STTIH / HITS
Disusun Oleh :
Adry Juvento, S.E.
21 September 2015
1. Jelaskan apa yang dimaksud hukum gereja dan jelaskan teori – teori yang muncul!
gereja. J. L. Ch. Abineno, mengartikan hukum gereja sebagai peraturan gereja yang digunakan
untuk menata dan mengatur kehidupan pelayanan dalam gereja.Demikian juga dengan definisi
yang diberikan oleh Dr. M. H. Bolkestein, yang menyatakan bahwa hukum gereja merupakan
aturan tentang perbuatan dan kehidupan gereja untuk menyatakan gereja sebagai Tubuh Yesus.
Namun sesungguhnya, hukum gereja tidak hanya sekadar mengenai peraturan. Cakupan hukum
gereja lebih luas dari sekedar aturan, sebab berbicara mengenai pertanggungjawaban teologis
Keberadaan aturan dalam gereja adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat dihindari.
Setiap gereja—baik yang baru dirintis maupun yang telah mapan dalam proses pelembagaan—
tentunya memiliki aturan untuk menata dirinya. Aturan gereja berhubungan dengan seluruh fase
kehidupan setiap anggotanya. Anggota gereja terikat dengan aturan gereja. Aturan gereja
Sebagai hal yang tidak terhindarkan dalam gereja, penyusunan aturan gereja dilandaskan
pada hakikat gereja. Proses pelembagaan gereja adalah bagian dari usaha gereja untuk terus
keselamatan Allah Tritunggal bagi dunia. Usaha ini dilaksanakan oleh gereja hingga sampai pada
eskaton. Hakikat gereja ini sekaligus menegaskan bahwa sebagai lembaga gereja tidak dapat
disamakan dengan lembaga lainnya, sehingga penyusunan aturan dalam gereja disusun dengan
tentang dirinya.
Pendasaran eklesiologi menjadikan peraturan-peraturan dalam gereja tidak hanya
memiliki makna teologis yang baik, tetapi sekaligus mampu menjawab kebutuhan dan
pergumulan hidup jemaat. Eklesiologi selalu berada dalam ruang dan waktu tertentu sebab
eklesiologi lahir dalam konteks pergumulan gereja tertentu. Konteks gereja yang berbeda,
menghasilkan pemaknaan diri yang juga berbeda. Pemaknaan diri dapat terbentuk dengan baik
bila gereja mengenal konteks pelayanannya dengan baik. Jika aturan gereja disusun dengan
didasarkan pada eklesiologi, dengan sendirinya aturan gereja hadir dari kebutuhan konteks
pelayanannya.
aturan gereja yang diteruskan karena tradisi. Sistem penataan yang terpaku pada sistem
mempertahankan tradisi tanpa peka terhadap tuntutan perubahan konteks pelayanannya. Tradisi
Sejak tahun 1917 secara substansial hukum gereja dimuat dalam Kitab Hukum Kanonik
(KHK). Tetapi Hukum Gereja dan Kitab Hukum Kanonik tidak boleh disamakan begitu saja,
karena diluarnya juga terdapat hukum gereja yang memang dikonsepkan yang tidak dimasukan
didalamnya. Demikian juga tidak semua yang dimuat dalam Kitab Hukum Kanonik adalah
Pada abad ke-17 seorang teolog yang sangat terkenal G. Voetius dalam karyanya
“Pillitica Ecclesistica”, menyebut Hukum Gereja sebagai ilmu yang suci tentang pemerintahan
tentang” hukum yang berlaku dan yang harus berlaku” dalam gereja sebagai lembaga. Pada abad
ke-20 juga seorang ahli teolog yang bernama Th. Haithjema dalam karyanya “Nederlands
Hervormde Kerkrecht”, dimana ia tidak mau berkata tentang hukum gereja, tetapi tentang
“orde” atau “peraturan” dalam hidup dan pelayanan gereja. Juga H. Berkhof dalam karyanya
“Christelijk Geloof”, dimana ia lebih suka berkata “peraturan” atau “tata gereja” dari pada
peraturan itu maki lama makin berkembang. Penelitian ilmiah tentang peraturan-peraturan itu
baru dimulai kira-kira abad XII. Dibawah ini akan diketahui secara jelas bagaimana historis
Sampai abad ke III gereja hidup sebagai suatu perskutuan yang dimusuhi dan disiksa.
303-311). Pada saat itu gereja hampir tidak bisa menanggung beratnya siksaan yang
dialami.
Pada tahun 312 datang perubahan dalam situasi itu. Dimana Kaisar Constantinus berhasil
merampas kekuasaan disebelah Barat dari iparnya Lucianus dan disebelah Timur dari
Keputusan yang penting ini kemudian diikuti oleh peraturan-peraturan lain seperti
gedung ibadah yang sangat menguntungkan gereja. Keuntungan ini makin bertambah
besar, waktu Constantinus mengalahkan Lucianus, pada tahun 324 dengan sendirian ia
Akhir pada tahun 380, gereja diresmikan oleh Kaisar Teodosius menjadi gereja negara.
Oleh peresmian ini gereja mulai menata (mengorganisasi) dirinya dan perlahan-lahan
untuk hidup kegerejaan tetapi juga untuk perkawinan, warisan, milik gereja, pelanggaran-
pelanggaran, dll.
