PENDAHULUAN
berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yakni dari kata yang berarti "rumah"
dan yang berarti "mendiami", menghuni atau "tinggal", sehingga secara
KD
etimologi oikumene berarti mendiami rumah atau menghuni rumah sebagai tempat
tinggal bersama2 Lebih lanjut Chris Hartono menegaskan:
Dengan demikian maka, gerakan ekumenis berarti gerakan yang bersangkutpaut dengan ekumene, atau gerakan yang bertujuan untuk mewujudkan dan
menghayati keesaan gereja-gereja. Dengan perkataan lain dapat diungkapkan
bahwa gerakan ekumenis adalah usaha gereja-gereja dalam mewujudkan
keesaannya di dunia ini supaya hakekatnya yang asasi itu, yakni selaku gereja
Kristus yang esa itu, dapat dihayati dan dinampakkan dengan jelas!3
Eka Darmaputera, Berbeda Tapi Bersatu: Bacaan Praktis untuk pimpinan dan warga jemaat mengenai
Oikoumene (Jakarta: BPK GM, 1974) p.35.
2
Chris Hartono, Pemaknaan Oikoumene: Perkembangan Pemaknaan Oikoumene dalam Tradisi
(Yogyakarta: Tidak diterbitkan, 2009) p.1
3
Chris Hartono, Gerakan Ekumenis di Indonesia (Yogyakarta: PPIP UKDW,1984) p.2.
4
P.K. Pilon, Ut Omnes Unum Sint : Oikumenika, bagian sejarah (Jakarta: BPK GM, 1973) p.13.
kesatuannya, namun tidak dalam arti sempit hanya berkutat pada persoalan gereja. GO
berkembang lebih luas menjadi wider ecumenism5 yang turut ambil bagian dalam
persoalan di dunia, yang menyangkut kemanusiaan dan juga alam semesta.
Senada dengan pandangan kedua tokoh di atas mengenai GO, badan-badan
oikumenis seperti WCC (World Council of Churches), CCA (Christian Conference of
Asia) dan PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) juga mengupayakan GO yang
luas, bukan hanya berkutat pada persoalan internal atau di dalam gereja saja. Melainkan
juga berkembang dan menyangkut persoalan eksternal gereja, misalnya seperti masalah
kemajemukan agama, budaya, sosialkemanusiaan, kemiskinan dan lingkungan-alam
semesta. Setelah penulis menjadi dosen yang mengampu mata kuliah oikumenika,
penulis mulai mendalami seluk-beluk GO yang luas secara lebih intensif yakni dengan
KD
1. GO menurut WCC
Dalam Sidang Raya WCC ke-VI pada tahun 1983 di Vancouver Canada, gerejagereja telah memperhatikan secara khusus masalah ketidakadilan, perang, dan
penghancuran lingkungan hidup sebagai akibat dari keserakahan dan kerakusan umat
manusia sebagai upaya gereja dalam mewujudkan GO, maka berangkat dari hal itu
sidang telah mengusulkan agar gereja-gereja mengambil bagian dalam proses konsilier
untuk keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan (Dalam bahasa Inggris : Justice,
Peace, and the Integrity of Creation disingkat menjadi JPIC).7 Hal tersebut juga
5
Hope S. Antone, Introduction dalam Idem, Living In Oikumene (Hongkong: CCA, 2003) p.5. bdk pula
dengan pandangan Chris Hartono mengenai pemhahaman GO dalam tradisi baru gereja yaitu GO yang
berkaitan dengan konteksnya di dunia masa kini. Lih. Chris Hartono, Pemaknaan Oikoumene, p.3.
6
Rujukan pustaka yang penulis gunakan tentang GO berasal buku atau artikel yang diterbitkan oleh
badan-badan oikumenis dunia seperti WCC (World Council of Churches), CCA (Christian Conference of
Asia) dan PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia).
