Anda di halaman 1dari 32

EVALUASI BUKU

Garis-Garis Besar Hukum Gereja


(Abineno)

STTIH / HITS

Sekolah Tinggi Teologi Internasional Harvest


Harvest International Theological Seminary

Disusun Oleh :
Adry Juvento, S.E.

21 September 2015
1. Jelaskan apa yang dimaksud hukum gereja dan jelaskan teori – teori yang muncul!

Kata "hukum gereja" secara langsung mengarah kepada peraturan-peraturan dalam

gereja. J. L. Ch. Abineno, mengartikan hukum gereja sebagai peraturan gereja yang digunakan

untuk menata dan mengatur kehidupan pelayanan dalam gereja.Demikian juga dengan definisi

yang diberikan oleh Dr. M. H. Bolkestein, yang menyatakan bahwa hukum gereja merupakan

aturan tentang perbuatan dan kehidupan gereja untuk menyatakan gereja sebagai Tubuh Yesus.

Namun sesungguhnya, hukum gereja tidak hanya sekadar mengenai peraturan. Cakupan hukum

gereja lebih luas dari sekedar aturan, sebab berbicara mengenai pertanggungjawaban teologis

dari aturan gereja.

Keberadaan aturan dalam gereja adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat dihindari.

Setiap gereja—baik yang baru dirintis maupun yang telah mapan dalam proses pelembagaan—

tentunya memiliki aturan untuk menata dirinya. Aturan gereja berhubungan dengan seluruh fase

kehidupan setiap anggotanya. Anggota gereja terikat dengan aturan gereja. Aturan gereja

menjadi hal yang tidak terhindarkan dalam gereja.

Sebagai hal yang tidak terhindarkan dalam gereja, penyusunan aturan gereja dilandaskan

pada hakikat gereja. Proses pelembagaan gereja adalah bagian dari usaha gereja untuk terus

mengkontekstualisasikan cerita keselamatan Allah Tritunggal dan mewujudnyatakan karya

keselamatan Allah Tritunggal bagi dunia. Usaha ini dilaksanakan oleh gereja hingga sampai pada

eskaton. Hakikat gereja ini sekaligus menegaskan bahwa sebagai lembaga gereja tidak dapat

disamakan dengan lembaga lainnya, sehingga penyusunan aturan dalam gereja disusun dengan

dilandasi pada eklesiologi sebagai rumusan teologis-sistematis mengenai pemahaman gereja

tentang dirinya.
Pendasaran eklesiologi menjadikan peraturan-peraturan dalam gereja tidak hanya

memiliki makna teologis yang baik, tetapi sekaligus mampu menjawab kebutuhan dan

pergumulan hidup jemaat. Eklesiologi selalu berada dalam ruang dan waktu tertentu sebab

eklesiologi lahir dalam konteks pergumulan gereja tertentu. Konteks gereja yang berbeda,

menghasilkan pemaknaan diri yang juga berbeda. Pemaknaan diri dapat terbentuk dengan baik

bila gereja mengenal konteks pelayanannya dengan baik. Jika aturan gereja disusun dengan

didasarkan pada eklesiologi, dengan sendirinya aturan gereja hadir dari kebutuhan konteks

pelayanannya.

Pendasaran hukum gereja pada eklesiologi berbeda dari pendekatan

penataan/pemerintahan (stelsel). Pendekatan penataan memberikan penekanan pada penyusunan

aturan gereja yang diteruskan karena tradisi. Sistem penataan yang terpaku pada sistem

episkopal, kongregasional, dan presbiterial sinodal, dapat menjebak gereja untuk

mempertahankan tradisi tanpa peka terhadap tuntutan perubahan konteks pelayanannya. Tradisi

hanyalah salah satu sumber pemaknaan diri gereja (eklesiologi).

Sejak tahun 1917 secara substansial hukum gereja dimuat dalam Kitab Hukum Kanonik

(KHK). Tetapi Hukum Gereja dan Kitab Hukum Kanonik tidak boleh disamakan begitu saja,

karena diluarnya juga terdapat hukum gereja yang memang dikonsepkan yang tidak dimasukan

didalamnya. Demikian juga tidak semua yang dimuat dalam Kitab Hukum Kanonik adalah

hukum dalam arti sesungguhnya.

Pada abad ke-17 seorang teolog yang sangat terkenal G. Voetius dalam karyanya

“Pillitica Ecclesistica”, menyebut Hukum Gereja sebagai ilmu yang suci tentang pemerintahan

gereja yang kelihatan.


Pada abad ke-20, H. Bouwman dalam karyanya “Gereformeerde Kerkrecht”, ia berkata

tentang” hukum yang berlaku dan yang harus berlaku” dalam gereja sebagai lembaga. Pada abad

ke-20 juga seorang ahli teolog yang bernama Th. Haithjema dalam karyanya “Nederlands

Hervormde Kerkrecht”, dimana ia tidak mau berkata tentang hukum gereja, tetapi  tentang

“orde” atau “peraturan” dalam hidup dan pelayanan gereja. Juga H. Berkhof dalam karyanya

“Christelijk Geloof”, dimana ia lebih suka berkata “peraturan” atau “tata gereja” dari pada

tentang hukum gereja


2. Jelaskan sejarah hukum Gereja dan Sebutkan ahli-ahli Gereja yang muncul!

Gereja pada mulanya telah mempunyai peraturan-peraturan sendiri, dan peraturan-

peraturan itu maki lama makin berkembang. Penelitian ilmiah tentang peraturan-peraturan itu

baru dimulai kira-kira abad XII. Dibawah ini akan diketahui secara jelas bagaimana historis

perkembangan Hukum Gereja:

 Sampai abad ke III gereja hidup sebagai suatu perskutuan yang dimusuhi dan disiksa.

Terutama dibawah pemerintahan Kaisar Diocletianus dan penganti-pengantinya (abad

303-311).  Pada saat itu gereja hampir tidak bisa menanggung beratnya siksaan yang

dialami.

 Pada tahun 312 datang perubahan dalam situasi itu. Dimana Kaisar Constantinus berhasil

merampas kekuasaan disebelah Barat dari iparnya Lucianus dan disebelah Timur dari

kerajaan Roamwi. Pada tahun berikutnya yaitu tahun 313 keduanya

mengeluarkan “keputusan Milan”  dengan memberikan kebebasan penuh kepada Gereja.

 Keputusan yang penting ini kemudian diikuti oleh peraturan-peraturan lain seperti

peraturan penerimaan warisan, peraturan tentang bantuan untuk mendirikan gedung-

gedung ibadah yang sangat menguntungkan gereja. Keuntungan ini makin bertambah

besar, waktu Constantinus mengalahkan Lucianus, pada tahun 324 dengan sendirian ia

memegang kendali pemerintahan.

 Akhir pada tahun 380, gereja diresmikan oleh Kaisar Teodosius menjadi gereja negara.

Oleh peresmian ini gereja mulai menata (mengorganisasi) dirinya dan perlahan-lahan

menyusun suatu “Hukum kanonik”, yang bukan saja mencangkup peraturan-peraturan

untuk hidup kegerejaan tetapi juga untuk perkawinan, warisan, milik gereja, pelanggaran-

pelanggaran, dll.
Dari sumber sejarah ini dapat diambil kesimpulan, bahwa gerja mula-mula sudah meiliki

peraturan-peraturannya walapun hanya dengan sederhana, dan dengan perubahan suasana tadi,

terjadilah perubahan besar dari lembaga yang tidak dakui menjadi lembaga yang diakui dan

menjadi gereja negara (380). Dibawah ini dapat dilihat beberapa contoh, bahwa gereja pada

mulanya telah mempunayi peraturan sendiri:

 Selain dari padaperaturan etis (moral) dan liturgi, Didakhe (ajaran dari kedua belas rasul)

yang disusun kira-kira pada akhir abad pertama. Disitu memuat peraturan-peraturan

untuk hidup jemaat seperti peraturan tentang nabi, penatua-penatua (tua-tua) dan diaken-

diaken.