Dari sumber sejarah ini dapat diambil kesimpulan, bahwa gerja mula-mula sudah meiliki
peraturan-peraturannya walapun hanya dengan sederhana, dan dengan perubahan suasana tadi,
terjadilah perubahan besar dari lembaga yang tidak dakui menjadi lembaga yang diakui dan
menjadi gereja negara (380). Dibawah ini dapat dilihat beberapa contoh, bahwa gereja pada
Selain dari padaperaturan etis (moral) dan liturgi, Didakhe (ajaran dari kedua belas rasul)
yang disusun kira-kira pada akhir abad pertama. Disitu memuat peraturan-peraturan
untuk hidup jemaat seperti peraturan tentang nabi, penatua-penatua (tua-tua) dan diaken-
diaken.
dari gereja lama yang disusun kira-kira tahun 215 oleh Presbiter Hipolitus di Roma yang
pada bagian pertama dari abad III) dan Constitutiones apostolorum (yang disusun kira-
kira tahun 380), keduanya berasal dari Timur-Tengah kemungkinan dari Syria.
peraturan-peraturan Gereja yang penting. Buku-buku ini memuat antara lain: peraturan-
peraturan “apostolis” tentang pemilihan, penahbisan dan kewajiban para roahiawan. Ciri-
ciri dari paraturan ini adalah sifatnya yang “pseodopigrafis” dengan menunjukkan kepada
Selain dari pada peraturan-peraturan “apostolis” ini, yaitu peraturan-peraturan yang menurut
ini dikumpulkan dan disimpan gereja. Disamping keputusan-keputusan (canones), para Paus
Eropa Barat mendirikan dekrit-dekrit di bidang hukum (litterae decretales) untuk gereja.
keputusan dari sinode-sinode dan dekrit-dekrit dari para Kaisar dari dua koleksi yang
hukum yang lain dengan nama Hispana, yang menurut orang berasal dari Uskup Isidorus
dari Sevilla.
Di Indonesia menurut Abineno, tidak perlu diuraikan secara terinci seperti perkembangan hukum
gereja di Eropa Barat. Telah cukup kalau diketahui bahwa oleh perkembangan itu sebagai
lanjutan dari perkembangan yang telah ditemukan diatas, hidup orang-orang Kristen semakin
banyak dipagari oleh peraturan-peraturan yang dibuat dan disahkan oleh gereja. Penguasa hukum
atas Imam dan Gereja, makin lama makin didasarkan oleh anggota-anggota gereja sebagai beban
yang berat dan karena itu tidak disukai. Oleh sebab itu, mau tidak mau akan timbul reaksi
terhadapnya.
Ia adalah seorang ahli hukum (yuris) yang berbakat dan yang sangat luas
Tugasnya antara lain mencakup hukum-negara (hukum Jerman) dan hukum-gereja. Ia sangat
menonjol di kedua bidang itu. Pada tahun 1892 ia menerbitkan jilid pertama dan karyanya
Kirchenrecrh. Karyanya ini sangat mengagetkan, karena ia — dalam uraiannya tentang sejarah
“Hukum-gereja bertentangan dengan hakikat Gereja”. Dalil kedua: “Hakikat Gereja rohani dan
hakikat hukum duniawi”. Rudolph Sohm mengakui, bahwa hukum gereja benar ada, tetapi ia
sebenarnya adalah suatu teka-teki. Ia ada, sekalipun Gereja - karena hakikatnya - tidak
Bagi Rudolph Sohm Jemaat Perjanjian Barn adalah ‘model” untuk Gereja pada segala
abad. Jemaat itu — katanya dengan tegas adalah Jemaat tanpa organisasi yang yuridis
normal. Tuhan dan Kepalanya adalah Kristus sendiri. Ia memimpinnya oleh pemberian
Jemaat Perjanjian Baru adalah Jemaat yang seluruhnya karismatis. Ia dijiwai dan
suatu Gereja tanpa orde atau tatanan hukum. Orde atau tatanan yang demikian tidak ia
butuhkan. Untuk waktu permulaan itu berlaku: Ubi Christus, ibi ecclesia.
waktu permulaan ini menurut Sohm - berakhir pada abad pertama. Bukti dari hal itu ialah
surat yang pertama Clemens dari Roma kepada Jemaat di Korintus. Dalam surat itu
mereka terhadap para pejabat. Dasar kecamannya ialah bukan - demikian Sohm —
karena anak-anak muda itu tidak bertindak melawan Roh. melainkan melawan pen
Sohm mengkonsatir, bahwa Clemens dan Jemaat di Korintus tidak mempunvai kepercayaan pada
kuasa Roh Kudus. iman mereka sangat lemah. karena itu mereka takut, bahwa kuasa dosa dapat
lebih besar daripada kuasa Roh Kudus. Karena itu pula mereka meminta peraturan-peraturan
untuk memelihara dan mempertahankan “orde yang benar” dalam Gereja. Permintaan mereka
dikabulkan: peraluran-peraturan itu mereka peroleh. Dengan jalan itu timbulah “Gereja hukum”.
Ubi episcopus, ibi ecclesia. lnilah permulaan dar suatu perkembangan yang fatal, katanya.
Selanjutnya ia katakan :
mana hampir-hampir tidak ada ruang untuk pekerjaan yang bebas dari Roh Kudus.
Dalam abad ke-16 muncul sedikit harapan, waktu Luther — menurut Sohm -
raja-raja Jerman. Dan reformasi Zwingli berkembang menjadi semacam teokrasi, di mana
negara — atas nama Kristus - bertanggung jawab atas orde di dalam Gereja. Dan Calvin
Pencerahan selanjutnya membuat suatu langkah baru di jalan yang berbahaya ini: ia —
menurut Sohm — merendahkan Gereja menjadi suatu perhimpunan dengan suatu tugas
religius, yang sama seperti perhimpunan-perhimpunan lain yang takluk kepada negara.
