Anda di halaman 1dari 14

Analisis Relasi Iman dan Kebudayaan

Pembinaan Guru-guru Jenjang SLTA PENABUR Jakarta


Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti

Binsar Jonathan Pakpahan


b.pakpahan@stftjakarta.ac.id - @binsarjpakpahan

Abstrak
Artikel ini memaparkan pemahaman mengenai teologi kontekstual dari dua
perspektif H. Richard Niebuhr yang menulis Christ and Culture (1951) serta
Stephen B. Bevans Models of Contextual Theology (1992). Kedua buku yang cukup
lawas ini ternyata masih menarik untuk digunakan dalam pembahasan teologi
kontekstual, apalagi jika dibaca dengan pendekatan kesadaran akan kekayaan
budaya lokal. Pendekatan lima tipologi posisi Kristus dan budaya oleh Niebuhr
ternyata masih menaruh penekanan kepada Injil yang menjadi pilihan superior
dibandingkan nilai lokal. Sementara model teologi kontekstual yang ditawarkan
Bevans, yang kaya akan analisis akan pengalamannya sebagai misionaris di
Filipina, tidak mau mengatakan satu model yang paling benar. Kritik terhadap
kedua orang ini datang dari aliran yang menolak keberagaman kebenaran dan
ingin kepastian mengenai kebenaran Injil. Setelah menyajikan pemaparan kedua
teori, kita menemukan bahwa kearifan lokal memiliki kekuatan sendiri yang bisa
diberi refleksi teologis, yang justru akan memberi kekayaan kepada teologi
kontekstual di Indonesia.

Kata-kata Kunci
H. Richard Niebuhr, Stephen B. Bevans, teologi kontekstual, kearifan lokal,
Toraja

Pendahuluan
Sebelum bisa masuk ke dalam pembahasan mengenai nilai budaya, kita
juga harus bicara mengenai bagaimana kita membacanya dalam perspektif teologi
kontekstual. Sejak tahun 1970-an, gereja-gereja telah menyadari pentingnya
pencarian teologi yang sesuai dengan konteks, yang kemudian berkembang
menjadi teologi yang berangkat dari konteks. Leslie Newbigin misalnya
menekankan prioritas Injil sebagai berita, yang diwujudnyatakan di dalam cerita
yang aktual, tentang apa yang dalam kenyataannya sudah, sedang, dan akan

1
dilakukan oleh Allah.1 Supaya dapat menceritakan kabar baik dari Allah dalam
konteks lokal, gaya penyampaian cerita tersebut harus menjadi benar-benar lokal
dan sekaligus ekumenis.
Ketika kita bicara mengenai teologi kontekstual di Indonesia, kita segera
akan dipertemukan dengan kondisi gereja di Indonesia yang beragam. Indonesia
memiliki sejarah pembagian kekristenan yang dilakukan oleh berbagai lembaga
misi, misalnya daerah timur menjadi milik Katolik, Protestan mengambil bagian
tengah (GPI, dsb), dan beberapa badan misi lain mengambil porsi di bagian Barat
Indonesia. Berbagai lembaga misi yang datang kemudian mewariskan tradisi
masing-masing, yang sampai sekarang masih dipertahankan oleh gereja-gereja.
Gereja yang menjadi pewaris tradisi Barat harus mengingat bahwa ketika
kekristenan datang, banyak budaya lokal yang dianggap sebagai budaya kafir atau
sinkretis. Beberapa kebudayaan bahkan hilang tanpa jejak karena dihapus oleh
gereja. Belakangan ini, semangat untuk menemukan kembali nilai kekristenan
yang Indonesia muncul kembali dengan meneliti perkembangan teologi
kontekstual di Indonesia.2 Saya akan kembali ke isu ini di bagian berikutnya.
Abad XXI diwarnai dengan pertumbuhan kekristenan di dunia Selatan
(Asia, Afrika, dan Amerika Selatan) terus meningkat dibanding dunia Utara
(Amerika Serikat dan Eropa). China bahkan diprediksi akan memiliki populasi
Kristen terbesar di dunia pada tahun 2030 menurut OMF Internasional, pada
angka 200 juta (pada 1980 ada 3 juta orang Kristen di China, dan pada 2010
bertambah menjadi 58 juta). Kekristenan di dunia selatan juga mendapat tempat
di pentas ekumenis dunia. Ke depan, isu-isu teologis global akan menjadi diskusi
utama di belahan dunia selatan, karena itu kita perlu secara strategis memikirkan
bagaimana dunia selatan mempersiapkan diri sebagai pusat teologi yang baru.
Kesadaran untuk mencari teologi khas lokal, semakin menjadi kebutuhan bagi
para teolog lokal. Teolog di Indonesia, yang notabene banyak lulusan luar negeri,
menyadari betapa berharganya nilai lokal untuk mengembangkan pemahaman
kristiani yang tidak melulu dipengaruhi oleh tradisi Barat.
Selain isu yang berhubungan dengan konteks lokal, gereja-gereja juga
berhadapan dengan isu global yang semakin bertambah, terutama di era pandemi
Covid-19. Kita berhadapan dengan isu memahami diri sebagai gereja yang esa
dalam dokumen World Council of Churches, The Church: Towards a Common
Vision (2016), Dokumen Keesaan Gereja pasca Sidang Raya PGI XVI 2019 di
Sumba. Beberapa fokus isu gereja-gereja adalah gereja ramah anak, lingkungan

1
Lesslie Newbigin, Injil dalam Masyarakat Majemuk (Jakarta: BPK-GM, 1999), 184.
2
Beberapa penulis yang menerbitkan karyanya 15 tahun terakhir, yang bisa saya sebut banyak
berasal dari Timor, seperti Alex Jebadu, Bukan Berhala! Penghormatan kepada Para Leluhur (Maumere:
Ledalero, 2009) yang membahas diskusi teologis mengenai penghormatan terhadap leluhur yang kerap
dipraktikkan di Indonesia; Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah dalam Budaya (Maumere: Ledalero, 2007)
yang menjadi penelusuran mengenai bagaimana Allah sudah berkarya dalam budaya Timor bahkan
sebelum kekristenan tiba di sana; Febby Nancy Patty, Teologi Patita: Menggali Nilai Simbolik Makan
Patita Adat di Oma dan Mendialogkannya dengan Jamuan Makan Bersama dalam Injil Lukas 22 (Jakarta
dan Ambon: BPK Gunung Mulia bekerja sama dengan UKIM, 2018). Saya perlu mencatat juga bahwa
penerbitan seri tafsir Alkitab BPK Gunung Mulia juga sedang berjalan bersama para teolog Indonesia.