 Disamping “Didakhe” kita juga menyebut Traditio opostolica yaitu peraturan-peraturan

dari gereja lama yang disusun kira-kira tahun 215 oleh Presbiter Hipolitus di Roma yang

kemudian menjadi Uskup disitu.

 Peraturan-peraturan lain yang penting pada waktu itu adalah Didaskalia (yang disusun

pada bagian pertama dari abad III) dan Constitutiones apostolorum (yang disusun kira-

kira tahun 380), keduanya berasal dari Timur-Tengah kemungkinan dari Syria.

 Terutama konstitusi-konstitusi apostolis yang terdiri dari 8 buku adalah himpunan

peraturan-peraturan Gereja yang penting. Buku-buku ini memuat antara lain: peraturan-

peraturan “apostolis” tentang pemilihan, penahbisan dan kewajiban para roahiawan. Ciri-

ciri dari paraturan ini adalah sifatnya yang “pseodopigrafis” dengan menunjukkan kepada

asal-usul “apostolis” dari peraturan-peraturan itu, penyusun-penyusunnya berusaha

memberikan wibawa yang lebih besar kepada peraturan-peratuuran tersebut.

Selain dari pada peraturan-peraturan “apostolis” ini, yaitu peraturan-peraturan yang menurut

penyusun-penyusunnya berasal dari para rasul. Sinode-sinode dan konsili-konsili mengambil


keputusan-keputusan tentang ajaran, liturgi dan susunan gereja. Keputusan-keputusan (canones)

ini dikumpulkan dan disimpan gereja. Disamping keputusan-keputusan (canones), para Paus

Eropa Barat mendirikan dekrit-dekrit di bidang hukum (litterae decretales) untuk gereja.

 Pada permulaan abad VI Dionysius Exiguus dari Roma mempersatukan keputusan-

keputusan dari sinode-sinode dan dekrit-dekrit dari para Kaisar dari dua koleksi yang

kemudian digabungkan menjadi satu dan disebut Corpus canonum atau

juga CollectioDionysiana.  Dalam gereja di Spanyol, koleksi ini yang diintrodusir oleh

Paus Hadrianus, dan terkenal dengan nama Dionysio-Handriana.

 Sebelum “Dionysio-Handriana” gereja-gereja di Spanyol telah mengenal suatu kitab

hukum yang lain dengan nama Hispana, yang menurut orang berasal dari Uskup Isidorus

dari Sevilla.

Di Indonesia menurut Abineno, tidak perlu diuraikan secara terinci seperti perkembangan hukum

gereja di Eropa Barat. Telah cukup kalau diketahui bahwa oleh perkembangan itu sebagai

lanjutan dari perkembangan yang telah ditemukan diatas, hidup orang-orang Kristen semakin

banyak dipagari oleh peraturan-peraturan yang dibuat dan disahkan oleh gereja. Penguasa hukum

atas Imam dan Gereja, makin lama makin didasarkan oleh anggota-anggota gereja sebagai beban

yang berat dan karena itu tidak disukai. Oleh sebab itu, mau tidak mau akan timbul reaksi

terhadapnya.

3. Jelaskan bagaimana pendapat Rudolf Sohm tentang hukum Gereja!

Ia adalah seorang ahli hukum (yuris) yang berbakat dan yang sangat luas

pcngetahuannya. Lama ia mengajar di fakultas hukum yang terkenal di Leipzig (Jerman).

Tugasnya antara lain mencakup hukum-negara (hukum Jerman) dan hukum-gereja. Ia sangat
menonjol di kedua bidang itu. Pada tahun 1892 ia menerbitkan jilid pertama dan karyanya

Kirchenrecrh. Karyanya ini sangat mengagetkan, karena ia — dalam uraiannya tentang sejarah

hukum gereja - memilih dua dalil yang “membingungkan”. Dalil pertama:

“Hukum-gereja bertentangan dengan hakikat Gereja”. Dalil kedua: “Hakikat Gereja rohani dan

hakikat hukum duniawi”. Rudolph Sohm mengakui, bahwa hukum gereja benar ada, tetapi ia

sebenarnya adalah suatu teka-teki. Ia ada, sekalipun Gereja - karena hakikatnya - tidak

menghendaki hukum gereja.

 Bagi Rudolph Sohm Jemaat Perjanjian Barn adalah ‘model” untuk Gereja pada segala

abad. Jemaat itu — katanya dengan tegas adalah Jemaat tanpa organisasi yang yuridis

normal. Tuhan dan Kepalanya adalah Kristus sendiri. Ia memimpinnya oleh pemberian

Roh Kudus dimana semua anggotanya mendapat bagian.

 Jemaat Perjanjian Baru adalah Jemaat yang seluruhnya karismatis. Ia dijiwai dan

dipelihara kesatuannya oleh kasih. Ia adalah suatu “Gereja-Roh” suatu “Gereja-kasih”.

suatu Gereja tanpa orde atau tatanan hukum. Orde atau tatanan yang demikian tidak ia

butuhkan. Untuk waktu permulaan itu berlaku: Ubi Christus, ibi ecclesia.

 waktu permulaan ini menurut Sohm - berakhir pada abad pertama. Bukti dari hal itu ialah

surat yang pertama Clemens dari Roma kepada Jemaat di Korintus. Dalam surat itu

Clemens mengecam anggota-anggota Jemaat yang masih muda, karena perlawanan

mereka terhadap para pejabat. Dasar kecamannya ialah bukan - demikian Sohm —

karena anak-anak muda itu tidak bertindak melawan Roh. melainkan melawan pen

gangkatan resmi dari para pejabat. jadi melawan peraturan (orde).

Sohm mengkonsatir, bahwa Clemens dan Jemaat di Korintus tidak mempunvai kepercayaan pada

kuasa Roh Kudus. iman mereka sangat lemah. karena itu mereka takut, bahwa kuasa dosa dapat
lebih besar daripada kuasa Roh Kudus. Karena itu pula mereka meminta peraturan-peraturan

untuk memelihara dan mempertahankan “orde yang benar” dalam Gereja. Permintaan mereka

dikabulkan: peraluran-peraturan itu mereka peroleh. Dengan jalan itu timbulah “Gereja hukum”.

Mulai dari sekarang — kata Sohm — berlaku:

Ubi episcopus, ibi ecclesia. lnilah permulaan dar suatu perkembangan yang fatal, katanya.

Selanjutnya ia katakan :

 Dalam Abad-abad Pertengahan, Gereja mempunyai suatu organisasi yang impresif, di

mana hampir-hampir tidak ada ruang untuk pekerjaan yang bebas dari Roh Kudus.

 Dalam abad ke-16 muncul sedikit harapan, waktu Luther — menurut Sohm -

memperjuangkan pendapat apostolis dari Jemaat dan imamat-am orang-orang percaya.

Tetapi hal itu tidak lama berlangsung.