Sohm sangat menyesali perkembangan ini. Ia katakan: Gereja Purba (Ekklesia) adalah suatu
Gereja yang murni rohani, Gereja Katolik adalah suatu Gereja yang duniawi-rohani, Gereja
Evangelis dalam arti hukum, seperti yang kita hadapi pada waktu ini, adalah suatu organisasi
yang murni duniawi. (Kirchenrecht, I.S. 698). Gereja ini — menurut Sohm - tidak ada sangkut-
pautnya dengan Gereja Tuhan, sebab Tuhan adalah suatu realitas yang murni rohani. Hubungan
anggota-anggotanya dengan Tuhan mereka dan hubungan anggota yang satu dengan anggota
Indonesia yang menganut pendapat yang sama seperti Sohmn dan Brunner. Mereka menganggap
Gereja sebagai suatu badan rohani atau ilahi, yang Iangsung dipimpin oleb Rob Kudus dari
sorga. Karena itu Gereja tidak boleh ditata atau diatur. la tidak boleh mempunyai peraturan-
peraturan duniawi. Peraturan-Peraturan yang demikian bukan saja menodai kekudusan Gereja.
Peraturan-peraturan itu juga menghalangi-halangi pekerjaan Roh Kudus. Pendapat yang salah
inilah — seperti yang dikatakan oleh separuh ahli - yang telah membuat Gereja tidak dapat hidup
Selanjutnya juga dalam arti positif Kita juga tahu, bahwa masih tcrdapat banyak anggota
Jcmaat di Indonesia yang cenderung untuk menyamakan Gereja dengan badan-badan dan
organisasi-organisasi lain dalam masyarakat, dan untuk menganggap hukum gereja sebagai
hukum atau undang-undang negara dengan segala akibatnya. Sohm — dan sedikit atau banyak
juga Brunner - dengan jelas memperlihatkan? bahwa usaha “penduniawian” yang demikianlah
yang telah menjerumuskan Gereja ke dalam jurang dosa dan yang telah “mematikannya’. Benar,
Gereja adalah suatu persekutuan yang kelihatan: suatu persekutuan yang mempunyai anggota-
kemasyarakatan yang lain. Sungguhpun demikian ia - seperti yang telah kita katakan sebelumnya
- tidak dapat disamakan dengan lembaga-lembaga itu. Ia mempunyai wujud atau hakikat yang
lain. Ia berada di dalam dunia, tetapi ia tidak berasal dari dunia (bnd. Yoh. 17:11 dyb.). Ia berasal
dari sorga.
diaken) saja. Ia ditugaskan kepada seluruh Jemaat. Karena itu Ia harus ditata atau diatur. Jika
tidak demikian, Gereja tidak dapat menunaikan tugasnya dengan baik. Itulah sebabnya Gereja
Peraturan-peraturan Gereja penting dan kita butuhkan, tetapi bukan sebagai peraturan-
peraturan “an sich”. Peraturan-peraturan itu tidak mempunyai maksud atau tujuan dalam dirinya
sendiri. Peraturan-peraturan itu adalah “alat" atau “wahana" yung Kristus gunakan dalam
pelayanan Gereja-Nya. Fungsinya ialah menjaga supaya pelayanan ini - seperti yang telah kita
katakan - berlangsung dengan baik dan teratur. Hal itu hanya mungkin, kalau peraturan-peraturan
itu digunakan atas jalan yung baik dan lepat. dan bukan sebagai undang-undang Gereja, yang
Peraturan - peraturan Gereja mempunyai sifat yang lain. Peraturan-peraturan itu memang
perlu, tetapi — seperti yang kita katakan di atas — fungsinya hanya sebagai alat atau wahana
Kristus. Atau lebih tegas: sebagai alat dan wahana Roh Kudus. Dan Roh Kudus tidak bisa kita
ikatkan pada peraturan peraturan kita. Ia bebas. Karena itu peraturan-peraturan gereja kita tidak
boleh terlampau panjang dan kompleks. Kita - dengan peraturan-peraturan kita — tidak boleh
berusaha mengatur segala sesuatu sampai kepada bagian bagiannya yang kecil. Itu tidak perlu!
Hanya hal-hal penting saja — terutama yang pasti dapat menimbulkan salah-paham dan
kekacauan - yang harus dia atur. Tentang hal ini kita dapat belajar dari Jemaat - jemaat pertama
berikut:
Dalam Kisah Para Rasul 6 kita membaca, bahwa para rasul membeberkan kepada bagian
dari Jemaat purba yang berbahasa Yunani, suatu “Majelis” sendiri. Jemaat-jemaat kita di
Indonesia, yang pernah menghadapi problema yang sama — yaitu problema penggunaan
dua bahasa (bahasa Indonesia dan bahasa asing atau bahasa Indonesia dan bahasa daerah)
- dapat memahami, betapa pentingnya keputusan para rasul di Yerusalem. Bagian Jemaat
Dalam Kisah Para Rasul 14:23 diceritakan, bahwa Paulus dan Barnabas - dalam perjalanan
pekabaran-Injil mereka yang pertama di Asia kecil Tengah - mereka menetapkan “presbiter-
presbiter" (presbyrteroi) di kota-kota yang mereka singgahi. Dalam Kisah Paral Rasul 20:17
Rasul Paulus meminta, supaya presbiter-presbiter dari Efesus datang ke Meletus. Dalam Kis.