7
Christiaan de Jonge, Menuju Keesaan Gereja, p.189. bdk pula dengan ulasan Jan S. Aritonang mengenai
upaya JPIC WCC yang kemudian diikuti oleh DGI/PGI dengan membentuk komisi maupun Kelompok
Kerja Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC). Tema JPIC juga secara konsisten dibahas
dalam Dokumen Keesaan Gereja, yang mulai dibahas dalam Lima Dokumen Keesaan gereja sejak tahun
1984. Jan S. Aritonang, Perkembangan Pemikiran Teologis di Indonesia, 1960-1990-an dalam Ferdinand
didukung oleh E.G. Singgih, yang mengungkapkan bahwa salah satu model gereja yang
cocok dengan konteks Asia-Pasifik termasuk di Indonesia adalah model gereja yang
oikumenis.8
E.G. Singgih menyatakan bahwa pergumulan eklesiologis tersebut tidak lepas
dari pergumulan WCC yang mempunyai pengaruh besar di dalam pandangan gerejagereja Asia-Pasifik. Program yang digumulkan sebagai gereja yang oikumenis adalah
persoalan
JPIC
(yang
diterjemahkan
ke
dalam
bahasa
Indonesia
menjadi
Persoalan kemiskinan adalah konteks yang nyata di Indonesia. Hal ini bisa terjadi juga
karena masalah struktur yang tidak adil sehingga membuat orang sulit untuk keluar dari
KD
belenggu kemiskinan. Selain itu persoalan keadilan juga menyangkut persoalan peran
wanita, pemuda-remaja dan anak-anak dalam gereja. Bahkan dalam WCC juga
dibicarakan keadilan bagi para penyandang cacat. Gereja yang oikumenis adalah gereja
Gereja tidak boleh hanya diam terhadap setiap konflik yang terjadi maupun gejalagejala kekerasan yang marak terjadi di masyarakat. Gereja harus bisa menjadi teladan
dalam menciptakan shalom. Perdamaian harus menjadi life style gereja yang
dibudayakan. Salah satu caranya misalnya dengan berbicara di surat kabar atau media
lainnya tentang sikap anti kekerasan dalam segala aspek, termasuk dalam mengajarkan
ajaran gereja, tidak dengan paksaan atau dengan ancaman.
c. Keutuhan Ciptaan
Suleeman,et.al (Ed), Bergumul Dalam Pengharapan: Buku Penghargaan Untuk Pdt. Dr. Eka
Darmaputera (Jakarta: BPK GM, 1999) p.271.
8
Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi Dalam Konteks (Yogyakarta: Kanisius, 2000) pp. 222-228. Bdk.
dengan pemahaman oikumene PGI pada saat menerbitkan buku peringatan di ulang tahun emas yang ke
50. Karel Ph. Erari, Kepala BALITBANG PGI, Pengantar dalam Jan S. Aritonang (ed), 50 Tahun PGI:
Gereja Di Abad 21, Konsoliasi Untuk Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (Jakarta:
BALITBANG PGI, 2000) p.i.
Kecenderungan gereja adalah hanya berfokus pada manusianya. Padahal alam dan
lingkungan adalah bagian integral dari kehidupan manusia itu sendiri. Baik manusia
maupun alam adalah ciptaan Allah. Kesadaran terhadap pelestarian alam dan
lingkungan perlu menjadi perhatian gereja yang berwawasan oikumenis dengan praksis
yang berorientasi pada pemeliharaan alam.
WCC ke- IX di Porto Alegre pada tahun 2006 yang menghasilkan dokumen AGAPE
(Alternative Globalization Addressing Peoples and Earth). Penekanannya adalah sama
KD
seperti persoalan JPIC yakni, bagaimana gereja turut berperan serta dan menaruh
kepedulian besar pada persoalan kemiskinan dan kerusakan lingkungan hidup yang
parah.9
2. GO menurut CCA
Badan oikumenis yang berangkat dari realitas konteks Asia adalah CCA, yang secara
konsisten memperjuangkan kehidupan bersama antar gereja guna menjawab tantangan di Asia
yang meliputi kebudayaan, pluralisme agama, kemiskinan, keadilan dan juga peran perempuan
dan anak-anak yang kerap terpinggirkan serta lingkungan. Dalam hal ini CCA memahami
oikumene secara lebih luas dan berangkat dari konteks Asia yang khas tersebut, yang dipandang
sebagai upaya oikumenis.