 Sebab reformasi Luther — demikian Sohm — menyesuaikan diri pada pemerintahan

raja-raja Jerman. Dan reformasi Zwingli berkembang menjadi semacam teokrasi, di mana

negara — atas nama Kristus - bertanggung jawab atas orde di dalam Gereja. Dan Calvin

malahan menyangka - kata Sohm - bahwa Kristus telah mempersiapkan bagiannya

(dalam Perjanjian Baru) suatu organisasi yang lengkap.

 Pencerahan selanjutnya membuat suatu langkah baru di jalan yang berbahaya ini: ia —

menurut Sohm — merendahkan Gereja menjadi suatu perhimpunan dengan suatu tugas

religius, yang sama seperti perhimpunan-perhimpunan lain yang takluk kepada negara.

Sohm sangat menyesali perkembangan ini. Ia katakan: Gereja Purba (Ekklesia) adalah suatu

Gereja yang murni rohani, Gereja Katolik adalah suatu Gereja yang duniawi-rohani, Gereja
Evangelis dalam arti hukum, seperti yang kita hadapi pada waktu ini, adalah suatu organisasi

yang murni duniawi. (Kirchenrecht, I.S. 698). Gereja ini — menurut Sohm - tidak ada sangkut-

pautnya dengan Gereja Tuhan, sebab Tuhan adalah suatu realitas yang murni rohani. Hubungan

anggota-anggotanya dengan Tuhan mereka dan hubungan anggota yang satu dengan anggota

yang lain adalah hubungan yang rohani.

4. Jelaskan apakah dampak dari hukum Gereja!


Pertama-lama dalam arti negatif Kita tahu, bahwa masih ada anggota-anggota Jemaat di

Indonesia yang menganut pendapat yang sama seperti Sohmn dan Brunner. Mereka menganggap

Gereja sebagai suatu badan rohani atau ilahi, yang Iangsung dipimpin oleb Rob Kudus dari

sorga. Karena itu Gereja tidak boleh ditata atau diatur. la tidak boleh mempunyai peraturan-

peraturan duniawi. Peraturan-Peraturan yang demikian bukan saja menodai kekudusan Gereja.

Peraturan-peraturan itu juga menghalangi-halangi pekerjaan Roh Kudus. Pendapat yang salah

inilah — seperti yang dikatakan oleh separuh ahli - yang telah membuat Gereja tidak dapat hidup

dan melayani sebagai Gereja dalam arti yang sebenarnya.

Selanjutnya juga dalam arti positif Kita juga tahu, bahwa masih tcrdapat banyak anggota

Jcmaat di Indonesia yang cenderung untuk menyamakan Gereja dengan badan-badan dan

organisasi-organisasi lain dalam masyarakat, dan untuk menganggap hukum gereja sebagai

hukum atau undang-undang negara dengan segala akibatnya. Sohm — dan sedikit atau banyak

juga Brunner - dengan jelas memperlihatkan? bahwa usaha “penduniawian” yang demikianlah

yang telah menjerumuskan Gereja ke dalam jurang dosa dan yang telah “mematikannya’. Benar,

Gereja adalah suatu persekutuan yang kelihatan: suatu persekutuan yang mempunyai anggota-

anggota. Peraturan – peraturan, pengurus, dan lain-lain, sama seperti lembaga-lembaga

kemasyarakatan yang lain. Sungguhpun demikian ia - seperti yang telah kita katakan sebelumnya

- tidak dapat disamakan dengan lembaga-lembaga itu. Ia mempunyai wujud atau hakikat yang

lain. Ia berada di dalam dunia, tetapi ia tidak berasal dari dunia (bnd. Yoh. 17:11 dyb.). Ia berasal

dari sorga.

5. Jelaskan tujuan-tujuan dari peraturan gereja!


Bahwa yang paling penting dalarn Gereja ialah pelayanan. Pelayanan itu bukan banya

dipercayakan kepada pelayan-pelayan khusus (pendeta-pendeta. penatua-penatua dan diaken-

diaken) saja. Ia ditugaskan kepada seluruh Jemaat. Karena itu Ia harus ditata atau diatur. Jika

tidak demikian, Gereja tidak dapat menunaikan tugasnya dengan baik. Itulah sebabnya Gereja

dari mulanya - seperti yang telah kita dengar - mempunyai peraturan-peraturan.

Peraturan-peraturan Gereja penting dan kita butuhkan, tetapi bukan sebagai peraturan-

peraturan “an sich”. Peraturan-peraturan itu tidak mempunyai maksud atau tujuan dalam dirinya

sendiri. Peraturan-peraturan itu adalah “alat" atau “wahana" yung Kristus gunakan dalam

pelayanan Gereja-Nya. Fungsinya ialah menjaga supaya pelayanan ini - seperti yang telah kita

katakan - berlangsung dengan baik dan teratur. Hal itu hanya mungkin, kalau peraturan-peraturan

itu digunakan atas jalan yung baik dan lepat. dan bukan sebagai undang-undang Gereja, yang

mempunyai sifat yang sama dengan undang-undang negara.

Peraturan - peraturan Gereja mempunyai sifat yang lain. Peraturan-peraturan itu memang

perlu, tetapi — seperti yang kita katakan di atas — fungsinya hanya sebagai alat atau wahana

Kristus. Atau lebih tegas: sebagai alat dan wahana Roh Kudus. Dan Roh Kudus tidak bisa kita

ikatkan pada peraturan peraturan kita. Ia bebas. Karena itu peraturan-peraturan gereja kita tidak

boleh terlampau panjang dan kompleks. Kita - dengan peraturan-peraturan kita — tidak boleh

berusaha mengatur segala sesuatu sampai kepada bagian bagiannya yang kecil. Itu tidak perlu!

Hanya hal-hal penting saja — terutama yang pasti dapat menimbulkan salah-paham dan

kekacauan - yang harus dia atur. Tentang hal ini kita dapat belajar dari Jemaat - jemaat pertama

dalam Perjanjian Baru.

6. Jelaskan peraturan peraturan gereja dalam perjanjian baru!


Di bidang peraturan Gereja dalam Perjanjian Baru — kita dapat menyebut data-data yang

berikut:

 Dalam Kisah Para Rasul 6 kita membaca, bahwa para rasul membeberkan kepada bagian

dari Jemaat purba yang berbahasa Yunani, suatu “Majelis” sendiri. Jemaat-jemaat kita di

Indonesia, yang pernah menghadapi problema yang sama — yaitu problema penggunaan

dua bahasa (bahasa Indonesia dan bahasa asing atau bahasa Indonesia dan bahasa daerah)

- dapat memahami, betapa pentingnya keputusan para rasul di Yerusalem. Bagian Jemaat

Purba ini menempuh jalan-jalan-nya sendiri dan mengembangkan aktivitas-aktivitasnya

sendiri di kalangan sinagoge-sinagoge diaspora di Yerusalem (bnd. Kis. 6:9).

Dalam Kisah Para Rasul 14:23 diceritakan, bahwa Paulus dan Barnabas - dalam perjalanan

pekabaran-Injil mereka yang pertama di Asia kecil Tengah - mereka menetapkan “presbiter-

presbiter" (presbyrteroi) di kota-kota yang mereka singgahi. Dalam Kisah Paral Rasul 20:17

Rasul Paulus meminta, supaya presbiter-presbiter dari Efesus datang ke Meletus. Dalam Kis.