20:28 presbiter-presbiter ini disebut “penilik-penilik Jemaat” (episkopoi). Pada waktu itu kedua
pengertian ini mungkin belum menyatakan dua fungsi yang berbeda. Hal yang sama kita juga
temui dalam Titus 1:5 dan 7. Di situ dikatakan, bahwa Titus harus menetapkan “presbiter-
nama jabatan yang tetap bagi mereka, yang menunaikan suatu tugas khusus dalam Jemaat
Yang ia selalu gunakan ialah tipe pekerjaan yang berbeda-beda, seperti diakonos (orang
yang melayani) untuk Febe dalam Roma 16:1, aparkhé (orang pertama dari Akhaya)
untuk Stefanus dalam 1 Korintus 16:15, katekhon (orang yang memberikan pengajaran)
dalam Galatia 6:6, kapiontes (orang-orang yang bekerja keras), proistamenoi (orang-
orang yang memimpin) dan nouthetountes (orang-orang yang menegor), ketiganya untuk
Dalam “surat-surat pastoral" bidang ini - maksudnya bidang peraturan Gereja - lebih luas
dibicarakan, kbususnya dalam 1 Timotius dan dalam Titus. Jelas sekali, bahwa di sini kita
berada dalam suatu stadium kemudian dari zaman Perjanjian Baru. (Mungkin ada juga
manfaatnya untuk mengingat, bahwa “surat-surat pastoral” ditulis dan dikirimkan kepada
pribadi-pribadi - kepada Timotius dan Titus — bukan kepada Jemaat, seperti surat-surat
Kita mulai dengan 1 Timouus 3:1-7. Dalam perikop ini kita mula - mula mendengar
tentang “tuntutan-tuntutan” atau “syarat-syarat” yang harus dipenuhi oleh orang yang
mau menjadi “penilik Jemaat” (episkopos). Sesudah itu - dalam 1 Timolius 3:8-13 —
suatu kalimat tentang wanita-wanita: “Demikian pula isteri-isteri hendaklah orang yang
terhormat, bukan Pemfitnah, dapat menahan diri dan dapat dipercayai dalam segala hal”.
Ada ahli yang bcrpcndapat, bahwa yang dimaksudkan di sini ialah isteri-isteri dari
syarat-syarat yang sama seperti suami-suami mereka. Tetapi ada juga ahli yang tidak
janda-janda dalam Jemaat. Ada ahli yang menduga, bahwa yang dimaksudkan di sini
ialah mungkin presbiter presbiter wanita. Yang pasti ialah bahwa kedudukan wanita-
wanita dalam Gereja lama makin lama makin tergeser ke belakang dan akhimya hilang
sama-sekali di situ.
Dan akhirnya 1 Timotius 5:17, yaitu nas yang paling sentral untuk teologi-jabatan dari
Skotlandia dan dari situ dalam sejumlah Gereja-gereja Presbiteran dalam dunia
Angelsaks. Dalam nas ini kita membaca “Penatua-penatua yung baik pimpinannya patut
dihormati dua kali lipat, terutama mereka yang dengan jerih payah berkhotbah dan
mengajar.” Dari sini Calvin menarik kesimpulan. bahwa pada waktu itu terdapat dua
kategori penatua, yaitu penatua yang memimpin dan penatua yang mengajar. Hal itu
Dalam Roma 16:1 Filipi 1:l dan 1 Timotius 3:8 dan 12 kita membaca tentang diaken-
diaken. Tugas diaken-diaken ini kita tidak tahu dengan jelas. Dalam Kisah Para Rasul 6 -
yang kita kutip di atas - Lukas tidak menggunakan kata atau pengertian “diaken”.
Pimpinan Jemaat berada dalam tangan suatu “presbyterium (majelis penatua). Ada ahli
yang menduga, bahwa majelis penatua ini mungkin terdiri dari 7 orang, sama seperti
majelis-sinagoge Yahudi (bnd. I Tim. 4:14). Di sinilah letaknya dasar dari unsur
pekerjaan mereka harus dilanjutkan. Di samping Titus 1:5, yang telah kita kutip di atas. 2
Timotius 2:2 — "Apa yang telah engkau dengar daripadaku di muka banyak saksi,
percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar
Perjanjian Baru - seperti yang telah kita katakan - tidak banyak, memberikan kepada kita
yang tidak langsung dan kesaksian kesaksian yang penting yang kita temui di situ, harus kita
perhatikan dengan teliti. Data-data itu dapat membantu kita untuk tidak bersikap acuh tak-acuh
terhadap segala yang digunakan oleh Jemaat-jemaat pertama dalam zaman Perjanjian Baru untuk
7. Peraturan – peraturan gereja seperti apakah yang harus dibuat dan dapat
dipertanggungjawabkan!
Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah Peraturan-peraturan Gereja yang secara
prinsipal mengakui kedewasaan dan imamat-am orang - orang percaya. itu berarti, bahwa
dalam peraturan-peraturan Gereja harus diberikan tempat kepada mereka, supaya mereka
sebutan “imam" dalam arti khusus untuk pejabat pejabat Gereja. khususnya untuk
Baru.
sebagai Verbi divini minister, sebagai pelayan Firman Allah. Tugasnya ialah:
“merepresentir” Kristus. bukan saja terhadap dunia, tetapi juga terhadap Jemaat (bnd.
antara lain Luk. 10:16; Gal. 1:11; 2 Kor. 5:20). Sungguhpun demikian ia tidak berdiri di
“kristokratis” bukan aristokratis dan bukan juga demokratis. Yang memerintah dalam
Gereja ialah Kristus bukan orang - orang tertentu dalam Gereja dan bukan juga Jemaat.
tempat yang sentral kepada Firman dan Roh Allah dalam hidup dan pckerjaannya. Itu
berarti, bahwa dalam keputusan-keputusan yang Gereja ambil, Gereja tidak lebih banyak
dipimpin oleh suara terbanyak dari anggota-anggota Jemaat yang berhak menyatakan
intern gerejawi, seperti yang umpamanya telab terjadi di Jerman pada waktu
pemerintahan Hitler.
memberikan peluang kepada Majelis yang satu (umpamanya Majelis Sinode) untuk
memerintah dan berkuasa atas Majelis yang lain (umpamanya Majelis Jemaat).