2
hidup, kesetaraan, teknologi, perbudakan manusia, di antara masalah lainnya yang
kita hadapi terutama dalam era globalisasi dan industrialisasi.
Lalu, bagaimana kita menghadapi isu tersebut dengan wawasan global dari
perspektif lokal? Bagaimana gereja bisa menghadapi berbagai tantangan dalam
merumuskan teologi kontekstualnya, dan hidup berdampingan dan saling
menghargai dengan agama lokal seperti Parmalim dan Sunda Karawitan. Gereja
juga harus berpikir kritis mengenai budaya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
yang dibawa kekristenan seperti respons terhadap budaya kawin tangkap di
Sumba yang baru-baru ini kembali diangkat ke publik.3
Semua gereja memiliki berbagai tafsir dan model beribadah sendiri.
Apakah mungkin kita memiliki sebuah definisi mengenai apa teologi kekristenan
yang paling benar, atau apakah kita sudah menyadari bahwa dalam keberagaman
kita tidak bisa lagi mengklaim diri menjadi yang paling benar sehingga kita
mencari nilai yang menjadi titik pertemuan orang Kristen di Indonesia? Makalah
ini akan menjadi pengantar diskusi teologi kontekstual dari dua pemikir H.
Richard Niebuhr dan Stephen B. Bevans, untuk membawa kita ke diskusi
mengenai relasi Kristus dan budaya.4

Teologi Kontekstual di Indonesia


Pencarian nilai mana yang menjadi nilai murni teologi, atau pesan yang
dibawa oleh Kristus, dan bukan tradisi budaya, menjadi tantangan yang sangat
berat untuk dilakukan jika bukan mustahil. Budaya dan teologi selalu berjalan
bersama, budaya mempengaruhi teologi, teologi menjadi budaya. Salah satu
contoh, apakah budaya roti dan anggur yang digunakan dalam Perjamuan Kudus
adalah budaya Timur Tengah, atau bisakah orang Indonesia menggunakan
medium yang lebih kontekstual seperti teh dan singkong? Atau, bisakah orang
Batak menggunakan alat musik tradisional dalam gereja, atau bahkan
menggunakan alat musik modern seperti alat Band, atau apakah alat musik
gerejawi hanya organ dan piano? Bagaimana cara menentukan mana yang budaya
dan mana yang ajaran Kristus sesungguhnya? Apa itu ajaran Kristen
sesungguhnya yang bisa diterjemahkan dalam budaya lokal, atau apakah kita
harus mengutamakan ajaran Kristen Timur Tengah? Dan ketika budaya serta Injil
bertemu, siapa yang memegang kata akhir? Bagaimana melihat hubungan
keduanya?

3
Kompas Online, “Kawin Tangkap di Sumba, Diculik untuk Dinikahi, Citra Menangis sampai
Tenggorokan Kering” diakses pada 9 Juli 2020,
https://regional.kompas.com/read/2020/07/09/06070001/kawin-tangkap-di-sumba-diculik-untuk-
dinikahi-citra-menangis-sampai?page=all.
4
Saya menggunakan istilah Kristus dan budaya sebagai kesetiaan terhadap istilah yang Richard
Niebuhr gunakan. Namun demikian, istilah Kristus dan budaya bisa juga diterjemahkan dengan Injil dan
kebudayaan, atau kekristenan dan kebudayaan. Istilah Kristus dan kebudayaan juga memiliki
tantangannya sendiri karena seolah-olah Kristus yang diperkenalkan oleh aliran kekristenan yang
membawanya adalah Kristus yang otentik. Hal ini akan saya jabarkan di bagian pembahasan berikutnya.

3
Sebelum masuk dalam pembahasan lebih lanjut, kita harus memberi
definisi apa itu kebudayaan. Pemahaman mengenai kebudayaan yang saya
gunakan agak serupa dengan pemahaman Van Peursen yang berpendapat bahwa
kebudayaan merupakan endapan dari kegiatan dan karya manusia serta meliputi
segala perbuatan manusia/sekelompok manusia yang termanifestasikan dalam
nilai-nilai yang berbudi luhur dan bersifat rohani.5 Budaya tidak bersifat absolut
melainkan dinamis karena dia akan selalu berubah. Faktor-faktor kebudayaan
adalah kesenian, adat, pengetahuan, moral, dan kebiasaan manusia sebagai
anggota masyarakat.6
Karena sifatnya yang dinamis dan tergantung kepada pemahaman manusia
yang membentuknya dan ada di dalamnya, budaya menjadi seperti inferior
dibandingkan Firman Tuhan yang menjadi dasar dari teologi. Firman Tuhan, atau
Injil, kita yakini sebagai Firman Allah yang datang kepada manusia melalui
pewahyuan. Sampai abad XIX, para penginjil percaya bahwa Injil yang mereka
sebarkan ke seluruh dunia adalah bebas dari nilai budaya, bahwa versi Injil yang
mereka perkenalkan bebas dari tafsir dan menjadi kebenaran absolut.
Dengan perkembangan pemahaman, cara menganalisis dan membaca
Alkitab memungkinkan kita untuk mencari pesan di dalamnya, memilah pesan dan
budaya yang meliputinya, dan menerapkannya kepada konteks kita sendiri. Riset-
riset yang berkembang dalam dunia teologi memampukan gereja-gereja di dunia
Selatan seperti Indonesia, untuk memiliki pandangan yang berbeda mengenai
Firman Tuhan dengan cara yang dulu dibawa oleh para misionaris. Teologi kita
pahami sebagai percakapan manusia mengenai Allah dan cara manusia merespons
karya Allah dalam sebuah percakapan.