20:28 presbiter-presbiter ini disebut “penilik-penilik Jemaat” (episkopoi). Pada waktu itu kedua

pengertian ini mungkin belum menyatakan dua fungsi yang berbeda. Hal yang sama kita juga

temui dalam Titus 1:5 dan 7. Di situ dikatakan, bahwa Titus harus menetapkan “presbiter-

presbiter” (presbyteroi) di setiap kota. Presbiter-presbiter ini harus memenuhi tuntutan-tuntutan

atau syarat-syarat yang berlaku bagi “penilik-penilik Jemaat (episkopoi).

 Dalam surat-suratnya, Rasul Paulus hampir-hampir tidak pemah menggunakan nama-

nama jabatan yang tetap bagi mereka, yang menunaikan suatu tugas khusus dalam Jemaat

Yang ia selalu gunakan ialah tipe pekerjaan yang berbeda-beda, seperti diakonos (orang

yang melayani) untuk Febe dalam Roma 16:1, aparkhé (orang pertama dari Akhaya)
untuk Stefanus dalam 1 Korintus 16:15, katekhon (orang yang memberikan pengajaran)

dalam Galatia 6:6, kapiontes (orang-orang yang bekerja keras), proistamenoi (orang-

orang yang memimpin) dan nouthetountes (orang-orang yang menegor), ketiganya untuk

mereka yang melayani di berbagai bidang dalam 1 Tesalonika 5:12.

 Dalam “surat-surat pastoral" bidang ini - maksudnya bidang peraturan Gereja - lebih luas

dibicarakan, kbususnya dalam 1 Timotius dan dalam Titus. Jelas sekali, bahwa di sini kita

berada dalam suatu stadium kemudian dari zaman Perjanjian Baru. (Mungkin ada juga

manfaatnya untuk mengingat, bahwa “surat-surat pastoral” ditulis dan dikirimkan kepada

pribadi-pribadi - kepada Timotius dan Titus — bukan kepada Jemaat, seperti surat-surat

Rasul Paulus yang lain).

 Kita mulai dengan 1 Timouus 3:1-7. Dalam perikop ini kita mula - mula mendengar

tentang “tuntutan-tuntutan” atau “syarat-syarat” yang harus dipenuhi oleh orang yang

mau menjadi “penilik Jemaat” (episkopos). Sesudah itu - dalam 1 Timolius 3:8-13 —

menyusul tuntutan-tuntutan atau syarat-syarat yang sama bagi “diaken-diaken (diakonoi).

Di tengah-tengah tuntutan-tuntutan atau syarat-syarat ini untuk jabatan diaken, terdapat

suatu kalimat tentang wanita-wanita: “Demikian pula isteri-isteri hendaklah orang yang

terhormat, bukan Pemfitnah, dapat menahan diri dan dapat dipercayai dalam segala hal”.

Ada ahli yang bcrpcndapat, bahwa yang dimaksudkan di sini ialah isteri-isteri dari

penetua-penetua dan diaken-diaken. Mereka harus memenuhi tuntutan-tuntutan atau

syarat-syarat yang sama seperti suami-suami mereka. Tetapi ada juga ahli yang tidak

setuju dengan pendapat ini. Wanita-wanita yang disebut di sini

- menurut mereka - adalah diaken-diaken wanita.


 Lalu menyusul 1 Timotius 5:3-16 dengan sejumlah peraturan-peraturan untuk jabatan

janda-janda dalam Jemaat. Ada ahli yang menduga, bahwa yang dimaksudkan di sini

ialah mungkin presbiter presbiter wanita. Yang pasti ialah bahwa kedudukan wanita-

wanita dalam Gereja lama makin lama makin tergeser ke belakang dan akhimya hilang

sama-sekali di situ.

 Dan akhirnya 1 Timotius 5:17, yaitu nas yang paling sentral untuk teologi-jabatan dari

Calvin dalam komentar-komentarnya, yang kemudian secara khusus berkembang di

Skotlandia dan dari situ dalam sejumlah Gereja-gereja Presbiteran dalam dunia

Angelsaks. Dalam nas ini kita membaca “Penatua-penatua yung baik pimpinannya patut

dihormati dua kali lipat, terutama mereka yang dengan jerih payah berkhotbah dan

mengajar.” Dari sini Calvin menarik kesimpulan. bahwa pada waktu itu terdapat dua

kategori penatua, yaitu penatua yang memimpin dan penatua yang mengajar. Hal itu

menjelaskan, mengapa tidak dibedakan antara penatua-penatua dan penilik-penilik

Jemaat dalam Kisah Para Rasul 20 dan Titus 1.

 Dalam Roma 16:1 Filipi 1:l dan 1 Timotius 3:8 dan 12 kita membaca tentang diaken-

diaken. Tugas diaken-diaken ini kita tidak tahu dengan jelas. Dalam Kisah Para Rasul 6 -

yang kita kutip di atas - Lukas tidak menggunakan kata atau pengertian “diaken”.

Pelayanan kepada orang-orang miskin mungkin merupakan sebagian dari pekerjaan

ketujuh orang yang ditetapkan sebagai “pelayan-meja".

 Pimpinan Jemaat berada dalam tangan suatu “presbyterium (majelis penatua). Ada ahli

yang menduga, bahwa majelis penatua ini mungkin terdiri dari 7 orang, sama seperti

majelis-sinagoge Yahudi (bnd. I Tim. 4:14). Di sinilah letaknya dasar dari unsur

“sinodal” dalam hukum gereja (bnd. Mat. 18:20).


 waktu jumlah rasul-rasul makin berkurang, timbul pertanyaan bagaimanakah caranya

pekerjaan mereka harus dilanjutkan. Di samping Titus 1:5, yang telah kita kutip di atas. 2

Timotius 2:2 — "Apa yang telah engkau dengar daripadaku di muka banyak saksi,

percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar

orang lain” - merupakan jawaban yang jelas.

Perjanjian Baru - seperti yang telah kita katakan - tidak banyak, memberikan kepada kita

petunjuk-petunjuk yang langsung di bidang peraturan Gereja. Karena itu petunjuk-petunjuk

yang tidak langsung dan kesaksian kesaksian yang penting yang kita temui di situ, harus kita

perhatikan dengan teliti. Data-data itu dapat membantu kita untuk tidak bersikap acuh tak-acuh

terhadap segala yang digunakan oleh Jemaat-jemaat pertama dalam zaman Perjanjian Baru untuk

menyusun hidup dan pekerjaan mereka.

7. Peraturan – peraturan gereja seperti apakah yang harus dibuat dan dapat

dipertanggungjawabkan!
 Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah Peraturan-peraturan Gereja yang secara

prinsipal mengakui kedewasaan dan imamat-am orang - orang percaya. itu berarti, bahwa

dalam peraturan-peraturan Gereja harus diberikan tempat kepada mereka, supaya mereka

dapat menunaikan tugas mereka sebagai “umat Allah”.

 Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan Gereja yang menolak

pertentangan yang prinsipal antara “kaum rohaniwan” dan "kaum awam”.

 Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan Gereja yang menolak

sebutan “imam" dalam arti khusus untuk pejabat pejabat Gereja. khususnya untuk

pendeta-pendeta Jemaat. sebab sebutan itu bertentangan dengan kesaksian Perjanjian

Baru.

 Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan Gereja yang tidak

menganggap dan memperlakukan pendeta Jemaat sebagai “hamba’ (Gereja, tetapi

sebagai Verbi divini minister, sebagai pelayan Firman Allah. Tugasnya ialah:

“merepresentir” Kristus. bukan saja terhadap dunia, tetapi juga terhadap Jemaat (bnd.

antara lain Luk. 10:16; Gal. 1:11; 2 Kor. 5:20). Sungguhpun demikian ia tidak berdiri di

atas, tetapi di dalam Jemaat, di samping anggota-anggota Gereja yang lain.

 Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan Gereja yang bersifat

“kristokratis” bukan aristokratis dan bukan juga demokratis. Yang memerintah dalam

Gereja ialah Kristus bukan orang - orang tertentu dalam Gereja dan bukan juga Jemaat.

 Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan Gereja yang memberikan

tempat yang sentral kepada Firman dan Roh Allah dalam hidup dan pckerjaannya. Itu
berarti, bahwa dalam keputusan-keputusan yang Gereja ambil, Gereja tidak lebih banyak

dipimpin oleh suara terbanyak dari anggota-anggota Jemaat yang berhak menyatakan

pendapat mereka, tapi terutama oleh Firman dan Roh Allah.

 Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah pcraturan-peraturan Gereja yang tidak

memberikan peluang kepada Pemerintah untuk turut campur-tangan dalam soal-soal

intern gerejawi, seperti yang umpamanya telab terjadi di Jerman pada waktu

pemerintahan Hitler.

 Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan Gereja yang tidak

memberikan peluang kepada Majelis yang satu (umpamanya Majelis Sinode) untuk

memerintah dan berkuasa atas Majelis yang lain (umpamanya Majelis Jemaat).

 Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan Gereja yang memberikan

ruang untuk hubungan dan kerjasama dengan Gereja-gcreja lain, khususnya dengan

Gereja-gereja yang hidup dan dalam negara yang sama.

 Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan Gereja yang tidak

memutlakkan Gerejanya dan yang selalu ingat akan apa yang Tuhan katakan dalam

Yohanes 10:16: “Ada lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini:

domba-domba itu harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan

mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala".

 Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan Gereja yang memberikan

tempat untuk pluriformitas yang legitim dan untuk eksperimen-eksperimen yang dapat

dipertanggung-jawabkan. Itu berarti, bahwa gereja harus hati-hati bertindak terhadap

anggota - anggota Jemaat yang dipengaruhi oleb gerakan karismatik.


 Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan Gereja yang bukan saja

mementingkan pendidikan pendeta-pendeta Jemaat. tapi yang juga memperhatikan

pendidikan (pembinaan) pejabat pejabat khususnya yang lain, terutama penatua-penatua

dan diaken diakennnya.

 Peraturan peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan gereja yang menata

nisbah atau hubungan yang baik antara anggotaa angotanya. Termasuk pejabat-

pejabatnya. menurut apa yang kita baca dalam Matius 23:8-11: “Janganlah kamu disebut

rabbi, karena hanya ada satu saja Rabbi kamu dan kamu semua adalah saudara. Dan jan

nganlah kamu menyebut siapa pun bapa di bumi ini, karena hanya ada satu saja Bapa

kamu, yaitu Dia yang di sorga. Janganlah pula kamu disebut peminpin, karena hanya ada

satu saja Pemimpin kamu. yaitu Mesias. Barangsiapa yang paling besar di antara kamu,

hendaklah ia menjadi pelayan kamu”.

 Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan Gereja yang dengan teliti

mengatur perlengkapan (pembinaan) anggota anggota Jemaat oleh pejabat-pejabat gereja,

sehingga mereka dapat menunaikan tugas mereka. baik di dalam. maupun di luar Gereja.

 Peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan Gereja yang tidak

memberikan kesempatan kepada suatu Majelis (umpamanya Majelis Sinode) atau kepada

pendeta-pendeta untuk memaksakan “dari atas" pejabat-pejabat gerejawi kepada suatu

Jemaat yang tidak dikehendaki oleh Jemaat itu, apalagi kalau hal itu terjadi tanpa suatu

perundingan
8. Jelaskan perkembangan sistem atau susunan episkopal hukum gereja!

Episkopal merujuk pada suatu bentuk tata kelola Gereja yang bersifat hirarkis, di mana

pemimpin otoritas setempatnya disebut uskup. Kata "uskup", melalui istilah dalam bahasa Latin

Britania dan bahasa Latin Umum *ebiscopus/*biscopus, berasal dari bahasa Yunani Kuno

επίσκοπος epískopos yang berarti "penilik". Struktur tersebut digunakan oleh banyak Gereja dan

denominasi Kristen utama seperti Gereja Timur (misalnya Ortodoks Timur), Katolik, Anglikan,

Lutheran, serta beberapa lainnya yang didirikan secara terpisah dari garis ini.

Gereja-gereja dengan tata kelola episkopal dipimpin oleh para uskupnya, mempraktekkan

kewenangan mereka dalam keuskupan dan konferensi atau sinode. Kepemimpinan mereka

bersifat sakramental dan konstitusional; selain melakukan penahbisan, penguatan, dan

konsekrasi, uskup juga melakukan supervisi terhadap para klerus dalam wilayahnya serta

merupakan representasi baik struktur sekuler maupun dalam hirarki gereja. Para uskup dianggap

memperoleh otoritas mereka dari suksesi apostolik individual yang tidak terputus dari

Keduabelas Rasul Yesus. Semua uskup yang memiliki otoritas tersebut dikenal sebagai episkopat

historis (berasal dari suksesi apostolik yang valid). Semua Gereja dengan tata kelola seperti ini

umumnya meyakini bahwa Gereja memerlukan tata kelola episkopal sebagaimana dideskripsikan

dalam Perjanjian Baru. Dalam beberapa sistem, seorang uskup mungkin bertanggungjawab pada

uskup lain yang lebih tinggi kedudukannya (uskup agung, uskup metropolitan, dan/atau patriark,

tergantung pada tradisi masing-masing). Mereka juga bertemu dalam konsili atau sinode.

Pertemuan-pertemuan ini tunduk pada kepemimpinan para uskup yang lebih tinggi tingkatannya,

biasanya memutuskan sesuatu, meskipun sinode atau konsili dapat juga berfungsi untuk

mengumpulkan saran.
Dalam sebagian besar sejarah Kekristenan yang tercatat, kepemimpinan episkopal

merupakan satu-satunya bentuk yang dikenal. Namun hal ini berubah saat Reformasi Protestan.

Banyak gereja-gereja Protestan diorganisasikan menurut sistem kongregasional atau presbiterian,

yang sama-sama berasal dari tulisan-tulisan Yohanes Calvin, seorang reformator Protestan yang

bekerja dan menulis secara independen setelah perpecahan dalam Gereja Katolik Roma yang

dipicu oleh 95 dalil Martin Luther.


9. Bagaimana pandangan dari para reformator tentang penyusunan gereja!

Ada 3 reformator Gereja yang akan dibahas bagaimana pandangannya terhadap

penyusunan gereja. Yang pertama adalah Martin Luther, Martin Luther sangat mempercayai

Tubuh dan Darah Kristus bukan sebagai lambang. Otomatis Hakikat Gereja menurut Luther

adalah perefleksian penekanan atas firman Allah. Firman Allah berjalan terus untuk menaklukan

dan kemanapun ia akan menaklukan dan mendapat kesetiaan yang benar kepada Allah dan

gereja. Injil adalah sesuatu yang esensial bagi identitas gereja, “di mana firman itu ada di sana

ada iman, dan di mana ada iman dan di sana ada gereja yang benar”. Luther juga mengatakan

bahwa gereja yang kelihatan dibentuk oleh pemberitaan firman Allah. Lembaga gereja ini

merupakan alat anugerah yang ditentukan secara ilahi. Di samping itu juga, Luther mengatakan

bahwa “gereja yang palsu hanya mempunyai rupa yang kelihatan saja, meskipun ia memiliki

jabatan-jabatan Kristen”. Dengan kata lain, gereja abad pertengahan telah menyerupai gereja

yang sebenarnya tetapi dia benar-benar sesuatu yang berbeda.