CCA mempunyai misi yang holistis sebagai dasar mereka dalam mewujudkan
Gerakan Oikumene, hal itu dinyatakan dalam pengakuan misi mereka sebagai misi
Allah, yakni : kami mewartakan, membagikan dan menghidupkan kabar baik tentang
kehidupan sepenuhnya bagi semua anak yang berada dalam rumah tangga Allah.
Kami juga mengakui bahwa rumah tangga Allah adalah seluruh dunia yang didiami
9
Tim JPIC-WCC Jenewa 2006, Alternative Globalization Addressing Peoples and Earth (AGAPE) : A
Background Document (Jakarta: PMK HKBP, 2008) pp.1-3.
KD
Saya menekankan gerakan oikumene dalam arti yang luas, yang tercakup dalam tiga
kata kunci utama yakni theo-ecumenics, eco-ecumenics dan geo- ecumenics. Melalui
theo-ecumenics, saya maksudkan bahwa misi gerakan oikumene ditekankan dalam
misi Allah sebagai sumber utama, pencipta, pelindung dan pembebas dunia, lalu
melalui eco-ecumenics, saya maksudkan bahwa misi gerakan oikumene haruslah
yang ramah terhadap lingkungan, dan mencakup seluruh alam semesta sebagai
ciptaan Allah dan pada akhirnya melalui geo-ecumenics, saya maksudkan bahwa
gerakan oikumene haruslah kontekstual dalam hal ini bagi konteks Asia hal itu
mencakup kemajemukan agama, budaya, ras, bahasa, masyarakat, kepercayaan dan
warna kulit yang beranekaragam harus dijaga dan diberdayakan agar dapat
berkembang.12
Selain itu, kata kunci bagi GO di Asia adalah konsep teologi misi tentang missio
Dei atau misi Allah di muka bumi. Dunia ini adalah merupakan tempat yang kudus di
mana Allah bekerja di dalamnya (diistilahkan dengan This-Worldly Holiness). Dengan
demikian, GO Asia, memiliki keterikatan dan hubungan antara Allah dan dunia yang
menyangkut kemajemukan masyarakat, budaya, agama-agama dan kehidupan sosial-
10
Hope S. Antone Editorial: Special Edition on Holistic Mission in The Context of Asian Plirality
dalam Hope S. Antone (ed), CTC Bulletin, Vol. XXIV, Nos. 1-2, April-Agustus 2008 (Thailand: CCA,
2008) p. i.
11
Yap Kim Hao, From Prapat to Colombo, History of the Christian Conference of Asia (Hongkong:
CCA, 1995) pp.74-79.
12
Ahn Jae Woong, The God Who Matters dalam Hope S. Antone (ed), Living In Oikumene (Hongkong:
CCA, 2003) p.13.
politik sebagai landasan atau motif berteologi. Hal ini ditegaskan oleh para teolog Asia
seperti M. M Thomas dan C. S. Song.13
3. GO menurut PGI
Di Indonesia, salah satu badan oikumenis yang mendukung upaya mewujudkan
GO, yang juga merupakan anggota dari WCC dan CCA adalah PGI. PGI berdiri pada
tanggal 30 Mei 1950, dan beranggotakan gereja-gereja dari denominasi yang beragam.14
Bagi PGI pemaknaan oikumene terus berkembang, bukan hanya menekankan
gerakan keesaan gereja saja di tengah pluralisme kekristenan (interdenominasi gereja)
sendiri, melainkan juga mengembangkan hubungan dengan umat beragama lain (lintas
agama) dalam konteks masyarakat majemuk.15 Solidaritas di tengah masyarakat
KD
majemuk menjadi visi-misi terbaru PGI tahun 2009-2014.16 PGI pun memahami GO
bukan lagi sebatas persoalan gerejawi tetapi juga persoalan sosial-kemanusiaan yang
penekanannya pada segi action atau praksis.17 Bagi PGI, oikumene pada hakekatnya
13
adalah :
Ken Christoph Miyamoto, Gods Mission in Asia: A Comparative and Contextual Study of This-Worldly
Holines and the Theology of Missio Dei in M.M Thomas and C.S Song : American Society of Misiology
Monograph Series (Eugene: Pickwick Publications, 2007) pp.70-80.
14
J.M. Pattiasina dan Weinata Sairin (Ed), Gerakan Oikumene: Tegar Mekar di Bumi Pancasila: Buku
Peringatan 40 Tahun PGI (Jakarta: BPK GM, 1997) pp. 405-406.
15
Christiaan de Jonge, Menuju Keesaan Gereja: Sejarah, Dokumen-Dokumen dan Tema-Tema Gerakan
Oikumenis (Jakarta: BPK GM, 1993) p. 84. Bdk dengan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI),
Dalam Kemantapan Kebersamaan Menapaki Dekade Penuh Harapan (Lima Dokumen Keesaan
Gereja)(Jakarta: BPK GM, 1991) p.15. Lima dokumen keesaan gereja (LDKG) dan dokumen keesaan
gereja (DKG) sebagai arah dan landasan pemahaman gerakan Oikumene yang diusahakan PGI.
16
PGI, Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (DKG PGI : Keputusan
Sidang Raya XV PGI, Mamasa, Sulawesi Barat 19-23 November 2009 (Jakarta: PGI, 2010) p.39.
17
Lih. Kata Pengantar dari Majelis Pekerja HarianPGI, dalam PGI, Dokumen Keesaan Gereja
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (DKG-PGI) : Keputusan Sidang Raya XIV PGI, Wisma Kinasih,
29 Nopember-5 Desember 2004 (Jakarta: BPK GM, 2006) p.x. Bdk dengan O Collins SJ & Edward G.
SJ, Kamus Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 1996) p.260. Praksis berarti kegiatan kritik diri yang tidak
puas hanya berhenti pada mempertahankan kebenaran secara teoritis, dengan kata lain berpraksis
merupakan tindakan gereja secara konkrit dalam meresponi persoalan-persoalan aktual berdasarkan
teologi yang diyakininya. Jadi, dari teologi menuju pada suatu sikap/tindakan konkrit. Bdk pula dengan
Gerben Heitink, Teologi Praktis: Pastoral dalam Era Modernitas-Postmodernitas (Yogyakarta: Kanisius,
2002) pp. 191-195. Bagian ini menerangkan bidang-bidang aksi dari teologi praktis yang disebut 'praksis
iman Kristiani dalam masyarakat modern' (p. 191). Praksis iman ini tidak lagi bertumpu pada Gereja
melainkan umat (pribadi-pribadi beriman) untuk menjadi 'garam dunia'. Dalam Teologi praktis menurut
Heitink antara pemahaman dan tindakan, keduanya adalah 'kesatuan ilmu pengetahuan tindakan' (p.
192).Dengan sederhana, hubungan antara teori dan praktek oleh Heitink disatukan dengan kata-kata kerja:
Penulis tertarik meneliti mengenai GO, tidak hanya dari perspektif pendeta
selaku pemimpin jemaat saja, tetapi juga dari perspektif jemaat (non pendeta). Mengapa
perlu meneliti jemaat? Menurut penulis, jemaat adalah bagian substantif (inti) dari
gereja. Meneliti jemaat merupakan suatu upaya mewujudnyatakan berteologi secara
kontekstual, sebab teologinya berasal dari bawah, yang dikembangkan berdasarkan apa
yang hidup dalam jemaat (menurut hemat penulis dapat dikatakan sebagai teologi
berdasarkan praksis yang hidup dalam jemaat). Jemaat adalah teolog primer, sementara
KD
para teolog ilmiah adalah teolog sekunder yang membantu teolog primer.19
Selain itu, PGI sebagai badan oikumenis di Indonesia menghimbau gereja-gereja
anggotanya agar mensosialisasikan pemahaman dan praksis GO hingga di level jemaat.