ruang untuk hubungan dan kerjasama dengan Gereja-gcreja lain, khususnya dengan
memutlakkan Gerejanya dan yang selalu ingat akan apa yang Tuhan katakan dalam
Yohanes 10:16: “Ada lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini:
domba-domba itu harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan
tempat untuk pluriformitas yang legitim dan untuk eksperimen-eksperimen yang dapat
Peraturan peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan gereja yang menata
nisbah atau hubungan yang baik antara anggotaa angotanya. Termasuk pejabat-
pejabatnya. menurut apa yang kita baca dalam Matius 23:8-11: “Janganlah kamu disebut
rabbi, karena hanya ada satu saja Rabbi kamu dan kamu semua adalah saudara. Dan jan
nganlah kamu menyebut siapa pun bapa di bumi ini, karena hanya ada satu saja Bapa
kamu, yaitu Dia yang di sorga. Janganlah pula kamu disebut peminpin, karena hanya ada
satu saja Pemimpin kamu. yaitu Mesias. Barangsiapa yang paling besar di antara kamu,
Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan Gereja yang dengan teliti
sehingga mereka dapat menunaikan tugas mereka. baik di dalam. maupun di luar Gereja.
memberikan kesempatan kepada suatu Majelis (umpamanya Majelis Sinode) atau kepada
Jemaat yang tidak dikehendaki oleh Jemaat itu, apalagi kalau hal itu terjadi tanpa suatu
perundingan
8. Jelaskan perkembangan sistem atau susunan episkopal hukum gereja!
Episkopal merujuk pada suatu bentuk tata kelola Gereja yang bersifat hirarkis, di mana
pemimpin otoritas setempatnya disebut uskup. Kata "uskup", melalui istilah dalam bahasa Latin
Britania dan bahasa Latin Umum *ebiscopus/*biscopus, berasal dari bahasa Yunani Kuno
επίσκοπος epískopos yang berarti "penilik". Struktur tersebut digunakan oleh banyak Gereja dan
denominasi Kristen utama seperti Gereja Timur (misalnya Ortodoks Timur), Katolik, Anglikan,
Lutheran, serta beberapa lainnya yang didirikan secara terpisah dari garis ini.
Gereja-gereja dengan tata kelola episkopal dipimpin oleh para uskupnya, mempraktekkan
kewenangan mereka dalam keuskupan dan konferensi atau sinode. Kepemimpinan mereka
konsekrasi, uskup juga melakukan supervisi terhadap para klerus dalam wilayahnya serta
merupakan representasi baik struktur sekuler maupun dalam hirarki gereja. Para uskup dianggap
memperoleh otoritas mereka dari suksesi apostolik individual yang tidak terputus dari
Keduabelas Rasul Yesus. Semua uskup yang memiliki otoritas tersebut dikenal sebagai episkopat
historis (berasal dari suksesi apostolik yang valid). Semua Gereja dengan tata kelola seperti ini
umumnya meyakini bahwa Gereja memerlukan tata kelola episkopal sebagaimana dideskripsikan
dalam Perjanjian Baru. Dalam beberapa sistem, seorang uskup mungkin bertanggungjawab pada
uskup lain yang lebih tinggi kedudukannya (uskup agung, uskup metropolitan, dan/atau patriark,
tergantung pada tradisi masing-masing). Mereka juga bertemu dalam konsili atau sinode.
Pertemuan-pertemuan ini tunduk pada kepemimpinan para uskup yang lebih tinggi tingkatannya,
biasanya memutuskan sesuatu, meskipun sinode atau konsili dapat juga berfungsi untuk
mengumpulkan saran.
Dalam sebagian besar sejarah Kekristenan yang tercatat, kepemimpinan episkopal
merupakan satu-satunya bentuk yang dikenal. Namun hal ini berubah saat Reformasi Protestan.
yang sama-sama berasal dari tulisan-tulisan Yohanes Calvin, seorang reformator Protestan yang
bekerja dan menulis secara independen setelah perpecahan dalam Gereja Katolik Roma yang
penyusunan gereja. Yang pertama adalah Martin Luther, Martin Luther sangat mempercayai
Tubuh dan Darah Kristus bukan sebagai lambang. Otomatis Hakikat Gereja menurut Luther
adalah perefleksian penekanan atas firman Allah. Firman Allah berjalan terus untuk menaklukan
dan kemanapun ia akan menaklukan dan mendapat kesetiaan yang benar kepada Allah dan
gereja. Injil adalah sesuatu yang esensial bagi identitas gereja, “di mana firman itu ada di sana
ada iman, dan di mana ada iman dan di sana ada gereja yang benar”. Luther juga mengatakan
bahwa gereja yang kelihatan dibentuk oleh pemberitaan firman Allah. Lembaga gereja ini
merupakan alat anugerah yang ditentukan secara ilahi. Di samping itu juga, Luther mengatakan
bahwa “gereja yang palsu hanya mempunyai rupa yang kelihatan saja, meskipun ia memiliki
jabatan-jabatan Kristen”. Dengan kata lain, gereja abad pertengahan telah menyerupai gereja
Luther menerima pandangan Augustinus tentang gereja sebagai suatu badan “campuran”.
Artinya gereja harus dilihat sebagai gereja yang keanggotaannya bercampur baik orang-orang
Zwingli adalah orang Protestan pertama yang membuang penggunaan alat musik dalam
kebaktian. Malahan Zwingli begitu kuatir akan penyalahgunaan musik sehingga, demikian
pandangannya, sebagian dari kebaktian yang dipimpinnya sama sekali tidak menggunakan
musik. Ia merasa bahwa alat musik itu suatu pelanggaran, sambil mengutip bapak-bapak gereja
kuno untuk mendukung pernyataannya. Zwingli berusaha kembali ke praktek yang diikuti oleh
kebanyakan gereja Ortodoks Timur bahkan hingga pada masa kini. Namun lebih dari mereka, ia
menganggap musik dapat mengalihkan perhatian orang dari pemberitaan firman Allah. Banyak
pengikut gerakan Reformasi ini setuju dengan pelarangan alat-alat musik di Gereja, namun tidak
ada seorangpun yang setuju bahwa musik harus dihapuskan sama sekali. Orgel, khususnya,
dikecam oleh para pemimpin Gereja Reformasi, karena dianggap sebagai contoh yang paling
jelas dari apa yang mereka maskudkan dengan kerusakan yang dibiarkan masuk oleh Gereja
Katolik Roma ke dalam ibadah. Zwingli menganjurkan agar alat musik itu dijual saja serta
hasilnya diberikan kepada kaum miskin. Kebencian terhadap alat-alat musik oleh kelompok
Reformasi ini, yang pertama-tama dianut oleh Zwingli, kadang-kadang menjadi batu ganjalan
yang menghalangi kerjasama dengan kaum Lutheran yang kaya dengan musik.
Nyanyian di gereja yang tidak disertai musik hingga kini menjadi ciri khas dari sejumlah
cabang dari Gereja Presbyterian, dan beberapa Gereja Reformasi. Kaum Baptis Primitif juga
melakukan praktik ini. Mereka percaya bahwa penggunaan alat musik berkaitan dengan ibadah
Perjanjian Lama di Bait Suci Yerusalem, sebuah bentuk ibadah yang ditetapkan oleh Allah,
tetapi kini telah dihapuskan setelah Allah membangkitkan Kristus dari kematian, dan mendirikan
universitas pada tahun 1524, seminari untuk mendidik pendeta. Selain itu ia juga membuat
traktrat yang melawan ajaran gereja Katolik Roma di mana salah satu usaha yang dilakukannya
adalah memberikan suatu struktur sendiri kepada gereja. Pada tahun tersebut, ia menerbitkan
beberapa karya tentang Perjamuan Kudus, tentang Baptisan Kudus, tentang hari-hari raya
gereja supaya mereka taat kepada Allah dan mengasihi sesama manusia. Periode tahun 1530–
1536, Bucer bekerja di bidang penyusunan tata gereja dalam menghentikan pengaruh gereja
Katolik Roma dan ajaran dari bidat-bidat. Berdasarkan ajarannya tentang “Predestinasi” dan
tentang “Disiplin gerejawi” yang mau ia terapkan sehingga hal ini memenangkan banyak orang.
Menurutnya, disiplin gerejawi adalah salah satu ciri gereja yang benar. Di samping itu, Bucer
juga mencurahkan perhatiannya pada keesaan gereja dan berusaha mendamaikan Zwingli dengan
Luther dengan ajarannya mengenai Perjamuan Kudus sehingga ia menjadi pengantara antara
golongan Luther dan Zwingli. Bahkan dikatakan juga oleh Owen Chadwick dalam bukunya
bahwa Martin Bucer, tokoh Reformasi dari Strasbourg itu, mencurahkan bagian utama dari
karirnya untuk mendamaikan kaum Zwinglian dengan kaum Lutheran. Bucer juga lebih dari
sekadar seorang diplomat atau negosiator; ia seorang yang memiliki prinsip di antara yang paling
terpelajar dan di antara tingkatan pemimpin Protestan di kota Strasbourg. Chadwick mengatakan,
Martin Bucer, the reformer of Strasbourg, devoted a main part of his career to
reconciling the Zwinglians with the Lutherans. Bucer was more than a mere diplomat or
negotiator; he was a man of principle and among the most learned and level-headed of the
Protestants.
bidang tata gereja, jabatan, dan liturgi. Lebih jauh kita melihat ajaran Bucer dalam pelayanannya
di kota Strasbourg antara lain pemahaman Bucer tentang gereja adalah pemahaman yang
realistis. Menurutnya persekutuan yang benar dari gereja diciptakan oleh Roh Kudus. Gereja
sebagai tubuh yang mistik dari Kristus. Kerajaan Allah disamakan dengan jemaat yang benar
dari orang-orang yang terpilih. Semuanya ini harus berjalan bersama-sama dengan suatu disiplin
yang ketat terhadap anggota-anggota jemaat di dalam gereja dan dengan cinta kasih kepada
sesama manusia. Pikiran-pikiran pokok ini kemudian dikembangkan dan dijabarkan dalam ajaran
Cyprianus, maka Calvin mengatakan bahwa gereja adalah ibu semua orang percaya. Yang tidak
memiliki gereja sebagai ibu tidak dapat memiliki Allah sebagai Bapa dan di luar gereja tidak ada
keselamatan. Dan dalam hal inilah dapat dilihat bahwa gereja sebagai sarana keselamatan karena
Menurut Calvin, Gereja adalah alat utama yang diberikan Allah kepada orang-orang yang
percaya untuk mewujudkan persekutuan dengan Kristus. Menurut Calvin, bahwa pemerintahan
Gereja merupakan pemerintahan yang letaknya di dalam jiwa atau batin manusia yang
menyangkut kehidupan kekal. Ia bersifat Rohani, dan mengajar hati nurani supaya saleh dan
mengabdi kepada Allah. Sehingga Calvin mengidentifikasikan gereja sebagai suatu lembaga atau
badan yang dibangun secara ilahi yang di dalamnya Allah melakukan penyucian umatnya.
Namun, perlu juga diketahui bahwa bagi Calvin Gereja yang benar dapat ditemukan ketika Injil
secara benar diberitakan dan sakramen-sakramen secara benar dilayankan – sama seperti
pandangan Luther.