Luther menerima pandangan Augustinus tentang gereja sebagai suatu badan “campuran”.

Artinya gereja harus dilihat sebagai gereja yang keanggotaannya bercampur baik orang-orang

kudus maupun orang-orang berdosa.

Zwingli adalah orang Protestan pertama yang membuang penggunaan alat musik dalam

kebaktian. Malahan Zwingli begitu kuatir akan penyalahgunaan musik sehingga, demikian

pandangannya, sebagian dari kebaktian yang dipimpinnya sama sekali tidak menggunakan

musik. Ia merasa bahwa alat musik itu suatu pelanggaran, sambil mengutip bapak-bapak gereja

kuno untuk mendukung pernyataannya. Zwingli berusaha kembali ke praktek yang diikuti oleh

kebanyakan gereja Ortodoks Timur bahkan hingga pada masa kini. Namun lebih dari mereka, ia

menganggap musik dapat mengalihkan perhatian orang dari pemberitaan firman Allah. Banyak
pengikut gerakan Reformasi ini setuju dengan pelarangan alat-alat musik di Gereja, namun tidak

ada seorangpun yang setuju bahwa musik harus dihapuskan sama sekali. Orgel, khususnya,

dikecam oleh para pemimpin Gereja Reformasi, karena dianggap sebagai contoh yang paling

jelas dari apa yang mereka maskudkan dengan kerusakan yang dibiarkan masuk oleh Gereja

Katolik Roma ke dalam ibadah. Zwingli menganjurkan agar alat musik itu dijual saja serta

hasilnya diberikan kepada kaum miskin. Kebencian terhadap alat-alat musik oleh kelompok

Reformasi ini, yang pertama-tama dianut oleh Zwingli, kadang-kadang menjadi batu ganjalan

yang menghalangi kerjasama dengan kaum Lutheran yang kaya dengan musik.

Nyanyian di gereja yang tidak disertai musik hingga kini menjadi ciri khas dari sejumlah

cabang dari Gereja Presbyterian, dan beberapa Gereja Reformasi. Kaum Baptis Primitif juga

melakukan praktik ini. Mereka percaya bahwa penggunaan alat musik berkaitan dengan ibadah

Perjanjian Lama di Bait Suci Yerusalem, sebuah bentuk ibadah yang ditetapkan oleh Allah,

tetapi kini telah dihapuskan setelah Allah membangkitkan Kristus dari kematian, dan mendirikan

Gereja dengan mengutus Roh Kudus-Nya.

Bucer banyak melakukan reformasi di antaranya terhadap pendidikan dengan mendirikan

universitas pada tahun 1524, seminari untuk mendidik pendeta. Selain itu ia juga membuat

traktrat yang melawan ajaran gereja Katolik Roma di mana salah satu usaha yang dilakukannya

adalah memberikan suatu struktur sendiri kepada gereja. Pada tahun tersebut, ia menerbitkan

beberapa karya tentang Perjamuan Kudus, tentang Baptisan Kudus, tentang hari-hari raya

gerejawi, dan lain-lain, dan merangkumkan kebenaran-kebenaran pokok untuk anggota-anggota

gereja supaya mereka taat kepada Allah dan mengasihi sesama manusia. Periode tahun 1530–

1536, Bucer bekerja di bidang penyusunan tata gereja dalam menghentikan pengaruh gereja

Katolik Roma dan ajaran dari bidat-bidat. Berdasarkan ajarannya tentang “Predestinasi” dan
tentang “Disiplin gerejawi” yang mau ia terapkan sehingga hal ini memenangkan banyak orang.

Menurutnya, disiplin gerejawi adalah salah satu ciri gereja yang benar. Di samping itu, Bucer

juga mencurahkan perhatiannya pada keesaan gereja dan berusaha mendamaikan Zwingli dengan

Luther dengan ajarannya mengenai Perjamuan Kudus sehingga ia menjadi pengantara antara

golongan Luther dan Zwingli. Bahkan dikatakan juga oleh Owen Chadwick dalam bukunya

bahwa Martin Bucer, tokoh Reformasi dari Strasbourg itu, mencurahkan bagian utama dari

karirnya untuk mendamaikan kaum Zwinglian dengan kaum Lutheran. Bucer juga lebih dari

sekadar seorang diplomat atau negosiator; ia seorang yang memiliki prinsip di antara yang paling

terpelajar dan di antara tingkatan pemimpin Protestan di kota Strasbourg. Chadwick mengatakan,

Martin Bucer, the reformer of Strasbourg, devoted a main part of his career to

reconciling the Zwinglians with the Lutherans. Bucer was more than a mere diplomat or

negotiator; he was a man of principle and among the most learned and level-headed of the

Protestants.

Dalam pelayanannya di Strasbourg, Bucer dan Calvin saling memengaruhi khususnya di

bidang tata gereja, jabatan, dan liturgi. Lebih jauh kita melihat ajaran Bucer dalam pelayanannya

di kota Strasbourg antara lain pemahaman Bucer tentang gereja adalah pemahaman yang

realistis. Menurutnya persekutuan yang benar dari gereja diciptakan oleh Roh Kudus. Gereja

sebagai tubuh yang mistik dari Kristus. Kerajaan Allah disamakan dengan jemaat yang benar

dari orang-orang yang terpilih. Semuanya ini harus berjalan bersama-sama dengan suatu disiplin

yang ketat terhadap anggota-anggota jemaat di dalam gereja dan dengan cinta kasih kepada

sesama manusia. Pikiran-pikiran pokok ini kemudian dikembangkan dan dijabarkan dalam ajaran

tentang Jabatan, Baptisan Kudus, dan Perjamuan Kudus.


10. Bagaimana pandangan Calvin tentang gereja dan organisasinya!

Dalam memahami gereja, maka Calvin mencoba mengulangi perkataan-perkataan

Cyprianus, maka Calvin mengatakan bahwa gereja adalah ibu semua orang percaya. Yang tidak

memiliki gereja sebagai ibu tidak dapat memiliki Allah sebagai Bapa dan di luar gereja tidak ada

keselamatan. Dan dalam hal inilah dapat dilihat bahwa gereja sebagai sarana keselamatan karena

firman (jadi ajaran, bukan jabatan rasuli) dan sakramen-sakramen.

Menurut Calvin, Gereja adalah alat utama yang diberikan Allah kepada orang-orang yang

percaya untuk mewujudkan persekutuan dengan Kristus. Menurut Calvin, bahwa pemerintahan

Gereja merupakan pemerintahan yang letaknya di dalam jiwa atau batin manusia yang

menyangkut kehidupan kekal. Ia bersifat Rohani, dan mengajar hati nurani supaya saleh dan

mengabdi kepada Allah. Sehingga Calvin mengidentifikasikan gereja sebagai suatu lembaga atau

badan yang dibangun secara ilahi yang di dalamnya Allah melakukan penyucian umatnya.

Namun, perlu juga diketahui bahwa bagi Calvin Gereja yang benar dapat ditemukan ketika Injil

secara benar diberitakan dan sakramen-sakramen secara benar dilayankan – sama seperti

pandangan Luther.

