang diterima sebagai pedo- man-pedoman yang dapat diandalkan dalam pelayanan di
kalangan je- maat. Seorang pendidik yang ingin mengembangkan teori Pendidikan Agama
Kristen yang berlaku wajib menelaah tujuh ilmu utama untuk memperoleh pengetahuan
dasariah bagi pelaksanaan tugasnya, yakni ilmu teologi, kehidupan dan pekerjaan gereja,
filsafat, sejarah, ilmu jiwa, ilmu ma- syarakat dan ilmu komunikasi. Apa yang Wyckoff
maksud dengan dalil itu akan dibahas dalam bagian yang menyusul.
b.

Dasar-dasar bagi Perkembangan Teori Pendidikan Agama Kristen

Sumbangan masing-masing ilmu digariskan dalam alinea berikut: Ilmu teologi menentukan
tolok ukur dasariah bagi pengertian Kristen tentang po- kok ajaran Allah, manusia,
penebusan, sejarah, masyarakat, tanggung jawab pri- badi dan alasan orang hidup.
Kehidupan dan pekerjaan gereja mendasari pan- dangan yang melihat pendidikan sebagai
fungsi persekutuan iman yang serba ra- gam. Ilmu filsafat menolong dalam hal-hal yang
berkaitan dengan pertanyaan tentang realitas, pengetahuan dan nilai-nilai...; filsafat
pendidikan memberi pan- dangan pedagogis atas isyu-isyu tersebut. Sejarah memberi
pengertian tentang kecenderungan-kecenderungan yang mungkin mempengaruhi keadaan
kekinian dan masa depan, sejarah pendidikan memusatkan perhatian pada
kecenderungan- kecenderungan dan pengaruh pedagogis. Ilmu jiwa menyelidiki keadaan
dan arti nalar, tubuh dan kelakuan manusia; ilmu jiwa pedagogis menerapkan hasilnya
pada pertanyaan pedagogis khususnya, sehingga memampukan kita menemukan asas
dasariah tentang belajar, dorongan dan sebagainya. Ilmu masyarakat membahas sifat
kelompok-kelompok sosial dan gerakan serta gaya tindakannya: ilmu masyarakat
pedagogis mencoba memahami kesimpulan itu dalam terang masalah-masalah yang
timbul dalam persekolahan, seluru pranata pedagogis dan masyarakat. Ilmu komunikasi
sebagai disiplin baru yang berasal dari ilmu jiwa dan ilmu kemasyarakatan menjelajahi
cara seseorang, kelompok dan kebudaya an, menyampaikan gagasan-gagasan dan sikap-
sikap kepada yang lain, sehingga diambil alih oleh individu, kelompok dan kebudayaan
lain.94

Akan tetapi, ketujuh ilmu dasariah tersebut tidak menyoroti teori pendidikan agama Kristen
secara langsung. Para pemikir di bidang Pen- didikan Agama Kristen perlu mengajukan
pertanyaan pedagogis terhadap
i. Asas-asas Penuntun

Istilah “asas penuntun” sudah disebutkan beberapa kali dalam buku ini, tetapi Wyckoff
adalah pemikir pertama yang memakainya dalam pem- bahasannya. Ia merumuskannya
sebagai satu “gagasan agung” yang me nyoroti seluruh proses menyusun tujuan umum,
memilih isi kurikulum beserta metodologinya dan gaya mengelola pelayanan pendidikan
agama Kristen. Intinya perlu diperoleh dari ilmu pendidikan dalam terang teologi, atau de-
ngan ucapan yang lebih saksama lagi, ia akan mencakup pendidikan orang- orang dalam
terang Allah. Dengan kata lain, asas itu menjadi pedoman yang dapat diandalkan oleh
orang yang terlibat dalam tugas menentukan isi teori serta mengkomunikasikannya kepada
para pendidik dan pengelola yang melayani pendidikan agama Kristen setempat. Bila para
pendidik me- musatkan pikiran dan pelayanan justru pada unsur ini, yakni isi asas penun-
tun yang dipilih, maka mereka akan melaksanakan tugasnya dengan baik.

Dalam pembahasan pokok asas penuntun ini Wyckoff menyebutkan lima pokok yang telah
dianjurkan oleh para pemikir sebagai asas penuntun, tetapi di kemudian hari ia tolak.
Pertama, orang pernah menganjurkan Alkitab sendiri sebagai asas penuntun. Dengan
demikian, isi Alkitab dititik- beratkan. Mereka mengajarkan sejarah, dogma, pokok teologi,
namun mengabaikan kebutuharr dan minat orang yang hendak mengetahui isi Alkitab itu.
Gaya pendekatannya cenderung bersifat harfiah dan dogmatis. Lebih buruk lagi, dengan
mengutamakan firman tertulis itu, ia melalaikan

Firman Hidup yang datang untuk menjadikan orang sehat dan utuh. Yang lain
menganjurkan memecahkan masalah hidup” sebagai asas penuntun. Tentu saja
maksudnya baik. Pendidikan yang relevan hendak- nya turut menolong pelajar
memecahkan masalah penting. Itu berguna
ii. Tujuan Pendidikan Agama Kristen

Tujuan memenuhi dua fungsi utama, yakni menunjuk arah dari usaha para pendidik dan
menjadi tolok-ukur bagi penilaian hasil usahanya.

Dalam pelayanan pendidikan agama Kristen ada pelbagai macam tu- juan. Ada tujuan
yang dinamakan dorongan-dorongan, yakni mengapa je- maat menyediakan dana dan
tenaga demi pelayanan mendidik? Apa yang mendorong seseorang rela mengorbankan
waktu dan tenaga demi tugas mengajar di kalangan gereja? Mengapa anak didik hadir di
ruang kelas?

Setelah seseorang menerima undangan untuk mengajar, ia perlu me- nyusun tujuan-tujuan
kurikuler dan mengajar, berkaitan dengan prestasi ter- tentu, misalnya menelusuri
perjalanan Rasul Paulus, menyusun doa peng- akuan dosa dan mempertahankan tindakan
etis tertentu dalam terang Injil.

iii. Asas-asas Kurikulum

Menurut Wyckoff, kurikulum terdiri dari tata cara (prosedur) yang dipakai untuk mencapai
tujuan pendidikan agama Kristen; ia disusun agar dimanfaatkan oleh pelbagai kelompok
belajar di kalangan jemaat, misalnya Sekolah Minggu, kelompok remaja, pemuda, warga
jemaat 100

“Kurikulum” itu dijabarkan lagi dalam bahan tercetak dan kurikulum hidup. Bagi
kebanyakan orang, bila mendengar istilah “kurikulum”, reka memahaminya sebagai bahan
tercetak saja; sedangkan "kurikulum hidup", bunyi dan maknanya agak asing dalam
pemikiran dan pengalaman mereka. Pada dasarnya, kurikulum mencakup pengalaman
pribadi setiap pelajar. Janganlah guru menduga bahwa bahan yang ia maksudkan untuk
diajarkan itu akan diterima oleh pelajar dalam cara yang persis sama de- ngan yang
direncanakan semula. Setiap murid mengubahnya secara tidak sadar sesuai dengan
pengalamannya sendiri. Segala sesuatu yang pernah terjadi dalam kehidupannya akan
mempengaruhi apa yang ia terima dari pengalaman belajar itu. Lagi pula, saran, refleksi
dan jawaban-jawaban- nya mencakup kurikulum hidup, karena sebagian daripadanya
mungkin justru menjadi unsur kunci yang menghidupkan bahan yang sedang di- pelajari.
Misalnya, tatkala murid menjawab pertanyaan tentang kematian adiknya, maka serta-
merta jawaban itu dapat menjadi bagian dari kuri- kulum tentang arti kehidupan dan
kematian dalam iman Kristen.
Sesudah Wyckoff merumuskan arti kurikulum, ia mendaftarkan se- puluh pertanyaan
tentang kurikulum yang perlu diajukan terhadap ilmu- ilmu dasariah yang disebutkan tadi.
a) Apakah sumbangan-sumbangan khas yang diberi oleh kurikulum terhadap
pelaksanaan tugas pendidikan agama Kristen?

Pertanyaan itu mencakup pelbagai tujuan, para pelajar, kelompok be- lajar dan sumber-
sumber yang tersedia, supaya para pendidik dapat me- rencanakan pengalaman yang
sesuai dengan Injil, kebutuhan, kemampuan dan minat pelajar.
b) Apakah asas-asas seperti keluasan (comprehensiveness), keseim- bangan, urutan
dan fleksibilitas masih berlaku untuk membangun kuri- kulum?

Asas keluasan itu menjamin supaya semua unsur yang penting bagi pertumbuhan seorang
murid Kristus termasuk dalam kurikulum. Jadi, para penyusun kurikulum perlu bertanya
kepada diri sendiri tentang pengalam- an-pengalaman belajar apakah yang perlu tercakup
di dalamnya? Salah satu kurikulum yang menjamin asas keluasan itu, yakni melalui
penggu- haan ruang lingkup (scope) yang terdiri dari lima tema, yakni “Iman Kris- ten”,
“Kesaksian Kristen”, “Misi Kristen”, “Kewarganegaraan Kristen” dan “Hubungan Kristen”,
101 Asas keseimbangan menjamin supaya setiaptema dari ruang lingkup itu menerima
tekanan yang sesuai dengan kepen- tingannya. Kalau tema "Iman Kristen" itu dipelajari
selama sepuluh bulan, padahal untuk keempat tema lain dijadwalkan hanya dua bulan
saja, maka hal ini tidak seimbang walaupun keluasannya dapat dipertahankan. Asas
urutan itu mencakup keputusan pihak penyusun kurikulum atau guru ten tang tema apa
yang akan diajarkan lebih dulu dan yang selanjutnya. Da- lam contoh di atas para
penyusun mengambil keputusan untuk memulai pengalaman belajar bagi anak remaja
SMA dengan pokok "Iman Kris ten". Rupanya, hal ini dilakukan karena pokok inilah yang
mendasari se gala tema lainnya. Asas fleksibilitas menjamin supaya isi kurikulum dapat
diterapkan sesuai dengan kebutuhan kaum remaja dalam pelbagai keada-

an, umpamanya dalam jemaat di pedesaan, di kota kecil dan kota besar.
c) Unsur-unsur apakah yang perlu tercakup dalam kurikulum?

Sesudah menentukan tiga, empat, lima atau enam tema yang menca- kup ruang lingkup
dari kurikulum tersebut, para pendidik perlu menentu- kan bagaimana masing-masing tema
itu akan dibagi. Kembali ke tema “Iman Kristen” lagi, para penyusun memilih tiga unsur:
“Allah sudah ber- sabda kepada orang lain” (tema ini melibatkan pelajar dalam menelaah
Alkitab secara umum), “Allah bersabda kepada kita” (titik tekanannya ialah amanat Alkitab
yang Allah sampaikan kepada setiap remaja) dan “Menghayati iman Kristen dalam
kehidupan sehari-hari”.
d) Asas mengadakan (organizing principle) apakah bagi kurikulum yang dipakai untuk
menjamin kesatuan dalam kurikulum?

Kalau pelbagai unsur dalam kurikulum dipelajari satu per satu tanpa memilih asas yang
mempersatukannya satu sama lain, maka hasilnya ka- cau-balau. Tetapi, kalau para
pendidik memilih satu asas yang mampu menghasilkan kesatuan di antara unsur-unsur itu,
maka segala pengalaman belajar akan dipersatukan dan tidak dipisahkan. Untuk asas itu.
Wyckoff menganjurkan “kebutuhan dan pengalaman pelajar yang senantiasa ber- ubah”.
Tetapi ia segera menambahkan bahwa kebutuhan dan pengalaman itu harus dilihat dalam
hubungannya dengan sesuatu yang perlu dialami.

Kalau asas mengadakan itu adalah kebutuhan dan pengalaman pelajar yang se nantiasa
berubah, maka kurikulum hendaklah mencakup usaha yang semakin teliti terhadap tugas
mendengar Injil, agar menjawabnya dalam iman dan kasih, menjelajahi seluruhan medan
hubungan dalam terang Injil, menemukan arti dan nilai-nilai dalam terang Injil, dalam arti
mengambil-alih nilai-nilai tersebut bagi- nya secara pribadi, serta menerima tanggung
jawab pribadi dan sosial yang di- perlukan dalam terang Injil itu, 102
c) Bagaimanakah tujuan-tujuan akan dipakai dalam kurikulum?

Sudah dikatakan bahwa pada dasarnya tujuan-tujuan dimanfaatkan untuk memberi arah
terhadap tugas menyusun kurikulum dan sebagai tolok ukur untuk menilai hasil dari
pengalaman belajar.
e) Bagaimanakah kurikulum dirancang (designed)?

Menurut Wyckoff, merancang kurikulum mencakup tugas memilih isi, berupa pengalaman-
pengalaman pelajar dalam hubungannya dengan pel- bagai unsur pendidikan agama
Kristen. Isi itu dibuat dengan menata putaran waktu bagi tema besar yang diulangi setiap
masa tertentu, misalnya sekali setahun, sekali setiap tiga tahun dan menentukan satuan-
satuan serta mata pelajaran. Di bawah pokok merancang itu ada pula saran-saran
mengenai proses belajar, yakni tujuan yang ditentukan oleh guru dan para pelajar se- cara
bersama, memilih tugas-tugas belajar tertentu (mewawancarai, meng- gariskan, membaca,
memamerkan dan sebagainya), melaksanakan rencana itu, mempertimbangkan hasil-
hasilnya dan menentukan tujuan baru.

f) Bagaimanakah kurikulum hendaknya dibangun?

Jawaban dari pertanyaan ini melibatkan para penyusun kurikulum dalam tugas
menentukan bahan-bahan yang akan dipersiapkan bagi peng- gunaan para pendidik
setempat. Komisi PAK dari pelbagai sinode atau badan oikumenis menyediakan bahan
tambahan, misalnya buku pedoman bagi guru yang menyarankan rencana mengajar bagi
setiap mata pelajar- an, pengalaman belajar, sumber tambahan, antara lain buku bagi
setiap pelajar yang diterbitkan secara berkala (misalnya per kwartal), buku baca- an yang
tidak bertanggal, buku nyanyian rohani, buku drama, alat peraga dan lain sebagainya.
g) Siapakah yang bertanggung jawab untuk membangun kurikulum? Siapa saja yang
terlibat dalam tantangan menyusun teori pendidikan agama Kristen wajib mencari
jawaban atas pertanyaan di atas. Bagi ba- nyak orang, jawaban boleh diucapkan
secara mudah, yakni kantor pendidikan
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari pemaparan, saya sebagai penyaji menyimpulkan bahwa tahap perkembangan ilmu
pendidikan agama berporos pada teologi “liberal” dan dinamakan “gerakan pendidikan
agama”. Prestasinya gemilang, tetapi didalamnya terdapat kelemahan yang mencolok
pula. Kelemahan dalam orientasi teologilah yang justru semakin tampak kemudian.
Pemikiran pertama yang menentang arah gerakan itu berjalan ialah H. Shelton
Smith, kemudian disusul oleh Rudolph Crump Miller, L. J. Sherrill dan setelah itu D.
Campbell Wyckoof. Sehingga dari beberapa pemikiran/ pendapat tokoh-tokoh itu kita dapat
melihat bahwa kelemahan yang mencolok itu dapat diperbaiki. Dengan demikian, PAK
akan mencapai kematangan yang berorientasi pada teologi gereja.

Saran
Perlunya inisiatif dari pembaca untuk kemudian menambah referensi yang tidak terdapat
pada makalah ini seperti jurnal atau artikel dari penelitian yang terbarukan, agar
pengetahuan dan wawasan yang diperoleh dari makalah ini menjadi lebih beragam dan
menjadi kekayaan intelektual bagi para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Boehlke.Robert R,Sejarah Perkembangan Pikiran & Praktek PAK dari Yohanes


Amos      Comenius Sampai Perkembangan PAK di Indonesia,Jakarta :BPK-GM,1997
H.Shelton Smith ,faith and Nuture, New York:Charles Scribner Sons, 1946s
Randloph Crump Miller, The Clue to Christian Education, New York :Charles Srbiner’s
Sons,1950
Iris V.Cully ,Dinamika Pendidikan Agama Kristen, Jakarta; Bpk Gunung Mulia,1976.

Anda mungkin juga menyukai