Anda di halaman 1dari 48

MODEL-MODEL TEOLOGI KONTEKSTUAL

(Stephen B. Bevans)

DOSEN
Pdt. H.W.B. Sumakul, Ph.D

Kelompok 3

Pdt. Steven Manopo Alfrets Rumagit Reynaldi Kukihi


Pdt. Deysi Sarananung Reygen Porajow Nensi Pinatik
Pdt. Lidya Palkuak Gloria Wewengkang Abraham Paat

YAYASAN GMIM DS. A.Z.R WENAS


UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TOMOHON
FAKULTAS TEOLOGI
PROGRAM PASCASARJANA
2022
BAGIAN 1

TEOLOGI KONTEKSTUAL SEBAGAI IMPERATIF TEOLOGIS

Berteologi secara kontekstual bukan merupakan suatu pilihan yang bersifat fakultatif (tidak
diwajibkan, boleh dipilih). Kontekstualisasi teologi adalah upaya untuk memahami iman Kristen
dengan perspektif konteks tertentu dan ini merupakan sebuah imperatif teologis. Memahami
teologi sebagai sesuatu yang kontekstual berarti menegaskan sesuatu sebagai baru dan sekaligus
tradisional.

KONTEKSTUALISASI SEBAGAI SESUATU YANG BARU DAN SEKALIGUS


TRADISIONAL

Teologi Kontekstual Sebagai Sesuatu yang Sama Sekali Baru

Teologi dipahami sebagai sebuah refleksi iman menyangkut dua loci theologici (sumber
berteologi), yakni Kitab Suci dan tradisi, dan isinya tidak pernah berubah, dan berada di atas
kebudayaan serta ungkapan yang dikondisikan secara historis. Teologi yang berwajah kontekstual
menyadari bahwa kebudayaan, sejarah, bentuk-bentuk pemikiran kontemporer dan lainnya harus
diindahkan bersama dengan Kitab Suci dan tradisi sebagai sumber-sumber yang abash untuk
ungkapan teologis. Maka dewasa ini teologi memiliki tiga sumber atau loci theologici: Kitab Suci,
tradisi, dan pengalaman manusia sekarang ini atau konteks. Dikarenakan adanya revolusi dalam
cara berpikir dan memahami dunia itulah yang menjadi alasan mengapa pengalaman/konteks
ditambahkan pada sumber berteologi.

Charles Kraft memberikan gagasan bahwa s

Selalu ada perbedaan antara realitas dan pemahaman manusia yang dikondisikan secara
kultural atas realitas tersebut. Kita mengira bahwa relitas itu “ada di luar sana”, namun
kontruk mental realitas yang ada di dalam kepala kita itulah yang paling riil bagi kita. Allah
pencipta realitas, berada di luar kebudayaan yang mana pun. Makhluk manusia di lain
pihak, selalu terikat oleh kondisi kultural, subcultural serta kondisi psikologis untuk
mengindrai dan menafsirkan apa yang mereka lihat tentang realitas seturut cara-cara yang
cocok dengan kondisi-kondisi tersebut, Baik Allah yang mutlak maupun realitas yang

1
Allah ciptakan tidak bisa dipahami secara mutlak oleh makhluk manusia yang terikat
secara kultural.

Konteks kultural dan historis mempengaruhi cara orang memahami akan Allah serta
ungkapan iman mereka. Teologi dapat dipelajari dari orang-orang lain (dari kebudayaan dan
sejarah), akan tetapi teologi orang lain tidak bisa menjadi teologi milik sendiri. Henri Bouillard
mengatakan bahwa sebuah teologi yang tidak selaras dengan zaman adalah teologi palsu.
Pandangan ini diberikan pemahaman lebih luas bahwa sebuah teologi yang tidak memantulkan
zaman kita, kebudayaan kita dan keprihatian-keprihatinan kita (bersifat kontekstual) adalah juga
sebuah teologi palsu. Charles Kraft mengatakan bahwa teologi apabila ia dipandang sebagai tidak
relevan maka dalam kenyataanya memang tidak relevan.

Para teolog menyadari bahwa betapa pentingnya konteks dalam membentuk dan menata
pola pikir manusia, dan sekurang-kurangnya dalam benak beberapa orang kesakralan konteks
tersebut dalam bingkai pewahyuan Allah. Berteologi secara kontekstual berarti berteologi yang
serentak menghiraukan dua hal sekaligus. Pertama menghiraukan pengalaman iman dari masa
lampau yang terekam dalam Kitab Suci, dan dijaga afar tetap hidup, dilestarikan serta dibela.
Kedua, teologi kontekstual mengindahkan pengalaman masa sekarang, atau konteks aktual.
Sementara teologi harus setia kepada pengalaman dan konteks masa lampau secara utuh, maka ia
menjadi teologi yang autentik, asalkan benar-benar diterima sungguh-sungguh diambil dan
dijadikan sebagai milik kepunyaan sendiri. Tradisi yang diterima harus melalui filter pengalaman
individual serta pengalaman kolektif kontemporer, dan ini tidak dapat diteruskan dan diakui
sebagai milik sendiri apabila tidak melewati proses tersebut.

Tidak ada konteks yang bersifat statis, dan bahkan kebudayaan yang paling tradisional
pun adalah sesuatu yang senantiasa berkembang, entah maju atau mundur. Dewasa ini, ada dua
faktor secara khusus memiliki pengaruh kuat atas perubahan sosial di dalam berbagai kebudayaan.

1. Dampak kultural dari modernitas bersama dengan berbagai revolusi yang dibawa serta
oleh media elektronik dan perluasan jarring globar kontemporer.
2. Sisi idealis dari moderintas

2
Gambar 1
Teologi Kontekstual
Pengalaman masa lampau Pengalaman masa sekarang (konteks)
➔ 
__ Pengalaman personal/komunal
Yang terekam dalam Kitab Suci; __ Kebudayaan
disimpan, dibelah dalam tradisi. __ Lokasi sosial
__ Perubahan sosial

Gambar ini melukiskan peran sentral pengalaman/konteks (masa lampau dan masa kini) di dalam
setiap upaya berteologi.

Kontekstualisasi Sebagai Sesuatu yang Tradisional

Dalam berkontekstualisasi itu berarti melepaskan cara berteologi tradisional atau


menciptakan cara berteologi yang baru menyesuaikan konteks. Pada saat yang sama,
kontekstualisasi terbilang sangat tradisional. Setiap telaah tentang sejarah teologi menyingkapkan
bahwa setiap teologi iyang autentik telah berakar sangat mendalam pada sebuah konteks tertentu,
entah tersirat atau nyata.

MENGAPA DEWASA INI TEOLOGI MESTI KONTEKSTUAL

Faktor-Faktor Eksternal

Pertama adalah suatu ketidakpuasan umum baik di Dunia Pertama maupun di Dunia
Ketiga, menyangkut pendekatan-pendekatan klasik terhadap teologi. Di Dunia Pertama, beraneka
ragam jenis filsafat klasik yang di masa lampau berfungsi sebagai landasan teologi tampaknua
tidak senada dengan pengalaman kontemporer. Ada suatu gerakan untuk mendasarkan teologi
pada apa uang disebut-sebut sebagai “pemikiran proses”, dalam suatu upaya untuk berteologi
secara lebih selaras dengan wawasan-wawasan ilmu pengetahuan kontemporer.

Sedangkan Di Dunia Ketiga (Asia, Afrika, Amerika Latihn dan Oseania) orang-orang
Kristen menjadi kian sadar bahwa pendekatan-pendekatan tradisional terhadap teologi tidak

3
sungguh-sungguh bermakna dalam pola-pola kebudayaan serta bentuk-bentuk pemikiran mereka
sendiri. Pada tingkat yang lebih praktis, beberapa posisi teologi tradisional tampaknya sama sekali
tidak bersesuaian dengan seg-segi dalam kebudayaan-kebudayaan non Barat.

Alasan eksternal kedua mengapa teologi dewasa ini dipahami sebagai sesuatu yang niscaya
bersifat kontekstual ialah ciri opresif (bersifat menindas) dari pendekatan-pendekatan yang lebih
tua. Kemudian bertumbuhnya jati diri Gereja-Gereja lokal juga memberi sumbangsih kepada
keniscayaan pengembangan teologi-teologi yang bersifat kontekstual. Faktor lainnya yaitu
pemahaman tentang kebudayaan yang disediakan oleh ilmu-ilmu sosial kontemporer. Bernard
Lonergan membedakan antara paham kebudayaan klasik dan paham kebudayaan empiris.

Faktor-Faktor Internal

Faktor internal didorong maju oleh kekuatan-kekuatan sejarah dan pergerakan-pergerakan


zaman, sesungguhnya merupakan dinamika di dalam tubuh agama Kristen itu sendiri. Faktor ini
lebih dari faktor-faktor eksternal, secara khusus sangat mendukung sebuah teologi yang secara
serius menggubris kebudayan dan perubahan kebudayaan ketika ia berupaya memahami iman
Kristen.

Pertama, ciri inkarnatif agama Kristen. Pewartaan dalam Yohanes 3:16 dan Yohanes 1:14
mengenai kasih Allah akan dunia dan Allah menjadi seorang manusia dalam pribadi Yesus mau
terus menyentuh orang lain melalui perantaraan kita, kita sendiri harus melanjutkan proses
inkarnasi tersebut. Melalui diri kita, Allah mesti menjadi orang Asia atau Afrika, hitam atau coklat,
miskin atau canggih dan lainnya.

Faktor internal yang kedua ialah ciri sakramental dari realitas. Doktrin inkarnasi
memaklumkan bahwa Allah diwahyukan dalam realitas nyata. Dalam diri Yesus kita berjumpa
dengan Allah secara paling penuh. Perjumpaan dengan Allah di dalam diri Yesus terus
berlangsung di tengah dunia kita melalui hal-hal konkret.

Apabila hal-hal biasa dalam kehidupan sedemikian transparan bagi kehadiran Allah, maka
kita dapat berbicara tentang kebudayaan dan tentang peristiwa-peristiwa dalam sejarah tentang
konteks sebagai yang sungguh-sungguh bersifat sakramental dan karenanya mewahyukan
kehadiran Allah.

4
Ketiga berbicara tentang suatu pergeseran dalam pemahaman tentang hakikat pewahyuan
ilahi sebagai sebuah faktor internal yang menentukan ciri kontekstual teologi. Tindak pewahyuan
Allah seturut pengertian ini, dilihat sebagai ihwal membiarkan orang mengetahui potongan-
potongan tertentu dari informasi rahasia tentang Allah, dunia dan diri mereka sendiri. Pewahyuan
Allah menyangkut kebenaran-kebenaran ini telah berakhir dengan “kematian rasul yang terakhir”
sehingga tidak ada sesuatu pun yang dapat kita lakukan selain mengkomunikasikan kebenaran-
kebenaran tersebut dari satu angkatan ke angkatan yang lain dan dengan serius berupaya
menyelami maknanya. Apabila pewahyuan dipahami sebagai kebenaran-kebenaran abadi yang
dibingkai dalam bahasailahi yang tidak berubah dan tidak dapat diubah, maka teologi hanya bisa
dimengerti sebagai sesuati yang tidak berubah, dan hanya sedikit atau sama sekali tidak memiliki
kaitannya dengan realitas-realitas budaya serta perubahan sosial. Maka dari itu pewahyuan Allah
dilihat sebagai sesuatu yang terus berlanjut karena Allah senantiasa menawarkan diri-Nya kepada
manusia di dalam hidup mereka sehari-hari.

Faktor internal yang terakhir di dalam agama Kristen yang mengharuskan adanya
kontekstualisasi dapat ditemukan dalam doktrin yang menjadi jantung afama Kristen itu sendiri,
yakni Trinitas. Teologi kontemporer menyaksikan suatu pembaruan serta peremajaan dalam
pemikiran tentang Allah Tritunggal, dan sekali lagi menempatkannya pada pusat dan sumber dari
ihwal berteologi Kristen.

5
BAGIAN 2

PERSOALAN-PERSOALAN DALAM TEOLOGI KONTEKSTUAL

Seorang teolog kontekstual menghadapi sejumlah persoalan dan pertanyaan yang jarang
dibahas dalam teologi klasik. Kalau teologi klasik memahami teologi sebagai sesuatu yang bersifat
obyektif , maka Teologi kontekstual memahami teologi sebagai sesuatu yang bersifat subyektif
dan sikap baru terhadap kebudayaan yang tercakup dalam upaya kontekstualisasi. Persoalan-
persoalan yang ada di sekitar teologi kontekstual dapat diklasifikasi ke dalam empat kelompok
yaitu menyangkut : Metode Teologi , Kiblat Dasar Teologi Kriteria untuk ortodoksi dan Jati diri
Regiositas Kerakyatan dan Perubahan Sosial

Stephen Bevans meringkas dan membuat refleksi atas persoalan-persoalan dalam kontekstualisasi

1. Persoalan menyangkut Metode Teologi

Cara atau metode Teologi kontekstual berbeda dengan cara berteologi tradisional/ klasik , dimana
pada teologi kontekstual menambahkan kebudayaan dan perubahan sosial pada loci tradisional ,
kitab suci dan tradisi. Dalam hal ini terjadi revolusi metode teologi , suatu perubahan yang
mendasar dari loci tradisonal , yakni kitab suci dan tradisi kepada pengalaman-pengalaman
manusia dan tradisi Kristen sekarang ini.