Dan hal ini juga didukung olen pendapat J.L.Ch. Abineno yang menjelaskan bahwa

Kehadiran Gereja di dunia ini menunjukkan dua bentuk permunculannya. Di mana di satu sisi

sebagai perhimpunan manusia yang mempunyai kesamaan tertentu dengan lembaga-lembaga

kemasyarakatan lainnya (yaitu menciptakan keadilan, kebenaran, perdamaian dan keutuhan

seluruh ciptaan). Dan di pihak lain, merupakan persekutuan rohani dengan Yesus Kristus sebagai

kepala Gereja.
11. Jelaskan penyusunan gereja waktu VOC!

Tata gereja ibarat nadi bagi gereja. Kehadiran gereja di Indonesia tidak terlepas dari

pengaruh bangsa Belanda (VOC tahun 1602-1799).Secara khusus tata gereja yang disusun oleh

gereja pada masa itu sangat terikat dengan pemerintah. Nah, berikut ini akan dibahas penyusunan

tata gereja pada masa VOC. saya mengelompokannya dalam tiga bagian yakni tata gereja 1624,

tata gereja 1643 dan tata gereja 1673.

Tata Gereja 1624

Tata gereja ini diputuskan pada Sidang Agung tanggal 6 Agustus-20 Oktober 1624.

Sidang dipimpin oleh pendeta Danckaerts.Pada dasarnya peserta sidang tidak merumuskan

konsep tata gereja baru tetapi menggunakan tata gereja Dordercht sebagai dasar yang juga saat

itu telah disederhanakan oleh Danckaerts. Mereka melakukan beberapa penyesuaian dengan

kebutuhan gereja-gereja masa itu. Sayangnya, penyesuaian itu tidak membatasi ruang gerak

pemerintah VOC.

Tata gereja Danckaerts terdiri dari 46 pasal. Berikut ini beberapa poin yang mengalami

penyesuian dengan kebutuhan gereja dalam sidang Agung yaitu:

1. “Pembentukan klasis dan penyelenggaran sinode khusus” digantikan dengan “sidang

gerejawi yang berpusat di Betawi dan diadakan sekali dalam tiga tahun.” Keputusan ini

tidak dapat dilaksanakan karena jarak wilayah yang jauh (bagi wilayah Ambon, Ternate,

Banda dan Solor) dan kurangnya tenaga pendeta.

2. “Pasal 37 tata gereja Dordercht tentang mengizinkan pemerintah Belanda untuk

menempatkan dua wakilnya dalam mendengarkan dan mebicarakan hal-hal yang terjadi

dalam terjadi” diganti dengan “ Dalam Majelis Jemaat (Gereja)hanya dibicarakan soal-

soal gerejawi dan pembicaraan itu diadakan menurut cara-cara gerejawi.Dalam


perjalanannya gereja tidak bisa melakukan pembelaan untuk semua campurtangan

pemerintah VOC dalam tubuh gereja sendiri.

3. “Pasal 53 tata gereja Dordercht tentang pelayan-pelayan firman Allah dan guru-guru

besar teologi harus menandatangai pengakuan iman dari gereja-gereja Belanda.” Diganti

dengan “pelayan-pelayan firman Allah, penghibur-penghibur orang sakit dan guru-guru

sekolah harus menandatangani pengakuan iman dari gereja-gereja Belanda.

4. “Pasal 67 tata gereja Dordercht tentang hari-hari besar gerejawi berupa Natal, Paskah,

Kenaikan Yesus dan turunnya Roh Kudus” dihilangkan satu hari raya yaitu Kenaikan

Yesus.

Beberapa ketentuan yang dimuat dalam “Appendix”dari tata gereja 1624:

1. Kalau suatu jemaat (Gereja) tidak mempunyai pendeta, karena pendetanya meninggal

ataubelum ada pendeta yang menggantikannya maka Majelis Jemaat ( Gereja) boleh

memberikan kuasa kepada seorang penatua untuk melayani Sakramen Baptisan.

2. Kalau seorang pendeta harus pergi berlibur ke Belanda karena hari liburnya telah tiba, dia

harus memberitahukan pendeta jemaat tetangganya khusus kepada jemaat di Betawi.

Kalau tidak ada pendeta yang mengisi kekosongannya ia harus menunda terlebih dahulu.

Sebaliknya, paling lama satu tahun keberangkatannya ke Belanda.

3. Tugas guru-guru sekolah adalah bukan hanya menyuruh murid-murid menghafal

katekimus, tetapi juga untuk menjelaskan artinya yang sebenar bagi mereka. Disamping

itu mereka mengajar murid-murid mereka untuk mrnyanyikan beberapa Mazmur.

4. Sidang gerejawi di Betawi tidak diadakan sekali setahun, tetapi sekali dalam tiga tahun

dan harus dihindari oleh seorang pendeta dan seorang penatua dari jemaat-jemaat

( gereja-gereja) di Maluku, di Banda, di Ambon, di Solor dan di Khoromandel.


5. Pemberkatan anak-anak orang kafir berlangsung menurut cara yang telah di tetapkan.

6. Hal ini berlaku juga bagi konfirmasi atau peneguhan anak-anak muda.

7. Orang-orang kafir yang bertobat dan percaya, baru boleh diizinkan untuk merayakan

perjamuan Malam, kalau mereka telah mengaku iman mereka.

8. Dalam keadaan-keadaan yang urgen Majelis-majelis jemaat ( gereja) dapat menjalankan

pengucilan terhadap orang-orang berdosa yang tidak mau bertobat, tanpa menunggu

advis dari jemaat-jemaat (gereja-gereja)lain.

Tata gereja 1624 dalam prakteknya hanya berfungsi sebagai tata gereja jemaat di Betawi

sedangkan bagi gereja-gereja lain ini hanya merupakan tata gereja sementara.

Tata Gereja Tahun 1643

Dimasa Gubenur Jenderal van Diemen tata gereja 1624 digantikan dengan tata gereja 1643. Ada

dua fungsi tatagereja 1643 yaitu sebagai tatagereja yang difinitif bagi jemaat (Gereja) di Betawi

dan sesudah tata gerja disesuaikan dengan jemaat-jemaat (gereja)lain, maka ia dapat digunakan

pada jemaat-jemaat itu. Tata gereja ini terdiri dari 89 pasal dan satu pasal khusus sebagai

tambahan alat-alat Kristus yang digunakan untuk memimpin orang-orang kafir kepada Kristus.

Beberapa hal baru yang tidak terdapat pada tata gereja 1624 yaitu:

1. Adanya pemisahan sakramen bagi orang kafir yang baru dibaptis (pasal 49).orang-orang

kafir dewasa yang dibaptis, tidak diperkenankan untuk ikut perjamuaan Malam jika

mereka sendiri tidak memintanya. Sebaliknya, mereka harus membicarakan terlebih

dahulu iman dan hidupnya bila mau turut dalam perjamuan dimaksud.

2. Jemaat-jemaat merayakan hari sabat ”hari Minggu”, Natal, Paskah, Kenaikan, keturunan

Roh Kudus, Tahun Baru dan memperigati takluknya kota Betawi tanggal 30 Mei (pasal

57).
3. Orang-orang Kristen pribumi harus diajari, supaya juga kebiasaan-kebiasaan Lahiriah

mereka sama dengan kebiasaan-kebiasaan orang Belanda.

4. Kebaikan korespondensi dan untuk kasatuan antara gereja dan pemerintah seperti yang

terjadi di tanah air ( di Belanda), seorang “komisariat politik” harus menjadi anggota

majelis jemaat ( gereja).