Dan hal ini juga didukung olen pendapat J.L.Ch. Abineno yang menjelaskan bahwa
Kehadiran Gereja di dunia ini menunjukkan dua bentuk permunculannya. Di mana di satu sisi
seluruh ciptaan). Dan di pihak lain, merupakan persekutuan rohani dengan Yesus Kristus sebagai
kepala Gereja.
11. Jelaskan penyusunan gereja waktu VOC!
Tata gereja ibarat nadi bagi gereja. Kehadiran gereja di Indonesia tidak terlepas dari
pengaruh bangsa Belanda (VOC tahun 1602-1799).Secara khusus tata gereja yang disusun oleh
gereja pada masa itu sangat terikat dengan pemerintah. Nah, berikut ini akan dibahas penyusunan
tata gereja pada masa VOC. saya mengelompokannya dalam tiga bagian yakni tata gereja 1624,
Tata gereja ini diputuskan pada Sidang Agung tanggal 6 Agustus-20 Oktober 1624.
Sidang dipimpin oleh pendeta Danckaerts.Pada dasarnya peserta sidang tidak merumuskan
konsep tata gereja baru tetapi menggunakan tata gereja Dordercht sebagai dasar yang juga saat
itu telah disederhanakan oleh Danckaerts. Mereka melakukan beberapa penyesuaian dengan
kebutuhan gereja-gereja masa itu. Sayangnya, penyesuaian itu tidak membatasi ruang gerak
pemerintah VOC.
Tata gereja Danckaerts terdiri dari 46 pasal. Berikut ini beberapa poin yang mengalami
gerejawi yang berpusat di Betawi dan diadakan sekali dalam tiga tahun.” Keputusan ini
tidak dapat dilaksanakan karena jarak wilayah yang jauh (bagi wilayah Ambon, Ternate,
menempatkan dua wakilnya dalam mendengarkan dan mebicarakan hal-hal yang terjadi
dalam terjadi” diganti dengan “ Dalam Majelis Jemaat (Gereja)hanya dibicarakan soal-
3. “Pasal 53 tata gereja Dordercht tentang pelayan-pelayan firman Allah dan guru-guru
besar teologi harus menandatangai pengakuan iman dari gereja-gereja Belanda.” Diganti
4. “Pasal 67 tata gereja Dordercht tentang hari-hari besar gerejawi berupa Natal, Paskah,
Kenaikan Yesus dan turunnya Roh Kudus” dihilangkan satu hari raya yaitu Kenaikan
Yesus.
1. Kalau suatu jemaat (Gereja) tidak mempunyai pendeta, karena pendetanya meninggal
ataubelum ada pendeta yang menggantikannya maka Majelis Jemaat ( Gereja) boleh
2. Kalau seorang pendeta harus pergi berlibur ke Belanda karena hari liburnya telah tiba, dia
Kalau tidak ada pendeta yang mengisi kekosongannya ia harus menunda terlebih dahulu.
katekimus, tetapi juga untuk menjelaskan artinya yang sebenar bagi mereka. Disamping
4. Sidang gerejawi di Betawi tidak diadakan sekali setahun, tetapi sekali dalam tiga tahun
dan harus dihindari oleh seorang pendeta dan seorang penatua dari jemaat-jemaat
6. Hal ini berlaku juga bagi konfirmasi atau peneguhan anak-anak muda.
7. Orang-orang kafir yang bertobat dan percaya, baru boleh diizinkan untuk merayakan
pengucilan terhadap orang-orang berdosa yang tidak mau bertobat, tanpa menunggu
Tata gereja 1624 dalam prakteknya hanya berfungsi sebagai tata gereja jemaat di Betawi
sedangkan bagi gereja-gereja lain ini hanya merupakan tata gereja sementara.
Dimasa Gubenur Jenderal van Diemen tata gereja 1624 digantikan dengan tata gereja 1643. Ada
dua fungsi tatagereja 1643 yaitu sebagai tatagereja yang difinitif bagi jemaat (Gereja) di Betawi
dan sesudah tata gerja disesuaikan dengan jemaat-jemaat (gereja)lain, maka ia dapat digunakan
pada jemaat-jemaat itu. Tata gereja ini terdiri dari 89 pasal dan satu pasal khusus sebagai
tambahan alat-alat Kristus yang digunakan untuk memimpin orang-orang kafir kepada Kristus.
Beberapa hal baru yang tidak terdapat pada tata gereja 1624 yaitu:
1. Adanya pemisahan sakramen bagi orang kafir yang baru dibaptis (pasal 49).orang-orang
kafir dewasa yang dibaptis, tidak diperkenankan untuk ikut perjamuaan Malam jika
dahulu iman dan hidupnya bila mau turut dalam perjamuan dimaksud.
2. Jemaat-jemaat merayakan hari sabat ”hari Minggu”, Natal, Paskah, Kenaikan, keturunan
Roh Kudus, Tahun Baru dan memperigati takluknya kota Betawi tanggal 30 Mei (pasal
57).
3. Orang-orang Kristen pribumi harus diajari, supaya juga kebiasaan-kebiasaan Lahiriah
4. Kebaikan korespondensi dan untuk kasatuan antara gereja dan pemerintah seperti yang
terjadi di tanah air ( di Belanda), seorang “komisariat politik” harus menjadi anggota
Dalam prakteknya, tata gereja ini tidak banyak mempunyai arti bagi gereja di Betawi sehingga
Tata gereja ini disusun oleh gereja (jemaat) di Ambon.Tata gereja terdiri dari 7 pasal yaitu:
4. Penatua-penatua
5. Diaken-diaken
Pejelasan tiap-tiap pasal diuraikan secara singkat dengan memberikan petunjuk-petunjuk praktis
kepada pejabat-pejabat gereja untuk melakukan fungsinya masing-masing. Didalam tata tertib ini
disertai ketentuan bahwa apa yang tidak diatur dalam tata gereja ini, majelis jemaat sedapat
mungkin berpegang pada tata gereja 1643 dan tata gereja Dordrecht.