PGI menghendaki agar GO tidak hanya menjadi gerakan elit namun menjadi gerakan
yang menyentuh hingga level jemaat sehingga GO dapat sungguh-sungguh diupayakan
oleh seluruh gereja-gereja di Indonesia.20 Diharapkan agar GO bisa hidup tidak hanya di
kalangan para elit gereja seperti pendeta saja, tetapi juga hidup dalam konteks jemaat
biasa tanpa terkecuali.
Penulis memilih gereja yang akan penulis teliti yakni GKJ Gondokusuman
Yogyakarta (selanjutnya disebut GKJ Gondokusuman), dengan beberapa alasan sebagai
berikut :
'merayakan, belajar, melayani dan membagi' (p. 195). Semua kata kerja ini menunjuk pada praksis yang
didalamnya mencakup baik teori maupun praktek.
18
Christiaan de Jonge, Menuju Keesaan Gereja, p.2.
19
J.B Banawiratma, Kata Pengantar dalam John Mansford Prior, Meneliti Jemaat: Pedoman Riset
Partisipatoris (Jakarta: Grasindo, 1997) p.x.
20
PGI, DKG 2000 (Jakarta: PGI, 2000) p.3.
3. GKJ Gondokusuman melalui sinode GKJ merupakan salah satu gereja yang
mencetuskan berdirinya PGI pada tahun 1950 (pada waktu itu bernama Dewan Gereja-
KD
sampai dengan tahun 2012), baik di kalangan pendeta maupun jemaat secara khusus di
lingkungan GKJ Gondokusuman sebagai bagian dari sinode GKJ.
21
Majelis Jemaat GKJ Sawokembar Gondokusuman, 75 tahun Jemaat Kristen Jawa Sawokembar
Gondokusuman Yogyakarta (Yogyakarta: MJ GKJ Sawokembar Gondokusuman,1988) p.33.
22
Fridolin Ukur, Menapaki Masa Depan Bersama : Suatu Tinjauan Historis, dalam J.M. Pattiasina dan
Weinata Sairin (Ed), Gerakan Oikumene: Tegar Mekar di Bumi Pancasila: Buku Peringatan 40 Tahun
PGI (Jakarta: BPK GM, 1997) pp.20-21.
Loji Kecil, Kota Baru, dan Sagan.23 Jemaat GKJ Gondokusuman juga merupakan
jemaat yang plural, misalnya para mahasiswa yang bergereja di GKJ Gondokusuman
berasal dari daerah-daerah di seluruh Indonesia, sehingga jemaat GKJ Gondokusuman
bukan hanya terdiri dari suku Jawa saja, tetapi juga terdiri dari suku non-Jawa misalnya
suku Batak, Nias, Dayak, Manado dan sebagainya.
5. Yogyakarta merupakan suatu pusat yang penting bagi GKJ karena di sana terdapat
pusat pelayanan persekolahan, kesehatan dan pendidikan termasuk pendidikan teologi.
GKJ mencoba untuk memperluas panggilan pelayanannya ke luar yakni berpartisipasi
dalam lingkup masyarakat. Melalui pelayanan kesehatan dan pendidikan yang
KD
pandangan GKJ tentang gereja sebagai organisme yang melakukan Pekabaran Injil (PI)
yakni mendatangkan damai sejahtera dalam konteks di mana pun gereja berada.24
6. GKJ Gondokusuman melalui sinode GKJ merupakan anggota dari badan-badan
7. Dukungan terhadap upaya mewujudkan GO juga nampak dalam upaya sinode GKJ
yang menggunakan tema dari Sidang Raya WCC ke-10 di Busan pada tahun 2013
mendatang yakni, Allah kehidupan, tuntunlah kami dalam kebenaran dan keadilan
sebagai tema persidangan sinode GKJ di Sragen, 11-13 September 2012 dan di
Karanganyar, 13-17 Nopember 2012. Tema tersebut mengajak gereja
untuk
berpartisipasi dan terlibat dalam seluruh kehidupan di dunia. Dalam konteks Asia, tema
23
Imam Subkhan, City Of Tolerance: Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya (Yogyakarta: Kanisius,
2007) pp.56-57.