Ketika kita mulai menggubris kebudayaan dan perubahan kebudayaan secara sungguh-sungguh,
maka isi teologis bukan merupakan satu-satunya hal yang kena dampaknya, Bentuk teologi juga
berada di bawah pengaruh loci seperti itu, Dalam sebuah kebudayaan Afrika misalnya , bentuk
terbaik dari berteologi berupa pengumpulan, penciptaan atau regleksi atas rupa-rupa tamsil atau
pepatah, Dalam kebudayaan Afro Amerika Serikat , khotbah merupakan wahana terbaik untuk
berteologi. Di India iman barangkali diungkapkan secara paling baik dalam bentuk tarian. Teologi
lebih luas dari ihwal keilmuan dan beragam kebudayaan memiliki cara-cara pilihannya sendiri
untuk membahasakan iman mereka. Demikian juga karya-karya seni , himne, cerita , drama, buku
komiik , film dan semua media ini dapat menjadi bnetuk yang sah bagi teologi dalam kebudayaan-
kebudayaan tertentu..

Siapa yang Berteologi ?

6
Sejauh teologi dimengerti sebagai refleksi atas berbagai dokumen yang membutuhkan latar
belakang ketrampilan yang cukup banyak untuk memahaminya. Maka Seorang teolog haruslah
seorang pakar , seorang akademisi, seorang spesialisyang berpendidikan tinggi dengan
pengetahuan yang luas menyangkut tradisi Kristen, sejarah doktrin, ketrampilan berbahasa dan
hermeunetika.. Namun ketika teologi dipahami dari segi pengungkapan pengalaman orang masa
kini berkenaan dengan imannya maka persolan lalu muncul entah orang kebanyakan , atau orang
yang bersentuhan dengan kehidupan sehari-hari , yang menderita di bawah beban kecemasan dan
penindasasan dll.

Sejumlah teologi kontekstual menandaskan bahwa teologi sebenarnya tidak dilakukan oleh para
pakar. Peran seorang teolog terlatih (imam, pengajar teologi) ialah untuk membahasakan secara
lebih jelas apa ang diungkapan umat secara umum atay belum jelas, memperdalam gagasa-gagasan
umat dengan menyiapkan bagi mereka Khazana kekayaan tradisi Kristen, sebagaimana dikatakan
seorang teolog Filipina Leonardo Mercado , bahwa umat adalah pelaku kontekstualisasi yang
terbaik. Dan peran para teolog ialah bertindak sebagai seorang bidan bagi umat ketika mereka
melahirkan sebuahh telogi yang sungguh-sungguh berakar di dala sebuah kebudayaan dan pada
moment historis tertentu.

Sebuah pertanyaan “ Dapatkalh seorang yang bukan Berasal dari sebuah konteks tertentu
berteologi secara kontektual ?

Di satu sisi ada yang tegas mengatakan Tidak sebagaimana juga yang disampaikan Emerson
seorang pribadi yang tidak sepenuhnya turut seta dalam pengalaman kita tidak boleh seluruhnya
dipercaya untuk berb icara tentang Allah seturut konteks orang tersebut , Orang – orang bukan
Afrika tidak mengetahui bagaimana orang-orang Afrika erasakan atau menangkap realitas ; Orang-
orang putih tidak dapat mulai memahami cara -cara terselubung orang-orang hitam mengalami
tidak saja prasangka terbuka tetapi juga ;enindasan yang lebih terselubung sehingga tidak dapat
dilihat dan tidak dapat didengar.

Di sisi lain atau taraf lain sampai pada tingkat tertentu , menyebutkan orang yang tidak mengambil
bagian secara penuh dalam pengalaman orang lain bisa memberi sumbangsih bagi pengembangan
sebuah teologi kontekstual.karena orang tersebut mau mendekati kebudayaan dan konteks,
mempelajari secara mendalam Bahasa-bahasa , membaca dan mengkaji literatur sosiologis dan
antropologis mengenaii kebudayaan bersangkutan .

7
2. Persoalan menyangkut Kiblat Dasar Teologi

Ada dua kiblat dasar teologis dalam teologi yang nampaknya memiliki relevansi dalam
berteologi kontekstual, yakni Kiblat teologi berpusat pada Ciptaan dan Kiblat teologi yang
berpusat pada penebusan .

Kiblat teologi berpusat pada ciptaan dicirikan oleh keyakinnan bahwa pengalaman manusia
dan konteksnya dipandang baik. Perpektifnya ialah bahwa rahmat dibangun di atas kodrat
namun hanya karena kodrat itu memiliki kemampuan untuk dikembangkan ,
disempurnakan dalam sebuah relasi adikodtarai dengan Allah. Kiblat berpusat pada ciptaan
melihat dunia ciptaan sebagai tempat dimana Allah mewahyukan diriNya. Teologi
berpusat pada ciptaan mengakui realitas manusia dan keburukan dosa..

Sebaliknya Kiblat teologi yang berpusat pada penebusan dicirikan oleh keyakinan bahwa
kebudayaan dan pengalaman manusia , entah membutuhkan sebuah transformasi radikal
atau perlu digantikan sama sekali. Dalam perspektif ini rahmat tidak dapat dibangun di
atas maupun menyempurnakan kodrat, karena kodrat itu telah rusak. Oleh sebab itu
Kristus mesti dibawa masuk ke dalam kebudayaan , agar bisa memiliki makna yang
menyelamatkan.

3. Persoalan Kriteria untuk ortodoksi


Satu bahaya ril dalam upaya kontekstualisasi ialah bahwa orang dapat mencampuradukan
agama Kristen dan kebudayaan sedemikian rupa sehingga ia tidak memperkaya tetapi
justru mengkompromikan dan mengkhianati agama Kristen . Kenyataan bahwa sebuah
teologi yang secara sungguh-sungguh menggubruis kebudayaan dapat dengan gampang
beralih menjadi sebuah ‘teologi kebudayaan” mengikuti jejak teologi liberal dari abad ke
19 .\ Seorang Teolog yang mengangkat ihwal kebudayaan dan perubahan kebudayaan
secara sungguh-sungguh , maka ia dapat jatuh ke dalam bahaya menggubris realitas-
realitas ini, jauh lebih serius dari pada menindahkan tradisi-tradisi Yahudi dan Kristen
sebagaiman terungkap dalam Kitab Suci dan tradisi gereja. Namun jauh lebih berbahaya

8
sebiah teologi yang tidak berbicara kepada seorangpun juga, yang tidak mempunyai
kekuatan karena ia tidak memiliki audiens yang rill.
Teologi konntekstual akan terus mencari kriteria , selalu mencamkan bahwa Injil hanya
bisa setia kepada masa lampau apabila ia bersinggungan dengan masa sekarang.

4. Persoalan-Persoalan menyangkut Jati Diri , Relegiositas Kerakyatan dan Perubahan Sosial

Kesadaran dasar yang menghargai pentingnya kebudayaan sebagai sebuah sumber teologi
merupakan cara berteologi yang sungguh-sungguh unggul dan abash di dalam satu konteks
tertentu . Akan tetapi cara inipun memiliki kekurangannya. Salah satu kelemahannya dalam
ihwal mencari jati diri budaya sebagai sebuah sumber teologi ialah bahaya jatuh ke dalam
semacam romantisme budaya, yaitu melandaskan teologi bukan pada kebudayaan
sebagaimana adanya pada saat sekarang ini, melainkan pada apa yang disebut oleh John
Pobee, Seorang Teolog Afrika sebagai “Fosil Budaya” yaitu suatu kebudayaan yang pernah
ada sebelum era kolonisasi, namun setelah era kolonisasi dan kontak dengan dunia Barat
kini tidak ada lagi , kecuali dalamm fantasi romantic beberapa kalangan.

Kebudayaan tidak bersirat staris , kebudayaan iitu realistis yang selalu mengalir selalu
beradaptasi , selalu berubah.

Apabila teologi itu mau sungguh-sungguh berada dalam konteks maka ia tidak bisa
mengutak atik suatu kebudayaan yang tidak lagi benar-benar ada . Kebudayaan tetap
tinggal sebagai suatu faktor , namun bukan merupakan satu-satunya faktor yang perlu
diindahkan.

Bahaya lain bagi sebuah teologi yang menaruh terlalu banyak penekanan pada jati diri
budaya ialah kemungkinnan konflik dengn apa yang disebut sebagai “Religiositas
kerakyatan”

9
BAGIAN 3

BAB 3

PENGERTIAN DAN PENGGUNAAN MODEL-MODEL

Pengertian Model

Model-model dalam pengartian yang sering digunakan dalam teologi sering di sebut
sebagai model teoritis. Menurut Ian G Barbour, mengapa di katakan model teoritis, karena untuk
suatu perbandingan penggunaanya dalam bidang Ilmu pengetahuan dan teologi. Barbour sendiri
mendefinisikan model ini sebagai representasi simbolis dari segi-segi yang dipilih menyangkut
tingkah laku dari suatu system majemuk untuk maksud tertentu.

Menggunakan model-model ini merupakan suatu cara dalam membedah suatu realitas yang
majemuk dan sangat beraneka ragam. Model-model ini sama seperti gambaran dan symbol, yang
menyediakan berbagai cara untuk mengetahui realitas dalam seluruh kekayaan dan
kemajemukannya. Model teoritis ini merupakan sebuah kasus yang berguna untuk
menyederhanakan sebuah realitas yang majemuk, walaupun dalam penyederhanaanya tidak secara
penuh menangkap realitas tersebut, tapi tetap sungguh-sungguh dalam memberikan suatu
pengetahuan tentang realitasnya.

Penggunaan Model-Model Dalam buku ini

Ada beberapa model-model yang secara singkat di sebutkan yakni:

- Model Terjemahan, model ini merupakan model yang menghargai teks, penghargaan
terhadap konteks lebih menonjol bukan hanya sekedar menjadi sarana yang akan berharga,
apabila ada inti atau isi didalamnya.model ini merupakan model yang mengindahkan
pengalaman, kebudayaan, lokasi social serta perubahan budaya, namun memberikan lebih
banyak penekanan pada kesetiaan terhadap apa yang di pandang sebagai hal-hal yang
hakiki dari kitab suci.

10
- Model Antropologis, model ini menekankan jati diri budaya dan relevansinya untuk
teologi lebih dari kitab suci atau tradisi, yang di pandang penting dan hasilnya berasal dari
teologi-teologi yang relatif bersifat kontekstual.
- Model Praksis, model ini membidik penting atau perlunya konteks yang melibatkan
perubahan sosial dalam merumuskan imannya.
- Model sintesis, model ini menjaga keseimbangan di antara 4 unsur model yang di sebutkan
tadi. Model sintesis bertujuan untuk mempertahankan injil, konteks lain, dialogis dan
analogis. Model tersebut merupakan campur aduk dari berbagai konteks hidup manusia,
setiap konteks memiliki keunikan masing-masing, setiap orang bisa belajar dari orang lain
dan pengakuan diri sendiri oleh orang lain.
- Model transcendental, model ini memusatkan perhatiannya bukan pada isi yang di
rumuskan, melainkan model ini memusatkan perhatiannya pada subjek yang merumuskan
itu. Singkatnya model ini memusatkan perhatian pada subjek yang berteologi di
bandingkan dengan kandungan teologi.
- Model budaya tandingan, model ini mengakui pentingknya konteks. Model ini
merupakan perjumpaan atau keterlibatan konteks melalui analisis kritis, namun tetap
menghargai injil seutuhnya dalam nubuat injil secara dinamis ditengah lingkungan yang
kuat bahkan dalam keadaan bermusuhan sekalipun. Model budaya tandingan setia terhadap
injil dan tidak berada jauh dari injil, model ini tetap mempertahankan injilnya dan berusaha
agar relevan dan tetap berpusat pada konteks.

Model-model yang di sebutkan ini meskipun punya khas masing-masing, namun masing-
masing bisa di gunakan secara bersama dengan model-model yang lain tidak ada model yang
digunakan secara eksklusif atau terpisah, karena model-model ini menunjukan keanekaragaman
dalam pendekatan yang sungguh-sungguh dan di gunakan untuk mengembangkan teologi
kontekstual yang dewasa.

Prosedur Bab-Bab yang menyusul

Bagian ini membahas mengenai beberapa bab selanjutnya yang akan membahas mengenai
model-model teologi kontekstual dan membantu untuk memahami dan menggunakan model-
model ini.

11
Pada bagian pertama setiap bab akan memuat suatu penjelasan dan penilaian atas model
yang sedang di selisik. Bagian kedua dari setiap bab berisi karya daru dua orang teolog yang
menggunakan model-model tersebut. Bagian penutup disisipkan sebuah diagram yang
meringkaskan ciri-ciri utama dari masing-masing model.

12
BAGIAN 4

MODEL TERJEMAHAN

Model terjemahan adalah model teologi kontekstual yang paling umum dipakai. Robert
Schreiter menandaskan bahwa banyak hal dalam pembaruan atas teks-teks liturgy Katolik Roma
diarahkan oleh pendekatan terjemahan, dengan hanya mempertahankan yang hakiki dari upacara-
upcara itu, dengan menyesuaikan kebiasaan-kebiasaan yang dipandang tidak penting dalam
kebudayaan dan praktik setempat. Dalam tulisan kamus teologi liturgy, Penggunaan istilah
“adaptasi” cocok dan tepat untuk menerangkan cara yang diperlukan liturgy perlukan untuk
hubungan dengan kebudayaan-kebudayaan tertentu.

Model ini dapat ditemukan didalam Kitab Suci. Paus Yohanes Paulus II menulis bahwa
Khotbah-khotbah Paulus di Listra dan Athena(Kis 14:15-17 dan 17:22-31) “Merupakan khotbah-
khotbah yang memberikan contoh tentang Inkulturasi Injil”.

Dalam banyak hal, setiap model Teologi kontekstual merupakan model terjemahan. Karena
selalu da sebuah isi yang mesti diadaptasi atau diakomodasi pada sebuah kebudayaan tertentu.
Namun, yang membedakan model terjemahan dengan model yang lain adalah penekanannya pada
pewartaan Injil sebagai suatu pewartaan yang tidak berubah.

Garis Besar Model Terjemahan

Terminology

Pada bab ini, Terjemahan yang dimaksud bukanlah terjemahan harfiah, kata demi kata atau
tata bahasa. Setiap terjemahan harus menjadi terjemahan atas makna. Suatu terjemahan yang baik
adalah terjemahan yang berhasil menangkap jiwa dari sebuah teks.

Contoh : Ada seorang suster yang bekerja di Amerika selama beberapa tahun, namun tidak
menguasai bahasa Inggris. Dalam perjalanan dia sering bertemu dengan penulis dan penulis sering
menggodanya (mengganggu), dan sopir kendaraan itu berkata kepada suster itu agar tidak usah
peduli dengan yang mereka katakan, karena mereka hanya menggodanya (dengan menggunakan
frasa”pull her leg”, dalam arti harafiah, menarik kakinya, dalam sebuah idiom itu berarti
menggoda, mengganggu). Suster itu heran karena mereka tidak menarik kakinya.

13
Dari contoh tersebut terjemahan harafiahnya atas idiom itu jelas-jelas melenceng dari
maksud pembicaraan.

Menurut Charles Craft terjemahan mesti dilakukan dengan padanan fungsional atau
dinamis. Sasaran dari metode terjemahan padanan dinamis ini ialah untuk menghasilkan reaksi
yang sama pada para pendengar atau pembaca kontemporer sebagaimana yang dahulu terjadi pada
para pendengar atau pembaca asli. Eugene Nida dan Charles Taber berpendapat, “ Sebuah
terjemahan Alkitab tidak hanya memberi informasi yang bisa dipahami orang, tetapi juga mesti
menampilkan pewartaan itu sedemikian rupa sehingga orang dapat merasakan relevansinya (unsur
pernyataan perasaan dalam komunikasi), dan kemudian menanggapinya dalam kegiatan
nyata(fungsi Imperatif).

Dengan model terjemahan, yang dimaksud bukanlah penyesuaian kata demi kata,
katakanlah, bahasa doktrinal satu budaya ke dalam bahasa doktrinal kebudayaan yang lain. Yang
dimaksud dengan terjemahan disini adalah terjemahan makna doktrin-doktrin itu ke dalam konteks
budaya yang lain.

Pengandaian - Pengandaian Model Terjemahan Pengandaian

Kunci dari model terjemahan adalah bahwa pewartaan hakiki agama Kristen bersifat adi -
budaya atau adi - kontekstual . Max Stackhouse menguraikan garis besar empat doktrin dasar yang
dianggap sebagai asas bagi ortodoksi Kristen, dan yang" menunjuk pada suatu kebenaran yang
tidak saja berlaku untuk orang-orang yang sudah percaya, tetapi untuk semua orang, di semua
tempat. " Keempat doktrin itu adalah (1) bahwa umat manusia telah jatuh dalam dosa dan
penyembuhan serta keselamatan; (2) bahwa, sebagaimana yang disaksikan oleh Kitab Suci, tenda
pewahyuan Allah berlangsung dalam sejarah manusia; (3) Allah Tritunggal secara paling baik.
membahasakan Allah yang benar lagi sejati itu, dan apa arti iman akan Allah bagi kehidupan di
dunia ini;dan (4) bahwa Yesus adalah Kristus - dalam Yesus, dapat menemukan makna kehidupan
yang benar.

Secara metodologi, Titik tolak dalam proses ini adalah selalu doktrin yang bersifat adi-
budaya dan adi kontekstual. Kalau kita terjemahan dari Robert McAfe Brown, bagi model, isi Injil
yang mempengaruhi konteks budaya dan sosial. Tentu saja pengalaman, kebudayaan, lokasi sosial
dan perubahan sosial diakui sebagai sesuatu yang penting, namun kebudayaan itu tidak pernah

14
sama pentingnya dengan pewartaan Injil yang bersifat adi-budaya dan "tidak pernah berubah", Jika
nilai-nilai Injil budaya saling bertabrakan dalam evangelisasi atau proses kontekstual, maka tidak
diragukan lagi bahwa isi pewartaan injil dipertahankan, dan bukanya nnilai-nilai dan praktik-
praktik yang terdapat dalam kebudayaan yang bersangkutan. Pada akhirnya Injil merupakan
hakim atas semua konteks, walaupun Injil berupaya bekerja dengan dan di dalam semua konteks.
Situasi kontekstual pada akhirnya merupakan wahana pewartaan. Pewartaan Injil asli dibungkus
dalam sebuah budaya tertentu dan terwujud dalam pribadi - pribadi dan pengalaman - pengalaman
tertentu, namun kenyataan - kenyataan kontekstual ini juga bisa diganti atau dilepas dalam sebuah
perjumpaan dengan budaya - kebudayaan yang lain dan situasi pada zaman yang lain.

Pewahyuan dimengerti sebagai komunikasi sejumlah kebenaran atau doktrin tertentu dari
pihak Allah, dan oleh karena kebenaran dan doktrin itu berasal dari Allah maka seluruhnya bebas
dari keterbatasan budaya, atau dibungkus dalam kebudayaan yang dibenarkan oleh Allah.

Satu pengandaian akhir yang patut dipertimbangkan dengan model terjemahan ialah
keyakinannya, walaupun secara tersirat dan tidak ditandaskan secara jelas, bahwa semua budaya
memiliki struktur dasar yang serupa. Walaupun terdapat rupa-rupa cara pengekspresian dan pola
tingkah laku yang unik untuk setiap kebudayaan, namun masih ada kemungkinan untuk
menemukan semacam padanan kasar antara setiap segi dari satu kebudayaan dan setiap segi dari
kebudayaan yang lain. Pengandaian ini bersifat mutlak agar dasar model terjemahan itu bisa
diterapkan dalam praktik: bahwa setiap gagasan tentang satu titik budaya dapat diterjemahkan
dalam bahasa lain - yang tidak tepat-persis, maka paling sedikit secara setara. Prosedur itu
seumpama seseorang yang membawa benih dari satu lokasi tertentu ke lokasi lain. Ia akan
menanam benih itu di tanah yang baru tersebut dengan keyakinan bahwa tanah itu pada dasarnya
sama dengan tanah tempat asal benih tadi. Benih itu akan berkecambah dan tumbuh serta
mengakar di tanah yang baru itu, walaupun asal-usul benih itu berasal dari satu tempat yang lain.
Demikianlah Injil ditaburkan dalam konteks pengalaman kaum muda, atau kebudayaan Asia, atau
di antara kaum perempuan Hispanik/Latina di New Jersey, atau di antara para petani Filipina.
Benih itu akan berakar dalam konteks - konteks tersebut, namun ia selalu merupakan sabda kekal
yang dimakkan dalam konteks dari dunia yang berubah.

Tinjauan Atas Model Terjemahan

15
Model terjemahan secara sungguh - sungguh mengindahkan pewartaan agama Kristen
sebagai mana yang direkam dalam Kitab Suci dan dalam tradisi . Penekannya pada jati diri Kristen
lebih penting dari realitas kontekstual atau jati diri budaya. Ciri penting lainnya dari model
terjemahan adalah bahwa model ini mengakui ambivalensi realitas kontekstual, entah itu
pengalaman seseorang atau sebuah masyarakat, tatanan nilai dari suatu budaya atau agama, lokasi
sosial seseorang atau gerakan – gerakan perubahan ditengah dunia.

model terjemahan dapat digunakan oleh setiap orang yang memiliki komitmen terhadap
satu budaya atau situasi tertentu, baik non-partisipan atau partisipan. Model terjemahan tidak bisa
ditolak atau diterima tanpa sikap kritis. model terjemahan tidak pernah bergerak melampaui sebuah
akomodasi atau adaptasi dari sebuah isi tertentu.

Contoh-contoh Model Terjemahan

Saya akan memusatkan perhatian pada dua orang teolog. Yang pertama, David J.
Hesselgrave, adalah juru bicara utama untuk tradisi teologi evangelikal. Yang kedua, Paus
Yohanes Paulus II, yang telah merumuskan gagasan-gagasannya tentang inkulturasi pada banyak
perjalanan atau penziarahannya dalam kapasitasnya sebagai pemimpin kolegium Gereja Katolik
Roma.

David J. Hesselgrave

Hesselgrave David J. Hesselgrave menjalani pendidikannya di Trinity Evangeli cal


Divinity School, di Deerfield, Illinois, dan Universitas Minnesota (di mana ia memperoleh gelar
Ph.D-nya) dan berkarya sebagai seorang misionaris di Jepang selama dua belas tahun. Ia telah
menyumbangkan rupa-rupa tulisannya pada berbagai jurnal misiolog.

Hesselgrave menyajikan pendekatan yang merupakan suatu pendekatan terhadap upaya


kontekstualisasi teologi dan pembatasan pada perjumpaan perdana agama Kristen dengan sebuah
budaya bukan Kristen, namun pendekatan ini merupakan sebuah perumusan yang menyeluruh lagi
ampuh dari suatu pendekatan yang sungguh - sungguh mau setia kepada amanat Kristen, seraya
berupaya tetap relevan bagi orang-orang yang cara pandangnya budaya yang berlainan. Sikap
dasar Hesselgrave terhadap kontekstualisasi adalah sangat jelas: kontekstualisasi itu bukan soal
pilihan atau selera; kontekstualisasi merupakan suatu keniscayaan misiologis dan teologis.

16
seseorang dapat sungguh - sungguh mampu mengomunikasikan Injil di dalam rupa - rupa
cara pandang yang berbeda dan radikal di tengah dunia, Umumnya ia harus memberi perhatian
pada dirinya sendiri sebagai sumber, amanat Injil sebagai substansi, dan gaya sebagai sarana
komunikasi. Contoh, di dalam cara pandang kaum Hindu dan Buddhis, seorang misio naris mesti
dilihat sebagai seorang tokoh yang memiliki kerohanian yang mendalam, seorang guru, dan
terutama nian seorang pribadi yang menyangkal harta benda duniawi. Injil mesti disajikan dalam
bingkai Pengampunan dan damai personal, dan gayanya harus bersifat sangat spiritual.

Paus Yohanes Paulus II

Gereja Katolik pada zaman kita sekarang ini menyaksikan dan mengalami peningkatan
peran kedudukan kebudayaan bangsa demi eksistensi kristiani serta bentuk ungkapan teologis yang
sejati. Kalau kita mempertimbangkan pendekatan yang bersifat agak anti-budaya dan a-historis
dari Pius IX dalam "Silabus kesalahan" pada paruh terakhir abad ke-19 (1864, bdk. DS 2901-
2980), dan kutukan Pius X terhadap "modernisme" pada asalnya ke-20 (1907, bdk. DS 3475-
3500), maka per lakuan terhadap kebudayaan dalam Konsili Vatikan II menunjukkan bahwa suatu
"kesadaran budaya" yang sesungguhnya telah berkem bang sejak masa pemerintahan Paus Leo
XIII, Pius XI dan Pius XII . Dalam tahun-tahun sebelum Konsili, Paus Paulus VI sangat teguh
dalam keyakinannya bahwa bukan hanya orang perorangan, melainkan juga kebudayaan mereka,
harus diinjili.

Paus memperkenalkan istilah inkulturasi ke dalam bahasa resmi gerejani dalam sebuah
amanat kepada Komisi Kitab Suci Kepausan pada tahun 1979, dan kutipan dari amanat itu muncul
dalam Imbauan Apostolik Catechesi Tradendae yang terbit pada tahun yang sama. Dalam kutipan
dari dokumen akhir dari Sinode Luar Biasa tahun 1985: inkulturasi "berarti suatu transformasi
yang mendalam atas nilai-nilai budaya yang autentik melalui integrasi mereka kenan dalan
meresapnya kekristenan ke dalam berbagai kebudayaan umat manusia".

Paus juga memperingatkan bahaya dari hal memberi prioritas kepada kebudayaan, dan
bukannya kepada Injil, serta membedakan "kulturalisme" semacam itu dari daya guna budaya yang
sesungguhnya “dalam rangka perilaku mahkan kembali dalam kata - kata baru dan sudut - sudut
pan dang baru wahyu alkitabiah yang telah diberikan kepada kita". dalam benak sri jeda adalah hal
menjaga kesatuan iman , dan hal ini dapat dicapai dengan keutamaan universalitas gerejani serta
bentuk ungkapan doctrinal.

17
Pada tahun 1982, ketika menyampaikan amanat pada kongres internasional tentang hidup
dan pemikiran seorang misionaris Yesuit, Matteo Ricci, Yohanes Paulus memuji karya Ricci yang
setara dengan karya Yustinus Martir, Klemens dari Aleksandria dan Origenes “dalam upaya
mereka menerjemahkan amanat iman kedalam istilah-istilah yang dapat dipahami oleh
kebudayaan di masanya". Tugas Ricci di Cina, sebagaimana yang diterangkan oleh salah seorang
teman sejawatnya dalam sepucuk suratnya kepada seorang sahabat, yaitu menjadi orang Cina, "ut
Christo Sinas lucrifaciamus" - guna memenangkan Cina bagi Kristus. Apa yang penting ialah
menemukan berbagai sumber daya yang ada di dalam sebuah kebudayaan yang dapat digunakan
untuk menjadikan Injil itu relevan.

Paus juga secara khusus memberi perhatian pada karya evanglisasi dari Santo Sirilus dan
Metodius. Yang melakukan upaya-upaya inkulturasi yang sesuai dengan ketetapan-ketetapan dari
berbagai konsili kuno, struktur dan organisasinya dapat ditegakan. Seperti Matteo Ricci, kesetian
kreatif kepada Injil dan Gereja inilah yang memungkinkan mereka begitu berhasil dalam karya
mereka.

18
BAGIAN 5

MODEL ANTROPOLOGIS

- Garis besar model antropologis


• Terminologi
Perhatian utama model antropologis adalah pengukuhan atau pelestarian jati
diri budaya oleh seorang pribadi yang beriman Kristen. Model antropologis ada dua
pengertian, yaitu model ini berpusat pada nilai dan kebaikan anthropos (pribadi
manusia). Dalam hal ini pengalaman manusia, yang dibatasi namun juga serentak
terpenuhi dalam kebudayaan, perubahan sosial serta lingkungan geografis dan
historis, dipandang sebagai kriteria penilaian yang mendasar menyangkut apakah
satu pengungkapan kontekstual tertentu terbilang sejati atau tidak. Di dalam setiap
pribadi dan setiap masyarakat serta lokasi sosial dan setiap budaya, Allah
menyatakan kehadiran ilahi-Nya. Kedua, model ini bersifat antropologis dalam arti
bahwa ia menggunakan wawasan ilmu sosial. Dengan menggunakan disiplin ilmu
ini, akan lebih memahami secara jelas jarring relasi manusia serta nilai-nilai yang
membentuk kebudayaan manusia, dan dalamnya Allah hadir, menawarkan
kehidupan, penyembuhan serta keutuhan. Arti kedua dari model antropologis ini
mengacu pada kenyataan bahwa penekanan utama dari pendekatan ini menyangkut
teologi kontekstual adalah kebudayaan.
Istilah indigenisasi cocok digunakan dalam pencabaran model yang satu ini,
karena istilah ini mengungkapkan gagasan bahwa model ini menaruh perhatian
pada apa yang asli atau pribumi dalam suatu bangsa dan kebudayaan.

• Pengalaman-pengalaman model antrologis


Model antropologis menekankan bahwa dalam kebudayaan manusia inilah,
kita menemukan pewahyuan Allah dalam setiap relasi manusia yang merupakan
unsur ketetapan dari keberadaan kultural. Dari sudut pandang praktisi model
antropologis memahami bahwa Kitab Suci adalah produk pengalaman-
pengalaman religius yang dibentuk secara sosial dan kultural. Demikian pula
model ini memandang doktrin-doktrin dalam suatu waktu yang dibentuk oleh

19
berbagai kebudayaan dan kepentingan sosio-politik Eropa Barat. Robert T. Rush
mencirikan perubahan yang telah terjadi dalam teologi misi sejak Konsili Vatikan
II ketika ia berbicara tentang suatu perubahan cintra menyangkut seorang
misionaris bukan lagi “saudagar mutiara” melainkan “pemburu harta karun”. Tentu
saja harta karun itu adalah rahmat Allah di dalam diri Kristus, dan kehadiran Allah
yang menyembuhkan dan menebus tersembunyi di dalam setiap kebudayaan dan
setiap agama di dalam kebudayaan-kebudayaan tertentu. Model antropologis
melihat adanya keuntungan timbal balik bagi kebudayaan tertentu maupun agama
Kristen pada umumnya. Pada dasarnya model antropologis melihat sebuah
kebudayaan tertentu sebagai sesuatu yang unik, dan penekanannya ada pada
keunikan itu, bukan pada keserupaan yang dimiliki konteks itu dengan kelompok-
kelompok kebudayaan yang lain.
Oleh karena itu, dengan menerapkan teknik-teknik antropologi dan sosiologi,
seorang praktisi model antropologis berupaya mendengarkan satu konteks tertentu
dalam rangka mendengarkan Firman Allah sendiri di tengah-tengah kemajemukan
kebudayaan. Hal menarik yang bisa ditemui dari model antropologis yaitu adanya
analisis “metalinguistik”, karena hal ini bermanfaat untuk mencapai jantung hati
sebuah kebudayaan di mana Allah menyatakan diri-Nya. Akhirnya, model
antropologis menggunakan kebijaksanaan yang dikumpulkan sedikit demi sedikit
dari dialog antaragama, darinya sebuah teologi yang sungguh-sungguh peka secara
budaya dapat dirumuskan.

• Tinjauan atas model antropologis


Kekuatan model ini berasal dari kenyataan bahwa ia melihat realitas manusia
dengan sangat bersungguh-sungguh dan memungkinkan orang untuk melihat
agama Kristen dalam satu terang yang baru dan segar. Menjadi orang Kristen,
demikian yang ditekankan oleh model antropologis ialah menjadi manusia yang
sesungguhnya, perihal menemukan suatu kehidupan yang barangkali lebih sarat
tantangan, namun selalu merasa hidup dalam segala kelimpahannya. Sisi
positifnya juga, model antropologis ini bermula dari tempat umat berada, dengan
rupa-rupa persoalan serta kepentingan riil umat, bukan dengan persoalan yang

20
dipertentangkan dengan konteks lain. Sebagai contoh antropolog Jon Kirby
menunjukkan bahwa evangelisasi di Afrika kurang berhasil oleh karena agama
Kristen tidak ditampilkan sebagai suatu sistem yang memecahkan masalah-
masalah yang sungguh-sungguh dipunyai oleh orang-orang Afrika. Bagaimana
mungkin kita berbicara tentang gereja Asia yang kian berkembang, atau
indigenisasi atau proses kontekstualisasi Injil tanpa pertama-tama membuka mata
dan telinga kepada masalah-masalah umat sebagaimana yang mereka alamai dan
pahami?. Maka model antropologis mencoba menjawab pertanyaan ini dengan
memprakarsai “sebuah dialog dengan tradisi Kristen olehnya tradisi itu bisa
memusatkan perhatiannya pada pertanyaan-pertanyaan yang benar-benar diajukan
oleh situasi setempat, dan bukan hanya menyangkut persoalan yang telah dibahas
oleh tradisi Kristen di masa lampau”.
Akan tetapi, satu bahaya utama menyangkut model ini yaitu ia dengan mudah
bisa menjadi mangsa romantisme budaya. Di satu sisi, romantisme ini terbukti oleh
tiadanya pemikiran yang kritis atas kebudayaan bersangkutan. Wawasan yang bisa
diambil dari model antropologis ialah bahwa seorang teolog mesti berangkat dari
tempat di mana iman sungguh hidup, yaitu di tengah-tengah kehidupan umat. Di
dalam dunia sebagaimana adanya, sebuah dunia yang terikat oleh sejarah dan
kebudayaan serta bahasa tertentu, di situlah Allah berbicara.

• Diagram model antropologis (liat hal.110 saja)


Nama : Indigenisasi, Model Etnografis
Landasan Kitab suci dan
Tradisi : Mat 15:21-28; Mrk 7:24-30; Yoh. 3:16; Kisah Para Rasul; “benih-
benih sabda” dari Yustinus Martir; GS 44; AG 11; CT 53
Pewahyuan : cenderung dipahami sebagai “kehadiran personal”
Kitab Suci,
Tradisi : sama seperti semua bentuk ungkapan manusia, keduanya
dikondisikan secara kultural
Konteks : pada dasarnya baik dan layak dipuji; setara dengan Kitab Suci dan
Tradisi

21
Metode : mengetahui kebudayaan guna “menarik ke luar Injil dari dalam
kebudayaan” itu
Perbandingan : benih-benih sudah ditaburkan di tanah, Cuma perlu diairi agar
bertumbuh
Tokoh : “tanggalkanlah kasutmu” (Max Warren)
Penilaian : positif; mengindahkan konteks secara sungguh-sungguh,
menyediakan sisi tilik yang segar bagi agama Kristen; mulai di tempat di mana
umat berada. Bagian negatif : mudah menjadi mangsa romantisisme budaya.

- Contoh-contoh model antropologis


• Robert E. Hood
Hood adalah seorang pendeta dari Gereja Episkopal di Amerika Serikat.
Hood menghadirkan teologi Afro-Amerika atau Teologi Hitam yang sering
ditautkan dengan teologi pembebasan, sehingga dipandang sebagai satu contoh
tentang model praksis dari teologi kontekstual. Hood mencoba menampilkan
suatu teologi alternative: cara pandang dunia dari keyakinan orang-orang Afrika
dengan Alkitab dan tradisi. Konstruksi teologi Afro-Amerika dibangun dari
pengalaman mereka akan perbudakan serta penindasan, dan juga model
kekristenan orang-orang Afro-Amerika bukanlah kekristenan konvensional. Bagi
Hood, teologi mesti berkaitan dengan persoalan keadilan dan pembebasan
dengan menarik persesuaian dengan berbagai tradisi, agama, masyarakat dan
kebudayaan Afrika. Hood menyadari dan hendak mendemitologisasikan apa
yang dipandangnya sebagai tradisi yang semuanya terlalu beraroma Yunani-
Romawi dan terpusat pada Eropa, agar nilai-nilai dan bentuk-bentuk ungkapan
kultural dari kebudayaan-kebudayaan bukan Barat, yang tidak dipengaruhi
kebudayaan Yunani bisa menemukan perwujudannya dalam teologi dan
kebaktian Kristen. Hood memakai pemahaman roh dari orang Afrika untuk
menyadarkan orang-orang akan pandangan Alkitabiah tentang Roh Allah. Roh
itu “tidak akan berkata-kata dari diri-nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang
didengar-Nya itulah yang akan dikatakannya” (Yoh. 16:13), dan ini serupa
dengan keyakinan orang-orang Afrika bahwa roh-roh itu diberi kewenangan oleh

22
Allah untuk bertindak secara tertentu di tengah dunia ini. Teologi semacam ini
tidak mungkin dalam bingkai pemahaman Yunani dan yang terpusat pada Eropa,
yang mengendalikan peluang-peluang berteologi dalam tradisi Kristen dewasa
ini. Teologi yang disampaikan Hood hendak merangkul orang-orang Afrika.

• Vincent J. Donavan
Vincent J. Donavan adalah seorang imam Katholik Roma. Dalam karyanya
Christianity Rediscovered menyatakan bahwa tugas misionaris hanya
menyajikan Injil, dan tugas jemaat atau orang untuk menanggapinya ialah
mengungkapkan Injil itu beserta maknanya di dalam bahasa mereka sendiri
dalam bentuk-bentuk pemikiran mereka sendiri. Hakikat amanat Injil menjadi
jelas ketika semua kebudayaan mendengarkannya dari para pewarta yang telah
memahaminya dari sisi tilik budaya mereka sendiri, dan yang yakin bahwa Injil
itu memang punya nilainya di dunia ini. Seorang penginjil hendaknya mendekati
kebudayaan lain dengan keyakinan bahwa Allah sudah ada di dalamnya,
walaupun kebudayaan itu, sama seperti semuda kebudayaan lain sedemikian
tidak sempurna. Peran seorang penginjil ialah menjadikan Allah diketahui
dengan sepenuhya di dalam kebudayaan bersangkutan, dan dengan demikian
memberi sumbangsih bagi kegenapan penyataan Injil. Pada akhirnya Injil itu
sama sekali bukanlah sebuah amanat melainkan seorang Pribadi, “Allah-manusia
yang bernama Yesus Kristus” dengan memandang bahwa Roh-Nya ada dalam
segenap sejarah. Kepekaan terhadap pentingnya kebudayaan, komitmen yang
kritis terhadap kebaikan yang terkandung di dalam kebudayaan bersangkutan,
kemanusiaannya yang mudah merambat dan imannya yang memberi ilham dan
semuanya ini merupakan alasan untuk menilai karya dari Donavan sebagai upaya
yang sungguh-sungguh untuk memperlihatkan bahwa yang merancang suatu
teologi yang kontekstual tidaklah dimulai dengan amanat atau sesuatu yang telah
ditetapkan sebelumnya, tetapi dengan kehadiran Allah yang hidup, yang
menantang dan yang mengaruniakan kehidupan itu sendiri di tengah-tengah
kehidupan manusia.

23
BAGIAN 6

MODEL PRAKSIS

Model praksis menyangkut teologi kontekstual memusatkan perhatiannya pada jati diri orang-
orang Kristen di dalam sebuah konteks, khususnya sejauh konteks itu dipahami sebagai perubahan
sosial. Virginia Fabella, dalam kata pengantarnya tentang Laporan Hasil Kerja Konferensi Teologi
Asia yang diselenggarakan di Sri Lanka pada tahun 1979, menggunakan terminologi yang lain,
namun menunjuk pada tampilnya sebuah cara berteologi yang baru, yang secara signifikan berbeda
dalam cakupan serta titik tolaknya dari upaya-upaya yang berangkat dari kebutuhan entah untuk
mengadaptasi pewartaan wahyu atau untuk mendengarkan konteks. Terdapat dorongan yang lebih
baru untuk mengkontekstuali sasikan teologi. Sebagai suatu proses yang dinamis, upaya itu hendak
menggabungkan kata-kata dan tindakan-tindakan, ia terbuka kepada perubahan, dan memandang
ke masa depan.

Model praksis adalah suatu cara berteologi yang dibentuk oleh pengetahuan pada tingkatnya yang
paling intensif-tingkat aksi berdasarkan refleksi. Model ini juga menyangkut pemindaian makna
dan memberi sumbangsih kepada rangkaian perubahan sosial, berdasarkan realitas-realitas masa
kini dan peluang-peluang masa depan.

GARIS BESAR MODEL PRAKSIS

Terminologi

Ketika kita berbicara tentang model praksis menyangkut teologi kontekstual, maka kita berbicara
tentang sebuah model, yang wawasan utamanya ialah bahwa teologi itu dilakukan bukan hanya
dengan menyediakan ungkapan-ungkapan yang relevan bagi iman Kristen, melainkan komitmen
kepada tindakan Kristen. Namun lebih dari itu, teologi dipahami sebagai produk dari dialog yang
berkesinambungan dalam kehidupan Kristen. Model praksis menggunakan sebuah metode yang
"dipahami sebagai kesatuan antara pengetahuan sebagai aktivitas dan pengetahuan sebagai isi."
"Model ini bekerja di atas keyakinan bahwa "kebenaran ada pada tataran sejarah, bukan pada
bidang ide-ide". “Dengan mengacu pada penggunaan Paolo Freire, Philip Berryman mencirikan
model ini "aksi dengan refleksi". Ia mengadakan refleksi atas aksi dan mengadakan aksi atas
refleksi-dua-duanya berputar menjadi satu. Para praktisi model praksis yakin bahwa dalam
gagasan tentang praksis ini mereka telah menemukan sebuah cara berteologi yang baru lagi

24
mendasar, sebuah cara, yang lebih dari semua cara lainnya, mampu menggubris secara memadai
pengalaman masa lampau (Injil, tradisi), serta pengalaman masa kini (pengalaman manusia,
kebudayaan, lokasi sosial dan perubahan sosial).

Apa yang kita sebut sebagai model praksis sering kali juga dinamakan "model pembebasan".
Alasan penyebutan ini ialah terutama karena para teolog politik di Eropa (J. Moltmann dan J.B.
Metz), dan khususnya para teolog pembebasan, teristimewa di Amerika Latin, telah
mengembangkan model ini dalam artinya yang paling penuh. Akan tetapi, alasan lain lebih
berkaitan dengan komitmen dasar kepada praksis sebagai suatu metode teologi. Walaupun model
praksis sangat erat bertalian dengan teologi pembebasan, istilah model praksis merupakan yang
paling cocok untuk digunakan oleh karena dua alasan. Pertama,, cara pendekatan semacam ini
terhadap proses kontekstualisasi teologi tidak mesti mengangkat tema-tema pembebasan. Tetap
ada kemungkinan misalnya untuk berteologi dalam sebuah konteks tertentu di mana ketidakadilan
struktural tidak sungguh merajalela. Dalam hal ini, kita masih dapat berteologi dengan melakukan
aksi berdasarkan refleksi dan mengadakan refleksi atas tindakan. Kedua, dibandingkan dengan
istilah model pembebasan, istilah ini secara lebih jelas menyingkapkan bahwa kekhasan model ini
tidak terletak pada tema tertentu tetapi pada satu metode tertentu.

Pengandaian-Pengandaian Model Praksis

Pengandaian kunci dari model praksis ialah wawasan bahwa tingkat mengetahui yang paling tinggi
ialah melakukan secara benar dan bertanggung jawab. Dalam cara berteologi yang lebih
tradisional, teologi diterangkan sebagai suatu proses "iman yang mencari pemahaman", maka
model praksis menegaskan bahwa teologi merupakan sebuah "iman yang mencari tindakan yang
benar". Dengan pertama-tama bertindak dan kemudian membuat refleksi atas tindakan iman
tersebut, Teologi tidak disusun dalam bentuk yang konkret, permanen dan dicetak, tetapi lebih
dalam arti sebuah aktivitas, sebuah proses, sebuah cara hidup.

Seorang praktisi model praksis melihat peran penting aspek kebudayaan dari satu konteks dalam
mengembangkan sebuah pemahaman atas iman. Unsur konstitutif dari kebudayaan itu sendiri
adalah per ubahan budaya dan perubahan sosial, dan perubahan ini mesti diindahkan sama seperti
kebiasaan-kebiasaan tradisional, nilai-nilai dan ung kapan bahasa. Dengan demikian, sistem-
sistem politik dan ekonomi adalah juga bagian dari kebudayaan, Oleh karena kebudayaan itu
merupakan sebuah produk manusia (atau lebih baik sebuah produk yang menghumanisasi), maka

25
seorang teolog praksis melihat eksistensi kultural sebagai sesuatu yang secara mendasar bersifat
baik. .

Tinjauan Atas Model Praksis

Kekuatan utama model praksis adalah metode serta epistemologi yang mendasarinya. Sebagai satu
metode teologi, model praksis oleh karena hakikat nya dikawinkan dengan sebuah konteks khusus.
Ia tidak pernah menjadi sebuah teologi yang "kakinya tidak berpijak di atas bumi". Berteologi
sebagai refleksi kritis atas praksis membuat teologi mampu menjadi sebuah ungkapan yang ampuh
mengenai agama Kristen. Dengan secara tetap mengadakan refleksi atas kegiatan kita sehari-hari
.

Model praksis memberi ruang yang luas bagi pengungkapan pengalaman personal dan komunal,
pengungkapan budaya atas iman, dan pengungkapan iman dari perspektif lokasi sosial. Pada saat
yang sama, ia menyediakan pemahaman-pemahaman baru dan menarik menyangkut Kitab Suci
dan kesaksian-kesaksian teologis yang lebih tua. Dalam beberapa hal model ini mengangkat situasi
konkret secara lebih bersungguh-sungguh daripada model-model yang lain,

CONTOH-CONTOH MODEL PRAKSIS

Satu contoh tentang hal ini ialah menyangkut salah seorang teolog pembebasan yang paling
penting, Leonardo Boff. Boff tentu saja menyadari pentingnya praksis dalam pergumulan teologis,
namun beberapa karyanya tidak secara serta merta mencerminkan metode praksis sebagai jantung
rancangannya. Buku-buku Boff tentang kristologi, rahmat dan Allah Tritunggal. semuanya
merupakan refleksi atas tema-tema pembebasan, dan tentang teologi sebagai "ihwal merefleksikan
secara kritis praksis iman Kristen". Boff membuat refleksi atas pengalaman konkret menyangkut
Jemaat-Jemaat Gerejani Basis, dan dengan demikian metode praksis yang aktual lebih gamblang
didayagunakan. Ihwal menjadi Gereja secara aktual dari suatu jemaat kecil memberi terang baru
pada apa artinya menjadi Gereja.

Teolog-teolog yang akan menjadi pusat perhatian saya secara lebih cermat dalam bagian ini, yakni
Douglas John Hall dan sejumlah teolog feminis Asia, juga mengembangkan pendekatan-
pendekatan lain dalam berteologi. Namun bagaimanapun, seperti Boff dan para teolog pembebasan
lainnya, penggunaan mereka atas model praksis merupakan hal yang mencirikan kiblat dasar dari

26
pemikiran mereka, dan karya-karya mereka menunjukkan cara-cara berpikir baru me nyangkut
iman Kristen.

Douglas John Hall

Douglas John Hall adalah pendeta Gereja Persekutuan Kanada, dan mahaguru emeritus bidang
teologi Kristen di Universitas McGill di Montreal. Ia dilahirkan di Ontario pada tahun 1928, Dalam
buku yang memiliki subjudul "Toward an Indigenous Theology of the Cross," ia berupaya
memaparkan sebuah teologi yang bersifat "pribumi menyangkut pengalaman Amerika Utara
sebagai (Hall mengutip George Grant] 'masyarakat teknologis yang paling riil sampai sekarang
ini”. Teologi Amerika Utara, entah dalam ragam Kanada atau Amerika Serikat. Hall mengatahkan
"barangkali ada kedalaman-kedalaman tersembunyi dari apa yang mungkin memiliki arti penting
secara teologis di dalam beberapa praktik yang ditata dari dalam dan yang mengatakan sesuatu
tentang kehidupan sehari-hari di dalam Gereja-Gereja Amerika Utara. "Pemikira praksis"
menekankan bahwa teori yang riil muncul dari aksi yang membangkitkan lebih banyak tanggung
jawab, lebih banyak kegiatan yang riil. Pemikiran praksis tidak beranggapan bahwa kebenaran itu
bisa dicapai secara terlepas dari kehidupan, tetapi sebaliknya ia berpendapat bahwa kebenaran itu
hanya bisa ditangkap dalam dialog dengan kehidupan sebagaimana kehidupan itu secara aktual
dilakoni, diderita dan dirayakan.

Tradisi kepelayanan/kepengurusan (stewardship)di dalam Gereja Amerika Utara dilihat Hall


sebagai hal yang secara khusus patut direfleksikan oleh para teolog Amerika Utara. Setelah
menetapkan bahwa ia akan merefleksikan praktik aktual kepelayanan (apa yang telah saya
sebutkan di atas sebagai "tindakan penuh komitmen" darinya refleksi dilancarkan), Hall pertama-
tama menyelidiki asal usul gagasan itu di dalam Kitab Suci, dan menemukan bahwa gagasan itu
sedemikian kaya sehingga patut dipandang lebih dari sekadar metafora belaka. Ia adalah sebuah
simbol yang mengandung keseluruhan amanat iman Yudaistik dan Kristen.

Titik praksis tidak menggantikan kegiatan berpikir, perbuatan tidak menggantikan kata-kata, tetapi
memastikan bahwa kegiatan berpikir itu berakar dalam keberadaan-dan me naruh komitmen demi
transformasi atasnya. Mengatakan bahwa undangan kepada kontekstualisasi ialah suatu panggilan
kepada praksis Kristen yang sejati bukanlah perkara me ngatakan, "Mari kita melepaskan semua
urusan teologi yang melelahkan ini dan langsung saja ke soal melakukan kebenaran!" Sebaliknya,

27
hal itu berarti berikrar untuk men jembatani jurang (yang bagaimanapun artifisial saja) antara
pemikiran dan tindakan, dan demikian menjadi lebih ber

Oleh karena itu, teologi Amerika Utara yang autentik harus berawal pada komitmen pribadi-
pribadi untuk melibatkan diri dalam transformasi dunia mereka. Orang-orang Kristen tidak boleh
menyerah kalah kepada alternatif seperti bersikap putus asa, dan bersikap sinis atau represif, dan
suppresif, tetapi sebaliknya mereka dipanggil untuk menghadapi dunia dewasa ini dengan suatu
"realisme profetis", siap untuk menghadapi masyarakat yang berlandas pada kesenangan tidak
akan bertahan; dan hanya masyarakat yang berdiri di atas kebenaran akan berkanjang".

Teologi Amerika Utara, kata Hall, mesti menjadi teologi salib. Ia perlu ditampilkan dari latar
bahwa "faktor gerejani tunggal dan memiliki jangkauan paling luas dalam menentukan refleksi
teologis dalam zaman kita sekarang ini ialah penggeranyangan secara efektif atas agama Kristen
di dunia Barat oleh kekuatan-kekuatan sekular, politik dan agama-agama alternatif" Agar teologi
Amerika Utara itu sungguh sungguh sejati, maka ia perlu bersikap rendah hati dalam
perumusannya tentang kebenaran Kristen di tengah sebuah dunia di mana terdapat banyak jalan
religius, serta mengarahkan upaya-upaya khusus untuk menjalin dialog dan rekonsiliasi dengan
Yudaisme. Ia perlu menyadari, dengan bantuan kritik terhadap globalisasi ekonomi, kejahatan
struk tural yang diciptakan dan dilanggengkan oleh kaum kaya Kanada dan Amerika Serikat.
Teologi Amerika Utara hanya bisa menjadi autentik apabila dilakukan berdasar pada komitmen
untuk memugar kerusakan yang dilakukan oleh perihidup kita terhadap lingkungan alam serta
menangkal momok penghancuran nuklir. Akhirnya, sebagai iman yang memikir, teologi tidak
akan pernah menyetujui "simplisisme" dan apo kaliptisisme yang diakibatkan oleh tekanan dari
dunia pasca-modern dewasa ini,

Teolog Feminis Asia

- Virginia Fabella

Pada tahun 1988, teolog Virginia Fabella dari Filipina, Fabella melancarkan sebuah tafsir ulang
atas Kitab Suci dan tradisi. Amanat Yesus bukan terutama amanat tentang diri-Nya sendiri,
melainkan suatu panggilan untuk bertindak. Pengajaran Yesus tentang Pemerintahan Allah adalah
suatu undangan bagi orang "guna membarui hidup mereka, mempercayai kabar baik dan
diselamatkan. Masuk ke dalam kerajaan itu berarti mengubah perilaku dan cara berelasi

28
seseorang." Lebih dari itu, amanat Yesus diajarkan bukan melulu dalam perkataan, melainkan
juga-dan terutama-dalam perbuatan. Yesus memperaga kan realitas Pemerintahan Allah oleh
kesetiakawanan-Nya dengan kaum tergusur di tengah masyarakat: para pendosa, orang-orang yang
dikucilkan, kaum perempuan. Yesus tidak saja memperhitungkan orang-orang seperti itu, tetapi la
"bahkan bertindak bertentangan dengan adat kebiasaan serta praktik-praktik yang berlaku ketika
itu. Kaum perempuan terbilang sebagai non pribadi, tidak lebih dari barang bergerak. Namun
Yesus tidak pernah mengabaikan mereka ketika mereka datang menghampiri Dia untuk
disembuhkan; mereka adalah makhluk-makhluk insani yang layak dan patut dibuat utuh kembali...
Ia tidak saja menghargai mereka sebagai sahabat, tetapi juga mem benarkan kepantasan serta
kemampuan mereka untuk menjadi murid, saksi, misionaris dan rasul."

Fabella secara fundamental dibentuk oleh komitmen dasarnya kepada pembebasan kaum
perempuan Asia. Apa yang terpenting dalam hidup Yesus bukanlah amanat tentang jati diri-Nya
sendiri atau hakikat dunia ini, melainkan cara Yesus bertindak, dan tindakan yang dituntut-Nya
dari manusia. Dewasa ini, iman akan Yesus bukanlah perkara mempercayai rumusan syahadat
Nicea atau Kalcedon, me lainkan soal dibarui dan diberdayakan oleh wawasan Yesus menyang
kut kesetaraan dan pembebasan. Semakin seseorang mengimani Yesus, semakin ia mendarmakan
dirinya untuk hidup seperti Yesus; semakin ia berlaku seperti itu, semakin ia akan memahami siapa
Yesus itu. Kristologi dikembangkan dalam konteks praksis kritis.

- Yong Ting Jin

Yong Ting Jin, seorang teolog Malaysia yang bekerja di Hong Kong sebagai sekretaris regional
Asia-Pasifik dari Federasi Mahasiswa Kristen Sedunia, Berlandas pada keyakinan bahwa
"penindasan atas kaum perempuan adalah DOSA," dan bahwa akar dari dosa ini adalah sistem
patriarkat yang merasuki segala sesuatu, Yong menunjukkan bagaimana Gereja itu sendiri
seluruhnya berciri patriarkat, dan kemudian memperlihatkan bagai mana tafsir ulang atas Kitab
Suci mampu menelanjangi perkembangan ini sebagai suatu pengkhianatan pada tiap kesempatan
terhadap wawasan dan praktik Yesus serta realitas Gereja bahari.

Di satu pihak, sebagaimana yang disadari oleh kaum perempuan, bagaimanapun masyarakat dan
Gereja Asia menindas dan menyemena-menakan mereka. Yang menjadi titik pusat dari struktur
dan gaya hidup yang baru ini adalah peran baru kaum perempuan, yang bekerja sebagai mitra
kaum lelaki, bukannya didominasi oleh mereka. Kaum perempuan akan memberi sumbangsih bagi

29
suatu cara baru untuk memahami kekuasaan dan kewenangan di dalam Gereja; mereka akan
memberi sumbangsih bagi suatu cara baru (model praksis) melakukan refleksi teologis; mereka
akan memimpin Gereja dalam perjuangannya menegakkan perdamaian dan keadilan. Gereja akan
dibarui menjadi Gereja Yesus Kristus yang sejati, dan menjadi suatu jemaat yang relevan dengan
realitas Asia karena ia bertindak sesuai dengan wawasan Yesus Kristus. Sekarang ini, menjadi
seorang Kristen di sebuah negeri di mana ketidakadilan dan penindasan merajalela merupakan
suatu tantangan. Menjadi seorang perempuan religius dalam situasi semacam itu pasti
tantangannya dua kali lipat. Hal ini menuntut suatu pemikiran ulang yang radikal atas makna
menjadi seorang Kristen dan tentang imperatif komitmen religius.

30
BAGIAN 7

MODEL SINTESIS

Horacio de la Costa seorang sejarahwan asal Filipina dalam pidato pengukuhannya pada
Tahun 1964, menyebutkan arti dari catatan harian Jose P. Laure, seorang sejarahwan asal Fillipina,
yang ditulis dalam masa Perang Dunia ke II pada saat Laurel disekap dalam penjara Sugamo di
Manila. Laurel membuat catatan-catatannya di halaman-halaman kosong dalam sebuah buku
Barat. De la Costa menyebut ini sebagai “simbol aneh” karena adanya hal sangat bermakna yang
berhubungan dengan keadaan-keadaan orang-orang Filipina serta menampilkan macam model
untuk membangun pemikiran mereka.

De la Costa pun memberikan komentar bahwa “kita, sebagai suatu bangsa, telah
menerima suatu warisan intelektual yang kaya dari Barat: iman religius kita dari Spanyol,
lembaga-lembaga demokrasi kita dari Amerika. Namun warisan ini, betapaun amat kaya, memiliki
lembaran-lembaran kosong yang dalam penyelengaraan Allah, bertujuan agar kita mengisinya.”

Model sintesis adalah sebuah model jalan tengah. Model ini tampak pada pusat gerak
peralihan jalan tengah, antara penekanan pada pengalaman masi kini (dalam hal ini konteks
pengalaman, kebudayaan, lokasi sosial dan perubahan sosial) dan penekanan masa lampau (dalam
hal ini Kitab Suci dan tradisi). Model sintesis bisa juga bersandar pada teori-teori tentang
perkembangan doktrin yang memahami bahwa doktrin-doktrin adalah sesuatu yang lahir dari
interaksi yang majemuk antara iman Kristen dan rupa-rupa perubahan yang terjadi di dalam
kebudayaan, masyarakat dan berbagai-bagai pemikiran.

Paulus VI menyebutkan beberapa segi penting dari model sintesis ini dalam kutipanan dari
“Evangelii Nuntiandi”: Bila suatu Gereja setempat semakin terikat pada Gereja Universal dengan
ikatan-ikatan persatuan, cinta kasih dan kesetiaan, dalam sikap terbuka terhadap magisterium
Petrus, dalam kesatuan lex orandi yang juga merupakan lex crecendi, dalam keinginan untuk
bersatu dengan Gereja-Gereja yang lain, maka Gereja semacam itu akan semakin mampu untuk
menerjemahkan kekayaan iman dalam ungkapan-ungkapan yang bermacam-macam. Ungkapan ini
berupa pengakuan iman, doa, ibadat, hidup Kristen dan tingkah laku Kristen serta pengaruh rohani
kepada orang-orang di manapun mereka tinggal. Sehingga Gereja itu juga akan semakin dengan
sungguh-sungguh dalam mewartakan Injil.

31
Model sintesis adalah tentang “baik/maupun”. Tidaklah mudah untuk menjaga keutuhan
pewartaan tradisional, sementara di saat yang sama pentingnya untuk mengindahkan semua segi
konteks dengan sungguh-sungguh.

Garis Besar Model Sintesis

Terminologi

Berbicara mengenai model yang berciri sintesis, model ini bukanlah bersifat artifisial atau tiruan.
Kata sintesis dalam beberapa hal berfungsi sebagai suatu model khusus dalam metode teologi.
Pertama, cara berteologi kontekstual berupaya menghasilkan suatu sintesis dari ketiga model yang
ada dalam buku ini dengan coba mempertahankan pentingnya pewartaan Injil dan warisan-warisan
rumusan doktrin tradisional. Sintesis juga mencakup peran penting dalam aksi berdasarkan refleksi
dan kebenaran demi pengembangan sebuah teologi yang hirau terhadap kerumitan serta perubahan
sosial dan budaya. Kedua, model sintesis menjangkau sumber-sumber dari konteks yang lain serta
ungkapan-ungkapan teologi yang lain demi metode dan isi dari ungkapan imannya sendiri. Dengan
demikian, sintesis terbangun atas dasar sudut pandang budaya kita sendiri dan sudut pandang
budaya orang lain. Ketiga, barangkali hal ini adalah yang paling mendasar, bahwa model ini berciri
sintesis yang berupaya tidak sekedar menjajarkan segala sesuatu, tetapi mengembangkan secara
kreatif untuk sesuatu yang dapat diterima oleh semua sudut pandang. Atas dasar ini, nama lain
untuk model ini adalah “model dialektis”. David Tracy menyebutkan bahwa model ini juga
mencakup dialog yang tetap dan disebut sebagai imajinasi analogis. Maka model ini juga bisa di
namakan sebagai “model dialogis”, “model dwicakap”, atau juga “model analogis”.

Pengandaian-Pengandaian Model Sintesis

Pengandaian fundamental dari model sintesis adalah ciri campur aduk dari konteks manusia
sebagai situasi dalamnya manusia itu hidup. Apa yang penting untuk model sintesis ialah
menekankan keunukan, oleh karena jati diri seseorang tampil dalam sebuah dialog yang mencakup
dua-duanya. Susunan campur aduk dari berbagai kebudayaan adalah bahawa setiap kebudayaan
bisa meminjam bahkan belajar dari kebudaay lain. Dalam dunia politik misalnya, orang-orang

32
Indonesia dapat mempelajari demokrasi model Barat, namun dengan tidak merasa bahwa dengan
membentuk struktur-struktur tertentu di Indonesia, mereka takluk di bawah dominasi budaya
asing. Para praktisi model sintesis mengatakan bahwa hanya ketika manusia saling berdialog,
maka di situ akan mengalami pertumbuhan manusiawi yang sejati. Oleh karena itulah, pewahyuan
Allah dipahami sebagai suatu yang secara historis dibatasi dengan konteks-konteks tertentu di
mana Kitab Suci ditulis, maka dengan demikian memiliki satu pewartaan yang dikondisikan oleh
satu konteks tertentu. Prosedur dalam model sintesis memang sangat rumit, tetapi prosedur
tersebut menghasilkan sebuah karya seni daripada mengikuti seperangkat petunjuk yang sudah
ditetapkan dengan ketat dan kaku.

Tinjauan Atas Dasar Model Sintesis

Sisi paling kuat dari model sintesis adalah posisi metodologisnya yang mendasar, yaitu
keterbukaan dan dialog. Pemahaman akan kebenaran sebagai sesuatu yang bersifat dialogal tidak
berarti bahwa segala sesuatu dapat berjalan dengan mulus. Seperti yang dikatakan Tracy:
Percakapan adalah sebuah permainan yang memiliki beberapa aturan yang tegas dan keras. Model
sintesis sungguh-sungguh membuat proses berteologi itu sebagai suatu latihan untuk mengadakan
percakapan dan dialog secara benar dengan orang lain, sehingga jati diri kita dan jati diri budaya
kita bisa muncul dalam proses tersebut. Proses seperti ini terkadang memberikan penekanan pada
kenyataan bahwa teologi kontekstual bukanlah suatu proses yang dilaksanakan satu kali untuk
selama-lamanya, melainkan sesuatu yang harus dijalankan secara berkesinambungan.

Segi positif dari model sintesis ini di ungkapkan Robert Schreiter: Khususnya bila hal ini dianut
oleh para pemimpin setempat, pendekatan ini cepat dapat menolong mencapai tujuan ganda, yaitu
autentisitas dalam budaya setempat dan rasa hormat serta penghargaan Gereja Barat. Dengan
pendekatan ini maka membuat Gereja-Gereha memiliki rasa kesamaan status dengan Gereja-
Gereja yang lebih tua dan mapan.

Ada satu sisi positif lain dari model sintesis ini adalah model ini selalu berada dalam bahaya
“digadaikan” kepada kebudayaan, tradisi, lokasi sosial lain, dan dengan demikian selalu perlu
memiliki sikap curiga tertentu. Keterbukaan adalah hal yang baik dan tidak dapat ditiadakan,
namun seorang teolog mesti selalu sadar akan kekuatan serta manipulasi terselubung dari sebuah

33
kebudayaan dominan (seperti kebudayaan Amerika Serikat, Roma atau Jawa). Namun apabila
model ini dilakukan dengan tepat, maka model sintesis ini bisa menjadi sebuah model yang ampuh
bagi proses berteologi secara kontekstual.

Contoh-Contoh Model Sintesis

Kosuke koyama

Pada tahun 1984 dalam sebuah pidato di hadapan Serikat Misiologi Amerika, Koyama berbicara
tentang “Pendekatan Asia tentang Kristus”. Untuk berbicara mengenai Kristus di Asia dewasa ini,
Allah harus dipahami dalam empat cara. Pertama, Allah harus digambarkan sebagai Dia yang
penuh semangat. Kedua, Allah harus digambarkan sebagai Dia yang tidak berkesinambungan.
Ketiga, Allah perlu dilihat sebagai suatu realitas yang merangkul dalam keterlibatan ilahi. Dan
keempat, Allah harus digambarkan sebagai Dia yang berada di pinggir kehidupan, dalam
kesetiaankawanan dengan kaum yang tertindas dan yang terlantar di dunia ini. Refleksi Koyama
menyajukan suatu perwujudan yang kuat dari model sintesis yang sangat rumit, namun setiap
unsur yang membentuk teologi kontekstual itu diulas sebagaimana mestinya.

Jose De Mesa

Kontras pandangan dengan Koyama, yang mana Koyama bisa dianggap sebagai yang mewakili
penggunaan model sintesis, yang dalam banyak hal cenderung ke model terjemahan dalam
kepeduliannya untuk melestarikan pengalaman masa lampau yang diwariskan dalam tradisi, maka
de Mesa digambarkan sebagai yang mewakili penggunaan yang agak liberal atas model sintesis.
De Mesa dan Lode Wostyn merupakan rekan kerja dalam mengembangkan kristologi sistematis
yang lengkap.Namun karya tersebut menurut keduanya masih belum tuntas dan masih kasar, tetapi
sudah cukup maju dalam menyajikan tentang misteri Kristus secara setia kepada tradisi Kristen.
De Mesa dan Lode menyajikan sejumlah kemungkinanan terjemahan atas berbagai istilah dan
gagasan dari teologi tradisional. Mereka berdialog secara luas dengan para pakar Barat
kontermporer. Karya De Mesa sendiri dan juga karyanya Lode Wostyn memperlihatkan beberapa
kemungkinan terbaik dalam menyangkut model sintesis dari teolog kontekstual.

34
BAGIAN 8

MODEL TRANSEDENTAL

GARIS BESAR MODEL TRANSEDENTAL

Terminologi

Menurut Lonergan model transedental menampilkan sebuah pergeseran yang mendasar

dalam proses mengenal realitas. Pergeseran itu sejak awal tidak lagi mulai dengan dunia objek –

objek melainkan dunia subjek,, dunia batin dalam diri pribadi manusia.

Pengandaian – pengandaian Model Transendental

Model transedental merupakan cara berteologi secara kontekstual sehingga tidak hanya

memusatkan pada hakikat atau intisari pewarta injil atau tradisi bahkan hanya sekedar

menganalisis konteks tertentu melainkan titik tolaknya bersifat transedental yang dimulai dari

pengalaman religious secara pribadi (diri kita). Oleh sebab itu ketika memulai dengan diri kita

sendiri maka penting untuk dipahami bahwa sebagai subjek dalam setiap hal, kita ditentukan olek

konteks kita (siapa diri kita). Dari titik tolak transedental ini maka teologi dipahami sebagai suatu

proses “menyingkapkan” siapa diriku, siapa kita sebagai seorang beriman, dalam setiap seginya,

sebuah produk dari situasi historis, geografis, sosial dan kultural.

Adapun pengandaian yang pertama bermuara pada yang kedua ; yaitu bahwa apa yang

kelihatan bersifat privat dan personal dapat mengungkapkan pengalaman orang lain yang ambil

bagian dalam konteks dasar yang serupa, contohnya anggota satu genearasi, satu kebudayaan, satu

bangsa. Dari hal inilah maka Lonergan berpendapat bahwa satu – satunya jalan menuju

objektivitas yang benar ialah melalui subjektivitas yang radikal dan autentik. Maksudnya ialah

35
sesuatu pengalaman hidup yang berdasarkan pada kenyataan, yang merupakan titik tolak untuk

berteologi secara historis dan kultural.

Pengandaian yang ketiga dari model transedental ialah bicara tentang gagasan pewahyuan

ilahi. Artinya pewahyuwan diri Allah yang tidak hanya sebatas ada dalam kitab suci, doktrin –

doktrin tradisi, atau bahkan dalam jaringan kebudayan manusia, dan dalam kehidupan sosial.

Tetapi Allah dapat mewahyukan diri-Nya secara benar didalam pengalaman hidup setiap manusia

yang sungguh – sungguh hidup didalam Allah dan percaya bahwa Allah senantiasa mencurahkan

kasih setia-Nya kedalam hati manusia melalui Roh Kudus. Dari sini dapat dilihat bahwa ternyata

pewahyuwan dapat dipahami sebagai sebuah peristiwa yang bukan saja hanya hadir dalam isi kitab

suci melainkan pewahyuwan dapat terjadi ketika seorang pribadi membuka kehidupannya pada

realitas, dalam arti ketika subjek melakukan kesalahan atau dosa kemudian dia bertobat, dan mau

membuka kehidupannya dihadapan Allah, serta membiarkan Allah menjamah dan mengubah

hidupnya, dengan demikian dia menyelaraskan relasi yang berkesinambungan dengan Yang Ilahi.

Hal yang keempat model transedental ini berlandas pada keyakinan bahwa walaupun setiap

orang dibentuk secara historis dan kultural yang berbeda pemahamannya, tetapi lewat akal budi

manusia tetap memiliki cara pandang yang sama dalam semua kebudayan yang ada. Misalnya

saja ketika seorang Asia mencoba menyelidiki sesuatu yang diluar budaya mereka dia akan

memahami bahwa itu akan berbeda secara radikal, tetapi tetap memiliki penalaran/pemikiran yang

tetap sama. Oleh karena itu model transedental memberi begitu banyak penekanan pada autentitas

seorang subjek yang berupaya mengungkapkan pengalaman sebagai seorang yang beriman dan

pribadi yang hidup dalam sebuah konteks tertentu adalah subjek yang berasal dari konteks tertentu.

Model transedental mengakui bahwa setiap orang Kristen secara autentik mencoba

memahami imannya berarti dia sudah mengambil bagian dalam proses berteologi dan

36
melaksanakan teologi kontekstual yang sejati. Dalam arti bahwa seorang teolog yang sejati tidak

hanya sekedar mengetahui dan mengungkapkan tentang doktrin – doktrin tentang kebenaran akan

Allah melainkan sejauh mana seseorang mampu hidup dalam ketaatan, bijaksana, bertangung

jawab dan melakukan apa kedikehendaki maka ia berteolog secara sejati, dan dilakukan dalam

kehidupan yang dibentuk oleh sejarah, geografi, kebudayaan, dan seterusnya maka ia sudah

berteolog secara kontekstual.

Dalam hal ini maka Bernard Lonergan menggunakan gambar tentang fungsi sebuah

gunting untuk menjelaskan proses penerjemahan. Ilihat gambar pada hal 199

Tinjauan Atas Model Transedental

Model transedental menunjuk pada suatu cara berteologi yang baru. Dimana teologi dilihat

sebagai aktivitas dan proses yang bukan hanya pada teologi sebagai suatu isi atau kandungan

tertentu melainkan mampu menemukan jawaban yang tepat dalam jati diri, agama dan budaya dari

seseorang. Selain itu model ini juga dengan tegas mengakui pembatasan kontekstual dari para

teolog, dimana kasih Allah ada didalam hati setiap orang dimanapun dia berada terlebih melakukan

kasih itu lewat tindakan. Hal ini juga menimbulkan reaksi banyak orang terhadap model

transedental dimana model ini dilihat terlalu abstrak dan sukar untuk dipahami. Artinya bahwa

tidak mudah untuk membuat peralihan dari cara berpikir teologi sebagai ajaran yang harus

dipelajari dan teologi sebagai kegiatan actual yang mencari pemahaman dari seorang beriman dan

subjek kebudayaan yang sejati. Sehingga dari sini dapat dilihat bahwa sukarnya menjadi seorang

beriman yang autentik dan menjadi manusia (pribadi) yang autentik karena model transedental

dianggap terlalu ideal bagi para pemikir teologi yang kontekstual.

Diagram Model Transedental (lihat diagram dalam halaman 202).

37
Contoh – contoh Model Transedental.

Menurut para penulis kitab suci dan pandangan dari beberapa teolog maka bermuncullah

karya – karya “klasik” dalam tradisi Kristen yang merupakan hasil karya pribadi yang kemudian

menjadi pelaku budaya yang sejati tetapi juga yang melakukan iman itu didalam kehidupan.

Namun dilain pihak ada beberapa teolog kontemporer berpendapat bahwa para pemikir yang

mengakar secara mendalam pada tradisi budaya, lokasi sosialnya, dan iman religiusnya melainkan

pemikir teologis harus terus berkembang misalnya :

• Secara metodologis berkembang bukan hanya melalui jati diri budaya.

(Model Antropologis)

• Bukan hanya sekedar suatu keprihatinan untuk melestarikan tradisi Kristen dalam konteks

budaya tertentu (Model Terjemahan)

• Berteologi berdasarkan praksis (Model Praksis)

• Tradisi serta transformasi sosial maupun pribadi dalam pergumulan teologis (Model

Sintesis).

Adapun beberapa pandangan teolog yang memberikan perhatian terhadap contoh transedental.

Sallie McFague

Sallie McFague adalah seorang guru besar teologi di Univesitas Vanderbilt di Nashville,

Tennessee, AS. McFague menempuh pendidikannya di Smith College dan Yale Divinity School.

Ia juga dikenal sebagai salah satu teolog yang berdasarkan pada model transedental. McFague

berpendapat “Injil lebih memungkinkan didengar dalam zaman kita”. Hal ini dikemukakannya

karena ia melihat bahwa Injil atau amanat Kristen sangat penting jika didengar di zaman dewasa

ini. Sehingga menurutnya seseorang tidak hanya sekedar menerjemahkan amanat agung ini atau

38
hanya sekedar membahasakan berbagai simbol tradisional Kristen. Tetapi justru Injil itu dapat

didengar dizaman dewasa ini, dan perlu dikembangkan meelalui suatu cara berteologi yang

berbeda, dengan cara metode yang baru, dan mampu menempatkan manusia kontemporer ke

dalam situasi pejumpaan yang sejati dan mampu menghayati Injil itu dalam seluruh hidup mereka.

Gaya berteologi semacam ini sebenarnya bukan suatu hal terpiah dari tradisi. Tetapi dalam

kenyataannya, apa yang dikedepankan McFague suatu putar haluan ke metode Yesus sendiri, yang

berkhotbah dan mengajar dengan mendayagunakan ragam sastra perumpamaan, yang ia

definisikan, dan menjadi kunci sebagai suatu metafora yang luar biasa. McFague juga

mengedepankan tentang sebuah teologi metaforis, sebuah teologi perantara yang sembari mengabil

isyaratd ari ciri metaforis perumpamaan – perumpamaan Yesus, perumpamaan, kisah, puisi,

pengakuan, sebagai salah satu jalan religious menuju pada teologi sistematis. Dari hal inilah maka

McFague menandaskan bahwa model itu sebagai bagian “metafora yang memiliki kekuatan tetap”

model ini mempertahankan ciri tentative, imajinatif serta aspek “sudah/belum” dari sebuah

perumpamaan puisi atau kisah.dilain pihak lihat sebagai suatu “metafora dominan” yang beralih

bentuk menjadi refleksi interpretasi dan konseptualisasi.

Justo L. Gonzales.

Justo L. Gonzales dilahirkan di Kuba dan menjabat sebagai seorang Pendeta di Gereja

Perekutuan Metodis sampai ia hijrah ke Amerika Serikat sekitar pada tahun 1957. Gonzales

memiliki pengalaman yang cukup besar sebagai seorang teolog yang kemudian ia tuangkan dalam

beberapa publikasinya yang ditulis dalam berbagai buku – buku. Dari semua karyanya, ia

mengungkapkan secara gamblang tentang kesadaran kontekstual yang lahir dari akar – akar

budaya dan lokasi sosialnya. Selain itu ia juga mengangkat pengajaran tentang pembebasan yang

ditulis dengan suatu komitmen yang teguh menyangkut isi dan metode pembebasan, tentang iman

39
dan harta pada masa kekristenan. Namun “Manana” merupakan sebuah upaya untuk merumuskan

teologi Kristen tentang teologi sistematis, sebuah refleksi atas sejumlah doktrin Kristen – Allah,

Trinitas, Kristus, pribadi, manusia, dosa – dari sudut pandang seorang pribadi yang mewakili suatu

minorits agama di dalam kebudyaannya, dan suatu minoritas budaya di dalam gereja dan negara

barunya. Gonzales juga berbicara tentang kehidupan ribadinya yang adalah seorang Protestan

Kuba sebagai bagian ari keturunan Hispanik pada umumnya.disini mau menceritakan tentang

kedudukan Gonzales sebagai kaum minoritas ditengah orang – orang Katolik Kuba yang memberi

suatu keyakinan yang mendalam tentang otoritas Kitab Suci dan mengubah titik perhatiannya

tetapi sekalipun demikian dia tetap bertahan pada keyakinannya dan berusaha untuk tidak goya

dalam jati dirinya sebagai Protestan sekalipun dia harus membaca Alkitab dengan Bahasa Spanyol

bersama kaum Hispanik. Kaum Hispanik ini adalah kaum dianggap pernah melakukan dosa dan

hidup dalam penderitaan di masa lampau sehingga secara sistematis dimarginalisasi di tengah

masyarakat Amerika Serikat. Gonzales berupaya memperlihatkan begaimana dekret dekret dari

berbagai konsili ekuminis yang tidak hanya benar dan berlaku secra umum tetapi benar dan relevan

untuk orang – orang Hispanik dewasa ini.

Penekanan Konsili Nicea pada esensi dan substansi dalam membicrakan jati diri Yesus

memang cenderung memperteguh suatu gerekan “Konstantinisasi” teologi dimana kepada Allah

dan Yesus melai dikenakan ciri – ciri keilahian yang bersifat Helenistik dan sekaligus

“imperialistik” dimana kodrat keilahian Yesus yang iada berubah digambarkan dalam bingkai

kekuasan imperial yang kemudian mengabsahkan imperialisme.

Kristologi ortodoks telah berhasil menghindari dua godaan, yang pertama ialah

gnostisisme yang mengakui adanya kejahatan dan ketidakadilan di tengah dunia, kaum gnostic

berupaya untuk mencari keselamatan dengan melarikan diri dari dunia ini ke dalam suatu keadaan

40
yang murni spiritual melalui penemuan ssejenis gnosis (pengetahuan). Adapun jenis kristologi

yang dihasilkan gnostisisme ini disebut “doketisme” (dari kata Yunani dokein yang berarti

“kelihatan seolah - olah” ) Yesus bukan sungguh – sungguh seorang manusia, Ia hanya kelihatan

seolah – olah manusia. Namun, Ia adalah Allah dalam seluruh keagungan spiritual Allah yang tiada

berubah, yang hadir diantara manusia, dan berjanji membebaskan mereka dari dunia yang jahat

ini. Namun konsili Kalcedon berhasil menghindari godaan untuk menspiritualisasi Yesus dan

penebus yang dibawaNya dengan tetap teguh setia kepada kesaksian Alkitabiah tetnang

kemanusian Yesus, “Firman telah menjadi daging”. Yesus bukan hanya sebagai Allah tetapi ia

juga benar – benar manusia seutuhnya. Kemanusian Yesus merupakan cara satu – satunya bagi

Allah untuk menyapa manusia.

Kristologi Hispanik sama seperti kristologi Ortodoks dimana harus menekankan

kemanusian Yesus, yang memberdayakan manusia untuk memikul tangung jawab atas diri mereka

sendiri dan sesamanya. Adapun godaan gnostic yang lebih kuat memikat orang – orang yang dapat

dikatakan sebagai kelompok yang tidak berkuasa. Godaan Kristologi kedua adalah Adopsionisme

bahwa Yesusbukanlah Allah yang sesungguhnya. Gonzales menegaskan bahwa godaan berlaku

bukan hanya bagi kaum miskin dan yang melawat dalam era Gereja melainkan juga bagi kaum

kaya dan yang berkuasa. Alsanya ialah bahwa ia menyingkapkan kecongkakan dan rasa

kecukupan diri dari kelompok yang sedang berkuasadalam mitos bahwa “setiap orang sebenarmua

bisa, asal saja ia sungguh – sungguh mau berusaha”. Adopsionisme bukan suatu godaan yang besar

bagi orang – orang Hispanik atau kelompok – kelompok minoritas lainnya karena mereka tau

bahwa mitos itu tidak benar, sebab ciri – cirinya tidak sistematik dari rasialisme, maka hanya

individu tertentu yang melakukannya.

41
BAGIAN 9

MODEL BUDAYA TANDINGAN

GARIS-GARIS BESAR MODEL BUDAYA TANDINGAN

Teminologi

Istillah “model budaya tandingan” ialah bahwa model ini bukan anti-budaya, tetapi istilah itu
berikthiar untuk mengungkapkan fungsi kritis yang diperankan model ini berhadap-hadapan
dengan konteks manusiawi. Jika kita hendak mengkomunikasikan injil secara tepat maka
hendaknya dilakukan dengan menggunakan bahasa dari orang-orang yang menjadi tujuan Injil itu
dimaklumkan dan dbiusanakan dalam simbol-simbol yang sarat makna bagi mereka dan
kebudayaan bukanlah suatu keburukan atau kejahatan.

Model budaya tandingan ini dapat kita sebut dengan berbagai cara.

• Pertama, kita dapat menyebut model ini sebagai model perjumpaan atau keterlibatan.
Model ini bukanlah perkara untuk menerjemahkan injil dalam konteks tertentu, bukan pula
mempermudah rupa-rupa pemahaman baru dari pengalaman, kebudayaan, perubahan
sosial, juga bukan soal menemukan makna-makna baru menyangkut injil berdasarkan
praksis secara setia, melainkan untuk sungguh-sungguh menjumpai dan melibatkan
konteks itu melalui analisis kritis namun dengan sikap hormat.
• Kedua, karena kenyataan bahwa model ini sungguh-sungguh mengindahkan semangat
profetis yang menubuatkan kebenaran dalam konteks dan kadangkala berhadapan dengan
budaya kematian, model ini juga bisa disebut dengan model profetis. Ketiga, dapat kita
sebut model kontras. Nama ini merupakan ilham dari pelukisan Gerard Lohfink tentang
Gereja Kristen sebagai “jemaat kontras”. Keempat, model konfesional. Model konfesional
ini berusaha mengakui Injil sebagai cara pandang alternatif atas dunia dalam suatu budaya
yang mengambil sikap bermusuhan atau acuh tak acuh.

Kendati ada berbagai sebutan untuk model ini Bevans tetap memilih istilah budaya tandingan guna
melukiskan model ini. Menurutnya model ini menangkap paling baik interaksi kontekstual yang
riil di antara jemaat biblis yang dinamis dan menantang dengan lingkungan yang sangat kuat,
bahkan bermusuhan.

42
Pengandaian-Pengandian Model Budaya Tandingan

Ada beberapa pengandaian dari model budaya tandingan ini.

1. kemenduaan radikal dan tak memadainya konteks manusiawi.

Konteks kebudayaan manusia itu memiliki peran yang sangat penting. Injil diwartakan kepada
manusia yang hidup dalam suatu budaya tertentu. Oleh karena ini pewartaan Injil haruslah
mengindahkan dengan seksama konteks kebudayaan dari masyarakat yang menjadi tujuan
pewartaannya. Namun harus diperhatikan juga bahwa konteks manusiawi itu tidak pernah
memadai. Mengapa? Konteks itu tidak pernah menjadi basis yang kokoh bagi penerimaan secara
autentik atas kebenaran Kristen, karena “Injil menggugat semua kebudayaan, termasuk
kebudayaan di mana Injil itu pada mulanya menjelma. Dalam hal ini Newbigin mengatakan bahwa
apabila orang-orang Kristen hendak mendekati umat dengan Injil, mereka harus mengaitkan
pewartaan mereka dengan tempat di mana mereka berada, maka mereka mesti serentak
menempatkan Injil dalam bahasa pendengar dan juga memperlihatkan tempat pijakannya yang
rapuh dan berbahaya.

2. Hakekat pewahyuan atau hakikat Injil.

Penekanan yang kuat menyangkut fungsi kritis dan menantang dari Injil menampilkan
pengandaian kedua dari model budaya tandingan yakni hakekat pewahyuan. Gagasan yang cukup
berpengaruh ini muncul dari Newbigin. Menurutnya pewahyuan yang berintikan Injil, pada
dasarnya bukanlah “penyingkapan mengenai kebenaran abadi” melainkan “kenyataan total tentang
Kristus”. Kenyataan total tentang Kristus ini menyangkut 3 hal yaitu sesuatu yang telah dilakukan
atau sesuatu yang sudah selesai, Yesus Sang pewarta kerajaan Allah telah mati di salib dan
dibangkitkan oleh Allah, dan yang terakir dalam diri Yesus kita memiliki isyarat atau petunjuk
bagi semua sejarah manusia dan sesungguhnya kosmis, dan justru berhadapan dengan kenyataan
inilah, maka semua pengalaman atau konteks manusia harus ditakar. Oleh karena itu pewahyuan
Allah dalam Yesus Kristus secara hakiki memiliki kualitas naratif. Dimana Injil bukan hanya
sekedar daftar doktrin atau prinsip moral melainkan terutama kisah yang harus diceritakan dan
diberi kesaksian dan bukan argumentasi abstrak.

3. konteks kebudayaan barat kontemporer dan penolakan khusus yang diperlihatkan konteks
dewasa ini.

43
Dalam pengandaian ketiga ini diperlihatkan konteks kebudayaan Barat yang dalam bahasa
Newbigin telah berubah menjadi kafir yang dinilainya telah jauh lebih resisten terhadap Injil
daripada kekafiran pra-Kristen. Pemikiran dari Newbigin ini akhirnya melahirkan gerakan di
Inggris yang mulai sebuah cara merefleksikan Injil, yang sekaligus setia dan relevan dalam konteks
yang sangat sekular dan jamak agama dan gerakan-gerakan serupa muncul di Amerika Serikat dan
Selandia Baru. Menurut Newbigin model ini berasal dari kesadaran bahwa kekristenan di Barat
berada dalam konteks yang sangat tidak Kristen dalam semangatnya yang utama. Di dunia Barat
kekristenan hanya dianggap sebagai perkara pribadi dan individualisme ditonjolkan secara
ekstrim. Berhadapan dengan situasi yang demikian zaman sekarang ini menuntut kesaksian yang
gamblang menyangkut daya pembaharuan dari narasi Injil.

4. Injil menjumpai atau terlibat dalam konteks manusia yang secara konkret terjelma dalam
jemaat Kristen yakni Gereja.

Perjumpaan ini terjadi melalui dua cara. Pertama, jemaat gerejani itu sendiri sebagai persekutuan
jemaat yang sudah membiarkan Injil mengkritik dan merombak hidup mereka, mewujudkan
sebagai “jemaat kontras”, sebuah “jemaat paralel”, sebuah jemaat yang terdiri dari “pendatang-
pendatang asing”, “koloni surgawi” di mana Injil dihayati sepenuhnya, berlawanan dengan konteks
di sekitarnya berupa materialisme, individualisme, konsumerisme, militerisme dan kepuasan
sesaat. Model budaya tandingan ini menekankan pentingnya “praktik-praktik” Kristen - membaca
Kitab Suci, menolong orang miskin, doa bersama, merayakan baptis dan rekonsiliasi, merayakan
Ekaristi, mengembangkan ketrampilan memindai dalam Roh, menghormati hari sabat. Kedua,
dalam hal ini sangat penting karena sejumlah kritik menuduh mereka yang mempraktekan model
ini sebagai “sektarianisme” orang-orang Kristen tadi, yang telah dibentuk dan diperbaharui, hidup
dan berkarya di tengah dunia, seraya memberi kesaksian melalui gaya hidup dan pilihan-
pilihannya bahwa kehidupan mereka dihayati berdasarkan Injil, dan bukan berdasarkan situasi
budaya sekitarnya. Penting pula ditekankan bahwa proses pemindaian dan kritik melalui lensa Injil
(pengalaman dari masa lampau dalam kitab suci dan tradisi) adalah sesuatu yang senantiasa
berlangsung, baik dalam diri orang Kristen secara individu maupun secara keseluruhan Ketika ia
melihat keluar dari sisi tilik seseorang yang bertobat.

Tinjauan Terhadap Model Budaya Tandingan

44
Teologi kontekstual memperoleh sumber kekuatannya dari keberakarannya dalam Kitab Suci dan
tradisi Kristen. Model ini sama kuatnya dalam keinginan terlibat dalam dan menjadi relevan
terhadap konteks, sementara pada saat yang sama setia kepada Injil. Menurut model ini
Kecermelangan agama Kristen terletak pada dayanya yang menantang dan mengubah. Model ini
juga mengakui kemenduaan yang mendalam dan bahkan karakter anti-Injil dari konteks. Secara
khusus berkaitan erat dengan kebudayaan barat dengan penekanannya pada individualisme, pilihan
tak terbatas, aneka kejahatan, kehidupan keluarga yang labil, hubungan seksual yang bebas serta
penghancuran yang semena-mena terhadap lingkungan. Maka tampaknya bahwa kekristenan
dewasa ini mesti berbicara tentang penolakan radikal dan menawarkan cara hidup tandingan.

Ada empat peringatan yang perlu diperhatikan dalam model ini.

1) Ada bahaya terjadinya pemusnahan budaya.

Kendati itu terjadi di masa lampau namun hal itupun tetap bisa menjadi bahaya di masa
sekarang. Hal ini terjadi karena para praktisi melihat bahwa kebudayaan barat sebagai sesuatu
yang jahat. Namun sebenarnya jika kita lihat bahwa tak ada kebudayaan pun yang seluruhnya
rusak dan jahat.

2) bahaya sinkretisme.

Jemaat Gereja terlalu memusatkan perhatiannya pada jati dirinya sendiri, kualitas jemaatnya,
autentisitas peribadatannya dan tidak bergerak ke arah dunia.

3) Menyangkut model budaya tandingan bertalian dengan warnanya yang relatif


monokultural, paling kurang dalam kaitan dengan praktisinya dalam konteks barat dewasa
ini.

4) Bahaya eklusifisme Kristen atas agama-agama lain. Di satu pihak salah satu kekuatan
utama model budaya tandingan adalah sikapnya yang jelas, tegas dan berani di tengah apa
yang kerap kali merupakan pluralisme “malas” dari keyakinan religious, yang
menyempitkan iman religious kepada sekedar pendapat atau cita rasa.

45
CONTOH MODEL BUDAYA TANDINGAN

1. Gerakan The Gospel and our Culture Network

Gerakan ini merupakan suatu gerekan misi, dimana pada awal tahun 1980an Lesslie Newbigin
terlibat dalam proses yang di rancang oleh dewan gereja-gereja di Inggris. Dia mencatat bahwa
perlu adanya “perjumpaan misioner” antara gereja-gereja inggris dan kebudayaan inggris
kontemporer. Menjadi misional mencakup merangkul sikap, pola pikir, tingkah laku, dan praktik
seorang misionaris guna menjangkau orang lain dengan pesan Injil. Hal ini menjadi suatu
pembahasan yang cukup serius pada saat ini. Beberapa tahun kemudian Ketika Newbigin bersama
Husberger menghadiri sebuah konfrensi yang membahas ihwal kesaksian bersama orang-orang
Kristen dalam Karya Missioner. Mereka menentang kelompok misioner yang akan melakukan
sesuatu yang mirip dengan program “injil dan kebudayaan” yang terjadi di Amerika Serikat dan
pada saat itulah menerbitkan buletin “Gospel and our Culture”. Dari situlah muncul Gerakan yang
disebut “Gospel and our Culture Network (GOCN).

GOCN ditandai pertama, secara khusus oleh wawasannya yakni apabila Injil hendak
dikomunikasikan di Amerika Utara maka harus terlebih dahulu terjadi perjumpaan Misioner antara
gereja Kristen dan konteks Amerika Utara Kontemporer. Kedua, para anggota Gerakan ini mulai
mengakui bahwa alasan terdalam mengapa gereja menjadi tidak relevan lagi di Amerika utara ialah
karena gereja tidak lagi memiliki sesuatu untuk dikatakan, karena gereja telah
mengkontekstualisasujan dirinya sekian baik sampai benar-benar berhasil menyesuaikan diri
dengan konteks namun tidak sungguh-sungguh menentang konteks itu. Donald Poterski
menyimpulkan situasi gereja Amerika utara yakni “dari dunia namun bukan dalam dunia”. Hal ini
menjelaskan mengapa gereja perlu menjadi misioner dalam konteks ini untuk menantang dan
memurnikan dirinya dari kebudayaan sekitarnya. Ini membantu kita untuk menyadari bahwa
gereja tidak boleh merasa betah dalam satu konteks tertentu karena tugasnya bukan untuk menjadi
kapelan masyarakat melainkan menjadi saksi-saksi kerjaan Allah yang sudah hadir.

46
PENUTUP:

APAKAH SATU MODEL LEBIH BAIK DARI YANG LAIN?

Pada satu sisi, masing-masing model adalah abash sehingga tidak ada satupun yang bisa
menganggap dirinya menjadi panglima dari model-model yang lain. Di samping itu juga,
pentinglah untuk mencamkan bahwa model-model itu memiliki ciri inklusif- tidak perlu membuat
komitmen kepada satu model tertentu dengan mengecualikan model-model yang lain. Di pihak
lain, model-model tertentu tidak bisa berfugsi secara tepat sasar dalam serangkaian lingkungan
tertentu pula, atau dapat juga dipahami bahwa model praktis memungkinkan lebih baik
didayagunakan dalam situasi yang menuntut perubahan sosial yang radikal atau tindakan pastoral
yang kreatif.

47

Anda mungkin juga menyukai