5
Cornelis Antonie Van Peursen, Strategi Kebudayaan terj. Dick Hartoko (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1976), 1, 10-11. Pendapat serupa diungkapkan oleh Kevin J. Vanhoozer, “Dunia Dipentaskan
dengan Baik? Teologi, Kebudayaan, dan Hermenutika,” dalam D.A. Carson & John D. Woodbridge (peny.),
God and the Culture: Allah dan Kebudayaan, terjemahan Helda Siahaan dan Irwan Tjulianto (Surabaya:
Momentum, 2011), 8, yang menyatakan bahwa “kebudayaan adalah sistem yang diekspresikan dalam
bentuk-bentuk obyektif, hal-hal yang diterima oleh suatu masyarakat sebagai nilai-nilai yang
mengarahkan dan menopang kebebasan manusia.” Banyak sekali buku atau artikel yang bicara tentang
kebudayaan, bahkan bicara mengenai kebudayaan sebagai industri pengalihan perhatian massa oleh
Theodor W. Adorno dan Max Horkneimer, Dialectic of Enlightenment: Philosophical Fragments, ed.
Gunzelin Schmid Noerr, terjemahan E. F. N. Jephcott (Stanford, California: Stanford University Press,
2002), 94-136.
6
Pandangan Edward Taylor dan C. S. Song dikutip oleh John Campbell-Nelson, Bendalina Souk, dan
Stephen Suleeman (ed.), Mengupayakan Misi Gereja yang Kontekstual: Studi Institut Misiologi Persetia
1992 (Jakarta: Perhimpunan Sekolah-sekolah Theologia di Indonesia, 1995), 240.

4
Teologi kontekstual7 adalah istilah yang merujuk kepada tanggapan orang
Kristen kepada Injil dengan cara yang konkret.8 Karenanya, kontekstualisasi
adalah bersifat dinamis dan bukan statis. Dengan demikian, kita bisa
membayangkan bahwa berteologi secara kontekstual menjadi tantangan yang
akan terus menerus ditemui dalam berteologi.
Ada bermacam-macam konteks teologi kontekstual. Singgih memberikan
penekanan kepada tiga konteks:9 konteks Alkitab, konteks tradisi sistematis, dan
konteks kita di masa kini. Konteks masa kini juga bisa terbagi dalam beberapa
subkonteks: konteks budaya, ekonomi, sosial, dan politik. Dalam beberapa
percakapan personal, Singgih selalu memberi penekanan kepada upaya para
teolog untuk mencari kebenaran Injil dalam budaya lokal Indonesia. Setiap usaha
berteologi harus menjadi teologi yang kontekstual.
Di Indonesia, pembicaraan mengenai kontekstualisasi juga telah lama
dilakukan. Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta didirikan dengan harapan akan
melahirkan teolog-teolog lokal yang melakukan theologia in loco. Dalam
keberagaman konteks Indonesia, almarhum Dr. Sidjabat mengatakan bahwa kita
harus mencari “Firman Allah yang Relevan dalam Pempribumian10 Teologi di
Indonesia.”11 Berbagai penelitian yang dilakukan dalam bidang teologi di STFT
Jakarta kemudian mencoba untuk mengomunikasikan teks dan konteks.

Kekristenan di Indonesia
Ketika kita bicara mengenai konteks Indonesia, kita segera akan
dipertemukan dengan kondisi gereja di Indonesia yang beragam. Dalam

7
Kata “kontekstualiasi” muncul pertama kali dalam terbitan TEF (Theological Education Fund)
tahun 1972. Tujuan utama dari TEF adalah agar Injil diungkapkan dan pelayanan dilakukan sebagai
tanggapan kepada: krisis iman yang meluas; masalah-masalah keadilan sosial serta pembangunan
manusia, dan; ketegangan antara situasi-situasi budaya dan agama setempat dan peradaban teknologi
yang universal. Lihat buku karya David J. Hesselgrave & Edward Rommen, Kontekstualisasi: Makna,
Metode dan Model (Jakarta: BPK-GM, 1996), 48-51. Selanjutnya banyak sekali arti dari kontekstualisasi
yang berkembang. Semua memiliki ciri dan metode masing-masing yang tidak bisa dikatakan bahwa yang
ini adalah yang paling benar dan yang itu adalah yang paling salah. Tiap definisi ini memiliki keunikan
tersendiri. Bagi Eka Darmaputera, “Menuju Teologi Kontekstual di Indonesia” dalam Eka Darmaputera
(ed.), Konteks Berteologi di Indonesia (Jakarta: BPK-GM, 1997), 9, teologi kontekstual adalah teologi itu
sendiri. Artinya, teologi hanya dapat disebut teologi apabila dia benar-benar kontekstual.
8
Robert J. Schreiter, Rancang Bangun Teologi Lokal (Jakarta: BPK-GM, 1996), 5.
9
Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi dalam Konteks (Yogyakarta: Kanisius: 2000), 19.
10
Kata “pribumi” sudah tidak digunakan lagi karena dianggap berkonotasi rasis, bahkan diatur
dalam Instruksi Presiden Nomor 26 tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan
Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun
Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan dan UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis.
11
W. B. Sidjabat, “Firman Allah yang Relevan dalam Pempribumian Teologi di Indonesia” dalam
Pramudianto & Martin L. Sinaga (ed.), Pergulatan dan Kontekstualisasi Pemikiran Protestan Indonesia
(Jakarta: UPI-STTJ, 1999), h. 98. Sidjabat mengulas perlunya pempribumian teologi bagi Firman Allah
yang relevan untuk dunia dan masyarakat. Soal pempribumian ini merupakan tema yang hangat di
pertengahan dasawarsa 1960-an, dengan istilah yang berbeda-beda, misalnya proses indonesianisasi,
kontekstualisasi, inkulturasi, dan lain-lain.

5
pertumbuhan gereja-gereja di Indonesia, kita sekarang memiliki 7 dewan gereja
yang mengaku berada dalam aras nasional. Yang pertama adalah Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta Indonesia
(PGPI), Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia (PGLII),
Bala Keselamatan, Gereja Baptis Indonesia, Gereja Advent hari ke tujuh, dan
Persekutuan Gereja-gereja Tionghoa Indonesia (PGTI). Empat lembaga terakhir
sebenarnya mewakili denominasi tertentu, namun menetapkan dirinya untuk
berada dalam level nasional.
Pada tahun 2020, PGI memiliki 91 sinode gereja anggota,12 sementara PGPI
memiliki 81 sinode gereja anggota,13 dan PGLII memiliki 92 sinode gereja anggota
(83 anggota sinode gereja aktif dan organisasi gerejawi). 14 Ada tiga sinode gereja
yang menjadi anggota dari ketiga organisasi ekumenis di atas, yaitu Gereja Bethel
Indonesia (GBI), Gereja Gerakan Pentakosta (GGP), dan Gereja Tuhan di Indonesia.
Perpecahan gereja terjadi di semua tipe gereja, dan banyak gereja baru muncul
dari ketidakpuasan atas gereja yang lama. Pertumbuhan gereja beraliran
pentakostal juga lebih besar daripada gereja tradisional. 15 Gereja pentakostal lebih
rentan terhadap perpecahan dan pendirian gereja baru, biasanya berhubungan
dengan masalah finansial dan kepemimpinan, meskipun hal ini juga terjadi pada
gereja tradisional.16 Meskipun sinode gereja bertumbuh dalam segi jumlah,
persentase penduduk Indonesia yang beragama Kristen praktis tidak mengalami
perubahan yang berarti sejak 1970. Menurut statistik 2010, penduduk beragama
Islam 87,18%, Protestan 6,96%, Katolik 2,91%, Hindu 1,69%, Buddha 0,72% dan
Khong Hu Cu 0,05%.17
Pertumbuhan gereja-gereja juga diikuti oleh pertumbuhan lembaga
pendidikan teologi. Hingga November 2019, ada 345 lembaga pendidikan teologi
di Indonesia.18 Mereka didirikan oleh berbagai organisasi, yaitu lembaga ekumenis
(mis. STT Jakarta, UKDW Yogyakarta), denominasi tertentu (mis. STT Baptis, STT
Reformed), sinode gereja tertentu (mis. STT HKBP, STT BNKP Sunderman, STT
GKE, STT GBI), gereja tertentu (mis. STT Happy Family – Surabaya, STT GBI REM -

12
PGI website http://www.pgi.or.id., diakses pada 20 April 2020.
13
PGPI website http://www.pgpi-news.org/index.php?
option=com_content&view=article&id=10:nama-sinode-gereja-anggota-pgpi&catid=3:organisasi-
pgpi&Itemid=3, diakses pada 23 Juli 2013.
14
Lihat PGLII website http://www.pglii.net/DATA%20ANGGOTA%20PGLII%202011-2015.htm,
diakses pada 23 Juli 2013.
15
P. Lewis, “Indonesia” dalam Ed Van Der Mas dan Stanley Burgess (eds.), The New International
Dictionary of Pentecostal and Charismatic Movements (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2002), 126-
127. Lihat Jan S. Aritonang dan Karel Steenbrink, History of Christianity in Indonesia (Leiden: Brill, 2012),
volume 2, bab 18: ‘Evangelical and Pentecostal Churches’.
16
Contohnya, sinode gereja tradisional di Sumatera Utara bertumbuh karena faktor bahasa dan
budaya. Lihat Binsar J. Pakpahan, “Holiness and Reconciliation” in Hans-Peter Grosshans and Martin L.
Sinaga (eds.), Live Living Stones: Lutheran Reflections on the One Holy, Catholic and Apostolic Church
(Minnesota: Lutheran University Press, 2010) pp. 103-111.
17
Bandingkan dengan data tahun 2005, Muslim (87.19%), Kristen (6.20%), Katolik (3.32%), Hindu
(2.19%), Buddha (1.07%), http://www.bps.go.id.
18
Website Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen, Kementerian Agama,
http://bimaskristen.kemenag.go.id/index.php/dat-kni, diakses pada 2 Oktober 2015.

6
Jakarta), didirikan oleh negara (mis. STAKN Tarutung, STPAK Manado), atau
perorangan (mis. STT Trinity Parapat, STT Lintas Budaya Jakarta). Semua lembaga
ini memiliki teologi dan metode mengajar yang berbeda. Kita juga harus berpikir
mengenai output dari lulusan sekolah-sekolah ini. Banyak dari lulusan yang tidak
bisa kembali ke gereja yang sudah mapan, memulai sendiri pekerjaan
pelayanannya.
Sejak tahun 2013, pemerintah Indonesia mulai melakukan evaluasi serius
terhadap semua lembaga pendidikan tinggi.19 Pemerintah mulai menerapkan
berbagai aturan yang ketat, yang pada akhirnya membuat lembaga-lembaga
pendidikan teologi juga berbenah. Mereka yang tidak memenuhi aturan ini akan
ditutup. Sehingga, pada sisi positif, pemerintah memberi definisi siapa Lembaga
Pendidikan yang baik dan bertanggung jawab mengelola sekolahnya. Sampai
2019, ada 342 Prodi S-1 Teologi tercatat di Forlap Dikti. Dari 342, hanya 205 Prodi
S-1 Teologi yang (pernah ) memiliki status akreditasi (162 belum kedaluwarsa),
sementara sisanya tidak terakreditasi. Lalu untuk program S-2, ada 175 Prodi S2
teologi tercatat di Forlap Dikti. Dari mereka semua, hanya 56 Prodi S-2 pernah
melakukan akreditasi (53 belum kedaluwarsa). Selanjutnya ada 64 Prodi S-3
teologi yang tercatat di Forlap Dikti, namun hanya 13 Prodi S-3 Teologi yang
(pernah ) memiliki status akreditasi (12 belum kedaluwarsa). Lembaga
Pendidikan teologi memberi pengaruh besar terhadap pemahaman dan tafsir
dalam kekristenan.
Mereka yang memiliki Pendidikan teologi yang baik, dengan kurikulum dan
penilaian yang diverifikasi oleh BAN PT umumnya sudah memiliki matakuliah
seperti teologi kontekstual yang membicarakan mengenai perjumpaan Kristus dan
budaya. Itu sebabnya, pada saat ini kita memiliki beberapa teolog yang peduli
terhadap pengembangan teologi kontekstual dari berbagai daerah. Dengan
berbagai konteks ini, kita sekarang masuk ke dalam pembahasan teologi
kontekstual, relasi antara Kristus dan budaya.

Tipologi Kristus dan Budaya Helmut Richard Niebuhr


Helmut Richard Niebuhr (1894-1962) adalah profesor teologi dan Etika
Kristen di Yale University selama 31 tahun. Pada 1951, dia menerbitkan karyanya
berjudul Christ and the Cultures yang lahir dari semangat penginjilan para
misionaris dan kenyataan bagaimana mereka menemukan budaya lokal yang
sudah ada dan berjumpa dengan Injil.
Istilah Kristus dan budaya memiliki problem yang mungkin tidak terlalu
disadari oleh mereka yang mempelajarinya. Dalam teologi, klaim bahwa Kristus
yang kita perkenalkan adalah Kristus yang sesungguhnya memiliki masalah,
19
Ada 189 program studi strata 1 yang terakreditasi per November 2015, namun hanya 5 yang
memperoleh akreditasi A: 3 beraliran Protestan dan 2 Katolik. Ada 164 program strata 1 teologi yang
menerima akreditasi C sejak 2013. Lihat http://ban-pt.kemdiknas.go.id/direktori.php, diakses pada 2
Oktober 2015.

7
karena kita selalu membawa tafsir kita tersendiri atas perkataan dan narasi
Kristus dalam Alkitab. Akibatnya, ketika seseorang mengatakan bahwa dia sedang
memperkenalkan Kristus, dia juga harus sepenuhnya jujur bahwa Kristus yang
yang diperkenalkannya memiliki dua faktor. Pertama, jika Kristus yang
diperkenalkannya adalah universal, budaya tidak menjadi halangan karena Dia
datang untuk seluruh manusia. Sementara itu, Ketika kita memperkenalkan
Kristus yang spesifik, sebagai seseorang yang lahir dalam konteks budaya
tertentu, mengucapkan kata-kata dan narasi dalam relasinya dengan
komunitasnya, kita akan memiliki diskusi panjang mengenai apa inti dari ajaran-
Nya, dan apa yang menjadi pembungkusnya.
Nilai-nilai tersebut kita sebut sebagai kearifan lokal. Saya akan
menggunakan pemahaman kearifan lokal sebagai,
Local wisdom is the way of life in a cultural society which is established by the
ancestor in order to organize interaction and relationship between people of a
cultural society. People keep and practice it in their life because the wisdom is
valuable for them. It is a result of cultivating human being to become civilized. 20
Sejalan dengan pemahaman Batlajery di atas, kita melihat bahwa kearifan lokal
adalah cara mencapai dan mempertahankan harmoni dalam masyarakat yang
sudah ada sejak leluhur mereka.
Niebuhr juga bergumul dengan definisi budaya, dan dia mendefinisikannya
sebagai lingkungan kedua di luar yang natural yang terdiri dari bahasa, kebiasaan,
kepercayaan, organisasi sosial, artefak yang diwariskan, proses teknis, dan nilai-
nilai.21 Beberapa karakter dari budaya adalah, bahwa dia selalu bersifat sosial,
hasil pencapaian manusia, memiliki nilai, dan bersifat plural.

20
Agustinus M. L. Batlajery, “Strengthening Harmony Based on Local Wisdom in Multi-Ethnic,
Religion and Culture in Moluccas: A Theological Perspective,” dalam Steve G. C. Gaspersz dan Ricardo F.
Nanuru (peny.) Proceedings of the International Conference on Religion and Public Civilization (ICRPC
2018) (Amsterdam: Atlantis Press, 2019), 106.
21
H. Richard Niebuhr, Christ and Culture. 1951. (cetak ulang, San Francisco: Harper Collins, 2001),
32.

8
Niebuhr membangun lima tipologi. Mereka adalah:
1. Kristus bertentangan dengan kebudayaan, Kristus tidak akan sama
dengan budaya yang pagan dan kafir. Dalam tipologi ini, pesan Injil
akan selalu bertentangan dengan kebudayaan. Kebudayaan dilihat
sebagai nilai yang harus diubah dan diganti dengan nilai Injil.
Kesetiaan terhadap Injil harus di atas kesetiaan terhadap budaya
lokal.
2. Kristus berasal dari kebudayaan, adalah paham yang melihat Kristus
juga lahir dari sebuah kebudayaan, dan karena itu pesannya bisa
dilihat dari perspektif budaya, lalu disesuaikan dengan pesan
budaya lokal. Meski demikian sebenarnya Niebuhr masih melihat
kesetiaan kepada Kristus harus lebih diutamakan dibanding budaya
lokal.
3. Kristus di atas kebudayaan, adalah pesan yang memperlihatkan
bahwa Injil lebih baik dari kebudayaan. Meski demikian, Injil tetap
bersifat akomodatif, hanya saja kita harus selalu memilih Injil di atas
budaya ketika ada nilai yang bertentangan dengan kebudayaan.
4. Kristus dan Budaya adalah berada paradoks, bahwa Injil dan budaya
tidak akan bisa berjalan bersama, sehingga kita harus memisahkan
keduanya. Niebuhr membandingkan teori paradoks ini seperti teori
dua pemerintahan Martin Luther.22
5. Kristus yang mentransformasi kebudayaan memandang semua
budaya akan berubah menjadi lebih baik jika bertemu dengan
Kristus.23 Dalam tipe ini, Kristus mentransformasi kebudayaan dan
kekristenan kemudian menjadi budaya yang baru.

Meski sudah ketinggalan zaman, karena melihat Kristus dan kebudayaan


sebagai dua hal yang berbeda, Niebuhr membantu kita untuk bersikap kritis
terhadap budaya. Sudah banyak tulisan terbit untuk melanjutkan pemikiran ini,
namun, pada dasarnya lima tipologi ini menjadi pola dasar pemikiran untuk
melihat relasi budaya dan Injil.
Jika kita mau jujur terhadap tipologi Niebuhr, sepertinya dia lebih banyak
mengadvokasi perubahan budaya ketika dia dihadapkan kepada nilai Injil, kecuali
di tipe nomor 4. Pada akhirnya, kesetiaan orang Kristen, dari kelimat tipologi di
atas, akan mengarah kepada Injil. Pendapat Niebuhr masih kurang lebih
dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran pada zamannya yang masih
merupakan kejayaan kekristenan di dunia Barat dengan sifat kolonial dan
triumfalistik.

22
Ibid., 45.
23
Sebagai perbandingan lihat A. A. Yewangoe, “Injil dan Kebudayaan: Skema Niebuhr dalam
Perspektif Sumba” dalam John Campbell-Nelson (et.al), Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual
(Jakarta: Persetia, 1992), 201-209.

9
Salah satu tulisan yang mengritik Niebuhr adalah karya Craig A. Carter,
Rethinking Christ and Culture.24 Salah satu kritik yang diajukan oleh Carter adalah,
karena tulisan Niebuhr ditulis dalam masa dominasi Protestantisme liberal di
Amerika Utara,25 dia ditulis sebagai pembelaan terhadap penyebaran kekristenan
yang dilakukan oleh pekerjaan misi ke berbagai tempat. Buku Niebuhr, menurut
Carter, ditulis dengan agenda pembenaran atas “not just to argue for the
superiority of the transformationalist approach…He also has an even more
important agenda: namely, to argue against the first type, the Christ against
culture position.”26 Carter mencatat beberapa kelemahan teologis dalam Niebuhr
seperti kristologi, gereja, penciptaan, trinitas dan pewahyuan. Berdasarkan
pemaparannya, Carter kemudian menyarankan penggunaan beberapa
penyempurnaan dari model yang Niebuhr tawarkan. Carter menyempitkan pilihan
yang akhirnya gereja bisa ambil yaitu memilih Yesus atau Kaisar Konstantin, atau
dengan kata lain gereja atau negara (pemerintah). Carter menyatakan bahwa
gereja tidak boleh menuruti keinginan dunia dan bahwa, “The world needs the
church to be the church so that the world can know that God loves the world and
that redemption is therefore possible.”27
Kritik saya terhadap Carter adalah bahwa dia hanya melihat dunia pasca-
Christendom dari perspektif orang di belahan utara dunia. Dia tidak melihat bahwa
di Selatan, seperti Indonesia, kita bisa tetap memilih Kristus, namun pergumulan
kita bukanlah soal dunia atau pemerintahan, melainkan bagaimana mengenali
pesan sesungguhnya dari Kristus tanpa menghilangkan budaya yang menjadi
kekayaan dan berasal dari Allah juga.28

Model Teologi Kontekstual Stephen B. Bevans


Setelah Niebuhr dan para teolog yang mengritiknya, kita sekarang
berpindah kepada pembahasan yang diberikan oleh Stephen B. Bevans. Bevcans
adalah pengajar di Catholic Theological Union di Chicago yang banyak meneliti
soal misi. Pengalaman sebagai misionaris di Filipina membantunya untuk
berefleksi mengenai model lintas budaya yang mendengarkan kekayaan lokal.
24
Craig A. Carter, Rethinking Christ and Culture: A Post-Christendom Perspective (Grand Rapids,
Michigan: Brazos Press, 2006).
25
Ibid., 56.
26
Ibid., 61. Perlu diingat juga bahwa Carter sepertinya mengambil pemikiran John Howard Yoder
yang juga secara keras menolak tipologi Niebuhr dalam Glen H. Stassen, D.M. Yeager & John Howard
Yoder, Authentic Transformation: A New Vision of Christ and Culture (Nashville: Abingdon Press, 1996).
Yoder menolak posisi Niebuhr yang menurutnya menawarkan relativitas kebenaran dan menimbulkan
masalah dalam pengambilan keputusan etis.
27
Ibid., 200.
28
Mathews George Chunakara, Sekretaris Umum Christian Conference of Asia 2015-2025 melihat
masalah besar di Asia pada saat ini adalah perdamaian dan keadilan yang berhubungan erat dengan
keamanan hidup manusia. Lihat Mathews George Chunakara, “Human Security in Asia and Challenges to
Living Together in the Household of God in Peace with Justice,” dalam CCA, Living Together in The
Household of God (Hong Kong: CCA, 2015), 21. Masalah lain juga adalah konflik antaretnis dan antarumat
beragama. Karena itu kontekstualisasi bagi gambar Kristus yang prokehidupan dan prokeberagaman
adalah salah satu perhatian besar dalam teologi Kristen di Asia.

10
Karyanya yang banyak digunakan orang bicara soal teologi kontekstual dalam
kerangka misi. Kebudayaan adalah warisan pengalaman dalam bentuk sistem
simbolis tentang kehidupan dan tingkah laku, lokasi, tradisi, dan nilai. 29 Dengan
memilih kata kontekstual, Bevans sudah berangkat dari poin yang berbeda dengan
Niebuhr. Bagi Bevans, teologi itu harus kontekstual, ia mengatakan bahwa teologi
harus juga berjumpa dengan pengalaman yang mencakup budaya lokal,
perubahan nilai, dan konflik dengan dunia. Baginya, tidak ada satu teologi yang
benar, teologi hanya bisa kontekstual karena berusaha menerjemahkan apa
makna pesan Kristus bagi masa kini.30 Bevans memberi enam model teologi
kontekstual.
1. Model terjemahan lebih setia kepada model penerjemahan literer.
Model ini memberi penekanan pada kesetiaan terhadap Alkitab dan
tradisi dan berusaha menerjemahkannya ke budaya lokal;31
2. Model antropologis mencari tahu apa pesan melalui bedah
antropologis Injil dan membawanya ke masa kini. Caranya, dengan
mengetahui kebudayaan kita bisa menarik pesan Injil sesungguhnya
dari dalam kebudayaan. Daripada mengenalkan nama baru, model
ini akan memperkenalkan Injil dalam nama-nama yang sudah
dikenal dalam budaya tersebut; 32
3. Model praksis melihat bahwa pada inti pesan Kristus yaitu
bagaimana kita bersikap dalam hidup sehari-hari, melalui
perenungan praksis-refleksi-praksis dalam siklus
berkesinambungan. Dalam model ini Injil dan budaya bersikap
saling melengkapi untuk menghadapi berbagai situasi yang dihadapi
dalam konteks. Model ini memerlukan praksis yang kemudian
direfleksikan dalam terang teologi;33
4. Model sintesis adalah menerima semua unsur dari ketiga model di
atas, Injil, budaya, dan praksis, dan berusaha terbuka dan
mendialogkan mereka untuk mencari pesan sesungguhnya. Budaya
dan Injil bisa berjalan paralel dan bisa dikombinasikan dengan cara
yang sesuai dengan kebutuhan;34
5. Model transendental adalah model yang memperlihatkan
pentingnya pengalaman untuk menafsir pesan Allah. Pengalaman
dan pengetahuan tidak boleh dipisahkan, sehingga teologi menjadi
bersifat subjektif.

29
Stephen B. Bevans, Models of Contextual Theology. 1992, (cetak ulang, Maryknoll, New York:
Orbis, 2002), 3-5. Buku ini sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, Model-model Teologi Kontekstual
(Maumere: Ledalero, 2002).
30
Bevans, Teologi dalam Perspektif Global, 229-230.
31
Ibid., 235.
32
Ibid., 106, 110.
33
Ibid., 127-139, 144.
34
Ibid., 170, 175.

11
Model budaya tandingan adalah model yang memperlihatkan bahwa
6.
Injil adalah budaya tandingan yang lebih baik. Pesan kekristenan
dilihat sebagai petunjuk untuk mengkritik sejarah, lensa untuk
menafsir, dan menantang konteks;35
Berbagai model di atas bisa digunakan berdasarkan kepentingan
Pekabaran Injil. Sebagai contoh, jika kita ingin melakukan perubahan dalam
struktur atau sistem sosial, budaya tandingan adalah model yang tepat untuk
digunakan. Jika kita ingin mencari solusi atas sebuah masalah riil dari nilai budaya
dan Injil, model sintesis bisa digunakan. Kekuatannya, keenam model di atas
menjadi fleksibel, namun seperti kritik yang juga disampaikan Yoder dan Carter
terhadap Niebuhr, pada akhirnya kita tidak memiliki kepastian akan model yang
terbaik.

Membaca Teologi Kearifan Lokal


Niebuhr dan Bevans lahir dari dua pemikiran teologi, zaman, dan pembaca
yang berbeda. Penggunaan teori keduanya memerlukan perhatian khusus, karena
kita tidak bisa serta merta menerapkannya kepada gereja dan masyarakat di
Toraja yang punya konteks dan pembaca yang juga berbeda. Tipologi Niebuhr
terasa lebih punya agenda dibanding model yang disajikan oleh Bevans. Agenda
yang saya maksud di sini adalah bahwa Injil pada akhirnya akan menang atas
budaya lokal. Sementara Bevans, lebih terbuka atas berbagai model, meski pada
akhirnya tidak juga menjawab permasalahan yang Yoder dan Carter ajukan
kepada teologi konteksual.
Masih banyak nilai kearifan lokal di Indonesia pada umumnya, yang bisa
digunakan untuk mendapatkan model praksis atau sintesis teologi kontekstual
yang Stephen B. Bevans angkat. Namun demikian, kita tetap memiliki tantangan
apakah tradisi yang dilakukan dalam beberapa artikel di atas masih sesuai dengan
nilai kekristenan atau tidak. Salah satu keunggulan penggunaan model praksis
Bevans adalah kita bisa berangkat dari nilai praksis yang baik dan memberi
pemaknaan teologis kepadanya.
Tulisan yang disajikan dalam buku ini berguna untuk menjadi dasar
penelitian lebih lanjut akan kearifan budaya lokal, tentunya dengan pemberian
landasan teologis kepada nilai lokal tersebut. Semoga para pembaca akan
menemukan ide-ide penelitian baru melalui tulisan ini.

Daftar Pustaka
Adorno, Theodor W., dan Max Horkneimer. Dialectic of Enlightenment: Philosophical
Fragments, ed. Gunzelin Schmid Noerr, terjemahan E. F. N. Jephcott. Stanford,
California: Stanford University Press, 2002.
35
Ibid., 236.