Dalam prakteknya, tata gereja ini tidak banyak mempunyai arti bagi gereja di Betawi sehingga

tidak dituruti dengan baik.

Tata Gereja Tahun 1673

Tata gereja ini disusun oleh gereja (jemaat) di Ambon.Tata gereja terdiri dari 7 pasal yaitu:

1.      Sidang-sidang gerejawi

2.      Sakramen-sakramen dan ajaran gereja

3.      Visitasi pendeta-pendeta

4.      Penatua-penatua

5.      Diaken-diaken

6.      Pengunjung orang sakit

7.      Guru-guru dan sekolah-sekolah

Pejelasan tiap-tiap pasal diuraikan secara singkat dengan memberikan petunjuk-petunjuk praktis

kepada pejabat-pejabat gereja untuk melakukan fungsinya masing-masing. Didalam tata tertib ini

disertai ketentuan bahwa apa yang tidak diatur dalam tata gereja ini, majelis jemaat sedapat

mungkin berpegang pada tata gereja 1643 dan tata gereja Dordrecht.
12. Jelaskan penyusunan gereja waktu sekarang ini!

Menurut J.L Ch. Abineno, penyusunan gereja waktu sekarang ini menggunakan sistem

presbiterial – sinodal. 1. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa, inti sari dari ajaran Calvin

ialah bagaimana agar kehidupan manusia dapat sesuai dengan Alkitab, yaitu untuk

mempermuliakan Tuhan (Gloria Dei), jangan sampai “kekuasaan manusia” dominan di Gereja.

Dalam hal ini, konsep “Ketuhanan dan kedaulatan Tuhan” (Lordship and Sovereignity of God)

memegang peranan penting.

Secara klasik ajaran Calvin diungkapkan dengan menyebut Lima Dasar Pokok Ajaran

Calvinisme (Five Points of Calvinism) dengan akronim TULIP, yaitu : T – otal Depravity of

Human Race, artinya bahwa umat manusia sudah rusak secara total sehingga tidak mampu lagi

untuk menyenangkan hati Tuhan akibat dosa yang dilakukan oleh nenek moyang kita Adam,

tidak mungkin mampu melakukan kehendak Tuhan apalagi untuk mendapatklan keselamatan; U

– nconditional election, namun demikian ada misteri keselamatan yang sudah disipakan oleh

Tuhan dari semula yaitu rencana untuk menyelamatkan orang pilihanNya, yang sepenuhnya

tergantung kepada keinginan bebas dari Tuhan; L – imited atonement, dan dalam hal ini

walaupun secara teoretis bahwa keselamatan itu bagi setiap orang dan untuk semua orang,

namun hanya orang yang tertentu yang akan mendapatkan keselamatan itu, yaitu “orang yang

terpilih”; I – rresistible Grace , orang-orang yang terpilih itu tidak dapat menolak anugerah

Tuhan untuk dipakai sebagai alat Tuhan untuk melakukan kehendakNya; dan P – erseverance of

the the Saints, dan pada akhirnya prinsip ketaatan orang percaya (orang suci) untuk hidup setia

kepada Tuhan apapun resikonya, apapun tantangan, kesulitan, dan kesukaran yang dihadapi oleh

bimbingan kuasa Tuhan (1 Petrus 1:5), di dalam Roh Kudus yang bekerja di dalam hatinya

(Epesus 1:11-13; 4:30).


Untuk lebih dapat memaksimalkan lima prinsip di atas maka Gereja mengatur diri agar

setiap warga jemaat dalam konteks persekutuan, kesaksian dan pelayanan dapat memuliakan

Tuhan melalui hidup dan pekerjaannya masing-masing maka diperlukan ada orang yang

menyelenggarakan organisasi jemaat agar semua berjalan baik. Orang-orang yang melakukan

penyelenggaraan itu mendapat “kuasa dari Tuhan”, bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk

dapat mengatur jemaat agar semakin mampu mempermulikan Tuhan melalui kesaksian,

persekutauan dan pelayanannya. Pengorganisasian itu disebut Presbiterial Sinodal.

Dengan demikian di dalam sistem pengorganisasian Gereja secara Presbiterial Sinodal,

agar “kedaulatan Tuhan itu dapat dijaga dan dipertahankan” , maka diaturlah bagaimana supaya

“kuasa/wewenang” jangan sampai berada di tangan seseorang atau beberapa orang, yang dapat

menyalah gunakan kuasa kebenaran Tuhan. Untuk itu dinyatakan bahwa kedaulatan berada pada

“jemaat” (people). Namun supaya tidak disalahgunakan “kuasa/wewenang” itu secara

membabibuta (anarki) didelegasikanlah “kuasa” itu kepada “orang yang dipilih jemaat”. “Orang

yang dipilih jemaat” (penatua/diaken) dipilih pula menjadii Pengurus di Majelis Jemaat,

Pengurus Klasis, Pengurus Sinode. Dengan pemahaman ini berarti adalah sangat berbahaya

orang-orang di dalam pengurus Majelis Jemaat, Klasis, Sinodal “terlalu lama” duduk sebagai

pengurus. Orang yang sudah menduduki posisi terlalu lama ada kecenderungan orang yang

bersangkutan memposisikan diri sebagai orang “ yang serba tahu” dan “berkuasa”; sementara

orang lain menjadi rikuh untuk berbeda pendapat. Bila hal itu dipaksakan dapat menimbulkan

konflik. Calvin sangat prihatin dengan latarbelakang kepausan, agar jangan sampai manusia yang

dipermuliakan di Gereja, atau manusia yang “berkuasa” di Gereja, sehingga kedudukan dan

kemudliaan Tuhan “bergeser” kepada peorangan atau beberapa orang. Pelayan Gereja harus

sadar bahwa ia adalah hamba Tuhan.


Apalagi dalam sistem Presbiterial Sinodal kepeminpinan yang dilakukan bukanlah

terfokus kepada orang-perorang tetapi secara bersama-sama (collegiality), secara kolektip,

sehingga dengan demikian dapat dihindari peran seseorang menjadi dominan. Di dalam sistem

Presbiterial Sinodal tanggung jawab wewenang yang diberikan oleh Gereja sesuai dengan Tata

Gereja, walaupun bukan secara hierarkhi (tingkatan berjenjang), namun dari segi wewenang

tidak dapat disangkal ada tanggung jawab yang lebih luas. Tanggung jawab Pengurus majelis

Jemaat lebih luas dibandingkan pengurus PJJ, sementara tanggung jawab wewenang Pengurus

Klasis lebih luas dibandingkan dengan tanggung jawab Pengurus Majelis Jemaat, dan

tanggungjawab pengurus Sinodal lebih luas dari tanggungjawab pengurus Klasis. Oleh karena

itu, umpamanya walaupun di dalam Tata Gereja disebutkan soal mutasi pendeta umpamanya,

diperlukan konsultasi (Karo:arih-arih) Moderamen dengan Majelis Jemaat, BP Klasis dan

pendeta yang bersangkutan, namun ditinjau dari segi luasnya tanggungjawab pelayanan masing-

masing, hendaknmya masing-masing perlu memahami bahwa fungsi dan tanggungjawabnya

berbeda. Agaknya hal ini masih perlu ditingkatkan pemahaman kita di GBKP.

Mau tidak mau kita harus menyadari dan menerima wewenang dan tanggungjawab

masing-masing sesuai dengan ruang lingkup wilayah pelayanannya. Dalam hal ini diperlukan

rasa tanggung jawab dan saling menghargai posisi masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai