Anda di halaman 1dari 5

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA

Nama : Tobar Poltak Victor Simanungkalit


NIM : 217772012236
Semester/Kelas : IV (Empat)/B
Mata Kuliah : Pembangunan Jemaat dan Penataan Gereja
Dosen Pengampu : Pdt. Lazarus H. Purwanto, Th.D.
Bambang Subandrijo, Ph.D.
Pdt. Drs. Purboyo W. Susilaradeya
The Congregationalist System

Pendahuluan
Kongregasional merupakan suatu jenis sistem dengan penerapan jemaat yang
menjadi pemegang penuh kekuasaan dalam pusat gereja tersebut. Pada sisi lain tokoh
Edward Long membagi menjadi tiga bagian atau yang ia sebut sebagai ‘pattern’ yang
berbeda, diantaranya: connective congregationalism, associational congregationalism,
dan ’congregation without overstructures’ (Koffeman 2014, 53). Kemudian pada bagian
selanjutnya akan membahas bagaimana agar pola-pola tersebut bisa dan dapat memiliki
nilai maupun esensi bagi para anggota jemaat atau gereja lokal yang ada di dalamnya.
Maka dari itu, pada bagian selanjutnya akan dibahas bagaimana respon para anggota
jemaat ataupun gereja lokal dalam ekspresinya di sistem kongregasional ini (Long 2001,
103).
Gereja yang pada umumnya memiliki pemimpin di dalam sebuah jemaat
merupakan suatu hal yang menjadi ciri dan kekhasan dari gereja itu sendiri, akan tetapi
bagaimana jadinya jika gereja tersebut adalah jemaat yang menjadi pemegang penuh
kekuasaan? Hal ini yang terjadi dan akan menjadi topik pembahasan di dalam sebuah
gereja dengan menganut sistem kongregasional di bawah ini.

Sistem Kongregasionalis
1. Connective congregationalism
Jenis yang pertama ini merupakan asosiasi lokal dari orang-orang yang percaya
dan berusaha hidup dalam menanggapi Injil dengan landasan iman serta keyakinan
mereka terhadap makna dan tuntutan Firman Allah itu sendiri. Beberapa sikap jemaat
yang datang dari pola ini diorganisir ke dalam beberapa denominasi yang dituangkan ke
dalam liturgis, dan diidentifikasi oleh asal etnis dan pengaruh geografis lainnya. Hal ini
yang membuat beberapa perbedaan ini yang menjadi ciri khas dari denominasi itu

1
sendiri, dan teradapat perbedaan yang signifikan diantara denominasi yang satu dengan
yang lainnya (Long 2001, 103).
Secara langsung hal ini membuat masing-masing jemaat memiliki keuntungan di
dalam gereja lokalnya atas keterlibatannya dalam menentukkan bagaimana komunitas
Kristen itu hidup dan memaknai pengajarannya, serta penilaian terhadap kepercayaan
Kristen maupun praktik di dalam komunitas iman gereja lokal ataupun jemaat
setempat. Hal yang paling dihargai dalam ’pattern’ ini adalah kebebasan yang
ditawarkan dalam variasi dari suatu bentuk kongregasionalisme tersebut bagi orang-
orang yang berusaha untuk menemukan cara bagaimana untuk menemukan kemurnian
dari Kristen itu sendiri di dalam asosiasi langsung yang mengarah ke jemaat dengan
tema yang sama. Kebebasan tersebut dilakukan dalam kepatuhan yang dipercaya dalam
bentuk pemulihan bagi orang percaya di jemaat atau gereja lokal (Long 2001, 103).
Pada kongregasional ini jemaat atau gereja lokal memuridkan kemuridannya
sendiri dengan membaca Injilnya sendiri dengan langkah-langkah yang
dikembangannya sendiri, serta dalam menentukkan kapan mereka setia dan sah dalam
mengikut Allah. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kongregasi lokal bekerja sama satu
dengan yang lainnya dalam menciptakan identitas kelompok yang berbeda, baik di
dalam kepercayaan maupun praktiknya. Dalam pola ini gereja-gereja lokal bersatu dan
berkumpul dalam keyakinan dan kesepakatan luas mengenai iman dan praktiknya,
dengan memiliki relasi maupun interaksi di dalamnya dengan jemaat yang lainnya.
Sementara itu, ‘pattern’ ini juga akan tetap terus mengupayakan agar mendapatkan
kesamaan dalam iman dan praktik yang menyediakan perbedaan antara keluarga
ekklesial (tubuh gereja) (Long 2001, 104).
2. Associational congregationalism
Pada bagian ini, ketentuan dalam pengendalian dasar eklesial (tubuh gereja)
hadir di dalam bentuk yang berbeda dalam kebijakan dan prosedur pemantauan jemaat
lokal. Secara eksplisit gereja-gereja dengan kongregasional ini memantau satu sama lain
dengan cara menekankan kesetiaan terhadap apa yang membentuk pemahaman
denominasi mereka, dengan kebebasan tradisi gereja, kongregasional asosiasi
memberikan kebebasan yang besar kepada jemaat, sehingga para jemaat atau gereja
lokal dapat mengikuti hati nurani mereka dengan tetap di bawah kendali atau kontrol.
Kebebasan tersebut diarahkan kepada jemaat untuk mengikuti apa yang mereka ingin

2
aspirasikan dan sampaikan, sehingga apa yang mereka pahami juga dapat diekspresikan
di dalam pemahamannya sendiri untuk setia kepada Injil (Long 2001, 118).
Denominasi kongregasional sistem ini datang dari variasi yang umumnya
digambarkan dengan gereja dalam tradisi bebas, meski di dalamnya gereja-gereja lokal
berbeda dalam menjalankan kesetiaannya, akan tetapi mereka masih sama dalam
menemukan otoritas gerejawi pada komunitas orang percaya. Oleh sebab itu dapat
dikatakan bahwa otoritas tersebut dapat dikemukakan secara bebas dari bawah ke atas
dengan sistem penerapan kongregasional itu sendiri. Kadang kala, kata independensi
atau tidak terikat dapat digunakan dalam gambaran tradisi gereja yang bebas ini,
karena mereka tidak terikat pada peraturan maupun kepada keputusan-keputusan yang
bersifat sinodal (Long 2001, 118).
Sebagai contoh perlawanan dalam peranan asosiasi kongregasional ini ialah,
ketika Konvensi Baptis di Selatan dalam menetapkan ketentuannya bahwa hanya laki-
laki saja yang dapat menjadi seorang pelayan ataupun menjadi seorang pendeta, namun
tindakan tersebut hanyalah gerakan dari kaum konservatif saja (yang ingin
mempertahankan sistem yang sudah ada dan telah ada). Gereja lokal atau gereja dengan
sistem kongregasional mengatakan bahwa pernyataan yang dikemukakan Konvesi
Baptis di Selatan hanyalah pernyataan kepercayaan Baptis Selatan saja, gereja lokal
dengan sistem kongregasional berasosiasi untuk membuat oposisi terhadap pelayan
perempuan juga layak dan berbobot untuk dalam kasus seperti ini. Dengan asosiasi dan
kekuatan sistem kongregasional tersebut, kembali lagi dapat dipertegas terhadap apa
yang jemaat atau gereja lokal imani dan anut sesuai dengan pemahamannya, tanpa
membuat perpecahan antar pihak maupun gereja yang ingin menerima baik yang tidak
menerima (Long 2001, 131).
3. Congregation without overstructures
Pada bagian ini Koffeman memiliki pandangan bahwa hal yang terakhir ini
merupakan perwakilan perasaan paling murni para jemaat ataupun gereja lokal yang
menganut dari sistem kongregasional ini, hal tersebut di dukung karena kebebasan
kongregasi lokal di dalam gereja dapat dilakukan oleh jemaat pada umumnya dan tidak
perlu dikekang oleh pemerintahan yang formal ataupun struktur antarparokial yang
telah diabaikan. Sistem kongregasionalisme murni ini tidak hanya menolak segala
bentuk dari kekuatan seperti gereja yang menganut sistem episkopal yang akan
mengurangi kebebasan jemaat ataupun gereja lokal. Hal tersebut yang membuat

3
menjadi sebuah ide pokok dalam membangun gereja yang ‘mapan’, yakni yang diakui
secara formal dalam aspek sosial, budaya, dan politik. Dengan tidak begitu
diperlukannya penekanan-penekanan terhadap kedewasaan rohani ataupun tanggung
jawab dari semua anggota, namun menekankan otonomi lokal dan melihat bahwa
kekuatan dari gerejawi itu sendiri merupakan hal-hal menjadi pokok permasalahan
daripada seluruh jemaat yang memiliki peranan ataupun menjadikannya sebagai
pembenahan bersama bagi seluruh jemaat gereja lokal ataupun para pelayan gereja
serta pejabat fungsional yang memiliki peranan juga di dalamnya (Koffeman 2014, 53).

Refleksi
Pada sistem kongregasional ini, dapat disimpulkan bahwa kepercayaan terhadap
apa yang dipercaya dan diimani merupakan kunci utama dalam sistem ini serta tubuh
gereja itu sendiri. Kebebasan dalam menyatakan ekspresi iman dan kepercayaan
tersebut juga dapat diaspirasikan secara gamblang. Meskipun para jemaat atau gereja
lokal harus memiliki relasi dan hubungan yang kuat antara satu sama lain, pasti tetap
ada kekurangan maupun yang kurang di dalam sistem ini, selain itu ketiga ‘pattern’ atau
pola yang telah dijelaskan di atas juga saling berbeda responsnya antara satu dengan
yang lainnya, respons itu sendiri telah berbeda pemahaman sehingga tidak dapat lagi
disatukan, akan tetapi tetap saling menghargai antara respons gereja lokal ataupun
jemaat setempat untuk tidak membuat sistem kongregasional ini menjadi terpecah
belah.
Oleh sebab itu kebijakan-kebijakan yang gereja lokal atau jemaat ambil dalam
keputusannya juga tidak tergantung kepada kekuasaan yang berwenang ataupun
terhadap kekuasaan yang mengatur, akan tetapi kembali lagi bahwa jemaatlah yang
memegang kendali penuh. Dengan ketiadaan kekuasaan yang hirarkis dapat membuat
jemaat ataupun gereja lokal memiliki keyakinan mereka sendiri, dan menyatakannya
dalam iman kepercayaan mereka sendiri. Sehingga jemaat dapat memahami penginjilan
tersebut secara mandiri.
Selain itu adanya hubungan ataupun relasi antara pelayan dan jemaat yang
berperan untuk menyatukan antara jemaat lokal yang satu dengan yang lainnya untuk
menciptakan suatu ruang yang dilandaskan iman kepercayaan serta praktik yang sesuai
dengan pemahamannya. Hal tersebut juga membutuhkan partisipasi yang efektif dari

4
jemaat ataupun gereja lokal dalam penemuan kehendak Allah melalui penyertaan
bimbingan Roh Kudus.

Daftar Acuan:
Koffeman, Leo. J. 2014. In order to serve: an ecumenical introduction to Church polity.
Munster: LIT Verlag GmbH & Co. KG Wien.

Long, Edward LeRoy. 2001. Patterns of polity. Ohio: The Pilgrim Press Cleveland.

Anda mungkin juga menyukai