12
Aritonang Jan S., dan Karel Steenbrink, History of Christianity in Indonesia. Leiden: Brill,
2012.
Batlajery, Agustinus M. L. “Strengthening Harmony Based on Local Wisdom in Multi-
Ethnic, Religion and Culture in Moluccas: A Theological Perspective,” dalam Steve
G. C. Gaspersz dan Ricardo F. Nanuru (peny.) Proceedings of the International
Conference on Religion and Public Civilization (ICRPC 2018) (Amsterdam: Atlantis
Press, 2019), 104-107.
Bevans, Stephen B. Model-model Teologi Kontekstual. Maumere: Ledalero, 2002.
____________, Teologi dalam Perspektif Global: Sebuah Pengantar. Maumere: Penerbit
Ledalero, 2010.
Campbell-Nelson, John, Bendalina Souk, dan Stephen Suleeman (peny.). Mengupayakan
Misi Gereja yang Kontekstual: Studi Institut Misiologi Persetia 1992. Jakarta:
Perhimpunan Sekolah-sekolah Theologia di Indonesia, 1995.
Carter, Craig A. Rethinking Christ and Culture: A Post-Christendom Perspective. Grand
Rapids, Michigan: Brazos Press, 2006.
Chunakara, Mathews George. “Human Security in Asia and Challenges to Living
Together in the Household of God in Peace with Justice.” Dalam Living Together in
The Household of God. Hong Kong: CCA, 2015.
Darmaputera, Eka. “Menuju Teologi Kontekstual di Indonesia” dalam Eka Darmaputera
(ed.), Konteks Berteologi di Indonesia. Jakarta: BPK-GM, 1997.
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen, Kementerian Agama.
http://bimaskristen.kemenag.go.id/index.php/dat-kni, diakses pada 2 Oktober
2015.
Hesselgrave, David J. & Edward Rommen, Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model.
Jakarta: BPK-GM, 1996.
Jebadu, Alex. Bukan Berhala! Penghormatan kepada Para Leluhur. Maumere: Ledalero,
2009.
Kompas Online, “Kawin Tangkap di Sumba, Diculik untuk Dinikahi, Citra Menangis
sampai Tenggorokan Kering” diakses pada 9 Juli 2020,
https://regional.kompas.com/read/2020/07/09/06070001/kawin-tangkap-di-
sumba-diculik-untuk-dinikahi-citra-menangis-sampai?page=all.
Lewis, P. “Indonesia.” Dalam Ed Van Der Mas dan Stanley Burgess (eds.), The New
International Dictionary of Pentecostal and Charismatic Movements. Grand Rapids,
Michigan: Zondervan, 2002.
Newbigin, Lesslie. Injil dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta: BPK-GM, 1999.
Niebuhr, H. Richard. Christ and Culture. 1951. Cetak ulang, San Francisco: Harper
Collins, 2001.
Pakpahan, Binsar J. “Holiness and Reconciliation.” Dalam Hans-Peter Grosshans and
Martin L. Sinaga (eds.), Live Living Stones: Lutheran Reflections on the One Holy,
Catholic and Apostolic Church, 103-111. Minnesota: Lutheran University Press,
2010.
PGI. Daftar Anggota PGI. http://www.pgi.or.id., diakses pada 20 April 2020.

13
PGLII. Daftar Anggota PGLII. http://www.pglii.net/DATA%20ANGGOTA%20PGLII
%202011-2015.htm, diakses pada 23 Juli 2013.
PGPI. Daftar Anggota PGPI. http://www.pgpi-news.org/index.php?
option=com_content&view=article&id=10:nama-sinode-gereja-anggota-
pgpi&catid=3:organisasi-pgpi&Itemid=3, diakses pada 23 Juli 2013.
Patty, Febby Nancy. Teologi Patita: Menggali Nilai Simbolik Makan Patita Adat di Oma
dan Mendialogkannya dengan Jamuan Makan Bersama dalam Injil Lukas 22. Jakarta
dan Ambon: BPK Gunung Mulia bekerja sama dengan UKIM, 2018.
Schreiter, Robert J. Rancang Bangun Teologi Lokal. Jakarta: BPK-GM, 1996.
Sidjabat, W. B. “Firman Allah Yang Relevan” dalam Pramudianto & Martin L. Sinaga
(ed.), Pergulatan dan Kontekstualisasi Pemikiran Protestan Indonesia. Jakarta: UPI-
STTJ, 1999.
Singgih, Emanuel Gerrit. Berteologi Dalam Konteks. Yogyakarta: Kanisius: 2000.
Stassen, Glen H. Stassen, D.M. Yeager & John Howard Yoder. Authentic Transformation: A
New Vision of Christ and Culture. Nashville: Abingdon Press, 1996.
Timo, Eben Nuban. Sidik Jari Allah dalam Budaya. Maumere: Ledalero, 2007
Van Peursen, Cornelis Antonie. Strategi Kebudayaan terj. Dick Hartoko (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1976.
Vanhoozer, Kevin J. “Dunia Dipentaskan dengan Baik? Teologi, Kebudayaan, dan
Hermenutika.” Dalam D.A. Carson & John D. Woodbridge (peny.), God and the
Culture: Allah dan Kebudayaan, terjemahan Helda Siahaan dan Irwan Tjulianto.
Surabaya: Momentum, 2011.
Yewangoe, A. A. “Injil dan Kebudayaan: Skema Niebuhr dalam Perspektif Sumba.” Dalam
Campbell-Nelson, John, Bendalina Souk, dan Stephen Suleeman (peny.).
Mengupayakan Misi Gereja yang Kontekstual: Studi Institut Misiologi Persetia 1992:
201-209. Jakarta: Perhimpunan Sekolah-sekolah Theologia di Indonesia, 1995.

14

Anda mungkin juga menyukai