Anda di halaman 1dari 83

B. A. Rukiyanto, S.J.

Pokok bahasan
 Landasan Teologi Sosial
 Apa itu Teologi Sosial?
 Ajaran Sosial Gereja
 Teologi Kontekstual
 Metode Teologi Sosial
Landasan Teologi Sosial
 Teologi dikembangkan dalam kerangka komunitas
(persekutuan hidup beriman) – bagaimana umat
Kristiani menghayati dan menjadi saksi Injil Yesus
Kristus dalam situasi masyarakat yang konkret.
 Dasar: Gaudium et Spes (Konstitusi Pastoral tentang
Gereja di dalam dunia dewasa ini) – Allah menjumpai
dan memanggil kita dalam dunia dan sejarahnya,
dalam kenyataan hidup sekarang ini.
 Locus theologicus: dunia dan sejarahnya
 Dunia dan sejarahnya bersifat ambivalen: tempat Allah
berbicara dan berkarya, sekaligus tempat yang masih
diresapi kenyataan dosa.
 Maka Gereja perlu membaca tanda-tanda zaman dan
menafsirkannya dalam terang Injil (GS 4), berdasarkan
peristiwa Yesus.
 Dunia dan masyarakat merupakan kepedulian Gereja
(GS 1).
 Gereja merupakan sakramen keselamatan (LG 1) dan
umat Allah dalam peziarahan (LG 9) yang peduli
terhadap masyarakat.
 Gereja: sakramen keselamatan bagi semua (GS 45):
Gereja dengan perkataan dan perbuatannya harus
melibatkan diri pada penderitaan , pergulatan, dan
usaha pembebasan manusia, sehingga semakin
menjadi tanda yang kelihatan dan alat efektif untuk
pengharapan akan pembebasan sepenuhnya dan
seutuhnya bagi semua orang, terutama yang kecil dan
miskin.
 Sebagai tanda, tanda harus bisa dimengerti dan
dipercaya oleh orang yang mendapat tanda itu. Maka
titik pangkalnya adalah pengalaman mereka yang
mendapat tanda – perlu usaha inkulturasi atau
kontektualisasi
 Teologi ini disebut teologi dari bawah, teologi
berdimensi kerakyatan, berpangkal dari pengalaman
dan masalah manusia di tengah konteks
kemasyarakatan yang nyata dengan segala segi
kehidupannya seperti politik, ekonomi dan sosial-
budaya, menuju penghayatan Injil yang lebih
mendalam dalam situasi itu.
 Dengan demikian Gereja semakin hidup tidak untuk
dirinya sendiri, melainkan untuk Kerajaan Allah,
untuk sesama manusia dan dunia yang diprihatinkan
Allah. Gereja semakin membiarkan Allah menjadi
dasar dan menentukan kehidupan dunia dan
sejarahnya. Injil semakin meresapi kehidupan dunia.
 Usaha inkulturasi dan kontekstualisasi ini merupakan
usaha membangun Gereja setempat dalam hidup dan
pengutusannya menghayati dan menjadi saksi Injil
Yesus Kristus.
 Maka diperlukan bahasa teologis yang sesuai dengan
lingkungan sosial budayanya. Untuk itu dibutuhkan
kerjasama antara teologi dan ilmu-ilmu
kemasyarakatan.
Teologi Sosial
 Teologi Sosial dalam arti luas: teologi kontekstual atau
teologi fundamental – teologi sosial merupakan
orientasi seluruh teologi, bukan cabang teologi
tertentu. Seluruh teologi harus mempunyai ciri sosial
atau kontekstual agar dapat dimengerti.
 Dalam arti sempit: teologi sosial sebagai teologi
khusus tentang keterlibatan umat dalam masalah-
masalah masyarakat, misalnya dalam menghadapi
tantangan kemiskinan dan ketidakadilan.
Dinamika & unsur-unsur pokok
 Teologi sosial dimulai dengan kenyataan masyarakat
yang dialami bersama dan bermuara pada tindakan
yang menghendaki perubahan situasi kemasyarakatan
tersebut.
 Pendekatan metodis ini sudah digunakan lama: see –
judge – act
 Ensiklik Mater et Magistra, Gaudium et Spes,
Sollicitudo Rei Socialis menerapkan metode ini juga.
 Pendekatan ini baik untuk penelitian dan pendidikan
teologis maupun praksis pastoral.
Empat tahap/Lingkaran Pastoral
 1. Mengalami situasi sosial melalui observasi
partisipatif
 2. Analisis sosial: menempatkan pengalaman ke dalam
konteks masyarakat yang lebih luas, masalah sosial
diolah secara kritis, mencari sebab-musababnya dan
hubungan satu sama lain (analisis politik, ekonomi,
sosio-budaya secara historis dan kultural)
 3. Refleksi teologis-sosial atas apa yang dihasilkan oleh
analisis kemasyarakatan tadi – mempertemukannya
dengan kesaksian Kitab Suci, Tradisi, termasuk ASG
 4. Tindakan sebagai perwujudan iman menghadapi
masalah sosial tersebut. Iman diterjemahkan dalam
kenyataan hidup agar inspirasi Injil mendapat wujud
nyata dalam zaman dan situasi sekarang.