12. Jelaskan penyusunan gereja waktu sekarang ini!
Menurut J.L Ch. Abineno, penyusunan gereja waktu sekarang ini menggunakan sistem
presbiterial – sinodal. 1. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa, inti sari dari ajaran Calvin
ialah bagaimana agar kehidupan manusia dapat sesuai dengan Alkitab, yaitu untuk
mempermuliakan Tuhan (Gloria Dei), jangan sampai “kekuasaan manusia” dominan di Gereja.
Dalam hal ini, konsep “Ketuhanan dan kedaulatan Tuhan” (Lordship and Sovereignity of God)
Secara klasik ajaran Calvin diungkapkan dengan menyebut Lima Dasar Pokok Ajaran
Calvinisme (Five Points of Calvinism) dengan akronim TULIP, yaitu : T – otal Depravity of
Human Race, artinya bahwa umat manusia sudah rusak secara total sehingga tidak mampu lagi
untuk menyenangkan hati Tuhan akibat dosa yang dilakukan oleh nenek moyang kita Adam,
tidak mungkin mampu melakukan kehendak Tuhan apalagi untuk mendapatklan keselamatan; U
– nconditional election, namun demikian ada misteri keselamatan yang sudah disipakan oleh
Tuhan dari semula yaitu rencana untuk menyelamatkan orang pilihanNya, yang sepenuhnya
tergantung kepada keinginan bebas dari Tuhan; L – imited atonement, dan dalam hal ini
walaupun secara teoretis bahwa keselamatan itu bagi setiap orang dan untuk semua orang,
namun hanya orang yang tertentu yang akan mendapatkan keselamatan itu, yaitu “orang yang
terpilih”; I – rresistible Grace , orang-orang yang terpilih itu tidak dapat menolak anugerah
Tuhan untuk dipakai sebagai alat Tuhan untuk melakukan kehendakNya; dan P – erseverance of
the the Saints, dan pada akhirnya prinsip ketaatan orang percaya (orang suci) untuk hidup setia
kepada Tuhan apapun resikonya, apapun tantangan, kesulitan, dan kesukaran yang dihadapi oleh
bimbingan kuasa Tuhan (1 Petrus 1:5), di dalam Roh Kudus yang bekerja di dalam hatinya
setiap warga jemaat dalam konteks persekutuan, kesaksian dan pelayanan dapat memuliakan
Tuhan melalui hidup dan pekerjaannya masing-masing maka diperlukan ada orang yang
menyelenggarakan organisasi jemaat agar semua berjalan baik. Orang-orang yang melakukan
penyelenggaraan itu mendapat “kuasa dari Tuhan”, bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk
dapat mengatur jemaat agar semakin mampu mempermulikan Tuhan melalui kesaksian,
agar “kedaulatan Tuhan itu dapat dijaga dan dipertahankan” , maka diaturlah bagaimana supaya
“kuasa/wewenang” jangan sampai berada di tangan seseorang atau beberapa orang, yang dapat
menyalah gunakan kuasa kebenaran Tuhan. Untuk itu dinyatakan bahwa kedaulatan berada pada
membabibuta (anarki) didelegasikanlah “kuasa” itu kepada “orang yang dipilih jemaat”. “Orang
yang dipilih jemaat” (penatua/diaken) dipilih pula menjadii Pengurus di Majelis Jemaat,
Pengurus Klasis, Pengurus Sinode. Dengan pemahaman ini berarti adalah sangat berbahaya
orang-orang di dalam pengurus Majelis Jemaat, Klasis, Sinodal “terlalu lama” duduk sebagai
pengurus. Orang yang sudah menduduki posisi terlalu lama ada kecenderungan orang yang
bersangkutan memposisikan diri sebagai orang “ yang serba tahu” dan “berkuasa”; sementara
orang lain menjadi rikuh untuk berbeda pendapat. Bila hal itu dipaksakan dapat menimbulkan
konflik. Calvin sangat prihatin dengan latarbelakang kepausan, agar jangan sampai manusia yang
dipermuliakan di Gereja, atau manusia yang “berkuasa” di Gereja, sehingga kedudukan dan
kemudliaan Tuhan “bergeser” kepada peorangan atau beberapa orang. Pelayan Gereja harus
sehingga dengan demikian dapat dihindari peran seseorang menjadi dominan. Di dalam sistem
Presbiterial Sinodal tanggung jawab wewenang yang diberikan oleh Gereja sesuai dengan Tata
Gereja, walaupun bukan secara hierarkhi (tingkatan berjenjang), namun dari segi wewenang
tidak dapat disangkal ada tanggung jawab yang lebih luas. Tanggung jawab Pengurus majelis
Jemaat lebih luas dibandingkan pengurus PJJ, sementara tanggung jawab wewenang Pengurus
Klasis lebih luas dibandingkan dengan tanggung jawab Pengurus Majelis Jemaat, dan
tanggungjawab pengurus Sinodal lebih luas dari tanggungjawab pengurus Klasis. Oleh karena
itu, umpamanya walaupun di dalam Tata Gereja disebutkan soal mutasi pendeta umpamanya,
pendeta yang bersangkutan, namun ditinjau dari segi luasnya tanggungjawab pelayanan masing-
berbeda. Agaknya hal ini masih perlu ditingkatkan pemahaman kita di GBKP.
Mau tidak mau kita harus menyadari dan menerima wewenang dan tanggungjawab
masing-masing sesuai dengan ruang lingkup wilayah pelayanannya. Dalam hal ini diperlukan