24
Hadi Purnomo dan M. Suprihadi Sastrosupono (Ed) , GKJ : Gereja-gereja Kristen Jawa Benih yang
Tumbuh dan berkembang di Tanah Jawa (Yogyakarta: TPK, 1988) p.113.
25
PGI bekerja sama dengan CCA menggelar program bersama, yakni kursus (pelatihan) Nasional
Ekumenis Asia (Basic Ecumenical Course) yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 2-15 Mei
2011. Lihat Lampiran I: Wawancara Pendeta I, hal.1.
tersebut juga dipandang relevan karena bersentuhan langsung dengan masalah gender
justice, economic justice, dan pentingnya menghidupi kebersamaan di tengah
kepelbagaian suku, agama dan kepercayaan.26
8. Mulai pertengahan tahun 2009 hingga sekarang, dalam warta jemaat GKJ
Gondokusuman, tercantum visi dan misi gereja yang yakni:
VISI: GKJ Gondokusuman menjadi gereja yang bertumbuh dalam Kristus untuk
mewartakan dan mewujudkan damai sejahtera bagi warga gereja dan masyarakat
melalui semua aspek kehidupan untuk menghadapi perubahan zaman.
MISI: GKJ Gondokusuman membangun kebersamaan dan menumbuh kembangkan
KD
dan PGI.27
berada yang juga bernuansa oikumenis dilihat dari pemahaman dan praksis WCC, CCA
mengkaji pemahaman dan praksis GO GKJ Gondokusuman. Hal ini selain berdasarkan
sejarah GKJ yang mendukung GO melalui badan-badan oikumenis seperti PGI, CCA
dan WCC, juga karena diperhadapkan pada kenyataan konteks GKJ Gondokusuman
Yogyakarta dan konteks dunia yang global, yang dipenuhi oleh persoalan-persoalan
yang kompleks seperti kemajemukan agama dan budaya, kemiskinan, perang,
diskriminasi, serta kerusakan lingkungan
Lihat Lampiran I: Wawancara Pendeta I, no 1.6, hal.2. Tercantum pula dalam website GKJ@
http://www.gkj.or.id diakses pada tanggal 20 Nopember 2012.
27
Lihat Lampiran I: Wawancara Pendeta I, no 5.7, hal.14.
28
Biro Penelitian dan Komunikasi PGI, Perbandingan Potret Diri Antar Gereja: Tantangan dan
10
dalam hal ini memiliki kenyataan majemuk. Gereja dipanggil untuk menempatkan diri
sebagai gereja yang tidak hanya menghidupi gereja setempat namun juga menghidupi
gereja sedunia dimana kesatuan dipahami sebagai kesatuan yang bergerak sampai ke
ujung bumi melalui kepelbagaian kontekstual.29
Dengan demikian penulis akan meneliti pemahaman dan praksis GO para pendeta
dan jemaat GKJ Gondokusuman Yogyakarta. Hal ini relevan, sebab GKJ Gondokusuman
hidup dalam konteks kemiskinan dan juga kemajemukan budaya maupun agama.30
KD
3. Apakah ada kesenjangan antara pemahaman dan praksis GO yang dilakukan pendeta
dengan jemaat GKJ Gondokusuman? Bila ya/tidak, mengapa?
Masalah yang hendak dikaji adalah persoalan pemahaman dan praksis GO GKJ
11
KD
mengingat perkembangan yang dinamis dari GO itu sendiri yang hingga saat ini (tahun
2012) terus dikembangkan oleh badan-badan oikumenis dunia seperti WCC, CCA dan
PGI yang memperjuangkan GO. Sementara itu, GKJ Gondokusuman Yogyakarta adalah
salah satu anggota dari badan-badan oikumenis tersebut yang ikut ambil bagian dalam
mendukung dan menghidupi GO.
3. Bermanfaat, sebab penelitian ini pada akhirnya dapat menjadi contoh dan inspirasi
bagi gereja-gereja dalam memahami dan mewujudkan
GO
dengan konteksnya, apalagi dalam konteks globalisasi dan masyarakat yang majemuk,
serta mendorong gereja mengambil sikap oikumenis dalam kehidupan bergerejawi dan
bermasyarakat.
I.6 Metodologi
I.6.1. Metode Penulisan
KD
secara jelas dan seobyektif mungkin, kemudian menganalisa data tersebut secara kritis.
31
Andreas B. Soebagyo, Pengantar Riset Kualitatif dan Kuantitatif (Bandung: Yayasan Kalam Hidup,
2004) p. 62.
13
a. Pendeta (istilah pendeta dalam konteks ini, berlaku jamak atau sama dengan para
pendeta). Pendeta GKJ Gondokusuman yang berjumlah 6 orang, terdiri dari 1 orang
perempuan dan 5 orang laki-laki dengan rentang usia, lamanya pelayanan dan
pengalaman selaku pendeta yang bervariasi. Dalam hal ini, terdapat dua orang di
antaranya yang aktif dalam GO di PGI, yakni sebagai Ketua PGI Wilayah dan ketua
PGI kota Yogyakarta, satu orang pendeta yang aktif sebagai kader oikumenis dan
menjadi utusan Sinode GKJ sebagai kader oikumenis, satu orang lagi yang diutus
sebagai pendeta Rumah Sakit di RS. Bethesda Yogyakarta, satu orang pendeta diutus
sebagai dosen di STAK (Sekolah Tinggi Agama Kristen) Marturia milik GKJ.
b. Jemaat (istilah jemaat dalam konteks ini merujuk atau sama dengan warga
gereja/anggota jemaat. Istilah jemaat juga merujuk pada majelis gereja (non-pendeta),
KD
pengurus wilayah, pengurus komisi dan anggota jemaat biasa baik itu laki-laki dan
perempuan). Mengingat keterbatasan yang ada, yakni tidak mungkin bisa meneliti
seluruh jemaat GKJ Gondokusuman yang berjumlah ribuan, maka penulis mengambil
sampel sebagian kecil jemaat saja, yakni jemaat GKJ Gondokusuman yang berada di
wilayah II (wilayah Reksonegaran) dari delapan belas wilayah jemaat yang ada.
32
L.J. Moleong, Dasar Penelitian Kualitatif: Perbedaan Antara Penelitian Kualitatif Dan Kuantitatif
dalam Pusat Pastoral Yogyakarta, Seri Pastoral 393 bidang Pembangunan Jemaat (Yogyakarta: Puskat,
2007) p.28.
14
jemaat, yang mana 10 orang jemaat yang penulis wawancarai juga termasuk dalam 45
orang jemaat yang mengisi kuesioner.
yang
PGI
KD
Bab ini berisi paparan mengenai pemahaman dan praksis GO di Asia yang
disoroti melalui badan-badan oikumenis di Asia yakni CCA dan PGI. Pembahasan
diawali dengan pemaparan konteks Asia, lalu perkembangan pemahaman dan praksis
GO di Asia melalui CCA dan PGI yang berupaya mewujudkan GO yang luas dan
holistik yakni GO dalam empat dimensi yang terdiri dari dimensi keesaan gereja,
dimensi hubungan antar umat beragama, dimensi sosial kemanusiaan dan dimensi
lingkungan hidup atau keutuhan ciptaan. Pemahaman dan praksis GO CCA dan PGI
dalam empat dimensi akan penulis gunakan sebagai landasan teologis dalam
menganalisa GO di GKJ Gondokusuman Yogyakarta.
15
dimensi keesaan gereja, dimensi hubungan antar umat beragama, dimensi sosial
KD
Bab ini berisi kesimpulan yang didasarkan atas uraian-uraian dalam bab-bab
16