 Tahap terakhir ini menuntut kebijaksanaan dan
kepekaan pastoral untuk apa yang dapat dijangkau,
agar tindakan itu sungguh tepat dan dapat
dipertanggungjawabkan, tanpa melanggar otonomi
dunia yang wajar (GS 36) serta pluralitas jalan yang
boleh ditempuh (GS 43, 76).
Diagram Lingkaran Pastoral

TINDAKAN mengubah Situasi


Koinonia Sosial yg
Kerygma, Liturgi dialami &
Diakonia dianalisis

inspirasi

Injil Refleksi
Yesus Kristus: Teologi
Kerajaan Allah Sosial
 Tindakan hidup beriman (koinonia, kerygma,
litourgia, diakonia) saling berhubungan dan saling
mempengaruhi.
 Keseluruhannya mempunyai arti bagi perubahan
situasi yang dialami bersama.
 Pelakunya adalah umat yang mengimani Yesus
sehingga tindakannya diinspirasikan oleh Injil.
Penghayatan iman sebagai keterlibatan pribadi dan
kolektif dalam situasi objektif ditentukan oleh
kesetiaan kepada Yesus yg peduli akan Kerajaan Allah.
 Tindakan harus didasari oleh refleksi teologis-sosial
dalam arti ilmiah maupun refleksi harian dibantu
analisis sosial supaya bisa mengarah pada perubahan.
 Dibutuhkan kerja sama antar umat beragama dalam
analisis sosial maupun dalam dialog antarteologi yang
mengarah pada tindakan bersama untuk mengubah
masyarakat yang lebih adil dan manusiawi.
 Kerja sama itu dimungkinkan karena Roh Allah
berkarya di mana pun di luar batas tembok Gereja.
 Maka kita secara pribadi maupun bersama dipanggil
untuk mengenali tanda-tanda dan menemukan
kehadiran-Nya.
Sejarah Teologi Sosial
 Refleksi teologis sosial sudah sejak awal dilakukan
dalam Gereja. Kis 2:42-47, 4:32-35 menunjukkan
bagaimana jemaat perdana sudah bersatu dalam
ibadat dan memiliki segala sesuatu bersama-sama
sehingga tidak ada orang miskin di antara mereka.
 Dalam zaman Patristik, para Bapa Gereja menekankan
bahwa harta benda dunia ditentukan untuk semua
orang, suatu prinsip pokok yang merupakan bagian
penting dari Ajaran Sosial Gereja sampai hari ini.
 Kewajiban beramal baik kepada kaum miskin selalu
ada.
 Tokoh-tokoh yang memihak kaum miskin muncul
sepanjang sejarah: Fransiskus Assisi, Petrus Claver,
Uskup Romero.
 Selalu ada pemikir, pemimpin Gereja atau teolog yang
berusaha membela martabat dan hak-hak kaum
miskin dan tertindas, seperti Bartolome de las Casas,
Francisco de Suarez, Friedrich von Spee (Uskup
Ketteler). Mereka meletakkan dasar untuk ASG yang
resmi mulai dengan ensiklik sosial pertama Paus Leo
XIII Rerum Novarum (1891).
 Apa yang dapat diharapkan dari ASG? Apa fungsi dan
arti ASG?
 Sebagaimana setiap ajaran Gereja, ASG mempunyai
dimensi pengartian dan dimensi pengarahan hidup
menggereja.
 ASG merupakan semacam model teoretis yang
membantu kita menwujudkan semangat Injil dalam
kehidupan masyarakat. ASG merupakan bantuan
pastoral.
 Namun ASG tidak memberikan resep jadi untuk
memecahkan semua masalah. ASG bukan jalan ketiga
antara kapitalisme liberal dan kolektivisme Marxis,
melainkan menafsirkan kenyataan sosial manusia
dalam terang Injil agar dapat menunjukkan arah
perilaku kristiani.
 ASG bukan ideologi, melainkan termasuk teologi
moral (SR 41)
 ASG sebagai dokumen bisa dimanfaatkan, bahkan
diperalat oleh berbagai kelompok dan pihak politik
menurut kepentingan masing-masing. Misalnya:
ensiklik Centesimus Annus bisa ditafsirkan berbeda
oleh kelompok neo-konservatif, kelompok progresif
atau pun kelompok radikal.
 Kekuatan ASG terletak pada ketajaman petunjuk
dalam ikut mengalami, mengamati dan menganalisis
kenyataan sosial secara tepat, lalu menafsirkan dan
mencari arah menuju perubahan masyarakat yang
lebih manusiawi.
 ASG perlu dijabarkan dalam situasi konkret , dengan
menerapkannya pada Gereja lokal. Sejauh mana ajaran
itu berpengaruh tergantung dari keterlibatan
sebanyak mungkin umat.
Ajaran Sosial Gereja
 Apa latar belakang dokumen (sosial, politik,
ekonomi)?
 Apa permasalahan pokok yang muncul dalam
dokumen?
 Apa isi pokok dokumen?
 Bagaimana tanggapan Gereja?
 Pendekatan apa yang dipakai oleh dokumen?
Ajaran Sosial Gereja
 Rerum Novarum (RN, Leo XIII, 1891): masalah sosial
mengenai kondisi kerja dalam masyarakat industri.
Orang paling miskin adalah kaum buruh, maka hak-
hak mereka dibela, yaitu upah yang adil dan hak
berserikat untuk membela kepentingan mereka. Ini
merupakan pendekatan struktural atas masalah buruh
(masalah keadilan sosial, bukan karitatif).
 Quadragesimo Anno (QA, Pius XI, 1931): prinsip
solidaritas dan subsidiaritas untuk mengatur struktur
masyarakat untuk mengatasi permusuhan klas.
 RN dan QA menekankan hak berserikat kaum buruh,
tapi masih mengharapkan perubahan pertama-tama
dari atas (klas yang beruntung dari sistem kapitalis-
liberal). Pius XII banyak menulis pernyataan dan
pesan sosial berdasarkan RN dan QA.
 Mater et Magistra (MM, Yohanes XXIII, 1961): perlunya
partisipasi yang lebih besar dari kaum buruh dalam
manajemen industri; bicara juga tentang masalah
upah yang adil, hak milik pribadi, masalah pertanian,
masalah kemiskinan negara-negara berkembang
butuh bantuan dari negara-negara kaya.
 Pacem in Terris (PT, Yohanes XXIII, 1963): masalah
perdamaian berkaitan dengan keadilan; kalau masalah
kemiskinan dan ketidakadilan tidak diatasi, mustahil
dunia hidup damai.
 Konsili Vatikan II: dalam kotbah pembukaan, Yohanes
XXIII bicara tentang Gereja kaum miskin (perspektif
kristologisnya tampil dalam Lumen Gentium 8 dan Ad
Gentes 5). Gaudium et Spes mengingatkan pengikut
Kristus untuk ikut serta dalam suka duka masyarakat,
terutama yang miskin dan terlantar. Otonomi dunia
diakui, optimis terhadap perkembangan dunia
modern, hasilnya akan dapat dinikmati merata.
 Populorum Progressio (PP, Paulus VI, 1967): nada
optimis GS sulit terpenuhi tampak dalam pengalaman
negara-negara miskin; bicara tentang perkembangan
bangsa-bangsa dan hubungan negara kaya dan miskin;
perkembangan integral ditekankan, bukan saja
kemajuan ekonomis, melainkan juga pengetahuan,
kebudayaan, dan kebutuhan pokok hidup. Bagi orang
kristiani, humanisme baru terdapat dalam kesatuan
dengan Kristus.
 Octogesima Adveniens (OA, Paulus VI, 1971): ditunjuk
kepincangan antara negara kaya dan miskin,
diskriminasi rasial, pengasingan oleh konsumerisme.
Demokrasi, pluralisme, kebebasan memilih,
emansipasi wanita dan kaum muda didukung.
 Iustitia in Mundo (IM, sinode para uskup di Roma,
1971): usaha menegakkan keadilan merupakan
dimensi konstitutif pewartaan Injil. Pewartaan Injil
mengutamakan orang dan bangsa yang tertindas,
korban ketidakadilan dan tidak punya suara.
 Evangelii Nuntiandi (EN, Paulus VI, 1975): pewartaan
Injil erat berhubungan dengan kehidupan konkret
manusia, tidak boleh mengabaikan masalah keadilan,
pembangunan, pembebasan, perdamaian dunia; cinta
terhadap sesama yang menderita dan kekurangan.
 Laborem Exercens (LE, Yohanes Paulus II, 1981):
tentang pekerjaan manusia, keprihatinan terhadap
kaum buruh; martabat manusia pekerja dijunjung
tinggi, di atas modal sebagai keseluruhan alat
produksi (LE 13); mendesak perubahan radikal yang
membela orang tak berdaya berhadapan dengan
penguasa (LE 21).
 Sollicitudo Rei Socialis (SR, Yohanes Paulus II 1987):
lingkaran pastoral; perlunya perubahan struktur dan
mekanisme yang tidak adil, mendahulukan kaum
miskin dan perlunya solidaritas global.
 Centesimus Annus (CA, Yohanes Paulus II, 1991):
membahas situasi sesudah keruntuhan komunisme di
Eropa Timur. Prinsip-prinsip ASG dan perhatian pada
kaum miskin diangkat kembali. Hal baru: penilaian
positif sistem pasar, persaingan dan ekonomi
internasional liberal, yang membutuhkan kerangka
sosial yang harus diatur negara; pentingnya gerakan
aktif tanpa kekerasan yang berhasil di Eropa Timur,
faktor budaya, pentingnya modal manusia, pembinaan
pengetahuan dan ketrampilan. Kemiskinan global
merupakan tantangan besar bagi solidaritas manusia.
Pergeseran tekanan
 Isi: dari kepedulian mengenai tata milik pribadi ke
arah kepedulian akan kemiskinan, sampai pada
pernyataan tegas preferential option for the poor.
Masalah perdamaian dikaitkan dengan keadilan bagi
kaum miskin dan lapar.
 Pendekatan: dari makro ke pendekatan dari bawah,
dari individual ke struktural (LE)
 Cara berpikir: dari umum (masyarakat sebagai
keseluruhan yang teratur) ke perlunya analisis
kemasyarakatan yang nyata.
 Cara beragumentasi: dari deduktif “hukum kodrat” ke
argumentasi induktif teologis-sosial yang berpangkal
pada hasil pengamatan atau analisis mengenai
kenyataan sosial (SRS); hukum kodrat tetap penting,
tapi perlu dilengkapi dengan pendekatan dari bawah
melalui analisis. Kitab Suci berperan dalam
argumentasi teologis.
Teologi Sosial Gereja Lokal
 Teologi Politis: dikembangkan oleh J.B. Metz dan J.
Moltmann, yaitu teologi yang memperhatikan dimensi
kemasyarakatan dan politis – mengarahkan
keseluruhan teologi dalam semua bagian dan
cabangnya (sebagai teologi fundamental).
 Suatu usaha untuk mempertanggungjawabkan iman
dan harapan kita berhadapan dengan keadaan sosio-
historis manusia dewasa ini.
 Program: kritik terhadap penghayatan iman yang
terlalu individualistis dan spiritualistis, untuk
mempertanggungjawabkan iman yang mendunia dan
memasyarakat.
Teologi Pembebasan
 Teologi pembebasan memahami diri sebagai orientasi
keseluruhan refleksi teologis, yaitu pembebasan kaum
miskin dan tertindas, orientasi kerakyatan; bergerak
dalam bermacam-macam level: ilmiah, praksis
pastoral, dan populer.
 Praksis mendahului refleksi; prioritas ortopraksis,
tindakan yang benar yang dapat dipertanggungjawab-
kan sebagai tindakan iman.
 Akar: abad ke-16 saat muncul teologi kenabian
melawan penjajahan (Antonio de Montesinos dan
Bartholome de las Casas)
 Teologi pembebasan sekarang berawal dari praksis
pastoral pembebasan (umat basis) tahun 1960-an,
didorong oleh Vatikan II, konferensi Wali Gereja
America Latin (1968 di Medellin, 1979 di Puebla, 1992
di Santo Domingo).
 Arah dasar: pembebasan kaum miskin dan tertindas
 Pembebasan dimengerti secara menyeluruh, meliputi
pula pembebasan dari penindasan sosial ekonomis
dan politis. Kekuatan rakyat miskin untuk mengubah
situasi sejarah mereka yang tertindas diakui.
 Pembebasan ini dilihat sebagai wujud kesatuan
dengan Yesus Kristus Pembebas.
 Pembebasan sebagai wujud penyembahan kepada
Allah yang mendengarkan jeritan umat-Nya dan
menghendaki keadilan.
 Isi teologis: tindakan pembebasan Allah dalam sejarah
serta pilihan mendahulukan kaum miskin dan
tertindas. Kaum miskin terjerat oleh ketidakadilan
atau kekerasan struktural yang meresapi struktur-
struktur masyarakat. Maka isi refleksi teologisnya
mengenai struktur-struktur dosa.
 Tanggapan Kongregasi Ajaran Iman: 1984 bernada
negatif, tapi teologi pembebasan tetap dibenarkan dan
opsi terhadap kaum miskin didukung; 1986 bernada
positif: perlunya bekerja serentak untuk pertobatan
hati dan perbaikan struktur-struktur yang tidak adil.
Teologi Kontekstual
 Usaha penghayatan dan refleksi iman dalam situasi
konkret (inkulturasi).
 Afrika: pembebasan dari perbudakan dan diskriminasi
serta menemukan kembali kepercayaan diri dan
identitas kebudayaan Afrika.
 Asia: dialog dan kerjasama antar iman dan agama
dalam usaha mengatasi kemiskinan menuju
transformasi masyarakat.
 Indonesia: karya seni bangunan, musik, tari, lukis,
audio visual, katekese, liturgi, teologi sosial.
 Fransiscus van Lith menggunakan argumentasi
teologis persaudaraan semua orang untuk membela
hak-hak orang pribumi melawan penjajah dan
mendukung gerakan kemerdekaan.
Teologi Feminis
 Usaha menanggapi masalah ketimpangan jender,
diskriminasi dan penindasan kaum perempuan.
Penindasan bisa dua atau tiga kali: kemiskinan fisik,
diskriminasi perempuan, suku, ras atau warna kulit.
 Gerakan pembebasan perempuan ke arah perubahan
sosial dan gerejawi: pembongkaran patriarki dalam
masyarakat, dalam Gereja, dalam keluarga, di mana
kaum perempuan tidak mendapat tempat yang wajar
dan diperlakukan tidak adil.
 Ekofeminisme: perspektif ekologis
 Ekofeminis melihat kehancuran ekologi akibat
androsentris, bukan hanya antroposentris, karena
struktur patriarki yang tidak memberi peran wajar,
bahkan menindas kaum perempuan.
 Pembongkaran patriarki dan perlawanan terhadap
kaum perempuan melibatkan baik perempuan
maupun laki-laki – spiritualitas feminis (feminist
spirituality), bukan spiritualitas kaum perempuan
(female pirituality).
 Yang dilawan bukan laki-laki, melainkan sistem dan
strukturnya.
Ajaran - Teologi Sosial Ekumenis
 Sidang Dewan Gereja Sedunia Vancouver (1983)
mengajak Gereja-gereja untuk memasuki proses
konsilier dalam ikatan kebersamaan memperjuangkan
keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan.
 Dalam proses konsilier ini gerakan bersama dalam
satu Roh dapat terjadi tanpa terlalu banyak dibebani
oleh perkara masing-masing Gereja.
 Yang utama: kepedulian dan perjuangan bersama utk
keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan di mana
pun dengan melibatkan sebanyak mungkin orang.
Struktur Sosial
 Manusia hidup di dalam masyarakat bagaikan dalam
penjara. Manusia dibatasi oleh norma-norma sosio-
budaya, institusi yang mengatur hidup bersama ,
peranan sosial dan kontrol serta sanksi sosial.
 Masyarakat hidup dalam manusia bagaikan dalang
yang menggerakkan wayang. Norma-norma sosio-
budaya tidak dipaksakan dari luar, tetapi sudah kita
internalisasikan sehingga menjadi sikap dan pola
tingkah laku kita sendiri dan tidak dirasakan sebagai
barang asing.
 Proses internalisasi itu mempunyai tiga proses: 1)
sosialisasi, 2) enkulturasi, 3) personalisasi
 Manusia ikut membentuk masyarakat bagaikan
pemain dalam drama. Masyarakat berkembang terus
karena ada pemain dengan kebebasan, meskipun tidak
memilih panggung di mana mereka mementaskan
drama sosial itu.
Kategori Dasar
 Sistem sosial: keseluruhan masyarakat dengan banyak
elemen yang terdapat dalam suatu jalinan hubungan
satu sama lain yang stabil.
 Struktur sosial: interaksi dari perilaku manusia dalam
masyarakat yang berbentuk stabil sehingga bisa
diantisipasikan; sistem masyarakat itu tersusun secara
stabil dan sekaligus amat luwes, bagaikan tali-
menalinya jala ikan.
 Institusi sosial: aturan-aturan dalam satuan
masyarakat mengenai masalah-masalah yang umum
dan sering terjadi, yang bersifat repetitif,
diantisipasikan, dituntut dan dipaksakan oleh
masyarakat serta dipelajari dan diinternalisasikan; apa
yang konkret melestarikan bentuk masyarakat,
bagaikan titik ikatan yang mengaitkan tali pada jala
ikan.
 Dimensi sosial budaya: di belakang tiap masyarakat
ada pandangan hidup dan nilai tertentu, bagaikan di
belakang jala ikan ada ide dan rencana bagaimana
harus tersusun.
 Kebudayaan (material dan non-material) mewujud
dalam hidup sosial, menjadi struktur kebudayaan
(mentalitas, struktur sosial, institusi sosial).
 Mentalitas (sikap, pola tingkah laku, permainan
peranan sosial) ditentukan oleh hidup sosio-budaya
bersama dalam masyarakat, bukan oleh individu (dari
perspektif mikro).
 Dari sudut makro, kebudayaan mewujud dalam
struktur sosial dari keseluruhan sistem sosial – klas,
perbedaan sosial berdasarkan jenis kelamin, bentuk
pembagian kerja.
 Akhirnya, budaya, mentalitas, struktur sosial tampak
dalam institusi sosial, lembaga yang mengatur
kehidupan sosial.
 Masih ada struktur internasional, pengaruh luar
negeri atas masyarakat (timbal-balik) dan dimensi
historis, seluruh sistem sosial merupakan buah sejarah
dan berkembang terus dalam sejarah.
 Maka diperlukan analisis struktural dan historis
(seperti foto dan film).
Ketidakadilan Sosial
 Ketidakadilan merupakan masalah etis.
 Ketidakadilan perorangan – setiap orang seharusnya
bersikap adil dalam tindakannya.
 Ketidakadilan struktural/sosial meresapi struktur dan
lembaga kemasyarakatan dan menjelma di dalamnya,
tidak secara langsung disebabkan oleh perorangan
yang tidak adil; bagaikan udara yang dihirup, mau tak
mau menentukan dan membatasi gerak-gerik kita.
Namun ketidakadilan itu diciptakan manusia, sebagai
warisan dari sejarah.
 Akibatnya bersifat ganda: kita terjerat oleh
ketidakadilan struktural sehingga tindakan
perorangan selalu dalam bahaya meleset dari sikap
adil; struktur dan lembaga tersusun dan terarahkan
sedemikian hingga tindakan kita kerap menghasilkan
atau menunjang ketidakadilan, meskipun kita berniat
baik dan tidak bisa dipersalahkan secara langsung.
 Contoh: anak terlantar dari keluarga berantakan, tak
pernah mengalami cinta dari keluarga dan
lingkungan, besar kemungkinan menjadi asosial,
gelandangan, pengemis, pencopet, sehingga hampir
tidak bisa disalahkan.
 Dalam dunia pendidikan, yang bisa sekolah adalah
anak orang kaya. Hingga jurang si kaya dan si miskin
makin lebar.
 Tanggungjawab sosial tidak dibatasi pada tindakan
perorangan, tapi meliputi segi struktural-institusional,
yaitu sistem sosial dengan sgi positif-negatifnya.
Sistem harus dipertanggungjawabkan dan bisa diubah
secara bersama.
 Masalah: masing-masing orang bertindak sesuai
dengan logika sistem di mana mereka hidup. Misal:
orang akan menaati aturan lalu lintas kalau ada
pengawasan ketat.
 Sistem perpajakan progresif akan menunjang
pemerataan dan keadilan, terlepas dari keutamaan
pribadi dan keadilan.
 Seruan pada tuntutan moral tidak cukup.
 Kebijaksanaan dan baiknya sistem mengandaikan
pribadi dengan akal sehat dan keberanian, yang dalam
situasi kritis, di mana aturan institusional yang lama
tidak memadai, sanggup melepaskan diri dari pola
tingkah laku tradisional.
 Maka harus ada orang yang melihat perlunya
perubahan dan bertindak atas tanggungjawab sendiri,
kalau perlu tanpa dukungan besar, bahkan dimusuhi –
inilah cara merintis perubahan.
Dosa Struktural
 Perwujudan tanggungjawab sosial secara pribadi dan
institusional berhadapan dengan fakta dosa sosial dan
struktur-struktur dosa.
 Dasar: fakta sosial hubungan antara individu, institusi,
sistem dan struktur sosial.
 Istilah dosa sosial ditemukan dalam amanat apostolik
Reconciliatio et paenitentia (Yohanes Paulus II, 1984).
Dosa sosial
 1) pengaruh sosial dari dosa, setiap dosa pribadi
mempengaruhi orang lain (solidaritas manusiawi).
 2) dosa-dosa melawan sesama, melawan keadilan
(dilakukan baik individu maupun komunitas)
 3) berlawanan dengan rencana Allah berkaitan dengan
struktur-struktur sosial; bukan keputusan bebas
manusia, tapi kondisi universal dan kekuatan di luar
manusia. Dosa tertanam dalam struktur kehidupan
masyarakat; struktur-struktur berdosa.
 Maka dosa sosial menciptakan iklim yang membuat
dosa personal dipermudah dan dianggap wajar.
Keutamaan secara sosial dibuat menjadi lebih sukar,
juga kalau orang secara tulus menghendakinya.
 Sebagai objek, dosa sosial merupakan perbuatan dosa
pribadi-pribadi atau kelompok yang kena pada
masyarakat.
 Sebagai subjek, dosa sosial menunjuk komunitas atau
kolektivitas.
 Dosa sosial pertama-tama dilihat dalam arti sebagai
subjek.
 Ada 4 level dosa sosial:
 1) ketidakadilan dan dehumanisasi yang terjelma
dalam institusi sosial, politis, ekonomi, religius, yang
membadani kehidupan kolektif.
 2) level simbol-simbol kultural-religius yang
melegitimasikan dan mendesakkan situasi tidak adil.
 3) kesadaran keliru yang terciptakan oleh institusi dan
ideologi hingga rakyat melibatkan diri dalam tindakan
destruktif.
 4) level keputusan kolektif yang lahir dari kesadaran
yang telah rusak dan menyimpang, yang menambah
ketidakadilan dalam masyarakat.
 Struktur dosa berakar dalam dosa pribadi, dikaitkan
dengan tindakan konkret individu yang menciptakan
struktur, membuat struktur itu sulit dihilangkan dna
bertumbuh makin kuat, meluas dan menjadi sumber
dosa lain dan mempengaruhi tingkah laku orang2.
 Struktur itu berakar pada dosa pribadi, namun pada
gilirannya mempunyai kekuatan sendiri. Kekuatan
dosa yang terwujud dlam struktur sosial menjadi sulit
dibasmi, juga kalau individu-individu
menghendakinya.
 Ada hubungan timbal balik antara dosa pribadi dan
struktur dosa. Dosa pribadi memperkuat struktur dosa
dan struktur dosa menyeret dosa pribadi.
Mengapa ada Dosa Struktural?
 Keadaan manusia dalam sejarah yang sesungguhnya,
karena kerasnya hidup, dalam kenyataannya manusia
terikat dalam dirinya sendiri. Tanpa menghendakinya,
ia menjadi serakah, tidak adil, ia membela hartanya
sendiri secara mati-matian.
 Hal itu tidak hanya dihasilkan oleh kejahatan
perorangan, tetapi juga disebabkan oleh keadaan
budayanya dalam arti luas, oleh keadaan sosial
manusia dalam sejarah.
 Itu merupakan dosa yang terjalin dalam sistem
kehidupan, dalam mentalitas, dalam ide-ide yang
diterima, yaitu : cara berada dan cara hidup yang oleh
Kitab Suci disebut “dunia” dalam arti negatif, dimana
di balik kata-kata yang bagus, orang mengutamakan
kepentingan sendiri, merasa perlu menguasai orang
lain, membalas dan memerangi supaya tidak harus
mengalah.
 Keadaan konflik itu memang tidak kita pilih, namun
kenyataannya kita tidak dapat menghindarinya.
 Paulus mencela dosa struktural, yaitu dosa yang
terjalin dalam kehidupan sosial, ekonomi dan
mentalitas.
 Itu memang termasuk salah satu segi kenyataan,
namun meskipun mencelanya, Paulus juga
menegaskan, bahwa di dalam lubuk hati manusia juga
ada mentalitas yang bertolak belakang, yaitu
keterbukaan kepada Allah.
 Uraian tentang dosa struktural dan tentang
keterlibatan kita di dalamnya itu dapat diterangkan
lebih jelas dengan mengambil suatu contoh dari hidup
Yesus. Ketika Yesus berada di Betania, di rumah Simon
si kusta, dan sedang duduk makan, datanglah seorang
perempuan membawa suatu buli-buli pualam berisi
minyak narwastu murni yang mahal harganya...
"Untuk apa pemborosan minyak narwastu ini? Sebab
minyak ini dapat dijual tiga ratus dinar lebih dan
uangnya dapat diberikan kepada orang-orang miskin."
Lalu mereka memarahi perempuan itu. Tetapi Yesus
berkata: "Biarkanlah dia. Mengapa kamu menyusahkan
dia? Ia telah melakukan suatu perbuatan yang baik
pada-Ku.” (Mrk 14:3-6).
 Di sini ada penilaian tentang suatu tindakan tertentu.
Yesus dan perempuan itu berada dalam posisi
sendirian. Orang yang mengelilingi mereka berdua
dipengaruhi oleh pertimbangan naluri dan
mempersalahkan tindakan perempuan itu. Mereka
tidak mampu memahami tindakan perempuan itu.
 Di situ terjadi sesuatu yang khas, sesuatu yang
dipengaruhi oleh kekuatan mentalitas yang disalurkan
oleh yang satu kepada yang lain dan tidak
memungkinkan keterbukaan kepada kebenaran suatu
tindakan yang mempunyai arti kenabian. Mereka
bertindak atas dasar keyakinan umum yang
tampaknya sesuai dengan akal sehat. Dengan
demikian mereka semua melawan Yesus.
 Paulus merasa dirinya solider dengan dunia dan
menghayati di dalam dirinya mentalitas itu secara
nyata sepenuhnya, katanya : “Aku, manusia celaka!
Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut
ini?” (Rm 7:24). Dengan kata lain : tak mungkin aku
menghindar dari kenyataan ini. Ia segera
menambahkan : “Syukur kepada Allah! oleh Yesus
Kristus, Tuhan kita.” (Rm 7:25).
 Dalam kebutaannya, Rasul menyelam ke dalam
kegelapan manusia sampai ke dasarnya, jauh lebih
dalam dari pada yang dapat dialami manusia
umumnya. Dengan demikian ia dapat memahami
kuasa cahaya Kristus dan menyelami kemampuan
Kristus untuk membuat kembali suatu dunia baru.
 Dengan mengalami kegelapan, ia menangkap kuasa
penerangan pembaptisan. Maka dengan suka rela ia
mau menerima pembaptisan itu melalui tangan
Ananias. Dengan demikian, dalam Gereja dan dari
Gereja, ia menerima kuasa keselamatan.
 Ensiklik Dives in misericordia (kaya dalam belas kasih)
berbicara tentang ketidak-senangan dan tentang
sumber ketidak-senangan itu begini : “Tentu saja di
dasar ekonomi dewasa ini dan kebudayaan materialis
ada suatu kesalahan dasar, atau lebih tepat suatu
kompleks berbagai kesalahan, yaitu suatu mekanisme
yang salah. Kebudayaan materialis itu tidak
memungkinkan keluarga umat manusia melepaskan
diri dari keadaan yang jelas-jelas tidak adil itu.” (No.11).
 Paus menerapkan pada keluarga umat manusia
ketidak-mampuan yang oleh Paulus diterapkan pada
manusia : aku melihat, aku menghendaki, tetapi aku
tidak bisa. Dengan demikian realitas dosa struktural
yang dialami oleh manusia di dalam dasar dirinya
sendiri diperluas ke struktur umat manusia pada
umumnya.
Pertobatan Sosial
 Struktur dosa mesti dihadapi dengan solidaritas, tekad
kukuh mengabdikan diri kepada kebaikan bersama,
karena semua bertanggungjawab atas semua (SR 38).
 Gerakan solidaritas kaum miskin sendiri diperlukan
(SR 39).
 Kemajuan masyarakat sekaligus pertobatan pribadi
harus dimaklumkan secara utuh sebagai satu
kesatuan.
 Karena dosa pribadi dan dosa struktural mempunyai
hubungan timbal balik, maka pertobatan pribadi dan
pertobatan sosial diperlukan agar perubahan struktur
demi kemajuan masyarakat dapat terjadi.
 Pertobatan pribadi dapat mempunyai pengaruh sosial
dan dapat menggerakkan pertobatan kelompok.
Nantinya diharapkan pertobatan pribadi dan
kelompok dapat mewujud dalam gerakan bersama
yang bersifat struktural dan mengubah struktur-
struktur dosa.
 Perubahan struktural hanya akan terjadi melalui
tindakan politis.
 Maka dari itu pertobatan sosial dibutuhkan untuk
melahirkan aksi yang menjalankan gerakan/tindakan
politis untuk perubahan ke arah terwujudnya struktur
yang lebih manusiawi.
 Dari sini kita bisa bicara mengenai struktur
pertobatan atau struktur rahmat.
Struktur rahmat
 Melalui jaringan-jaringan sosial, rahmat terwujud
secara konkret.
 Manusia berada dalam ketegangan antara hukum dosa
dan hukum rahmat (Rom 5:12-21, 6:15, 7:14-24).
 Pilihan dan keputusan manusia berada dalam kedua
pengaruh tersebut: memperkuat struktur dosa atau
mengubah struktur dosa ke arah semakin terciptanya
struktur rahmat.
 Maka dibutuhkan serentak pertobatan hati dan
perbaikan struktur, dengan prioritas kebebasan dan
pertobatan pribadi, seraya mengubah struktur.
 Mereka yang tertindas perlu mengambil tindakan
melalui sarana-sarana yang secara moral halal,
mengamankan struktur dan lembaga di mana hak-hak
mereka akan sungguh dihormati.
 Yohanes Paulus II berbicara mengenai majikan tidak
langsung: pribadi dan lembaga serta kontrak-kontrak
kerja kolektif dan prinsip-prinsip tingkah laku yang
ditetapkan pribadi dan lembaga yang menentukan
seluruh sistem sosio-ekonomi atau hasilnya (LE 17).
 Demi hubungan yang adil, majikan tidak langsung
perlu diubah, yaitu perubahan struktur.
 Kaum buruh berhadapan dengan seluruh sistem dan
struktur, seperti undang-undang perburuhan,
peraturan upah adil, jaminan kesehatan, jam kerja,
hak berserikat, hak mogok, dsb.
Pengaruh nilai budaya
 Pertobatan sosial mengandaikan pertobatan pribadi
dan pertobatan komunitas.
 Namun ada banyak kendala kultural dan kuasa yang
tidak mudah diterobos.
 Kebudayaan merupakan realitas kompleks yang
berkembang, meliputi segi material dan non material.
Dalam pertemuan antar budaya, segi material akan
mudah diubah (konsumerisme, korupsi, prostitusi,
dsb) sehingga nilai rohani terancam. Akibatnya
pertobatan pribadi sulit, apalagi pertobatan sosial.
 Pluralisme budaya membawa kesulitan bagi
pertobatan sosial dan perubahan struktural.
Ketegangan antar agama dan antar suku selalu
diwarnai dengan diskriminasi.
 Masyarakat pluralis mudah dimanipulasi untuk
kepentingan pribadi dan kelompok tertentu, apalagi
kontrol sosial lemah.
 Pertobatan sosial memutuhkan kesatuan komunitas
yang tidak terpecah-pecah.
 Dalam budaya Jawa, sangat penting pola harmoni,
baik dalam religi-kosmis maupun masyarakat. Dosa
dilihat sebagai kerusakan harmoni dan rasa malu.
Kalau harmoni hanya terbatas yang lahiriah
(formalisme, kemunafikan), maka perubahan bagi
kepentingan umum kurang diusahakan.
 Dalam situasi ini, penghayatan Injil mempunyai peran
kritis kreatif: usaha terus-menerus menghayati Allah
sebagai Yang Mahabaik terhadap semua orang, yang
mendahulukan kaum miskin dan tersingkir,
mendorong perjuangan keadilan sosial. Pengolahahan
batin dan lingkungan dikembangkan terus dalam
terang Injil.
Penegakan keadilan: wujud
kasih
 Sering tidak disadari kaitan antara pewartaan Injil dan
penegakan keadilan.
 Padahal dalam seluruh Injil jelas ditegaskan bahwa
iman bukan sekedar kepercayaan batin, melainkan
harus diwujudkan dalam perbuatan nyata dan seluruh
kehidupan, baik perorangan maupun sosial.
 Andaikata Yesus hanya mewartakan penebusan
melulu rohani, Ia tidak perlu mengakhiri pewartaan-
Nya sampai mati di salib.
 Keterlibatan Yesus yang konkret, yang merupakan
kesaksian akan kabar gembira, menjadi batu
sandungan bagi para lawan-Nya.
 Perintah utama kasih harus selalu diutamakan dan
dilaksanakan sesuai dengan tiap-tiap zaman.
 Pendekatan karitatif dan karya amal untuk membantu
para korban ketidakadilan tetap penting, namun tugas
yang mendesak adalah pencabutan akar ketidakadilan.
 Ciri khas ketidakadilan struktural: manusia
sebenarnya sanggup menciptakan dunia yang lebih
adil, namun tidak mau melakukannya.
 Struktur dan lembaga masyarakat yang tidak adil
harus diresapi hukum kasih, yaitu dengan usaha
menegakkan keadilan.
 Usahawan yang menghisap buruhnya tidak bisa
diimbangi dengan memberi dana besar untuk Gereja,
meskipun Gereja menggunakan dana itu untuk
membantu orang terlantar, termasuk para buruh itu.
Dana itu harus ditolak, kalau diketahui sebagai hasil
usaha yang tidak adil. Karya amal tidak bisa
mengganti kewajiban keadilan, yaitu hak buruh atas
upah yang adil.
 Penegakan keadilan itu mutlak perlu untuk pewartaan
Injil yang meyakinkan, karena ketidakadilan
bertentangan dengan semangat Injil dan tujuan
Kerajaan Allah, mengingkari martabat an hak manusia
sebagai citra Allah dan saudara/i Kristus.
 Ketidakadilan merupakan bentuk ateisme praktis,
mengingkari Allah bukan dengan kata, melainkan
dengan tindakan. Bertindak secara tidak adil atau
menunjang ketidakadilan struktural berarti bertindak
seakan-akan tidak ada Allah. Ateisme praktis yang
dilakukan oleh orang kristiani lebih berbahaya
dibandingkan ateisme teoritis yang menyangkal Allah.
 Tantangan penegakan keadilan juga menyangkut
struktur dan lembaga Gereja. Struktur Gereja harus
diresapi dimensi dan usaha penegakan keadilan.
 Dituntut keberanian utnuk mengadakan perubahan di
dalam Gereja. Inilah makna tobat yang sejati.

Anda mungkin juga menyukai